tag:theconversation.com,2011:/ca/topics/pembelajaran-48817/articlesPembelajaran – The Conversation2023-09-27T04:34:06Ztag:theconversation.com,2011:article/2133602023-09-27T04:34:06Z2023-09-27T04:34:06ZPara pendidik perlu tahu, mata uang dengan nol sedikit mempermudah anak belajar numerasi<p>Pecahan mata uang rupiah saat ini merupakan <a href="https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/159">pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia</a> setelah Zimbabwe dan Vietnam. </p>
<p>Hal tersebut mendorong pemerintah Indonesia melakukan penyederhanaan mata uang atau redenominasi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor <a href="https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/13281/Menanti-Redenominasi.html">77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024</a>. Menurut <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/redenominasi">Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)</a>, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya yang dilakukan karena berbagai pertimbangan. Dengan adanya redenominasi, jumlah nol akan dikurangi sehingga lebih efisien, misalnya dari Rp10.000 menjadi Rp10.</p>
<p>Rencana ini memunculkan pro dan kontra. Pihak yang kontra memiliki pertimbangan seperti <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20230628074806-4-449887/begini-kajian-baru-bi-soal-redenominasi-rp-1000-jadi-1">stabilitas makroekonomi, inflasi yang terkendali, nilai tukar mata uang, dan kondisi fiskal</a>. Beberapa orang juga khawatir bahwa penerapan redenominasi akan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20230629112224-4-450074/rencana-ubah-rp1000-jadi-rp1-mencuat-ini-reaksi-warga--62">membuat nilai tabungan di bank menjadi tak berharga seperti yang mereka rasakan</a> saat diterapkannya <a href="https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/13281/Menanti-Redenominasi.html">kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga di pasar, sehingga daya beli masyarakat menjadi turun,</a> oleh Presiden Soekarno pada 1965. </p>
<p>Di sisi lain, pihak yang pro menyebutkan bahwa redenominasi dapat menyederhanakan pecahan uang agar <a href="https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/13281/Menanti-Redenominasi.html">lebih efisien dan nyaman</a> dalam bertransaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Sri Mulyani juga menyampaikan, manfaat redenominasi ada pada kata “<a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20230424132008-4-431992/bi-mau-pangkas-rp-1000-jadi-rp-1-ini-kabar-paling-update">efisiensi</a>”, yaitu meliputi efisiensi percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko <em>human error</em>, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa. </p>
<p>Menambah perdebatan di atas, saya sebagai mahasiswa PhD di <em>National Taiwan Normal University</em> dengan bidang minat pendidikan ilmu kognitif dan rekan-rekan saya, mahasiswa PhD jurusan pendidikan matematika, melihat bahwa redenominasi ternyata dapat membantu anak belajar numerasi atau kecakapan yang berhubungan dengan matematika dasar. Mengapa? </p>
<h2>Mata uang bisa menjadi media belajar</h2>
<p>Redenominasi erat kaitannya dengan pendidikan karena proses memahami angka di usia dini umumnya bersentuhan langsung dengan mata uang. Ada <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0021934710372892">cerita menarik yang diungkapkan pendidik di Ghana</a>. Guru di Ghana mengungkapkan bahwa “… orang yang belum sekolah, kalau ditanya soal matematika, mereka tidak bisa menjawab, tapi kalau diberi uang, satu juta, mereka bisa memberi kembalian yang layak.” </p>
<p>Pendapat guru tersebut menunjukkan bahwa mata uang dapat berperan sebagai media belajar numerasi yang efektif bagi anak di sekolah dasar (SD).</p>
<p>Penggunaan objek fisik, seperti koin, batang, kubus, pola, dan objek konkrit lainnya merupakan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-642-21869-9_104">pendekatan yang diterima secara luas untuk mengajarkan konsep matematika abstrak dan simbolik di taman kanak-kanak dan sekolah dasar</a>. Penelitian menunjukkan bahwa interaksi dengan objek konkret memberikan dasar bagi pemikiran abstrak. Dalam hal ini, angka satuan lebih mudah dibayangkan dibanding ribuan.</p>
<p>Coba bayangkan sudut pandang anak SD belajar numerasi sehari-hari menggunakan mata uang seperti, “Rp1.000 ditambah Rp6.000 sama dengan Rp7.000” atau “8 orang siswa memiliki uang masing-masing Rp8.000, maka totalnya adalah Rp64.000”. </p>
<p>Banyaknya jumlah nol membuat peluang untuk melakukan kesalahan lebih besar sehingga proses belajar menjadi lebih rumit. Hal tersebut dapat membuat anak belajar matematika <a href="https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/martabat/article/view/908">tidak sesuai dengan level berpikirnya, sehingga mengalami kejenuhan, kelelahan, hingga takut dengan matematika</a>. </p>
<p>Mengetahui matematika ribuan sejak awal justru berisiko memberikan beban kognitif yang tidak semestinya dan dapat membuat anak-anak enggan untuk belajar. Redenominasi bisa mengatasi masalah ini karena peningkatan dari pemecahan masalah terjadi secara bertahap (dimulai dari 1) tanpa mengenal ribuan di awal, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1207/S15326985EP3801_3">sehingga tidak menyebabkan kelebihan beban kognitif pada siswa</a>.</p>
<h2>Objek fisik meningkatkan pembelajaran</h2>
<p>Banyak riset pendidikan di Amerika Serikat (AS) yang menggunakan objek fisik seperti koin. Todd Haydon dan timnya dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/019874291203700404"><em>University of Cincinnati</em> dan <em>University of Kansas</em></a>, AS, contohnya, menargetkan keterampilan matematika termasuk keterampilan uang. Keterampilan ini mencakup, menghitung koin, memberi kembalian, mengidentifikasi koin, melakukan operasi penjumlahan, dan mencocokkan jumlah yang ditunjukkan. Riset semacam ini lebih mudah dilakukan dengan mata uang yang jumlah nolnya sedikit, sehingga jarang ditemukan di kelas maupun di riset-riset di Indonesia. </p>
<p>Georgios Theocharous, Nicholas Butko dan Matthai Philipose dari <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-642-21869-9_104">Intel Labs Amerika</a> juga menjelaskan bahwa meskipun mengajar dengan menggunakan objek fisik membutuhkan proses sehingga memakan waktu, banyak guru matematika percaya bahwa pembelajaran dapat meningkat secara signifikan ketika siswa diinstruksikan dengan benda-benda fisik seperti koin. Misalnya, seorang anak mungkin membangun pemahaman tentang arti uang logam 5 rupiah dengan menghitung 5 rupiah satu per satu dan kemudian mengasosiasikan nilai 5 rupiah dengan ciri-ciri fisik sebuah koin perunggu. </p>
<p>Satuan mata uang yang mudah, dalam hal ini berangka nol sedikit, memiliki hubungan yang linier (berbanding lurus) dengan proses pembentukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1034912X.2018.1535109"><em>mental model</em> atau kerangka berpikir terkait akuisisi (penggabungan) angka</a>. Artinya, dengan adanya redenominasi, siswa sekolah dasar di Indonesia akan melakukan proses akuisisi angka secara bertahap yang pada akhirnya dapat membantu proses mereka dalam belajar numerasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213360/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dadan Sumardani menerima dana dari National Science and Technology Council Taiwan. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Agustiani Putri menerima dana dari PMDSU Kemendikbudristek Indonesia. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dwi Nurfitria Bella tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Redenominasi mata uang rupiah yang sedang hangat diperbincangkan bisa mempermudah cara anak belajar matematika.Dadan Sumardani, PhD Student in Science Education, National Taiwan Normal UniversityAgustiani Putri, PhD Student in Mathematics Education, Universitas Negeri MalangDwi Nurfitria Bella, PPG Student in Early Childhood Education, Universitas Negeri JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069962023-07-26T06:40:03Z2023-07-26T06:40:03ZKurikulum Merdeka beri ruang bagi murid untuk bereksplorasi–tapi jangan jadikan ini alasan untuk guru lepas tangan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/539215/original/file-20230725-23-kjdcs1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/blur-kids-teacher-classroom-background-usage-438910567">Macpanama/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam Kurikulum Merdeka yang tengah digalakkan pemerintah, salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk memenuhi <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/capaian-pembelajaran#filter-cp">capaian belajar (CP)</a> adalah proses <a href="https://pusmendik.kemdikbud.go.id/pdf/file-99#:%7E:text=yang%20dimaksud%20dengan%3A-,1.,untuk%20mencapai%20standar%20kompetensi%20lulusan.">pembelajaran aktif</a> atau pembelajaran yang berorientasi pada murid.</p>
<p>Di dalamnya, misalnya, ada sejumlah metode pengajaran yang mengedepankan interaksi sosial, seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/2331186X.2019.1674067">pembelajaran kooperatif</a>. Bentuk paling sederhananya adalah murid-murid bekerja dalam kelompok dan masing-masing memiliki tanggung jawab. </p>
<p>Ada juga metode <a href="https://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1809&=&context=ijpbl&=&sei-redir=1&referer=https%253A%252F%252Fscholar.google.com%252Fscholar%253Fstart%253D10%2526q%253Dhow%252Bproject-based%252Blearning%252Bsolves%252Bworld%252Bproblem%2526hl%253Den%2526as_sdt%253D0%252C5%2526as_ylo%253D2019#search=%22how%20project-based%20learning%20solves%20world%20problem%22">pembelajaran berbasis projek</a> yang mendorong murid menjalankan projek untuk memecahkan persoalan di dunia nyata. </p>
<p>Menurut riset, metode-metode pembelajaran aktif tersebut memang berpotensi memberi sejumlah manfaat bagi murid. Ini termasuk <a href="http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.1.1.1">interaksi sosial</a> yang lebih baik dengan rekan sejawat, pengasahan keterampilan seperti <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.3102/00028312221129247?casa_token=V9leD2QnClMAAAAA:oCy19v-F_Po-2GMtXgwO10u3--krUsBnhfOD0kbyKS_nsYomOlzii3T3SkMQUtEAfQ-n7Y7JMz4">refleksi ataupun kolaborasi</a>, dan <a href="http://1stmakerspace.com.s3.amazonaws.com/Resources/PBL-Lit-Review_Jan14.2014.pdf#">pemecahan masalah</a>.</p>
<p>Meski demikian, kami mengkhawatirkan pendekatan pembelajaran aktif ini–tanpa panduan yang tepat–berpotensi mengesampingkan keterlibatan guru sehingga mengancam penguasaan materi dasar yang merupakan <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">salah satu tujuan utama Kurikulum Merdeka</a>.</p>
<p>Dengan kata lain, pembelajaran aktif dalam Kurikulum Merdeka boleh saja memberikan ruang bagi murid untuk bereksplorasi. Namun, jangan sampai ini jadi alasan untuk membolehkan guru serta merta lepas tangan.</p>
<h2>Pentingnya penguasaan materi dasar terlebih dahulu</h2>
<p>Salah satu <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">karakteristik utama Kurikulum Merdeka</a> adalah fokusnya pada “materi esensial.”</p>
<p><a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/pada-masa-pandemi-guru-harus-pandai-memilih-pembelajaran-dan-penilaian-yang-esensial">Materi esensial</a> adalah materi yang diperlukan untuk menguasai mata pelajaran (mapel) di setiap jenjang secara berkelanjutan. Dalam Matematika, ini seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian untuk meyelesaikan persoalan. </p>
<p>Contoh lainnya, pengetahuan tentang dasar-dasar garis, warna, tekstur, dan komposisi untuk mengerjakan projek melukis dalam pelajaran Seni Budaya.</p>
<p>Menurut <a href="http://www.bobpearlman.org/BestPractices/PBL_Research.pdf#">John W. Thomas</a>, peneliti pendidikan dari University of California-Berkeley di Amerika Serikat (AS), pembelajaran berbasis projek tidak boleh luput untuk mendorong murid berinteraksi dengan konsep-konsep kunci tiap mapel dan juga terlibat dalam pembentukan pengetahuan mereka. </p>
