Menu Close

Beda usia, kelamin, dan pendidikan, beda pula pengetahuan dan perilakunya tentang COVID-19

Seorang perempuan paruh baya memasang masker.
Pedagang memakai masker dari pembagian gratis di Pasar Baru, Desa Wergu, Kudus, Jawa Tengah. Yusuf Nugroho/Antara Foto

Di Indonesia, pandemi COVID-19 telah menyebabkan air bah misinformasi, mulai dari bahaya termometer tembak hingga vaksin menggunakan unsur babi.

Saya dan rekan-rekan dari Universitas Ahmad Dahlan dan Universitas Jenderal Soedirman meneliti pengetahuan, sikap, perilaku dan kebutuhan informasi masyarakat selama pandemi COVID-19 di Indonesia.

Kami menemukan bahwa usia dan latar belakang pendidikan berpengaruh pada pengetahuan masyarakat Indonesia seputar COVID-19. Jenis kelamin dan kepemilikan asuransi kesehatan berhubungan erat dengan perilaku pencegahan penyakit ini. Lebih lanjut, Facebook dan Instagram menjadi andalan masyarakat dalam mencari informasi terkait dengan COVID-19.

Temuan ini penting bagi pemegang kebijakan terkait untuk menentukan prioritas penyediaan informasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Pengetahuan, usia, dan latar belakang pendidikan

Kami mensurvei secara online pada Agustus 2020 dengan responden berusia paling tidak 18 tahun dan tinggal di Indonesia. Kami lalu menganalisis 816 respon valid untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan COVID-19, sumber informasi favorit, dan visualisasi informasi yang lebih disukai masyarakat.

Temuan kami menunjukkan bahwa orang yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki pengetahuan COVID-19 yang lebih baik dibanding dengan kelompok usia lain. Hasil ini senada dengan temuan penelitian di Malaysia.

Hal ini merupakan implikasi bahwa masyarakat yang lebih tua dan mengidap komorbid memiliki risiko lebih tinggi bahkan tertinggi untuk terinfeksi virus corona, sebagaimana yang digarisbawahi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Data juga menunjukkan bahwa 95% kematian karena COVID-19 ditemukan pada kelompok usia ini.

Pemberian informasi yang masif oleh berbagai pihak termasuk pemerintah telah mendorong para lansia sebagai kelompok rentan untuk lebih mengenal penyakit ini. Hal ini dimungkinkan karena mereka ingin melakukan tindakan pencegahan yang tepat sebagai kelompok yang berisiko tinggi.

Pengetahuan yang lebih ini terwujud pula dalam perilaku: perilaku pencegahan masyarakat pada kelompok usia lebih yang tergolong lebih baik dibanding dengan kelompok usia yang lain.

Hasil penelitian kami juga menunjukkan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi atau menempuh pendidikan di universitas memiliki pengetahuan COVID-19 yang lebih baik dibanding dengan kelompok pendidikan yang lain.

Yang menonjol di antara mereka yang berpendidikan tinggi adalah para petugas kesehatan.

Pengetahuan tentang COVID-19 bagi petugas kesehatan tentu menjadi bekal utama dalam menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu, baik secara aktif maupun pasif, mereka mencari informasi untuk memperoleh pengetahuan tentang COVID-19 ini terkait dengan kebutuhan mereka dalam menjalankan tugas.


Read more: Akademisi: pemerintah masih gunakan bahasa langit dalam komunikasi COVID-19


Jenis kelamin, kepemilikan asuransi kesehatan, dan perilaku pencegahan

Dari survei kami, perempuan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki perilaku pencegahan yang baik dibanding laki-laki. Hasil ini konsisten dengan penelitian di Iran.

Perempuan memiliki perilaku pencegahan yang lebih baik karena pada tradisi Indonesia, perempuan harus mengasuh dan merawat anggota keluarga termasuk ketika anggota keluarga terinfeksi COVID-19.

Umumnya perempuan lebih mementingkan individu di sekitarnya dibanding dirinya sendiri. Oleh sebab itu perempuan berfikir keras untuk melindungi orang di sekitarnya tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan mengarahkan keluarga untuk mematuhi protokol kesehatan saat berada di luar rumah secara ketat.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan WHO bahwa pencegahan COVID-19 bergantung pada solidaritas kolektif, dan saling melindungi satu sama lain .

Terkait kepemilikian asuransi, orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan cenderung memiliki tindakan pencegahan yang lebih baik daripada mereka yang memiliki asuransi.

Menjalani hidup tanpa jaminan kesehatan (asuransi) tampaknya menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa mereka harus menghindari jatuh sakit baik karena COVID-19 atau sebab yang lain yang akan berdampak pada membayar biaya pengobatan. Padahal di sisi lain, mereka tidak dapat mencari nafkah atau tidak produktif.

Kepemilikan asuransi kesehatan memang mengubah sikap pencegahan masyarakat tapi sedikit mengubah perilaku kesehatan.

Asuransi kesehatan menawarkan perlindungan yang memadai dalam situasi pandemi yang tidak pasti. Jadi, masyarakat yang tidak terlindungi asuransi kesehatan akan mereka berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan tindakan preventif agar terhindar dari penyakit.

Petugas berdiri menunjukkan poster imbauan pencegahan COVID-19 di tepi jalan.
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) membawa poster imbauan penggunaan masker di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bayu Pratama S/Antara Foto

Read more: Mengapa infodemi COVID-19 begitu cepat menyebar lewat media sosial?


Kebutuhan informasi

Saat ini arus informasi begitu cepat menyebar ke penjuru dunia dan susah dikendalikan. Penyebaran informasi COVID-19 yang tidak benar akan mempengaruhi kepatuhan masyarakat dalam tindakan pencegahan penyakit ini, seperti keengganan masyarakat untuk divaksin karena berbagai isu negatif tentang vaksin COVID-19. Sehingga menyediakan informasi yang kredibel merupakan keharusan bagi otoritas agar program pencegahan berjalan baik.

Responden kami menyebut bahwa Facebook dan Instagram sebagai dua platform yang paling mereka minati. Sementara itu, dari sisi visualisasi data, mereka paling menyukai tabel angka dan peta.

Dengan demikian, kami melihat perlunya pemerintah menyediakan informasi yang terpercaya via kanal resmi pada platform Facebook dan Instagram terutama data-data yang berbentuk tabel atau peta.

Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan Indonesia dan jajarannya, perlu menggencarkan promosi kesehatan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat agar perilaku pencegahan juga lebih baik. Hal ini perlu menyasar kelompok yang tepat, yaitu pada kelompok yang memiliki pengetahuan rendah, sebagai contoh kelompok usia kurang dari 50 tahun dan kelompok dengan pendidikan SMA hingga diploma.

Perlu juga dipertimbangkan sasaran pada kelompok dengan perilaku pencegahan yang masih rendah seperti kelompok laki-laki dan mereka yang memiliki asuransi kesehatan.

Semua orang berpotensi menjadi sumber penular COVID-19, sehingga semua orang perlu melakukan tindakan pencegahan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now