tag:theconversation.com,2011:/ca-fr/topics/big-data-42059/articlesBig Data – La Conversation2023-07-25T00:46:48Ztag:theconversation.com,2011:article/2098222023-07-25T00:46:48Z2023-07-25T00:46:48ZChatGPT merupakan mimpi buruk bagi privasi data. Jika pernah memposting secara online, sepertinya perlu khawatir<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/537522/original/file-20230714-29-wdqkk2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>ChatGPT telah menggemparkan dunia. Dalam waktu dua bulan setelah dirilis, aplikasi ini telah mencapai 100 juta <a href="https://news.yahoo.com/chatgpt-100-million-users-january-130619073.html">pengguna aktif</a>, menjadikannya <a href="https://www.reuters.com/technology/chatgpt-sets-record-fastest-growing-user-base-analyst-note-2023-02-01/">aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat</a> yang pernah diluncurkan.</p>
<p>Para pengguna tertarik dengan <a href="https://oneusefulthing.substack.com/p/chatgtp-is-my-co-founder">kemampuan canggih</a> alat ini - dan khawatir dengan potensinya yang dapat menyebabkan gangguan di <a href="https://theconversation.com/chatgpt-students-could-use-ai-to-cheat-but-its-a-chance-to-rethink-assessment-altogether-198019">berbagai sektor</a>.</p>
<p>Implikasi yang jarang dibicarakan adalah risiko privasi yang ditimbulkan oleh ChatGPT pada kita semua. Baru-baru ini, <a href="https://blog.google/technology/ai/bard-google-ai-search-updates/">Google meluncurkan</a> AI (<em>artificial intelligence</em>) percakapannya sendiri yang disebut <em><a href="https://bard.google.com/">Bard</a></em>, dan yang lainnya pasti akan menyusul. Perusahaan-perusahaan teknologi yang bekerja pada AI telah memasuki perlombaan superioritas ini.</p>
<p>Masalahnya, hal ini didorong oleh data pribadi kita.</p>
<h2>300 miliar kata. Berapa banyak yang milik kamu?</h2>
<p>ChatGPT didukung oleh model bahasa besar yang membutuhkan data dalam jumlah besar agar dapat berfungsi dan berkembang. Semakin banyak data yang dilatih, semakin baik model ini dalam mendeteksi pola, mengantisipasi apa yang akan terjadi selanjutnya, dan menghasilkan teks yang masuk akal.</p>
<p>OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, memberi alat ini sekitar <a href="https://www.sciencefocus.com/future-technology/gpt-3/">300 miliar kata</a> yang diambil secara sistematis dari internet: buku, artikel, situs web, dan postingan - termasuk informasi pribadi yang diperoleh tanpa persetujuan.</p>
<p>Jika kamu pernah menulis postingan di suatu blog atau ulasan produk, atau mengomentari sebuah artikel secara daring, ada kemungkinan besar informasi ini dikonsumsi oleh ChatGPT.</p>
<h2>Jadi, mengapa hal itu menjadi masalah?</h2>
<p>Pengumpulan data yang digunakan untuk melatih ChatGPT bermasalah karena beberapa alasan.</p>
<p>Pertama, tidak ada satu pun dari kita yang ditanya apakah OpenAI dapat menggunakan data kita. Ini jelas merupakan pelanggaran privasi, terutama ketika data tersebut bersifat sensitif dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi kita, anggota keluarga kita, atau lokasi kita.</p>
<p>Bahkan ketika data tersedia untuk umum, penggunaannya dapat melanggar apa yang kita sebut <a href="https://digitalcommons.law.uw.edu/wlr/vol79/iss1/10/">integritas kontekstual</a>. Ini adalah prinsip dasar dalam diskusi hukum tentang privasi. Prinsip ini mensyaratkan bahwa informasi individu tidak boleh diungkapkan di luar dari konteks penggunaan informasi tersebut.</p>
<p>Selain itu, OpenAI tidak menawarkan prosedur bagi individu untuk memeriksa apakah perusahaan menyimpan informasi pribadi mereka, atau untuk memintanya dihapus. Ini adalah hak yang dijamin sesuai dengan Peraturan Perlindungan Data Umum Eropa (<a href="https://gdpr-info.eu/art-17-gdpr/">GDPR</a>) - meskipun masih dalam perdebatan apakah ChatGPT mematuhi <a href="https://blog.avast.com/chatgpt-data-use-legal">persyaratan GDPR</a>.</p>
<p>“Hak untuk dilupakan” ini sangat penting terutama dalam kasus-kasus yang informasinya tidak akurat atau menyesatkan, yang tampaknya <a href="https://www.fastcompany.com/90833017/openai-chatgpt-accuracy-gpt-4">sering terjadi</a> pada ChatGPT.</p>
<p>Selain itu, data hasil pencarian ini yang digunakan ChatGPT bisa jadi merupakan hak milik atau hak cipta. Misalnya, ketika saya memintanya, alat ini menghasilkan beberapa bagian pertama dari buku Joseph Heller, <em><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Catch-22">Catch-22</a></em> - sebuah teks yang dilindungi hak cipta.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="ChatGPT" src="https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=263&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=263&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=263&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=330&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=330&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/509380/original/file-20230210-22-ylxsyx.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=330&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">ChatGPT tidak selalu mempertimbangkan perlindungan hak cipta ketika menghasilkan <em>output</em>.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akhirnya, OpenAI tidak membayar data yang diambilnya dari internet. Individu, pemilik situs web, dan perusahaan yang memproduksinya tidak diberi kompensasi. Hal ini sangat penting mengingat OpenAI baru-baru ini <a href="https://www.nasdaq.com/articles/microsofts-%2410-billion-investment-in-openai%3A-how-it-could-impact-the-ai-industry-and-stock">dihargai sebesar US$29 miliar (Rp 433 triliun)</a>, lebih dari dua kali lipat <a href="https://www.forbes.com/sites/nicholasreimann/2023/01/05/chatgpt-creator-openai-discussing-offer-valuing-company-at-29-billion-report-says/?sh=f2ca73b11e04">nilainya pada 2021</a>.</p>
<p>OpenAI juga baru saja <a href="https://openai.com/blog/chatgpt-plus/">mengumumkan ChatGPT Plus</a>, suatu paket langganan berbayar yang akan menawarkan pelanggan akses berkelanjut, waktu respons yang lebih cepat, dan akses prioritas ke fitur-fitur baru. Paket ini akan berkontribusi pada <a href="https://www.reuters.com/business/chatgpt-owner-openai-projects-1-billion-revenue-by-2024-sources-2022-12-15/">pendapatan yang diharapkan sebesar $1 miliar (Rp 15 triliun) pada 2024</a>.</p>
<p>Semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa data - data kita - yang dikumpulkan dan digunakan tanpa izin dari kita.</p>
<h2>Kebijakan privasi yang lemah</h2>
<p>Risiko privasi lainnya melibatkan data yang diberikan kepada ChatGPT dalam bentuk pertanyaan pengguna. Ketika kita meminta alat ini untuk menjawab pertanyaan atau melakukan tugas, kita mungkin secara tidak sengaja menyerahkan <a href="https://www.forbes.com/sites/lanceeliot/2023/01/27/generative-ai-chatgpt-can-disturbingly-gobble-up-your-private-and-confidential-data-forewarns-ai-ethics-and-ai-law/?sh=5d7dd7ce7fdb">informasi sensitif</a> dan meletakkannya di domain publik.</p>
<p>Misalnya, seorang pengacara mungkin meminta alat ini untuk meninjau draf perjanjian perceraian, atau seorang programmer mungkin memintanya untuk memeriksa sebuah kode. Perjanjian dan kode, selain esai yang dihasilkan, sekarang menjadi bagian dari basis data ChatGPT. Ini berarti mereka dapat digunakan untuk melatih alat ini lebih lanjut, dan disertakan dalam tanggapan terhadap permintaan orang lain.</p>
<p>Selain itu, OpenAI mengumpulkan cakupan yang luas dari informasi pengguna lainnya. Menurut <a href="https://openai.com/privacy/">kebijakan privasi</a> perusahaan OpenAI, mereka mengumpulkan alamat IP (Internet Protocol) pengguna, jenis dan pengaturan <em>browser</em>, dan data interaksi pengguna dengan situs - termasuk jenis konten yang digunakan pengguna, fitur-fitur yang mereka gunakan, dan tindakan yang mereka lakukan.</p>
<p>OpenAI juga mengumpulkan informasi tentang aktivitas penjelajahan pengguna dari waktu ke waktu dan di seluruh situs web. Yang mengkhawatirkan, OpenAI menyatakan dapat <a href="https://openai.com/privacy/">membagikan informasi pribadi pengguna</a> dengan pihak ketiga yang tidak ditentukan, tanpa memberi tahu mereka, untuk memenuhi tujuan bisnis mereka.</p>
<h2>Saatnya untuk mengendalikannya?</h2>
<p>Beberapa ahli percaya bahwa ChatGPT <a href="https://hbr.org/2022/12/chatgpt-is-a-tipping-point-for-ai">merupakan titik kritis bagi AI</a> - sebuah realisasi perkembangan teknologi yang dapat merevolusi cara kita bekerja, belajar, menulis, dan bahkan berpikir. Terlepas dari potensi manfaatnya, kita harus ingat bahwa OpenAI adalah perusahaan swasta pencari laba yang kepentingan dan kepentingan komersialnya tidak selalu selaras dengan kebutuhan masyarakat yang lebih besar.</p>
<p>Risiko privasi yang melekat pada ChatGPT seharusnya menjadi peringatan. Dan sebagai konsumen dari teknologi AI yang semakin banyak, kita harus sangat berhati-hati tentang informasi apa yang kita bagikan dengan alat tersebut.</p>
<p><em>The Conversation telah menghubungi OpenAI untuk meminta komentar, tetapi mereka tidak merespons hingga batas waktu yang ditentukan.</em></p>
<hr>
<p><em>Koreksi: sehubungan dengan potensi ChatGPT untuk menghasilkan teks berhak cipta, artikel ini sebelumnya merujuk pada novel Peter Carey, True History of the Kelly Gang, dengan tangkapan layar ChatGPT yang bukan merupakan kutipan aktual dari buku tersebut. Ini telah diubah menjadi contoh akurat yang merujuk pada buku Joseph Heller, Catch-22.</em></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209822/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Uri Gal tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>ChatGPT dilatih dengan 300 miliar kata data pengguna, namun pengguna tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah data mereka digunakan atau tidak.Uri Gal, Professor in Business Information Systems, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2031682023-04-04T02:33:33Z2023-04-04T02:33:33ZDampak lingkungan ‘data center’ tak bisa diremehkan, solusinya tak cukup dengan efisiensi energi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/518993/original/file-20230403-22-14bsg4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Ada 215 juta <a href="https://dataindonesia.id/digital/detail/apjii-pengguna-internet-indonesia-21563-juta-pada-20222023">pengguna internet di Indonesia</a> pada 2022. Mereka rata-rata <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2022/05/31/103951971/berapa-lama-orang-indonesia-menggunakan-internet-setiap-hari?page=all">menghabiskan waktu delapan jam dalam sehari</a> di ruang <em>online</em>.</p>
<p>Aktivitas ini mencakup kegiatan minim data seperti akses aplikasi online dan mengirim email, hingga pemakaian yang intens seperti <em>streaming</em> video ataupun pengolahan <em>big data</em>. </p>
<p>Data dan internet memang memudahkan kehidupan kita, tapi dampak lingkungannya kerap diabaikan. Penyimpanan dan pemrosesan informasi digital sebenarnya tak tersimpan di ‘awan’ atau <em>cloud</em>, melainkan di fasilitas raksasa bernama pusat data (<em>data centre</em>) yang rakus energi dan air.</p>
<p>Kehidupan manusia yang kian bergantung pada data membuat kebutuhan pusat data terus naik.</p>
<p>Ada sekitar <a href="https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2023/02/dukung-pengembangan-data-pln-siap-pasok-kebutuhan-listrik-ebt-ke-pusat-data-di-seluruh-indonesia">94 pusat data di Indonesia dengan kapasitas listrik hingga 727,1 megawatt (MW)</a>. Sebagian di antaranya milik raksasa teknologi seperti Alibaba dari Cina, ataupun Google Cloud dari Amerika Serikat. Ada juga fasilitas punya perusahaan pelat merah, PT Telkom Indonesia.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, pusat data ‘kecil’ berkapasitas 1 MW saja membutuhkan energi setara dengan listrik untuk seribu rumah. Fasilitas ini juga <a href="https://theconversation.com/we-are-ignoring-the-true-cost-of-water-guzzling-data-centres-167750">membutuhkan 26 juta liter air setahun–</a>untuk mendinginkan mesin-mesin yang mudah panas.</p>
<p>Di Indonesia, pesatnya aktivitas digital bisa mendongkrak pertumbuhan pusat data hingga <a href="https://industri.kontan.co.id/news/menakar-prospek-bisnis-data-center-di-indonesia">20% setiap tahun</a>. Untuk mengantisipasi angka tersebut, pemerintah merencanakan pembangunan <a href="https://web.pln.co.id/media/siaran-pers/2023/02/dukung-pengembangan-data-pln-siap-pasok-kebutuhan-listrik-ebt-ke-pusat-data-di-seluruh-indonesia">empat Pusat Data Nasional masing-masing berkapasitas 40 MW pada 2026</a>.</p>
<p>Jakarta pun menjadi salah satu kota dengan <a href="https://app.dcbyte.com/knight-frank-data-centres-report/Q3-2022">pertumbuhan pusat data tercepat</a> di Asia Pasifik. Posisinya kedua tercepat setelah Melbourne, Australia.</p>
<p>Pertumbuhan pusat data di Indonesia juga dapat menjadi lebih laju dikarenakan Singapura, sebagai <a href="https://www.straitstimes.com/business/companies-markets/singapore-to-be-more-selective-of-data-centre-investments-for-sustainable-growth">pasar data center terbesar di Asia Tenggara</a>, saat ini membatasi pembangunan pusat baru karena pertimbangan kelestarian bumi.</p>
<p>Mengingat pesatnya tren ini, penting bagi Indonesia untuk menerapkan praktik pusat data berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungannya. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.</p>
<h2>Operasional yang transparan dan efisien</h2>
<p>Pemerintah dan industri harus merumuskan rencana operasional <em>data center</em> yang ramah lingkungan, berikut mekanisme pelaporannya. Ini dibutuhkan agar maraknya pusat data tak membawa mudarat lanjutan bagi lingkungan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="(Google)" src="https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518388/original/file-20230330-600-i75ehz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gumpalan uap air naik di atas menara pendingin di pusat data Google The Dalles di Oregon, AS.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Saat ini, pemerintah hanya mewajibkan <a href="https://jdih.esdm.go.id/peraturan/PP%20No.%2070%20Thn%202009.pdf">pelaporan pemakaian energi</a> bagi pengguna yang menghabiskan listrik di atas 70 gigawatt jam (GWH) setiap tahun. </p>
<p>Namun, sejauh ini <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/236621/ino-data-center-market.pdf">tidak ada <em>data centre manapun</em></a> yang menggunakan energi sebesar itu. Pusat data berskala besar <em>hyperscale</em> saja hanya memakan energi sekitar <a href="https://datacentremagazine.com/articles/efficiency-to-loom-large-for-data-centre-industry-in-2023">20-50 MWH saban tahun</a>. Angka itu jauh dari batasan 70 GWH versi pemerintah.</p>
<p>Batasan yang kelewat tinggi tersebut membuat kita tidak bisa mengetahui berapa sebenarnya pemakaian energi <em>data centre</em> di Indonesia. Padahal, kita membutuhkan transparansi dalam pemakaian energi <em>data centre</em>. </p>
<p>Pemerintah dapat membuat mekanisme khusus supaya para pengelola dapat melaporkan konsumsi energinya secara berkala–paling tidak setiap tahun. Laporan semestinya juga bisa diakses publik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dark-data-semakin-menyiksa-bumi-kita-membutuhkan-dekarbonisasi-digital-197282">'Dark data' semakin menyiksa bumi, kita membutuhkan dekarbonisasi digital</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pemerintah juga perlu mewajibkan pengelolaan pusat data yang efisien dan hemat energi.</p>
<p>Di Singapura, misalnya, <a href="https://www.straitstimes.com/tech/singapore-pilots-new-scheme-to-grow-data-centre-capacity-with-green-targets"><em>data centre</em></a> wajib memenuhi rasio Power Usage Effectiveness (PUE) hingga 1,3. Rasio PUE 1 menjadi yang patokan efisiensi energi yang ideal.</p>
<p>Kewajiban tersebut akhirnya memaksa operator untuk mendesain dan mengelola <em>data centre</em> seefisien mungkin. Langkah ini dapat dimulai dengan pemakaian peralatan hemat energi sehingga konsumsi listrik maupun biaya operasional bisa ditekan. </p>
<p>Pemerintah juga harus mendukung pengelola <em>data centre</em> memakai energi dari sumber-sumber yang ramah lingkungan. Saat ini, baru beberapa <em>data centre</em> di Indonesia yang memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan (REC). Sertifikat yang diterbitkan PT PLN ini menjadi bukti suatu pelanggan menggunakan energi terbarukan untuk fasilitas mereka.</p>
<p>Pemakaian sertifikat ini dapat diperluas ke berbagai pelanggan. Jika perlu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi pengelola <em>data centre</em> yang menggunakan energi terbarukan.</p>
<p>Di Eropa, sejumlah grup pengelola <em>data centre</em> seperti Amazon dan Google bahkan berkomitmen menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi <a href="https://www.climateneutraldatacentre.net/wp-content/uploads/2021/06/CNDCP-Policy-Paper_FINAL.pdf">70% kebutuhan listrik mereka pada 2025 dan 100% pada 2030.</a>.</p>
<h2>Mengubah perilaku digital juga penting</h2>
<p>Meski penting, upaya memastikan pengelolaan <em>data centre</em> yang hemat energi baru menyelesaikan separuh masalah. Emisi gas rumah kaca dari aktivitas ini bukanlah satu-satunya sumber perkara.</p>
<p>Kita juga harus memperhitungkan dampak lingkungan yang lebih sulit diukur dari penggunaan data digital. </p>
<p>Misalnya, masalah lingkungan yang terjadi akibat peningkatan konsumerisme karena <em>big data</em> dan algoritma yang semakin mampu membanjiri pengguna internet dengan iklan yang ‘tepat’. Algoritma data juga semakin efisien untuk membuat masyarakat kian bergantung pada media sosial ataupun platform <em>e-commerce</em> (lokapasar).</p>
<p>Pusat data yang efisien juga bisa memicu <a href="https://www.oecd-forum.org/posts/the-jevons-paradox-and-rebound-effect-are-we-implementing-the-right-energy-and-climate-change-policies">“Jevons Paradox”</a>. Artinya, operasi yang efisien justru mendongkrak pertumbuhan data center, hingga berujung pada penggunaan sumber daya yang lebih banyak dalam jangka panjang.</p>
<p>Inovasi teknologi dan efisiensi memang tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk pembangunan berkelanjutan dalam ekonomi digital. Keduanya harus disokong dengan penyesuaian perilaku masyarakat di ranah digital secara terus menerus. Langkah penting yang bisa dilakukan adalah edukasi masyarakat bahwa aktivitas mereka di ranah daring mempunyai konsekuensi yang nyata pada lingkungan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203168/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tiola Allain tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pusat data ‘kecil’ berkapasitas 1 MW membutuhkan energi setara dengan listrik untuk seribu rumah. Fasilitas ini juga membutuhkan 26 juta liter air setahun untuk mendinginkan mesin yang mudah panas.Tiola Allain, Researcher, Center for Indonesian Policy StudiesLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1958292022-12-06T08:08:20Z2022-12-06T08:08:20ZYang hilang jika Twitter bubar: testimoni saksi mata yang berharga hingga data mentah perilaku manusia, maupun wadah bagi akun-akun ‘troll’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499212/original/file-20221206-19-8o2ip2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Twitter menghasilkan banyak data yang tidak tersedia di tempat lain.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/the-twitter-logo-is-seen-in-this-photo-illustration-in-news-photo/1244760225">STR/NurPhoto via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Apa kesamaan antara peneliti keamanan siber yang membangun sistem <a href="https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/7752338">deteksi kerentanan dan ancaman digital</a>, pengamat yang <a href="https://www.wired.com/story/california-fire-twitter/">melacak persebaran kebakaran hutan</a>, serta tenaga kesehatan profesional yang berupaya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5308155/">memprediksi angka pendaftaran asuransi kesehatan</a>?</p>
