tag:theconversation.com,2011:/ca-fr/topics/ujaran-kebencian-67831/articlesujaran kebencian – La Conversation2024-01-31T10:05:21Ztag:theconversation.com,2011:article/2214992024-01-31T10:05:21Z2024-01-31T10:05:21ZPerang siber Pemilu 2024: akankah mengulang polarisasi politik warisan Pemilu 2019?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/572395/original/file-20240131-15-z3i0s5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=17%2C8%2C5973%2C2613&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi pasukan siber.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/close-soldier-man-hand-check-authorization-2292842529">chainarong06/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Kampanye pemilu idealnya menjadi media pertukaran gagasan dan diskusi bermakna mengenai kondisi pemenuhan hak-hak warga negara, permasalahan yang menghambat pemenuhan hak-hak tersebut, serta solusinya.</p>
<p>Sayangnya, sejumlah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14672715.2017.1341188">penelitian terbaru</a> menunjukkan bahwa alih-alih diskusi yang bermakna, disinformasi dan ujaran kebencian berdasarkan etnis dan agama justru menjadi fitur utama kampanye, terutama di media sosial.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357823.2020.1841093">Studi</a> mengemukakan bahwa dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, semua kandidat pasangan calon presiden yang mencalonkan diri melakukan kampanye bawah tanah dengan menciptakan hoaks, ujaran kebencian, dan politik identitas, sehingga mengalihkan kampanye dari substansi dan justru memicu polarisasi politik.</p>
<p>Di Indonesia, kampanye bawah tanah di media sosial gencar dilakukan oleh <a href="https://www.insideindonesia.org/editions/edition-146-oct-dec-2021/organisation-and-funding-of%20-propaganda-media-sosial">pasukan siber</a>. Kami mendefinisikan pasukan siber sebagai jaringan aktor yang dibayar secara diam-diam dan pada umumnya menggunakan akun media sosial anonim untuk terlibat dalam kampanye terkoordinasi guna memanipulasi opini publik.</p>
<p>Situasi ini patut mendapat perhatian khusus, mengingat media sosial semakin menjadi sumber utama informasi politik.</p>
<p>Saat ini, saya bersama peneliti dari KITLV Leiden dan University of Amsterdam melakukan penelitian tentang peran pasukan siber pada Pemilu 2024 mendatang.</p>
<p>Dari penelitian yang sedang berjalan, temuan awal kami menunjukkan bahwa pasukan siber masih ada dan terus memproduksi propaganda media sosial. Propaganda tersebut memuat disinformasi dan ujaran kebencian berbasis identitas untuk mendukung setiap kubu yang memperjuangkan posisi presiden.</p>
<p>Situasi ini sejalan dengan <a href="https://www.slideshare.net/IsmailFahmi3/sejarah-polarisasi-netizen-di-indonesia-tren-dan-popularitas-sebutan-cebong-kampret-buzerp-dan-kadrun">penelitian saya sebelumnya</a> bersama sekelompok tim peneliti di LP3ES, KITLV Leiden, Universitas Amsterdam, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia dan Drone Emprit tentang pasukan siber dan propaganda media sosial pada Pemilu 2019.</p>
<h2>Berkaca dari Pemilu 2019</h2>
<p>Berdasarkan penelitian kami tentang Pemilu 2019, ada pasukan siber yang bekerja untuk kedua calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) yang maju saat itu: Prabowo Subianto dan Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p>Berdasarkan wawancara mendalam terhadap puluhan pasukan siber yang merupakan pendukung dua pasangan capres-cawapres yang bersaing dalam Pemilu 2019 dan analisis <em>big data</em> dari jutaan percakapan di media sosial, kami menemukan bahwa mereka tidak segan-segan memanfaatkan berita palsu, ujaran kebencian, dan politik identitas yang saat itu bergejolak di tengah masyarakat. Ini pada akhirnya tidak hanya menjauhkan kampanye dari substansi, namun juga memicu polarisasi politik.</p>
<p>Kami menemukan bahwa pasukan siber menggunakan berbagai stigma berbasis identitas. Misalnya, pasukan siber pendukung Prabowo kerap melabelkan Jokowi sebagai komunis dan menonjolkan kedekatan Jokowi dengan Cina-yang merupakan negara yang menerapkan ideologi komunisme.</p>
<p>Sementara itu, pasukan siber pendukung Jokowi juga menyerang kubu Prabowo dengan memainkan isu mengenai gerak-gerik paslon yang bisa menjadi perbincangan publik. Misalnya mempertanyakan apakah Prabowo menunaikan salat Jumat, membahas momen ketika Sandiaga Uno-cawapres Prabowo-berwudhu menggunakan gayung, dan menciptakan rumor yang menyerang orientasi seksual putra Prabowo. Hal-hal tersebut, menurut pasukan siber, bisa menjadi <em>trending topic</em> dan memicu perdebatan di dunia maya.</p>
<p>Hasil wawancara tersebut mengungkapkan bahwa politik identitas terkait agama digunakan untuk menyerang satu sama lain.</p>
<p><a href="https://scholarworks.umass.edu/communication_faculty_pubs/74/">Sebuah riset</a> yang terbit pada 2018 mencatat bahwa propaganda media sosial dapat memengaruhi opini publik jika hal tersebut sejalan dengan isu dan aspirasi sosial yang tidak ditangani secara memadai oleh media arus utama. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, elit politik kerap menggunakan <a href="https://dprexternal3.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/1582">sentimen agama berbasis identitas</a>. Ini setidaknya sudah terjadi dalam tiga pemilu, yakni Pemilu 2014, Pemilihan Gubernur (PIlgub) Jakarta tahun 2017, dan Pemilu 2019, yang mengakibatkan polarisasi politik.</p>
<p>Dari analisis <em>big data</em>, kami menemukan bahwa partai-partai oposisi saat itu memang melancarkan kampanye <em>online</em> melawan Jokowi dengan tagar #2019GantiPresiden sejak April 2018.</p>
<p>Tagar ini menjadi trending di X (dulunya Twitter) dan platform media sosial lainnya sepanjang tahun, didorong oleh pasukan siber lainnya. Kubu Jokowi merespons dengan #2019TetapJokowi. Bulan-bulan berikutnya, Jokowi melawan politik identitas dengan menampilkan citra yang lebih saleh dan memilih Ma’ruf Amin, seorang tokoh Islam terkemuka, sebagai cawapresnya.</p>
<p>Penggunaan tagar #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi hanyalah salah satu wujud polarisasi politik di media sosial yang ditandai dengan perdebatan sengit dan permusuhan yang semakin tajam.</p>
<h2>Pelabelan yang memecah belah</h2>
<p>Politik identitas saat juga terlihat dari ramainya pelabelan terhadap masing-masing kubu pendukung. Satu kubu melabeli kubu lain sebagai ‘cebong’ (mengacu pada kelompok pendukung Jokowi atau pemerintah) dan ‘kampret’ (pendukung Prabowo). Ada pula istilah ‘kadrun’ (singkatan dari kadal gurun) yang merujuk pada kelompok Islam garis keras anti-Jokowi.</p>
<p>Analisis Drone Emprit (sebuah sistem yang berfungsi untuk memonitor dan menganalisis media sosial dengan platform online berbasis teknologi big data) terhadap percakapan media sosial sejak 1 Juli 2015 hingga 17 April 2022 menunjukkan kata ‘cebong’ digunakan sebanyak 4.677.887 kali, kata ‘kampret’ sebanyak 3.945.217 kali, dan kata ‘kadrun’ sebanyak 4.310.152 kali, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:</p>
<p>Gambar di atas mengungkapkan munculnya istilah-istilah yang tidak manusiawi seperti “BuzzerRp” (dengan 1 huruf R besar dan 1 huruf kecil r), merujuk pada pasukan digital berbayar, digunakan sebanyak 352.712 kali, dan “BuzzeRp” (dengan 1 huruf R besar), dengan arti yang sama, digunakan 943.900 kali.</p>
<p>Dalam situasi <a href="https://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jipp/article/view/8762">polarisasi politik afektif</a>, politik tidak hanya menjadi perebutan kekuasaan tetapi juga didorong oleh emosi, keinginan untuk memenuhi ego, dan bahkan naluri bertahan hidup. Penggunaan pelabelan-pelabelan yang bersifat menghina menunjukkan betapa ekstremnya pembagian ‘kita’ versus ‘mereka’. Penilaian akan sesuatu didasarkan pada kesetiaan kelompok, bukan pada fakta atau bukti.</p>
<p>Selama lima tahun terakhir, para ilmuwan politik telah memeringatkan tentang <a href="https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/37175">dampak negatif polarisasi politik</a> berbasis identitas terhadap pemerintahan demokratis, termasuk terkikisnya institusi dan norma-norma demokrasi, serta memperdalam perpecahan sosial.</p>
<h2>Yang akan terjadi pada Pemilu 2024</h2>
<p>Temuan sementara kami dari riset tentang Pemilu 2024 menunjukkan terjadinya eksodus pasukan siber, misalnya yang sebelumnya mendukung Jokowi pada Pemilu 2019 kini beralih mendukung capres Ganjar Pranowo, bukan mendukung capres Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.</p>
<p>Di sisi lain, terjadi pula eksodus pendukung PDIP dan Ganjar yang kini beralih mendukung Prabowo karena Gibran menjadi calon wakil presidennya.</p>
<p>Karena sejarah dukungan mereka dan perpecahan antara kedua kubu, terjadi persaingan sengit antara pendukung. Narasi pengkhianatan dan balas dendam yang dilancarkan para elit semakin mengobarkan permusuhan di kalangan mereka sehingga menimbulkan perang siber yang tiada henti di media sosial.</p>
<p>Sejauh mana persaingan di antara pasukan siber dan perang tagar yang mereka lakukan, termasuk dengan menggunakan narasi berbasis identitas, akan mendorong polarisasi politik pada pemilu 2024 menjadi topik yang masih perlu kita selidiki lebih lanjut dalam waktu dekat. </p>
<p>Namun satu hal yang pasti, <a href="http://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/palita/article/view/2715">sejumlah penelitian</a> membuktikan bahwa kampanye yang mengandung propaganda dan manipulasi opini publik dapat menyebabkan polarisasi politik, menurunkan kualitas wacana publik selama pemilu, menghambat dialog yang rasional dan mencerahkan bahkan bisa berujung pada kerusuhan dan kekerasan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/221499/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wijayanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Propaganda media sosial yang memuat disinformasi dan ujaran kebencian berbasis identitas masih digunakan oleh pasukan siber menjelang Pemilu 2024.Wijayanto, Associate professor in Mass Media, Digital Politics, and Democracy, Universitas DiponegoroLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2220602024-01-28T18:43:53Z2024-01-28T18:43:53ZRiset: ujaran kebencian terhadap capres meningkat di media sosial jelang Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/571572/original/file-20230920-21-z0r5fh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=25%2C0%2C5576%2C2650&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi ujaran kebencian di dunia maya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fake-news-sharing-cyber-bullying-hate-2257240445">winnond/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia tinggal menghitung hari, penyebaran ujaran kebencian yang menargetkan tokoh-tokoh politik diperkirakan akan semakin meningkat, seperti yang <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/iccd-19/125919037">terjadi pada Pemilu 2019</a>.</p>
<p>PBB mendefinisikan <a href="https://www.un.org/en/hate-speech/understanding-hate-speech/what-is-hate-speech#:%7E:text=To%20provide%20a%20unified%20framework,person%20or%20a%20group%20on">ujaran kebencian</a> sebagai komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.</p>
<p>Selama Pemilu 2019, terdapat lebih dari <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1039&context=jsgs">200.000 <em>mention</em> di Twitter</a> yang berisi ujaran kebencian yang ditargetkan kepada calon presiden, Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto, beserta calon wakil presiden mereka masing-masing.</p>
<p>Jumlah tersebut mencapai sekitar <a href="https://blog.twitter.com/in_id/topics/events/2019/124-juta-tweet-seputar-pemilihan-umum-2019">0,2%</a> dari total <em>tweet</em> terkait pemilu pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tahun 2016, ujaran kebencian menyumbang antara <a href="https://csmapnyu.org/news-views/news/did-hate-speech-on-twitter-rise-during-and-after-trump-s-2016-election-campaign">0,1% dan 0,3%</a> dari total satu miliar <em>tweet</em> terkait pemilu.</p>
<p>Sebagai bagian dari peran saya sebagai peneliti untuk <a href="https://greaterinternetfreedom.org/">proyek Pemantauan Ujaran Kebencian (Greater Internet Freedom) Harmful Speech Monitoring</a>, yang didukung oleh media nirlaba independen <a href="https://internews.org/areas-of-expertise/disinformation-misinformation/">Internews</a>, saya melakukan pengamatan terhadap platform-platform media sosial selama periode Juni-Juli 2023. Saya menemukan bahwa pola yang sama muncul dalam Pemilu 2024.</p>
<p><a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">Penelitian saya</a> menemukan setidaknya 60 contoh ujaran kebencian (terutama di Twitter), dengan 45 di antaranya mengandung nuansa politik. Beberapa komentar ofensif ditujukan kepada tiga calon presiden - Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Hal ini sudah terjadi bahkan sebelum ketiganya secara resmi ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU.</p>
