Menu Close

Bagaimana komunikasi digital era pandemi mempengaruhi masa depan diplomasi

Pertemuan antara pejabat tinggi kementerian komunikasi negara-negara ASEAN secara virtual pada Januari 2021. Agus Setiawan/Antara Foto

Selama pandemi COVID-19, banyak orang mengalami kelelahan akibat menggunakan platform komunikasi virtual secara berlebihan - kerap disebut “Zoom fatigue”. Banyak orang di berbagai bidang pekerjaan mengeluhkan hal ini, tak terkecuali para pelaku diplomasi seiring dengan semakin berkembangnya praktik diplomasi digital.

Sebuah penelitian mengungkapkan rangsangan non-verbal berlebih, seperti jarak tatap mata yang terlalu dekat, sikap atau gerak-gerik yang berlebihan, menatap diri seharian dan berkurangnya mobilitas menjadi penyebab kelelahan tersebut.

Bisa kita bayangkan para diplomat harus melakukan berapa banyak pertemuan dan negosiasi virtual terkait kebijakan dan kepentingan luar negeri.

Komunikasi virtual mengharuskan mereka fokus pada sikap dan gerak-gerik lawan bicara di tampilan layar. Perubahan gerak mata akan memiliki arti yang berbeda ketika terjadi pada konferensi video.

Mereka merasakan kondisi pertemuan diplomasi secara virtual berbeda dibandingkan dengan pertemuan tatap muka. Para diplomat merasa “terkurung” dalam layar yang sempit.

Selain itu, kemungkinan perbedaan waktu yang terjadi saat melakukan pertemuan atau negosiasi menambah kemungkinan terjadinya kelelahan.

Zoom fatigue dalam diplomasi digital

Pada masa awal pandemi, penggunaan media konferensi video dianggap mampu menjembatani pembatasan perjalanan serta larangan pertemuan tatap muka.

Kebutuhan diplomasi, seperti pelayanan warga negara di luar negeri dan negosiasi internasional, tetap dapat berlangsung tanpa harus mengurangi esensi dari tugas yang para diplomat jalankan.

Setelah banyak berkomunikasi secara virtual, diplomat mulai menyadari kesulitan mengandalkan konferensi video dalam menjalankan diplomasi.

Mereka menganggap diplomasi melalui konferensi video tidak dapat memberikan banyak kesempatan melakukan sesi informal.

Hasilnya, suasana negosiasi yang terbangun terasa berbeda dan tidak memberikan tekanan yang sama.

Ini belum ditambah keraguan mereka akan keamanan aplikasi dan jaringan internet, yang sering dihadapi ketika konferensi video dilakukan.

Zoom fatigue dan upaya praktik diplomasi digital setidaknya dapat dilihat dari dua sisi.

Pertama, kondisi kelelahan ini dapat berarti para diplomat sudah mulai terbiasa dengan praktik digitalisasi, setidaknya dengan penggunaan media konferensi video.

Kelelahan ini tentunya baru mulai timbul ketika sebagian besar para diplomat sudah mulai rutin menggunakan media konferensi video.

Kedua, kelelahan ini menjadi tantangan tersendiri dalam praktik diplomasi digital, karena memunculkan keraguan akan praktik diplomasi digital secara umum.

Praktik diplomasi digital menjadi lebih populer pada saat semua pihak mulai belajar menggunakan konferensi video, yang diikuti dengan kebiasaan menggunakannya sebagai metode komunikasi. Kini adaptasi itu menimbulkan efek negatif akibat penggunaan terlalu sering.


Read more: Era baru diplomasi digital dan mengapa Indonesia harus menyambutnya?


Masa depan diplomasi digital

Secara sederhana, kita dapat mengartikan diplomasi digital sebagai penggunaan teknologi untuk kepentingan diplomasi seperti manajemen informasi, manajemen krisis, diplomasi publik dan negosiasi internasional.

Maka, penggunaan media konferensi video tentunya hanya salah satu cara dalam praktik diplomasi digital.

Zoom fatigue dan beberapa keraguan yang menghinggapinya seharusnya tidak membuat diplomasi digital kehilangan masa depan.