<p>Ketiganya mengandalkan data dari Twitter.</p>
<p>Twitter adalah layanan ‘mikroblog’. Artinya, ia didesain untuk membagikan unggahan berisi teks, audio, dan klip video yang pendek-pendek. Kemudahan berbagi informasi dengan jutaan orang lain di seluruh dunia membuat Twitter sangat populer untuk percakapan langsung (<em>real-time</em>).</p>
<p>Entah itu individu yang mencuit tentang tim olahraga favoritnya, ataupun organisasi dan figur publik yang memakai Twitter untuk meraih audiens yang lebih luas, platform ini telah berkembang menjadi bagian dari catatan kolektif manusia selama satu dekade lebih.</p>
<p>Arsip Twitter memberikan kita <a href="https://blog.twitter.com/en_us/a/2015/full-archive-search-api">akses lengkap dan instan</a> untuk setiap cuitan publik. Ini memposisikan Twitter tak hanya sebagai arsip perilaku manusia secara kolektif tapi juga layanan pengecekan fakta dan kredensial di tingkat global.</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=JpFHYKcAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari media sosial</a>, saya percaya bahwa fungsi-fungsi ini sangat berharga bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan siapa pun yang memakai data agregat untuk mendapat wawasan tentang perilaku manusia.</p>
<p>Menjamurnya modus <a href="https://www.wired.com/story/twitter-blue-check-verification-buy-scams/">penipuan dan peniruan</a> merek (<em>brand impersonation</em>) atau perusahaan, <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/11/14/twitter-fake-eli-lilly/">hengkangnya banyak pengiklan</a>, hingga <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/17/technology/twitter-elon-musk-ftc.html">kekacauan di internal perusahaan</a> membuat banyak orang <a href="https://mashable.com/article/elon-musk-twitter-future">mempertanyakan masa depan</a> platform tersebut. Jika Twitter bangkrut, kehilangan yang ditimbulkan akan sangat terasa di seluruh dunia.</p>
<h2>Analisis perilaku manusia</h2>
<p>Dengan koleksi cuitannya yang luar biasa besar, Twitter menyajikan cara-cara baru untuk mengukur diskursus publik secara kuantitatif, alat-alat baru untuk memetakan persepsi publik, serta menawarkan jendela untuk memahami perilaku manusia secara makro.</p>
<p><a href="https://library.oapen.org/viewer/web/viewer.html?file=/bitstream/handle/20.500.12657/51412/9781003024583_10.4324_9781003024583-8.pdf">Jejak atau catatan digital</a> tentang aktivitas manusia semacam ini mengizinkan peneliti di berbagai bidang, dari ilmu sosial hingga kesehatan, untuk menganalisis beragam fenomena.</p>
<p>Lewat kecerdasan terbuka (<em>open source intelligence</em>) sampai sains masyarakat (<em>citizen science</em>), Twitter tak hanya berperan sebagai “alun-alun digital” (<em>digital public square</em>), tapi juga memfasilitasi riset untuk memahami perilaku yang sulit dideteksi dengan metode-metode penelitian tradisional.</p>
<p>Sebagai contoh, kesediaan orang membayar untuk kebijakan atau layanan yang bertujuan melawan krisis iklim selama ini banyak diukur melalui survei. Data sentimen pubik di Twitter membekali peneliti dan pembuat kebijakan dengan <a href="https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2020.104161">alat-alat baru untuk mengevaluasi perilaku ini</a> demi merancang aksi iklim yang lebih baik.</p>
<p>Para peneliti kesehatan publik bahkan telah menemukan hubungan antara <a href="https://doi.org/10.2196%2F17196">mencuit tentang HIV dengan prevalensi HIV</a>. Mereka bisa mengukur <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219550">sentimen di tingkat lokal (<em>neighborhood</em>)</a> untuk memahami kondisi kesehatan secara umum di daerah tersebut.</p>
<h2>Tempat dan waktu</h2>
<p>Data dari Twitter yang memuat penandaan geografis (<em>geotagged data</em>) sangat bermanfaat dalam beragam bidang, termasuk <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0131469">penggunaan lahan urban</a> dan <a href="https://doi.org/10.1080/24694452.2017.1421897">ketahanan bencana</a>. Kemampuan untuk mengidentidikasi lokasi dari serangkaian cuitan juga membantu peneliti untuk menghubungkan informasi dalam suatu cuitan dengan tempat dan waktu.</p>
<p>Misalnya, peneliti bisa mengkorelasi cuitan dengan kode pos untuk mengidentifikasi <a href="https://theconversation.com/matching-tweets-to-zip-codes-can-spotlight-hot-spots-of-covid-19-vaccine-hesitancy-169596">titik-titik konsentrasi orang-orang meragukan vaksin</a>.</p>
<p>Twitter selama ini sangat berharga dalam bidang kecerdasan terbuka (<a href="https://doi.org/10.1109/ICCCN49398.2020.9209602"><em>open source intelligence</em></a> atau OSINT), terutama untuk melacak kejahatan perang. OSINT menggunakan <em>crowdsourcing</em> (urun daya) untuk mengidentifikasi lokasi diambilnya suatu foto atau video.</p>
<p>Di Ukraina, penyelidik HAM telah <a href="https://www.grid.news/story/global/2022/04/11/in-ukraine-war-crimes-are-being-captured-on-social-media/">memakai Twitter dan TikTok</a> untuk mencari bukti pelanggaran.</p>
<p><em>Open source intelligence</em> juga terbukti berguna dalam mengungkap kondisi medan perang. Misalnya, analis OSINT begitu cepat menemukan bukti bahwa misil yang meledak di Przewodow, Polandia dekat perbatasan Ukraina pada November 15 lalu, kemungkinan merupakan rudal antipesawat S-300 dan kemungkinan bukanlah rudal yang ditembakkan Rusia.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592629251161075712"}"></div></p>
<h2>Pengujian kredensial dan verifikasi</h2>
<p>Meski misinformasi <a href="https://doi.org/10.1126/science.aap9559">beredar luas di Twitter</a>, platform tersebut juga berperan sebagai mekanisme verifikasi global.</p>
<p>Pertama, banyak orang merupakan pengguna Twitter maupun platform media sosial lain. Melalui <em>crowdsourcing</em> yang cukup jelas, media sosial berupaya mengambil peran sebagai penyaji informasi yang otoritatif dan mengurangi ketidakjelasan yang dihadapi orang ketika mencari informasi baru. Para platform ini melakukan fungsi pengujian kredensial yang beberapa ahli sebut sebagai “<a href="https://www.google.com/books/edition/Media_Technologies/zeK2AgAAQBAJ">algoritma relevansi publik</a>” – mereka seakan telah menggantikan peran keahlian teknis atau bisnis dalam mengidentifikasi apa yang perlu orang ketahui.</p>
<p>Twitter juga melakukan pengujian kredensial secara resmi. Sebelum pengambilalihan oleh Elon Musk, mekanisme verifikasi Twitter memberi tanda centang biru di profil figur publik. Ini berperan sebagai cara mudah untuk menentukan apakah suatu cuitan <a href="https://www.politico.com/news/2022/11/13/washington-gets-increasingly-freaked-out-by-twitter-00066647">benar-benar berasal dari seseorang atau suatu organisasi</a>, atau bukan. </p>
<p>Meski masalah seperti <a href="https://doi.org/10.1126/science.aau2706">berita palsu</a>, <a href="https://doi.org/10.2105/AJPH.2020.305940">misinformasi</a>, dan <a href="https://aclanthology.org/W18-5110/">ujaran kebencian</a> memang nyata adanya, kemampuan pengujian kredensial ditambah dengan banyaknya orang yang memakai platform ini secara <em>real-time</em> membuat Twitter sebagai <a href="https://doi.org/10.1177/1940161214540942">pengecek fakta</a> dan penyaji informasi yang relatif kredibel.</p>
<h2>Alun-alun digital</h2>
<p>Peran ganda Twitter dalam membangun komunikasi langsung dan bertindak sebagai wasit informasi otoritatif, sangatlah penting bagi akademisi, jurnalis, dan lembaga pemerintah.</p>
<p>Selama pandemi, misalnya, banyak lembaga kesehatan publik <a href="https://doi.org/10.2196/24883">mengandalkan Twitter</a> untuk mempromosikan perilaku yang memitigasi risiko penularan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592676469305905152"}"></div></p>
<p>Kala terjadi bencana alam atau situasi darurat lain, Twitter menjadi arena yang penting untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.ipm.2019.102107">mengumpulkan data saksi mata dari publik</a>. Pada saat Badai Harvey di AS, misalnya, peneliti menemukan bahwa pengguna merespons dan berinteraksi <a href="https://doi.org/10.1007/s11069-020-04016-6">paling banyak dengan cuitan dari akun Twitter ‘centang biru’ (terverifikasi)</a>, terutama lembaga pemerintah.</p>
<p>Akun Twitter resmi juga membantu dalam penyebaran informasi secara cepat ketika terjadi <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.06.044">krisis kontaminasi air</a> di West Virginia, AS. Data Twitter pun bermanfaat dalam <a href="https://doi.org/10.1016/j.trc.2021.102976">proses evakuasi ketika badai</a>.</p>
<p>Tak hanya itu, Twitter telah menjadi cara penting bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1593334136969666560"}"></div></p>
<p>Nilai nyata Twitter adalah memberdayakan orang untuk terhubung dengan satu sama lain secara <em>real-time</em> dan sebagai arsip perilaku kolektif. </p>
<p>Berbagai <a href="https://qz.com/1143475/the-un-is-the-international-organization-with-the-most-followers-on-twitter">organisasi internasional</a>, <a href="https://fcw.com/workforce/2012/09/the-50-most-followed-agencies-on-twitter/206197/">lembaga pemerintah</a>, dan <a href="https://icma.org/articles/article/top-local-government-twitter-users">pemerintah lokal</a> pun memahami ini. Mereka telah menginvestasikan sumber daya secara signifikan di Twitter dan kini mengandalkan platform tersebut. Edwar Markey, seorang anggota senat AS, bahkan mengatakan bahwa Twitter “<a href="https://www.politico.com/amp/news/2022/11/17/ed-markey-deep-dive-00069221">esensial</a>” bagi masyarakat Amerika. </p>
<p>Jika Twitter berujung kolaps, untuk saat ini belum ada calon pengganti yang jelas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195829/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anjana Susarla tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika Twitter bubar, akan banyak sumber data berharga dan metode berbagi informasi yang akan turut hilang. Padahal banyak aktivis, jurnalis, petugas kesehatan umum, hingga ilmuwan mengandalkan hal ini.Anjana Susarla, Professor of Information Systems, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1846672022-07-08T07:05:41Z2022-07-08T07:05:41ZTransformasi digital layanan kesehatan terhambat tata kelola data<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/472269/original/file-20220704-21-7e59o8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penduduk diminta lagi mengenakan masker di ruang terbuka seiring meningkatnya kasus COVID-19. Warga pakai masker bersiap menyeberang di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, 24 Juni 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1656078623">ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc</a></span></figcaption></figure><p>Selama pandemi COVID-19 berlangsung lebih dari dua tahun, Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, dan fasilitas layanan kesehatan mengumpulkan dan mengelola data elekronik terkait COVID-19 dalam jumlah sangat besar. Dalam sistem pengumpulan dan pengelolaan data tersebut, misalnya, <a href="https://infokomputer.grid.id/read/123178656/setiaji-arsitek-di-balik-pengembangan-aplikasi-pedulilindungi?page=all">ada 70 aplikasi</a> yang digunakan puskesmas dan 51 aplikasi yang digunakan oleh rumah sakit milik pemerintah.</p>
<p>Apakah banyak aplikasi itu menjamin pelayanan kesehatan menjadi efektif? </p>
<p><a href="https://cipg.or.id/en/publication/tata-kelola-data-ringkasan/">Menurut riset terbaru kami (Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Yayasan Tifa)</a>, beragam aplikasi tersebut tidak menjamin pelayanan jadi lebih baik, lebih efektif, dan efisien. Sebaliknya, saat ada desakan untuk mendapatkan informasi secara cepat, akibat aplikasi dan sistem informasi yang telah ada tidak berfungsi optimal, pemerintah daerah memilih beralih ke aplikasi percakapan WhatsApp untuk koordinasi dan komunikasi mengenai rujukan, telusur kontak di lapangan, bahkan pelaporan kasus. </p>
<p>Riset ini cukup jelas menunjukkan bahwa tata kelola data menjadi elemen krusial dalam transformasi digital pelayanan publik. Pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien, mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi layanan, mengandalkan data yang akurat. </p>
<p>Kemampuan untuk melakukan analisis aktual dari berbagai sumber data menjadi kunci bagi pemerintah dalam merespons perubahan konteks, risiko, masalah, dan kebutuhan warga secara tepat. </p>
<h2>Akar mula dari benang kusut tata kelola data</h2>
<p>Rencana pemerintah Indonesia mengembangkan platform <a href="https://dto.kemkes.go.id/what-we-do">Indonesia Health Service (IHS)</a> dapat berdampak besar bagi pemenuhan janji transformasi digital pelayanan publik: aksesibilitas, transparansi, dan layanan yang cepat sekaligus berkualitas. Namun, menilik penanganan data pandemi COVID-19, faktor krusial yang luput diperhatikan adalah kebutuhan data yang berkualitas, akurat, dan dapat dibagi-pakai sejak awal pandemi. </p>
<p><a href="https://cipg.or.id/en/publication/tata-kelola-data-ringkasan/">Riset kami</a> mengungkap masalah pokok dalam tata kelola data kesehatan selama pandemi terentang mulai dari aspek teknis (seperti interoperabilitas, yakni kemampuan dari dua atau lebih sistem operasi, aplikasi, dan jaringan untuk berbagi-pakai data atau informasi) hingga hal mendasar seperti kecakapan manusianya. </p>
<p>Riset yang dilakukan selama 2021 ini mengambil studi kasus pada tingkat nasional (Indonesia), tingkat provinsi (Jawa Barat), dan tingkat kota dan kabupaten (Kota Pontianak). </p>
<p>Untuk memotret proses tata kelola data kesehatan saat pandemi, khususnya pada pelacakan kontak, beban layanan kesehatan, dan vaksinasi, kami mensurvei fasilitas layanan kesehatan di Jawa Barat (8 unit) dan di Kota Pontianak (4 unit). Kami mewawancarai 32 narasumber dari 26 institusi dan unit kerja pemerintah dan 14 pakar dari 11 lembaga yang berbeda. Kami juga melakukan serangkaian diskusi dengan organisasi masyarakat sipil dan instansi pemerintah terkait untuk mendiskusikan praktik tata kelola data yang lebih berkesinambungan. </p>
<p>Ada setidaknya ada empat temuan mendasar:</p>
<p><em>Pertama</em>, ada perbedaan data antara yang tersaji di laman pemerintah dan kondisi faktual di lapangan. Sebagai contoh, dalam penanganan pelacakan kontak (<em>contact tracing</em>). Jika ada penyintas COVID-19 yang terinfeksi kembali atau terdapat orang yang sama teridentifikasi kembali sebagai kontak erat pada dua kasus berbeda pada waktu berbeda, petugas pelacak tidak dapat memasukkan ulang data orang yang sama. Hal ini menimbulkan perbedaan data faktual di lapangan dan laporan yang ada di platform data kasus COVID-19 nasional dan daerah. </p>
<p><em>Kedua</em>, tidak ada standar data dan metadata pada sektor kesehatan. Padahal, berdasarkan prinsip Satu Data Indonesia (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/108813/perpres-no-39-tahun-2019">Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia</a>), data yang dihasilkan oleh produsen data harus memenuhi standar data, memiliki metadata, menggunakan kode referensi atau data induk, dan memenuhi kaidah interoperabilitas data.</p>
<p>Akibatnya, interoperabilitas maupun keterpaduan data belum berjalan melalui sebuah sistem yang terintegrasi. Walau ada <a href="https://infokomputer.grid.id/read/123178656/setiaji-arsitek-di-balik-pengembangan-aplikasi-pedulilindungi?page=all">puluhan aplikasi</a> dipakai puskesmas dan rumah sakit milik pemerintah, tak ada jaminan pengumpulan dan pengelolaan data menjadi lebih efektif dan efisien. Saat ada kebutuhan mendesak, data dikirim melalui mekanisme di luar sistem aplikasi, yakni WhatsApp. </p>
<p>Di Kota Pontianak, misalnya, hasil rekap pendataan manual dilaporkan secara berantai melalui WhatsApp: dari penanggung jawab unit penanganan COVID-19 ke direktur fasilitas layanan kesehatan, lalu ke Dinas Kesehatan kabupaten dan kota, baru ke Dinas Kesehatan provinsi.</p>
<p><em>Ketiga</em>, masing-masing instansi memahami proses tata kelola data, tapi pemahaman mengenai peran dari setiap instansi masih beragam. Kami menemukan puskesmas yang menganggap dirinya sebagai pemilik data, sehingga merasa tidak perlu menyediakan <em>privacy notice</em> saat pendataan. Padahal pelayanan publik secara daring mengandalkan tata kelola data yang baik, termasuk pembagian peran yang jelas dalam tata kelola data di setiap institusi. </p>
<p><em>Keempat</em>, praktik untuk menjamin keamanan data, pelindungan terhadap privasi, dan data pribadi pun beragam dan tidak standar. Hal ini berkorelasi dengan kemampuan teknis pengelolaan data yang sangat bervariasi di tingkat fasilitas layanan kesehatan. Peran pengelolaan data di fasilitas layanan kesehatan umumnya melekat pada tenaga kesehatan yang belum tentu punya pemahaman mumpuni mengenai praktik baik pengelolaan data secara elektronik. </p>
<p>Selama pandemi COVID-19, sektor kesehatan tercatat mengalami beberapa kali kebocoran data yang berimbas pada <a href="https://kumparan.com/kumparantech/230-ribu-data-pasien-corona-di-indonesia-dijual-rp-2-8-juta-di-internet-1teeRWc2gT3/3">230 juta</a> data pasien COVID-19 dijual di RaidForums (Juni 2020), <a href="https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/60d58c9c4538a/kebocoran-data-bpjs-kesehatan-disebut-bikin-rugi-negara-rp-600-triliun">279 juta</a> data BPJS Kesehatan (Mei 2021), <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/09/01/090500365/kebocoran-13-juta-data-pengguna-e-hac-apakah-selesai-dengan-uninstall-ini?page=all">1,3 juta</a> data pengguna eHAC (Juli 2021).</p>
<h2>Langkah perbaikan</h2>
<p>Berbagai persoalan di atas mengindikasikan setidaknya dua agenda perubahan yang penting dan mendesak, yaitu (1) penerapan interoperabilitas antar-layanan dan (2) pengarusutamaan hak-hak digital.</p>
<p>Layanan kesehatan yang cepat dan dapat diandalkan mensyaratkan data yang bisa dibagi dan dipakai antar-institusi penyelenggara layanan (interoperabilitas). Pengembangan sistem informasi terintegrasi memungkinkan fasilitas layanan kesehatan bekerja lebih efektif dan efisien, tidak terbebani kewajiban <em>input</em> data ke beragam aplikasi. </p>
<p>Sedangkan pengarusutamaan hak digital (<em>digital rights</em>) dalam setiap tahap dan langkah pemrosesan data berarti bahwa data individu diperlakukan sebagai representasi subjek data. Pemerintah dan para pihak yang terlibat dalam tata kelola data sektor kesehatan perlu menjamin pemenuhan hak akses, hak berekspresi, dan hak atas privasi, termasuk mempercepat pengaturan terkait data pribadi. </p>
<p>Pengelolaan data pribadi (seperti identitas pasien) perlu memperhatikan hak atas privasi. Hal ini perlu dibarengi dengan adanya mekanisme koreksi data yang lebih mudah dan akuntabel bagi warga. </p>
<p>Transparansi dan akuntabilitas mekanisme tata kelola data perlu ditingkatkan. Caranya, dengan (a) memperjelas pertanggungjawaban penggunaan platform komunikasi pihak ketiga dalam pertukaran data; (b) memantau dan mengevaluasi secara mendalam serta komprehensif terkait implementasi tata kelola data dan sistem informasi yang ada di pusat dan daerah; (c) menginvestigasi kasus kebocoran data dan memberi penjelasan kepada publik. </p>