<p>Sayangnya, analisis kami pada berbagai <a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mengenal-konsep-projectbased-learning">dokumen pengenalan</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bEt4Eidism0&t=57s">contoh pelaksanaan</a>, dan <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/11316/1/01._Buku_Pegangan_Pembelajaran_HOTS_2018-2.pdf">panduan</a> pembelajaran berbasis projek yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum memuat aspek-aspek di atas. Guru juga belum diarahkan untuk melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan projek tersebut.</p>
<p>Dalam pembelajaran tematik tingkat SD, panduan pembelajaran berbasis projek masih terlalu menekankan “pengetahuan prosedural” (tentang “bagaimana”, contoh: langkah-langkah menanam kangkung agar tumbuh subur). Panduan ini mengesampingkan “pengetahuan proposisional” (tentang “apa”, contoh: proses fotosintesis dan manfaatnya bagi tumbuhan).</p>
<p>Jika murid tidak memiliki pengetahuan proposisional tentang fotosintesis, misalnya, mereka berisiko kesulitan memahami peran tanaman sebagai penyerap karbon dioksida dan kedudukannya dalam ekosistem. Apabila itu terjadi, mereka akan kesusahan memahami konsep lain yang lebih besar: dampak penggundulan hutan terhadap perubahan iklim. Ini justru menghilangkan makna dari projek yang mereka garap.</p>
<p>Ibarat pengetahuan proposisional sebagai sebuah tangga, kehilangan beberapa anak tangga saja bisa membuat mereka gagal mencapai tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi, luas, ataupun baru.</p>
<h2>Guru sekadar jadi fasilitator</h2>
<p>“Kami, guru, adalah fasilitator pembelajaran.”</p>
<p>Kalimat ini biasanya disampaikan guru ketika diminta menceritakan tentang peran mereka di kelas.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, dalam materi <em>recount text</em> (menceritakan kembali), seorang guru bahasa Inggris meminta murid-muridnya untuk membuat projek pengalaman liburan. Alih-alih mengajarkan terlebih dahulu tentang kata kerja lampau sebagai fitur penting dalam teks tersebut, sang guru meminta murid-muridnya mempelajari contoh-contoh teks sejenis saja di internet secara mandiri, tanpa mendiskusikan hasil eksplorasi.</p>
<p>Walhasil, kita seperti melihat anak-anak tangga yang bertebaran, belum disusun, bahkan tidak lengkap. </p>
<p><a href="https://berajournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdfdirect/10.1002/berj.3301?casa_token=oAfJZyMvXrAAAAAA:Rv4U1K2Pu2-tLdg-1u4WjqGcOjmJGQKV-WRoShOjRrAaSunX6Nee4r_sPUxrqokgext4u8kwOCX-FQ">Elizabeth Rata</a> dari University of Auckland di Selandia Baru menggambarkan hal ini sebagai bentuk “<em>facilitation teaching</em>”. Artinya, apapun yang dibawa murid (baik jawaban, pendapat, atau pengalaman) dianggap baik dan valid oleh guru. </p>
<p>Efek <em>facilitation teaching</em> memang bisa membuat murid merasa “diterima dan berkontribusi”. Namun, ini mengorbankan sebuah agenda penting di kelas: interaksi intensif mereka dengan konsep dan pengetahuan beserta urutan dan logikanya. Interaksi ini mustahil berlangsung tanpa adanya pengajaran.</p>
<p>Hasil analisis kami menimbulkan kekhawatiran: penerapan pembelajaran berbasis projek saat ini masih mengarah pada sekadar memfasilitasi. Sebab, murid tidak berinteraksi dengan materi dasar yang harusnya jadi fokus penguasaan.</p>
<h2>Peran tradisional guru masih relevan</h2>
<p>Sebagaimana yang dikatakan Paul A. Kirschner dari Open University di Belanda beserta koleganya dalam buku <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781003228165/teaching-happens-paul-kirschner-carl-hendrick-jim-heal"><em>How Teaching Happens</em></a> (2022): “Jika semua yang harus diajarkan ke murid dilakukan dengan cara yang <em>real-world</em>, lalu apa makna sekolah?” </p>
<p>Sebuah konsep tidak selalu bisa dipelajari melalui konteks keseharian (sosial budaya) atau didapatkan melalui pengalaman maupun projek.</p>
<p>Penguasaan murid atas pengetahuan dasar, yang biasanya abstrak, akan membantu mereka melihat aplikasi konsep dalam berbagai konteks di dunia nyata. Guru berperan besar dalam proses ini. Tugas guru adalah mendesain kegiatan yang membantu murid melihat keterkaitan ini, utamanya lewat pengajaran instruksional.</p>
<p>Jika pemahaman pengetahuan dasar ingin dicapai melalui projek, ada banyak jalan untuk melakukannya. Salah satunya melalui “<a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/53450220/Inductive_Teaching-libre.pdf?1497034180=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DAn_Inductive_Approach_to_English_Grammar.pdf&Expires=1690256093&Signature=PUWMkbFb5a-jtno84Efy9I3Dr0uuXh7u8NUqxGdwDTAxbGhB8Fhc4NmBlW51v2Yj3snM5dmdLdB7UXzgedi4aqNzhcEnOp-cUX3D5U9-NF9EKVB98tNO2GuePJ9UveNyG9otA4JzQ9Fu-BXIBDuHpsC7A5ajtM6yS%7EoBzsmNL64lQJFA-V0gGwF6wh6LjxzcdELQBfn6aM1qQU7aq5D%7EkXBsE9BydgWXFn0V-vZEkaKxwor0h7eyYw49TmWpbev88TE0nMNNbTpuIcDMnEyEQZpJeDgomSE0ehRVvPx8yW%7EFFWUBEboEwpcyJ4Y93RtEJedwYo%7EOGud9nBGteBeghg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA"><em>inductive learning</em></a>” sebelum projek berlangsung. Kegiatan pembelajarannya meliputi: eksplorasi contoh-contoh baik yang dipilih guru, memformulasikan <em>rules</em> atau konsep (pengetahuan proposisional) dengan panduan guru, menguji atau mencoba aplikasinya (pengetahuan prosedural), mendapat umpan balik dari guru, merevisi <em>rules</em> atau konsep agar makin kukuh, dan mendapat konfirmasi dari guru.</p>
<p>Tanpa proses ini, pengetahuan berisiko tersampaikan melalui cara yang ambigu atau projek berjalan sekadar “coba-coba” saja. </p>
<p>Sayangnya, panduan yang tersedia tidak melibatkan kegiatan-kegiatan serupa sebagai bagian dari pembelajaran berbasis projek dan tidak menggarisbawahi peran guru dalam prosesnya. Tanpa hal ini, bisa terwujud kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar. </p>
<h2>Bukan membatalkan pembelajaran berbasis projek, tapi meyempurnakannya</h2>
<p>Kemdikbudristek memang tengah bergairah menggaungkan pembelajaran aktif. Oleh karena itu, tuntutan kami agar guru menyisipkan pengajaran instruksional barangkali akan dipandang beberapa pihak sebagai anjuran untuk “kembali pada pembelajaran yang berpusat pada guru”. Bisa juga, mereka akan melihat pembelajaran berbasis projek menjadi kurang berorientasi pada murid. </p>
<p>Namun, solusi yang kami tawarkan bukan <a href="https://theconversation.com/mempertanyakan-student-centered-learning-mengapa-memusatkan-pembelajaran-pada-siswa-tidak-selalu-efektif-205589">menunda penerapannya</a> tetapi memastikan bahwa panduan yang digunakan itu berbasis riset dan praktik baik.</p>
<p>Harapannya, pengajaran instruksional menjadi bagian penting <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ762325">dalam prosesnya</a>. Ini penting agar murid menguasai materi esensial yang diperlukan supaya <a href="https://naerjournal.ua.es/article/view/v6n2-8">projek yang mereka jalani jadi lebih bermakna</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan dalih “memfasilitasi” pembelajaran berbasis projek, ada kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar.Puji Astuti, Associate Professor of ELT Methodology, Universitas Negeri SemarangTeguh Kasprabowo, Assistant Professor of Creative Writing, Universitas Stikubank SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2089542023-07-04T05:51:26Z2023-07-04T05:51:26Z‘Teman belajar’ yang memunculkan ‘pertanyaan serius’: bagaimana mahasiswa sikapi AI pada semester pertamanya pakai ChatGPT<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/535448/original/file-20230704-24-mniw5c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Markus Spiske/Pexels</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Saat ChatGPT mulai menuai sorotan pada November tahun lalu, muncul <a href="https://theconversation.com/the-dawn-of-ai-has-come-and-its-implications-for-education-couldnt-be-more-significant-196383">spekulasi</a> yang gencar terkait dampak teknologi ini bagi pengajaran dan pembelajaran di perguruan tinggi.</p>
<p>Ada kepanikan terkait dampak ChatGPT bagi praktik kecurangan. Ada pula antusiasme terkait potensinya dalam membantu mahasiswa dalam belajar dan dosen dalam mengajar.</p>
<p>Namun, bagaimana realitasnya di lapangan seiring universitas kembali menjalankan pembelajaran?</p>
<p><a href="https://education.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0010/4677040/Generative-AI-research-report-Ziebell-Skeat.pdf">Studi</a> terbaru kami mengamati bagaimana mahasiswa dan akademisi di Australia – tempat saya mengajar – menyikapi ChatGPT pada semester pertama mereka setelah keluarnya teknologi baru ini.</p>
<h2>Yang terkini terkait ChatGPT</h2>
<p>Ketika ChatGPT rilis pada akhir 2022, para akademisi cukup “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/dec/04/ai-bot-chatgpt-stuns-academics-with-essay-writing-skills-and-usability">tercengang</a>” setelah menyadari betapa mudahnya teknologi ini bisa menulis esai tingkat universitas dan lolos sejumlah tes. Hasil garapan tersebut juga <a href="https://theconversation.com/we-pitted-chatgpt-against-tools-for-detecting-ai-written-text-and-the-results-are-troubling-199774">sebagian besar sulit dibedakan</a> dengan karya mahasiswa sungguhan.</p>
<p>Hal ini langsung memicu kekhawatiran terkait potensi kecurangan dan isu integritas akademik, meskipun beberapa orang berharap bahwa ChatGPT maupun teknologi serupa lainnya bisa memperbaiki kualitas <a href="https://theconversation.com/chatgpt-and-cheating-5-ways-to-change-how-students-are-graded-200248">pengajaran, pembelajaran, dan asesmen</a>. Para ahli beranggapan bahwa AI generatif bisa mendukung pembelajaran yang lebih mendalam bagi murid serta membantu dosen <a href="https://theconversation.com/as-uni-goes-back-heres-how-teachers-and-students-can-use-chatgpt-to-save-time-and-improve-learning-199884">menghemat waktu</a> dalam menyiapkan perkuliahan.</p>
<p>Di tengah perdebatan ini, ada seruan untuk lebih memperhatikan <a href="https://theconversation.com/please-do-not-assume-the-worst-of-us-students-know-ai-is-here-to-stay-and-want-unis-to-teach-them-how-to-use-it-203426">perspektif para mahasiswa dan murid</a>. Pada akhirnya, merekalah yang ada di tengah-tengah perubahan ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1658263650774179841"}"></div></p>
<h2>Penelitian kami</h2>
<p>Antara akhir April dan Mei akhir tahun 2023, kami bertanya kepada akademisi dan mahasiswa di Australia lewat survei daring.</p>
<p>Sebanyak 110 responden (78 mahasiswa dan 32 akademisi) merepresentasikan seluruh negara bagian dan teritori di Australia, serta beragam program studi dan bidang ilmu.</p>
<p>Artikel ini hanya membahas terkait hasil dari para mahasiswa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/we-need-to-change-the-way-universities-assess-students-starting-with-these-3-things-203048">We need to change the way universities assess students, starting with these 3 things</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pada titik ini, banyak mahasiswa TIDAK memakai ChatGPT</h2>
<p>Pada tahapan awal ini, hampir setengah dari responden mahasiswa belum mencoba atau memakai AI generatif.</p>
<p>Dalam kelompok ini, sebanyak 85% tidak berniat memakai teknologi ini selama kuliah tahun ini. Survei kami menemukan bahwa mahasiswa di Australia bisa jadi khawatir bahwa pemakaiannya akan dianggap sebagai kecurangan.</p>
<p>Kelompok mahasiswa yang tidak memakai AI ini secara kuat menghubungkan penggunaan teknologi generatif ini sebagai kecurangan dalam proses asesmen (85%). Sentimen ini jauh lebih banyak ketimbang mereka yang pernah memakai AI (41%).</p>
<p>Dalam respons tertulis mereka, beberapa mahasiswa juga menyiratkan bahwa mereka menghindari penggunaannya karena terasa kurang etis. Salah satu mahasiswa mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>Although current AI is harmless, I think there are serious questions about whether future advancements will be safe for humanity.</p>
<p>(Meski AI saat ini tidak berdampak buruk, menurut saya ada pertanyaan-pertanyaan serius terkait apakah perkembangannya di masa depan akan aman untuk umat manusia.)</p>
</blockquote>
<p>Para mahasiswa juga menyebutkan kekhawatiran lain, seperti masalah informasi yang kurang bisa diandalkan:</p>
<blockquote>