Akan tetapi, kondisi kelelahan akibat komunikasi digital sudah selayaknya mendapat perhatian.

Sampai saat ini, masih banyak pihak yang melihat bahwa praktik diplomasi digital “hanya” sebatas upaya memindahkan diplomasi tatap muka menjadi diplomasi daring.

Dalam praktiknya, diplomasi digital lebih dari itu dan pemahaman kita saat ini masih sangat terbatas.

Salah satu hal yang perlu kita pahami dari diplomasi digital adalah konsep tentang transparansi, komunikasi dua arah, dan dialog dalam praktik diplomasi, sesuatu yang sangat terbatas karena faktor kerahasiaan dalam diplomasi yang selama ini berkembang.

Dengan mempertimbangkan konsep tersebut, maka diplomasi digital mendorong adanya komunikasi yang lebih terbuka, baik antara pemerintah-pemerintah maupun pemerintah-publik terkait dengan isu kebijakan luar negeri.

Konferensi video merupakan salah satu cara, dan bukan satu-satunya, yang dapat digunakan untuk mendukung komunikasi tersebut, terutama dalam kaitannya dengan manajemen krisis dan negosiasi internasional selama masa pandemi.


Read more: Pertahanan siber Indonesia jadi tugas penting panglima TNI yang baru


Ketika pandemi berakhir, diplomasi digital juga sejatinya tetap memiliki masa depan karena diplomasi digital telah menyadarkan banyak pihak bahwa terdapat medium komunikasi yang mampu mengatasi berbagai hambatan yang muncul dalam diplomasi tradisional seperti hambatan akan ruang dan waktu.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang dapat digarisbawahi terkait masa depan diplomasi digital dari kondisi Zoom fatigue yang terjadi akhir-akhir ini.

Pertama adalah terkait dengan pentingnya peran teknologi informasi dan komunikasi bagi diplomasi.

Zoom fatigue menunjukkan bagaimana teknologi komunikasi dan informasi dalam posisi sentral bagi praktik diplomasi.

Teknologi informasi dan komunikasi mampu memberikan jawaban terhadap tantangan yang mungkin timbul pada masa yang akan datang, terutama ketika kehadiran fisik tidak memungkinkan dan terdapat hambatan dalam upaya menjalankan diplomasi tatap muka.

Dalam hal ini, siapa pun yang mampu menguasai dan beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi di saat pandemi ini, akan siap untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.

Tak ayal, beberapa negara saat ini bahkan telah menciptakan sebuah jabatan baru untuk mendukung sinergi teknologi dan diplomasi, yaitu posisi Duta Besar Bidang Teknologi (Tech Ambassador) atau Duta Besar Urusan Digital.

Kedua, diplomasi digital tidak akan pernah menggantikan diplomasi tatap muka.

Diplomasi digital sejatinya melengkapi aktivitas diplomasi yang telah ada selama ini. Tidak dapat dimungkiri bahwa beberapa aktivitas diplomasi nyatanya bisa berjalan secara digital.

Diplomasi digital dapat memberikan potensi lain dalam penggunaan media teknologi selain konferensi video.

Dalam hal ini para diplomat dituntut untuk terbiasa menggunakan media lainnya, seperti media sosial atau video blog untuk dapat berkomunikasi dengan sesama diplomat dan publik.

Kementerian Luar Negeri dan diplomat juga dituntut untuk dapat menggabungkan praktik diplomasi tradisional dan digital.

Pada era pandemi, pemerintah dapat menjalankan komunikasi dengan publik dengan mengadakan sesi tanya jawab yang bisa dilakukan via aplikasi media sosial seperti Facebook misalnya.

Zoom fatigue menjadi salah satu faktor yang menyadarkan kita bahwa praktik diplomasi digital belum sebaik yang diharapkan dan masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi.

Selain itu, komunikasi dua arah yang diharapkan terjadi dalam diplomasi digital masih belum sepenuhnya terjadi, mengingat masih banyak peluang media komunikasi lain yang bisa digunakan dan dimaksimalkan penggunaannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now