<h2>Ujaran kebencian terhadap calon presiden di X</h2>
<p>Penelitian saya berfokus pada platform X (dulunya dikenal sebagai Twitter), karena menurut <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-%20Hukum/622252/publik-masih-beli-informasi-sesat-di-media-sosial">Laporan Survei Nasional</a> dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Twitter mengandung informasi yang paling mengganggu dibandingkan dengan platform media sosial lainnya.</p>
<p>Saya menggunakan <a href="https://www.researchgate.net/publication/336094446_Using_keywords_analysis_in_CDA_evolving_discourses_of_the_knowledge_economy_in_education#fullTextFileContent">analisis kata kunci dan kontekstual</a> untuk mengidentifikasi ujaran kebencian dalam penelitian saya. </p>
<p>Kata kunci yang saya gunakan antara lain nama-nama politikus (“anies baswedan”, “anies”, “prabowo subianto”, “prabowo”, “ganjar pranowo”, “ganjar”), serta frasa-frasa umum lainnya seperti “pilpres” atau “pemilihan presiden” dan “pemilu 2024”.</p>
<p>Pada 31 Agustus 2023, <a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">60 unggahan ujaran kebencian</a> yang saya identifikasi telah dibagikan sebanyak 6.827 kali di X, YouTube, dan TikTok.</p>
<p>Salah satu akun dengan nama samaran, misalnya, mengunggah <a href="https://twitter.com/MJOEJOEF/status/1683403332214456321">konten kebencian</a> tentang Ganjar Pranowo sebagai pembohong dan pecandu pornografi. Hal itu sebagai tanggapan atas <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/04/happy-happy-husbands-central-java-governor-says-porn-ok-for-married-men.html">pernyataan</a> Ganjar di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=ksbAAktR27U"><em>podcast</em></a> YouTube pada tahun 2019 bahwa “tidak ada yang salah dengan menonton film porno” dan “saya menyukainya”. Faktanya, mayoritas orang Indonesia <a href="https://www.neliti.com/publications/63228/pornography-manifestation-in-internet-media-content-analysis-on-popular-local-po">menganggap</a> menonton film porno tidak dapat diterima secara moral.</p>
<p>Akun anonim lainnya menyebarkan <a href="https://twitter.com/roby_bakar3000/status/1674627710214340608">sentimen negatif</a> tentang Prabowo Subianto terkait perannya dalam pembelian jet tempur bekas, yang akhir-akhir ini juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-confirms-buying-used-fighter-jets-800-million-after-deal-criticised-2023-06-14/">memicu kecaman dari masyarakat</a>.</p>
<p>Unggahan tersebut menggunakan tagar seperti #Prabohong #Bahaya (Prabowo pembohong dan berbahaya). Twitter kemudian menangguhkan akun tersebut karena melanggar <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">kebijakan profil kebencian</a>.</p>
<p>Anies Baswedan juga menjadi sasaran ujaran kebencian di X. Di pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2017, Anies mendapat <a href="https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/view/1083">dukungan besar</a> dari <a href="https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_49.pdf">kelompok Islam garis keras</a>. Ini banyak diyakini menjadi salah satu <a href="https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/8923">faktor utama yang membantunya</a> memenangkan Pilgub. </p>
<p>Pada bulan Juli, sebuah akun <em>troll</em> dengan hampir 42.000 pengikut mengunggah video berdurasi satu menit yang menampilkan Anies bersama beberapa pemuka agama Islam dalam sebuah acara. Para pemuka agama tersebut menyebutkan bahwa Anies adalah satu-satunya gubernur di dunia yang menerima 65 penghargaan dalam setahun.</p>
<p>Menurut pengguna akun tersebut, hal itu adalah sebuah kebohongan. Akun itu memuat tagar #GubernurTukangNgibul. Postingan tersebut menerima 42 komentar, sebagian besar mengungkapkan kebencian terhadap Anies.</p>
<h2>Dampaknya di dunia nyata</h2>
<p>Yang membuat ujaran kebencian berbahaya di Indonesia adalah hal tersebut dapat berujung pada <a href="http://repository.umi.ac.id/3179/2/Similarity%20Check%20ANALYSIS%20OF%20HATE.pdf">tindakan negatif yang berlebihan di dunia nyata (<em>offline</em>)</a>, <a href="https://transparency.fb.com/en-gb/policies/community-standards/dangerous-individuals-organizations/">termasuk dalam bentuk</a> hasutan dan ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan untuk terlibat dalam tindakan kriminal lainnya.</p>
<p>Pada tahun 2016, misalnya, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial terhadap calon gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen, <a href="https://brill.com/view/journals/gr2p/15/2-3/article-p135_004.xml">berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran</a> di Jakarta oleh sejumlah kelompok Islam konservatif. Mereka menuntut Ahok dipenjara karena telah menistakan agama Islam. Ahok kemudian <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/jan/24/ahok-jakartas-former-governor-released-after-jail-term-for-blasphemy">divonis hukuman</a> dua tahun penjara karena hal tersebut.</p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan</h2>
<p>Pengguna dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan X tentang kekerasan dan <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/violent-entities">kebijakan konten kebencian</a>.</p>
<p>Namun, platform ini harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak, sehingga pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten sudah terlanjur viral dan memengaruhi publik.</p>
<p>Pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini menjelang Pemilu bulan depan.</p>
<p>Untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi, mereka harus bekerja sama dalam memantau dan menganalisis konten semacam itu ketika ditandai, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222060/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Program Greater Internet Freedom (GIF) Harmful Speech Monitoring Fellowship 2023 didanai oleh USAID dan diselenggarakan oleh Internews.</span></em></p>Penelitian saya menemukan setidaknya 60 kasus ujaran kebencian dalam rentang waktu dua bulan yang menargetkan ketiga calon presiden Pemilu 2024.Jati Savitri Sekargati, PhD Candidate in Media and Journalism, Glasgow Caledonian UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2141822023-09-27T00:54:34Z2023-09-27T00:54:34ZPembakaran Al-Quran: bagaimana batasan antara kebebasan berekspresi dan penistaan agama?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/549782/original/file-20230824-19-8rlhm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=168%2C38%2C8433%2C5665&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Iraqis raise copies of the Quran during a protest in Baghdad, Iraq, on July 22, 2023, following reports of the burning of the holy book in Copenhagen.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/QuranProtests/a55d505a51d943e58a22e22e6536ba60/photo?Query=raqis%20raise%20copies%20of%20the%20Quran%20during%20a%20protest%20in%20Tahrir%20Square%20on%20in%20Baghdad,%20Iraq&mediaType=photo&sortBy=&dateRange=Anytime&totalCount=779&currentItemNo=0&vs=true">AP Photo/Hadi Mizban</a></span></figcaption></figure><p>Pemerintah Swedia <a href="https://www.reuters.com/world/europe/sweden-raise-terrorist-threat-assessment-daily-dn-2023-08-17/">tengah khawatir dengan keamanan nasional</a>, menyusul beberapa insiden pembakaran Al-Quran yang telah memicu demonstrasi dan kemarahan dari negara-negara mayoritas Muslim.</p>
<p>Rentetan insiden pembakaran Al-Quran terjadi setelah <a href="https://www.thequint.com/news/world/far-right-leader-rasmus-paludan-burns-quran-in-sweden-worldwide-condemnation-from-muslims-turkey-saudi-pakistan">tindakan serupa</a> yang dilakukan oleh aktivis sayap kanan Rasmus Paludan pada 21 Januari 2023, di depan kedutaan besar Turki di Stockholm, Swedia.</p>
<p>Pada 25 Agustus, pemerintah Denmark mengatakan akan “mengkriminalisasi” penodaan terhadap objek-objek keagamaan dan mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang <a href="https://www.nytimes.com/2023/08/25/world/europe/denmark-quran-burning.html#:%7E:text=Denmark's%20government%20said%20on%20Friday,in%20many%20Muslim%2Dmajority%20countries.">melarang pembakaran kitab suci</a> </p>
<p>Meskipun kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia (HAM) yang mendasar bagi negara-negara demokrasi liberal, menjadi rumit ketika pendapat yang diekspresikan tersebut berbenturan dengan keyakinan agama dan budaya orang lain dan mengarah ke ujaran kebencian.</p>
<p>Sebagai seorang <a href="https://www.arminlanger.net/">akademisi studi Eropa</a>, saya tertarik pada bagaimana masyarakat Eropa modern memberi garis batas antara kebebasan berekspresi dan kebutuhan untuk mencegah ujaran kebencian; beberapa negara memperkenalkan UU khusus mengenai ujaran kebencian. </p>
<h2>Hukuman mati karena menghina Tuhan dan gereja</h2>
<p>Sejak abad pertengahan, karena peran dominan agama Kristen dalam kehidupan politik dan budaya, penistaan terhadap kepercayaan Kristen di negara-negara Eropa diancam hukuman berat. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://doi.org/10.1017/9781108242189.018">Hukum Denmark dari tahun 1683 mengatur hukuman</a> potong lidah, kepala atau tangan pelaku. Di Inggris, baik di wilayah Inggris Raya maupun negara-negara persemakmurannya, penistaan diancam hukuman mati. Pada tahun 1636, para pemukim Puritan Inggris di Massachusetts, Amerika Serikat (AS), <a href="https://whyy.org/articles/anti-blasphemy-laws-have-a-history-in-america/">mengesahkan hukuman mati</a> bagi pelaku penistaan agama. </p>
<p>Selama berabad-abad, hukum penistaan agama dipandang oleh para pemimpin agama dan sipil sebagai pengaman untuk menjaga ketertiban masyarakat dan memperkuat aturan dan pengaruh agama. Hukum-hukum ini menunjukkan seberapa besar kekuatan dan pengaruh yang dimiliki kelompok-kelompok agama saat itu. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Lukisan hitam putih yang menunjukkan seorang pemimpin gereja memegang salib dan kayu yang ditumpuk untuk membakar seorang laki-laki, disaksikan oleh kerumunan orang." src="https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=389&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=389&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=389&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=489&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=489&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/544778/original/file-20230825-21-am7gat.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=489&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Lukisan yang menunjukkan seorang laki-laki yang dieksekusi karena dianggap sesat pada bulan Juli 1826.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/08/AUTODAF%C3%89_A_VALENCE_%28Juillet_1826%29.jpg">(E)manccipa-Ment via Wikimedia Commons</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selama Abad Pencerahan, dari tahun 1600-an hingga 1700-an, <a href="https://world101.cfr.org/contemporary-history/prelude-global-era/what-enlightenment-and-how-did-it-transform-politics">lembaga-lembaga keagamaan mulai kehilangan kekuasaan</a>. Dengan memisahkan antara gereja dan negara secara ketat, Prancis menjadi negara pertama yang mencabut UU penistaan agama pada tahun 1881. </p>
<p>Tujuh negara Eropa lainnya mencabut UU mereka antara tahun 1900-an dan 2000-an, termasuk <a href="https://www.eurel.info/spip.php?rubrique542&lang=en">Swedia</a> <a href="https://www.theguardian.com/world/2017/jun/02/denmark-scraps-334-year-old-blasphemy-law">dan, baru-baru ini, Denmark</a>.</p>
<h2>Lanskap hukum penistaan agama di Eropa</h2>
<p>Beberapa negara di Eropa masih memiliki UU penistaan agama, tetapi pendekatannya sangat bervariasi. Sering kali UU tersebut tidak dapat mencegah tindakan-tindakan masa kini, seperti penghinaan terhadap teks-teks agama. </p>
<p>Di Rusia, para legislatornya memperkenalkan UU federal pada tahun 2013 yang <a href="https://www.article19.org/data/files/medialibrary/3729/13-05-03-LA-russia.pdf">mengkriminalisasi penghinaan</a> terhadap keyakinan agama. Hal ini terjadi setelah beberapa aksi protes yang provokatif oleh Pussy Riot, kelompok seni feminis yang berbasis di Moskow. Salah satu protes tersebut, “doa punk”, di sebuah gereja katedral di Moskow pada 2012 mengkritik hubungan dekat antara Gereja Ortodoks Rusia dan rezim Vladimir Putin. </p>
<p>Sejak 1969, hukum pidana Jerman telah melarang penghinaan terhadap agama. Meskipun Jerman jarang menegakkan hukum ini, pada 2006 seorang aktivis anti-Islam dijatuhi hukuman <a href="https://www.irishtimes.com/news/man-who-made-koran-toilet-paper-escapes-jail-1.1019869">hukuman penjara satu tahun, yang kemudian ditangguhkan</a>, karena mendistribusikan tisu toilet bertuliskan “Al-Quran”. </p>
<p>Austria dan Swiss memiliki UU yang sangat mirip dengan Jerman. Pada tahun 2011, di Wina, seseorang didenda karena menyebut nabi Muhammad sebagai pedofil. </p>