<p>Information given may be biased. [It’s] very difficult to fact check – as generative AI can often not properly say where it got its information from. For similar reasons, plagiarism and breaches of copyright.</p>
<p>(Informasi yang diberikan bisa jadi bias. Sangat sulit melakukan cek fakta – mengingat AI generatif tidak bisa benar-benar menjelaskan dari mana ia mengambil informasi tersebut. Untuk alasan yang serupa, ada juga isu plagiarisme dan pelanggaran hak cipta.)</p>
</blockquote>
<h2>‘Sangat membantu’</h2>
<p>Para mahasiswa yang memakai AI generatif menceritakannya sebagai semacam “titik awal pencarian”, untuk mengeksplor ide-ide, serta memahami lebih dalam terkait suatu topik atau menulis suatu struktur esai.</p>
<blockquote>
<p>I use it to summarise lengthy articles […] I use it for feedback and suggestions for improvement. </p>
<p>(Saya memakainya untuk merangkum artikel-artikel yang panjang […] Saya memakainya sebagai proses timbal balik dan memperoleh rekomendasi untuk memperbaiki diri.)</p>
</blockquote>
<p>Mereka menggarisbawahi sifat interaktif dari program semacam ChatGPT. Kata mereka, rasanya seperti punya “teman” belajar. Seorang mahasiswa mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>I feel like it’s super useful (especially with COVID impairing face-to-face learning, peer study groups etc). It’s a nice study partner or support. </p>
<p>(Saya merasa teknologi ini sangat membantu (terutama dengan COVID yang menghambat pembelajaran tatap muka, kelompok belajar mahasiswa, dll). Ia menjadi teman atau bentuk dukungan belajar yang baik.</p>
</blockquote>
<p>Sementara, mahasiswa lain mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>It leads to a more efficient use of time and energy. It makes me feel less stressed and anxious about assessments, as I almost feel as though I have a study buddy or friends to help me through.</p>
<p>(Ia membuat penggunaan waktu dan energi menjadi lebih efisien. Rasanya, stres dan kecemasan saya terkait asesmen menjadi berkurang, karena saya hampir merasa seakan punya teman belajar untuk melewati itu semua.)</p>
</blockquote>
<p>Dalam hal ini, kita bisa melihat AI generatif digunakan sebagai carai untuk mengelola stres. Ini penting, mengingat <a href="https://edintegrity.biomedcentral.com/articles/10.1007/s40979-021-00093-7">riset</a> sebelumnya mengatakan bahwa peningkatan stres bisa mendorong hasrat mahasiswa untuk melakukan kecurangan. </p>
<h2>Para mahasiswa juga bingung</h2>
<p>Para mahasiswa melaporkan kebingungan terkait bagaimana teknologi ini bisa dan “sebaiknya” digunakan.</p>
<p>Misalnya, mereka cukup terbelah soal apakah universitas sebaiknya mengizinkan penggunaan AI generatif dalam proses asesmen. Sebanyak 46% setuju, 36% tidak setuju, dan 16% tidak yakin.</p>
<p>Hampir seperempat mahasiswa melaporkan bahwa mereka kurang yakin terkait penggunaan AI generatif dalam konteks perkuliahan secara umum, dan hanya ada 8% yang merasa sangat positif terkait teknologi ini.</p>
<p>Kebingungan ini tidak mengejutkan – banyak universitas belum menyediakan panduan yang jelas terkait ini. Kurang dari sepertiga dari 500 unversitas top dunia memberikan jawaban yang jelas (baik positif ataupun negatif) terkait kehadiran ChatGPT <a href="https://arxiv.org/abs/2305.18617">ketika kebijakan mereka direviu</a> pada Mei tahun ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1624976833077993472"}"></div></p>
<h2>Lalu, apa yang akan terjadi sekarang?</h2>
<p>Seiring AI generatif terus berkembang, teknologi ini menawarkan peluang untuk mengeksplor batasan-batasan baru dalam pendidikan tinggi. Indikasi awalnya adalah bahwa ia tak sepenuhnya menakutkan atau buruk.</p>
<p>Namun, riset kami menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa bisa jadi tak ingin memakai teknologi ini jika tidak ada kejelasan mengenai cara yang “benar” dalam memakainya, dan akses maupun penggunaannya adil dan etis.</p>
<p>Seiring kita melangkah ke depan, suara dari para pekerja juga akan menjadi penting seiring para lulusan universitas memasuki lapangan kerja di era AI. Namun, kita juga perlu untuk terus mendengarkan perspektif mahasiswa.</p>
<p>Studi kami akan terus memantau bagaimana mahasiswa dan akademisi memakai AI generatif memasuki semester selanjutnya.</p>
<p>Kami mengundang para mahasiswa di Australia untuk menyumbangkan perspektif. Survei kami bersifat anonim dan bisa diakses <a href="https://melbourneuni.au1.qualtrics.com/jfe/form/SV_eOEPpqNtNqm9gma">di sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208954/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beragam spekulasi beredar tentang apa dampak ChatGPT terhadap perkuliahan. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Survei baru kami melihat semester pertama mahasiswa memakai teknologi ini.Jemma Skeat, Senior Lecturer, Health Professions Education (Assessment), School of Medicine, Deakin UniversityNatasha Ziebell, Senior Lecturer, Melbourne Graduate School Of Education, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2055892023-06-05T09:39:51Z2023-06-05T09:39:51ZMempertanyakan ‘student-centered learning’: mengapa memusatkan pembelajaran pada siswa tidak selalu efektif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/530039/original/file-20230605-23-ptwj4h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teachers-1435670357">(Arief Akbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pada 2022, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merilis <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/luncurkan-kurikulum-merdeka-mendikbudristek-ini-lebih-fleksibel">Kurikulum Merdeka Belajar</a> yang salah satu ciri utamanya adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, atau “<em>student-centered learning</em>”. Pendekatannya, misalnya, adalah dengan <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/kurikulum-prototipe-utamakan-pembelajaran-berbasis-proyek">pembelajaran berbasis projek</a> yang dilakukan para murid.</p>
<p>Model pembelajaran ini digadang memiliki segudang manfaat yang mampu membuat peserta didik menjawab tantangan nyata di tengah kompetisi <a href="https://bbppmpvboe.kemdikbud.go.id/bbppmpvboe/berita/detail/kurikulum-merdeka-dan-pbl-relevan-dengan-tantangan-riil">pasar kerja dan industri</a>.</p>
<p>Benarkah demikian?</p>
<p>Meskipun riset menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis projek terbilang ampuh ketika diterapkan pada tingkat <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1075291">pendidikan tinggi</a>, hal yang sama belum tentu berlaku ketika diterapkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, terutama <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">sekolah dasar (SD)</a>.</p>
<p>Kanada, negara yang langganan peringkat 10 besar pada tes global <em>Program of International Student Assessment</em> (PISA), misalnya, adalah salah satu <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">bukti empiris</a> bagaimana peralihan dari metode klasik ke <em>student-centered learning</em> yang kurang tepat dapat berdampak buruk.</p>
<p>Kajian dari lembaga riset C. D. Howe Institute di Kanada menemukan bahwa seiring penerapan kebijakan pembelajaran yang berpusat pada siswa – pendekatan yang kian populer di Amerika Utara – capaian murid-murid Kanada pada mata pelajaran matematika <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">turun signifikan antara tahun 2003-2012</a>.</p>
<p>Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?</p>
<h2>Kurang ideal untuk pembelajar pemula</h2>
<p>Pada dasarnya, pembelajaran berbasis projek – yang mendorong murid untuk memperdalam dan menyintesis informasi yang mereka dapatkan melalui projek individu atau kelompok – belum tentu efektif membantu murid menguasai konsep baru, ketimbang jika melalui pengarahan guru.</p>
<p>Alasan utamanaya adalah karena pembelajar pemula – umumnya belum memiliki pengetahuan spesifik atas suatu topik, seperti murid SD dan SMP – punya keterampilan pengaturan diri (<em>self-regulation skills</em>), pengetahuan awal (<em>prior knowledge</em>), dan keterampilan bekerja dalam kelompok (<em>group working skills</em>) yang <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">masih terbatas</a>.</p>
<p>Padahal, mereka sangat butuh berbagai keterampilan ini untuk melancarkan proses pembelajaran berbasis projek. Model pembelajaran ini, misalnya, penuh dengan aktivitas mendiskusikan ide, mempertimbangkan alternatif berbeda atau berbagai sudut pandang yang sulit dilakukan pembelajar tingkat awal.</p>
<p>Belum lagi, <a href="https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty">tingginya kesenjangan ekonomi</a> yang terjadi di Indonesia semakin memperparah hal ini.</p>
<p>Berbagai riset menunjukkan bahwa status sosioekonomi orang tua memainkan peranan besar dalam proses pendidikan anak. Anak-anak dari kelompok <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042812040414">privilese ekonomi tinggi</a> akan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibanding teman sebayanya dari kelompok ekonomi berbeda. Sebab, mereka lebih memiliki <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781351018142-3/cultural-reproduction-social-reproduction-pierre-bourdieu">akses</a> ke modal struktural seperti sekolah unggulan, hingga modal kultural dan intelektual seperti akses ke bahan bacaan dan museum.</p>
<p>Kondisi guru pun juga sangat menentukan kesuksesan penerapan model pembelajaran berbasis projek di kelas.</p>
<p>Dengan <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/11/23/nasib-guru-honerer-mereka-bertahan-meski-diupah-murah">himpitan ekonomi</a> yang menjerat para guru di Indonesia, bukan hal yang mengejutkan jika kita mendapati <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/03/04/kualitas-sebagian-guru-masih-rendah-hasil-pendidikan-belum-merata">kompetensi guru</a> di Indonesia terbilang rendah. Riset menunjukkan bahwa ketika guru dibayar rendah, maka <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165176597000700">kualitas pendidikan yang mereka hasilkan cenderung lebih buruk</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, berdasarkan obrolan informal saya dengan guru swasta tingkat SMP di Kota Medan, sekolah bahkan hanya memberikan upah sebesar Rp 22.000 per jam pelajaran, atau dengan beban 24 jam pelajaran, maka upah bulanan yang diperoleh hanya Rp 528.000. Mereka kerap mencari pemasukan alternatif seperti menjadi <a href="https://suar.grid.id/read/201809275/kisah-guru-honorer-yang-nyambi-jadi-ojek-online-untuk-menyambung-hidup-sempat-digaji-rp-50-ribu-per-bulan-di-sekolah?page=all">pengemudi ojol</a>, hingga <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/08/09/06000011/cerita-elivina-guru-bergaji-rp-200.000-berjualan-dan-memikul-kemiri-jalan?page=all">berjualan</a>, sehingga memecah konsentrasi.</p>
<p>Mengingat faktor-faktor di atas, termasuk tingkat usia murid yang belum siap menerapkan pembelajaran berbasis proyek, kesenjangan ekonomi para siswa, dan buruknya ekonomi guru yang berimbas pada kualitas mereka, penerapan pembelajaran berbasis projek harus kita pertanyakan kembali.</p>
<p>Laporan dari C. D. Howe Institute di atas menunjukkan bahwa para murid usia 15 tahun (mulai tingkat SMP) yang menjalani pembelajaran berorientasi murid di berbagai daerah di Kanada justru mengalami penurunan skor matematika – bahkan <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">hingga 26 poin</a> – selama sekitar 2003-2012 pada tes-tes global.</p>
<p>Asosiasi negatif ini secara statistik cukup signifikan, dan konsisten pada <a href="https://data.oecd.org/pisa/mathematics-performance-pisa.htm">banyak negara yang berpartisipasi</a>, bahkan negara-negara yang menjadi langganan top 15 tes PISA, termasuk Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru. Atas dasar tersebut, banyak negara <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/how-teachers-teach-and-students-learn_5jm29kpt0xxx-en">menguatkan pembelajaran yang berpusat pada guru</a> – setidaknya untuk usia SD dan SMP.</p>
<h2>Pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan</h2>
<p>Pembelajaran yang berpusat pada siswa, termasuk yang berbasis projek, memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, kita juga perlu memahami bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru sesungguhnya juga masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu justru lebih baik.</p>