<p>Dua agenda perubahan besar di atas hanya dapat terlaksana dengan kejelasan peran masing-masing pihak dalam tata kelola data serta peningkatan peningkatan kualifikasi SDM tata kelola data. Hal ini penting mengingat pelayanan publik mensyaratkan birokrasi yang bekerja secara terpadu seperti diatur <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/96913/perpres-no-95-tahun-2018">Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik</a>. </p>
<p>Pada akhirnya, perlu diingat bahwa tujuan transformasi pemerintahan digital adalah kesejahteraan warga, termasuk di antaranya pemenuhan layanan dasar yang cepat dan berkualitas. Dengan kata lain, warga adalah pemangku kepentingan utama. </p>
<p>Teknologi hanya sarana untuk membantu memastikan akurasi, interoperabilitas, dan keandalan data sehingga warga mendapat pelayanan publik yang optimal. Maka, sembari menimbang aspek-aspek lain dalam transformasi pemerintahan digital — seperti cara kerja birokrasi, pilihan teknologi, partisipasi warga — urusan tata kelola data ini perlu terus dicermati.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/184667/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Klara Esti menerima pendanaan dari Yayasan Tifa dan CIPG untuk riset ini. Pendanaan kedua lembaga ini berasal dari Luminate (<a href="https://luminategroup.com/">https://luminategroup.com/</a>) untuk melakukan riset "Menata Kelola Data demi Pelayanan Publik: Studi Kasus Tata Kelola Data Sektor Kesehatan dan Pendidikan selama Pandemi Covid-19" yang menjadi bahan penulisan artikel ini. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Anesthesia H. Novianda mendapatkan dana dari Yayasan Tifa dan CIPG untuk riset ini. Pendanaan kedua lembaga ini berasal dari Luminate untuk melakukan melakukan riset "Menata Kelola Data demi Pelayanan Publik: Studi Kasus Tata Kelola Data Sektor Kesehatan dan Pendidikan selama Pandemi Covid-19" yang menjadi bahan penulisan artikel ini.</span></em></p>Belajar dari penanganan pandemi COVID-19, transformasi digital pelayanan publik sektor kesehatan perlu ditopang oleh tata kelola data yang baik. Tanpanya, janji kemudahan akses akan sulit terpenuhi.Klara Esti, Senior research associate, Centre for Innovation Policy and GovernanceAnesthesia Novianda, Research Associate, Centre for Innovation Policy and GovernanceLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1728702021-12-21T06:35:28Z2021-12-21T06:35:28ZDalam kebocoran big data mengapa faktor manusia kerap terlupakan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/434661/original/file-20211130-17-1bb6pdn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/blur-bright-business-codes-207580/">Pexels/pixabay</a></span></figcaption></figure><p>Ketika terjadi kebocoran data, seperti <a href="https://nasional.tempo.co/read/1501790/6-kasus-kebocoran-data-pribadi-di-indonesia">kasus <em>big data</em> kesehatan, perbankan, kependudukan, <em>e-commerce</em></a> dan <a href="https://www.kompas.com/global/read/2021/11/18/170000170/bobol-data-polri-hacker-son1x-asal-brasil-diusut-bareskrim">kepolisian di Indonesia</a> dalam dua tahun terakhir, sebagian dari kita mungkin berpikir bahwa masalah ini merupakan kesalahan teknologi semata dan faktor pembobol. </p>
<p>Padahal, aspek paling penting yang biasanya terlupakan adalah rapuhnya tata kelola data, yang umumnya disebabkan oleh kecerobohan manusia. Apa pun aset yang dikelola oleh perusahaan dan lembaga, aspek perilaku manusia selalu menjadi komponen krusial, termasuk pengelolaan aset digital (data dan informasi). </p>
<p>Riset terbaru <a href="https://www.verizon.com/business/resources/reports/dbir/">dari Verizon</a> dan <a href="https://www.ibm.com/security/data-breach">IBM</a> menunjukkan aspek manusia selalu menjadi titik krusial kebocoran data. Laporan mutakhir dari Verizon mengenai kebocoran data pada 2021 itu menyatakan 85% kebocoran data melibatkan aspek manusia yakni rekayasa sosial, penyalahgunaan otoritas, dan kendali yang lemah.</p>
<h2>Faktor manusia</h2>
<p>Aliran dan produksi data yang besar apalagi yang berkaitan data pribadi menjadi tantangan yang krusial saat ini. Pengelolaan data digital memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan aset berwujud karena sifat data yang mudah diduplikasi ketika sudah bocor ke tangan yang tidak berkepentingan. </p>
<p>Terlepas dari canggihnya metode dan platform keamanan data, individu menempati posisi amat penting dalam keamanan data. Data-data yang berkaitan dengan diri mereka adalah aset yang berharga yang harus dijaga. Prinsip kehati-hatian harus dijalankan ketika, misalnya, mengisi formulir online baik untuk institusi publik maupun swasta. Apalagi yang berkaitan dengan berbagi data melalui platform media sosial seperti yang sedang marak saat ini.</p>
<p>Penggunaan rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologi korban tidak memerlukan teknologi canggih. Manipulasi psikologi ini bisa dilakukan melalui email atau pesan teks agar target tertarik untuk mengunduh file, mengklik atau mengikuti tautan yang diberikan. Saat langkah itu diikuti, malware yang disiapkan oleh pelaku bisa disisipkan ke komputer atau server target. Malware ini selanjutnya bisa dikendalikan oleh pelaku untuk membuka akses ke data-data ada di komputer atau jaringan komputer penyimpan data. </p>
<p>Penyalahgunaan otoritas dan kendali yang lemah terhadap otoritas akses data juga banyak berkontribusi terhadap kebocoran data. Dari yang pernah saya alami, misalnya, data individu dan karyawan di salah satu institusi pemerintah disalahgunakan untuk kepentingan politik. Ini bisa terjadi karena adanya penyalahgunaan otoritas dan kendali yang lemah. </p>
<p>Operator data tidak bisa berbuat banyak ketika atasan langsung mereka meminta data dimaksud. Hal ini semakin diperparah karena kurang memadainya kendali internal untuk mengidentifikasi akses data dan untuk apa data itu selanjutnya akan digunakan.</p>
<p>Penyalahgunaan ini rentan terjadi, karena saat data dikumpulkan, tidak ada surat persetujuan (<em>consent form</em>) yang diberikan kepada individu mengenai tujuan penggunaan data, dan bagaimana data akan diproses, dikelola, dibagi, dan disimpan oleh institusi yang bersangkutan. Dan berapa lama disimpan.</p>
<p>Berita tentang kebocoran data sudah sering kita dengar dan saksikan di media. Baik institusi swasta dan pemerintah, besar maupun kecil, semuanya rentan terhadap kebocoran data. </p>
<p>Selama dua tahun terakhir, misalnya, setidaknya terjadi tiga kasus kebocoran data institusi publik yang terungkap di Indonesia, yaitu <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200521223601-185-505726/23-juta-data-kpu-diduga-bocor-dijual-di-forum-hacker">kebocoran data Komisi Pemilihan Umum (KPU</a>), <a href="https://tekno.kompas.com/read/2021/06/11/13040057/kasus-kebocoran-data-279-juta-wni-bpjs-kesehatan-akan-digugat-lewat-ptun?page=all">Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS)</a>, dan <a href="https://www.kompas.com/global/read/2021/11/18/170000170/bobol-data-polri-hacker-son1x-asal-brasil-diusut-bareskrim">Kepolisian Republik Indonesia (Polri)</a>. </p>
<p>Celakanya, institusi publik merupakan pihak yang paling rentan. Hal ini karena satu institusi publik seringkali harus berbagi data dengan institusi lainnya. Selain itu, data yang mereka kelola berkaitan dengan layanan-layanan yang mengharuskan publik bisa mengaksesnya. </p>
<p>Data individu yang sudah berpindah dan terekam ke database institusi publik harus dijaga dan dikelola secara aman dan profesional. Oleh karena itu tata kelola data yang baik merupakan aspek kritikal untuk mencegah terjadinya kebocoran data terutama data pribadi baik secara individu maupun agregat.</p>
<p>Institusi dan individu kini harus sadar bahwa kebocoran data bukan hal sepele. Bagi individu, jangan pernah beranggapan bahwa berbagi data pribadi bisa dilakukan dengan bebas tanpa konsekuensi. Baik secara individu maupun agregat, data memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya, dan politik. </p>
<p>Bagi pembobol data, data merupakan bisnis besar karena harganya di pasar gelap berkisar dari beberapa <a href="https://teknologi.bisnis.com/read/20201209/84/1328369/segini-lo-data-pribadi-anda-dijual-di-pasar-gelap-oleh-para-peretas">dolar hingga puluhan dolar</a> per identitas. Data curian ini bisa dipakai untuk tindakan kriminal dari pemerasan, penipuan hingga pencurian uang secara elektronik. </p>
<p>Secara global, <a href="https://www.ibm.com/security/data-breach">IBM</a> melaporkan terjadi peningkatan kerugian akibat kebocoran data dari US$ 3,86 juta (sekitar Rp 55,3 miliar) pada 2020 menjadi US$ $4,24 juta (sekitar Rp 60 miliar) tahun ini. Di laporan riset ini juga dipaparkan bahwa kebocoran data pribadi menyumbang kerugian yang paling besar dengan nilai US$ 180 (sekitar Rp 2,5 juta) untuk setiap identitas. </p>
<h2>Isu privasi</h2>
<p>Privasi dan perlindungan data pribadi adalah dua aspek yang saling terkait satu dengan lainnya. Perlindungan data ditujukan untuk memastikan bahwa data pribadi setiap individu ditangani sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Privasi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap individu memiliki hak untuk mengontrol data pribadi mereka. </p>
<p>Di Indonesia, definisi mengenai data pribadi tertera di <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40202">Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan</a>. Di UU tersebut data pribadi didefinisikan sebagai data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. </p>
<p>Data pribadi ini meliputi nama lengkap, nomor KTP/NIK, Passpor, SIM dan identitas lainnya, data-data tentang kesehatan (fisik, fisiologi, dan mental), data demografi individu, data ekonomi dan penghasilan, data lokasi geografis dan geolokasi, nomor ponsel, alamat surel pribadi, alamat rumah, foto dan video individu.</p>
<p>Pengelolaan data pribadi harus mematuhi peraturan perundang-undangan proteksi dan privasi data yang berlaku di negara setempat. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu segera membahas lagi <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4752/Rancangan%20UU%20PDP%20Final%20%28Setneg%20061219%29.pdf">rancangan UU Perlindungan Data Pribadi</a> yang <a href="https://tekno.kompas.com/read/2021/09/03/14090057/kebocoran-data-terjadi-lagi-sampai-mana-ruu-perlindungan-data-pribadi-?page=all">kini mandeg</a>.</p>
<p>Untuk perlindungan data pribadi ini, Uni Eropa masih merupakan jurisdiksi yang terdepan dalam penegakan ketentuan proteksi dan privasi data melalui Peraturan Umum Perlindungan Data (<a href="https://gdpr-info.eu/">General Data Protection Regulation atau GDPR)</a>). Seperti saran GDPR, individu pemilik data berhak mengetahui siapa atau pihak-pihak mana yang menjadi pemroses data (<em>data processor</em>), siapa yang mengendalikan data mereka (<em>data controller</em>), dan siapa yang memproteksi data mereka (<em>data protection officer</em>). </p>
<p>Secara umum, regulasi mengenai proteksi data memberikan hak pada pemilik data untuk mengetahui siapa saja yang akan menggunakan data (<em>access</em>), dimintai pernyataan kebersediaan (<em>consent</em>), mengoreksi data yang tidak akurat (<em>correction</em>), meminta data dimusnahkan setelah dianalisis (<em>erasure</em>), mengetahui penggunaan data (<em>informed</em>), dan mentransfer data (<em>portability</em>).</p>
<h2>Teknologi, prosedur, dan manusia</h2>
<p>Tata kelola data yang baik melibatkan sinergi antara teknologi, proses (prosedur) dan manusia. Institusi publik harus profesional menangani data pribadi dan sensitif dari sejak data dikumpulkan, diproses, hingga dimusnahkan. Regulasi perlindungan data pribadi yang saat ini masih dalam tahap rancangan semakin terasa urgensinya. </p>
<p>Pemahaman mengenai tata kelola data yang baik dan kepatuhan terhadap regulasi perlindungan data pribadi akan menentukan bagaimana institusi menangani data pribadi individu yang mereka kumpulkan. Misalnya, institusi harus menjamin keamanan jaringan dan mesin yang digunakan untuk menyimpan data. </p>
<p>Di samping itu, data itu sendiri juga harus diproteksi dengan menggunakan mekanisme kriptografi modern. Yang tak kalah pentingnya adalah kendali atas akses data. Kolusi yang terjadi di antara pihak-pihak yang memiliki akses data akan berdampak serius dan membuat teknologi keamanan yang sudah diterapkan menjadi sia-sia. </p>
<p>Jika kebocoran data sudah terjadi, institusi yang bertanggung jawab harus segera melaporkan kejadian tersebut ke otoritas yang berwenang (Kementerian Komunikasi dan Informasi), untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang relevan untuk memitigasi resiko, baik bagi institusi, maupun individu yang terdampak kebocoran data tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172870/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arif Perdana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tata kelola data yang baik melibatkan sinergi antara teknologi, proses (prosedur) dan manusia.Arif Perdana, Associate Professor, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1671852021-09-02T09:13:45Z2021-09-02T09:13:45ZMengapa data kesehatan di Indonesia mudah bocor, dampaknya bahayakan pasien<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/419022/original/file-20210902-13-98sqfl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Warga menggunakan aplikasi PeduliLindungi untuk pelacakan COVID-19 di kawasan Bundaran HI, Jakarta, 1 Agustus 2021. Aplikasi ini mengumpulkan data dari para penggunanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1627815004">ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.</a></span></figcaption></figure><p>Jutaan data dan informasi kesehatan milik penduduk Indonesia kembali bocor. </p>
<p>Akhir Agustus lalu, <a href="https://www.vpnmentor.com/blog/report-ehac-indonesia-leak/">sekitar 1,3 juta data pengguna aplikasi Health Alert Card (eHAC)</a> buatan Kementerian Kesehatan Indonesia yang memuat data COVID-19 dibobol. Belum diketahui siapa pelakunya.</p>
<p>Tiga bulan sebelumnya, data milik 279 juta warga Indonesia yang dikumpulkan bertahun-tahun oleh <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210604064808-37-250487/bareskrim-diduga-keras-data-bpjs-bocor">Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan juga bocor</a>. </p>
<p>Data itu diperjualbelikan di <a href="https://raidforums.com/Thread-CSV-2-Million-BPJS-Indonesia-Data-Leaks-Ex-Data-That-Was-Trending">raidforum.com</a> dan sampai saat ini masih dalam penyelidikan. Jika angka ini benar, maka akan menjadi rekor baru kasus kebocoran data kesehatan terbesar di dunia.</p>
<p>Dari dua kasus ini saja menandakan bahwa tingkat keamanan data di Indonesia sangat lemah. Padahal, data kesehatan merupakan data pribadi yang bersifat spesifik, sensitif, dan rahasia, yang harus dilindungi.</p>
<p>Saat data kesehatan yang begitu kompleks didigitalkan dan dipindahkan melintasi batas-batas organisasi dan sistem kesehatan, maka kita dihadapkan pada pertanyaan besar tentang bagaimana tingkat keamanan dan kerahasiaan data kesehatan di Indonesia. Juga apa yang menjadi prioritas pemerintah dan kita untuk meningkatkan keamanannya.</p>
<h2>Tren kasus meningkat</h2>
<p>Masalah keamanan data menjadi semakin serius karena tren pembobolan data makin meningkat. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7349636/">Secara global</a> dari 2005 hingga 2019, jumlah total individu yang telah terkena dampak pelanggaran data kesehatan ada sekitar 249 juta. Dari jumlah tersebut, lebih dari setengahnya terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.</p>
<p>Kasus terbesar bocornya data kesehatan terjadi pada 2015. Data peserta milik perusahaan asuransi kesehatan Amerika Serikat, <a href="https://www.hipaajournal.com/healthcare-data-breach-statistics/">Anthem Inc dibobol</a> dengan jumlah peserta terdampak lebih 78 juta orang.</p>
<p>AS memiliki sistem dan kebijakan perlindungan data kesehatan yang lebih baik dengan adanya Undang-Undang Portabilitas dan Akuntabilitas Asuransi Kesehatan<a href="https://ehealth.co.id/blog/post/mengenal-hipaa/"> (HIPAA)</a>. </p>
<p>UU ini mewajibkan pembuatan standar nasional untuk melindungi informasi kesehatan pasien yang sensitif agar tidak diungkapkan tanpa persetujuan atau sepengetahuan pasien. Walau demikian, sistem di sana juga tak terlepas dari pemasalahan rawannya pembobolan data kesehatan.</p>
<p><a href="https://techjury.net/blog/healthcare-data-breaches-statistics/#gref">Sebuah laporan menyatakan</a> telah lebih dari 2.100 pelanggaran data layanan kesehatan telah terjadi di AS sejak 2009, mayoritas (30%) terjadi di rumah sakit. Trennya juga terus meningkat. Pada 2009, di AS hanya ada 18 kasus tapi pada 2020 ada 642 kasus.</p>
<p>Biro Penyidik Federal (FBI) dan Kementerian Kesehatan pada oktober 2020 lalu bahkan telah mengeluarkan pernyataan resmi bersama memperingatkan bahwa kejahatan terkait keamanan siber ke depan akan semakin banyak menyerang dunia pelayanan kesehatan.</p>
<p>Di Indonesia, kasus pembobolan data kesehatan bukan hal yang baru. <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200620083944-192-515418/230-ribu-data-pasien-covid-19-di-indonesia-bocor-dan-dijual">Pada 2020</a>, data 230 ribu pasien COVID-19 di Indonesia diduga telah dicuri dan dijual di <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/22/205006565/7-data-bocor-yang-diungkap-raid-forums-sebelum-diblokir-kominfo?page=all">RaidForums</a>. Alamat forum <em>dark web</em> itu kini telah diblokir pemerintah. </p>
<p>Pada 2017, <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20170513191519-192-214642/dua-rumah-sakit-di-jakarta-kena-serangan-ransomware-wannacry">dua rumah sakit nasional</a> terjangkit program jahat jenis ransomware bernama WannaCry yang mengunci data sistem informasi rumah sakit dan meminta tebusan.</p>
<h2>Dampak kebocoran data kesehatan</h2>
<p>Bagi fasilitas pelayanan kesehatan, bocornya data pribadi pasien selain membuat kerugian ekonomi juga akan mengganggu jalannya pelayanan serta membuat nama baik dan kepercayaan publik menjadi rusak.</p>
<p>Bagi pasien, beberapa dampak negatif bisa terjadi. </p>
<p>Bocornya data pribadi seperti tanggal lahir, nama ibu kandung, nomor telepon, alamat, hingga email pribadi dapat digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan <a href="https://www.solopos.com/ini-bahaya-yang-bisa-terjadi-bila-data-pribadi-kita-bocor-1126609">beberapa modus kejahatan</a>. Misalnya, membongkar kata kunci (<em>password</em>), mengakses pinjaman online, profiling untuk target politik atau iklan di media sosial, membobol layanan keuangan hingga sasaran telemarketing.</p>
<p>Jika data kondisi dan riwayat penyakit bocor, potensi kerugian yang dihadapi pemilik data tidak hanya menyangkut persoalan ekonomi tapi dapat menyangkut kerugian sosial budaya hingga keamanan.</p>
<p>Seseorang dapat kehilangan pekerjaan, atau bahkan terusir dari lingkungan tempat tinggal mereka jika jenis informasi kesehatan sensitif menjadi pengetahuan publik. Misalnya, pengungkapan bahwa seseorang terinfeksi HIV atau jenis infeksi menular seksual lainnya dapat menyebabkan isolasi sosial dan dampak lain yang berbahaya secara psikologis.</p>
<h2>Motif ekonomi dan kemudahan</h2>
<p>Menurut laporan terbaru <a href="https://enterprise.verizon.com/resources/reports/2021-dbir-executive-brief.pdf">Data Breach Investigations</a> terbitan perusahaan telekomunikasi Verizon AS, pelaku pembobolan data kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tidak hanya pihak luar fasilitas pelayanan kesehatan. Pihak internal juga membobol data, dengan persentase mencapai 39% dari total kasus.</p>
