Menu Close

BRIN “cerai” dari Kementerian Riset dan Teknologi: benarkah akan mengakhiri ketidakpastian status dan fungsinya?

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro menggelar rapat kerja dengan Komisi VII DPR Jakarta, 30 Maret 2021. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj

Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atas pengajuan Presiden Joko Widodo untuk memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi menuai kontroversi.

Alih-alih segera menerbitkan dasar hukum pembentukan untuk memastikan BRIN sebagai peleburan atau koordinator lembaga riset, Presiden malah “menceraikan” BRIN dari Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek) dan mengalihkan sebagian kewenangan Kementerian Ristek ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud).

Ini merupakan babak baru setelah lebih dari setahun, BRIN tidak jelas status dan fungsinya.

Merujuk pada konstelasi politik sebelum pemisahan tersebut, pilihan pemerintah sepertinya mengarah kepada opsi BRIN sebagai peleburan lembaga riset dari berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian dan lembaga penelitian dan pengembangan di kementerian.

Keputusan ini dapat menimbulkan konsekuensi serius terhadap implementasi kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia.

Sebuah riset di Korea Selatan menunjukkan transformasi tata kelola dan organisasi urusan iptek, khususnya terkait isu sentralisasi-desentralisasi kewenangan, merupakan sebuah hal yang lazim namun selalu memunculkan masalah baru.

Dua tantangan

Pada awal periode Kabinet Indonesia Kerja, Kementerian Ristek dan BRIN merupakan dua lembaga dalam satu kesatuan seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Pemisahan Kementerian Ristek dan BRIN dan peleburan Kementerian Ristek dalam Kementerian Dibukd ini mengisyaratkan bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Dikbud Ristek) akan berperan sebagai pembuat kebijakan iptek (principal) dan BRIN sebagai instansi pelaksana kebijakan riset (agency).

Salah satu penjelasan atas keputusan Pemerintah ini merujuk pada teori-teori reformasi sektor publik berbasis Manajemen Pemerintahan Baru atau New Public Management (NPM), khususnya aplikasi principal-agent theory.

Secara konsep, hubungan principal-agent bukan hanya menguntungkan kementerian sebagai pembuat kebijakan. Dalam hubungan ini pembuat kebijakan selain dapat mengontrol output kebijakan melalui mekanisme kontrak jangka pendek (dengan hak dan kewajiban lebih jelas dan dapat dievaluasi secara berkala), mereka juga memberikan keleluasan terhadap instansi pelaksana untuk implementasi.

Skenario seperti ini akan memberikan BRIN otonomi dalam menjalankan kegiatan riset dan inovasi. Namun, skenario ini juga berpotensi melahirkan dua tantangan utama dalam implementasi kebijakan iptek nasional.

Pertama, penggabungan Kementerian Ristek ke Kementerian Dikbud menuntut perumusan ulang kebijakan iptek nasional yang kompleks.

Berbeda dengan penggabungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) ke Kementerian Ristek pada awal Kabinet Indonesia Kerja di tahun 2014, penggabungan kali ini melibatkan dua instansi dengan portofolio yang lebih luas yaitu pendidikan dan kebudayaan dengan iptek.

Dengan kondisi tersebut, maka rencana strategis (Renstra) sebagai muara kebijakan kementerian baru ini akan menjadi sangat kompleks. Ketika sebuah kebijakan memiliki cakupan yang terlalu luas dan menginginkan banyak hal, maka bahasa yang digunakan akan cenderung menjadi abstrak dan menimbulkan ambigu sehingga berpotensi menghambat implementasi.

Situasi serupa terjadi pada kebijakan ambisius seperti Merdeka Belajar atau UU Cipta Kerja yang mengundang beragam interpretasi publik sehingga mempengaruhi proses implementasinya.

Kompleksitas juga dapat timbul karena bertambahnya tuntutan keterlibatan aktor yang lebih beragam yang bisa berdampak terhadap kesulitan pemilihan pelaksana.

Misalnya, dalam pelaksanaan Prioritas Riset Nasional (PRN) 2020-2024 akan ada dorongan untuk melibatkan lebih banyak perguruan tinggi yang saat ini masih minim. Praktiknya aktor-aktor riset di PRN didominasi oleh lembaga pemerintahan non-kementerian (LPNK) seperti LIPI dan lembaga penelitian dan pengembangan di berbagai kementerian.

Kompleksitas di atas dapat berpengaruh pada implementasi kebijakan dan program iptek nasional yang sedang berjalan seperti PRN 2020-2024. Salah satu kemungkinannya adalah penambahan riset ilmu sosial terkait budaya atau bahasa. Ini merupakan salah satu misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Rencana Strategis 2020-2024.