<p>Menurut profesor kepemimpinan pendidikan dari Amerika Serikat (AS), Richard Arends, dalam bukunya “<a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/7117965"><em>Learning to Teach</em></a>” – teks yang kerap jadi bacaan wajib mahasiswa S1 di jurusan pendidikan – tidak ada model pembelajaran yang mutlak lebih baik dibandingkan yang lainnya.</p>
<p>Pembelajaran berbasis projek, yang tergolong sebagai model pembelajaran berpusat pada siswa, tentu saja punya <a href="https://www.opencolleges.edu.au/informed/features/project-based-learning-a-real-world-solution/">kelebihan</a>.</p>
<p>Kelebihan utamanya adalah penerapan masalah yang bersifat dunia nyata, terciptanya kolaborasi dan kerja sama, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Akan tetapi, model ini pun memiliki <a href="https://atutor.ca/pros-and-cons-of-project-based-learning/">kekurangan</a>, seperti pengelolaan waktu dan sumber daya yang kompleks sehingga menjadi tantangan bagi siswa dan guru hingga sulitnya proses evaluasi.</p>
<p>Sebaliknya, model pembelajaran yang berpusat pada guru memang memiliki beberapa kekurangan, seperti keterlibatan siswa yang terkadang terbatas dan kurangnya otonomi siswa.</p>
<p>Namun, di sisi lain, ia punya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/7117965-learning-to-teach">kelebihan</a>, utamanya pengendalian guru terhadap seluruh proses pengajaran yang ideal untuk konteks pembelajar di jenjang-jenjang awal. Guru pemula pun dapat menerapkan model ini dengan cukup mudah dan efisien waktu.</p>
<p>Oleh karena itu, pemilihannya tergantung pada jenjang dan kondisi peserta didik, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, hingga kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran. </p>
<h2>Solusi pendidikan Indonesia bukanlah perombakan total model pembelajaran</h2>
<p>Alih-alih sibuk mengotak-atik model pembelajaran di kelas secara total, menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda dulu penerapan pembelajaran berbasis projek hingga setidaknya jenjang SMA.</p>
<p>Namun, selain itu, ada juga beberapa rekomendasi agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat tercapai.</p>
<p>Yang utama, Indonesia wajib memperbaiki kesejahteraan para gurunya terlebih dahulu.</p>
<p>Negara-negara yang memiliki performa baik pada tes PISA memiliki satu kesamaan – guru di sana merupakan <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/29550728">profesi yang bergengsi dan dibayar mahal</a>. Hal ini berguna untuk menarik talenta-talenta terbaik bangsa untuk mau berkuliah di jurusan pendidikan, dan bersaing secara sehat untuk menjadi guru.</p>
<p>Jika upah guru bahkan <a href="https://www.merdeka.com/jatim/usul-gaji-guru-swasta-2023-naik-jadi-rp500-ribu-bupati-malang-ungkap-ini.html">tidak sampai Rp 600.000,-</a> per bulan, talenta mana yang mau berkecimpung di profesi ini?</p>
<p>Selain itu, pemerataan kesempatan pendidikan dan program pengentasan kemiskinan juga krusial. </p>
<p>Solusi negara tidak bisa hanya selesai pada membuat sekolah menjadi <a href="https://projectmultatuli.org/tumbal-sekolah-gratis-di-jawa-barat-memiskinkan-guru-menyusahkan-orangtua-merugikan-peserta-didik/">berbiaya rendah atau gratis</a>, tetapi juga perlu <a href="https://theconversation.com/berebut-bangku-pendidikan-kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri-206324">memeratakan kualitas sekolah publik</a> hingga memerhatikan keadaan murid ketika mereka berada di luar sekolah.</p>
<p>Faktanya, kemampuan belajar anak Indonesia yang rendah juga disebabkan keseharian mereka yang menghambat pembelajaran di sekolah, misalnya harus turut <a href="https://projectmultatuli.org/underprivileged-gen-z-kampung-kota-jakarta-putus-sekolah-jadi-pekerja-anak-dan-penanggung-hidup-keluarga/">membanting tulang membantu keluarga</a>. </p>
<p>Tentu, visi <em>student-centered learning</em> yang dibawa Kemdikbudristek berangkat dari niat baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun, niat yang tulus dan kebijakan yang efektif adalah dua hal yang berbeda.</p>
<p>Jangan sampai Indonesia bersikap latah – hanya karena melihat sesuatu yang tampak lebih canggih seperti <em>student-centered learning</em>, maka berbondong-bondong untuk meninggalkan apa saja yang dianggap usang, tanpa mempertimbangkan konteks lokal.</p>
<p>Mungkin, kita harus merenungkan ungkapan teoretikus pendidikan Brazil, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/104946">Paulo Freire</a>:</p>
<blockquote>
<p>Kita memiliki metode untuk mendekatkan konten, metode yang mampu membuat kita lebih dekat dengan siswa. Namun, beberapa metode tersebut justru dapat mendorong kita menjadi lebih jauh dari siswa.</p>
</blockquote><img src="https://counter.theconversation.com/content/205589/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Reza Aditia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembelajaran berbasis projek memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi lebih baik.Reza Aditia, Pengajar dan peneliti bidang pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera UtaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2002362023-05-20T07:17:15Z2023-05-20T07:17:15ZKursus online makin menjamur sejak pandemi, tapi belum ada regulasi yang jelas untuk menjamin kualitasnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/527312/original/file-20230519-27-2xppc5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/elearning-online-education-concept-learn-on-2056510169">(Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 lalu mendongkrak pertumbuhan industri pendidikan daring. Perusahaan data pasar Statista memproyeksikan pendapatan industri ini di Indonesia akan <a href="https://www.statista.com/outlook/dmo/eservices/online-education/indonesia">mencapai US$1,8 miliar</a> (Rp 27,7 triliun) pada 2023. Ini jauh lebih tinggi dari 2019 yang <a href="https://theravenry.com/wp-content/uploads/2020/08/i360-Report-Edutech-Industry-in-Indonesia.pdf">hanya sebesar US$112 juta</a> (Rp 1,7 triliun).</p>
<p>Salah satu faktornya adalah maraknya kursus daring yang ditawarkan perusahaan teknologi pendidikan (“<em>edutech</em>”), terutama di sektor nonformal. Di antaranya termasuk <a href="https://revou.co/">RevoU</a>, <a href="https://v2.myskill.id/">My Skill</a>, hingga <a href="https://www.hacktiv8.com/">Hacktiv8</a>.</p>
<p>Bahkan setelah <em>lockdown</em> berakhir, kursus daring terus berkembang karena tetap menawarkan <a href="https://www.academia.edu/51261787/The_role_of_massive_open_online_courses_during_the_COVID_19_era_Challenges_and_perspective">fleksibilitas tempat dan waktu pembelajaran</a> serta harga yang relatif terjangkau. </p>
<p>Para penyedia mengiklankan dan mengklaim bahwa kursus mereka menjamin peserta mendapatkan pekerjaan. Kursus-kursus ini, misalnya, banyak fokus pada pengembangan karier era modern seperti pemasaran digital dan sains data.</p>
<p>Oleh karena itu, kita pun bisa menemui banyak penyedia kursus daring yang menerbitkan sertifikat. Jika melihat media sosial profesional seperti LinkedIn, tak perlu waktu lama untuk menemukan unggahan mengenai sertifikat kursus dari berbagai institusi. </p>
<p>Namun, bagaimana standar kualitas dari banyaknya sertifikasi atau kursus tersebut?</p>
<p>Ketentuan terkini mengenai kursus daring di Indonesia termuat dalam suatu <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/11752/1/jukniskursusonline2018.pdf">petunjuk teknis</a> dari Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) yang terbit pada 2018.</p>
<p>Sayangnya, instrumen tersebut bukanlah ketentuan hukum yang kuat – kerap disebut “<em>soft regulation</em>” – sehingga belum mampu mengatur kualitas para penyedia kursus daring dengan baik. Petunjuk teknis tersebut baru berfokus pada teknis pelaksanaan seperti spesifikasi perangkat dan hanya sedikit memuat ketentuan substantif seperti pengaturan konten dan instruktur.</p>
<h2>Masalah kualifikasi dan kualitas lulusan kursus</h2>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/319013030_Issues_and_Challenges_for_Teaching_Successful_Online_Courses_in_Higher_Education_A_Literature_Review">Reviu literatur</a> di Amerika Serikat (AS) sebelum pandemi menemukan beberapa permasalahan dalam kursus daring, baik terkait pembelajar, instruktur, maupun konten pembelajarannya.</p>
<p>Misalnya, banyak instruktur hanya berbekal materi lawas yang tidak diadaptasi untuk kelas daring hingga akhirnya kesulitan menangkap sinyal nonverbal dan gestur dari pembelajar. Ini juga menyebabkan banyak pembelajar merasa “terisolasi” karena instruktur tidak menerapkan <a href="https://theconversation.com/cara-menciptakan-kelas-online-yang-interaktif-di-tengah-pandemi-covid-19-pelajaran-dari-singapura-140738">pengajaran interaktif yang penting dilakukan</a> saat mengajar secara daring.</p>
<p>Indonesia pun tidak terlepas dari permasalahan ini. Beragam kajian mencatat <a href="https://repository.unugha.ac.id/622/1/20.pdf">kurangnya interaktivitas</a> dalam pembelajaran yang cenderung searah, konten video dan fitur pembelajaran sosial yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/362614765_Portraying_the_Performance_of_Indonesian's_Massive_Open_Online_Course_Facilitators">jarang diperbarui</a>, hingga konsep “belajar sendiri” yang sering membuat <a href="https://www.researchgate.net/publication/313831255_USER_ANALYSIS_OF_MASSIVE_OPEN_ONLINE_COURSES_MOOCS_BASED_E-LEARNING_SYSTEM_TO_ENSURE_EQUAL_ACCESS_TO_EDUCATION_AT_HIGHER_EDUCATION">motivasi rendah karena kurangnya dorongan eksternal</a>.</p>
<p>Dari segi asesmen, kursus online cenderung <a href="https://www.researchgate.net/publication/282705816_MOOCs_and_Quality_Issues_A_Student_Perspective">tidak memiliki standar dan kriteria penilaian yang pasti</a>. Hal ini akan berdampak pada kualitas lulusannya.</p>
<p>Apalagi, baik sebelum ataupun setelah pandemi, industri kerja masih cenderung memilih lulusan dengan pendidikan tradisional.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03634520500343376">Kajian</a> tahun 2005 dari Florida State University, misalnya, menunjukkan 96% dari 258 perusahaan lebih memilih kandidat dengan gelar pendidikan tradisional karena punya kemampuan interaksi, reputasi, keterampilan, dan pengalaman yang lebih sesuai.</p>
<p>Sementara, yang lebih terkini, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2332858420973577">studi tahun 2020</a> dari Vanderbilt University yang menyurvei sekitar 1.000 perekrut di suatu situs pasar pekerja lepas menemukan bahwa mereka konsisten menganggap kualifikasi pendidikan tinggi formal di AS – sarjana, diploma, bahkan <em>community college</em> – lebih unggul dari sertifikat kursus daring.</p>
<p>Tanpa regulasi yang kuat untuk mengantisipasi masalah-masalah ini, industri kursus online di Indonesia berpotensi hanya jadi pabrik sertifikat dan bahan pamer di media sosial tanpa manfaat pendidikan yang jelas bagi lulusannya.</p>
<h2>Standardisasi melalui regulasi</h2>
<p>Sebenarnya, masalah di atas adalah kendala yang <a href="https://theconversation.com/pembelajaran-jarak-jauh-masih-akan-tetap-di-sini-kita-harus-buat-kualitasnya-setara-sekolah-tatap-muka-164397">juga muncul dalam pendidikan formal di Indonesia</a>. Ini terjadi terutama seiring sekolah dan guru beralih ke pembelajaran daring.</p>
<p>Berbagai kebijakan berupaya mengatasi masalah di sektor formal ini. <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/bsnp/Permendikbud119-2014PJJ-Dikdasmen.pdf">Permendikbud Nomor 119 Tahun 2014</a> mengatur secara detail mengenai pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tingkat sekolah dasar dan menengah. Sejak 2020, muatan mengenai PJJ <a href="http://ppid.unp.ac.id/wp-content/uploads/2020/02/Permendikbud-No-7-Tahun-2020.pdf">dimasukkan dalam kebijakan tentang keberlangsungan pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Sayangnya, hal yang sama tidak terlihat dalam konteks pendidikan nonformal. Perlu regulasi dari Kemdikbudristek untuk mengatur standar dan kualitas kursus daring – yang sama kuatnya dengan regulasi di pendidikan daring formal.</p>