<p>Kasus ini kemudian dibawa ke Pengadilan HAM Eropa, yang mendukung keputusan pengadilan Wina. Pengadilan mengatakan bahwa orang tersebut tidak mencoba untuk melakukan diskusi yang bermanfaat, melainkan <a href="https://hudoc.echr.coe.int/app/conversion/pdf/?library=ECHR&id=003-6234980-8105265&filename=Judgment%20E.S.%20v.%20Austria%20-">hanya ingin menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak perlu dihormati</a>.</p>
<p>Spanyol juga mengambil <a href="https://www.mjusticia.gob.es/es/AreaTematica/DocumentacionPublicaciones/Documents/Criminal_Code_2016.pdf">sikap yang keras terhadap penghinaan agama</a>. Hukum pidananya mengatur bahwa meremehkan keyakinan, praktik atau upacara keagamaan di depan umum dengan cara yang dapat melukai perasaan para pengikutnya adalah sebuah kejahatan. </p>
<p>Spanyol sebenarnya memperkenalkan UU ini untuk melindungi kepentingan Katolik, <a href="https://berkleycenter.georgetown.edu/essays/national-laws-on-blasphemy-spain">tetapi aturan ini juga berlaku untuk agama minoritas</a>. </p>
<p>Italia, negara mayoritas Katolik lainnya, menghukum segala tindakan yang dianggap tidak menghormati agama. Hukum pidananya telah digunakan untuk menghukum tindakan yang menghina agama Kristen. Sebagai contoh, pada 2017, <a href="https://hyperallergic.com/410323/hogre-jesus-chared-with-public-offense-italy/">otoritas Italia mendakwa seorang seniman</a> karena menggambarkan Yesus dengan penis yang sedang ereksi.</p>
<h2>Perdebatan kontemporer</h2>
<p>Pembakaran Al-Quran di Swedia dan Denmark tidak terjadi secara acak. Ini kemungkinan adalah bagian dari agenda yang lebih luas yang menargetkan Muslim dan <a href="https://bridge.georgetown.edu/research/burning-the-quran-is-not-free-speech/">diinisiasi oleh kelompok-kelompok sayap kanan</a> di seluruh Eropa. </p>
<p>Di banyak negara Eropa, anggota parlemen dan pihak-pihak lain mempertanyakan apakah pembakaran buku ini harus dilihat sebagai bentuk kebebasan berekspresi atau lebih sebagai penghasutan berdasarkan agama. </p>
<p>Beberapa negara memperkenalkan UU baru untuk <a href="https://sas-space.sas.ac.uk/2064/1/Amicus76_Kearns.pdf">mencegah ujaran kebencian terhadap komunitas agama</a>. Pada tahun 2006, contohnya, Inggris menghapus UU penistaan agama dan <a href="https://www.legislation.gov.uk/uksi/2007/2490/introduction/made">mengesahkan UU Kebencian Ras dan Agama</a>, yang menghukum segala tindakan yang dapat membangkitkan kebencian terhadap agama.</p>
<p>Irlandia, sejak mencabut UU penistaan agama pada tahun 2020, telah mendiskusikan pemberlakuan <a href="https://www.gov.ie/en/press-release/74ed9-new-bill-to-tackle-hate-crime-and-hate-speech-includes-clear-provision-to-protect-freedom-of-expression/">UU ujaran kebencian</a>, yang akan mengkriminalisasi komunikasi atau perilaku apa pun yang kemungkinan besar dapat memicu kekerasan atau kebencian.</p>
<p>Swedia mengesahkan UU ujaran kebencian pada 1970 yang melindungi ras, etnis, agama, dan minoritas seksual. Otoritas Swedia memakai UU ini ketika <a href="https://www.reuters.com/world/europe/swedish-police-approve-small-anti-koran-demonstration-mosque-2023-06-28/">menindak insiden pembakaran Al-Quran</a> di depan sebuah masjid pada Juni 2023. </p>
<p>Polisi Swedia berargumen bahwa pembakaran Al-Quran tersebut bukan hanya tentang agama tetapi secara khusus <a href="https://www.voanews.com/a/why-does-sweden-allow-quran-burnings-it-has-no-blasphemy-laws-/7190103.html">menyasar komunitas Muslim</a>. Ini sudah jelas, menurut kepolisian, karena insiden ini terjadi di depan masjid <a href="https://www.reuters.com/world/europe/swedish-police-approve-small-anti-koran-demonstration-mosque-2023-06-28/">selama hari raya Idulfitri</a>, berbeda dengan pembakaran lain yang terjadi di luar <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/8/14/copy-of-quran-desecrated-outside-stockholms-royal-palace">Istana Kerajaan Swedia</a>, <a href="https://www.straitstimes.com/world/europe/swedish-police-grant-permit-for-protest-outside-iraqi-embassy-in-stockholm-where-quran-was-burned">kedutaan besar Turki dan Irak</a>, dan ruang publik lainnya. Karena UU ujaran kebencian yang berlaku saat ini berfokus pada penghasutan terhadap kaum minoritas dan bukan agama, aktivis tersebut menerima denda dari polisi.</p>
<p>Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa pihak menyerukan penerapan yang lebih ketat atas UU ujaran kebencian dan menuntut pelarangan semua aksi pembakaran Al-Quran karena <a href="https://www.bbc.com/news/world-europe-66310285">secara implisit menghasut kebencian terhadap muslim</a>. </p>
<h2>Tantangan global</h2>
<p>Diskusi ini tidak hanya terjadi di Eropa. Di AS, perdebatan mengenai batas-batas kebebasan berpendapat tengah berlangsung. Amandemen Pertama Konstitusi AS mengizinkan kebebasan berpendapat, yang oleh sebagian orang ditafsirkan sebagai hak untuk membakar kitab suci.</p>
<p>Terry Jones, misalnya, adalah seorang pendeta Kristen yang kontroversial dari Florida. Dia mengorganisir <a href="https://www.washingtonpost.com/local/education/florida-pastor-terry-joness-koran-burning-has-far-reaching-effect/2011/04/02/AFpiFoQC_story.html">acara pembakaran Al-Quran</a> di Gainesville pada 2011 <a href="https://english.alarabiya.net/articles/2012%2F04%2F29%2F211022">dan 2012</a>. Satu-satunya konsekuensi hukum yang ia terima adalah <a href="https://talkabout.iclrs.org/2019/12/10/1045/">denda sebesar US$271 (Rp 3,3 juta) dari Gainesville Fire Rescue</a> karena tidak mengikuti aturan keselamatan kebakaran. </p>
<p>Setelah Jones mengumumkan bahwa ia akan membakar Al-Quran, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa <a href="https://abcnews.go.com/GMA/president-obama-terry-jones-koran-burning-plan-destructive/story?id=11589122">pendeta tersebut melanggar prinsip-prinsip toleransi beragama di AS</a>. Pakar hukum <a href="https://law.yale.edu/jack-m-balkin">Jack Balkin</a> merekomendasikan <a href="http://www.cnn.com/2010/OPINION/09/10/balkin.first.amendment/index.html">penggunaan kebebasan berbicara</a> untuk mempromosikan nilai-nilai pluralis untuk melawan kebencian Jones. Ahli hukum dan agama <a href="https://talkabout.iclrs.org/authors-2/iclrs-authors/jane-wise/">Jane Wise</a> menyarankan agar <a href="https://talkabout.iclrs.org/2019/12/10/1045/">AS dapat mencontoh Inggris</a> dalam melarang ujaran kebencian. </p>
<p>Seiring dengan perubahan masyarakat, saya percaya bahwa penting untuk mengenali pada titik apa kebebasan berpendapat berubah menjadi promosi terhadap kebencian. Perlu diskusi-diskusi lebih lanjut untuk mencari tahu letak batasannya, memahami standar yang diterapkan, dan mengungkap potensi biasnya.</p>
<p>Tidak ada solusi yang bisa berlaku sama rata di setiap negara. Maka dari itu, penting untuk selalu berdialog, mengenali kerumitan dan berbagai perspektif seluruh masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214182/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Armin Langer tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa negara di Eropa memperkenalkan UU baru untuk mencegah ujaran kebencian terhadap agama.Armin Langer, Assistant Professor of European Studies, University of FloridaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1941762022-11-08T11:41:09Z2022-11-08T11:41:09ZBanyak orang mulai hijrah dari Twitter – tapi semudah itukah memindahkan jaringan komunitas kita ke platform yang baru?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/494065/original/file-20221108-16-2yg3md.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gejolak di internal markas Twitter memicu adanya kemungkinan migrasi massal pengguna platform tersebut. Apa yang akan terjadi jika orang berbondong-bondong meninggalkan Twitter?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/MuskTwitter/baf8b7c63202419e98834b39dd2aa722/photo">(AP Photo/Jeff Chiu)</a></span></figcaption></figure><p>Ketika Elon Musk resmi mengakuisisi Twitter dengan nilai US$ 44 miliar (sekitar Rp 690 triliun) pada 27 Oktober 2022, ia mengumumkan bahwa “sang burung kini bebas” (“<em><a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1585841080431321088">the bird is freed</a></em>”). Banyak orang di situs mikroblog ini kemudian melihat hal tersebut sebagai alasan untuk ‘terbang’ ke platform lain.</p>
<p>Selama 48 jam berikutnya, misalnya, saya melihat banyak sekali orang di linimasa Twitter saya mengumumkan bahwa mereka akan hengkang dari platform ini, atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk pergi. Tagar #GoodbyeTwitter, #TwitterMigration, dan #Mastodon kemudian <a href="https://www.wired.com/story/twitter-users-flock-to-other-platforms-as-the-elon-musk-era-begins/">menjadi populer</a>. Mastodon, sebuah platform jejaring sosial yang bersumber terbuka (<em>open source</em>) dan terdesentralisasi, mencatat kenaikan lebih dari 100.000 pengguna baru hanya dalam beberapa hari, berdasarkan <a href="https://hci.social/web/@mastodonusercount@bitcoinhackers.org">hitungan suatu bot</a>.</p>
<p>Sebagai seorang peneliti ilmu informasi yang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=D9LfKkAe7d0C&hl=en">mengkaji komunitas daring</a>, saya melihat bahwa migrasi media sosial seperti ini bukanlah hal baru. Platform medsos biasanya memang tidak bertahan selama-lamanya. Tergantung umur dan kebiasaan daring Anda, kemungkinan ada beberapa platform yang Anda lewatkan atau yang pernah Anda gunakan dulu dan masih eksis sampai sekarang, walaupun dalam tampilan yang berbeda, seperti Space, LiveJournal, Google+, dan Vine.</p>
<p>Ketika suatu platform medsos tumbang atau popularitasnya menurun, terkadang para komunitas yang ada di sana pelan-pelan hilang, kadang juga mereka berpindah ke platform yang lain. Gejolak di Twitter saat ini menyebabkan banyak penggunanya mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.</p>
<p>Beberapa riset terkait migrasi platform medsos di masa lalu menunjukkan beberapa kemungkinan dan tantangan yang bisa muncul ke depannya bagi para netizen yang memutuskan untuk pindah.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/DWkB9GLzWj0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Akuisisi Twitter oleh Elon Musk menyebabkan gejolak di dalam internal perusahaan dan juga membuat banyak pengguna mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.</span></figcaption>
</figure>
<p>Beberapa tahun lalu, saya memimpin <a href="http://dx.doi.org/10.1145/3392847">proyek riset</a> dengan Brianna Dym dari University of Maine, Amerika Serikat (AS). Kami memetakan migrasi platform dari hampir 2.000 orang selama periode hampir dua dekade. Komunitas yang kami amati adalah ‘<a href="https://www.teenvogue.com/story/how-do-we-define-fandom-stitch-fan-service"><em>transformative fandom</em></a>’ – para kelompok penggemar serial budaya populer dan sastra yang kemudian membuat karya seni dan fiksi penggemar (<em>fan fiction</em>) menggunakan karakter-karakter dan latar-latar tersebut.</p>
<p>Kami memilih ini karena jaringan komunitas tersebut cukup besar dan telah berkembang di berbagai ruang daring yang berbeda. Beberapa orang yang sama yang menulis <em>fan fiction</em> serial Buffy the Vampire Slayer di Usenet pada tahun 1990-an, juga menulis <em>fan fiction</em> Harry Potter di platform LiveJournal pada tahun 2000-an dan <em>fan fiction</em> Star Wars di Tumblr pada tahun 2010-an.</p>
<p>Dengan menanyakan para partisipan tentang pengalaman mereka berpindah platform – kenapa mereka pergi, kenapa mereka memilih platform tertentu, dan tantangan yang mereka hadapi saat melakukannya – kita bisa melihat faktor-faktor yang bisa jadi menentukan sukses atau gagalnya sebuah platform. Kita juga bisa melihat apa saja konsekuensi negatif yang berpotensi dihadapi komunitas saat melakukan migrasi.</p>
<h2>“Kamu aja dulu”</h2>
<p>Terlepas dari seberapa banyak orang yang pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Twitter, dan meski mereka memutuskan hijrah secara bersamaan, menciptakan komunitas di platform lain adalah perjuangan yang cukup menantang. Migrasi seperti ini sebagian besar didorong oleh efek jaringan. Artinya, nilai dari platform baru tergantung dari siapa saja yang sudah ada di sana.</p>
<p>Pada tahap-tahap awal migrasi yang merupakan momen kritis, pengguna harus berkoordinasi dengan satu sama lain untuk saling mendorong kontribusi di platform baru. Ini adalah hal yang cukup sulit. Pada akhirnya, ini menjadi – dalam kata-kata salah satu partisipan kami – apa yang disebut dalam teori permainan (<em>game theory</em>) sebagai ’<em>game of chicken</em>‘. Di sini, tidak ada yang ingin pindah sebelum teman-temannya pindah, dan tidak ada yang mau menjadi yang pertama karena takut bahwa mereka akan sendirian di platform baru tersebut.</p>
