Pada Januari lalu, derasnya hujan di kawasan Kaldera Tengger (dikenal dengan kawasan wisata Bromo), Jawa Timur, memicu banjir di permukaan hingga membentuk seperti aliran sungai besar. Kejadian ini kemudian menghambat lalu-lintas warga maupun wisatawan.
Banjir bukan pertama kali terjadi. Lima tahun lalu, kawasan wisata Bromo mengalami kejadian serupa. Bahkan, menurut warga setempat, banjir di kawasan yang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) ini sudah terjadi sejak 2011.
Tanah di kawasan wisata Bromo sebagian besar terdiri atas pasir vulkanis yang sebetulnya mudah menyerap air dan menjadi kawasan resapan air hujan. Namun, ada dugaan bahwa kaki-kaki wisatawan maupun kendaraan yang setiap hari melintas membuat pasir tersebut menjadi padat.
Riset kami yang bekerja sama dengan pengelola TNBTS pada 2017-2018 memperkuat dugaan tersebut. Kawasan wisata Bromo mengalami pemadatan tanah akibat pijakan manusia, hewan, maupun kendaraan bermotor, di lokasi atau jalur-jalur ilegal (di luar jalur ‘resmi’ yang ditetapkan oleh pengelola taman nasional).
Terbentuknya jaringan jalur-jalur ilegal dengan karakteristik tanah yang padat tidak hanya menyebabkan hilangnya vegetasi dipermukaan tanah. Ini juga berefek pada berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air. Dampaknya, terjadi peningkatan limpasan air permukaan dan banjir yang semakin sering terjadi di kawasan Bromo.
Area terdampak
Riset kami membagi kawasan wisata Kaldera Tengger ini menjadi lima titik panas, yaitu:
1) Area jalur masuk dekat Wonokitri sebelah utara Gunung Bromo 2) Area parkir kendaraan dekat Pura 3) Area sebelum tangga kawah Gunung Bromo 4) Area Pasir berbisik sebelah barat Gunung Bromo 5) Area Bukit Teletubbies sebelah selatan Gunung Bromo.
Kami membagi masing-masing area hotspots menjadi tiga zona berdasarkan intensitas aktivitas/gangguan, yaitu: zona 1 (kondisi alami/tidak terganggu), zona 2 (intensitas sedang-rendah), dan zona 3 (intensitas tinggi).
Kami menemukan bahwa area dengan tingkat gangguan yang lebih tinggi (Zona 2 dan 3), khususnya di area sensitif seperti jalur masuk Wonokitri dan area savana Bukit Teletubbies, memiliki tanah yang lebih padat dibandingkan dengan area yang kurang terganggu. Hal ini terlihat dari peningkatan resistensi penetrasi tanah, terutama pada 40 cm pertama kedalaman tanah.
Secara sederhana, resistensi penetrasi tanah dapat diartikan sebagai tingkat mudah atau sulitnya suatu benda dapat menembus tanah. Ini menunjukkan kepadatan atau kekerasan tanah tersebut.
Semakin padat suatu tanah, kemampuannya menyerap air semakin rendah. Ini menyebabkan air langsung terlimpas ke permukaan dan dapat memicu banjir.
Di area savana Bukit Teletubbies, laju resapan air pada area dengan intensitas gangguan tinggi (zona 3) mencapai 25 kali lebih lambat dibandingkan dengan kondisi alami tanpa gangguan (zona 1).
Sayangnya, hingga saat ini belum ada penelitian kuantitatif tentang luas wilayah di kawasan Bromo yang mengalami pemadatan tanah.
Sementara itu, di area lain seperti Pasir Berbisik dan parkir kendaraan dekat pura, lambatnya penyerapan air lebih terkait dengan lapisan tanahnya yang mengeras (cemented layer). Lapisan ini terbentuk penumpukan material vulkanik seperti pasir dan abu, belerang, dan air, bukan karena pijakan manusia ataupun kendaraan.
Apakah bisa pulih?
Pemadatan tanah di kawasan Bromo sebenarnya bisa pulih secara alami dengan membiarkan akar vegetasi dan hewan-hewan tanah membentuk lubang pori dan menggemburkan tanah.
Namun, pemulihan ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebuah riset di Gurun Mojave menunjukkan bahwa secara alami, pemulihan tanah yang memadat membutuhkan waktu sekitar 70-124 tahun. Pemulihan ini pun baru bisa optimal jika suatu area tidak terganggu oleh pijakan kaki maupun gilasan roda kendaraan.
Selain cara alami, tanah juga dapat kita pulihkan melalui cara mekanis dengan secara langsung memecah lapisan-lapisan tanah permukaan yang keras. Ini mempercepat peresapan air hujan ke dalam tanah. Namun, pendekatan ini membutuhkan kerja keras dari pengelola.
Menyeimbangkan pariwisata dan konservasi
Untuk mencegah pemadatan tanah dan kerusakan lainnya, pengelola taman nasional sebenarnya telah membatasi akses pengunjung ke area-area yang sensitif terhadap gangguan seperti di Bukit Teletubbies. Pihak pengelola juga telah menerapkan sistem kuota pengunjung seperti yang diberlakukan untuk jalur pendakian Gunung Semeru.
Namun, usaha pembatasan hanya berdasarkan kuota ini sepertinya belum cukup. Pengelola dapat menetapkan jalur wisata yang jelas dan mendorong pengunjung untuk tetap berada di jalur-jalur tersebut untuk mengurangi gangguan pada tanah. Penegakan aturan dan sanksi tegas terhadap pengunjung yang keluar dari jalur ‘resmi’ ini patut diperhitungkan.
Upaya preventif seperti perbaikan dan pembangunan pagar dua sisi di sepanjang jalur juga penting untuk mencegah wisatawan masuk ke kawasan terlarang (terutama di area-area yang sensitif). Infrastruktur yang bagus dapat mengatur aliran pengunjung sehingga dapat mengurangi dampak buruk aktivitas wisata.
Hal yang tak kalah penting adalah komunikasi risiko lingkungan di Bromo kepada wisatawan dan pemangku kepentingan lokal seperti pemandu wisata, pemilik jasa angkutan, maupun pemilik penginapan. Seluruh pihak patut menyadari bahwa aktivitas mereka dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan kawasan Bromo.
Kolaborasi pengelola taman nasional juga komunitas lokal sangat penting untuk menerapkan strategi penyeimbangan aktivitas wisata dan konservasi ini. Komunitas lokal, yang sebagian besar bergantung pada pariwisata untuk mata pencaharian mereka, perlu menjadi bagian integral dari percakapan konservasi.
Dengan menyelaraskan kepentingan komunitas dengan tujuan lingkungan, upaya edukasi terus menerus, dan praktik manajemen yang lebih baik, sangat dimungkinkan untuk menciptakan praktik pariwisata berkelanjutan yang menguntungkan semua pihak.