<p>Kebijakan ini nantinya perlu mengatur beberapa komponen penting.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, kualifikasi instruktur perlu dipertegas demi memastikan bahwa materi yang disampaikan memang berdasarkan kebutuhan dan realitas di lapangan.</p>
<p>Memang ada <a href="https://bpm.unair.ac.id/wp-content/uploads/2021/01/permendikbud-no-90-tahun-2014.pdf">Permendikbud Nomor 90 Tahun 2014</a> yang menjelaskan kualifikasi minimal untuk menjadi instruktur. Untuk kursus berbasis keilmuan, merak harus memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4, sertifikat kompetensi, dan sertifikat instruktur. Sedangkan untuk kursus berbasis teknis praktis, terdapat syarat pendidikan setara SMA, pengalaman mengajar 3 tahun, dan sertifikasi instruktur.</p>
<p>Namun, aturan ini belum menyebutkan format kursus daring. </p>
<p>Di berbagai negara, <a href="https://media.neliti.com/media/publications/221971-certification-for-teachers-and-lecturers.pdf">instruktur wajib memegang kualifikasi magister atau sertifikasi terakreditasi</a> untuk mengajar kursus di bidang tertentu seperti advokat dan akuntan. Bagi kursus dengan fokus kemampuan teknis-praktis, instruktur butuh pengalaman kerja yang cukup lama untuk menguasai bidang tertentu secara mendalam.</p>
<p>Uni Eropa memiliki sistem <a href="https://europa.eu/europass/en/europass-tools/european-qualifications-framework">European Qualifications Framework</a> (EQF). Kerangka ini menggolongkan sertifikasi ke dalam tujuh level yang berbeda – dari Level 1 untuk kemampuan dan pengetahuan dasar hingga Level 8 untuk tingkat doktoral. Sebagai contoh, sertifikasi teknis yang didapatkan melalui <em>apprenticeship</em> dalam bidang seperti akuntansi dikategorikan sebagai Level 3.</p>
<p>Pemerintah dapat menerapkan kerangka serupa untuk mengatur kualifikasi instruktur kursus daring di Indonesia sesuai dengan karakter kursus yang mereka ampu.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, perlu ada syarat muatan dan metode penyampaian materi.</p>
<p>Saat ini banyak kursus daring hanya berjalan dengan sesi konferensi video rutin. Bahkan, ada juga yang hanya menggunakan rekaman. Padahal, setiap jenis pembelajaran memiliki fungsi dan dampaknya masing-masing.</p>
<p>Metode <em>synchronous</em> (ada interaksi langsung dengan pengajar) baik diterapkan untuk pembelajaran yang bersifat diskusi atau berupa presentasi dan praktik. Namun, metode ini memerlukan keberadaan instruktur dan para peserta dalam waktu bersamaan. Sementara, metode <em>asynchronous</em> (berbasis rekaman atau materi saja) memungkinkan peserta belajar dengan waktu dan kecepatannya sendiri-sendiri.</p>
<p>Sejak pandemi tiba di Indonesia, berbagai institusi pendidikan formal seperti <a href="https://fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1056/2020/08/Panduan-Pembelajaran-Jarak-Jauh-FISIPOL-UGM.pdf">Universitas Gadjah Mada (UGM)</a> mengambil langkah melaksanakan pembelajaran jarak jauh dengan mengintegrasikan sesi <em>synchronous</em> dan <em>asynchronous</em>. </p>
<p>Institusi-institusi pendidikan di negara Barat sudah banyak mengembangkan dan menerapkan teknik pengajaran baru untuk metode daring.</p>
<p>Harvard University di AS, misalnya, menyediakan <a href="https://teachremotely.harvard.edu/best-practices">panduan</a> tentang praktik-praktik baik ketika mengajar secara daring. Dalam panduan tersebut, mereka memberikan rekomendasi terkait proporsi yang tepat antara pembelajaran interaktif dan rekaman, tergantung karakter dari materi yang berbeda-beda. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kursus yang menerbitkan sertifikasi perlu memiliki komponen asesmen yang sesuai pada akhir masa belajar.</p>
<p>Hingga kini, baru <a href="https://peraturanpedia.id/peraturan-menteri-pendidikan-dan-kebudayaan-nomor-70-tahun-2008/">Permendikbud Nomor 70 Tahun 2008</a> yang mengatur uji kemampuan untuk pendidikan nonformal, termasuk kursus-kursus. Peraturan tersebut mengatur asesmen secara garis besar dan menyebutkan adanya standar operasional untuk setiap sektor atau bidang keahlian seperti kesehatan atau teknik. </p>
<p>Namun, lagi-lagi, belum ada ketentuan khusus untuk kursus daring.</p>
<p>Pembelajaran daring, misalnya, membuat proses pembelajaran menjadi <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/feduc.2022.851019/full">lebih menantang</a>. Oleh karenanya, metode asesmen kursus daring perlu dibuat secara khusus sehingga dapat memastikan bahwa peserta kursus benar-benar memahami materi pada level yang sebanding dengan pembelajaran tatap muka.</p>
<p>Australian Skills Quality Authority (ASQA) memberikan contoh baik mengenai peran pemerintah dalam menjamin kualitas pembelajaran daring agar tidak timpang dengan kelas fisik.</p>
<p><a href="https://www.asqa.gov.au/rtos/users-guide-standards-rtos-2015">Standar tahun 2015</a> yang mereka terbitkan untuk organisasi pengajar yang terdaftar (<em>Registered Training Organisations</em> atau RTO) berfungsi sebagai tolok ukur penyedia kursus atau pelatihan dari awal hingga akhir.</p>
<p>ASQA mengatur prinsip-prinsip asesmen, bukti kompetensi yang harus ditunjukkan peserta, hingga persyaratan pelaksanaan penilaian oleh penyedia kursus. Dalam aturan ini, kursus daring juga terikat <a href="https://www.asqa.gov.au/guidance-resources/online-learning">beberapa kriteria tambahan yang perlu dipenuhi</a> berdasarkan klasifikasinya – misalnya kursus yang sepenuhnya online, campuran (<em>blended learning</em>), jarak jauh (<em>distance learning</em>), dan lain-lain. </p>
<p>Terdapat banyak ruang untuk memajukan kualitas kursus yang ada di Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan baik melalui regulasi yang tegas seperti peraturan menteri, maupun standar lainnya yang berlaku secara nasional. Ini penting untuk memperbaiki medan liar kursus daring yang kini menjamur di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Rafsi Albar, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, serta pendiri dan CEO <a href="https://www.flashcampus.com">FlashCampus</a>, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200236/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Haekal Al Asyari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tanpa regulasi yang kuat, industri kursus online di Indonesia berpotensi hanya jadi pabrik sertifikat dan bahan pamer di media sosial tanpa manfaat pendidikan yang jelas bagi lulusannya.Haekal Al Asyari, Lecturer, Universitas Gadjah Mada and Ph.D. Candidate, University of DebrecenLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1947522022-11-25T02:32:16Z2022-11-25T02:32:16ZDua tahun lebih online learning, guru belum maksimal pakai teknologi pembelajaran: apa kendala dan solusinya?<p>Integrasi <a href="http://pena.belajar.kemdikbud.go.id/2019/10/pembelajaran-bauran-bersama-rumah-belajar-di-smkn-1-gorontalo/">teknologi dalam pembelajaran</a> – dari aplikasi kelas daring hingga platform edukasi – semakin menjadi keniscayaan bagi guru di Indonesia, terlebih setelah melewati pandemi yang <a href="https://pusdatin.kemdikbud.go.id/pemanfaatan-teknologi-pembelajaran-dalam-adaptasi-pandemi-covid-19/">mengharuskan mereka menjalankan <em>online learning</em></a>. </p>
<p>Jika penggunaannya tepat, teknologi pembelajaran <a href="https://link.springer.com/article/10.1186/s41239-017-0043-4">bisa membantu meningkatkan kualitas</a> dan pemerataan pendidikan di Indonesia. Bahkan, Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) kini intens mengembangkan dan mempromosikan beragam platform – termasuk platform ‘<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-setelah-kemdikbud-pakai-model-kemitraan-vendor-ala-shadow-organisation-apa-hasil-dan-dampaknya-bagi-dunia-pendidikan-192542">Merdeka Mengajar</a>’ – sebagai upaya mempercepat adopsi teknologi pembelajaran.</p>
<p>Tapi, kajian UNICEF yang terbit tahun lalu menunjukkan banyak guru di Indonesia masih <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/9956/file/Situation%20Analysis%20on%20Digital%20Learning%20in%20Indonesia.pdf">belum mampu menggunakan teknologi pembelajaran dengan maksimal</a> meski sudah menjalani <em>online learning</em> selama 2 tahun. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memadukan-kelas-online-dan-offline-selama-pandemi-berhasil-di-eropa-mengapa-di-indonesia-tidak-mudah-145550">Memadukan kelas _online_ dan _offline_ selama pandemi berhasil di Eropa. Mengapa di Indonesia tidak mudah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bahkan, guru yang berhasil menjalankan kelas via aplikasi konferensi daring seperti Zoom, kerap <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/9956/file/Situation%20Analysis%20on%20Digital%20Learning%20in%20Indonesia.pdf">bertahan dengan metode lama</a>, mulai dari mengajar dengan ceramah satu arah hingga kembali terbatas pada buku teks fisik. Ini membuat murid gagal <em>nyambung</em> dengan pembelajaran.</p>
<p>Apa saja hambatan yang dihadapi guru dan bagaimana kita bisa memberdayakan mereka untuk bisa menggunakan teknologi pembelajaran dengan efektif?</p>
<h2>Hambatan guru dalam memakai teknologi pembelajaran</h2>
<p>Salah satu kendala utama pemakaian teknologi pembelajaran tentu saja adalah infrastruktur dan penetrasi internet serta kebiasaan penggunaan teknologi digital yang belum merata di Indonesia. </p>
<p>Berbagai <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">riset</a>, <a href="https://theconversation.com/kesenjangan-akses-internet-di-asia-tenggara-jadi-tantangan-bagi-pengajaran-online-akibat-pandemi-covid-19-133928">kajian</a>, dan <a href="https://apjii.or.id/content/read/39/559/Hasil-Survei-Profil-Internet-Indonesia-2022">survei</a> telah mendokumentasikan masalah ini dengan baik.</p>
<p>Tetapi, bagaimana dengan kompetensi digital guru itu sendiri? Beberapa peneliti menawarkan perspektif menarik.</p>
<p>Peggy Ertmer, profesor desain dan teknologi pembelajaran dari Purdue University, Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF02299597">persepsi guru terhadap teknologi</a> sangat mempengaruhi cara mereka memakai teknologi pembelajaran.</p>
<p>Banyak guru cenderung memiliki <a href="https://www.researchgate.net/publication/233174283_Making_sense_of_young_people_education_and_digital_technology_The_role_of_sociological_theory">persepsi 'deterministik’</a> yang melihat teknologi sebagai resep mujarab (<em>one-stop solution</em>) untuk semua masalah pendidikan. Persepsi deterministik dapat membuat guru cenderung memandang penggunaan teknologi pendidikan sebagai tujuan akhir, tanpa berfokus pada luaran dan evaluasi dari penggunaan teknologi itu sendiri.</p>
<p>Di sisi lain, <a href="https://rise.smeru.or.id/en/blog/unconventional-message-minister-nadiem-and-why-teachers-have-yet-enable-students-have-freedom">riset</a> juga menunjukkan banyak guru di Indonesia masih menerapkan pembelajaran yang terpusat pada mereka. </p>
<p>Kombinasi ini membuat banyak di antara pengajar memakai teknologi sekadar sebagai ‘kosmetik’ – seperti memakai presentasi Powerpoint untuk menggantikan kertas – tanpa adanya pembaharuan dalam cara mengajar untuk lebih terpusat pada siswa. </p>
<p>Selain itu, profesor pendidikan di Singapura, <a href="https://ajet.org.au/index.php/AJET/article/view/810">Chin-Chung Tsai dan Ching Sing Chai</a> berargumen bahwa lemahnya <em>design thinking</em> (kompetensi mendesain pembelajaran) di antara guru juga menjadi kendala. Kompetensi ini penting bagi guru untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan siswa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-membuat-kuliah-tidak-membosankan-jawabannya-bukan-teknologi-tapi-memahami-cara-mengajar-yang-baik-167983">Bagaimana membuat kuliah tidak membosankan: jawabannya bukan teknologi, tapi memahami cara mengajar yang baik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Misalnya, dalam kelas bahasa Inggris, jika seorang murid mengalami keterbatasan karena kurang percaya diri dalam berbicara, guru bisa mendesain pembelajaran yang melibatkan aplikasi simulasi percakapan untuk membantu sang murid – meskipun hal seperti ini tak melulu termuat dalam panduan kurikulum. </p>