<p>Untuk alasan ini pula, 'kematian’ suatu platform – entah karena kontroversi, tidak disukai, ataupun efek kompetisi – seringkali merupakan proses yang lambat dan bertahap. Seorang partisipan menjelaskan turunnya popularitas Usenet layaknya “mengamati suatu mal yang makin hari makin sepi sampai akhirnya tutup”.</p>
<h2>Rasanya tidak akan sama</h2>
<p>Dorongan beberapa pihak untuk meninggalkan Twitter mengingatkan saya tentang <a href="https://slate.com/technology/2018/12/tumblr-fandom-adult-content-ban-livejournal.html">larangan konten dewasa di Tumblr</a> pada tahun 2018. Jauh sebelum itu, saya juga teringat perubahan kebijakan serta pergantian kepemilikan LiveJournal pada tahun 2007.</p>
<p>Orang-orang yang meninggalkan LiveJournal dan pindah ke platform lain, seperti Tumblr, mengatakan bahwa mereka merasa agak kurang diterima di sana. Meski Elon Musk tidak serta merta mematikan sistem moderasi konten ketika ia mulai menguasai Twitter pada akhir Oktober lalu, ada <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/10/28/musk-twitter-racist-posts/">kenaikan tingkat ujaran kebencian (<em>hate speech</em>)</a> di platform tersebut. Beberapa pengguna nampaknya merasa lebih berani untuk melanggar kebijakan konten platform karena menganggap akan ada beberapa perubahan besar di bawah rezim Musk.</p>
<p>Jadi, apa yang mungkin terjadi jika banyak pengguna Twitter memutuskan untuk pergi?</p>
<p>Yang membuat Twitter khas bukanlah teknologinya, melainkan dinamika dan susunan interaksi yang terjadi di platform tersebut. Peluangnya nol bahwa pengalaman di Twitter, seperti yang ada sekarang, bisa direkonstruksi kembali di platform lain. </p>
<p>Migrasi medsos dalam bentuk apapun kemungkinan akan menghadapi banyak tantangan yang sebelumnya mewarnai proses migrasi platform di masa lampau: kehilangan konten, komunitas yang terfragmentasi, jejaring sosial yang terputus, hingga norma komunitas yang bergeser.</p>
<p>Tapi Twitter bukanlah satu komunitas saja – ia merupakan koleksi banyak komunitas dengan norma dan motifnya masing-masing. Beberapa komunitas bisa jadi lebih mudah bermigrasi ketimbang komunitas lain.</p>
<p>Misalnya, bisa jadi komunitas K-Pop di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Tumblr. Saya juga melihat sejumlah besar komunitas akademik di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Mastodon. Komunitas lain bisa jadi sejak awal sudah hadir di platform Discord dan Reddit, lalu tinggal menunggu aktivitas mereka di Twitter memudar seiring berkurangnya perhatian orang terhadap komunitas mereka di sana.</p>
<p>Tapi, seperti temuan riset kami, proses migrasi selalu ada pengorbanannya. Bahkan bagi beberapa komunitas yang relatif kecil, beberapa orang tetap akan tersesat dan hilang akibat proses migrasi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1586525904997863427"}"></div></p>
<h2>Ikatan komunitas</h2>
<p>Riset yang kami lakukan juga menunjukkan beberapa rekomendasi desain untuk mendukung proses migrasi, dan juga gambaran bagaimana suatu platform bisa memanfaatkan pudarnya minat di platform lain.</p>
<p>Fitur untuk mengunggah secara lintas platform (<em>cross-posting</em>) menjadi cukup penting untuk memuluskan jalan mereka yang masih menimbang-nimbang. Mereka bisa jadi masih enggan untuk sepenuhnya memutus relasi dengan platform lama, tapi tertarik untuk mencoba platform baru dengan cara membagikan konten yang sama di dua tempat sekaligus.</p>
<p>Mengimpor jaringan mereka dari platform lama juga membantu pengguna untuk mempertahankan komunitas mereka. Misalnya, <a href="https://twitodon.com/">ada</a> <a href="https://pruvisto.org/debirdify/">beberapa</a> <a href="https://fedifinder.glitch.me/">cara</a> bagi pengguna baru di Mastodon untuk menemukan orang-orang yang mereka ikuti di Twitter. Bahkan pesan-pesan ‘selamat datang’ yang sederhana, panduan bagi pengguna baru, dan cara-cara mudah unntuk menemukan pengguna baru lainnya bisa sangat membantu memuluskan proses perpindahan.</p>
<p>Dalam hal ini, penting juga untuk mengingat bahwa platform memang secara sengaja mempersulit proses migrasi. Tidak ada insentif bagi mereka untuk membantu para pengguna pindah. Sebagaimana yang ditulis wartawan teknologi kawakan Cory Doctorow, ini adalah “<a href="https://doctorow.medium.com/how-to-leave-dying-social-media-platforms-9fc550fe5abf">situasi penyanderaan</a>” (<em>hostage situation</em>). Media sosial membujuk orang dengan kehadiran teman-teman mereka, lalu ancaman kehilangan jejaring sosial tersebut membuat mereka bertahan di platform.</p>
<p>Tapi, jika pun ada harga yang harus dibayar demi meninggalkan platform, para komunitas bisa jadi sangat tangguh. Layaknya para pengguna LiveJournal dalam studi kami yang berhasil memindahkan jejaring mereka ke Tumblr, nasib Anda tidak selamanya terikat di Twitter.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194176/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Casey Fiesler tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gejolak di Twitter membuat banyak komunitas ingin hengkang. Tapi, riset menemukan suatu komunitas tidak akan bisa sepenuhnya sukses memindahkan jejaring mereka dari satu platform ke platform lain.Casey Fiesler, Associate Professor of Information Science, University of Colorado BoulderLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1733282021-12-07T06:11:56Z2021-12-07T06:11:56ZMundurnya Jack Dorsey dari Twitter tidak menunjukkan masa depan meyakinkan untuk media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/436035/original/file-20211207-141979-1q974r4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3323%2C2119&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bukan Mark Zuckerberg.</span> <span class="attribution"><span class="source">EPA</span></span></figcaption></figure><p>Jack Dorsey <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/nov/29/twitter-chief-executive-jack-dorsey">mengumumkan secara mendadak mundur</a> dari CEO Twitter di platform itu sendiri. Dorsey membeberkan <a href="https://twitter.com/jack/status/1465347002426867720">surat pengunduran diri</a> di media sosial yang ia ikut dirikan; cuitan itu mengingatkan saya pada <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/nov/11/elon-musk-sells-some-tesla-stock-but-was-it-really-because-of-twitter-poll">cuitan-cuitan kontrovesial</a> Elon Musk. Kita bisa bayangkan Dorsey duduk santai menikmati reaksi dan spekulasi yang kemudian muncul.</p>
<p>Ini bukan surat <em>resign</em> pertama Dorsey dari Twitter - ia dipaksa mundur dari jabatan CEO pada 2008, lalu kembali menjadi <em>executive chairman</em> tiga tahun kemauan. Surat ini belum tentu juga menjadi yang terakhir.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1465347002426867720"}"></div></p>
<p>Menurut email yang dikirim kepada staf Twitter saat mengumumkan pengunduran dirinya, Dorsey mengatakan bahwa menurut dia, perusahaan itu harus “berdiri sendiri, bebas dari pengaruh atau arahan pendiri”. </p>
<p>Dalam keriuhan yang muncul setelah ia mengumumkan berita itu di Twitter, Dorsey menekankan bahwa itu keputusan dia sendiri. Lalu apa yang bisa kita simpulkan di sini?</p>
<h2>Krisis paruh baya media sosial</h2>
<p>Keputusan Dorsey bukannya tidak disangka. Sudah setahun lebih ia berada dalam <a href="https://www.vox.com/recode/2020/3/1/21160375/jack-dorsey-twitter-elliott-management-paul-singer-ceo">tekanan besar</a> dari investor untuk mempercepat pertumbuhan Twitter dan memperbaiki kinerja keuangannya. </p>
<p>Investor Wall Street telah mengkritik kiprah Dorsey di luar Twitter, termasuk aplikasi pembayaran raksasa Square, yang ia dirikan saat mundur dari Twitter sebelumnya, <a href="https://markets.businessinsider.com/news/currencies/jay-z-jack-dorsey-nfts-and-smart-contracts-to-tidal-2021-6">dan juga</a> <a href="https://www.crunchbase.com/person/jack-dorsey">proyek-proyek futuristik</a> terkait <a href="https://techcrunch.com/2021/02/12/jack-dorsey-and-jay-z-invest-23-6-million-to-fund-bitcoin-development/">desentralisasi</a> (menghilangkan kendali korporasi tradisional) di internet dan keuangan. </p>
<p>Saya melihat kesamaan antara Dorsey dan taipan digital lain seperti Jeff Bezos dan Musk. Seperti Dorsey, Bezos dan Musk menjalankan dua perusahaan, Amazon/Blue Origin dan Tesla/SpaceX, sekaligus mencari bentuk-bentuk kesenangan dan petualangan baru; Bezos berupaya <a href="https://www.nytimes.com/2021/06/07/business/jeff-bezos-space.html">mencapai orbit</a> dan Musk <a href="https://www.theverge.com/2018/2/6/16983744/spacex-tesla-falcon-heavy-roadster-orbit-asteroid-belt-elon-musk-mars">melontarkan mobil sport</a> Tesla Roadster ke luar angkasa.</p>
<p>Pada kasus Twitter, ada pula dimensi media sosial. Platform seperti Twitter, Facebook, dan YouTube kian dibebani kontroversi politis dan masalah rumit seperti disinformasi, pelanggaran privasi, dan ujaran kebencian.</p>
<p>Twitter, <a href="https://edition.cnn.com/2021/10/27/tech/vijaya-gadde-twitter-risk-takers/index.html">misalnya</a>, menjadi saluran pribadi Donald Trump sebelum akhirnya melarang dia, dan saat ini bergelut dengan masalah <a href="https://techhq.com/2021/09/data-privacy-backlash-pushes-apple-twitter-to-shield-users-more/">ujaran kebencian</a> sebagai isu global. </p>
<p>Situasi yang dihadapi para platform ini kadang disebut sebagai <a href="https://michailbukin147.medium.com/coping-with-the-social-media-midlife-crisis-7bb67951b686">krisis paruh baya media sosial</a>.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Cartoon of Donald Trump on a Twitter bird" src="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jangan melupakan sejarah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/cartoon-july-26-2018-donald-trump-1142678024">Anton Khodakovskiy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Karena tidak ada solusi sederhana, maka masuk akal bila seseorang seperti Dorsey lebih senang menciptakan hal-hal baru ketimbang memperbaiki yang sudah ada. Mungkin lebih masuk akal untuk menyerahkan kendali kerajaan pada orang lain dan pergi mencari petualangan baru.</p>
<p>Dorsey menyebut “ego pendiri” dalam pesan perpisahan pada Twitter dan stafnya; ini tidak lain adalah sindiran pada Mark Zuckerberg, yang sama sekali tidak menunjukkan gelagat akan mundur dari Facebook/Meta. Sebaliknya, Zuckerberg ingin mengembangkan pengaruh perusahaannya lebih lanjut dengan meningkatkan operasinya pada <a href="https://theconversation.com/metaverse-five-things-to-know-and-what-it-could-mean-for-you-171061">versi realitas virtual internet</a> yang dikenal sebagai <a href="https://theconversation.com/mark-zuckerberg-wants-to-turn-facebook-into-a-metaverse-company-what-does-that-mean-165404">metaverse atau 3Dweb</a>.</p>
<p>Saat Facebook membuat pengumuman besar perubahan jenama menjadi Meta pada Oktober 2021, Dorsey mengeluarkan cuitan berisi ketidaksetujuannya pada keputusan Zuckerberg untuk tetap di Facebook. Dorsey mengatakan ia mencintai Twitter, tapi saya menduga ia memprediksi masa-masa sulit perusahaan media sosial dan bahkan konsep dasar platform-platform ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1464865985471471616"}"></div></p>
<p>Menurut saya, sudah berakhir masa developer muda ingin berkarir di Google, Facebook, atau Twitter. Mereka kini lebih tertarik mencari untung lewat NFT dan membuat aplikasi untuk metaverse (non-Meta). Sementara itu, regulator <a href="https://telecom.economictimes.indiatimes.com/news/tech-regulation-leads-the-agenda-at-uk-g7-forum/88020130">semakin mengawasi</a> nama-nama besar Silicon Valley atas standar etika mereka dalam konten dan data pengguna. Dan jika masa depan ada pada metaverse, maka seperti apa posisi Twitter sebagai platform microblogging dengan pengguna yang sempit di era 3Dweb.</p>
<h2>Bab baru Jack</h2>
<p>Setelah Dorsey menyerahkan kendali Twitter pada <em>chief technology officer</em> <a href="https://www.cnbc.com/2021/11/29/twitter-ceo-jack-dorsey-is-expected-to-step-down-sources-say.html">Parag Agrawal</a>, ia akan memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada Square. Perusahaan layanan pembayaran ini bernilai 100 miliar dolar AS (Rp 1.400 triliun) - dua kali lipat Twitter - dan salah satu fokus utamanya adalah membuat mata uang kripto menjadi mainstream.</p>
<p>Square <a href="https://fintechmagazine.com/digital-payments/whats-next-jack-dorsey-will-he-focus-more-fintech">memiliki bitcoin</a> dalam neraca keuangannya dan berencana meluncurkan pasar kripto terdesentralisasi bernama tbDEX, dan kemungkinan juga bergerak pada penambangan bitcoin (penciptaan bitcoin baru). Dorsey juga menjadi <em>angel investor</em> di berbagai proyek, termasuk aplikasi streaming musik <a href="https://markets.businessinsider.com/news/currencies/jay-z-jack-dorsey-nfts-and-smart-contracts-to-tidal-2021-6">Tidal</a>; musisi Jay Z menjadi investor juga di situ.</p>