<p>Faktor ekonomi menjadi motif utama para pelaku <a href="https://enterprise.verizon.com/resources/reports/2021-dbir-executive-brief.pdf">(91%)</a>. Bagi para pembobol, data kesehatan dianggap <a href="https://www.onyxmd.com/about-onyx-md/blog/why-health-care-organizations-are-so-vulnerable-to-data-breaches/">lebih mudah untuk dicuri</a> dan jauh lebih berharga dibandingkan data non-kesehatan seperti data kartu kredit.</p>
<p>Nilai ekonomi ini bahkan disebutkan <a href="https://www.rug.nl/cf/onderzoek-gscf/research/research-centres/dataresearchcentre/pdfs/information-security-policy-in-health-data-governance-in-indonesia.pdf">60 kali lebih berharga</a>. Hal ini karena banyaknya informasi individu yang ada di dalam sebuah data kesehatan. </p>
<p>Ketika pasien mengakses layanan kesehatan, data detail seperti alamat, tanggal lahir, telepon, nama orang tua (penanggung), nomor kependudukan dan asuransi, kartu kredit, riwayat pengobatan dan lainnya diminta dan disimpan dalam data kesehatan pasien. Tidak seperti kartu kredit yang bisa ditutup setiap saat, data kesehatan bersifat lebih permanen.</p>
<h2>Prioritas yang harus segera diselesaikan</h2>
<p>Agar kasus data bocor tidak terus berulang, pemerintah Indonesia setidaknya perlu fokus pada tiga level utama yakni kebijakan, organisasi pelayanan kesehatan, dan masyarakat.</p>
<p>Saat ini Indonesia <a href="https://id.cips-indonesia.org/post/ringkasan-kebijakan-kerahasiaan-data-dalam-peraturan-perundang-undangan-perlindungan-data-pribadi-5">belum memiliki</a> Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. </p>
<p>Berbagai kebijakan dan aturan masih tersebar di setidaknya di 32 UU dan regulasi yang berbeda-beda. Kesenjangan di antara regulasi-regulasi tersebut mengganggu penegakkan hukumnya. </p>
<p>Bahkan untuk data kesehatan yang saat ini perkembangannya mulai tumbuh ke arah digitalisasi seperti <a href="https://lokadata.id/artikel/layanan-telemedicine-berkembang-saat-pandemi-cerah-di-masa-depan">pelayanan <em>telemedicine</em></a>, pemerintah <a href="https://www.brookings.edu/blog/techtank/2021/08/09/why-hospitals-and-healthcare-organizations-need-to-take-cybersecurity-more-seriously/">belum memiliki peraturan khusus</a> mengenai sistem keamanan dan kerahasiaannya.</p>
<p>Oleh karena itu pemerintah dan DPR sebaiknya segera mempercepat dan mengesahkan <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4752/Rancangan%20UU%20PDP%20Final%20%28Setneg%20061219%29.pdf">RUU Perlindungan Data Pribadi</a>. Ini penting agar UU ini menjadi dasar bagi para regulator di tingkat pusat dan daerah hingga fasilitas pelayanan kesehatan untuk membuat aturan turunannya yang bersifat lebih teknis untuk melindungi data digital kesehatan.</p>
<p>Pada tingkatan organisasi, selain meningkatkan kemampuan keamanan sistem dan keterampilan sumber daya manusia, penanggung jawab organisasi harus meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan data kesehatan. </p>
<p>Saat ini kesadaran untuk melindungi data pribadi <a href="https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/27406/dirjen-aptika-perlu-kesadaran-bersama-akan-pelindungan-data-pribadi/0/berita_satker">masih rendah</a> baik itu di tingkatan organisasi dan individu.</p>
<p><a href="https://persi.or.id/imds-2021-kupas-kiat-rumah-sakit-selamat-dari-serangan-siber/">Berdasarkan riset Fortinet</a>, sebagian rumah sakit bahkan tidak menyadari bahwa sistem teknologi informasinya pernah atau sedang diserang.</p>
<p>Sebuah <a href="https://www.himss.org/sites/hde/files/media/file/2020/11/16/2020_himss_cybersecurity_survey_final.pdf">survei</a> di Amerika pada 2020 menemukan bahwa para penanggung jawab teknologi informasi di fasilitas pelayanan kesehatan menghadapi masalah rendahnya anggaran yang diberikan kepada mereka untuk menjaga keamanan sistem. Alokasi dana untuk keamanan siber hanya sekitar 3-6% dari anggaran teknologi informasi, sementara sisanya dikhususkan untuk adopsi teknologi baru.</p>
<p>Pada tingkatan individu, sebuah <a href="https://id.cips-indonesia.org/post/ringkasan-kebijakan-kerahasiaan-data-dalam-peraturan-perundang-undangan-perlindungan-data-pribadi-5">survei pada 2017</a> dari Mastel dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menemukan bahwa 79% responden di Indonesia merasa keberatan ketika data pribadi mereka dipindahkan tanpa izin. </p>
<p>Namun yang menjadi persoalan adalah banyak masyarakat justru tidak mempelajari atau memahami kebijakan kerahasiaan, termasuk bagian syarat dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan data pribadi.</p>
<p>Survei lain terkait penggunaan media sosial juga menunjukkan temuan yang menarik. <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2021/07/sebanyak-11-305-responden-ikuti-survei-pelindungan-data-pribadi/">Sebuah survei persepsi publik</a> pada pertengahan Juli lalu menemukan bahwa belum semua orang membaca kebijakan privasi pada saat mereka mengakses media sosial tersebut, apalagi memahami isi dari kebijakan tersebut.</p>
<p>Jadi, tanpa adanya penguatan kebijakan, peningkatan kemampuan dan kesadaran organisasi pelayanan kesehatan hingga peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, kebocoran data kesehatan mungkin akan tetap terjadi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167185/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irwandy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Namun yang menjadi persoalan adalah banyak masyarakat justru tidak mempelajari atau memahami kebijakan kerahasiaan, termasuk bagian syarat dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan data pribadi.Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas HasanuddinLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1543762021-02-03T10:01:13Z2021-02-03T10:01:13ZTwitter melepas kunci akses data: mengapa platfrom media sosial harus membuka data pada peneliti<p>Setelah tertunda sejak pertengahan tahun lalu, akhir Januari kemarin Twitter mengumumkan untuk <a href="https://www.theverge.com/2021/1/26/22250203/twitter-academic-research-public-tweet-archive-free-access">membuka akses data</a> pada peneliti, terutama yang berasal dari kampus. </p>
<p>Twitter juga mengatakan akan membuka lebih banyak data kepada pengembang pihak ketiga. </p>
<p>Sebelumnya, Facebook, perusahaan penyedia platform media sosial dengan pengguna terbesar di dunia, membuka akses data Facebook dan Instagram ke peneliti melalui <a href="https://www.facebook.com/formedia/blog/crowdtangle-for-academics-and-researchers">Crowdtangle</a> -— alat yang dimiliki dan dioperasikan oleh Facebok untuk merekam percakapan publik.</p>
<p>Kebijakan kedua platform tersebut sebenarnya sudah ditunggu lama oleh para peneliti karena selama ini akses terhadap data percakapan sangat terbatas. </p>
<p>Bagi Indonesia – negara dengan salah satu pengguna media sosial terbesar, keterbukaan data penting untuk riset dan kajian yang berdampak bagi masyakarat.</p>
<p>Misalnya, penting bagi publik mengetahui data terkait iklan politik, baik isi, pemasangnya, dan kelompok pemirsa yang disasar untuk menghindari manipulasi terhadap pemilih yang menggunakan media sosial. </p>
<h2>Pentingnya data</h2>
<p>Dalam pengalaman saya bekerja di <a href="https://smartlabohiou.com/">Social Media Research Team Lab (SMART Lab)</a> di Ohio University, AS, keterbatasan data yang dibuka oleh platform media sosial sangat berpengaruh kepada topik penelitian, metode penelitian, sampel, dan hasil analisis. </p>
<p>Dalam ilmu sosial, keterbatasan data ini juga membatasi pemahaman peneliti terhadap fenomena yang terjadi. </p>
<p>Alih-alih mampu menginvestigasi sebuah fenomena dengan menggunakan <em>big data</em>, para peneliti akhirnya hanya dapat melakukan <a href="https://www.poynter.org/fact-checking/2019/these-researchers-are-getting-access-to-facebook-data-to-study-misinformation/">kajian-kajian kualitatif</a> dari unggahan di media sosial.</p>
<p>Sebagai contoh, Twitter awalnya membatasi pengumpulan data hanya pada tujuh hari terakhir.</p>
<p>Jika peneliti ingin membandingkan sebuah gerakan politik di Twitter, misalnya, yang terjadi saat ini dengan kejadian di tahun-tahun sebelumnya, maka data tidak akan tersedia. </p>
<p>Sehingga, sampel yang tersedia tidak dapat dianalisis dan dimaknai lebih lanjut. </p>
<p>Padahal, studi gerakan politik di tahun-tahun lampau penting, misalnya untuk organisasi masyarakat sipil yang ingin mengadvokasikan isu-isu publik.</p>
<p>Selain pada pembatasan waktu, Twitter juga membatasi <a href="https://www.theverge.com/2020/8/12/21364644/twitter-api-v2-new-access-tiers-developer-portal-support-developers">jumlah dan jenis data yang dikumpulkan</a>. </p>
<p>Hal ini menyulitkan peneliti yang khususnya akan menganalisis tentang jaringan penyebaran disinformasi. </p>
<p>Jaringan komunikasi merupakan <a href="https://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/28954">akumulasi interaksi</a> yang terjadi di platform, sehingga penting untuk mengetahui siapa yang pertama kali menyebarkannya, jaringan yang mana, dan bagaimana bentuk penyebarannya. Jumlah data akan menentukan analisis mengenai jaringan ini. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">Memahami cara kerja _buzzer_ politik Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Platform harus membuka data</h2>
<p>Sejak 2012, Twitter <a href="https://www.theverge.com/2012/8/20/3250218/developers-react-twitter-api-rules">membatasi</a> akses data oleh pihak ketiga, sedangkan Facebook membatasi datanya sejak dipanggil oleh Senat Amerika Serikat (AS) karena <a href="https://www.voanews.com/usa/zuckerberg-apologizes-data-breach-congressional-testimony">pelanggaran privasi</a>.</p>
<p>Meski Facebook telah membuka akses data, beberapa peneliti masih mengganggap kebijakan Facebook ini hanya strategi hubungan masyarakat (humas) semata untuk mengurangi <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-00828-5">tekanan dan kritik</a> akibat skandal Cambridge Analytica dan maraknya misinformasi yang beredar di AS. </p>
<p>Selain itu, Mozilla Foundation dan beberapa peneliti juga mengatakan bahwa Facebook, Twitter, dan Google belum transparan dalam menyediakan antarmuka pemrograman aplikasi (<em>application programming interface</em>, API) terkait <a href="https://blog.mozilla.org/blog/2019/03/27/facebook-and-google-this-is-what-an-effective-ad-archive-api-looks-like/">iklan politik</a>. API memungkinkan pemogram lain untuk berinteraksi dengan sebuah sistem operasi.</p>
<p>Transparansi data, khususnya untuk kepentingan penelitian, merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan penyedia platform atas sistem dan algoritma yang mereka bangun. </p>
<p>Saat ini, dengan <a href="https://www.hootsuite.com/resources/digital-trends">4,2 miliar pengguna aktif</a> di seluruh dunia, platform media sosial merupakan ruang publik baru, tempat berbagai pihak berupaya untuk menyebarkan ide, membangun agenda, dan memengaruhi emosi publik dengan memanfaatkan media sosial. </p>
<p>Dibutuhkan kerjasama kolektif antara berbagai pihak, utamanya dari kalangan peneliti, jurnalis, dan komunitas pengembang, yang memiliki kepakaran masing-masing, untuk memastikan ruang publik di media sosial membawa lebih banyak manfaat daripada kerusakan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampaknya untuk riset di Indonesia</h2>
<p>Sebagai negara yang dengan pengguna media sosial terbesar ketiga dan salah satu yang teraktif di dunia, media sosial merupakan bagian dari penting dari keseharian orang Indonesia. </p>
<p>Sayangnya, riset-riset tentang Indonesia dengan menggunakan kajian kuantitatif dari pengumpulan <em>big data</em> di media sosial masih terbatas. </p>
<p>Hal ini tidak saja merugikan kalangan peneliti, namun juga berdampak pada kualitas informasi yang beredar di masyarakat. </p>
<p>Meski jurnalis dan komunitas cek fakta sudah terlatih mengecek kebenaran informasi, namun kemampuan ini perlu diimbangi dengan kemampuan menganalisis sumber penyebaran hoaks, mengenali pola penyebaran informasi, mengenali pihak yang membangun agenda pada sebuah isu, dan mengenali perilaku bot dan akun-akun palsu. </p>
<p>Dengan demikian, jurnalis tidak akan terjebak memberitakan agenda-agenda yang memang secara sistematis dibangun dan digaungkan di media sosial oleh pihak-pihak tertentu, misalnya <a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">pendengung-pendengung (<em>buzzer</em>)</a> <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191004161417-37-104536/wow-jadi-segini-bayaran-buzzer-politik-di-indonesia">bayaran aktor politik</a>.</p>
<p>Selama ini, dalam konteks politik Indonesia, pemerintah menggunakan alasan bahwa publik terperdaya hoaks sebagai narasi utama untuk <a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">mengalihkan isu</a>, <a href="https://theconversation.com/pembatasan-internet-di-papua-ancam-demokrasi-dan-kebebasan-berpendapat-seluruh-rakyat-indonesia-122263">mematikan akses internet</a>, bahkan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/06/criticism-not-an-insult-polices-plan-to-nab-slanderers-of-govt-over-covid-19-questioned.html">membungkam kritik terhadap pemerintah</a>. </p>
<p>Dengan semakin terbukanya platform atas data mereka, maka peneliti dan jurnalis dapat mengimbangi narasi tersebut berdasarkan data-data dari platform. </p>
<p>Di sisi lain, peneliti juga dapat membantu platform memberikan peringatan dan memahami lebih baik jaringan penyebaran hoaks di Indonesia, maupun perilaku masyarakat dalam menggunakan media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154376/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ika Karlina Idris tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebagai ruang publik baru, media sosial memiliki data penting bukan saja untuk penelitian ilmiah, tapi juga agar peneliti dapat terlibat mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat.Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1407972020-06-18T08:08:41Z2020-06-18T08:08:41ZRiset ungkap PSBB efektif cegah penyebaran virus, pemerintah jangan terburu-buru terapkan ‘new normal’<p>Setelah dua bulan kebijakan <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176085/PP_Nomor_21_Tahun_2020.pdf">Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)</a> untuk mengurangi pergerakan masyarakat sehingga dapat membendung penyebaran virus COVID-19, pemerintah berencana untuk mulai memperbolehkan masyarakat untuk menjalankan <a href="https://tirto.id/menuju-new-normal-kasus-baru-harian-indonesia-masih-fluktuatif-fESy">aktivitas normal</a>. Mereka <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5049779/ri-perlu-new-normal-biar-ekonomi-jalan-lagi">berharap</a> kondisi <em>new normal</em> bisa memperbaiki kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi.</p>
<p>Terdapat <a href="https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20200527114516-33-161155/peneliti-eijkman-ri-masih-belum-siap-new-normal">perdebatan</a> terkait apakah keputusan itu tepat. Apalagi jumlah kasus COVID-19 di Indonesia masih tergolong <a href="https://www.kompas.tv/article/87013/pandemi-belum-usai-penambahah-kasus-corona-di-beberapa-wilayah-masih-tinggi">sangat tinggi</a>. Pada tanggal 15 Juni saja, ada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/06/15/16235451/64-pasien-meninggal-dalam-sehari-tertinggi-dalam-kasus-covid-19-di-indonesia?page=all">64 pasien meninggal</a> karena COVID-19 dalam sehari, angka <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/06/15/16235451/64-pasien-meninggal-dalam-sehari-tertinggi-dalam-kasus-covid-19-di-indonesia?page=all">tertinggi</a> sejak kasus pertama tanggal 2 Maret.</p>
<p>Dengan jumlah kasus yang masih tinggi, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru menerapkan <em>new normal</em>, terutama di wilayah dengan tingkat penyebaran virus yang masih tinggi (zona merah). Pemerintah seharusnya tetap menerapkan PSBB karena <a href="https://drive.google.com/file/d/1ZNF4vxS4PTXn2x6VHVslhfctF9KuxprI/view?usp=sharing">studi</a> kami menunjukkan bahwa PSBB efektif membatasi pergerakan masyarakat dan menekan penyebaran virus.</p>
<h2>Riset efektivitas PSBB</h2>
<p>Selama ini sangat sedikit studi yang menggambarkan secara empiris dampak dari PSBB dalam mengurangi pergerakan masyarakat dan pengaruhnya pada transmisi virus COVID-19.</p>
<p>Dengan menggunakan pemodelan statistik dan data pergerakan masyarakat yang <a href="https://arxiv.org/abs/2004.04145">dirilis</a> oleh Google pada April 2020, kami mengevaluasi efektivitas PSBB terhadap perubahan pergerakan masyarakat saat pandemi COVID-19 serta dampaknya kepada angka penyebaran virus COVID-19. </p>
<p>Data dari Google tersebut dapat menggambarkan perubahan pergerakan masyarakat di rumah, di pertokoan, sarana transportasi, maupun di tempat kerja selama pandemi. Studi dilakukan antara 15 Februari hingga 16 Mei 2020 dengan basis data seluruh provinsi di Indonesia.</p>
<p>Seperti diketahui, DKI Jakarta adalah yang pertama <a href="https://www.kompas.tv/article/75109/mulai-10-april-2020-dki-jakarta-terapkan-psbb-berikut-info-selengkapnya">menerapkan PSBB</a> (tanggal 10 April) lalu kemudian dilanjutkan oleh provinsi-provinsi lainnya (Jawa Barat 15 April, Banten 18 April, dan seterusnya).</p>
<p>Kami menemukan perbedaan signifikan pergerakan masyarakat di DKI Jakarta dibandingkan provinsi lainnya sebelum dan setelah PSBB. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=311&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=311&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=311&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=391&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=391&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342033/original/file-20200616-23247-77sjdu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=391&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"><em>Counterfactual</em> model PSBB di DKI Jakarta.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Grafik di atas menampilkan model yang membandingkan kecenderungan masyarakat Jakarta berdiam di rumah dengan dan tanpa adanya PSBB. Dapat dilihat bahwa PSBB tahap pertama (10 April) cukup efektif mengendalikan pergerakan masyarakat. </p>
<p>Kemudian PSBB tahap kedua (24 April) juga dapat meningkatkan kecenderungan masyarakat berdiam di rumah. </p>
<p>Tanpa PSBB, akan ada penurunan kecenderungan masyarakat berdiam di
rumah dengan selisih antara 4-5 poin persentase, seperti ditunjukkan oleh daerah berarsir di grafik tersebut.</p>
<p>PSBB yang diterapkan di 11 provinsi juga cukup efektif membatasi pergerakan masyarakat, bahkan secara umum lebih baik daripada kebijakan dari pemerintah pusat seperti larangan mudik tanggal 21 April atau penetapan status darurat kesehatan masyarakat tanggal 31 Maret.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=492&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=492&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342037/original/file-20200616-23276-shs3i0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=492&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengaruh intervensi pemerintah terhadap perubahan mobilitas residensial sebagai.
indikator kecenderungan masyarakat diam di rumah</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342039/original/file-20200616-23217-ktc4bt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengaruh intervensi pemerintah terhadap perubahan mobilitas masyarakat di berbagai.