<p>Sayangnya, kemampuan menghadirkan inovasi desain pembelajaran seperti ini masih cenderung lemah di <a href="https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/peran-guru-dalam-menghadapi-inovasi-merdeka-belajar">kalangan guru Indonesia</a>. </p>
<p>Artinya, meskipun ada fasilitas dan kemauan untuk mengintegrasikan teknologi, penggunaannya tidak akan efektif tanpa keahlian pedagogi (pengajaran) maupun kompetensi dalam mendesain pembelajaran melalui media digital. </p>
<h2>Tiga langkah dukung guru kuasai teknologi pembelajaran</h2>
<p>Ekonom sosial dari London School of Economics (LSE), <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/1467-7660.00125">Naila Kabeer</a>, menjelaskan bahwa penyediaan sumber daya yang memadai adalah fondasi dari pemberdayaan agensi dan pencapaian manusia.</p>
<p>Sumber daya seperti apa yang kita perlu sediakan untuk pemberdayaan kompetensi digital guru?</p>
<p><strong><em>Pertama</em></strong>, pemerintah dan institusi pendidikan perlu mendukung guru dengan sumber daya rujukan (<em>referential resources</em>) yang komprehensif, dari pedoman kurikulum hingga panduan evaluasi pembelajaran memakai teknologi.</p>
<p><a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/9956/file/Situation%20Analysis%20on%20Digital%20Learning%20in%20Indonesia.pdf">Kajian dari UNICEF</a> sebelumnya menemukan bahwa inisiatif dan kebijakan dari pemerintah selama ini masih fokus pada peningkatan kompetensi digital murid dan belum banyak membekali guru.</p>
<p>Dalam aspek evaluasi capaian murid, misalnya, meski dalam <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/06/Panduan-Pembelajarn-dan-Asesmen.pdf">Panduan Pembelajaran dan Asesmen (PPA)</a> dari pemerintah sudah memuat prinsip-prinsip asesmen pembelajaran, belum ada penjelasan yang menyeluruh bagaimana peran teknologi digital memediasi proses ini. </p>
<p>Teknologi digital bisa saja mempermudah evaluasi capian murid karena memberikan hasil kilat hanya dalam hitungan detik, contohnya dengan instrumen <a href="https://digitalcommons.georgiasouthern.edu/writing-linguistics-facpubs/8/"><em>Automated Writing Evaluation</em> (AWE)</a> yang menggunakan teknologi pemrosesan bahasa untuk mengevaluasi tulisan siswa. Tapi, <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1042053.pdf">riset</a> juga menunjukkan bahwa kerap terjadi inkonsistensi antara hasil AWE dengan penilaian manusia.</p>
<p>Ilustrasi ini menunjukan bahwa guru perlu panduan yang tepat, baik itu bagaimana menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam proses asesmen maupun proses lainnya. </p>
<p><strong><em>Kedua</em></strong>, guru juga perlu dukungan sumber daya pengetahuan (<em>knowledge resources</em>). Beda dengan sumber daya rujukan yang berhubungan dengan pedoman tertulis, sumber daya pengetahuan berkaitan dengan pelatihan dan wawasan bagi guru untuk meningkatkan kompetensi pengajaran dengan teknologi.</p>
<p>Hal ini bisa berbentuk pelatihan berkelanjutan melalui komunitas profesi guru, seperti <a href="https://pskp.kemdikbud.go.id/produk/buku/detail/323830/peran-musyawarah-guru-mata-pelajaran-mgmp-dalam-meningkatkan-mutu-pembelajaran-di-sma">Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)</a>.</p>
<p>Merujuk pada gagasan <em>design thinking</em> sebelumnya, guru perlu pelatihan rutin terkait pemanfaatan teknologi yang tak hanya memuat teknik-teknik kaku, tapi juga bagaimana menggunakannya untuk mendesain pembelajaran yang <a href="https://cardinalscholar.bsu.edu/handle/123456789/202453">menyasar kebutuhan siswa</a> (<em>student-centered learning</em>) secara kreatif.</p>
<p>Pemerintah sebenarnya telah memulai ini dengan menjadikan pembelajaran berbasis <a href="https://psycnet.apa.org/record/2006-07285-002">TPACK (<em>Technological Pedagogical Content Knowledge</em>)</a> sebagai salah satu capaian pembelajaran dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG). TPACK adalah pendekatan yang melihat bahwa penggunaan teknologi yang efektif wajib <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s40299-015-0237-2">memuat irisan</a> antara konten, teknik mengajar, dan kompetensi <em>design thinking</em> guru.</p>
<p>Kampus keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK) di Indonesia perlu terus mengembangkan ini dalam <a href="http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/article/view/6115">mempersiapkan guru-guru masa depan agar merancang pembelajaran yang efektif</a>.</p>
<p>Selain itu, pelatihan bagi guru untuk senantiasa memahami konteks (<em>contextual knowledge</em>) juga penting agar mereka empatik dan memahami kondisi siswa.</p>
<p>Contohnya, bagi guru yang mengajar di daerah minim akses internet, pengiriman rekaman suara (<em>voice note</em>) pembelajaran disertai presentasi Powerpoint melalui aplikasi pesan bisa jadi lebih efektif ketimbang materi video di Youtube yang butuh jaringan internet lebih kuat.</p>
<p><strong><em>Ketiga</em></strong>, guru perlu dukungan berupa sumber daya finansial (<em>financial resources</em>) agar bisa membekali diri untuk berinovasi.</p>
<p>Di lingkup universitas, bantuan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/09/kemendikbud-resmikan-kebijakan-bantuan-kuota-data-internet-2020">paket data</a> dari Kemdikbudristek saat pandemi cukup meringankan dosen dan mahasiswa dalam melakukan pembelajaran daring. Subsidi perangkat digital yang difasilitasi insititusi atau pemerintah juga bisa menjadi daya bagi guru untuk menyiapkan pembelajaran yang inovatif. </p>
<p>Tak hanya terbatas pada subsidi perangkat eletronik atau akses internet, dana berupa dukungan hibah pun bisa pemerintah mendukung program inovatif seperti implementasi <em>design thinking</em> dalam kelas atau kegiatan guru-melatih-guru.</p>
<p>Sumber daya finansial ini tak hanya penting agar guru bisa mengakses dan menerapkan teknologi pembelajaran dengan baik, tapi juga menjamin kesejahteraan mereka sekaligus menarik dan mempertahankan tenaga pendidik yang punya bekal kompetensi digital yang baik.</p>
<p>Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata upah pegawai di <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2022/06/29/2192/rata-rata-upah-gaji-bersih-sebulan-buruh-karyawan-pegawai-menurut-pendidikan-tertinggi-dan-lapangan-pekerjaan-utama-2022.html">sektor pendidikan terendah dibandingkan sektor lain</a> – termasuk sektor konstruksi, reparasi mobil, hingga pengelolaan air dan limbah.</p>
<p>Padahal, kajian dari <a href="https://unevoc.unesco.org/up/How_do_digital_competence_frameworks_address_the_digital_divide.pdf">UNESCO</a> melaporkan adanya korelasi antara kapasitas finansial guru dan murid dengan partisipasi mereka dalam <em>online learning</em>.</p>
<p>Tiga sumber daya yang saling beririsan tersebut – berupa <em>referential</em>, <em>knowledge</em>, dan <em>financial</em> – harapannya bisa menggerakkan guru untuk meningkatkan kapasitas digital maupun kompetensi desain pembelajaran berbasis teknologi agar bisa meraup manfaat sebesar-besarnya bagi pengajar maupun murid di era pembelajaran digital.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194752/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kajian UNESCO yang terbit tahun lalu menunjukkan banyak guru di Indonesia masih belum mampu menggunakan teknologi pembelajaran dengan maksimal meski sudah menjalani online learning selama 2 tahun.Truly Pasaribu, PhD Candidate at Faculty of Education, Monash UniversityMonica Ella Harendita, Ph.D. student at Graduate School of Education, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1936252022-11-17T09:14:18Z2022-11-17T09:14:18ZRiset: makin banyak kampus adopsi ‘Kampus Merdeka’, tapi hanya 30% mahasiswa punya kemandirian belajar tinggi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/495844/original/file-20221117-25-s2ovlb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Ilya Sonin)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada akhir 2019, pemerintah meluncurkan kebijakan <a href="https://theconversation.com/agar-setahun-service-learning-ala-kampus-merdeka-menteri-nadiem-tak-sia-sia-bagi-mahasiswa-dan-masyarakat-131142">Kampus Merdeka</a> dengan harapan mahasiswa bisa mengambil alih dan “mengkustomisasi” proses belajar sesuai aspirasi akademik dan karir masing-masing (<em>student centered learning</em>).</p>
<p>Skema ini, misalnya, <a href="https://kampusmerdeka.kemdikbud.go.id">memfasilitasi mahasiswa</a> dengan beragam model magang, peluang kolaborasi riset, hingga hak belajar tiga semester di luar program studi – yang juga telah disambut oleh <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/09/mendikbudristek-transformasi-teknologi-berdampak-pada-sektor-pendidikan">banyak kampus maupun mitra industri</a>.</p>
<p>Tapi, tiga tahun kemudian, apakah mahasiswa di Indonesia benar-benar bisa memanfaatkan inisiatif-inisiatif terkait <em>student centered learning</em> seperti Kampus Merdeka? Riset kami (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa mahasiswa Indonesia bisa jadi masih jauh panggang dari api.</p>
<p>Tim kolaborasi kami, antara Universitas Samudra (Unsam) di Aceh dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyurvei total 100 mahasiswa minimal semester 4 di tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Aceh, dan Riau.</p>
<p>Kami menemukan bahwa hanya 30% yang punya kemandirian belajar tinggi, sehingga bisa (serta bersemangat) untuk memanfaatkan skema mandiri seperti Kampus Merdeka. Artinya, hanya 1 dari 3 mahasiswa Indonesia yang siap untuk menghadapi dinamika baru pendidikan tinggi ini.</p>
<h2>Kemandirian belajar rendah</h2>
<p>Dalam riset, tim kami menggunakan instrumen survei yang kami modifikasi dari “tes kemandirian belajar” buatan peneliti <a href="https://bmcmededuc.biomedcentral.com/articles/10.1186/1472-6920-14-108">Nantong University dan Fudan University</a> di Cina.</p>
<p>Kami menilai ‘motivasi belajar’, ‘perencanaan dan implementasi’, ‘pemantauan diri’ (<em>monitoring</em>), dan ‘kemampuan komunikasi interpersonal’ sebagai indikator kemandirian belajar. Kuesioner kami sebarkan secara online, dan datanya kami himpun dan analisis sebagai persentase tiap indikator.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Indikator Kemandirian Belajar Mahasiswa" src="https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/493657/original/file-20221106-15-2049m4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Indikator Kemandirian Belajar Mahasiswa yang kami kembangkan dalam riset kami.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Sari et al. (2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hasil menunjukan bahwa hanya 30% mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi. Sebanyak 10% memiliki kemandirian belajar sedang, dan 60% memiliki kemandirian belajar rendah. </p>
<p>Temuan ini juga menunjukkan bahwa, secara umum, indikator ‘motivasi belajar’ mahasiswa meraih persentase paling tinggi ketimbang ‘perencanaan dan implementasi’, ‘<em>monitoring</em> diri’ dan ‘kemampuan komunikasi interpersonal’.</p>
<p>Artinya, mahasiswa sudah punya motivasi untuk belajar. Namun, hasrat untuk merencanakan dan menerapkan aspirasi tersebut sangat rendah. Dengan kata lain, ketika mahasiswa menghadapi kondisi yang menuntut mereka belajar atau merencanakan pembelajarannya sendiri, banyak dari mereka kemudian kehilangan rasa kemandirian dan antusiasme.</p>
<p>Hal serupa juga kami temukan pada indikator ‘monitoring diri’. Banyak mahasiswa tidak bisa menilai kemajuan dan capaian belajarnya sendiri.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/493658/original/file-20221106-15-onywtd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Persentase kemandirian belajar dari 100 mahasiswa dalam riset kami.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Sari et al. (2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Temuan kualitatif kami di lapangan pun mendapati bahwa kapasitas belajar banyak mahasiswa di perguruan tinggi hanya sebatas pada kemandirian dalam “menyelesaikan tugas mandiri” – tetapi jika tidak diberikan tugas, mahasiswa “santai” tanpa tahu tujuan belajarnya.</p>
<p>Berdasarkan riset ini, perguruan tinggi masih punya banyak PR untuk mempersiapkan mahasiswa agar punya kemandirian belajar tinggi sebagai prasyarat suksesnya skema-skema yang menuntut independensi mahasiswa, seperti Kampus Merdeka.</p>