<p>Dalam banyak hal, lanskap mata uang kripto mewarisi sikap bebas dan santai platform media sosial pada awal kemunculannya. <em>Start-up</em> desentralisasi seperti platform keuangan <a href="https://compound.finance/">Compound</a>, pasar kripto <a href="https://uniswap.org/">Uniswap</a> dan pembuat mata uang <a href="https://makerdao.com/en">MakerDao</a> kini mendapat untung besar dan semakin populer.</p>
<p>Perusahaan ini didominasi orang-orang jenius eksentrik seperti pencipta Uniswap <a href="https://www.coindesk.com/markets/2020/12/08/hayden-adams-king-of-the-defi-degens/">Hayden Adams</a> dan pendiri MakerDao <a href="https://www.linkedin.com/in/runebentsenchristensen?originalSubdomain=dk">Rune Christensen</a></p>
<p>Saya selalu mengatakan pada mahasiswa saya, kita sedang hidup pada <a href="https://fs.blog/principles-age-acceleration/">era akselerasi</a>: teknologi berkembang lebih cepat dari kemampuan individu untuk mengejarnya. Untuk bisa selamat, kita perlu cara berpikir baru tentang teknologi.</p>
<p>CEO-CEO Silicon Valley seperti Jack Dorsey adalah katalis untuk era ini, dan kini mereka pun harus beradaptasi dan merombak dunia yang mereka ciptakan. Dorsey memiliki keuntungan karena sudah satu langkah masuk di dunia yang baru beberapa waktu ini. Kepergian dia dari Twitter tidak membuat saya sangat optimis pada media sosial tradisional, tapi mungkin akan memberi dorongan tambahan pada <em>start up</em> kripto dan teknologi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173328/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Theo Tzanidis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dorsey telah menunjukkan bahwa ia berbeda dari orang-orang seperti Mark Zuckerberg yang tetap bertahan di perusahaan tradisional.Theo Tzanidis, Senior Lecturer in Digital Marketing, University of the West of ScotlandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1576052021-04-06T07:52:14Z2021-04-06T07:52:14ZMendorong polisi virtual melakukan edukasi, bukan pengawasan yang represif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/391617/original/file-20210325-21-18n6uc7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/social-media-internet-security-1679307/">Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Belum lama ini, kepolisian Indonesia membentuk satuan tugas digital – kerap disebut sebagai <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/26/083100665/3-hal-yang-perlu-diketahui-soal-apa-itu-polisi-virtual-dari-tugas-hingga?page=all">polisi virtual</a> – dengan tujuan untuk melakukan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya konten-konten negatif yang beredar di internet. </p>
<p>Akan tetapi, dalam aktivitasnya, alih-alih memberi edukasi, polisi virtual justru fokus pada pemberian peringatan dan melakukan proses interogasi terhadap masyarakat. </p>
<p>Polisi virtual seharusnya mengambil peran penting dalam edukasi literasi digital.</p>
<p>Dengan begitu, satuan tugas digital ini tidak menjadi instrumen represi baru.</p>
<h2>Apa itu polisi virtual?</h2>
<p>Polisi virtual adalah bagian dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), di bawah Direktorat Tindak Pidana Siber pada Badan Reserse Kriminal. </p>
<p>Satuan ini mulai aktif sejak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/02/23/18103521/polri-se-kapolri-berlaku-juga-untuk-kasus-uu-ite-yang-sedang-diproses">19 Februari 2021</a>. </p>
<p>Berbeda dengan polisi siber yang bertugas untuk menindaklanjuti pelanggaran Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), polisi virtual memiliki tujuan utama untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. </p>
<p>Polisi virtual bekerja melewati <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210225093152-12-610643/cara-kerja-virtual-police-peringatan-polisi-dikirim-via-dm">dua tahap</a>. </p>
<p>Pada tahap pertama, polisi virtual memantau unggahan-unggahan media sosial. Jika mereka menemukan unggahan yang mengandung unsur fitnah; suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); hoaks; ujaran kebencian – khususnya yang melanggar UU ITE dan sebagainya, mereka akan berkonsultasi dengan tim yang terdiri dari ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE. </p>
<p>Tahap kedua, setelah menetapkan bahwa unggahan tersebut merupakan sebuah pelanggaran (dalam definisi pelanggaran UU ITE), polisi virtual kemudian akan menghubungi pelaku melalui pesan langsung (<em>direct message</em> atau DM). </p>
<p>Tidak semua akun yang berada dalam pantauan maupun dilaporkan akan diproses secara langsung. Polisi virtual menyeleksi akun mana yang akan dikirim DM dan mana yang tidak. </p>
<p>Pengiriman kemungkinan besar hanya berlaku bagi akun yang bisa menerima DM dari akun polisi virtual , atau akun yang bersifat <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210225093152-12-610643/cara-kerja-virtual-police-peringatan-polisi-dikirim-via-dm">publik</a>.</p>
<p>Polisi virtual mengirim DM juga dalam dua tahap. </p>
<p>Pada tahap pertama, polisi virtual akan memberikan peringatan kepada pelaku unggahan untuk menghapus unggahan tersebut dalam periode tertentu, yakni dalam 1 x x 24 jam. Jika peringatan tersebut tidak diindahkan, maka polisi mengirim peringatan lanjutan. </p>
<p>Di tahap kedua, jika konten tersebut tetap belum diturunkan, maka polisi virtual akan mengirim surat panggilan pada terduga pelaku untuk sesi interogasi di kantor polisi. </p>
<p>Sejauh ini, sudah ada satu kasus seseorang yang dipanggil untuk diinterogasi, yakni pada kasus dugaan penghinaan terhadap <a href="https://m.cnnindonesia.com/nasional/20210315155630-12-617683/polisi-virtual-ciduk-warga-slawi-karena-mengolok-olok-gibran/">Gibran Rakabuming, Walikota Surakarta di Jawa Tengah</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-polisi-cenderung-menggunakan-tindakan-represif-untuk-menyelesaikan-masalah-140769">Mengapa polisi cenderung menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Praktik di Indonesia</h2>
<p>Hingga pertengahan Maret, polisi virtual telah memberikan peringatan kepada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/03/12/17320661/virtual-police-telah-kirim-peringatan-ke-89-akun-media-sosial">89 akun media sosial</a>. </p>
<p>Akun-akun yang diberi peringatan berasal dari berbagai macam media sosial, baik itu Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial publik lainnya. </p>
<p>Namun, jaring-jaring polisi virtual tidak hanya terbatas pada media sosial publik saja. Mereka juga memantau aplikasi pesan singkat WhatsApp. Pemantauan WhatsApp ini hanya dilakukan berbasis laporan dari individu. </p>
<p>Meskipun polisi virtual tidak dapat melihat isi WhatsApp kita secara langsung, orang lain bisa saja <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210317162147-12-618720/polisi-virtual-selidiki-konten-whatsapp-jika-terima-laporan">melaporkan isi</a> percakapan tersebut dengan dugaan pelanggaran UU ITE.</p>
<p>Praktik ini tentunya cukup meresahkan. Apalagi kini polisi virtual mendorong masyarakat untuk melaporkan konten negatif di internet dengan memberikan penghargaan berupa <a href="https://tirto.id/polri-benarkan-program-badge-awards-bagi-pelapor-pidana-siber-gbdm">lencana atau <em>badge</em></a> kepada pelapor.</p>
<p><em>Badge</em> hanya diberikan kepada pelapor yang laporannya sudah terverifikasi, dianggap sebagai <a href="https://news.detik.com/berita/d-5498348/dirsiber-bareskrim-badge-awards-hanya-untuk-pelapor-kasus-yang-sulit-diungkap">kasus yang sulit diungkap</a>, dan kasusnya sudah mendapat vonis pengadilan. Polisi juga akan merahasiakan identitas pelapor.</p>
<p>Pemberian lencana ini mengkhawatirkan, karena dapat mendorong masyarakat untuk saling melaporkan dan yang akan terjadi adalah timbul rasa ketakutan untuk berpendapat. </p>
<p>Perkembangan tersebut tentunya akan mengancam upaya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. </p>
<h2>Praktik di negara lain</h2>
<p>Mengingat kemungkinan berbagai kejahatan yang dapat terjadi di dunia maya seperti <a href="https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jenis-kejahatan-siber-di-indonesia-2019-2020-1590136655">penipuan <em>online</em>, penyebaran konten provokatif, dan akses ilegal</a>, maka sebetulnya keberadaan polisi virtual bukanlah hal yang baru di dunia. </p>
<p>Cina, misalnya yang <a href="https://www.chinadaily.com.cn/china/2007-08/29/content_6066310.htm">sejak tahun 2007</a> telah memiliki instrumen serupa. </p>
<p>Di sana, patroli dilakukan dengan <a href="https://www.chinadaily.com.cn/china/2007-08/29/content_6066310.htm">memunculkan ikon polisi</a> setiap setengah jam di layar gawai pengguna pada portal-portal yang sering diakses masyarakat, seperti Sohu dan Sina. </p>
<p>Dalam perkembangannya, pemerintah Cina merencanakan ikon polisi virtual itu akan muncul pada <a href="https://www.nbcnews.com/id/wbna20477258">semua website</a> yang terdaftar pada server yang berlokasi di Beijing.</p>
<p>Praktik ini dinilai berhasil untuk mengerem persebaran konten negatif dan perbuatan kejahatan di internet.</p>
<p>Akan tetapi, pada perkembangannya, polisi virtual kian menjadi momok bagi masyarakat di Cina dengan semakin invasifnya jangkauan polisi dan meningkatnya upaya sensor konten. </p>
<p>Praktik polisi virtual yang cukup menarik terjadi di Spanyol. Di sana, polisi virtual menggunakan jalur media sosial untuk <a href="https://www.consumersinternational.org/media/293343/social-media-scams-final-245.pdf">membagikan konten-konten edukatif </a> yang didukung oleh tingkat interaksi yang tinggi di antara polisi dan masyarakat. </p>
<p>Praktik inilah yang menurut kami dapat menjadi contoh bagi polisi virtual di Indonesia untuk mencapai tujuan bersifat mendidik. </p>
<p>Jangan sampai, alih-alih meningkatkan strategi komunikasi, fokus kegiatan yang justru ke arah pengawasan yang represif sebagaimana yang terjadi di Cina.</p>
<p>Pengawasan semacam ini mengingatkan kita pada <a href="https://majalah.tempo.co/read/selingan/8673/stasi-polisi-rahasia-jerman-timur-memburu-sampai-ke-kamar-kecil">operasi Stasi di Jerman Timur</a> pada masa Perang Dingin. Ratusan ribu warga Jerman Timur menjadi informan-informan Stasi untuk melaporkan tindak-tanduk dan gerak-gerik sesama warga.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/empat-alasan-di-balik-tren-meningkatnya-pencalonan-mantan-perwira-militer-dan-polisi-dalam-pilkada-156756">Empat alasan di balik tren meningkatnya pencalonan mantan perwira militer dan polisi dalam pilkada</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Edukasi, bukan represi</h2>
<p>Persebaran konten misinformasi, disinformasi, dan hoaks merupakan <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/02/19/in-indonesia-young-and-old-share-fake-news-on-social-media.html">permasalahan serius</a> yang perlu ditangani pemerintah. </p>
<p>Terlebih, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia <a href="https://theconversation.com/researchers-find-indonesia-needs-more-digital-literacy-education-84570">masih rendah</a>. </p>
<p>Ini menunjukkan pentingnya edukasi yang inklusif tentang cara mencari, mengakses, mengevaluasi konten bermutu di ruang maya, bagaimana memproduksi konten yang akurat, dan bahaya menyebarkan informasi yang tidak benar di media sosial. </p>
<p>Dalam mengatasi permasalahan ini, <a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">kolaborasi</a> antara platform penyedia media sosial, pemerintah, dan juga kelompok masyarakat sipil penting untuk dilakukan. </p>
<p>Edukasi terkait literasi digital dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan praktis masyarakat dalam mengolah informasi dan menggunakan perangkat digital. </p>
<p>Hasilnya, masyarakat diharapkan mampu untuk memilah dan memilih informasi yang benar dan baik, sehingga mengurangi jumlah persebaran konten-konten berbahaya pada internet. </p>
<p>Polisi virtual diharapkan dapat menjadi institusi yang berperan aktif dalam mendorong upaya edukasi ini melalui aktivitas produksi konten-konten yang edukatif dan interaktif mengenai konten-konten berbahaya di internet. </p>
<p>Tindakan-tindakan reaktif berupa pemberian peringatan, interogasi, dan publikasi permohonan maaf individu secara publik hanya akan memberi efek jera secara jangka pendek dan memperkuat kesan represif dari polisi virtual. </p>
