tag:theconversation.com,2011:/ca/topics/e-commerce-88945/articlesE-Commerce – The Conversation2023-09-29T06:47:09Ztag:theconversation.com,2011:article/2143762023-09-29T06:47:09Z2023-09-29T06:47:09ZDari ‘nation branding’ hingga ‘soft power’: bagaimana ekonomi kreatif pun bisa jadi kekuatan politik<p>Industri di bidang budaya dan kreativitas <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/804501/adbi-creative-economy-2030.pdf">makin mendapat perhatian dalam forum-forum multilateral dan regional</a>, termasuk di <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/804501/adbi-creative-economy-2030.pdf">ASEAN maupun G20</a>. Sebab, sektor ini dianggap dapat menjadi media pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19. Dalam gagasan <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/804501/adbi-creative-economy-2030.pdf">Creative Economy 2030</a> Asian Development Bank Institute (ADB), ekonomi kreatif bahkan menjadi strategi besar untuk mengaplikasikan pembangunan berkelanjutan. </p>
<p>Ekonomi kreatif merupakan sebuah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0163443717692739">gerakan intelektual</a> yang lahir dari industri kreatif dengan menjadikan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0163443717692739">kreativitas sebagai modal</a>. Menurut pakar industri kreatif asal Inggris, John Howkins, <a href="https://asean.org/wp-content/uploads/2021/11/The-ASEAN-Oct-Nov-2021-Digital-v1.pdf">ekonomi kreatif menghubungkan berbagai bidang</a>, seperti seni dan budaya, sains dan teknologi, bisnis dan perdagangan. Artinya, integrasi ekonomi kreatif dengan sektor lain dapat meningkatkan nilai tambah.</p>
<p>Ramainya diskusi mengenai ekonomi kreatif menunjukkan bagaimana ia kini telah menjadi bagian dari agenda ekonomi politik global. Tak hanya memiliki nilai ekonomi, industri ini memiliki pengaruh dalam membentuk <a href="https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/page/joseph_nye_soft_power_journal.pdf">‘merek’ suatu bangsa (<em>nation branding</em>) dan <em>soft power</em>, bahkan kultur universal</a>.</p>
<p>Organisasi internasional pun telah <a href="https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/page/joseph_nye_soft_power_journal.pdf">menjadi wadah</a> untuk menyatukan dan mendorong minat yang sama antara satu negara dengan negara yang lain. Ini misalnya terkait kekayaan intelektual dalam Intellectual Property Organization (IPO), perdagangan global dalam World Trade Organization (WTO), aspek pariwisata oleh UNWTO, dan pendidikan dan kebudayaan di bawah naungan UNESCO.</p>
<p>Sebagai pengajar ilmu hubungan internasional yang fokus dalam isu-isu ekonomi politik, saya ingin menjelaskan bagaimana ekonomi kreatif memegang pengaruh dalam percaturan politik internasional–terutama terkait fungsinya sebagai <em>soft power</em> dan dalam pembentukan ‘merek’ suatu negara.</p>
<h2>Ekonomi kreatif sebagai <em>soft power</em></h2>
<p>Pergeseran agenda politik internasional menjadikan ekonomi sebagai sektor yang strategis dalam membentuk kekuatan nasional. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor politik yang berperan strategis dalam percaturan politik global, namun juga sektor swasta. Terjadi perubahan orientasi kekuatan politik <a href="https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/page/joseph_nye_soft_power_journal.pdf">tak hanya pada militer</a> tetapi juga pada sumber daya yang tak kasat mata (<a href="https://www.wilsoncenter.org/sites/default/files/media/documents/page/joseph_nye_soft_power_journal.pdf"><em>intangible power resources</em></a>) seperti budaya, ideologi, dan kelembagaan.</p>
<p>Di sinilah ekonomi kreatif memainkan peranan penting sebagai kontributor dalam membentuk <em>soft power</em> (kemampuan menyebarkan pengaruh lewat pendekatan nonkoersif) suatu negara–dan ini terlihat jelas di masa pandemi. </p>