tempat (tempat tinggal, kantor, dan pertokoan)</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua tabel di atas menunjukkan derajat efektivitas imbauan dan pengumuman dari pemerintah selama pandemi terhadap pergerakan masyarakat. Semakin besar poinnya maka semakin efektif. </p>
<p>Sebagai contoh, ketika pemerintah menetapkan status bencana nasional 14 Maret, kecenderungan masyarakat untuk berdiam di rumah sebesar 13,2 poin. Sementara itu, kebijakan PSBB dapat meningkatkan pergerakan di rumah sebesar 4,36 poin. Sebaliknya, kebijakan pelonggaran transportasi tanggal 7 Mei justru menurunkan kecenderungan masyarakat untuk tetap diam di rumah sebesar 1,74 poin. </p>
<p>Efektivitas PSBB di setiap provinsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, antara lain (1) besarnya sektor informal; (2) akses terhadap sanitasi yang layak; dan (3) lokasi, apakah di pulau Jawa atau luar Jawa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=211&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=211&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=211&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=266&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=266&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/341871/original/file-20200615-65930-6dw4fc.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=266&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hubungan antara besarnya sektor informal (kiri) dan akses kepada sanitasi layak (kanan)
dengan kecenderungan masyarakat diam di rumah selama masa pandemi.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dampak pergerakan masyarakat dengan pertumbuhan kasus</h2>
<p>Kami juga menganalisis efektivitas PSBB melalui tiga skenario: (a) PSBB diperlonggar di mana level pergerakan orang semakin dibatasi, (b) PSBB parsial dan (c) PSBB lebih diperketat. </p>
<p>Pendekatan simulasi skenario ini bisa memprediksi jumlah kasus termasuk angka kematian berdasarkan level PSBB di berbagai provinsi di Indonesia.</p>
<p>Dengan skenario PSBB lebih diperketat, penambahan angka kasus COVID-19 di Indonesia diprediksi antara 0 hingga 1.735 (periode 9 Mei-9 Juni 2020). Dengan skenario PSBB parsial, diprediksi akan ada penambahan kasus antara 3.670 hingga 6.323 kasus pada periode yang sama. Skenario terburuk terjadi jika PSBB diperlonggar; diprediksi akan terdapat penambahan kasus antara 8.224 hingga 12.633 dalam kurun waktu 30 hari. </p>
<p>Dengan melihat jumlah kasus dan dengan asumsi angka tingkat kematian Indonesia sebesar <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20200511/15/1239203/rasio-pasien-sembuh-covid-19-di-jawa-tengah-terus-meningkat">6.94 persen</a> maka dapat diprediksi angka kematian berdasarkan skala pergerakan masyarakat. </p>
<p>Dengan skenario pengetatan PSBB, sebagian besar provinsi di Indonesia akan mengalami penurunan jumlah kasus kematian yang sangat signifikan. Parsial PSBB akan menyebabkan setidaknya 346 orang meninggal. Sedangkan pelonggaran PSBB akan menyebabkan peningkatan jumlah kematian sebesar 724 orang dalam waktu 1 bulan atau mengalami peningkatan sekitar 61 persen.</p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa jika pemerintah dapat menekan skala pergerakan masyarakat, maka jumlah kasus COVID-19 akan mengalami penurunan yang signifikan. Namun, jika pemerintah bersikap tergesa-gesa untuk mengadopsi <em>new normal</em>, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan angka kasus COVID-19 dan memperpanjang masa pandemi COVID-19 .</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=304&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=304&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=304&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=382&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=382&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/342337/original/file-20200617-94066-1hytq7k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=382&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Skenario penambahan jumlah kasus per provinsi selama satu bulan ke depan jika PSBB diperketat.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/341870/original/file-20200615-65947-1fdm4to.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Skenario penambahan jumlah kasus per provinsi selama satu bulan ke depan jika PSBB dilonggarkan.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pesan untuk pemerintah</h2>
<p>Studi ini menyiratkan pesan penting kepada pemerintah bahwa pilihan kebijakan terkait pembatasan pergerakan masyarakat berpengaruh pada skala pergerakan masyarakat dan transmisi virus. </p>
<p>Studi ini memberikan bukti empiris bahwa jika pembatasan pergerakan orang terus dioptimalkan terutama di wilayah dengan tingkat penyebaran yang tinggi, angka penyebaran kasus bisa ditekan hingga titik terendah, sehingga kemudian masyarakat bisa beraktivitas normal kembali seperti biasanya. </p>
<p>Sebaliknya, kebijakan <em>new normal</em> yang tidak disertai dengan penerapan protokol kesehatan berpotensi meningkatkan transmisi virus COVID-19 secara signifikan.</p>
<p>Sebuah <a href="https://internasional.kontan.co.id/news/studi-baru-lockdown-harus-dilakukan-enam-minggu-agar-efektif-tangkal-pandemi-corona?page=2">penelitian</a> menunjukkan bahwa <em>lockdown</em> seharusnya dilaksanakan secara ketat dalam waktu enam minggu. Pemerintah, yang masih menerapkan PSBB secara belum ketat dengan <a href="https://bahasan.id/ancaman-sanksi-psbb-yang-disuarakan-pejabat-tidak-jelas-pelanggaran-psbb-tidak-serta-merta-jadi-tindak-pidana/">instruksi yang belum jelas</a> meskipun sudah berjalan dua bulan, seharusnya juga melihat betapa <a href="https://kumparan.com/kumparansains/daftar-negara-yang-buru-buru-new-normal-corona-dan-akhirnya-gagal-1tbZMa7tkKU/full">fatalnya penetapan <em>new normal</em></a> sebelum COVID-19 dibendung seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Iran dan Meksiko. </p>
<p><em>Isnawati Hidayah, Kanya Anindya, dan Hanif Fajri juga terlibat dalam studi dan penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140797/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan jumlah kasus yang masih tinggi, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengimplementasi new normal, terutama di wilayah dengan tingkat penyebaran virus yang masih tinggi (zona merah)Media Wahyudi Askar, Research Associate , Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Muhammad Yorga Permana, Lecturer in School of Business and Management ITB and PhD Student in Economic Geography, London School of Economics and Political ScienceMuhammad Zulfikar Rakhmat, Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1071702019-01-17T07:51:38Z2019-01-17T07:51:38ZDiagnosis digital: meramal penyakit dengan gawai<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/253837/original/file-20190115-152974-mfa7r6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C667%2C441&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Belum banyak tenaga kesehatan yang menggunakan data ponsel untuk membuat keputusan medis. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Bagaimana jika Anda dapat meramalkan penyakit, bahkan sebelum ada gejalanya? Gawai dan data digital Anda mungkin dapat membantu. </p>
<p>Apabila Anda membawa gawai ke mana pun Anda pergi, kemungkinan besar <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/article-abstract/2654782">data diri dan kebiasaan Anda</a> sudah terekam. Sandangan (<em>wearables</em>) yang Anda pakai juga dapat merekam berbagai data kebugaran badan. Saat semua data tersebut dikumpulkan, Anda bisa mendapatkan suatu <a href="https://www.nature.com/articles/nbt.3223"><em>fenotipe digital</em></a>–suatu gambaran komprehensif mengenai kesehatan Anda, layaknya suatu <em>jigsaw puzzle</em> digital.</p>
<p>Jika hasil rekaman tersebut disusun bersama dengan data dari evaluasi klinis, seperti tes darah atau pencitraan diagnostik, informasi yang didapatkan dapat membantu para tenaga kesehatan menentukan bentuk perawatan yang baik bagi calon pasien. Telah ditemukan semakin banyak bukti yang mendukung manfaat penggunaan data daring untuk <a href="https://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJMp0900702">mendeteksi penyakit secara digital</a>, <a href="https://www.jad-journal.com/article/S0165-0327(12)00738-0/fulltext">memprediksi bunuh diri</a>, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1839505/">wabah influenza</a> atau <a href="https://bmjopen.bmj.com/content/8/10/e018335">kasus-kasus HIV baru</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/terapi-online-berpotensi-menurunkan-tingkat-depresi-90553">Terapi online berpotensi menurunkan tingkat depresi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang perangkat digital Anda ketahui tentang Anda?</h2>
<p>Saat bangun dari tempat tidur, gawai Anda merekam jam Anda bangun dan kemungkinan juga berapa lama serta kualitas tidur Anda. Jika Anda pergi kerja, alat tersebut juga dapat merekam perjalanan Anda–termasuk jumlah waktu yang Anda habiskan berdiri atau duduk–melalui GPS dan data geografis. </p>
<p>Gawai Anda juga mencatat aktivitas fisik Anda sepanjang hari–seperti jarak Anda berjalan atau memanjat, waktu berdiri dan perkiraan olahraga serta energi yang dikeluarkan–melalui <a href="https://www.livescience.com/40102-accelerometers.html">akselerometer</a>.</p>
<p>Anda bisa mengakses rekam medis, data diet dan berat badan melalui suatu aplikasi dan timbangan pintar. Irama dan detak jantung Anda bisa direkam melalui sandangan arloji pintar. Penggunaan perangkat digital, termasuk waktu yang Anda habiskan mengamati layar dan sejarah peramban (penelusuran web) Anda, direkam oleh gawai atau berbagai aplikasi yang telah diunduh. </p>
<h2>Bagaimana informasi ini bisa berguna?</h2>
<p>Ambillah contoh <a href="https://www.mja.com.au/journal/2018/209/8/national-heart-foundation-australia-and-cardiac-society-australia-and-new-0">penyakit gagal jantung</a>bkronis. Sejumlah 480.000 warga Australia diperkirakan hidup dengan penyakit yang lazim diderita oleh orang dewasa berusia lanjut ini. Umumnya, para individu dengan kegagalan jantung kronis juga memiliki berbagai permasalahan kesehatan lain.</p>
<p>Meskipun gagal jantung adalah kondisi yang memburuk dengan waktu dan dapat menyebabkan kematian, seringkali terdapat beberapa gejala yang mendahului periode pemburukan, contohnya, pembengkakan di kaki atau pergelangan kaki (<em>oedema</em>), sesak napas (<em>dyspnoea</em>), rasa letih dan kapasitas olahraga yang menurun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-teknologi-bisa-membantu-perawatan-pasien-101358">Bagaimana teknologi bisa membantu perawatan pasien</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika seseorang yang menderita gagal jantung dipantau lewat gawai, data yang terekam dapat mencatat gangguan pada pola tidur, penurunan aktivitas fisik, perubahan berat badan dan tanda vital, seperti irama jantung, yang tidak teratur. Perubahan dalam fungsi keseharian seseorang dapat menunjukkan memburuknya kondisi yang seharusnya mendorongnya untuk mengunjungi tenaga kesehatan atau rumah sakit. </p>
<p>Lebih jauh lagi, perubahan yang telah terdeteksi bahkan dapat mengirimkan tanda kepada tenaga kesehatan mereka agar mereka dapat melakukan pemeriksaan klinis dan intervensi dengan tepat waktu. Ini tidak hanya dapat memotong biaya kesehatan secara signifikan, namun juga bisa memperbaiki pengelolaan gejala dan kemerosotan kondisi kesehatan yang tidak diinginkan.</p>
<h2>Apakah para tenaga kesehatan menggunakan informasi ini?</h2>
<p>Populasi global secara umum hidup lebih lama dengan berbagai kondisi kesehatan kronis. Namun, tenaga kesehatan yang menggunakan <em>fenotipe digital</em> pasien untuk memperkaya keputusan klinis mereka hanya sedikit.</p>
<p>Informasi dan pendidikan mengenai cara untuk mengakses dan menerapkan data tersebut secara rutin di klinik belum banyak. Protokol, prosedur dan platform untuk mengumpulkan, menganalisis dan mengintegrasikan data yang terkumpul ke dalam rekam medis juga belum umum dipraktikkan.</p>
<p>Beberapa bentuk pemantauan kesehatan jarak jauh sudah tersedia. Contohnya, sistem <a href="https://www.cochrane.org/CD007228/VASC_structured-telephone-support-and-non-invasive-telemonitoring-management-people-heart-failure">kesehatan dan pengawasan kesehatan jarak jauh</a> memungkinkan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan jarak jauh melalui telepon atau platform berbasis internet. Namun penggunaannya dalam perawatan klinis rutin cenderung lamban–mungkin karena pemakaiannya mengharuskan pasien dan tenaga kesehatan untuk memasukkan data secara manual. Hal ini berbeda dengan perekaman data secara pasif oleh gawai atau sandangan.</p>
<h2>Garis depan perawatan kesehatan yang baru</h2>
<p>Kita sangat membutuhkan model perawatan kesehatan inovatif yang mendukung pemantauan pasien dengan penyakit kronis, serta deteksi dini gejala penyakit. Ini artinya sistem pengiriman dan penerimaan data dari pasien dan tenaga kesehatan harus dibuat. Pengumpulan data secara pasif melalui gawai atau sandangan memungkinkan memantau kesehatan dengan harga terjangkau, suatu solusi yang tidak membebani penyedia jasa atau pasien untuk pengunggahan data.</p>
<p>Bentuk-bentuk teknologi yang baru ini harus ditanamkan dalam data kesehatan dan sistem rekam medis elektronik yang sudah ada. Namun teknologi ini menyajikan serangkaian tantangan dalam bidang klinis, hukum, etis, maupun sistem kesehatan.</p>
<p>Para pasien harus memberikan persetujuan kepada tenaga kesehatan untuk mengakses dan menggunakan data digital pribadi mereka dalam perawatan kesehatan. Keamanan data harus terjamin sepanjang proses yang berlangsung. Kita juga tidak dapat mengabaikan pentingnya <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/jocn.13470">pertemuan tatap muka langsung</a> antara pasien dan tenaga kesehatan.</p>
<p>Data pemantauan sendiri tidak dapat meningkatkan kualitas hasil perawatan, namun data tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi pasien sehingga memungkinkan pemeriksaan dan intervensi klinis yang tepat waktu.</p>
<hr>
<p><em>Diterjemahkan oleh Rizkina Aliya dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107170/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Caleb Ferguson telah menerima dana the Stroke Foundation, Sekolah Tinggi Keperawatan Australia, University of Technology, Western Sydney University dan tenaga pengajar dari Pfizer. Dia berafiliasi dengan Western Sydney University, Western Sydney Local Health District, University of Technology Sydney, Translational Health Research Institute (THRI) dan Ingham Institute. Dia adalah managing editor dari Contemporary Nurse dan editor dari BMC Cardiovascular Disorders. Dia adalah anggota eksekutif dari Cardiovascular Nursing Council of the Cardiac Society of Australia & New Zealand, direktur untuk Australasian Cardiovascular Nursing College, anggota dan duta besar dari Research Advisory Committee of the Stroke Foundation. Dia berkontribusi dalam penulisan Heart Foundation Atrial Fibrillation Guidelines (2018) and Stroke Foundation Clinical Guidelines (2017).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sally Inglis menerima dana dari NSW Cardiovascular Research Network yang didukung oleh Heart Foundation of Auistralia and the NSW Office for Health and Medical Research. Dirinya sebelumnya menerima dana dari National Health and Medical Research Council dan National Instistute of Heath Research (UK). Dia adalah anggota editor dari Cochrane Collaboration Heart Group dan mengepalai Cardiovascular Nursing Council of Cardiac Society of Australia dan New Zealand.</span></em></p>Apabila Anda membawa gawai ke mana-mana, data yang terekam dapat digunakan untuk membuat gambaran yang menyeluruh mengenai kesehatan Anda–dan mengirim peringatan apabila kesehatan Anda memburuk.Caleb Ferguson, Senior Research Fellow, Western Sydney Local Health District &, Western Sydney UniversitySally Inglis, Associate Professor, NSW Cardiovascular Research Network Life Sciences Fellow, IMPACCT, Faculty of Health, University of Technology SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1072052018-11-26T10:22:40Z2018-11-26T10:22:40ZLima proyek yang memanfaatkan big data untuk kebaikan sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/246934/original/file-20181122-182037-14aouv5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seringkali nilai dari sains data terletak pada pekerjaan mengabungkan banyak titik tersebut.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/global-communication-network-concept-1007765272?src=DOp-e91q53j0RY4m5Gt9cw-1-7">Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Ilmu data (<em>data science</em>) <a href="https://www.ibm.com/blogs/think/nl-en/2017/03/08/today-big-data-analytics-everywhere-everyone/">telah berkembang pesat</a> selama dekade terakhir, mengikuti kemajuan dalam matematika, kemampuan komputasi, dan penyimpanan data. <a href="https://www.industry.gov.au/funding-and-incentives/manufacturing/industry-40">Gugus tugas Industri 4.0</a> Australia sedang sibuk mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan ekonomi Australia dengan alat-alat seperti kecerdasan buatan, algoritme mesin pembelajaran dan analitik data besar (<em>big data</em>).</p>
<p>Tapi sementara ilmu mengenai data menawarkan potensi untuk memecahkan masalah kompleks dan mendorong inovasi, ilmu ini sering mendapat kecaman karena <a href="https://theconversation.com/cambridge-analytica-used-our-secrets-for-profit%20-yang-sama-data-bisa-digunakan-untuk-publik-baik-98745">penggunaan data yang tidak etis</a> atau <a href="https://www.technologyreview.com/s/607955/inspecting-algorithms-for-bias/">konsekuensi negatif yang tidak diinginkan</a>-khususnya dalam kasus-kasus komersial saat orang-orang menjadi angka data dalam laporan tahunan perusahaan.</p>
<p>Kami berpendapat bahwa ilmu data tidak boleh dibatasi pada urusan bisnis dan margin keuntungan. Ketika digunakan secara etis, data besar dapat <a href="https://www.nesta.org.uk/blog/are-you-using-technology-for-social-good-help-us-grow-a-digital-%20sosial-inovasi-komunitas-di-eropa%20/">membantu menyelesaikan</a> beberapa masalah sosial dan lingkungan yang paling sulit di masyarakat.</p>
<p>Industri 4.0 harus dibuat berdasarkan nilai-nilai yang memastikan teknologi ini dilatih untuk <a href="https://www.nesta.org.uk/blog/are-you-using-technology-for-social-good-help-%20kami-tumbuh-a-digital-sosial-inovasi-komunitas-di-eropa%20/">kebaikan sosial</a>, dikenal sebagai <a href="https://www.swinburne.edu.au/events/departments/research/2018/11/society%20-40-forum-shaping-the-digital-economy-for-good.php">Masyarakat 4.0</a>). Hal tersebut berarti menggunakan data secara etis, melibatkan warga dalam prosesnya, dan membangun nilai sosial ke dalam desain tersebut.</p>
<p>Berikut lima proyek ilmu data yang menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik.</p>
<h2>1. Menemukan titik tersulit kemanusiaan</h2>
<p>Masalah sosial dan lingkungan jarang mudah dipecahkan. Contohnya <a href="https://www.abc.net.au/news/2018-10-23/helping-farmers-in-distress-does-not-help-them-be-the-best/%2010417972">kesulitan dan tekanan</a> di daerah terpencil yang mengalami kekeringan di Australia. Luas Australia dan banyaknya orang dan komunitas yang terkena menyulitkan mempertemukan mereka yang membutuhkan dukungan dan sumber daya.</p>
<p><a href="https://www.swinburne.edu.au/research-institutes/social-innovation/research/social-data-analytics/">Tim kami</a> bergabung dengan <a href="https://www.redcross.org.au/">Palang Merah Australia</a> untuk mencari tahu pusat-pusat kegiatan kemanusiaan di negara bagian Victoria. Kami menggunakan data media sosial untuk memetakan aktivitas kemanusian dan menemukan bahwa titik teraktif kegiatan sukarela dan amal terletak di dalam dan sekitar sentra bisnis Kota Melbourne dan pinggiran timur. Wawasan semacam ini dapat membantu organisasi bantuan lokal menyalurkan kegiatan sukarela pada saat kebutuhan mendesak.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=849&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=849&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=849&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1067&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1067&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/242436/original/file-20181026-7041-hhfsgj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1067&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Distribusi aksi-aksi kemanusiaan di Melbourne bagian dalam dan area pemerintah lokal. Titik biru dan titik merah melambangkan posting Instagram di sekitar hashtag#volunteer dan #charity.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>2. Meningkatkan keselamatan dari ancaman kebakaran di rumah-rumah</h2>