<h2>Mudah terdistraksi</h2>
<p>Kemandirian belajar yang mahasiswa butuhkan pun bukan hanya belajar yang dilakukan sendiri (<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877050920310309"><em>self-directed learning</em></a>) – seperti sekadar mengerjakan tugas individu. Tapi, ini juga meliputi kemampuan mahasiswa mengontrol faktor lingkungan yang mendukung proses belajar mereka (<a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2017.00422/full"><em>self-regulated learning</em></a>) – termasuk mampu menghimpun sumber daya digital dan menguasai teknologi pembelajarn yang diperlukan untuk, antara lain, menyukseskan proyek semester.</p>
<p>Dalam pemanfaatan teknologi pembelajaran, misalnya, alat yang menjadi favorit mahasiswa adalah <em>smartphone</em> dan laptop.</p>
<p>Oleh karena itu, kami melakukan survei sampingan untuk memahami lebih dalam kemandirian belajar mahasiswa dengan melihat pola mereka dalam memanfaatkan sumber daya digital melalui <em>smartphone</em>.</p>
<p>Temuan survei kami menambah kuat permasalahan. Akses aplikasi mahasiswa didominasi oleh media sosial yakni Whatsapp, Instagram, TikTok, dan Youtube. Mereka mengakses aplikasi tersebut lebih dari dua kali sehari dengan rentan waktu total lebih dari 3 jam dalam sehari. Aplikasi ini mereka gunakan untuk ngobrol, mencari hiburan, dan menonton video.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/493662/original/file-20221106-18-oc5aa5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pola penggunaan aplikasi dan pencarian mahasiswa menggunakan <em>smartphone</em>.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Sari et al. (2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sementara, kegiatan yang mengarah ke aspek akademik dan karir – dari mengakses aplikasi <em>e-learning</em> atau <em>online course</em>, mencari peluang profesional, hingga sekadar membaca artikel yang relevan dengan program studi atau aspirasi karir mereka – menjadi hal yang paling tidak populer dalam penggunaan <em>smartphone</em> mahasiswa .</p>
<p>Mahasiswa, misalnya, mengakses konten pembelajaran hanya jika ada tugas dari dosen. Berdasarkan observasi yang kami lakukan, mahasiswa kerap mengakses aplikasi obrolan dan hiburan saat menghadiri kuliah di kampus, bahkan ketika dosen memberikan kesempatan untuk memperdalam materi secara mandiri.</p>
<p><a href="https://educationaltechnologyjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41239-017-0076-8">Temuan riset tahun 2017</a> dari tim Universidad de Sevilla di Spanyol menemukan bahwa banyak mahasiswa yang masih memiliki kapasitas <em>self-regulated learning</em> yang lemah sehingga mereka kurang bisa mengatur proses belajarnya. Bisa jadi, ini disebabkan oleh banyaknya <a href="https://theconversation.com/kuliah-bisa-saja-berlangsung-di-metaverse-tapi-beberapa-tantangan-berikut-harus-diatasi-terlebih-dahulu-191522">distraksi akibat teknologi digital</a> yang tidak sesuai ketika belajar.</p>
<h2>Apa risikonya?</h2>
<p><em>Pertama</em>, kondisi ini bisa mengakibatkan mahasiswa membuang banyak waktu yang berharga dalam masa kuliahnya karena tidak mengetahui aspirasi akademik dan gagal mengevaluasi capaian pembelajaran mereka.</p>
<p><em>Kedua</em>, skema <em>student-centered learning</em> seperti Kampus Merdeka membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan <a href="https://www.tanotofoundation.org/en/news/the-independent-campus-policy-a-bid-to-remove-students-horse-blinders/">berpikir kritis dan pemecahan masalah</a>, serta kompetensi unik dan spesifik lainnya yang memberi mereka keunggulan di lapangan kerja. Jika mereka gagal memanfaatkan ini akibat kemandirian yang rendah, mahasiswa akan punya <a href="https://www.associationofmbas.com/the-art-of-critical-thinking-in-business-management-should-be-taught-from-a-young-age/">daya tawar profesional (<em>employibility</em>)</a> yang lebih rendah pula.</p>
<p><em>Ketiga</em>, kemandirian belajar yang rendah – terutama dalam indikator <em>monitoring diri</em> – membuat mahasiswa kesulitan untuk memetakan kekurangan dalam kompetensi akademik dan profesional mereka supaya <a href="https://blogs.illinois.edu/view/8605/1833882347">bisa senantiasa berbenah</a>. Kapasitas ini merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan menjadi pemimpin, manajer, edukator, wirausahawan, hingga akademisi.</p>
<h2>Meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa</h2>
<p>Berkaca dari rendahnya kemandirian belajar mahasiswa dan risiko yang menyertainya, ada beberapa langkah solusi yang menurut kami bisa diterapkan di lingkungan pendidikan tinggi:</p>
<ol>
<li><p>Dosen bisa melakukan inovasi pembelajaran, seperti menggunakan model belajar dan media yang inovatif, untuk meningkatkan motivasi belajar – indikator pertama dalam kemandirian belajar. <a href="https://www.researchgate.net/publication/349253187_Increasing_Students_Critical_Thinking_Skills_and_Learning_Motivation_Using_Inquiry_Mind_Map">Riset kami tahun 2021</a>, misalnya, menemukan bahwa pendekatan <em>mind mapping</em> (pemetaan pikiran dan pertanyaan) dalam pembelajaran suatu topik bisa membantu meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Beberapa akademisi lain juga menyarankan model-model <a href="https://theconversation.com/tiga-cara-mencegah-mahasiswa-memakai-joki-untuk-tugas-kuliah-186204">proyek akademik</a> yang personal hingga penerapan konsep ‘<a href="https://theconversation.com/we-took-away-due-dates-for-university-assignments-heres-what-we-found-193024">pembelajaran hiperfleksibel</a>’.</p></li>
<li><p>Kampus bisa memperbaiki sistem <a href="https://www.sciencepublishinggroup.com/journal/paperinfo?journalid=203&doi=10.11648/j.ajap.20170605.17"><em>monitoring</em> hambatan mahasiswa</a> – misalnya dengan evaluasi hasil belajar secara berkala atau penyebaran angket yang menanyakan tantangan akademik atau profesional yang dialami mahasiswa. Dengan refleksi rutin, kampus bisa lebih mudah mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh untuk meningkatkan kemandirian belajar.</p></li>
<li><p>Selain itu, kampus juga perlu memberi mahasiswa akses terhadap layanan konseling psikologis. Tak hanya berkaitan dengan pengelolaan gangguan seperti rasa kecemasan (<em>anxiety</em>), terapi juga bisa menjadi ruang untuk mendiskusikan tentang hambatan fokus, kemandirian, dan apsirasi akademik atau karir mahasiswa. Kampus, misalnya, bisa <a href="https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658">bekerja sama dengan lembaga layanan psikologis</a> untuk mewujudkan hal ini.</p></li>
<li><p>Salah satu faktor yang berkontribusi pada rendahnya motivasi dan kemandirian belajar mahasiswa, bisa jadi adalah <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">tingginya tingkat salah jurusan di Indonesia</a>. Mengatasi masalah ini sejak di level pendidikan menengah – misalnya memperbesar peluang pelajar <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">mengeksplorasi minat bakat</a> mereka melalui kurikulum yang lebih fleksibel atau layanan konsultasi karir di SMA – bisa menjadi langkah antisipasi sebelum masuk perguruan tinggi.</p></li>
</ol><img src="https://counter.theconversation.com/content/193625/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rima Meilita Sari menerima dana dari BRIN dan Tanoto Fondation melalui program DRIVEN 2022. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Euis Yumirawati menerima dana dari BRIN dan Tanoto Fondation melalui program DRIVEN 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Heni Waluyo Siswanto menerima dana dari BRIN dan Tanoto Fondation melalui program DRIVEN 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ridhwan menerima dana dari BRIN dan Tanoto Fondation melalui program DRIVEN 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tengku Muhammad Sahudra menerima dana dari BRIN dan Tanoto Fondation melalui program DRIVEN 2022.</span></em></p>Makin banyak kampus mengadopsi student-centered learning, termasuk skema Kampus Merdeka. Tapi apakah mahasiswa punya kemandirian untuk bisa memanfaatkannya dengan baik?Rima Meilita Sari, Assist. Prof. in Geography Education Study Program, Universitas Samudra, Universitas SamudraEuis Yumirawati, Perekayasa Ahli Muda di Pusat Riset Pendidikan, Organisasi Riset IPS Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Heni Waluyo Siswanto, Researcher at BRIN, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Ridhwan, Dosen, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Al Washliyah Banda AcehTengku Muhammad Sahudra, Dr / Dosen Pendidikan Geografi, Universitas SamudraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1768952022-02-18T07:25:46Z2022-02-18T07:25:46ZTak hanya nasionalisme dan religiositas, budaya sekolah kunci sesungguhnya dari pendidikan karakter: begini cara memupuknya<p>Sejak lama, Indonesia menyerukan pentingnya pendidikan karakter.</p>
<p>Indonesia memiliki Peraturan Presiden tahun 2017 tentang <a href="https://setkab.go.id/wp-content/uploads/2017/09/Perpres_Nomor_87_Tahun_2017.pdf">Penguatan Pendidikan Karakter</a>. Aspek ini juga masuk dalam <a href="https://theconversation.com/bagaimana-desain-ideal-tes-pengganti-un-yang-diusung-menteri-nadiem-akademisi-berpendapat-130059">Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> yang digagas Kementerian Pendidikan (Kemendkbud-Ristek) untuk menggantikan Ujian Nasional (UN).</p>
<p>Namun, saat membicarakan pendidikan karakter, kita sering bertumpu pada dimensi <a href="https://asumsi.co/post/6471/pemerintah-wajibkan-kampus-negeri-putar-indonesia-raya-hari-selasa-dan-kamis-kenapa">nasionalisme</a> dan <a href="https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/penguatan-pendidikan-karakter-melalui-pendidikan-agama-di-sekolah-menimbang-jumlah-hari-sekolah">religiositas</a> saja.</p>
<p>Prioritas sekolah yang menggebu-gebu pada kedua hal tersebut dapat mengabaikan aspek lain yang mempunyai kaitan lebih erat dengan pendidikan karakter – yakni <a href="https://theconversation.com/darurat-mutu-pembelajaran-mengapa-wali-murid-jarang-protes-ke-sekolah-dan-pemerintah-110030">budaya sekolah sebagai organisasi akademis penentu kinerja pembelajaran</a> – yang di Indonesia kualitasnya masih buruk.</p>
<p>Kemendikbud-Ristek melalui <a href="https://mutudidik.files.wordpress.com/2017/02/konsep-dan-pedoman-ppk.pdf">Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter</a> juga mengamanatkan bahwa pendidikan karakter tak boleh lepas dari penguatan lingkungan dan nuansa akademis.</p>
<p><a href="https://www.studimanajemen.com/2019/04/budaya-organisasi-edgar-schein.html">Budaya organisasi</a>, dalam hal ini budaya sekolah, mempunyai pengaruh besar dalam menuntun warga sekolah melalui norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial dan perangai intelektual mereka.</p>
<p>Ini dapat berupa sikap disiplin, tanggung jawab dan integritas, kegemaran membaca dan rasa ingin tahu yang kuat, kepedulian lingkungan maupun sosial, hingga semangat toleransi dan demokrasi.</p>
<p>Lalu, bagaimana cara membangun budaya sekolah yang kuat?</p>
<h2>Kepala sekolah sebagai nakhoda</h2>
<p>Budaya organisasi dapat berkembang berkat adanya orang hebat dan figur pemimpin yang membangun dan merawatnya. Di sekolah, kepala sekolah harus memegang peran kunci tersebut.</p>
<p>Sayangnya, penelitian yang dilakukan SMERU Research Institute pada tahun 2020 menemukan <a href="https://theconversation.com/amp/manajemen-sekolah-adalah-kunci-sukses-siswa-tapi-kualitas-kepala-sekolah-di-indonesia-meragukan-129626">hanya 20% kepala sekolah</a> yang berupaya meningkatkan kualitas akademis murid melalui perbaikan budaya pembelajaran.</p>
<p>Mayoritas kepala sekolah lebih tertarik untuk menetapkan indikator keberhasilan berupa meluluskan murid kelas 6 dengan nilai baik.</p>
<p>Lembaga konsultan manajemen di bidang kepemimpinan, <a href="https://idnextleader.id/membangun-budaya-organisasi-yang-kuat/">Next Leader</a>, menawarkan panduan bagaimana membangun budaya di suatu organisasi. Ini dimulai dengan merumuskan visi dan misi secara jelas, mengembangkan nilai organisasi sebagai patokan perilaku warganya, menjalin komunikasi yang efektif, dan melakukan penilaian kinerja secara berkala.</p>