<p>Walaupun terkena dampak dari mobilitas masyarakat yang terbatas akibat COVID-19, ekonomi kreatif adalah salah satu sektor yang <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">berhasil mempertahankan aktivitasnya melalui platform digital</a>. Seniman, pengusaha maupun komunitas kreatif melakukan konser <em>online</em> dan pameran digital. Tren media sosial juga turut menyebarkan informasi terkini bahkan viral kepada masyarakat.</p>
<p>Pada 2020, misalnya, konser <em>online</em> di seluruh dunia berhasil membukukan pendapatan <a href="https://www.scmp.com/lifestyle/entertainment/article/3134165/success-bts-nick-cave-and-niall-horan-online-concerts-gives">hingga US$600 juta</a> (Rp9,29 triliun).</p>
<p>Tak hanya itu, distribusi produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) pun terbantu dengan adanya inovasi dari aplikasi transportasi <em>online</em> serta <a href="https://www.researchgate.net/publication/297712848_Analysis_of_Factors_Affecting_The_Use_of_E-Commerce_on_Small_and_Medium_Enterprises_SMEs_Creative_Industries_In_Jabodetabek-Indonesia"><em>e-commerce</em> yang menjadi pasar digital yang mempermudah transaksi perdagangan</a>. <a href="https://www.adb.org/publications/creative-economy-2030-imagining-and-delivering-a-robust-creative-inclusive-and-sustainable-recovery">Menurut UNESCO, pada tahun 2021</a>, ekonomi kreatif berkontribusi dalam pemulihan ekonomi global dengan membuka 30 juta lapangan pekerjaan. </p>
<p>Sebagai sektor yang secara global didorong untuk mencapai pemulihan ekonomi, pertumbuhan ekonomi kreatif <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">berpeluang terus mengalami transformasi</a>. Ini penting dalam <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">membentuk <em>soft power</em> suatu negara dan pembangunan ekonominya.</a> Sebab, tidak hanya mendorong terciptanya inovasi dan kreasi, ekonomi kreatif juga <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">memberdayakan potensi budaya dan kearifan lokal sebagai sumber daya ekonomi</a> dengan memanfaatkan kreativitas kontemporer dan teknologi untuk menciptakan nilai komersial.</p>
<p>Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) melaporkan bahwa kontribusi sektor ekonomi kreatif ke pemasukan negara-negara <a href="https://unctad.org/press-material/creative-economy-offers-countries-path-development-says-new-unctad-reporthttps://unctad.org/press-material/creative-economy-offers-countries-path-development-says-new-unctad-report">terus bertumbuh tiap tahunnya</a>. Ekspor barang-barang kreatif global meningkat 25% menjadi US$524 juta (Rp8,11 triliun) pada 2020 dibandingkan satu dekade sebelumnya, sementara ekspor jasa kreatif dunia melambung 125% menjadi hampir US$1,1 miliar (Rp17,03 triliun) pada periode yang sama. Negara berkembang menyumbang 80% ke ekspor barang-barang kreatif, dan ini tentunya baik untuk pertumbuhan ekonomi dan memperkuat <em>soft power</em> mereka.</p>
<h2>Ekonomi kreatif sebagai pembentuk <em>nation branding</em></h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/551082/original/file-20230929-20-k468k9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Konser KCON di Los Angeles, Amerika Serikat, 2022. KCON merupakan rangkaian acara bagi fans untuk bisa menyaksikan pertunjukan K-Pop dan mengeksplorasi berbagai aspek budaya Korea Selatan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.kconusa.com/home/">Situs resmi KCON USA.</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Korea Selatan memajukan ekonomi kreatifnya melalui musik, film, dan teknologi yang memiliki <em>branding</em> <a href="https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://quod.lib.umich.edu/cgi/p/pod/dod-idx/hallyu-20-the-new-korean-wave-in-the-creative-industry.pdf%3Fc%3Diij%3Bidno%3D11645653.0002.102%3Bformat%3Dpdf%23:%7E:text%3DThe%2520Korean%2520wave%2520(Hallyu)%2520refers,other%2520parts%2520of%2520the%2520world.%26text%3Dheavily%2520access%2520these%2520social%2520media%2520to%2520enjoy%2520local%2520popular%2520culture.&ved=2ahUKEwjttISP8sqBAxWCxTgGHUOoAFsQFnoECA8QBg&usg=AOvVaw344-x7Zqw-BovtyxvdFORu">Korean Wave</a>. Begitu pun <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">Jepang dengan Cool Japan</a>, <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">India dengan Bollywood dan yoga</a>, <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">Maladewa dengan pariwisatanya</a>, dan <a href="https://uscpublicdiplomacy.org/blog/creative-economy-pivotal-shaping-soft-power">Perancis dengan fesyen dan gastronomi.</a></p>
