Menu Close
Sepotong daging di atas meja melibatkan proses dan mata rantai yang panjang dari peternakan. Pexels/Terje Sollie

Bagaimana memahami pendekatan One Health dari sepotong steak dan pizza di piring kita?

Pangan bukan sekadar kebutuhan pokok manusia semata. Bagi masyarakat urban, pangan juga terkait dengan aspek sosial dan budaya. Jenis-jenis pangan tertentu menunjukkan status sosial dan menjadi sarana untuk berinteraksi dengan orang lain.

Untuk membuktikan hal ini, mari kita buka sejenak akun sosial media. Foto mengenai makanan selalu terselip dalam lini masa. Foto makanan kini sudah menjadi raja di media sosial, termasuk di akun media sosial milik para selebritas.

Apa yang dimakan, salah satunya, dipengaruhi oleh pendapatan. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki tren peningkatan pendapatan cukup pesat. Dengan pendapatan yang meningkat tersebut, masyarakat cenderung mengubah pola makan dengan menambah jumlah konsumsi daging.

Konsumsi daging secara global akan meningkat sebesar 14% pada 2030 dibanding periode 2018-2020. Artinya, semakin banyak kaum urban Indonesia yang memilih menu steak dan pizza dengan taburan sosis dan peperoni di sebuah restoran. Tentu, foto makanan yang “wah” kerap dibagikan di media sosial sebelum disantap.

Fenomena ini merupakan sinyal positif karena semakin banyak masyarakat memiliki akses untuk mengkonsumsi pangan sumber protein hewani yang berkualitas. Namun, peningkatan konsumsi daging ini memerlukan kewaspadaan pada aspek kesehatan dan lingkungan.

Pada aspek kesehatan, tingginya permintaan terhadap daging perlu diiringi dengan peningkatan standar kualitas kesehatan daging. Daging merupakan bahan pangan yang rentan rusak dan tercemar. Penanganan daging yang kurang baik akan memunculkan penyakit pada manusia, khususnya pada tahap pengolahan dan pemasakan.

Kontaminasi bakteri pada daging menyebabkan orang mengalami diare, tifus, dan penyakit saluran pencernaan lain, seperti yang pernah terjadi di Temanggung dan Tasikmalaya.

Pada aspek lingkungan, kebutuhan yang tinggi terhadap daging menyebabkan perlunya peningkatan populasi ternak, khususnya sapi potong. Sapi merupakan salah satu penghasil gas rumah kaca (GRK), yakni gas yang dapat meningkatkan suhu Bumi. Peningkatan populasi dapat meningkatan emisi GRK.

Antisipasi dampak kesehatan dan lingkungan dari tren tingginya konsumsi daging ini dapat diatasi dengan pendekatan one health, yakni pendekatan kolaboratif untuk memahami risiko terhadap manusia, hewan, dan ekosistem secara keseluruhan. Targetnya adalah tercapai kesehatan yang optimal untuk manusia, hewan, dan lingkungan.

One health untuk meningkatkan keamanan pangan

Pendekatan one health dapat diterapkan pada aspek keamanan pangan dalam produksi daging. Daging telah melalui perjalanan dan proses panjang sebelum tiba di atas piring kita. Bahkan, daging ada yang berasal dari sapi yang dibawa hidup-hidup dari Australia dengan kapal laut.

Semakin panjang perjalanan dan proses makanan dan semakin kompleks proses pengolahan, semakin tinggi tinggi pula risiko keamanan pangan. Apabila risiko ini tidak dimitigasi sedini mungkin, daging bisa berubah dari pangan bergizi menjadi pangan pemicu penyakit untuk manusia. Pada fase distribusi dari Rumah Potong Hewan ke pasar, daging berpotensi tercemar mikroba berbahaya yang dapat memicu penyakit pencernaan pada manusia.

Pendekatan one health perlu diterapkan dalam mata rantai produksi pangan untuk menjamin keamanan pangan. Dalam produksi daging, pendekatan one health perlu dimulai sejak pemeliharaan sapi di peternakan. Aspek kesehatan hewan dan manusia perlu menjadi prioritas dalam proses pemeliharaan.

Sapi harus dijaga tetap sehat dan terlindung dari sumber-sumber penyakit yang berasal dari lingkungan. Pakan harus diberikan secara cukup dan sesuai dengan kebutuhan nutrisinya. Perkandangan dan sanitasi juga harus dijalankan dengan ketat. Hal ini dapat dicapai melalui pelaksanaan biosekuriti di peternakan.

