Menu Close

‘Bapa Gereja’ meninggal 1.500 tahun lalu, tetapi pengaruhnya pada agama Kristen masih kuat hingga kini

Mosaik gelap dan emas menunjukkan lima lelaki berjubah dengan lingkaran cahaya di sekitar kepala mereka.
Mosaik abad ke-11 menunjukkan Epifanius dari Salamis, Klemens dari Roma, Teolog Gregorius, Santo Nikolas Wonderworker, dan Diakon Agung Stefanus. St. Sophia of Kyiv/Wikimedia Commons

Hampir 60 tahun yang lalu, pada Oktober 1962, Paus Yohanes XXIII mengadakan Konsili (musyawarah pemuka gereja Katolik) Vatikan II. Untuk ke-21 kalinya dalam sejarah Gereja Katolik, Paus mengumpulkan para uskup dari berbagai penjuru dunia – yang jumlahnya ribuan – untuk membahas masalah doktrin dan praktik gereja.

Saat ini, Vatikan II dikenang sebagai konsili penting yang telah membentuk kehidupan Katolik di zaman modern. Para pemuka agama Katolik menyetujui dilakukannya reformasi, termasuk memperkuat penggunaan bahasa lokal dalam Misa guna menghidupkan kembali misi gereja di tengah masifnya perubahan kehidupan.

Namun, dalam dokumen resmi konsili, para uskup beberapa kali mengutip beberapa pembimbing rohani yang telah meninggal dunia lebih dari 1.000 tahun sebelumnya: para bapa gereja.

Otoritas rohani dan teologis para bapa diakui tidak hanya oleh umat Katolik, tetapi juga oleh umat Kristen lainnya, termasuk komunitas Ortodoks Timur dan Protestan. Meskipun tidak semua setuju pada daftar para bapa gereja yang sama, para pemimpin Kristen sangat dipengaruhi oleh ajaran para bapa, dari teolog abad pertengahan dan reformis Protestan hingga Paus Fransiskus hari ini.

Walaupun tidak ada perempuan di antara “para bapa” ini, “para Ibu Gurun” – perempuan-perempuan religius yang berpengaruh saat itu – juga meninggalkan jejak mereka.

Bapa rohani

Sebagai akademisi mengenai sejarah awal agama Kristen, saya sering menerima pertanyaan mengenai asal usul konsep bapa gereja.

Dalam agama Kristen, gelar kehormatan “bapa” berasal dari Yunani-Romawi dan gagasan alkitabiah tentang bapa sebagai kepala keluarga. “Pater familias” Romawi bertanggung jawab atas kesejahteraan, pendidikan, dan kepemimpinan keluarga. Dia juga dianggap sebagai pendeta atau perwakilan agama dari rumah tangga.

Dalam Alkitab, Rasul Paulus abad pertama berbicara tentang dirinya sebagai bapa rohani bagi orang Kristen lainnya. Para rasul dan uskup gereja diperlakukan sebagai “bapa” bagi para penganut karena mereka bertanggung jawab untuk berkhotbah, mengajar, dan memimpin ibadah.

Gagasan yang berkembang

Umat Kristen awal mulai menggunakan gelar “bapa” untuk para uskup. Kemudian pada abad kelima, gelar tersebut juga digunakan untuk beberapa imam dan diakon.

Seiring waktu, para teolog mulai merujuk pada kelompok “bapa gereja” tertentu untuk mendukung posisi mereka di tengah perdebatan – dimulai pada abad keempat, dengan uskup Yunani Eusebius, yang menulis sejarah tiga abad pertama gereja Kristen, dan Basilius dari Kaisarea, yang tinggal di daerah yang sekarang disebut Turki. Santo Agustinus – uskup Katolik di Afrika Utara Romawi yang menjadi terkenal karena “Pengakuan”-nya – sering mengutip ajaran para bapa untuk mendukung argumennya dalam perdebatan dengan lawan teologisnya.

Sebuah manuskrip kuno dengan blok skrip kursif dan desain berwarna cerah di bagian atas.
Sebuah halaman dari ‘Surat Eusebius untuk Carpianus’ dalam sebuah manuskrip Armenia abad ke-13. Universal Images Group via Getty Images

Posisi para bapa di gereja disempurnakan pada abad kelima oleh seorang biarawan Galia bernama Vincensius dari Lérins. Tidak semua penulis Kristen kuno memiliki otoritas yang sama, tulisnya, tetapi pandangan para bapa sejati dapat dipercaya karena ajaran mereka konsisten, seolah-olah mereka membentuk dewan guru yang “semuanya menerima, memegang, dan menyerahkan doktrin yang sama.”