<p>Negara-negara ini merupakan beberapa dari banyak negara dunia yang menggerakkan ekonomi kreatif sebagai mata pencaharian masyarakat ekonomi lokal. Hasilnya adalah ciri khas negara tersebut atau dikenal dengan istilah <em>nation branding</em>.</p>
<p><em>Nation branding</em> mendorong suatu negara membentuk keunggulan kompetitifnya dan memperkuat <em>soft power</em> mereka. <a href="https://culturaldiplomacy.org/pdf/case-studies/Hwajung_Kim_The_Importance_of_Nation_Brand.pdf">Tujuan <em>nation branding</em></a> adalah menarik pariwisata dan talenta, serta mendorong investasi dan ekspor. </p>
<p>Ekonomi kreatif dapat mendorong pembentukan ‘merek’ ini. Unsur budaya dan kearifan lokal sebagai instrumen kreativitas menciptakan keunggulan yang memberi identitas dan karakteristik dari suatu negara.</p>
<p>Pada 2021, misalnya, ekonomi Korea Selatan <a href="https://koreajoongangdaily.joins.com/2023/03/12/opinion/columns/Kpop-Kculture-Hallyu/20230312200322387.html">‘diselamatkan’</a> dari terjangan pandemi oleh ekspor terkait K-wave yang menyentuh angka US$12,45 miliar (Rp193,15 triliun)–naik lebih dari 4% dibandingkan tahun sebelumnya. Pemasukan industri perfilman Bollywood bisa <a href="https://www.reuters.com/world/india/bollywood-broken-movie-moguls-spell-over-india-fades-2022-09-01/">mencapai US$2 miliar</a> (Rp31 triliun) tiap tahunnya. Sementara, pariwisata berkontribusi <a href="https://www.theglobaleconomy.com/rankings/international_tourism_revenue_to_GDP/">hampir 40%</a> ke PDB Maladewa.</p>
<p>Masing-masing negara memiliki kapasitas dalam mengembangkan ekonomi kreatifnya. Masing-masing juga memiliki orientasi yang turut didukung sebagai program dalam kebijakan pemerintah. </p>
<p>Pun Indonesia, yang turut aktif mengembangkan <a href="https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-ekonomi-kreatif/Indonesia-Menjadi-Inisiator-Tahun-Internasional-Ekonomi-Kreatif-Dunia">subsektor ekonomi kreatif unggulan</a> dari segi pemberdayaan kearifan lokal, seperti fesyen, kuliner, dan kerajinan tangan.</p>
<h2>Sisi-sisi ekonomi kreatif: hiburan, bisnis, dan politik</h2>
<p>Ekonomi kreatif memiliki sisi-sisi yang menunjang keberlangsungan eksistensinya dan berdampak pada gaya hidup masyarakat. Perkembangan ekonomi kreatif pun dinamis namun sustainable. Setiap negara memiliki subsektor unggulan, prioritas, maupun yang sedang dikembangkan dalam ekonomi kreatif, baik kategori seni dan budaya, sains dan teknologi, serta berkontribusi dalam aspek bisnis dan perdagangan.</p>
<p>Dari sisi hiburan, ekonomi kreatif merupakan sarana rekreasional yang menunjang kapasitas dan penyebaran informasi. Musik, film, aplikasi, desain, seni pertunjukkan merupakan subsektor ekonomi kreatif yang kerap mengelaborasikan seni, budaya, dan modernisasi. Ekonomi kreatif tumbuh menjadi sektor yang dapat dinikmati setiap segmen masyarakat.</p>
<p>Dari sisi politik, subsektor ekonomi kreatif mampu menjadi alat atau media menyebarkan suatu isu yang bersifat transnasional atau lintas batas. Hal ini mampu menggiring opini masyarakat terhadap suatu isu bahkan membentuk gaya hidup dan selera.</p>
<p>Tak hanya sekadar soal kekuatan ekonomi suatu negara, produk ekonomi kreatif juga bisa mempromosikan agenda ke kancah internasional, misalnya melalui media film. Film Hollywood <em>Don’t Look Up</em> (2021), contohnya, mengangkat <a href="https://time.com/6130686/dont-look-up-climate-change/">isu perubahan iklim dan lingkungan</a>. Atau, film dengan pesan antiperang seperti <a href="https://www.france24.com/en/live-news/20230313-german-anti-war-epic-all-quiet-on-western-front-claims-oscars-glory-1"><em>All Quiet on The Western Front</em> (2022)</a> asal Jerman.</p>