<p>Padahal, pendekatan pencegahan, yakni edukasi masyarakat, akan mendorong terciptanya ruang digital yang aman dan sehat secara berkelanjutan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157605/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Polisi virtual seharusnya mengambil peran penting dalam edukasi literasi digital dan tidak menjadi instrumen represi baru.Treviliana Eka Putri, Lecturer at Department of International Relations, Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Muhammad Perdana Sasmita-Jati Karim, Research Assistant, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1561322021-03-12T07:13:27Z2021-03-12T07:13:27ZApakah semua ujaran kebencian perlu dipidana? Catatan untuk revisi UU ITE<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/388466/original/file-20210309-15-1d9lvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/photos/legal-right-justice-law-of-nature-5293009/">Ezequiel Octaviano/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210217205421-32-607611/jokowi-sudah-minta-menkumham-siapkan-revisi-uu-ite">mengarahkan</a> Kementerian Hukum dan HAM untuk menyiapkan revisi <a href="https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/8495315769-doc-20170202-wa0015.pdf">Undang-Undang</a> tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE) dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210218120427-20-607829/pedoman-interpretasi-uu-ite-di-tengah-desakan-revisi-pasal">kepolisian</a> untuk membuat pedoman interpretasi terhadap pasal-pasal tertentu dalam UU tersebut. </p>
<p>Jokowi melihat langkah ini perlu karena ada beberapa pasal dalam aturan tersebut yang dianggap multitafsir, termasuk pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian.</p>
<p>Inisiatif Jokowi ini datang setelah bertahun-tahun aktivis hak asasi manusia (HAM) <a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">mengkritik</a> adanya <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mereformasi-uu-ite-dan-hukum-pidana-penghinaan-yang-lain-di-indonesia-125204">pasal-pasal karet</a> dalam UU tersebut, dan penggunaannya dalam <a href="https://theconversation.com/definisi-ujaran-kebencian-di-indonesia-terlalu-luas-gampang-dimanfaatkan-150743">mengkriminalisasi</a> pihak-pihak yang kritis terhadap pemerintah. </p>
<p>Menurut data yang dihimpun <a href="https://icjr.or.id/rilis-koalisi-masyarakat-sipil-presiden-jokowi-segera-cabut-pasal-karet-uu-ite-rakyat-mendesak-dan-siap-mengawal/">koalisi masyarakat sipil</a>, dari 2016 sampai Februari 2020, ada 744 kasus pemidanaan terkait pasal-pasal itu – 676 berakhir dengan pemenjaraan.</p>
<p>Menurut saya, ada dua hal penting tentang ujaran kebencian yang perlu dipertimbangkan dari segi HAM guna memperbaiki UU ITE: jenis-jenis ujaran kebencian yang bisa dipidana dan faktor-faktor dalam menjatuhkan hukuman.</p>
<h2>Multitafsir</h2>
<p>Dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 2, setiap orang dilarang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” </p>
<p>Ujaran kebencian mencakup <a href="https://books.google.co.id/books/about/Hate_Crimes.html?id=G6V0Qb4GtNUC&redir_esc=y">spektrum yang luas</a>, mulai dari ucapan kasar terhadap orang lain, ucapan kebencian, hasutan kebencian, perkataan bias yang ekstrim, sampai hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan.</p>
<p>Ada dua unsur dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2 yang mungkin menyebabkan multitafsir.</p>
<p><em>Pertama</em>, frase “menyebarkan informasi”. </p>
<p>Sejauh mana suatu informasi harus menyebar sehingga dapat dikatakan memenuhi unsur ini? Apakah terbatas pada penyampaian informasi dalam forum publik yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa pun?</p>
<p>Atau termasuk penyampaian informasi dalam forum publik yang aksesnya dibatasi dengan cara misalnya jika disetel privat? Atau termasuk juga penyampaian informasi dalam grup chat privat?</p>
<p><em>Kedua</em>, standar “rasa kebencian”. </p>
<p>Menurut <a href="https://law.yale.edu/robert-c-post">Robert Post</a>, profesor hukum di Yale Law School, Amerika Serikat (AS), dalam <a href="https://books.google.co.id/books/about/Extreme_Speech_and_Democracy.html?id=euF2bfrzY80C&redir_esc=y">buku <em>Extreme Speech and Democracy</em></a>, suatu ucapan harus memenuhi standar intensitas tertentu agar dapat dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian yang dapat dipidana. </p>
<p>Dengan kata lain, tidak semua ujaran kebencian dapat dipidana.</p>
<p>Dalam rumusan Pasal 28 Ayat 2, unsur “rasa kebencian” tidak dijelaskan ukurannya. Ini berpotensi menyamaratakan semua jenis ucapan kebencian tanpa melihat intensitasnya.</p>
<p>Walaupun cakupan ujaran kebencian dapat merujuk ke <a href="https://uu.direktorimu.com/kuhp/buku-kedua/bab-5-kejahatan-terhadap-ketertiban-umum/#Pasal_157">Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana</a> namun penegasan tentang ukuran ujaran kebencian yang dapat dipidana masih diperlukan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-dan-merosotnya-kebebasan-berekspresi-individu-di-indonesia-126043">UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Klasifikasi jenis ujaran kebencian</h2>
<p>Kita bisa merujuk pada dokumen <a href="https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Opinion/SeminarRabat/Rabat_draft_outcome.pdf">Rabat Plan of Action</a> yang disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights atau OHCHR) pada 2012 untuk membedakan antara perkataan yang dilindungi oleh hak mengeluarkan pendapat dan ujaran kebencian dalam media sosial. </p>
<p>OHCHR menyarankan tiga klasifikasi ujaran kebencian, yaitu penyampaian pendapat yang harus diancam pidana; penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata; dan penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun namun dapat ditangani dengan pendekatan lainnya melalui kebijakan pemerintah.</p>
<p>Penyampaian pendapat yang harus diancam pidana adalah hasutan untuk melakukan genosida, hasutan kekerasan, dan hasutan yang menyerukan kebencian berdasarkan dua peraturan internasional berikut.</p>
<ul>
<li><p>Pasal 20 Ayat 2 <a href="https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%20999/volume-999-i-14668-english.pdf">International Covenant on Civil and Political Rights</a> (ICCPR) yang mengatur bahwa ajakan kebencian terhadap suatu bangsa, ras, atau agama yang menghasut perbuatan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.</p></li>
<li><p>Pasal 4 <a href="https://www.coe.int/en/web/compass/148">International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination</a> (ICERD) yang mengatur bahwa setiap Negara Anggota harus melarang segala bentuk propaganda yang didasarkan pada pemahaman yang berusaha untuk membenarkan atau menganjurkan kebencian terhadap ras dan diskriminasi dalam bentuk apapun.</p></li>
</ul>
<p>Indonesia sudah meratifikasi kedua konvensi tersebut, pada <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1999_29.pdf">1999</a> untuk ICERD dan <a href="https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/20050000_UU-12-2005-Ratifikasi-ICCPR.pdf">2005</a> untuk ICCPR.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mereformasi-uu-ite-dan-hukum-pidana-penghinaan-yang-lain-di-indonesia-125204">Bagaimana mereformasi UU ITE dan hukum pidana penghinaan yang lain di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Berikutnya, penyampaian pendapat yang dapat diancam dengan sanksi administrasi atau digugat secara perdata, atau bahkan diselesaikan melalui keadilan restoratif yang menitikberatkan pada peranan pelaku dan korban dalam penyelesaian masalah. </p>
<p>Ujaran kebencian yang termasuk kategori ini adalah ucapan yang mengandung kebencian didasarkan pada Pasal 19 Ayat 3 ICCPR yang mengatur bahwa hak mengeluarkan pendapat dapat dibatasi untuk melindungi hak dan reputasi orang lain, keamanan negara atau ketertiban umum, kesehatan publik, atau untuk kepentingan moral.</p>
<p>Kemudian penyampaian pendapat yang tidak dapat diancam sanksi apapun adalah perkataan yang menurut Post merupakan sekadar bentuk dari sifat intoleransi dan perasaan tidak suka yang dimiliki seseorang. </p>
<p>Penyampaian pendapat yang demikian kurang tepat untuk diatur dalam ranah hukum pidana.</p>
<p>Pendekatan yang lebih tepat adalah lewat kebijakan edukasi dan pencegahan misalnya dengan advokasi penggunaan media sosial secara sehat yang didukung dengan <em>censorship</em> yang lebih peka terhadap indikasi ujaran kebencian dalam sosial media.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/definisi-ujaran-kebencian-di-indonesia-terlalu-luas-gampang-dimanfaatkan-150743">Definisi 'ujaran kebencian' di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memperhitungkan proporsi dan keperluan</h2>
<p>OHCHR menegaskan bahwa larangan beserta sanksi yang ditetapkan terhadap ujaran kebencian harus berdasarkan asas proporsionalitas, dan keperluan atau <em>neccessity</em> yang dapat dinilai berdasarkan enam faktor.</p>
<ol>
<li><p>Konteks, yaitu suatu ujaran kebencian harus berkaitan dengan konteks sosial atau politik tertentu pada saat ucapan itu dibuat dan disebarluaskan.</p></li>
<li><p>Status atau posisi pelaku ujaran kebencian dalam suatu organisasi atau jabatan publik yang harus dipertimbangkan.</p></li>
<li><p>Kesengajaan. Merujuk pada Pasal 20 ICCPR, istilah “menganjurkan” dan “menghasut” mengisyaratkan adanya hubungan antara pelaku dan audiens, dalam arti, pelaku bermaksud dan sengaja untuk menggerakkan orang lain.</p></li>
<li><p>Konten dan bentuk. Artinya, suatu ucapan ujaran kebencian harus dinilai sejauh mana ucapan tersebut bersifat langsung dan provokatif, serta bentuk, gaya, sifat argumen yang digunakan. </p></li>
<li><p>Jangkauan ujaran kebencian yang melibatkan penilaian terhadap sifat audiens yang dituju, keluasan audiens, metode penyampaian ujaran kebencian, tempat dan frekuensi penyampaiannya.</p></li>
<li><p>Kemungkinan munculnya dampak dari suatu ujaran kebencian dan seberapa besar kemungkinan tersebut. </p></li>
</ol>
<p>Mengingat bahwa hukum pidana bersifat <em>ultimum remedium</em> atau sarana terakhir, maka pemerintah perlu menyusun ulang kualifikasi dan ruang lingkup ujaran kebencian. </p>
<p>Pemerintah perlu memulai menerapkan pendekatan lain untuk mencegah dan menyelesaikan kasus ujaran kebencian tanpa penyalahgunaan hukum pidana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156132/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Devita Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dua hal penting tentang dengan ujaran kebencian yang perlu dipertimbangkan guna memperbaiki UU ITE: jenis-jenis ujaran kebencian yang bisa dipidana dan faktor-faktor dalam menjatuhkan hukuman.Devita Putri, Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1510982020-12-18T04:04:27Z2020-12-18T04:04:27ZNyaris tidak ada penegakan hukum yang berefek jera pada pelaku ujaran kebencian. Mengapa?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/371908/original/file-20201130-13-y6r7vl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rizieq Shihab berbicara pada para penjemputnya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, November. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1604988916">Muhammad Iqbal/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, kepolisian Jakarta menetapkan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Shihab sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar protokol kesehatan COVID-19 karena mengadakan acara dengan kerumunan orang di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, bulan lalu.</p>
<p>Rizieq <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201212113814-20-581248/rizieq-terjerat-pasal-penghasutan-pidana-maksimal-6-tahun">dijerat</a> dengan pidana penghasutan dan menghalang-halangi aparat. </p>
<p>Belum lama <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54873184">tiba</a> di Indonesia setelah dua tahun lebih berada di Arab Saudi, Rizieq langsung menghadirkan kontroversi ketika menyampaikan berbagai ceramah kepada massa pendukungnya, salah satunya berisi <a href="https://rri.co.id/nasional/peristiwa/931906/ceramah-emosional-rizieq-penggal-kepala-membahayakan">ancaman penggal kepala bagi siapa pun yang menghina nabi, ulama atau Islam</a>.</p>
<p>Pertanyaan tentang sejauh mana sistem perundang-undangan di Indonesia menyediakan ancaman yang berarti bagi para pelaku ujaran kebencian kembali muncul.</p>
<p>Ceramah-ceramah penuh kebencian dan hasutan kekerasan terus berulang karena nyaris tidak ada penegakan hukum yang menimbulkan efek jera terhadap para pelaku. Kenapa demikian?</p>
<h2>Problematika hukum ujaran kebencian</h2>
<p>Dalam beberapa definisi, ujaran kebencian atau <em>hate speech</em> adalah ungkapan kebencian atau permusuhan secara ekstrem kepada pihak lain yang dikaitkan dengan identitas atau golongan seperti agama, ras, jenis kelamin, dan orientasi seksual. </p>
<p>Konvensi hukum internasional, <a href="https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cerd.aspx">International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD)</a>, menyatakan ujaran kebencian harus dikenai hukuman pidana.</p>
<p>Dalam definisi CERD ini, ujaran kebencian berbeda dengan dengan kritik terhadap sebuah tindakan atau sebuah kelompok.</p>
<p>Kritik terhadap kezaliman penguasa atau kekejaman anggota sebuah golongan berbeda dengan ujaran yang melekatkan karakter jahat atau negatif terhadap ras atau agama tertentu. </p>