<p>Mengakses data-<a href="https://hbr.org/2017/09/sgc-publish-the-week-of-911-new-research-only-3-of-companies-have-quceptable-quality%20-data?%20utm_campaign%20=%20hbr%20&%20utm_source%20=%20linkedin%20&%20utm_medium%20=%20sosial">data yang benar</a>, dalam bentuk yang tepat–adalah tantangan yang terus dihadapi dalam ilmu data. Kita tahu bahwa kebakaran rumah adalah ancaman serius, dan bahwa alat peringatan kebakaran dan asap menyelamatkan jiwa. Menargetkan rumah-rumah tanpa alat peringatan kebakaran dapat membantu mengurangi risiko tersebut. Tapi tidak ada sumber informasi tunggal yang dapat diandalkan untuk digunakan.</p>
<p>Di Amerika Serikat, <a href="https://labs.enigma.com/smoke-signals/">Enigma Labs</a> membangun alat data terbuka untuk memodelkan dan memetakan risiko pada tingkat masing-masing lingkungan. Untuk melakukan ini secara efektif, mereka menggabungkan data sensus nasional dengan alat geocoder (<a href="https://www.census.gov/geo/maps-data/data/tiger.html">TIGER</a>), serta analitik berdasarkan data insiden kebakaran lokal, untuk mendapatkan sebuah skor risiko.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=266&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=266&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=266&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=335&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=335&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/242442/original/file-20181026-7053-rix5qg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=335&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Skor risiko kematian akibat kebakaran dihitung pada tingkat kelompok blok Sensus.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://labs.enigma.io/smoke-signals/">Enigma Labs</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>3. Memetakan kekerasan polisi di AS</h2>
<p>Warga biasa dapat dilibatkan dalam menghasilkan data sosial. Ada banyak proyek pemetaan terbuka <em>crowdsourced</em> (melibatkan banyak warga), tapi seringkali nilai dari sains data terletak pada pekerjaan menggabungkan banyak titik tersebut. </p>
<p>Proyek <a href="https://mappingpoliceviolence.org/">Mapping Police Violence</a> di AS memonitor, memahami, dan memvisualisasikan kekerasan polisi. Hal ini mengacu pada tiga database <em>crowdsourced</em>, tapi juga mengisi gap menggunakan sebuah gabungan data dari media sosial, berita kematian, database catatan kriminal, laporan polisi dan sumber informasi lainnya. Dengan menggambarkan semua informasi ini bersama-sama, proyek ini mengukur skala masalah dan membuatnya terlihat.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=522&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=522&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=522&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=656&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=656&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/242443/original/file-20181026-7041-18lbezy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=656&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah visualisasi banyaknya kekerasan oleh polisi di Amerika Serikat.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://mappingpoliceviolence.org/">Mapping Police Violence</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4. Mengoptimalkan pengelolaan limbah</h2>
<p><a href="https://www2.deloitte.com/insights/us/en/focus/internet-of-things/technical-primer.html">Internet of Things</a> disusun dari sejumlah besar perangkat yang terhubung yang mengumpulkan data. Ketika tertanam dalam objek biasa di sekitar kita, dan dikombinasikan dengan analisis dan komputasi berbasis cloud, objek-objek ini menjadi pintar–dan dapat membantu menyelesaikan masalah atau ketidakefisienan di lingkungan yang dibangun.</p>
<p>Di Melbourne, ada keranjang sampah <a href="http://bigbelly.com/">BigBelly</a> di sekitar sentra bisnis. Tempat sampah pintar ini memiliki pemadat sampah bertenaga surya yang secara teratur memadatkan sampah di dalamnya sepanjang hari. Hal ini menghilangkan luapan sampah dan mengurangi emisi karbon yang tidak perlu dengan pengurangan 80% dalam pengumpulan sampah.</p>
<p>Analisis dan pelaporan data <em>real-time</em> disediakan oleh portal pengelolaan data berbasis cloud, yang dikenal sebagai <a href="https://www.solarbins.com.au/features/clean-management-console/">CLEAN</a>. Alat ini mengidentifikasi tren tumpukan sampah, yang membantu penempatan keranjang dan merencanakan layanan pengumpulan sampah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/243420/original/file-20181101-173899-wlqh24.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Keranjang sampah BigBelly digunakan di CBD Melbourne.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/zolk/5618797389/in/photolist-9yvNQH-9yyPxE-ru8W7F-9yvNH4-rcG3Ap-vBmiDk-9yyQ35">Kevin Zolkiewicz/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>5. Mengidentifikasi lokasi rawan pelecehan seksual jalanan</h2>
<p>Sebuah kelompok terdiri empat perempuan-dan banyak pendukung sukarelawan-di Mesir mengembangkan <a href="https://harassmap.org/en">HarassMap</a> untuk melibatkan, dan menginformasikan, komunitas dalam upaya untuk mengurangi pelecehan seksual. Platform yang mereka bangun menggunakan data dari banyak warga yang dianonimkan untuk memetakan insiden pelecehan seksual yang terjadi di jalan untuk memperingatkan pengguna jalan tentang daerah yang berpotensi tidak aman.</p>
<p>Tantangan bagi kelompok ini adalah menyediakan sebuah alat (sarana) untuk menghasilkan data untuk sebuah masalah yang masalah itu sendiri secara luas ditutup-tutupi. Pemetaan dan pemberian informasi adalah teknik ilmu data data yang penting untuk mengatasi masalah sosial.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=370&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=370&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=370&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=465&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=465&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/242444/original/file-20181026-7065-1bfw9g5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=465&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pemetaan lokasi rawan pelecehan seksual dilaporkan di Mesir.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://harassmap.org/en/">HarassMap</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cambridge-analyticas-closure-is-a-pyrrhic-victory-for-data-privacy-96034">Cambridge Analytica's closure is a pyrrhic victory for data privacy</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membangun masyarakat yang lebih baik</h2>
<p>Mengubah upaya-upaya dari ilmu data menjadi kebaikan sosial tidak mudah. Mereka yang memiliki keahlian harus disesuaikan dengan <a href="https://hbswk.hbs.edu/item/the-hard-work-of-measuring-social-impact">dampak sosial</a> dari analitik data. Sementara itu, akses ke data atau <a href="https://ijpds.org/article/view/640">menghubungkan data lintas sumber</a> merupakan tantangan utama-terutama karena privasi data menjadi perhatian yang semakin meningkat.</p>
<p>Sementara matematika dan algoritme yang mendorong sains data tampak objektif, faktor manusia sering melibatkan <a href="https://www.npr.org/2018/01/26/580617998/cathy-oneil-do-algorithms-perpetuate-%20bias%20manusia">bias</a>, yang dapat menghasilkan pemodelan yang tidak akurat. Literasi digital dan data, bersama dengan kurangnya transparansi dalam metodologi, meningkatkan <a href="http://science.sciencemag.org/content/359/6371/42">ketidakpercayaan terhadap <em>big data</em> dan analitik</a>.</p>
<p>Meski demikian, ketika bekerja untuk kebaikan sosial, ilmu data data dapat memberikan sumber-sumber bukti baru untuk membantu pemerintah dan badan pendanaan dengan kebijakan, penganggaran, dan perencanaan masa depan. Hal ini akhirnya dapat menghasilkan <a href="http://www.opendata500.com/au">sebuah masyarakat yang lebih peduli dan terhubung yang lebih baik</a>.</p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gracesillya Febriani dan Ahmad Nurhasim.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107205/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arezou Soltani Panah receives funding from the Australian Red Cross.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Anthony McCosker receives funding from the Australian Red Cross.</span></em></p>Matematika dan algoritme yang mendorong sains data tampak objektif, tapi faktor manusia sering melibatkan bias.Arezou Soltani Panah, Postdoc Research Fellow (Social Data Scientist), Swinburne University of TechnologyAnthony McCosker, Senior Lecturer in Media and Communications, Swinburne University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/957662018-05-14T01:29:11Z2018-05-14T01:29:11ZRoby Muhamad dan penjelajahan dari fisika ke sosiologi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/218689/original/file-20180513-34018-eo4g0f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTUyNjI1MTMwMCwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTA1NDE4MjY2NSIsImsiOiJwaG90by8xMDU0MTgyNjY1L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sInNmM1BLQnVKV2FQU0tCUm8yd3k3T0lCUEI4NCJd%2Fshutterstock_1054182665.jpg&pi=26377567&m=1054182665&src=HbQnSP5duA8_Tby0b69vqA-2-93">Aha-Soft/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/5wZctsPAu0VGSDjdmO1DEs" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Masalah manusia di atas bumi begitu kompleks. Pemanasan global, terorisme, konflik sosial, krisis air, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan masalah lainnya tidak bisa diselesaikan dengan satu pendekatan. Ilmu pengetahuan kini membuka diri untuk kolaborasi mencari jalan penyelesaikan atas masalah terkait manusia. </p>
<p>Pendekatan interdisipliner dan teori kompleksitas, yang menggunakan pendekatan ilmu sosial dan ilmu eksakta sekaligus, kini menjadi tren di dunia untuk mencari solusi atas masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh satu displin ilmu.</p>
<p>Ilmu fisika bisa maju karena ilmu ini memilih-milah fenomenanya menjadi kecil-kecil sekali. Bagaimana kita bisa mengerti AC mendinginkan ruangan? Karena kita mengerti detail molekul udara bekerja. Ilmu sosial kebalikannya. Kalau kita mengerti perilaku satu individu, tapi ketika dia digabung menjadi kolektif, ribuan, jutaan, miliaran individu, kita malah tidak mengerti. Ini yang disebut problem agregasi. Mengagregasikan perilaku individu-individu menjadi suatu fenomena. Menangkap pola pola itu adalah tantangan ilmu sosial saat ini.</p>
<p>Karena melibatkan sistem yang sangat besar, teknik-teknik yang melibatkan ilmu matematika, komputer, dan fisika bisa berguna membaca fenomena sosial. Pada titik ini, Roby Muhamad, doktor sosiologi yang berlatar belakang sarjana fisika teori, masuk menjadi bagian yang menggerakkan pendekatan interdispiliner sejak dia kuliah doktor di New York. Dosen Universitas Indonesia itu berkisah pengalamannya mengarungi lintasan ilmu dari fisika ke sosiologi, yang membantunya memahami <em>big data</em> di era internet.</p>
<p>Edisi kesepuluh Sains Sekitar Kita ini disiapkan dan dinarasikan oleh Hilman Handoni. Selamat mendengarkan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95766/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Karena melibatan sistem yang sangat besar, teknik-teknik yang melibatkan ilmu matematika, komputer, dan fisika bisa berguna membaca fenomena sosial.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/945752018-04-09T08:15:33Z2018-04-09T08:15:33ZCara penargetan Cambridge Analytica di Facebook—menurut orang yang membuatnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/213541/original/file-20180406-125184-1getoy8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1377%2C5001%2C3511&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seberapa tepat orang bisa menebak karakter Anda lewat jejak digital Anda? </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/laptop-shooting-target-arrows-on-screen-795280663">Andrew Krasovitckii/Shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Peneliti yang risetnya berada pada pusat skandal <a href="https://www.nytimes.com/2018/03/17/us/politics/cambridge-analytica-trump-campaign.html">Facebook-Cambridge Analytica soal analisis data untuk iklan politis</a> telah mengungkapkan bahwa metode yang ia pakai mirip seperti yang digunakan <a href="https://medium.com/netflix-techblog/netflix-recommendations-beyond-the-5-stars-part-1-55838468f429">Netflix untuk merekomendasikan film untuk penggunanya</a>. </p>
<p>Dalam sebuah surat elektronik pada saya, peneliti Cambridge University Aleksandr Kogan menjelaskan bagaimana model statistika miliknya memproses data Facebook untuk Cambridge Analytica. Tingkat keakuratan yang ia klaim menunjukkan bahwa metodenya bekerja sebaik <a href="https://www.cambridge.org/core/books/hacking-the-electorate/C0D269F47449B042767A51EC512DD82E">metode penyasaran pemilih</a> berbasis demografi seperti ras, usia, dan gender. </p>
<p>Jika pengakuan Kogan benar, artinya pemodelan digital yang digunakan Cambridge Analytica <a href="https://techcrunch.com/2018/03/23/facebook-knows-literally-everything-about-you/">jauh dari beberapa klaim</a> yang menyebutnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=APqU_EJ5d3U">sebagai sebuah bola kristal virtual</a>. Meski demikian, angka yang Kogan berikan <a href="https://civichall.org/civicist/will-the-real-psychometric-targeters-please-stand-up/">menunjukkan</a> <a href="https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2018/03/23/four-and-a-half-reasons-not-to-worry-that-cambridge-analytica-skewed-the-2016-election/">apa yang mungkin</a>—dan tidak mungkin—terjadi jika sebuah entitas <a href="https://www.wired.com/story/the-noisy-fallacies-of-psychographic-targeting/">menggabungkan data pribadi</a> <a href="https://www.nbcnews.com/politics/politics-news/cambridge-analytica-s-effectiveness-called-question-despite-alleged-facebook-data-n858256">dengan <em>machine learning</em></a> untuk tujuan politik. </p>
<p>Sebelum kita lanjut, ada satu isu kunci yang menyangkut kepentingan publik. Angka-angka yang Kogan berikan menunjukkan bahwa informasi mengenai kepribadian pengguna atau “<a href="https://www.vox.com/science-and-health/2018/3/23/17152564/cambridge-analytica-psychographic-microtargeting-what">psikografi</a>” hanya bagian kecil dalam pemodelan untuk menyasar warga. Model yang digunakan Kogan bukan berdasarkan pada kepribadian semata, namun model yang menggabungkan demografi, pengaruh sosial, kepribadian, dan banyak hal lain menjadi satu korelasi besar. Pendekatan gabungkan-semua-korelasi-dan-panggil-saja-ini-kepribadian menjadi alat kampanye yang berharga, meski produk yang dijual tidak sepenuhnya seperti apa yang digadangkan. </p>
<h2>Janji-janji penargetan berdasarkan kepribadian</h2>
<p>Menyusul terungkapnya penggunaan <a href="https://www.nytimes.com/2018/03/17/us/politics/cambridge-analytica-trump-campaign.html">data lebih dari 50 juta pengguna Facebook</a> oleh konsultan kampanye Trump, Cambridge Analytica, untuk menyasar iklan digital politik selama pemilihan presiden AS pada 2016, Facebook telah <a href="https://www.nasdaq.com/symbol/fb/stock-report">rugi miliaran dollar dari turunnya nilai saham mereka</a>, pemerintah di <a href="https://www.theverge.com/2018/3/19/17141138/facebook-cambridge-analytica-uk-authorities-warrant-data-breach">dua sisi Samudera Atlantis</a> telah membuka <a href="https://www.pbs.org/newshour/politics/federal-trade-commission-to-investigate-facebook-as-companys-stock-value-sinks">penyelidikan</a>, dan sebuah <a href="https://theconversation.com/facebook-is-killing-democracy-with-its-personality-profiling-data-93611">gerakan sosial</a> baru menyerukan pengguna media sosial untuk <a href="https://twitter.com/search?q=%23deletefacebook">#DeleteFacebook</a>.</p>
<p><a href="https://newsroom.fb.com/news/2018/04/restricting-data-access/">Di Indonesia lebih 1 juta pengguna Facebook</a> termasuk yang datanya diambil oleh Cambdrige Analytica, membuat Indonesia negara paling terkena dampak ketiga, sesudah AS dan Filipina. </p>
<p>Namun ada pertanyaan kunci yang masih belum terjawab: Apakah Cambridge Analytica benar-benar secara efektif dapat menyasar pesan kampanye pada warga berdasarkan karakter kepribadian mereka—bahkan “<a href="https://www.theguardian.com/news/2018/mar/17/cambridge-analytica-facebook-influence-us-election">rahasia terburuk</a>” mereka, seperti dituduhkan seorang peniup peluit dari perusahaan tersebut? </p>
<p>Jika ada pihak yang paling tahu apa yang dilakukan Cambridge Analytica dengan segunung data Facebook yang mereka punya, mereka adalah Aleksandr Kogan dan Joseph Chancellor. Startup <a href="https://www.reuters.com/article/us-facebook-cambridge-analytica/trump-consultants-harvested-data-from-50-million-facebook-users-reports-idUSKCN1GT02Y">Global Science Research</a> milik merekalah yang mengumpulkan informasi profil dari <a href="https://www.wired.com/story/cambridge-analytica-50m-facebook-users-data/">270.000 pengguna Facebook dan puluhan juta teman mereka</a> menggunakan aplikasi tes kepribadian bernama “thisisyourdigitallife.”</p>
<p>Bagian dari <a href="https://scholar.google.com/citations?user=igL-0AsAAAAJ&hl=en">riset saya sendiri</a> fokus untuk memahami metode-metode <a href="https://doi.org/10.1177/0002716215570279"><em>machine learning</em></a>, dan <a href="https://www.amazon.com/Internet-Trap-Monopolies-Undermines-Democracy/dp/0691159262/">buku saya yang akan terbit</a> membahas cara perusahaan digital menggunakan model rekomendasi untuk membangun khalayak. Saya punya bayangan bagaimana modelnya Kogan dan Chancellor bekerja. </p>
<p>Maka saya mengirim surel pada Kogan dan bertanya padanya. Kogan masih <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-03-20/meet-the-psychologist-at-the-center-of-facebook-s-data-scandal">peneliti di Cambridge University</a>; sementaranya rekannya <a href="https://www.theguardian.com/news/2018/mar/18/facebook-cambridge-analytica-joseph-chancellor-gsr">Chancellor sekarang bekerja untuk Facebook</a>. Kogan, menunjukkan sopan santun akademis yang tinggi, menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. </p>
<p>Jawaban Kogan membutuhkan sedikit penjelasan, dan latar belakang. </p>
<h2>Dari Sayembara Netflix ke “psikometri”</h2>
<p>Pada 2006, ketika Netflix masih perusahaan yang mengirimkan DVD lewat pos, Netflix menawarkan <a href="https://www.netflixprize.com/">hadiah $1 juta</a> pada siapa pun yang mengembangkan cara lebih baik daripada yang dimiliki perusahaan tersebut untuk memprediksi peringkat film menurut pengguna. Pesaing teratas adalah <a href="https://www.kdnuggets.com/news/2007/n08/3i.html">developer perangkat lunak independen dengan pseudonim Simon Funk</a>. Pendekatan dasar Funk pada akhirnya disertakan dalam semua entri tim teratas. Funk mengadaptasi teknik yang dinamakan “<a href="http://www.aclweb.org/anthology/E06-1013">dekomposisi nilai singular</a>,” (<em>singular value decomposition</em> atau SVD) yang memampatkan rating film pengguna ke dalam sebuah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=P5mlg91as1c">rangkaian faktor atau komponen</a>— intinya sebuah set kategori hasil inferensi, yang disusun berdasarkan mana yang paling penting. Funk <a href="http://sifter.org/simon/journal/20061027.2.html">menjelaskan dalam postingan blog</a>,</p>
<blockquote>