<p>Sedangkan dari sisi bisnis, kontribusi ekonomi kreatif berdampak signifikan bagi pembangunan ekonomi bangsa, karena sektor ini memberdayakan keterampilan sumber daya manusia agar produktif secara ekonomi. Ekonomi kreatif juga menjadi kontributor penting terhadap nilai ekspor dan mengintegrasikannya keberbagai sektor ekonomi. Daya tahannya pun telah diuji selama pandemi. Tidak salah jika ekonomi kreatif masih dan tetap akan berpotensi menjadi sektor primadona dari agenda ekonomi politik global.</p>
<p>Ekonomi kreatif dalam tatanan ekonomi politik adalah fundamental, menjadikannya sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0163443717692739">bagian dari kebijakan publik</a> yang mendorong daya saing ekonomi sangatlah penting. Negara berperan sebagai fasilitator dan mobilisator dalam memberi wadah ke seluruh aspek masyarakat untuk terlibat mengembangkan ekonomi kreatif sebagai kekuatan bangsa.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214376/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Afni Regita Cahyani Muis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tak hanya memiliki nilai ekonomi, sektor ekonomi kreatif memiliki pengaruh dalam membentuk dan soft power, bahkan merek’ suatu bangsa.Afni Regita Cahyani Muis, Dosen Prodi Hubungan Internasional, Universitas Darussalam GontorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1658352021-09-02T04:03:09Z2021-09-02T04:03:09ZKesadaran perlindungan data: sebagian besar pengguna protokol keamanan 2FA di Indonesia masih warga berpenghasilan tinggi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/418846/original/file-20210901-23-1oompf5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=401%2C191%2C3592%2C2473&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aktivitas _online_ yang meningkat juga meningkatkan risiko keamanan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Aditya Pradana Putra/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kasus <a href="https://theconversation.com/dari-pembobolan-rekening-hingga-pemerasan-seksual-4-risiko-kebocoran-data-pribadi-dan-cara-mudah-mengantisipasinya-163879">kebocoran data pribadi</a> kerap terjadi beberapa tahun belakangan ini. Banyak ahli telah menyarankan perubahan, termasuk pada perilaku pengguna.</p>
<p>Dalam dunia keamanan siber, <em>Two-Factor Authentication</em> (2FA) adalah sebuah teknologi yang memberikan lapisan tambahan untuk mengamankan aplikasi dan akun digital. </p>
<p>Penggunaan 2FA melipatgandakan tingkat kesulitan peretasan akun digital oleh para penjahat di dunia maya. Saat ini, sudah makin banyak aplikasi digital yang mendukung penggunaan 2FA, mulai dari aplikasi perbankan, dompet digital, <em>e-commerce</em>, hingga e-mail dan media sosial.</p>
<p>Sayangnya, hasil <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/ACI-12-2020-0156/full/html">riset</a> saya bersama rekan peneliti Firman M. Firmansyah dari Stony Brook University, Amerika Serikat (AS), menemukan bahwa ada banyak pengguna internet di Indonesia yang belum mengetahui apa itu 2FA.</p>
<p>Lebih buruk lagi, ada sebagian pengguna yang sudah memahami apa itu 2FA, tapi dengan sadar tidak menggunakannya.</p>
<h2>Tidak tahu, tidak mau</h2>
<p>Tahun lalu, kami melakukan survei pada 1.852 orang dari 34 provinsi di seluruh Indonesia.</p>
<p>Menurut survei itu, ada 44% pengguna internet di Indonesia masih belum mengetahui keberadaan dan fungsi 2FA ini. </p>
<p>Dari 56% lainnya, hanya dua pertiga saja yang telah menggunakan 2FA untuk mengamankan akun-akun digitalnya. </p>
<p>Maka, ada sekitar 21% pengguna internet di Indonesia yang mengetahui akan keberadaan teknologi 2FA namun dengan sengaja memilih untuk tidak menggunakannya. </p>
<p>Riset yang sama juga menunjukkan penghasilan bulanan warga Indonesia berbanding lurus dengan tingkat penggunaan 2FA. </p>
<p>Terlepas dari jenis kelamin, usia, atau tingkat pendidikannya, warga Indonesia yang berpenghasilan tinggi cenderung untuk menerapkan protokol keamanan siber yang lebih baik dengan menggunakan 2FA dibandingkan mereka yang berpenghasilan lebih rendah.</p>
<p>Perbedaan tingkat penggunaan 2FA pada lapisan kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi yang berbeda ini merupakan wujud dari salah satu sifat bawaan manusia. </p>