Kedua, jika kelak BRIN berdiri sebagai lembaga implementasi yang otonom dan terpisah dari lembaga pembuat kebijakan, maka kondisi ini akan menempatkan BRIN dalam posisi sebagai instansi pelaksana yang memiliki banyak prinsipal.

BRIN sebagai lembaga pelaksana akan bertanggung jawab, minimal kepada Mendikbud-Ristek terkait kebijakan, Kementerian Keuangan dalam kaitan pengelolaan anggaran, dan Bappenas untuk urusan perencanaan.

Kondisi semacam ini dapat berakibat buruk terhadap performa BRIN sebagai lembaga pelaksana kebijakan iptek.

Sebuah riset dari Radboud University menunjukkan bahwa dampak adanya banyak pembuat kebijakan untuk satu lembaga implementasi kebijakan adalah lahirnya banyak masalah. Seperti terjadi duplikasi kegiatan pemantauan, permasalahan koordinasi antar-pembuat kebijakan, dan inefisiensi.

Kondisi serupa terjadi dengan National Science and Technology Council (NSTC) di Korea Selatan pada awal pendiriannya yang dianggap tidak efisien dan mengalami masalah koordinasi karena berada pelaksanaan fungsinya terkait dengan beberapa kementerian.

Jika hal ini yang terjadi, maka tujuan utama dari hubungan kontraktual principal-agent untuk mendorong pencapaian output yang lebih optimal akan terancam gagal. Sebab, BRIN akan menghabiskan lebih banyak waktu memenuhi permintaan dan tuntutan dari kementerian pembuat kebijakan, dibanding melaksanakan kegiatan utamanya yaitu penelitian dan pengembangan.

Peran pemerintah dalam iptek

Pembentukan BRIN sejak awal memang melalui jalan yang terjal.

Salah satu isu besar adalah terkait fungsi dan tata kelola lembaga tersebut.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan BRIN dibentuk untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

BRIN dianggap sebagai solusi untuk masalah koordinasi pelaksanaan penelitian dan optimalisasi dana penelitian dan pengembangan iptek di Indonesia yang terbatas dan tersebar di berbagai lembaga.

Namun demikian, dalam perjalanannya terdapat berbagai interpretasi mengenai fungsi dan tata kelola BRIN.

Kini terlepas dari kuatnya nuansa politis di balik keputusan pemisahan yang berlangsung sangat cepat dan minim konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, ada pakar kebijakan publik yang menyatakan pemisahan Kemenristek dan BRIN ini merupakan hal yang lazim. Keputusan ini dianggap sebagai salah satu hal lumrah dalam transformasi tata kelola sektor publik melalui otonomisasi dan pemisahan fungsi pembuatan kebijakan dan implementasi di bidang iptek.

Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan iptek dianggap sebuah keniscayaan di tengah menguatnya narasi ekonomi berbasis pengetahuan. Pengetahuan dianggap memiliki peran penting dalam penciptaan nilai tambah melalui inovasi, hak cipta dan paten, yang berguna dalam mendongkrak nilai ekonomi sebuah produk dan mendorong produktivitas.

Oleh karena itu, negara-negara di dunia berlomba-lomba berinvestasi di bidang iptek dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing dengan negara lain.

Di sisi lain, reformasi di sektor publik juga mendorong pembentukan unit-unit kerja yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Salah satunya adalah memisahkan unit yang menghasilkan jasa dan layanan publik (pelaksana) dari unit pembuat kebijakan (regulator).

Model tata kelola desentralisasi ini mendorong pemerintah menggunakan mekanisme kontrak jangka pendek (short-term contracting) yang memudahkan pemerintah dalam mengarahkan instansi pelaksana kebijakan agar menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan yang diinginkan. Hal serupa sudah dilakukan dalam tata kelola dana penelitian perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN-BH).

Konsep inilah yang tampaknya diinginkan untuk diterapkan di BRIN.

Kini jika kita memaknai kebijakan publik sebagai ide baru yang didasari pada kontestasi narasi dan dihasilkan melalui proses persuasi, maka langkah yang dilakukan pemerintah memisahkan Kemenristek-BRIN merupakan suatu hal yang lumrah. Ini hal biasa dalam dinamika politik dan kebijakan publik.

Hal yang perlu kita kawal adalah memastikan proses integrasi Kemenristek dan Kemendikbud dapat terakomodasi dalam sebuah Renstra yang komprehensif dan mudah dipahami.

Selain itu, para pembuat kebijakan terkait harus memastikan bahwa kebijakan-kebijakan iptek di Renstra Kemendikbud-Ristek bukan hanya terlihat visioner di atas kertas namun juga memungkinkan BRIN mudah melaksanakannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now