<p>“Jadi, misalnya, sebuah kategori mungkin mewakili film aksi, dengan film-film yang punya banyak adegan aksi di atas, dan film-film lambat di bawah, dan sesuai dengan itu pengguna yang suka film aksi di atas, dan yang suka film lambat di bawah.”</p>
</blockquote>
<p>Faktor-faktor adalah kategori buatan, yang tidak selalu mirip dengan kategori yang seorang manusia akan susun. Faktor <a href="http://sifter.org/simon/journal/20061027.2.html">paling penting dalam model awal Funk untuk Netflix</a> ditentukan oleh pengguna-pengguna yang menyukai film-film seperti “Pearl Harbor” dan “The Wedding Planner” dan pada saat yang sama tidak suka film-film seperti “Lost in Translation” atau “Eternal Sunshine of the Spotless Mind.” Model milik Funk menunjukkan <em>machine learning</em> dapat menemukan korelasi antara kelompok orang, dan kelompok film, yang manusia tak akan pernah temukan sendiri.</p>
<p>Pendekatan Funk menggunakan 50 atau 100 faktor paling penting untuk pengguna dan film untuk menebak secara tepat bagamana pengguna akan memberi rating sebuah film. Metode ini, yang seringkali disebut <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Dimensionality_reduction">reduksi dimensionalitas (<em>dimensionality reduction</em>)</a> atau faktorisasi matriks (<em>matrix factorization</em>), bukan hal baru. Peneliti ilmu politik telah menemukan bahwa <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/NOMINATE_(scaling_method)">teknik yang mirip menggunakan data voting berdasarkan absensi</a> dapat memprediksi bagaimana anggota Kongres AS memilih dengan tingkat keakuratan 90%. Dalam psikologi, model “<a href="https://doi.org/10.1037/0003-066X.48.1.26">Lima Besar</a>” juga telah digunakan untuk memprediksi perilaku dengan mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan mengenai kepribadian yang cenderung dijawab sama. </p>
<p>Tetap saja, modelnya Funk punya keuntungan lebih: modelnya membuat teknik tersebut dapat digunakan dengan set data yang besar, termasuk set data dengan banyak data yang tak lengkap—seperti set data milik Netflix, di mana seorang pengguna umumnya hanya memberi rating beberapa lusin film dari ribuan film di perpustakaan film perusahaan tesebut. Lebih dari satu dekade setelah Sayembara Netflix berakhir, <a href="https://doi.org/10.1145/1401890.1401944">metode berbasis SVD</a>, atau <a href="https://doi.org/10.1109/ICDM.2008.22">model yang berhubungan untuk data implisit</a>, tetap merupakan alat yang dipilih banyak situs untuk memprediksi apa yang akan pengguna baca, tonton, atau beli. </p>
<p>Model-model ini dapat memprediksi hal-hal lain juga. </p>
<h2>Facebook tahu jika seorang warga AS pemilih partai Republik</h2>
<p>Pada 2013, peneliti dari Cambridge University Michal Kosinski, David Stillwell dan Thore Graepel menerbitkan sebuah artikel tentang <a href="https://doi.org/10.1073/pnas.1218772110">kekuatan prediktif data Facebook</a>, menggunakan informasi yang dikumpulkan melalui tes kepribadian online. Analisis awal mereka hampir identik dengan yang digunakan Sayembara Netflix, menggunakan SVD untuk mengkategorisasi pengguna dan hal-hal yang mereka suka (“like”) ke dalam 100 faktor teratas. </p>
<p>Makalah mereka menunjukkan bahwa model faktor dengan menggunakan “like” Facebook saja <a href="https://doi.org/10.1073/pnas.1218772110">95% akurat</a> dalam membedakan responden berkulit putih atau hitam, 93% akurat dalam membedakan laki-laki dari perempuan, dan 88% akurat membedakan orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai laki-laki gay dari laki-laki heteroseksual. Model ini bahkan dapat membedakan kelompok Republikan dari Demokrat dengan tingkat keakuratan 85%. Model ini juga dapat memprediksi, meski tidak sebegitu akurat, <a href="https://doi.org/10.1073/pnas.1218772110">skor pengguna</a> dalam tes kepribadian “Lima Besar”. </p>
<p><a href="https://www.theatlantic.com/technology/archive/2013/03/armed-with-facebook-likes-alone-researchers-can-tell-your-race-gender-and-sexual-orientation/273963/">Menanggapi</a> keluarnya hasil penelitian tersebut, <a href="https://psmag.com/economics/big-data-big-brother-and-the-like-button-53894">publik protest</a>; dan dalam beberapa minggu Facebook kemudian <a href="https://motherboard.vice.com/en_us/article/mg9vvn/how-our-likes-helped-trump-win">membuat like pengguna menjadi privat</a>. </p>
<p>Kogan dan Chancellor, juga peneliti Cambridge University pada saat itu, mulai menggunakan data Facebook untuk penyasaran dalam pemilihan umum sebagai bagian dari sebuah kolaborasi dengan SCL, perusahaan induk Cambridge Analytica. Kogan mengundang Kosinski dan Stillwell bergabung dalam proyek tersebut, tapi kolaborasi antara mereka <a href="https://www.theguardian.com/education/2018/mar/24/cambridge-analytica-academics-work-upset-university-colleagues">tidak terwujud</a>. Kosinski dilaporkan mencurigai bahwa Kogan dan Chancellor telah <a href="https://motherboard.vice.com/en_us/article/mg9vvn/how-our-likes-helped-trump-win">melakukan rekayasa-terbalik model “like” Facebook</a> untuk Cambridge Analytica. Kogan membantah ini. Ia mengatakan proyeknya “<a href="https://www.theguardian.com/education/2018/mar/24/cambridge-analytica-academics-work-upset-university-colleagues">membangun semua model yang kami mereka punya,</a> menggunakan data kami sendiri yang dikumpulkan menggunakan perangkat lunak kami sendiri.” </p>
<h2>Apa yang sebenarnya dilakukan Kogan dan Chancellor?</h2>
<p>Seiring perkembangan cerita ini, saya melihat bahwa jelas Kogan dan Chancellor memang mengumpulkan banyak data menggunakan aplikasi thisisyourdigitallife. Mereka jelas dapat membuat model prediktif SVD seperti yang ada dalam penelitian Kosinski dan Stillwell. </p>
<p>Maka saya mengirim surel pada Kogan bertanya jika itu yang dia lakukan. Saya kaget juga ketika ia membalas. </p>
<p>“Kami tidak betul-betul menggunakan SVD,” tulisnya. Ia menggarisbawahi bahwa SVD dapat menemui masalah ketika sejumlah pengguna memiliki lebih banyak “like” daripada pengguna lain. Sebaliknya, Kogan menjelaskan, “Tekniknya sebetulnya sesuatu yang kami kembangkan sendiri … Ini bukan sesuatu yang ada di ranah publik.” Tanpa menjelaskan secara mendetil, Kogan menjelaskan bahwa metode mereka adalah “pendekatan <a href="https://www.quora.com/What-is-a-co-occurrence-matrix">ko-okurensi</a> multi langkah.” </p>
<p>Namun, jawaban dia mengkonfirmasi bahwa pendekatan yang ia gunakan memang mirip dengan SVD atau metode faktorisasi matriks lainnya, seperti yang digunakan Sayembara Netflix, dan model Facebook Kosinki-Stillwell-Graepel. Reduksi dimensionalitas merupakan inti dari modelnya. </p>
<h2>Seberapa akurat model ini?</h2>
<p>Kogan menulis bahwa tepatnya model apa yang digunakan bukan inti dari permasalahan—yang penting adalah tingkat keakuratan prediksi yang dilakukan. Menurut Kogan, “korelasi antara skor prediksi dan skor asli … sekitar [30 percent] untuk semua dimensi kepribadian.” Sebagai perbandingan, skor Lima Besar seseorang akurat sekitar <a href="https://doi.org/10.1016/j.jrp.2014.06.003">70 hingga 80%</a> dalam memprediksi skor ketika mereka mengambil kembali tes tersebut. </p>
<p>Jelas, klaim Kogan soal tingkat keakuratan tidak dapat diverifikasi secara independen. Dan siapa pun yang berada di tengah skandal yang sangat <em>high-profile</em> seperti ini mungkin punya insentif untuk mengecilkan kontribusinya. Dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=APqU_EJ5d3U">wawancara di CNN</a>, Kogan menjelaskan pada Anderson Cooper, yang dalam wawancara tersebut terlihat semakin lama semakin meragukan Kogan, bahwa sebenarnya model yang ia gunakan tidak bekerja dengan baik. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/APqU_EJ5d3U?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Aleksandr Kogan menjawab pertanyaan di CNN.</span></figcaption>
</figure>
<p>Pada kenyataannya, klaim akurasi Kogan terlihat sangat rendah, tapi mungkin saja benar. Kosinski, Stillwell dan Graepel melaporkan hasil yang mirip atau sedikit lebih baik, seperti juga beberapa <a href="https://doi.org/10.1016/j.paid.2017.12.018">studi akademik lainnya</a> yang menggunakan jejak digital untuk memprediksi kepribadian (meski beberapa dari penelitian tersebut menggunakan lebih banyak data daripada hanya “like” Facebook). Agak mengherankan bahwa Kogan dan Chancellor repot-repot merancang model mereka sendiri jika solusi yang sudah ada sama akuratnya.</p>
<p>Yang lebih penting lagi, tingkat akurasi model untuk skor kepribadian membuat kita dapat membandingkan hasil milik Kogan dengan penelitian lain. Model lain yang sudah diterbitkan dalam jurnal ilmiah dengan tingkat akurasi yang setara dalam memprediksi kepribadian semuanya lebih akurat dalam menebak variabel demografis dan politik. </p>
<p>Sebagai contoh, model SVD Kosinski-Stillwell-Graepel yang mirip punya Kogan 85% akurat dalam menebak afiliasi partai politik, bahkan tanpa menggunakan informasi profil selain “like”. Model Kogan memiliki tingkat akurasi yang mirip atau lebih baik. Menambahkan sedikit saja informasi mengenai teman atau demografi pengguna akan meningkatkan akurasi ini menjadi di atas 90%. Tebakan mengenai gender, ras, orientasi seksual dan karakteristik lain mungkin bisa jadi lebih dari 90% akurat juga. </p>
<p>Penting untuk diketahui juga, tebakan-tebakan ini akan sangat tepat untuk pengguna Facebook yang paling aktif—orang-orang yang disasar oleh model ini. Lagipula, pengguna yang tidak aktif kemungkinan besar tidak sering ada di Facebook. </p>
<h2>Ketika psikografi sebenarnya demografi</h2>
<p>Dengan mengetahui bagaimana model ini dikembangkan bisa menjelaskan mengapa pernyataan-pernyataan Cambridge Analytica yang bertentangan soal <a href="https://motherboard.vice.com/en_us/article/mg9vvn/how-our-likes-helped-trump-win">peran</a>—atau <a href="https://www.c-span.org/video/?420077-1/google-hosts-post-election-review&start=6905">ketiadaan peran</a>—penciptaan profil kepribadian dan psikografi dalam model yang digunakan. Semuanya secara teknis konsisten dengan apa yang Kogan jelaskan. </p>
<p>Model seperti yang Kogan gunakan akan memberikan perkiraan untuk setiap variabel yang tersedia dalam kelompok pengguna manapun. Artinya, model tersebut secara otomatis akan <a href="https://www.bloomberg.com/news/features/2015-11-12/is-the-republican-party-s-killer-data-app-for-real-">memperkirakan skor kepribadian Lima Besar</a> untuk setiap pemilih. Namun, skor kepribadian ini adalah hasil dari model, bukan input. Yang model tersebut ketahui hanyalah bahwa like Facebook tertentu, dan sekelompok pengguna tertentu, cenderung berada dalam satu kelompok. </p>
<p>Dengan model ini, Cambridge Analytica dapat mengatakan bahwa mereka sedang mengidentifikasi orang dengan kecenderungan tidak terbuka pada pengelaman baru dengan tingkat neurotisime yang tinggi. Namun, model yang sama, dengan prediksi yang sama dengan setiap pengguna, juga dapat secara akurat mengklaim sedang mengidentifikasi pria Republikan lanjut usia yang berpendidikan rendah. </p>
<p>Informasi yang Kogan berikan juga membantu mengklarifikasi kebingungan tentang apakah Cambridge Analytica <a href="https://www.youtube.com/watch?v=MepM_YXZdYg">menghapus kumpulan data Facebook yang mereka miliki</a>, ketika model-model yang dikembangkan dari data tersebut <a href="https://www.channel4.com/news/revealed-cambridge-analytica-data-on-thousands-of-facebook-users-still-not-deleted">nampaknya masih beredar</a>, dan bahkan sedang <a href="https://gizmodo.com/aggregateiq-created-cambridge-analyticas-election-softw-1824026565">dikembangkan lebih jauh</a>. </p>
<p>Inti dari model reduksi dimensi adalah untuk secara matematis mewakili data dalam bentuk yang lebih sederhana. Ini layaknya Cambridge Analytica mengambil foto dengan resolusi yang sangat tinggi, mengubah ukurannya menjadi lebih kecil, dan kemudian menghapus foto asli. Fotonya masih ada—dan selama model Cambridge Analytica masih ada, datanya secara efektif masih ada juga. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari</em> “<a href="https://theconversation.com/how-cambridge-analyticas-facebook-targeting-model-really-worked-according-to-the-person-who-built-it-94078">How Cambridge Analytica’s Facebook targeting model really worked – according to the person who built it</a>” <em>dan diperbarui untuk menambahkan informasi yang berhubungan dengan penggunaan data Facebook warga Indonesia oleh Cambridge Analytica.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/94575/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Matthew Hindman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebuah surel dari Aleksandr Kogan menjelaskan apa yang dapat diungkap data Facebook mengenai Anda, dan apa yang bisa dilakukan seorang data scientist dengan informasi tersebut.Matthew Hindman, Associate Professor of Media and Public Affairs, George Washington UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/938592018-03-23T11:09:58Z2018-03-23T11:09:58ZPsikografis: analisis perilaku yang Cambridge Analytica pakai untuk tahu pikiran pemilih<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/211676/original/file-20180323-54887-142lbis.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C0%2C913%2C519&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Melacak perilaku untuk menarik kesimpulan</span> <span class="attribution"><span class="source">GarryKillian/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Kesepakatan yang telah terungkap antara Cambridge Analytica dan Facebook mengandung semua elemen seru Hollywood: CEO ala musuh Bond, miliarder yang penyendiri, peniup peluit naif yang juga punya kepentingan, ilmuwan data bergaya hipster yang banting stir jadi politikus, akademisi dengan etika yang patut dipertanyakan, dan tentunya presiden Amerika Serikat terpilih beserta keluarganya yang berpengaruh. </p>
<p>Sebagian besar diskusi telah berkutat pada bagaimana Cambridge Analytica bisa memperoleh data lebih dari 50 juta pengguna Facebook—dan bagaimana mereka diduga gagal menghapus data ini ketika diminta. Namun sebenarnya ada juga persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan Cambridge Analytica dengan data tersebut. Kenyataannya, pendekatan Cambridge Analytica dalam memproses data mewakili tren penggunaan analisa data saat ini sebagai alat untuk menghasilkan wawasan—dan untuk menciptakan pengaruh. </p>
<p>Sebagai contoh, lembaga survei telah lama menggunakan teknik segmentasi untuk menyasar kelompok pemilih tertentu, misalnya dengan memilah peserta berdasarkan jenis kelamin, usia, penghasilan, tingkat pendidikan, dan besar/kecilnya keluarga. Segmentasi juga dilakukan dengan melihat afiliasi politik atau preferensi belanja. Mesin analisis data yang digunakan calon presiden Hillary Clinton pada kampanye tahun 2016 lalu—dinamakan Ada, dari nama ahli matematika abad ke-19 dan perintis komputasi awal—menggunakan segmentasi canggih untuk membidik kelompok pemilih, seperti yang dilakukan Barack Obama empat tahun sebelumnya.</p>
<p>Cambridge Analytica dikontrak oleh tim kampanye Trump dan memberi senjata yang benar-benar baru untuk mesin pemilihan. Selain menggunakan segmen demografis untuk mengidentifikasi pemilih seperti pada kampanye Clinton, Cambridge Analytica juga melakukan segmentasi berdasarkan <a href="https://hbr.org/2016/03/psychographics-are-just-as-important-for-marketers-as-demographics">psikografis</a>. Demografis sifatnya informatif berdasarkan kelas, edukasi, pekerjaan, usia, dan sebagainya. Sedangkan psikografis sifatnya perilaku—sarana untuk melakukan segmentasi berdasarkan kepribadian.</p>
<p>Hal ini sangat masuk akal karena jelas dua orang dengan profil demografi yang sama (misalnya lelaki kulit putih, usia paruh baya, bekerja, menikah) bisa memiliki kepribadian dan opini yang sangat berbeda. Kita juga tahu bahwa menyesuaikan sebuah pesan sesuai dengan kepribadian seseorang—apakah mereka terbuka, introvert, argumentatif, dan sebagainya—sangat membantu untuk menyampaikan pesan tersebut.</p>
<h2>Memahami orang dengan lebih baik</h2>
<p>Secara tradisional, ada dua jalan untuk memastikan kepribadian seseorang. Bisa dengan cara mengenal mereka dengan sangat baik—biasanya dalam waktu yang lama. Atau Anda bisa membuat mereka mengkuti tes kepribadian dan meminta mereka menunjukkan hasilnya pada Anda. Tidak satu pun dari metode ini realistis untuk dilakukan pada para pemilih. Cambridge Analytica menemukan cara ketiga, dengan bantuan dua akademisi dari Universitas Cambridge.</p>
<p>Pertama, Aleksandr Kogan, yang menjual kepada mereka akses ke 270.000 tes kepribadian yang diselesaikan oleh pengguna Facebook <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-03-20/meet-the-psychologist-at-the-center-of-facebook-s-data-scandal">melalui aplikasi daring yang diciptakannya</a> untuk kepentingan riset. Memberikan data tersebut ke Cambridge Analytica tampaknya berlawanan dengan kode etik Facebook, tapi baru pada Maret 2018 Kogan dilarang oleh Facebook dari platformnya. Ditambah lagi, data Kogan juga disertai bonus: ia telah dilaporkan mengumpulkan Facebook dari teman-teman yang mengikuti tes kepribadian—dan, dengan rata-rata 200 teman per orang, tersebutlah jumlah sampai sekitar 50 juta orang.</p>
<p>Namun, tidak semua dari 50 juta orang ini mengikuti tes kepribadian yang diciptakan Kogan. Di sinilah peran akademisi kedua Cambridge <a href="https://www.psychometrics.cam.ac.uk/about-us/directory/michal-kosinski">Michal Kosinski</a>. Kosinski—yang dilaporkan meyakini bahwa penyasaran mikro berdasarkan data daring bisa memperkuat demokrasi—telah menemukan sebuah cara untuk <a href="https://applymagicsauce.com/">merekayasa balik suatu profil kepribadian berdasarkan aktivitas Facebook</a> seperti “likes”. Ketika Anda memilih foto matahari terbenam, anak anjing, atau manusia, hal-hal tersebut bisa memberi informasi banyak mengenai kepribadian Anda. Aktivitas Anda di Facebook memberi informasi yang begitu kaya, hanya berdasarkan 300 “likes”, model Kosinski bisa memprediksi profil kepribadian seseorang <a href="https://www.theguardian.com/technology/2015/jan/13/your-computer-knows-you-researchers-cambridge-stanford-university">dengan akurasi yang sama dengan pasangan suami atau istri</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sesuatu yang berbeda untuk tiap orang.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/cropped-image-young-man-working-on-648758662?src=8MwCturVDH8XHvp9TzgCRg-1-24">GaudiLab via Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kogan mengembangkan ide Kosinki, memperbaikinya, dan membuat kesepakatan dengan Cambridge Analytica. Dari harta karun ini—dan digabungkan dengan data tambahan yang diambil dari tempat lain—Cambridge Analytica membangun profil kepribadian untuk lebih dari 100 juta pemilih terdaftar. Dinyatakan bahwa perusahaan tersebut menggunakan profil ini untuk membuat iklan yang tepat sasaran.</p>
<p>Bayangkan misalnya Anda bisa mengidentifikasi segmen pemilih yang sangat teliti dan sedikit neurotik, dan segmen lain sangat ekstrovert tapi tidak begitu terbuka. Pastinya, orang di tiap segmen akan merespon iklan politik yang sama dengan cara berbeda. Namun di Facebook, mereka sama sekali tidak perlu melihat iklan yang sama—tiap orang akan melihat iklan yang dibuat secara individual, guna mendapatkan respons yang diinginkan. Respons tersebut tergantung tujuan pengiklan, apakah itu memilih seorang calon, tidak memilih calon yang lain, atau untuk menyumbang dana.</p>
<p>Cambridge Analytica mengembangkan lusinan variasi iklan pada tema politik berbeda seperti imigrasi, ekonomi, dan hak kepemilikan senjata; semua dirancang untuk profil kepribadian yang berbeda. Tidak ada bukti bahwa mesin pemilih Clinton memiliki kemampuan yang sama. </p>
