Menu Close
Sebuah poster ditulis oleh kelompok minoritas Kristen di Pakistan untuk menanggapi serangan bom bunuh diri di Sri Lanka. Bilawal Arbab/EPA

Beberapa pelaku bom bunuh diri Sri Lanka adalah orang kaya. Peneliti jelaskan mengapa ini bisa terjadi

Dua dari sembilan pembom gereja di Sri Lanka pada hari Paskah yang menewaskan lebih dari 250 orang adalah putra seorang pedagang rempah yang kaya dan terkenal di negara tersebut.

Mereka berasal dari keluarga yang secara finansial mandiri dan stabil. Salah satu di antaranya pernah belajar teknik kedirgantaraan di Kingston University, Inggris namun tidak selesai dan kemudian ia melanjutkan studinya di Australia.

Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ledakan bom yang terjadi. Beberapa ahli mengaitkqn serangan ini sebagai respons terhadap serangan teroris ekstrem kanan yang terjadi di dalam mesjid di Christchurch, Selandia Baru.


Read more: Analisis ledakan bom Sri Lanka: sejarah kekerasan Sri Lanka dan hubungannya dengan serangan di Christchurch dan ISIS


Tapi apa yang menyebabkan ideologi ISIS menarik anak-anak muda bahkan dari kelompok kelas menengah atas dengan status ekonomi mapan seperti yang terjadi di Sri Lanka?

Penelitian saya dan kolega saya menjelaskan hal ini bisa terjadi karena paham radikalisme memenuhi kebutuhan mereka untuk mencari makna hidup dan proses radikalisasi ini terjadi secara bertahap.

Memahami motif pelaku

Meskipun kelompok terorisme semakin bervariasi dalam strategi dan ideologinya, akan tetapi aspek psikologis para ekstremis memiliki motif yang sama dan melalui tahapan proses yang sama juga.

Tindakan kekerasan yang dilakukan para pelaku ini dilandasi motif untuk mencari makna dalam hidup mereka. Sayangnya, mereka mendapatkannya dengan menjadi bagian dari kelompok tertentu yang melakukan kekerasan.

Pada mulanya, para pelaku yang biasanya masih muda ini merasa gagal dan frustasi. Mereka merasa kehilangan makna diri. Lalu ketika mereka melihat kondisi dunia, di mana umat Islam di berbagai negara mengalami penganiayaan, penyerangan dan penindasan, mereka merasa menemukan misi untuk membela dan menuntut balas. Dengan melakukan aksi membela umat Islam, mereka merasa menemukan makna diri yang hilang tadi.

Agama merupakan sumber narasi yang paling kuat dalam memberikan makna hidup bagi individu. Hal ini dikarenakan agama dapat memenuhi kebutuhan individu untuk memiliki hidup yang berarti sekaligus memberikan jaminan keselamatan bagi kehidupan setelah mati.

Ketika sebuah kelompok radikal yang berlandaskan agama menawarkan solusi bagi mereka yang kehilangan makna dirinya, maka siapapun mereka, baik dari kalangan miskin ataupun kaya, orang berpendidikan tinggi maupun rendah dapat menjadi sasaran. Hal ini disebabkan, ketika seorang individu kehilangan tujuan hidupnya dan bergabung dalam kelompok radikal, maka ia akan cenderung mengadopsi nilai-nilai kelompok tersebut seutuhnya, tanpa adanya alternatif. Hal ini yang menjadikan mereka radikal.

Para pelaku pengeboman di Sri Lanka adalah mereka yang termotivasi untuk mencari jati diri mereka dengan menjadi jihadis dan membela umat Islam. Mereka merasakan kelompok Islam terancam, diserang dan ditindas oleh Barat dan orang-orang Kristen.

Mereka adalah individu yang telah mengadopsi satu tujuan tunggal yaitu penegakan Syariat Islam sebagai satu-satunya hukum di dunia yang diyakini mampu mengatasi berbagai masalah kesewenang-wenangan di dunia saat ini. Mereka meyakini bahwa jihad adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan mereka.

Ideologi mereka diperkuat oleh narasi yang diinduksi oleh para pemimpin kelompok, bahwa jatuhnya korban sipil dalam mencapai tujuan suci tersebut dapat dijustifikasi secara moral. Hal ini disebabkan adanya keyakinan bahwa mereka sedang berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu memperjuangkan tatanan dunia yang lebih baik untuk seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, mereka yang memiliki kehidupan mapan dan terpandang di masyarakat bersedia menjadi martir dalam aksi bom bunuh diri karena mereka bertindak atas dasar nilai ideologi kelompok yang mereka pikir membantu mereka menemukan jati diri mereka.

Serangan lintas negara

Serangan di Sri Lanka sendiri bukanlah hal yang tak terduga. Peneliti senior anti terorisme Bruce Hoffman menjelaskan serangan bom bunuh diri di Sri Lanka adalah hasil proses radikalisasi yang telah berjalan lama menguat melalui kehadiran kelompok National Towheed Jamaat (NTJ), yang merupakan kelompok lokal yang mendukung agenda jihad.

Kehadirannya telah meresahkan komunitas Islam di Sri Lanka yang mayoritas moderat dan mendukung perdamaian. Aktivitas kelompok NTJ mewajibkan anggota kelompoknya hadir di masjid dan memaksa penerapan hukum Islam yang ketat di atas hukum Sri Lanka. Hal ini berhasil meradikalisasi sebagian kecil masyarakat Muslim di Sri Lanka.

Profesor psikologi sosial dari Maryland University, Amerika Serikat yang juga menjadi peneliti terorisme, Arie Kruglanski menambahkan proses radikalisasi di Sri Lanka yang sebelumnya berjalan lambat namun stabil ini mendapatkan momen dengan penetrasi ISIS di Asia Tenggara , menyusul kehancuran daerah basis terlindung ISIS di Suriah.

Meskipun kekuatan ISIS di Suriah telah berhasil dihancurkan namun ideologi ISIS masih bertahan hingga hari ini.

Melalui media online, ideologi ISIS telah disambut oleh anak-anak muda. Anak muda di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia telah menjadi target rekrutmen kelompok ISIS.

Fenomena terorisme yang lintas batas negara ini dijelaskan oleh seorang antropolog dari University of Oxford, Inggris, Scott Atran sebagai hasil propaganda kekerasan dan intimidasi yang ekstrem dan persuasif. Insiden terorisme di Sri Lanka oleh ahli terorisme dijelaskan sebagai hasil menguatnya ideologi ekstrem kanan yang mengadopsi model ISIS.

Siapa saja bisa kena

Saya kembali teringat percakapan bulan April lalu dengan salah seorang terpidana terorisme Bom Bali 12 Oktober 2002, sebut saja UP, yang tengah menjalani hukuman penjara di Porong Sidoarjo, Jawa Timur.

Ia tidak dapat menyembunyikan kekesalannya saat menceritakan bagaimana pihak otoritas meminta pendapatnya terkait kasus pengeboman gereja di Sri Lanka.

“Mengapa saya tidak ditanya tentang pembantaian muslim di masjid di Selandia Baru, namun saya ditanya tentang pemboman gereja di Sri Lanka? di mana empati mereka?”.

Ekspresi UP menguatkan bahwa sentimen agama dapat membangkitkan kemarahan dan solidaritas sesama umat Islam di manapun berada.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now