<p>Ujaran kebencian yang menyematkan karakter jahat secara menyeluruh kepada suatu kelompok itu berbahaya karena dapat mendorong tindakan diskriminasi atau menyingkirkan kelompok agama atau ras yang menjadi sasaran. </p>
<p>Meski demikian, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dalam pengertian di atas umumnya menimbulkan dilema dan kesulitan terutama dalam menentukan batas antara wacana yang sah dan yang melanggar hukum. </p>
<p>Pembatasan yang terlalu ketat terhadap wacana publik dikhawatirkan dapat memberangus kebebasan berekspresi. </p>
<p>Selain itu, di era digital, ujaran-ujaran yang bernuansa kebencian terlalu banyak sehingga sulit bagi penegak hukum untuk menindak dengan kemampuan yang terbatas. </p>
<p>Karena itu, sejumlah kalangan membedakan bentuk-bentuk ujaran kebencian berdasarkan derajat ancaman. </p>
<p>Wujud ujaran kebencian yang paling berbahaya adalah ujaran yang secara terang menghasut masyarakat untuk melakukan aksi kekerasan atau diskriminasi terhadap orang lain berdasarkan identitas. </p>
<p>Respons terhadap ujaran kebencian sebaiknya tidak selalu menempuh jalur hukum karena dalam isu ujaran kebencian terdapat dilema kebebasan berekspresi serta keterbatasan aparat penegakan hukum dalam menangani banyaknya ujaran bernuansa kebencian. </p>
<p>Ujaran kebencian yang baru sebatas wacana negatif dan permusuhan terhadap kelompok identitas tertentu dapat menjadi arena pertarungan politik yang sah di masyarakat. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-kehadiran-partai-masyumi-baru-akan-menggoncang-politik-di-indonesia-152084">Apakah kehadiran Partai Masyumi baru akan menggoncang politik di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Diatur undang-undang</h2>
<p>Di Indonesia, ujaran kebencian diatur di sejumlah undang-undang (UU). </p>
<p>Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur <a href="https://litigasi.co.id/hukum-pidana/62/jeratan-hukum-ujaran-kebencian-hate-speech">pidana bagi ujaran kebencian</a> baik yang bersifat wacana maupun yang sudah secara terang menghasut untuk melakukan kekerasan. </p>
<p>Pada praktiknya, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian - bahkan termasuk yang sudah mengandung ancaman kekerasan - sangat jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, pelaku biasanya menerima hukuman yang sangat ringan. </p>
<p>Misalnya, pada 2012 saat sentimen anti-Syiah di Sampang, Madura, makin memanas, Noer Tjahja seorang politikus yang akan mencalonkan diri menjadi bupati menyampaikan ancaman kekerasan di depan publik dengan mengatakan “<a href="http://web07.opencloud.dssdi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/455/2015/03/Politik-Lokal-dan-Konflik-Keagamaan-ACC-For-Web.pdf">jika saya terpilih, saya pastikan warga Syiah keluar dari Sampang dalam 3 bulan</a>.”</p>
<p>Noer Tjahja bebas melenggang pasca ceramah ini, tanpa pernah diadili atau bahkan diperiksa aparat penegak hukum.</p>
<p>Contoh lain terjadi pada 2011 ketika sejumlah orang diadili dengan tuduhan menghasut massa melakukan aksi kekerasan terhadap gereja di Temanggung, Jawa Tengah. </p>
<p>Mereka akhirnya dihukum <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/06/110614_temanggungincite">penjara 1 tahun</a> tetapi tidak dengan delik ujaran kebencian tetapi hasutan biasa. </p>
<p>Delik ujaran kebencian yang tersedia di KUHP pada praktiknya sulit diterapkan, karena muatannya luas dan aparat cenderung menghindari isu sensitif terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).</p>
<p>Pada akhirnya, negara mengeluarkan UU baru untuk menjerat ujaran kebencian terutama yang tersebar di media sosial melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">ITE</a>).</p>
<p>Sejak UU ini disahkan pada tahun 2008, terjadi banjir kasus ITE - jumlah kasus pemidanaan mencapai <a href="https://kumparan.com/amiamiardan/pasal-karet-dalam-uu-ite-bantu-atau-buntu-terhadap-kebebasan-berpendapat-1um1IwkQzhf/full">285</a> kasus sejak 2008 hingga 2019 </p>
<p>UU ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan lawan politik, membungkam kritik, atau upaya mengkriminalisasi korban. </p>
<p>Pasal karet dalam UU ITE tidak hanya delik ujaran kebencian, tapi juga pasal-pasal lain seperti delik tentang konten yang melanggar kesusilaan, pencemaran nama baik, dan ancaman kekerasan.</p>
<p>Dasar hukum untuk menjerat ujaran kebencian memang ada, tetapi pada praktiknya penegakan hukum seringkali bersifat ambigu dan rawan bias kepentingan politik. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dari-muhammadiyah-ke-fpi-bagaimana-aktivis-islam-moderat-berubah-menjadi-radikal-151194">Dari Muhammadiyah ke FPI: bagaimana aktivis Islam moderat berubah menjadi radikal</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Negara harus apa?</h2>
<p>Dalam kasus Rizieq, ada banyak pasal hukum yang dapat menjerat ceramah-ceramah kerasnya. Dan sesungguhnya dia sudah pernah menjadi terpidana karena perkara yang berkaitan dengan delik ujaran kebencian. </p>
<p>Pada tahun 2003, Rizieq mendapat hukuman 7 bulan penjara karena penyataan “<a href="https://nasional.tempo.co/read/12476/tujuh-bulan-penjara-untuk-habib-rizieq">Gubernurnya budek, DPRD-nya congek, polisinya mandul</a>.” Ia dihukum karena menghasut massa melakukan kekerasan, mengganggu ketertiban umum, dan menghina pemerintah. </p>
<p>Pada tahun 2016, Rizieq kembali diadukan ke pengadilan atas tuduhan kebencian terhadap agama Kristen karena berujar “<a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38435195">kalau Tuhan beranak, bidannya siapa</a>”. </p>
<p>Hingga hari ini tidak ada kelanjutan dari kasus ini, dan juga <a href="https://metro.tempo.co/read/1404556/deretan-kasus-yang-menjerat-rizieq-shihab-di-polda-metro-jaya">kasus-kasus lain</a> yang menjerat Rizieq. </p>
<p>Kedua kasus di atas menunjukkan salah kaprah pemahaman dan tumpang tindih pemaknaan tentang ujaran kebencian, perbuatan tidak menyenangkan, dan penodaan agama. </p>
<p>Kata-kata Rizieq dalam ketiga kasus di atas lebih tepat disebut perbuatan tidak menyenangkan atau penodaan agama ketimbang ujaran kebencian. </p>
<p>Penegakan hukum terhadap ujaran seperti ini menimbulkan perdebatan dan justru menimbulkan simpati kepada terdakwa, sehingga bisa menjadi preseden untuk melakukan persekusi terhadap kelompok minoritas. </p>
<p>Untuk mengurangi dampak berbahaya dari ceramah-ceramah provokatif sebaiknya negara fokus pada dua hal.</p>
<p><em>Pertama</em>, melakukan penegakan hukum pada ujaran-ujaran kebencian yang paling keras, yakni ujaran-ujaran yang secara terang mengajak atau menghasut massa untuk melakukan aksi kekerasan. </p>
<p>Meskipun penegakan hukum terhadap tokoh publik seperti Rizieq tidak akan sepi dari kontroversi, tetapi paling tidak penggunaan delik yang lebih terang bisa mengurangi potensi tuduhan peradilan yang tidak adil. </p>
<p>Bukan berarti ujaran kebencian dalam taraf yang lebih ringan tidak berbahaya, tetapi lebih baik negara menyerahkan hal itu menjadi arena pertarungan di ranah masyarakat. </p>
<p>Dengan energi penegak hukum yang terbatas, konsistensi dalam penindakan terhadap hasutan untuk melakukan kekerasan bisa cukup berarti dalam menghambat dan mencegah provokasi kebencian yang menjadi senjata tokoh-tokoh populis. </p>
<p><em>Kedua</em>, menghentikan pembiaran atau bahkan dukungan dari para aktor politik dan aparat keamanan terhadap mobilisasi gerakan-gerakan intoleran.</p>
<p>Kelompok-kelompok vigilante seperti FPI mampu membangun eksistensi dan peran mereka di masyarakat karena “kesepakatan” yang mereka lakukan dengan pemerintah terutama di tingkat lokal, misalnya dalam hal penyediaan <a href="https://books.google.co.id/books?id=ItMoxQEACAAJ&printsec=copyright&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false">jasa keamanan</a> non-formal untuk publik dan sektor bisnis.</p>
<p>Lewat kesepakatan ini, anggota FPI mendapatkan peran dalam publik, dan memelihara simpati dan partisipasi di kalangan masyarakat miskin. </p>
<p>Walau narasi negara di tingkat nasional belakangan berlawanan dengan kelompok Rizieq, tetapi di tingkat lokal, aktor-aktor negara masih banyak yang menjadi “penyokong”. </p>
<p>Mereka misalnya memberi kelompok ini keuntungan dalam bentuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan konsesi di bidang jasa keamanan dan layanan sosial, dan melakukan pembiaran terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan. </p>
<p>Konsistensi dalam dua hal di atas akan lebih signifikan dalam mencegah kekerasan sektarian dan mengurangi sokongan pada radikalisasi ketimbang melakukan penegakan hukum agresif yang menggunakan pasal-pasal karet.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/151098/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mohammad Iqbal Ahnaf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ceramah-ceramah penuh kebencian dan hasutan kekerasan terus berulang karena nyaris tidak ada penegakan hukum yang berefek jera terhadap para pelaku. Kenapa demikian?Mohammad Iqbal Ahnaf, Researcher at the Centre for Religious and Crosscultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1507432020-11-30T04:22:01Z2020-11-30T04:22:01ZDefinisi ‘ujaran kebencian’ di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/371701/original/file-20201127-18-72w9ax.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/apps-social-media-networks-internet-426559/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Kasus ujaran kebencian - yang baru-baru ini berujung vonis <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201119092502-12-571726/jerinx-divonis-1-tahun-2-bulan-penjara-kasus-idi-kacung-who">penjara</a> untuk musikus I Gede “Jerinx” Ari Astina - tidak jarang terjadi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat <a href="https://www.beritasatu.com/jaja-suteja/nasional/561294/2019-polri-catat-kasus-hoax-meningkat-tajam">255 kasus</a> terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Vonis Jerinx kembali memunculkan pro dan kontra terkait definisi ujaran kebencian di dunia maya. </p>
<p>Tidak hanya di Indonesia, pro dan kontra juga terjadi di negara-negara lain yang memiliki kebijakan terkait dengan ujaran kebencian, seperti <a href="https://www.forbes.com/sites/federicoguerrini/2020/03/03/the-problems-with-germanys-new-social-media-hate-speech-bill/?sh=5008036b592a">Jerman</a>, <a href="https://www.thehindu.com/opinion/lead/define-the-contours-of-hate-in-speech/article32655176.ece">India</a>, dan <a href="https://www.straitstimes.com/singapore/parliament-hate-speech-may-be-handled-differently-elsewhere-but-singapore-must-be-strict">Singapura</a>. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian di beberapa negara itu dikhawatirkan menekan kebebasan berpendapat, menghalangi demokrasi, dan memperbesar ruang atas sensor konten di internet.</p>
<p>Dalam konteks pendefinisian ujaran kebencian di Indonesia, ada dua masalah yang patut kita diskusikan lebih lanjut. </p>
<p>Pertama, definisi ujaran kebencian yang cenderung terlalu luas. </p>
<p>Kedua, asumsi sederhana terhadap efek media sosial. Apakah sebuah unggahan seorang individu di akun media sosial pribadinya mampu menimbulkan dampak destruktif? </p>
<h2>Mendefinisikan ujaran kebencian</h2>
<p>Hingga saat ini, <a href="https://asiacentre.org/wp-content/uploads/2020/07/Hate-Speech-in-Southeast-Asia-New-Forms-Old-Rules.pdf">tidak ada definisi tunggal</a> yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Laporan</a> UNESCO pada 2015 justru menyebutkan bahwa meskipun terdapat beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal di masing-masing daerah.</p>
<p>Berdasarkan beberapa <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">konvensi internasional</a>, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori. </p>
<p>Pertama, definisi yang melihat ujaran kebencian sebagai penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu. Kedua, definisi yang menimbang ujaran kebencian sebagai seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan. </p>
<p>Kategori ketiga mencakup ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan tindak terorisme. Dan dalam kategori keempat, ujaran kebencian didefinisikan sebagai hasutan untuk melakukan genosida. </p>
<p>Dalam tiga dari empat definisi tersebut, sebuah pesan dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.</p>
<p>Selain konvensi internasional, definisi terkait ujaran kebencian juga dirumuskan oleh platform media sosial. Definisi ini kemudian dijadikan dasar perusahaan media sosial untuk melakukan tindakan atas sebuah konten yang dianggap bermasalah. </p>
<p>Perusahaan media sosial mengimplementasikan definisi ini secara global tanpa memandang hukum lokal sebuah negara. </p>
<p><a href="https://www.facebook.com/communitystandards/hate_speech">Facebook</a>, misalnya, mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung kepada orang terkait karakteristik yang menurut Facebook harus dilindungi, seperti ras, etnis, kewarganegaraan, dan lain sebagainya. </p>