<p>Pada dasarnya, manusia cenderung menghindari rasa sakit yang timbul ketika terjadi suatu kehilangan, terlebih lagi terkait hal-hal yang ia rasa penting. </p>
<p>Fenomena ini juga dikenal dengan <em>loss aversion bias</em> yang dibahas lebih lanjut dalam <a href="https://www.jstor.org/stable/1914185"><em>Prospect Theory</em></a>, salah satu teori penting dari bidang ilmu ekonomi perilaku <em>(Behavioral Economics)</em>. </p>
<p>Berdasarkan teori ini, manusia cenderung lebih memilih untuk mencegah terjadinya kehilangan atau kerugian ketimbang mendapatkan manfaat atau keuntungan dengan nilai atau nominal yang sama. </p>
<p>Ini karena manusia cenderung menilai bahwa rasa sakit yang terjadi akibat suatu kehilangan jauh lebih besar dibanding rasa puas yang didapat atas sesuatu meski untuk nilai atau nominal yang sama.</p>
<p>Dengan analogi sederhana: bagi manusia, rasa puas memperoleh uang Rp 100 ribu itu tidak sebanding dengan rasa kesal saat kehilangan uang Rp 100 ribu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/419021/original/file-20210902-21-d4ay9h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pengguna situs belanja online termasuk salah satu yang berisiko mengalami kerugian akibat peretasan atau kebocoran data.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Yulius Satria Wijaya/Antara Foto</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Terlepas dari manfaat dari sisi keamanan, penggunaan 2FA juga dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan dalam penggunaan aplikasi atau akun digital. </p>
<p>Memang, dalam dunia keamanan terdapat sebuah ironi bahwa pada umumnya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01449290903121386">keamanan berbanding terbalik dengan kenyamanan</a>. Protokol keamanan yang lebih baik biasanya menimbulkan ketidaknyamanan di sisi pengguna.</p>
<p>Teknologi 2FA yang memaksa seseorang untuk juga memiliki sesuatu benda tertentu (nomor telepon atau aplikasi di <em>smartphone</em>) sebagai penyedia informasi tambahan yang biasanya dalam bentuk kode sekali pakai atau <em>one-time-passcode</em> (OTP) sebelum mereka dapat mengakses aplikasi atau akun digital miliknya sendiri. </p>
<p>Faktanya, tidak semua orang siap untuk menerima ketidaknyamanan ini.</p>
<p>Kembali ke <em>loss aversion bias</em>, kelompok dari tingkat ekonomi yang berbeda memiliki penilaian yang tidak sama terhadap nilai akses ke aplikasi atau akun-akun digital yang mereka miliki. </p>
<p>Mereka dari kalangan ekonomi lemah tidak merasa memiliki sesuatu yang berharga, terutama dalam bentuk finansial yang perlu mereka takutkan hilang. </p>
<p>Singkat kata, mereka cuek atau <em>nothing to lose</em>. Maka wajar jika rasa tidak nyaman untuk mengaktifkan fitur 2FA yang mereka rasakan lebih besar dibandingkan potensi manfaat yang didapatkan. </p>
<p>Sebaliknya, mereka yang berpenghasilan tinggi merasa memiliki sesuatu yang berharga (<em>something to lose</em>) pada aplikasi dan akun-akun digitalnya. Oleh karena itu, rasa tidak nyaman dari penggunaan 2FA itu tidak seberapa besar dibandingkan potensi kerugian finansial jika akun-akun digital mereka sampai diretas. </p>
<p>Dari sisi latar belakang pendidikan, secara umum lulusan perguruan tinggi memiliki tingkat kesadaran dan penggunaan 2FA yang lebih baik dibandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. </p>
<p>Namun, walau berpendidikan tinggi, orang-orang dengan penghasilan rendah tetap enggan menggunakan 2FA. </p>
<p>Artinya, pendidikan tinggi saja tidak menjamin seseorang untuk menerapkan protokol keamanan siber yang lebih baik selama potensi kehilangan (terutama dalam bentuk finansial) belum sebanding dengan rasa nyaman yang ditimbulkan.</p>
<p>Dari sisi faktor demografis, riset kami juga menunjukkan bahwa generasi muda, utamanya dari kalangan milenial, lebih mungkin untuk menggunakan 2FA dibandingkan generasi yang lebih tua. </p>
<p>Dari jenis kelamin, kami menemukan laki-laki lebih berpotensi untuk menggunakan 2FA dibandingkan perempuan. </p>