Pada era modern, para bapa gereja dibedakan berdasarkan empat kriteria: 1) ajaran teologis ortodoks atau kanan pada poin-poin penting, sesuai dengan doktrin publik gereja; 2) kekudusan hidup mereka; 3) pengakuan gereja terhadap mereka dan pengajaran mereka; dan 4) kekunoan, artinya mereka hidup pada zaman Kristen awal yang berakhir sekitar abad ketujuh atau kedelapan.

Gelar tersebut berbeda dari gelar kehormatan “doktor gereja” untuk guru rohani yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi doktrin Kristen dalam setiap periode sejarah, meskipun ada beberapa teolog memegang kedua gelar tersebut.

Tidak seperti para bapa gereja yang semuanya laki-laki, empat perempuan termasuk di antara para doktor: Teresa dari Avila (atau biasa dikenal sebagai Santa Teresa dari Yesus), seorang mistikus yang terkenal dengan penglihatannya yang melibatkan pengalaman transendensi diri yang mistik; Santa Katarina dari Siena, yang membujuk Paus Gregorius XI untuk mengembalikan kepausan ke Roma dari Avignon; Theresia dari Lisieux, yang dikenal karena “cara sederhana” kekudusannya melalui tindakan kecil yang menunjukkan kasih; dan Hildegardis dari Bingen, seorang biarawati, ilmuwan, dan komposer Jerman abad pertengahan.

Ibu Gurun

Ilmu pengetahuan modern juga telah memperhatikan pengaruh penting perempuan di gereja selama masa bapa gereja.

Misalnya, dua bapa pada abad keempat, Basilius dan Gregorius dari Nyssa, yang bersaudara, menganggap kakak perempuan mereka, Macrina muda (Macrina the Younger), sebagai teolog terbaik di antara mereka. Gregorius menyusun sebuah risalah, “Kehidupan Macrina,” untuk menghormatinya dan menggambarkannya sebagai seorang filsuf sejati. Sebagai seorang “perawan yang dikuduskan” yang menjanjikan hidupnya ke gereja alih-alih menikah dan berkeluarga, Macrina memimpin komunitas religius perempuan dan terkenal karena kekudusan, pengajaran, dan penyembuhannya yang ajaib.

Nenek dari pihak ayah Macrina, Makrina tua (Macrina the Elder), juga merupakan seorang guru dan pemimpin hebat yang menderita penganiayaan karena menjadi seorang Kristen di akhir abad ketiga. Dia bertanggung jawab untuk meneruskan ajaran para teolog ternama, seperti Origenes dari Aleksandria dan “Gregorius Miracle-Worker.”

Selain itu, perempuan menjalankan kepemimpinan dalam gerakan yang berkembang saat itu, yang dikenal sebagai monasticism, mengabdikan hidup sepenuhnya pada pekerjaan spiritual. Selama lima abad pertama Kekristenan, banyak perempuan melarikan diri dari perkotaan ke padang pasir untuk berkomitmen pada kehidupan doa, puasa, dan kebajikan. Dikenal sebagai “Ibu Gurun”, mereka dicari karena kebijaksanaan mereka.

Ikon keagamaan berwarna emas dan hijau menunjukkan seorang lelaki berjubah sedang memberikan Komuni Kudus kepada seorang perempuan berjubah compang-camping.
Perjamuan Kudus Santa Maria dari Mesir, dari Musée des Beaux-Arts de la Ville de Paris, Paris, Prancis. Heritage Images/Hulton Fine Art Collection via Getty Images

Perkataan dan ucapan mereka dikumpulkan dan dilindungi selama berabad-abad. Misalnya, Amma Theodora, seorang ibu rohani dari komunitas perempuan dekat Aleksandria di Mesir, terkenal karena mengatakan bahwa hanya kerendahan hati, bukan praktik pertapaan seperti puasa, yang dapat mengatasi godaan iblis. Demikian pula, “Kehidupan Maria dari Mesir” menggambarkan seorang perempuan rendah hati penuh penyesalan yang tinggal di padang pasir selama 47 tahun. Dia dianggap sebagai model kerendahan hati, dan kisahnya sering diceritakan selama Prapaskah, yaitu periode ketika umat Kristen melakukan praktik pertobatan.

Masa depan para bapa

Hingga saat ini, para pemimpin gereja terus mengandalkan ajaran para bapa sebagai sumber kebijaksanaan yang pasti. Misalnya, Paus Fransiskus sering kali merujuk pada Vinsensius dari Lérins untuk menjelaskan perkembangan doktrin Kristen dari waktu ke waktu yang seperti benih yang berakar dan tumbuh menjadi pohon.

Sejarah telah menunjukkan bahwa umat Kristen sering kali tidak setuju dalam hal doktrin, dan mereka akan selalu berbeda pendapat. Pada saat-saat seperti ini, para pemimpin masa depan dapat memandang para bapa sebagai pembimbing rohani yang teguh.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now