<p>Lebih lanjut, Facebook menjelaskan serangan langsung sebagai ujaran keras atau tidak memanusiakan, stereotip berbahaya, merendahkan, pengucilan, atau pengasingan. </p>
<p><a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">Twitter</a> dan <a href="https://support.google.com/youtube/answer/2801939?hl=en">Youtube</a> juga memiliki definisi yang senada dengan Facebook terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian oleh platform-platform tersebut menekankan pada batasan isu dan bentuk serangan.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">UU ITE</a>) dan surat edaran Polri. </p>
<p>UU ITE melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”. </p>
<p>Sementara <a href="http://remotivi.or.id/amatan/565/diskursus-hate-speech-ilmu-pengetahuan-yang-tunduk-pada-surat-edaran-aparat">Surat Edaran Kepala Polri No. SE/6/X/2015</a> menjelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. </p>
<p>Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial. </p>
<p>Berbeda dengan konvensi internasional dan platform sosial media, definisi di Indonesia ini memiliki bentuk tindakan dan cakupan isu yang luas. </p>
<p>Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan ini sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">Yang luput dibicarakan dari kasus Jerinx:
kita tak punya aturan jelas melawan hoax, misinformasi dan disinformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak unggahan</h2>
<p>Denis McQuail, profesor komunikasi di
University of Amsterdam, Belanda, <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/mcquail%E2%80%99s-media-and-mass-communication-theory/book243524">berargumen</a> bahwa audiens bukan makhluk pasif yang menyerap keseluruhan pesan yang mereka terima. </p>
<p>Penerimaan pesan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti media, lingkungan, rangkaian pengalaman, serta keyakinan yang telah mereka miliki sebelumnya. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13698230.2019.1576006?casa_token=HktEN96tGGQAAAAA%3A11J7fFNoUjw_rNmcaEyqFk7XHU3RGm_FHQp8FTg4ZDx_ChUmB6INw_vqJf9o2R4oZobPpoJXJr3qBek&journalCode=fcri20">Katherine Gelber</a>, profesor ilmu politik dan kebijakan publik di University of Queensland, Australia, berargumen bahwa ujaran kebencian bisa berdampak destruktif apabila pengirim pesan memiliki kekuatan relasional dan struktural atas target audiensnya baik secara formal maupun informal. </p>
<p>Kekuatan relasional dan struktural mengacu pada kemampuan pemilik pesan untuk berada di posisi yang lebih superior dibanding audiensnya sehingga dapat memberikan pengaruh atas pesan yang diberikan. Posisi yang superior ini didapatkan melalui legitimasi formal (misalnya jabatan) maupun informal (posisi sosial). </p>
<p>Misalnya, cuitan Donald Trump memiliki kekuatan besar karena jabatannya sebagai <a href="https://twitter.com/realDonaldTrump">presiden Amerika Serikat</a>; atau postingan Abdul Somad yang memiliki <a href="https://www.instagram.com/ustadzabdulsomad_official/?hl=en">jutaan pengikut</a> di Instagram juga memiliki kekuatan besar akibat posisi sosial dia sebagai tokoh agama. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Studi</a> lainnya menambahkan bahwa selain popularitas komunikator, faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi emosi audiens, bentuk pesan yang berupa ajakan, serta konteks sejarah dan sosial. </p>
<p>Oleh karena itu, asumsi bahwa sebuah pesan - apalagi berupa unggahan di akun pribadi - oleh seorang individu dapat langsung memengaruhi perilaku individu lain tanpa melihat lebih jauh posisi individu tersebut di masyarakat dan konteks sosial cenderung menyederhanakan hubungan media dan audiens.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-untuk-kasus-kekerasan-seksual-tepatkah-144876">UU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi digital dan narasi sandingan</h2>
<p>Bagaimanapun, ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu serius dan sepatutnya diantisipasi. </p>
<p>Ujaran kebencian seringkali diasosiasikan dengan meningkatnya kejahatan terhadap kaum minoritas, seperti terjadi pada <a href="https://edition.cnn.com/2018/10/27/us/pittsburgh-synagogue-active-shooter/index.html">penembakan di sinagoge di Amerika Serikat</a> dan tragedi etnis <a href="https://www.ft.com/content/2003d54e-169a-11e8-9376-4a6390addb44">Rohingya di Myanmar</a>.</p>
<p>Menurut saya, selain perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian, para pemangku kepentingan perlu melakukan beberapa aksi kolaborasi.</p>
<p>Pertama, sosialisasi literasi digital dan cara berpikir kritis kepada pengguna internet, baik dalam kapasitas mereka sebagai pencipta maupun penikmat konten.</p>
<p>Pengguna perlu memiliki pemahaman atas tentang perbedaan karakteristik media sosial dan konvensional, cara bermedia sosial yang baik, perlunya verifikasi informasi yang diterima, hingga pemahaman risiko atas konten yang mereka buat atau sebarkan. </p>
<p>Kedua, perlunya menghadirkan narasi kontra yang dapat menandingi konten terkait ujaran kebencian yang telah beredar. Konten positif dan narasi terkait keberagaman perlu dibuat lebih masif dan menarik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150743/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dewa Ayu Diah Angendari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Batasan definisi ujaran kebencian di Indonesia terlalu luas. Ada pula asumsi unggahan seseorang di medsos pribadi bisa berdampak sangat besar.Dewa Ayu Diah Angendari, Lecturer at Department of Communication Science; Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1132922019-03-18T09:28:07Z2019-03-18T09:28:07ZCara-cara atasi fobia Islam di Eropa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/263812/original/file-20190314-28475-1c97wxm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C4%2C995%2C661&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dibutuhkan sebuah narasi baru untuk melawan _Islamophobia_ ini</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/muslim-female-friends-using-mobile-phone-588853601?src=QEqjesdcdpYqU-EhuCQr7w-1-1">Monkey Business Images/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa penelitian menunjukkan penyebaran fobia Islam (<em>Islamophobia</em>) atau rasa ketakutan atau kebencian akan semua hal yang berbau Islam <a href="http://islamophobiaeurope.com">di berbagai wilayah Eropa</a> dalam beberapa tahun terakhir. Di Inggris, jumlah kejahatan yang berhubungan dengan fobia Islam <a href="https://www.theguardian.com/uk-news/2018/jul/20/record-number-anti-muslim-attacks-reported-uk-2017">mencapai rekor tertinggi pada 2017</a>. Di seluruh <a href="http://hatecrime.osce.org/">wilayah daratan Eropa lainnya</a> juga ditemukan temuan serupa tentang pertumbuhan <em>Islamophobia</em>.</p>
<p>Dalam sebuah <a href="http://cik.leeds.ac.uk">proyek penelitian</a> baru yang mencakup wilayah Eropa baru, saya dan kolega saya merancang <a href="https://cik.leeds.ac.uk/wp-content/uploads/sites/36/2018/09/2018.09.17-Job-44240.01-CIK-Final-Booklet.pdf">kumpulan bahan</a> yang dapat digunakan untuk melawan <em>Islamophobia</em>. Penelitian ini akan merangkum berbagai metode terbaik yang kami lihat telah dimanfaatkan untuk melawan fobia Islam di Eropa.</p>
<p>Dalam setiap diskusi tentang <em>Islamphobia</em>, ada definisi <em>Islamophobia</em> yang mengakui semua bentuk-bentuk <em>Islamophobia</em>, baik yang berupa diskriminasi secara langsung dan bentuk lainnya yang lebih halus dan bernuansa. <a href="https://static1.squarespace.com/static/599c3d2febbd1a90cffdd8a9/t/5bfd1ea3352f531a6170ceee/1543315109493/Islamophobia+Defined.pdf">Definisi</a> yang diterbitkan Parlemen Inggris tentang muslim Inggris pada November 2018 menyatakan “Islamophobia berakar pada rasisme dan merupakan jenis rasisme yang menargetkan muslim atau hal-hal yang berurusan dengan muslim”. Definisi ini menjadi titik awal yang berguna.</p>
<p>Kami memulai riset dengan memeriksa ide-ide <em>Islamophobia</em> yang paling umum yang beredar di delapan negara: Prancis, Belgia, Jerman, Inggris, Republik Ceko, Hongaria, Yunani dan Portugal. Meskipun bahasa dan retorika fobia Islam berbeda di masing-masing negara, pada dasarnya semuanya menganggap orang muslim, praktik-praktik Islam, dan situs-situs Islam seperti masjid atau pusat komunitas, dekat dengan kekerasan dan tidak sesuai dengan pandangan cara hidup orang Eropa. Sebagai contoh, di Prancis, mengenakan jilbab dan menunjukkan identitas sebagai seorang Muslim dipandang oleh beberapa orang bertentangan dengan <a href="http://www.lefigaro.fr/actualite-france/2018/07/27/01016-20180727ARTFIG00053-l-affaire-des-foulards-de-creil-la-republique-laique-face-au-voile-islamique.php">nilai-nilai sekuler Perancis</a> sehingga menjadikan orang tersebut melawan budaya Prancis. </p>
<p>Kami juga menemukan banyak contoh baik dalam menangkal <em>Islamophobia</em>. Misalnya, <a href="https://salaamshalom.org.uk/">proyek antaragama</a> di Jerman yang menyoroti kecocokan budaya antara Muslim dan non-Muslim.</p>
<p>Seni juga digunakan dalam sejumlah kasus di Belgia dan Inggris untuk menantang ide-ide <em>Islamophobia</em>. Komik bernama<a href="http://tuffix.net/"><em>Tuffix</em></a> yang dibuat oleh seorang seniman Jerman bernama Soufeina dan film buatan Inggris tahun 2017, <a href="http://arakancreative.co.uk/freesia-film/">Freesia</a>, menyoroti kontribusi umat Islam dalam masyarakat, dan masalah yang dihadapi banyak Muslim sebagai akibat dari <em>Islamophobia</em>.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/F6vL1wpaRZ0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Narasi baru</h2>
<p>Berdasarkan analisis kami, perangkat kami menyoroti beberapa strategi spesifik yang bisa melawan <em>Islamophobia</em>. Karena <em>Islamophobia</em> didasarkan pada gagasan bahwa Muslim mengancam cara hidup, nilai-nilai dan budaya Eropa, salah satu cara menantang ide-ide ini adalah dengan menyoroti banyaknya peran sehari-hari yang dilakukan oleh mereka yang beragama Islam di dalam masyarakat. Dan karena kami menemukan bahwa persepsi fobia Islam sering didasarkan pada gagasan bahwa Islam dan Muslim adalah kelompok yang seksis, maka kami menggunakan proyek yang memperjuangkan perempuan Muslim, pekerjaan dan suara mereka sebagai salah satu cara untuk menghancurkan prasangka-prasangka ini.</p>
<p>Perempuan muslim <a href="http://ccib-ctib.be/wp-content/uploads/CCIB_PUBLIC_PDF_RapportChiffresCCIB/CCIB_RapportChiffres2017_Septembre2018.pdf">terkena dampak dari praktek Islamofobia secara tidak proporsional</a>. Mereka tidak hanya dipandang sebagai ancaman bagi Barat, tetapi mereka juga digambarkan sebagai korban dari praktik Islam yang dianggap seksis. Ide-ide yang saling bertolak belakang ini harus dibatalkan dengan narasi baru, yang dibuat oleh perempuan muslim. Ide-ide ini bisa disajikan melalui seni, media, dan budaya populer, untuk menggambarkan keberagaman kehidupan mereka.</p>
<p><em>Islamophobia</em> perlu diamati dengan benar untuk menilai ruang lingkup dan sifat dari fenomena ini. Narasi serta logika yang salah yang digunakan untuk menyerang harus secara efektif didekonstruksi dan ditantang. Narasi informasi yang keliru tentang Islam dan Muslim yang beredar harus dibongkar. Diperlukan rekonstruksi gagasan arus utama seputar Islam dan muslim, yang lebih dekat dengan realitas agama dan praktiknya. Hal ini berarti bahwa gagasan dominan tentang muslim dan Islam yang terdapat dalam budaya populer harus mencerminkan beragam pengalaman sehari-hari mereka.</p>
<p>Semua ini dapat diringkas dengan pendekatan empat langkah: pertama mendefinisikan, dan mendokumentasikan <em>Islamophobia</em>, selanjutnya mendekonstruksi narasinya, dan kemudian merekonstruksi narasi positif dan realistis baru di sekitar umat Islam.</p>
<p>Pendekatan ini meninggalkan pendekatan kontra <em>Islamophobia</em> yang reaktif, seperti cara umat Islam berulang kali mengutuk serangan teror dan berupaya memisahkan tindakan-tindakan semacam itu dari Islam. Dalam melakukan hal ini, sering sekali <a href="https://www.theguardian.com/world/shortcuts/2017/mar/26/muslims-condemn-terrorism-stats">komentar mereka tidak didengar</a> dan malah berisiko menimbulkan asosiasi antara muslim dan kekerasan.</p>
<p>Tujuan utama perlawanan terhadap <em>Islamophobia</em> adalah menciptakan masyarakat yang adil bagi semua orang, yang menghargai dan melindungi kewarganegaraan para anggotanya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/113292/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Proyek _Counter-Islamophobia Kit_ didanai oleh program Komisi Eropa tentang Hak, Kesetaraan dan Kewarganegaraan (JUST / 2015 / RRAC / AG / BEST / 8910)</span></em></p>Para peneliti telah mengumpulkan alat untuk melawan Islamophobia.Amina Easat-Daas, Researcher, Centre for Ethnicity and Racism Studies, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.