<p>Dengan demikian, kalangan perempuan lanjut usia adalah salah satu kelompok masyarakat paling rentan menjadi korban peretasan akun karena rendahnya kesadaran akan penggunaan 2FA di kalangan ini. </p>
<h2>Perilaku lebih baik</h2>
<p>Lantas, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan penggunaan 2FA di segala kalangan masyarakat Indonesia? </p>
<p>Di berbagai belahan dunia, berbagai pihak telah banyak berupaya lewat <a href="https://dl.gi.de/handle/20.500.12116/31045">pemberian insentif</a> atau <a href="https://dl.acm.org/doi/10.1145/3313831.3376457">penerapan aturan yang lebih ketat</a> untuk mendorong penggunaan 2FA, utamanya dalam konteks organisasi. </p>
<p>Sayangnya, hal serupa tidak bisa dilakukan begitu saja untuk masyarakat awam yang tidak terikat suatu organisasi atau perusahaan, terutama untuk akun-akun pribadinya. </p>
<p>Alih-alih memberikan iming-iming atau <a href="https://par.nsf.gov/servlets/purl/10110682">pemaksaan</a>, yang perlu kita lakukan adalah intervensi sederhana dalam bentuk pengingat adanya potensi kehilangan yang akan terjadi jika seseorang abai dalam menggunakan 2FA di akun-akun digitalnya. </p>
<p>Ketika seseorang telah memiliki <em>something to lose</em> yang bernilai lebih besar dibandingkan ketidaknyamanan penggunaan 2FA, maka orang tersebut akan memiliki motivasi dari dalam diri untuk menggunakan 2FA untuk melindungi akun-akun digitalnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165835/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmad Raf'ie Pratama tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak pengguna internet di Indonesia yang belum mengetahui apa itu 2FA. Lebih buruk lagi, ada sebagian pengguna yang sudah memahami apa itu 2FA, tapi dengan sadar tidak menggunakannya.Ahmad Raf'ie Pratama, Assistant Professor, Department of Informatics, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1401932020-07-07T02:42:51Z2020-07-07T02:42:51ZTokopedia dan Bukalapak memang bisa digugat, tapi tidak lantas masalah kebocoran data tuntas<p>Dua bulan terakhir, setidaknya ada lima kasus kebocoran data pribadi di Indonesia. </p>
<p>Tiga kasus melibatkan <a href="https://www.viva.co.id/digital/digilife/1215672-3-e-commerce-indonesia-diretas-gantian-ternyata-hacker-kecantol-ini">perusahaan perdagangan secara elektronik (<em>e-commerce</em>)</a> besar, yaitu Tokopedia, Bukalapak dan Bhinneka.com. </p>
<p>Dua kasus lainnya melibatkan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/20/180500065/data-pasien-covid-19-diduga-bocor-mengapa-hal-ini-bisa-terjadi?page=all">lembaga</a> <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52765074">pemerintahan</a>, yaitu data pasien COVID-19 dan data Komisi Pemilihan Umum. </p>
<p>Kebocoran diperkirakan melibatkan data pribadi milik ratusan juta penduduk Indonesia. </p>
<p>Kasus seperti ini bukan yang pertama kali. Kita ingat tahun lalu kasus kebocoran data yang melibatkan ratusan ribu data warga negara Indonesia yang dipegang oleh <a href="https://money.kompas.com/read/2019/09/18/100310226/data-jutaan-penumpang-lion-air-group-diduga-bocor">perusahaan penerbangan Lion Air</a>.</p>
<p>Dengan pesatnya perkembangan kejahatan di bidang siber, sudah merupakan keniscayaan bahwa kasus-kasus serupa juga akan terjadi di kemudian hari. </p>
<p>Menurut undang-undang dan peraturan yang ada, pemilik data bisa menggugat peretas dan pengelola data pribadi. Namun, ketiadaan pengaturan yang komprehensif tentang perlindungan data pribadi membuat masalah tidak bisa diselesaikan dengan tuntas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mewujudkan-uu-perlindungan-data-pribadi-yang-kuat-di-indonesia-132498">Bagaimana mewujudkan UU Perlindungan Data Pribadi yang kuat di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pemilik data bisa menggugat</h2>
<p>Di Indonesia, karena belum adanya pengaturan yang khusus dan komprehensif di bidang perlindungan data pribadi, dasar hukum yang bisa digunakan saat ini untuk mengajukan tuntutan ganti rugi adalah Kitab Hukum Undang-Undang Perdata (<a href="http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/maluku/files/Viewer.js/Peraturan/Hukum/KUHP-Perdata-Bagian-4.pdf">KUHPer</a>)</p>