<p>Analisis perilaku dan profil psikografik akan terus ada, apapun yang terjadi pada Cambridge Analytica—yang telah <a href="https://www.cnbc.com/2018/03/19/facebook-data-scandal-cambridge-analytica-denies-whistleblowing-claim.html">mengkritik dengan tegas</a> apa yang disebutnya “tuduhan palsu di media”. Di satu sisi, mereka mengindustrialisasi apa yang selalu dilakukan oleh orang penjualan yang baik, yakni dengan menyesuaikan pesan mereka dan menyampaikannnya kepada pelanggan sesuai kepribadian mereka. Pendekatan untuk pemilihan umum ini—dan juga untuk pemasaran—akan menjadi warisan terakhir Cambridge Analytica.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/93859/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Michael Wade adalah salah satu penulis Digital Vortex: How Today's Market Leaders Can Beat Disruptive Competitors at Their Own Game.</span></em></p>Bagaimana ilmu perilaku berbasis data diuji coba dalam dunia politik.Michael Wade, Professor of Innovation and Strategy, Cisco Chair in Digital Business Transformation, International Institute for Management Development (IMD)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/926072018-03-02T09:26:28Z2018-03-02T09:26:28ZIndonesia sangat memerlukan undang-undang perlindungan data pribadi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/208494/original/file-20180301-152555-1703xtc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C998%2C598&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengumpulan besar-besaran set data yang bisa dicari, dikumpulkan, dan direferensi silang dinamakan Big Data.</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Google—perusahaan yang punya <a href="https://academic.oup.com/idpl/article-abstract/7/1/36/3097625?redirectedFrom=fulltext">beberapa masalah dengan keamanan data personal</a>—baru-baru ini mengucurkan dana investasi lebih dari <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1055285/google-benarkan-investasi-16-t-ke-go-jek-dan-ini-alasannya">US$1 miliar</a> untuk aplikasi transportasi online Gojek.</p>
<p>Aplikasi transportasi online seperti Gojek dan Grab tumbuh secara pesat <a href="http://aitinesia.com/ngerinya-pelanggaran-privasi-yang-dilakukan-go-jek-dan-grabbike-terhadap-penumpang-mereka/">di kota-kota seperti Jakarta</a>. Perusahaan-perusahaan ini juga ada masalah dengan data pelanggannya.</p>
<p>Perusahaan seperti Google, Gojek, dan Grab tidak hanya menyediakan layanan bagi pengguna mereka. Namun, mereka juga mengumpulkan data pribadi penggunanya. Pengumpulan besar-besaran set data yang bisa dicari, dikumpulkan, dan direferensi silang ini dinamakan <em>Big Data</em>. Tidak hanya perusahaan, tetapi individu dan pemerintahan juga bisa mengumpulkan data pribadi.</p>
<p>Akademisi hukum Yvonne McDermott <a href="https://www.researchgate.net/publication/315449761_Conceptualising_the_right_to_data_protection_in_an_era_of_Big_Data">berargumen</a> bahwa di era <em>Big Data</em> ada empat nilai kunci yang harus ditegakkan: privasi, otonomi, transparansi, dan nondiskriminasi.</p>
<p>Namun di Indonesia, dalam kaitannya dengan data pribadi tidak ada satu pun dari nilai-nilai ini yang sudah disahkan dalam hukum. Indonesia tidak memiliki undang-undang atau aturan yang komprehensif mengenai perlindungan data pribadi yang melindungi warganya dari penyalahgunaan data.</p>
<p>Meningkatnya investasi asing dalam ekonomi digital menunjukkan bahwa sudah saatnya ada kesadaran nasional untuk memastikan warga tidak dieksploitasi oleh perusahaan raksasa teknologi.</p>
<p>Warga Indonesia memerlukan kerangka perlindungan data pribadi yang komprehensif. Adanya contoh-contoh pelaksanaan perlindungan data pribadi dari berbagai negara.</p>
<h2>Contoh perlindungan data pribadi</h2>
<p>Hukum hak asasi internasional telah menyoroti privasi digital, mengambil konsep-konsep dalam <a href="http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/eng.pdf">berbagai</a> <a href="http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/">deklarasi</a> mengenai hak asasi manusia dan kebebasan individu.</p>
<p>Pada Sidang Umum PBB 2013, negara-negara anggota menyepakati adanya hak untuk privasi. Negara-negara anggota diminta untuk <a href="https://news.un.org/en/story/2013/12/458232-general-assembly-backs-right-privacy-digital-age">transparan dan bertanggung jawab ketika mengumpulkan data pribadi</a>. </p>
<p>Negara tetangga Indonesia seperti Singapura dan Australia juga telah menetapkan peraturan perundang-undangan mengenai privasi.<a href="https://www.oaic.gov.au/privacy-law/privacy-act/">Australia menetapkan <em>Privacy Act</em> pada 1988</a>, sementara Singapura menetapkan <a href="https://www.pdpc.gov.sg/Legislation-and-Guidelines/Legislation"><em>Personal Data Protection Act</em> pada 2012</a>. </p>
<p>Uni Eropa memiliki <a href="https://www.eugdpr.org/">General Data Protection Regulation (GDPR)</a> yang akan menjalankan aturan perlindungan data pribadi pada Mei 2018.</p>
<p>Prinsip-prinsip yang berlaku dalam EU GDPR juga terlihat dalam presentasi ahli teknologi dan hukum perlindungan data pribadi, Berend van der Eijk. Pada diskusi mengenai Perlindungan Data Pribadi di Era Digital di Jakarta, beliau menjelaskan mengenai prinsip transparansi: bahwa warga memiliki hak untuk mengakses, mengubah, dan menghapus data pribadi mereka pada waktu tertentu dari data pelanggan perusahaan. Perusahaan juga diminta untuk transparan mengenai mengapa mereka mengumpulkan data dan bagaimana mereka akan menggunakannya.</p>
<p><a href="https://www.oaic.gov.au/resources/agencies-and-organisations/business-resources/privacy-business-resource-21-australian-businesses-and-the-eu-general-data-protection-regulation.pdf">Perlindungan data personal yang ada dalam GDPR</a> terkait masalah ras, etnis, politik, kesehatan, gender, dan seksualitas yang berlaku.</p>
<h2>Pelanggaran privasi sehari-hari</h2>
<p>Perlindungan data pribadi tersebut sangat kontras dengan praktik di Indonesia.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="http://www.thejakartapost.com/life/2017/11/15/hepatitis-patients-struggle-with-discrimination-in-workplace.html">data rekam kesehatan bisa dan telah digunakan untuk mendiskriminasi individu yang mengidap HIV</a>. Beberapa perusahaan Indonesia memilih untuk tidak mempekerjakan orang dengan kondisi kesehatan tersebut. Ini terjadi, meski, <a href="https://www.cbsnews.com/news/life-expectancy-with-hiv-nears-normal-with-treatment/">orang dengan HIV dapat hidup dan bekerja</a> untuk jangka waktu hidup “normal”.</p>
<p>Contoh lain dari pelanggaran privasi bisa dilihat di <em>inbox</em> pengguna telepon seluler di Indonesia. Di Indonesia, perusahaan dapat dengan mudah mengirimkan iklan melalui SMS ke jutaan pengguna telepon seluler berdasarkan lokasi mereka. </p>
<p><a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/08/29/pengguna-ponsel-indonesia-mencapai-142-dari-populasi">Ada sekitar 371,4 juta pengguna telepon yang terdaftar di Indonesia</a>, melebihi jumlah total populasi Indonesia. Iklan melalui telepon seluler ini bisa melanggar privasi warga karena penyedia jasa telekomunikasi tidak pernah meminta izin kepada pelanggan untuk kesediaannya dalam memberikan data mereka ke pihak ketiga.</p>
<p>Pemerintah juga dapat mengambil keuntungan dari rekam data pribadi dan menggunakan informasinya yang berada di tangan mereka. Belakangan ini Indonesia sudah mengambil Langkah untuk memusatkan data warga melalui KTP elektronik (e-KTP) <a href="http://elsam.or.id/2017/05/the-urgency-of-personal-data-protection-law/">dengan menciptakan sistem identifikasi elektronik</a>. Namun tidak ada peraturan yang mengatur akan penggunaan data pribadi warga Indonesia yang terekam di dalam e-KTP.</p>
<h2>Kabar baik?</h2>
<p>Di tengah semua ini, masih ada kabar baik. Ada tanda-tanda bahwa pemerintah Indonesia menyadari pentingnya akan perlindungan data pribadi.</p>
<p>Donny Budi Utoyo, Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan bahwa lembaga swadaya masyarakat dan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/01/21/government-expects-to-pass-data-protection-bill-in-2018.html">pemerintah</a> telah coba untuk mempromosikan dan mendorong undang - undang perlindungan data pribadi. Terlihat adanya upaya dari <a href="http://elsam.or.id/2017/05/kebutuhan-akan-uu-perlindungan-data-pribadi-kian-mendesak/">the Institute for Community Studies & Advocacy</a>, <a href="https://www.idea.or.id/berita/detail/diskusi-idea-dan-ict-watch-tentang-perlindungan-data-pribadi-di-era-digital">the Indonesian E-Commerce Association</a> dan ICT Watch.</p>
<p>Donny juga mengkhawatirkan hilangnya hak otonomi pasien dengan meningkatnya digitalisasi rekam data kesehatan. Dalam sebuah diskusi publik, dia bertanya apakah warga Indonesia memiliki hak untuk meminta rumah sakit di Indonesia untuk memindahkan atau menghapus rekam medis mereka jika mereka bukan lagi pasiennya.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/kIZoulAiczg?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Donny juga melanjutkan bahwa undang-undang untuk perlindungan data warga Indonesia masih dalam proses karena dibutuhkannya harmonisasi akan regulasi-regulasi lain dari kementerian yang terkait.</p>
<h2>Apa langkah selanjutnya?</h2>
<p>Para ahli di berbagai sektor harus berkolaborasi dengan pemerintah Indonesia untuk mendorong dan menghasilkan undang-undang perlindungan data pribadi.</p>
<p>Undang-undang ini harus bisa melindungi warga dari kemungkinan data mereka yang digunakan tanpa izin atau untuk mendiskriminasi mereka.</p>
<p>Undang-undang perlindungan data pribadi juga memiliki potensi lanjutan untuk ekonomi negara dengan menciptakan ekosistem bisnis yang lebih aman. Sehingga kondisi ini akan menciptakan peluang-peluang bisnis dan juga mendorong masuknya lebih banyak investasi untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia.</p>
<p>Pada saat yang sama, warga juga perlu diedukasi mengenai privasi digital agar bisa mengerti potensi risiko yang ada dan haknya untuk melindungi privasi dan data pribadi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92607/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fiona Suwana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meningkatnya investasi asing dalam ekonomi digital menunjukkan bahwa sudah saatnya ada diskusi nasional untuk memastikan warga tidak dieksploitasi.Fiona Suwana, PhD Candidate at Digital Media Research Centre and Research Assistant at Queensland University of Technology, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/806982017-09-05T07:25:03Z2017-09-05T07:25:03ZTeknologi digital berpotensi memicu revolusi sains dalam penelitian sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/182507/original/file-20170818-28123-oysjx6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=14%2C7%2C4785%2C2694&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pada akhirnya, dengan penelitian sosial berbasis internet, ilmuwan akan dapat memahami manusia lebih dari manusia tersebut memahami diri mereka sendiri.
</span> <span class="attribution"><span class="source">Montri Nipitvittaya/www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Melalui alat-alat seperti teleskop dan mikroskop, manusia telah berhasil mempelajari organisme dan dunia fisik di sekitar mereka. </p>
<p>Namun, meski telah lama kita mempelajari perilaku manusia dan masyarakat, kita tidak memiliki alat sehebat teleskop atau mikroskop untuk mengamati pola perilaku manusia. </p>
<p>Sekarang, teknologi digital dan kemampuannya memproses data yang dihasilkan manusia dalam jumlah besar dapat menjadi alat penelitian sosial yang perkasa.</p>
<p>Internet mirip dengan teleskop dalam kemampuannya memungkinkan kita mengamati sesuatu dengan cara yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Dengan teknologi digital, ilmuwan dapat mengamati sikap dan perilaku sejumlah besar manusia. Teknologi digital memungkinkan pengamatan dan percobaan dalam skala raksasa. </p>
<p>Pengumpulan <a href="https://theconversation.com/explainer-what-is-big-data-13780"><em>Big Data</em></a> dan kemampuan untuk melakukan percobaan sosial menggunakan internet bisa menjadi awal revolusi sains dalam penelitian sosial. Namun ada pertimbangan-pertimbangan etis yang juga perlu diperhatikan. </p>
<h2>Bagaimana revolusi sains terjadi</h2>
<p>Revolusi sains selalu dimulai dengan penemuan alat baru. </p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Instrumen Tycho Brahe untuk mengukur lintang dan bujur objek-objek luar angkasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Wikimedia Commons/Tycho Brahe [Public domain]</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Contohnya, lima ratus tahun yang lalu <a href="http://www.space.com/21950-who-invented-the-telescope.html">sesudah penemuan teleskop</a>, bangsawan Denmark Tycho Brahe menggunakannya untuk mengamati objek-objek luar angkasa. </p>
<p>Ia mengumpulkan data lokasi planet-planet. Meski tak paham arti dari data yang ia kumpulkan, ia terus menghimpunnya. </p>
<p>Data yang Brahe kumpulkan menjadi dasar penghitungan <a href="http://chandra.harvard.edu/edu/formal/icecore/The_Astronomers_Tycho_Brahe_and_Johannes_Kepler.pdf">ahli matematika Johannes Keppler</a>. Ia menemukan pola dari data yang Brahe himpun dan menemukan bahwa planet bergerak dalam bentuk elips. </p>
<p>Seratus tahun kemudian, <a href="http://earthobservatory.nasa.gov/Features/OrbitsHistory/page2.php">Isaac Newton menemukan rumus teori gravitasi</a> yang memicu revolusi dalam memahami cara alam bekerja. Dengan memahami gravitasi kita tidak saja memahami pergerakan planet dan bintang, tapi manusia juga berhasil menciptakan teknologi seperti satelit, perjalanan luar angkasa, dan <em>Global Positioning System</em> (GPS). </p>
<p>Dari kisah itu kita dapat melihat bahwa kemajuan dalam bidang sains berawal murni dari pengumpulan data yang dimungkinkan oleh penemuan alat pengamatan baru. Ahli matematika menemukan pola dari data yang ada, menghasilkan teori-teori dan merevolusi pemahaman kita mengenai alam semesta. </p>
<p>Begitu juga dengan ahli biologi, mereka melihat ke bawah mikroskop dan melihat mikroorganisme, sel dan benda-benda kecil lainnya yang membentuk kehidupan. Ini membawa kita ke dobrakan-dobrakan di sains tentang kehidupan, dari penemuan penyembuhan beragam penyakit sampai penyuntingan gen. </p>
<h2>Tantangan dalam penelitian sosial</h2>
<p>Berbeda dari ilmuwan yang mempelajari ilmu alam atau ilmu pasti, ilmuwan sosial menemui masalah mendasar dalam menguji dan mengeksplorasi teori-teori baru. </p>
<p>Metode ilmiah untuk melakukan penelitian adalah pengamatan dan percobaan. Ahli fisika tentu tidak mewawancarai elektron-elektron yang mereka teliti. Ahli biologi tidak mewawancarai DNA. Hanya ilmuwan sosial yang harus mengajukan pertanyaan pada subjek penelitian mereka. </p>
<p>Ini tidak berarti bahwa dalam penelitian sosial tak dilakukan percobaan dan pengamatan skala besar dalam penelitian sosial. <a href="http://everythingisobvious.com/the-book/">Mereka ada tapi sangat terbatas</a>. Metode yang umum digunakan untuk penelitian sosial kuantitatif adalah menggunakan survei. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ahli fisika tidak mewawancarai elektron-elektron, ahli biologi tidak mewawancarai DNA. Hanya ilmuwan sosial yang harus mengajukan pertanyaan pada subjek penelitian mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Dragon Images/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Masalah yang jelas-jelas dihadapi ilmuwan ketika meneliti menggunakan survei adalah lemahnya ingatan orang-orang mengenai perilaku atau sikap mereka sendiri. Contohnya, seseorang mungkin akan memberikan kisaran angka yang besar ketika ditanya <a href="http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0139004">berapa kali mereka mengecek telepon selular mereka dalam sehari</a>. Terlebih, meski jarang terjadi, ada <a href="https://www.researchgate.net/profile/Robert_Fisher12/publication/285890624_Social_desirability_bias_and_the_validity_of_indirect_questioning/links/5833349408ae004f74c5a5e3/Social-desirability-bias-and-the-validity-of-indirect-questioning.pdf">insentif bagi orang untuk berbohong</a>. </p>
<h2>Teknologi digital dapat merevolusi penelitian sosial</h2>
<p>Teknologi digital dapat merekam perilaku dan sikap manusia. Telepon dengan teknologi GPS mencatat data pergerakan kita. Bank dan perusahaan kartu kredit merekam pola pengeluaran kita. Dan media sosial menangkap perasaan dan pemikiran kita. </p>
<p>Kita kadang tidak perlu lagi bertanya pada orang-orang, kita hanya perlu mengamati perilaku daring mereka. </p>
<p>Dalam penelitian sosial, percobaan sulit dilakukan karena membutuhkan kelompok pengendali untuk dibandingkan dengan subjek-subjek yang diujicoba, dan sangat sulit untuk memastikan lingkungan pengendali. Peneliti sosial tidak dapat menciptakan kondisi-kondisi kehidupan sosial yang berbeda karena kita tidak dapat menciptakan dunia-dunia paralel.</p>
<p>Menggunakan internet, kita dapat mengendalikan lingkungan digital. internet menyediakan peluang bagi ilmuwan untuk melakukan eksperimentasi</p>
<h2>Potensi penelitian</h2>
<p>Salah satu area studi yang menjanjikan dengan adanya eksperimentasi berbasis web yaitu mempelajari bagaimana interaksi antarindividu menciptakan perilaku kolektif. Ahli sosiologi menyebutnya masalah mikro-makro, yaitu ketika keputusan individu secara agregat menciptakan fenomena sosial. </p>
<p>Sebagai contoh, kawan saya <a href="http://www.princeton.edu/%7Emjs3/index.shtml">Matthew Salganik</a>, sekarang profesor sosiologi di Princeton University, melakukan <a href="http://www.princeton.edu/%7Emjs3/musiclab.shtml">percobaan untuk meneliti bagaimana produk budaya menjadi populer</a>. Ia membuat sebuah situs web, dimana semua orang pengunjungnya dapat mendengarkan dan mengunduh lagu dari musisi yang tidak dikenal. </p>
<p>Dia memanipulasi situs tersebut dengan membangun delapan ruang virtual dan memanipulasi jumlah lagu yang diunduh di tiap ruang, menciptakan dunia-dunia paralel. </p>
<p>Dari <a href="http://exahttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1756-8765.2009.01030.x/fullmple.com/">percobaan tersebut</a>, Salgalnik menemukan bahwa alasan lagu-lagu yang populer menempati tangga teratas bukan disebabkan kualitasnya tapi karena banyak orang mengunduhnya. Orang-orang cenderung mendengarkan lagu yang memang sudah populer dan mengabaikan lagu-lagu yang belum pernah diunduh. Lagu-lagu yang menjadi populer berbeda di tiap-tiap “dunia”. </p>
<p>Ini hanya satu area penelitian yang dapat ditelaah. Lagu tampak tidak berbahaya. Namun bisa saja mereplikasi percobaan ini pada ideologi dan sistem kepercayaan selama kita memiliki alat mengukur perilaku yang pasti. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah penelitian berbasis web menemukan alasan lagu-lagu yang populer menempati tangga teratas bukan disebabkan kualitasnya tapi karena banyak orang mengunduhnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Rawpixel.com/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pertimbangan etis</h2>
<p>Pada akhirnya, dengan penelitian sosial berbasis internet, ilmuwan akan dapat memahami manusia lebih dari mereka memahami diri mereka sendiri. </p>
<p>Kita belum sampai di sana. Saat ini, hal paling revolusioner dari internet adalah akses pada <a href="https://www.it-jurnal.com/pengertian-big-data/">Big Data</a>. Dengan data ada banyak kemungkinan dan cara menguji teori perilaku sosial. </p>
<p>Namun, sebelum kita bergerak lebih jauh, kita masih harus mendiskusikan etika penelitian sosial menggunakan teknologi digital, terutama soal persetujuan. Beberapa perusahaan teknologi sudah melakukan eksperimentasi tanpa meminta izin pada penggunanya, contohnya <a href="https://theconversation.com/consent-and-ethics-in-facebooks-emotional-manipulation-study-28596">algoritma yang Facebook</a> gunakan untuk menentukan apa yang muncul dalam linimasa pengguna. </p>
<p>Sebagian dari kita yang menggunakan media digital sudah menjadi subjek eksperimentasi. Namun banyak yang tidak sadar. </p>
<p>Janji teknologi digital sebagai alat pengamatan yang efektif untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat sangat seru. Namun, sebagai peneliti sosial, kami juga harus berhati-hati. </p>
<p>Kami perlu mencari sebuah sistem yang memberikan insentif bagi semua orang untuk menghindari kemungkinan membahayakan orang lain dan memastikan etika yang baik dijunjung tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/80698/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Roby Muhamad tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Teknologi digital dan kemampuannya memproses data yang dihasilkan manusia dalam jumlah besar dapat menjadi alat penelitian sosial yang perkasa.Roby Muhamad, Lecturer of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.