Biosekuriti tidak hanya menjaga ternak tetap sehat, namun melindungi manusia dari penularan penyakit asal hewan (zoonosis). Adanya interaksi antara manusia dan hewan menimbulkan risiko tinggi menyebarnya beberapa patogen dari hewan ke populasi manusia. Dari 1.407 patogen yang menulari manusia, 58% berasal dari hewan.

Kemudian, risiko keamanan pangan juga dapat terjadi pada jalur distribusi, khususnya pada moda transportasi laut dan darat. Proses ini harus dapat dipastikan tidak membuat sapi dalam kondisi stres, kesakitan, dan tersiksa. Prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) perlu menjadi prioritas dalam infrastuktur transportasi.

Setelah sapi dipotong dan menjadi daging, risiko kontaminasi dapat terjadi di tahap distribusi. Cemaran patogen sangat rentan terjadi di ruang terbuka, di moda pengangkutan, dan di pasar-pasar tradisional. Pemahaman produsen, distributor, dan konsumen menjadi sangat penting.

One health untuk menjaga lingkungan

Peternakan sebagai sub-sektor penghasil daging memiliki kontribusi dalam cemaran lingkungan. Proses pemeliharaan ternak perlu meminimalkan potensi cemaran limbah terhadap lingkungan dan mengurangi emisi GRK yang dihasilkan.

Kotoran ternak yang tidak dikelola dengan baik bukan hanya menjadi sumber patogen penyakit, namun juga dapat mencemari lingkungan. Kotoran ternak dapat menurunkan kualitas air sungai dan kondisi tanah. Oleh karena itu, pengolahan kotoran ternak merupakan faktor penting dalam pendekatan one health.

Peternakan juga menjadi target upaya penurunan emisi di banyak negara karena sub-sektor ini memiliki jejak karbon yang tinggi. Di Indonesia, emisi GRK dari peternakan mencapai sekitar 31.800 gigagram (Gg) CO2-e – emisi berbagai jenis gas yang ekuivalen dengan karbondioksida – atau sumber emisi terbesar kedua dari sektor pertanian setelah emisi N2O dari tanah yang diolah (managed soils) sekitar 31.900 Gg CO2-e.

Dari total emisi GRK peternakan, lebih dari separuhnya, 55,24%, berasal dari fermentasi enterik, yaitu fermentasi di pencernaan ternak. Ini merupakan hasil proses fermentasi anaerob yang dikeluarkan melalui sendawa sapi dan kerbau. Artinya, dari satu piring steak yang kita konsumsi, ada emisi GRK yang dihasilkan.

Untuk meminimalkan dampak peternakan terhadap lingkungan, emisi GRK harus dikurangi. Pengurangan emisi melalui pengurangan populasi ternak merupakan hal sulit karena peternakan masih menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Produksi daging melalui budi daya sapi potong 90% persen berasal dari peternakan rakyat. Sehingga, pengurangan populasi ternak berarti pengurangan sumber pendapatan bagi peternak.

Alternatif dalam pengurangan emisi dari peternakan dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi pada sistem budidaya sapi potong di tingkat peternak. Artinya, sistem produksi perlu diarahkan agar ternak bisa semaksimal mungkin mengkonversi pakan menjadi peningkatan berat badan ternak, tidak ada energi dari pakan yang terbuang menjadi emisi GRK.

Dengan pola pemeliharaan yang efisien ini diharapkan produksi daging tetap meningkat tanpa perlu melakukan peningkatan populasi ternak dalam jumlah tinggi. Selain itu, upaya untuk menjaga ternak dalam kondisi sehat dan bebas penyakit juga memiliki kontribusi dalam pengurangan emisi.

Emisi GRK juga bersumber dari kotoran ternak yang tidak diolah. Artinya, pengolahan kotoran ternak, seperti biogas dan kompos, tidak hanya mengurangi emisi GRK, namun dapat pula mengurangi limbah kotoran. Pengolahan kotoran ternak menjadi salah satu bagian penting dari pendekatan one health.

Nyawa dari pendekatan one health adalah kolaborasi. Pelaksanaannya membutuhkan komitmen kuat dari seluruh mata rantai yang terlibat, dari hulu ke hilir. Pengetahuan sumber daya manusia dan infrastruktur juga penting dalam penerapan one health.

Sudah saatnya one health menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Sehingga, masyarakat bisa nyaman mengkonsumsi steak, pizza, dan produk-produk ternak lain tanpa risiko gangguan kesehatan pada manusia, hewan, dan lingkungan.


Artikel ini merupakan salah satu pemenang Kompetisi Menulis dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-5 The Conversation Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now