<blockquote>
<p>Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. (KUHPer, Pasal 1365)</p>
</blockquote>
<p>Namun perlu dicatat bahwa selain waktu persidangan yang panjang, pembuktian kerugian akibat kebocoran data pribadi tidak selalu mudah terutama bagi masyarakat awam.</p>
<p>Kerugian dan pelanggaran terkait data pribadi sementara diatur lewat <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)</a></p>
<p>Berdasarkan aturan yang berlaku, pemilik data pribadi dapat melakukan tindakan hukum apabila terjadi kebocoran data pribadi. </p>
<p>Tindakan hukum pertama yang bisa dilakukan adalah menuntut pihak yang meretas sistem elektronik dan mencuri data pribadi tersebut.</p>
<p>UU ITE mengatur bahwa penggunaan data pribadi melalui media elektronik harus berdasarkan persetujuan orang yang bersangkutan. </p>
<p>Syarat persetujuan ini juga diatur di dalam peraturan turunan UU ITE yaitu <a href="https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/695/t/peraturan+pemerintah+nomor+71+tahun+2019+tanggal+10+oktober+2019">Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2019</a> dan <a href="https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/553/t/peraturan+menteri+komunikasi+dan+informatika+nomor+20+tahun+2016+tanggal+1+desember+2016">Peraturan Menteri (permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No. 20 tahun 2016</a>.</p>
<p>UU ITE secara tegas menyebutkan bahwa pemilik data pribadi dapat mengajukan gugatan atas kerugian apabila syarat persetujuan tersebut tidak dipenuhi.</p>
<p>Jadi, peretas yang mencuri data pribadi melawan hukum karena dilakukan tanpa persetujuan pemilik data pribadi. </p>
<p>Dari sisi pidana, peretas atau pihak yang memperjualbelikan data tersebut juga diancam sanksi pidana penjara dan denda. </p>
<p>UU ITE memiliki sanksi pidana penjara maksimal 8 tahun penjara dan denda Rp 800 juta untuk tindak peretasan, dan penjara maksimal 10 tahun dan denda Rp 1 miliar untuk kejahatan penjualan data pribadi.</p>
<p>Lalu bagaimana dengan pihak yang mengelola data pribadi? Dapatkah mereka diminta pertanggungjawaban?</p>
<p>Dalam hal kebocoran data pribadi, sebenarnya perusahaan atau institusi yang mengelola data pribadi juga merupakan korban kejahatan yang dilakukan oleh peretas.</p>
<p>Walaupun demikian, berdasarkan UU ITE dan peraturan terkait, hal tersebut tidak serta merta melepaskan pengelola data pribadi dari tanggung jawabnya. </p>
<p>Untuk menentukan pertanggungjawaban pengelola data pribadi, kita harus melihat apakah pengelola data pribadi sudah melakukan semua usaha secara maksimal untuk melindungi sistem elektronik dan menerapkan manajemen risiko sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.</p>
<p>Apabila hal tersebut tidak lakukan, maka pihak pengelola data pribadi dianggap telah lalai dalam melakukan kewajibannya dan oleh sebab itu harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pemilik data pribadi. </p>
<p>Selain itu, apabila terjadi kebocoran data pribadi, pengelola data pribadi juga berkewajiban untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada pemilik data pribadi berdasarkan PP dan permen di atas.</p>
<p>Pemberitahuan tersebut harus disampaikan dalam waktu 14 hari sejak diketahuinya terjadi kebocoran data pribadi dan harus memuat alasan dan sebab terjadinya kebocoran tersebut. </p>
<p>Sayangnya, kewajiban ini sering diabaikan oleh pengelola data di Indonesia karena pemerintah belum tegas menegakkan aturan tersebut, ditambah lagi pemilik data pribadi sendiri sering kurang pro-aktif dalam mendesak perusahaan atau menuntut secara hukum.</p>
<p>Berdasarkan UU ITE dan Permen Kominfo, pengelola data pribadi yang lalai memberikan pemberitahuan dapat diberikan sanksi administratif antara lain teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, dan pemutusan akses.</p>
<p>Selain itu, pengelola data pribadi dapat juga dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya apabila menyebabkan kerugian bagi pemilik data pribadi, dapat dimintakan pertanggungjawaban. </p>
<p>Pertanggungjawaban ini bisa dimintakan lewat sanksi administratif seperti disebut di atas, atau secara perdata lewat gugatan pengadilan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-data-dukcapil-pelajaran-terkait-privasi-dan-data-pribadi-di-indonesia-121264">Kasus data Dukcapil: Pelajaran terkait privasi dan data pribadi di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak tuntas</h2>
<p>Sayangnya, sering kali kasus-kasus kebocoran data pribadi di Indonesia berakhir tanpa penyelesaian yang tuntas. </p>
<p>Salah satu alasan yang sering dikemukakan menjadi penyebab tidak tuntasnya kasus-kasus kebocoran data pribadi di Indonesia adalah <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mewujudkan-uu-perlindungan-data-pribadi-yang-kuat-di-indonesia-132498">tidak adanya</a> pengaturan yang secara komprehensif mengatur perlindungan data pribadi. </p>
<p>Ini karena tidak ada harmonisasi pengaturan di antara berbagai lembaga pemerintahan. </p>
<p>Sering kali lembaga yang berwenang ragu-ragu dalam menerapkan sanksi terhadap pelanggaran aturan pribadi karena belum adanya mekanisme dan tanggung jawab dari pengelola data pribadi yang jelas. </p>
<p>Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kesulitan bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan.</p>
<p>Alasan lain adalah <a href="https://webfoundation.org/docs/2018/08/WebFoundationSocialMediaPrivacyReport_Screen.pdf">kurangnya kesadaran masyarakat</a> akan pentingnya kerahasiaan data pribadi. </p>
<p>Masyarakat sering kali acuh terhadap kasus kebocoran data pribadi, padahal kebocoran data pribadi dapat merugikan pemilik data pribadi tersebut apabila disalahgunakan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pembobolan-data-digital-memang-tidak-terhindarkan-ini-cara-paling-mungkin-untuk-melindungi-data-anda-110998">Pembobolan data digital memang tidak terhindarkan--ini cara paling mungkin untuk melindungi data Anda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bentuk kerugian</h2>
<p>Di negara lain, sanksi serius diberikan bagi perusahaan yang gagal dalam melindungi data pribadi yang berujung pada kebocoran data pribadi. </p>
<p>Pada tahun 2019, <a href="https://ico.org.uk/about-the-ico/news-and-events/news-and-blogs/2019/07/ico-announces-intention-to-fine-british-airways/">Information Commissioner’s Office (ICO) di Inggris menjatuhkan denda sebesar 230 juta dolar</a> (sekitar Rp 3.3 triliun) kepada maskapai British Airways karena dianggap gagal dalam melindungi data pribadi milik konsumennya. </p>
<p>Pada tahun 2017, perusahaan pemeringkat kredit asal Amerika Serikat (AS) Equifax dikenakan sanksi sebesar <a href="https://www.ftc.gov/news-events/press-releases/2019/07/equifax-pay-575-million-part-settlement-ftc-cfpb-states-related">575 juta dolar</a> (sekitar Rp 8.3 triliun) oleh pemerintah karena alasan yang sama. </p>
<p>Pada saat ini, Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) telah mengajukan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200507083340-37-156876/91-juta-data-pengguna-bocor-tokopedia-digugat-rp-100-m">gugatan</a> terhadap Tokopedia dan Menteri Kominfo terkait kebocoran 91 juta data pengguna.</p>
<p>Kita semua menunggu hasil dari persidangan ini. </p>
<p>Apapun hasil keputusan dari majelis hakim akan menarik untuk didiskusikan karena ini adalah salah satu kasus pertama di Indonesia mengenai ganti rugi atas kebocoran data pribadi.</p>
<hr>
<p>Artikel ini ditulis bersama Danny Kobrata dari <a href="http://www.pandya.id/index.html">Institut Pandya Astagina</a>.</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140193/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sinta Dewi Rosadi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemilik data bisa menggugat peretas dan pengelola data pribadi. Namun, ketiadaan pengaturan yang komprehensif tentang perlindungan data pribadi membuat masalah tidak bisa diselesaikan dengan tuntas.Sinta Dewi Rosadi, Professor of Information Technology Law, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.