<p>Jika strategi ini diterapkan di lingkungan sekolah, maka langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:</p>
<p><strong>Pertama</strong>, para pemangku kepentingan sekolah perlu duduk bersama untuk menetapkan visi yang ingin dicapai dan misi yang harus dikerjakan.</p>
<p>Budaya sekolah yang kuat tidak terlahir dan berkembang dengan sendirinya. Ia dibangun dengan desain tertentu melalui kepemimpinan kepala sekolah selama bertahun-tahun.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ832903.pdf">Sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat (AS)</a> yang mengamati sekitar 100 sekolah menemukan bahwa sekolah berkinerja tinggi memiliki visi dan misi organisasi yang fokus pada keberhasilan akademis dengan menyediakan lingkungan belajar yang menantang.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sekolah perlu merumuskan patokan sikap dan perilaku yang terukur berdasarkan visi yang sudah ditetapkan.</p>
<p>Ini dapat berupa kewajiban bagi warga sekolah untuk saling menyapa dengan ramah. Karakter ini ditanamkan tidak hanya bagi murid untuk menghormati guru, tapi juga bagi guru terhadap murid dan wali murid.</p>
<p>Dalam aspek pembelajaran, guru juga bisa menanamkan budaya pembelajaran yang selalu terbuka dengan dialog dan perdebatan akademis sehingga memupuk daya kritis murid.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kepala sekolah harus mampu mengomunikasikan standar karakter dan perilaku tersebut secara efektif agar semua warga sekolah benar-benar melaksanakannya dengan konsisten.</p>
<p>Kepala sekolah dan guru tentu harus tampil terdepan sebagai contoh yang menjalankan standar sikap dan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, kepala sekolah perlu mengevaluasi secara berkala berbagai praktik tersebut untuk menjaga kelangsungan budaya sekolah.</p>
<h2>Budaya sekolah harus partisipatif dan inklusif</h2>
<p>Budaya suatu organisasi tercipta dalam <a href="https://inspirasifoundation.org/wp-content/uploads/2021/06/14-562-15640467674-7.pdf">waktu yang panjang</a> dan tidak tumbuh di ruang hampa.</p>
<p>Pembentuk utama budaya organisasi bersumber dari masyarakat sekitar yang dibawa masuk ke tempat tersebut oleh anggotanya – misalnya wali murid yang terlibat di sekolah karena ada anak mereka.</p>
<p>Berbagai regulasi pemerintah, khususnya di bidang pendidikan, juga turut membentuk budaya sekolah.</p>
<p>Menurut <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ832903.pdf">penelitian yang sama di Texas, AS</a>, misalnya, misi suatu sekolah hanya akan efektif apabila memasukkan unsur kemitraan dengan orang tua dan masyarakat supaya tidak hanya tinggal di atas kertas.</p>
<p>Dengan kekuatan kemitraan itu, kepala sekolah, guru, dan murid dapat didorong untuk benar-benar melaksanakannya. </p>
<p>Studi lain yang menginvestigasi <a href="https://theconversation.com/school-vision-and-mission-statements-should-not-be-dismissed-as-empty-words-97375">lebih dari 300 sekolah di Victoria, Australia</a>, menunjukkan perlunya sekolah menelaah visi dan misi secara teratur, agar selalu sesuai dengan kebutuhan murid dan perkembangan yang terjadi di masyarakat.</p>
<p>Visi dan misi sekolah harus disusun secara kolektif bersama berbagai pihak – orang akan lebih berkomitmen menjalankan suatu pernyataan apabila mereka ikut merumuskannya. Ini juga berarti visi dan misi sekolah tidak boleh diseragamkan secara nasional dan harus disesuaikan dengan konteks lokal.</p>
<p>Tidak hanya bersifat partisipatif, budaya sekolah juga perlu bersifat inklusif. </p>
<p>Bahasa, sebagai representasi budaya masyarakat yang <a href="https://belajarbahasa.id/artikel/dokumen/167-inilah-bukti-bahwa-bahasa-menunjukkan-budaya-suatu-bangsa-2016-10-17-03-23">menuntun jalan pikiran penuturnya</a>, misalnya, sangat menentukan keterlibatan guru dan murid dalam menjunjung budaya sekolah. </p>
<p>Mayoritas penduduk Indonesia berbicara menggunakan bahasa Ibu (biasanya bahasa daerah mereka), bukan bahasa Indonesia.</p>
<p><a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2019/10/Risalah-Kebijakan-BAHASA-IBU.pdf">Kajian tahun 2019</a> yang dilakukan INOVASI, suatu kemitraan Indonesia-Australia, menemukan bahwa banyak murid, terutama di jenjang bawah tidak paham ketika guru berbicara dalam bahasa Indonesia.</p>
<p>Akibatnya, banyak dari mereka tidak hanya tertinggal dalam pembelajaran dan harus mengulang jenjangnya, tapi juga kesulitan mengikuti berbagai program dan gagasan yang dibuat sekolah sebagai bagian dari budaya sekolah.</p>
<p>Ini semakin menekankan bahwa budaya sekolah – termasuk bahasa yang digunakan – harus sensitif terhadap konteks lokal.</p>
<p>Ini juga menunjukkan bagaimana budaya sekolah, pengembangan karakter dan capaian akademik mempunyai pengaruh yang saling terhubung dan berkelindan.</p>
<p>Dengan arahan kepala sekolah, beserta dukungan dari semua pemangku kepentingan pendidikan, sekolah di Indonesia harus mulai membangun dan merawat budaya organisasi dalam institusi mereka masing-masing. Pada gilirannya, budaya sekolah diharapkan mampu berperan sebagai fondasi yang mewarnai karakter dan intelektualitas murid.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176895/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Budaya sekolah punya pengaruh besar dalam menuntun warga sekolah melalui norma, nilai, dan rutinitas yang membangun perilaku sosial dan perangai intelektual mereka.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1732662022-02-11T09:58:23Z2022-02-11T09:58:23ZMengapa “learning loss” adalah narasi yang bias: menjawab panik hilangnya capaian belajar di tengah pandemi<p>Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang buruk selama sekitar satu setengah tahun karena pandemi COVID-19 telah memicu banyak analisis tentang <em>learning loss</em> (hilangnya capaian belajar) di berbagai media.</p>
<p>Sebagian besar menggarisbawahi dampak buruknya untuk siswa, termasuk potensi <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/02/12/160518571/pjj-berkepanjangan-pengamat-pendidikan-ugm-khawatirkan-learning-loss?page=all">merosotnya performa pendidikan nasional</a> atau <a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">melebarnya kesenjangan</a> antara siswa kaya dan miskin. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tutupnya-sekolah-menyebabkan-learning-loss-dan-memperlebar-ketimpangan-antara-siswa-kaya-dan-miskin-158425">Tutupnya sekolah menyebabkan '_learning loss_' dan memperlebar ketimpangan antara siswa kaya dan miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Wacana <em>learning loss</em> kemungkinan juga akan kembali ramai di tengah <a href="https://tirto.id/tarik-ulur-keputusan-ptm-50-persen-saat-gelombang-ketiga-covid-19-gozh">tarik ulur sekolah tatap muka</a> akibat gelombang Omicron.</p>
<p>Namun, menurut kami, masyarakat perlu lebih jernih dalam memahami kecemasan terkait <em>learning loss</em> akibat pandemi. Mengapa?</p>
<p>Permasalahan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Lama sebelum pandemi, negara ini sudah dihantui banyak faktor dan kendala yang menimbulkan <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">penurunan capaian belajar</a> – dari <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">rendahnya kompetensi guru</a> hingga <a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">pembelajaran yang tak tuntas</a>.</p>
<p>Selain itu, berkurangnya asupan akademik siswa akibat PJJ juga <a href="https://www.bostonglobe.com/2020/09/03/opinion/when-schools-out-kids-suffer-less-than-you-might-think/">tak serta merta mengurangi perkembangan intelektual mereka</a>.</p>
<p>Beberapa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/00346543066003227">studi</a> dan <a href="https://www.educationnext.org/is-summer-learning-loss-real-how-i-lost-faith-education-research-results/">kajian akademik</a> di Amerika Serikat (AS), misalnya, menemukan tutupnya sekolah dalam periode yang lama, misalnya akibat libur musim panas, tidak mengurangi kemampuan belajar, melainkan hanya hasil <em>standardized test</em> (seperti Ujian Nasional) – suatu hal yang berupaya ditinggalkan oleh Indonesia.</p>
<p>Dalam tulisan ini, kami menguraikan beberapa alasan mendasar mengapa kekhawatiran tentang <em>learning loss</em> cukup bias, dan menawarkan lensa alternatif dalam memahaminya. </p>
<h2><em>Learning loss</em> sudah terjadi sebelum pandemi</h2>
<p>Pertama, <em>learning loss</em> sudah lama terjadi akibat kualitas pengajaran yang buruk di Indonesia.</p>
<p>Berbagai studi menemukan bahwa beragam masalah di Indonesia seperti <a href="https://theconversation.com/proses-rekrutmen-sebagai-asn-membuat-guru-di-indonesia-berkualitas-rendah-143443">rekrutmen guru yang kurang tepat sasaran</a> hingga <a href="https://theconversation.com/dukungan-pengembangan-karier-bagi-guru-sangat-lemah-dan-membuat-status-asn-hanya-jadi-zona-nyaman-169159">pengembangan karir guru yang lemah</a> menghambat produksi guru yang unggul. </p>
<p>Alhasil, <a href="https://dergipark.org.tr/en/download/article-file/258584">sedikit sekali guru di Indonesia</a> yang mampu memandu pembelajaran yang berpusat pada siswa (atau sering disebut “<a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED581111.pdf">pembelajaran aktif</a>” sebagai kontras dari “pembelajaran pasif” yang berpusat pada guru).</p>
<p>Pendekatan ini sangat efektif dalam membantu siswa menyerap dan menginternalisasi pembelajaran, serta meminimalisasi <em>learning loss</em>.</p>
<p>Riset yang dilakukan penulis pertama <a href="https://www.culi.chula.ac.th/publicationsonline/files/article/MxfBfXHgp1Tue35336.pdf">di Jawa Tengah</a>, misalnya, menemukan bahwa minimnya pembelajaran aktif – hanya duduk mendengarkan guru – membuat siswa rentan kehilangan kosakata dalam suatu kelas Bahasa Inggris.</p>
<p>Konsekuensinya, pembelajaran yang buruk di Indonesia ini mengakibatkan kehilangan capaian belajar selama bertahun-tahun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">Naik kelas tapi tak belajar: penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Peneliti pendidikan AS, Christopher Bjork pernah memaparkan <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203959015/indonesian-education-christopher-bjork">dalam bukunya tahun 2005</a> bahwa pembelajaran satu arah yang berbasis hafalan (<em>rote learning</em>) di Indonesia sejak 1990-an gagal total dalam menstimulasi perkembangan intelektual siswa. Jangankan stagnan, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059321000894">riset dari SMERU</a> bahkan menemukan hasil belajar anak Indonesia pada 2014 lebih rendah dari tahun 2000. </p>
<p>Artinya, <em>learning loss</em> bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul akibat pandemi – hanya saja menjadi lebih terlihat.</p>
<p>Membuka kembali sekolah tatap muka tak menjamin <em>learning loss</em> akan teratasi jika pembelajaran terus berpusat pada guru.</p>
<h2>Kembali terobsesi pada standardisasi</h2>
<p>Kedua, potensi <em>learing loss</em> selama pandemi sebenarnya sudah diantisipasi melalui modifikasi kurikulum.</p>
<p>Kementerian Pendidikan (Kemendikbud-Ristek), misalnya, telah menerbitkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/08/kemendikbud-terbitkan-kurikulum-darurat-pada-satuan-pendidikan-dalam-kondisi-khusus">Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus</a>.</p>
<p>Pedoman tersebut memberi ruang bagi sekolah untuk mengggunakan semacam “Kurikulum Darurat” – mengurangi sejumlah kompetensi dasar atau menyederhanakan kurikulum secara mandiri – sehingga <a href="https://theconversation.com/sekolah-perlu-terapkan-kurikulum-mandiri-saat-pandemi-bukan-kurikulum-darurat-anjuran-mendikbud-nadiem-144742">fokus pada aspek belajar yang dianggap esensial</a> sembari menyesuaikan kondisi siswa yang berbeda-beda.</p>
<p>Meski demikian, modifikasi ini berarti tak semua kompetensi dasar yang telah dikuasai siswa di kurikulum sebelumnya dituntaskan di jenjang mereka sekarang.</p>
<p>Ketidaktuntasan ini menghadirkan konsekuensi <em>learning loss</em> – tapi ini disrupsi yang “terantisipasi”.</p>
<p>Semestinya narasi <em>learning loss</em> tidak digunakan sebagai justifikasi utama penyelenggaraan PTM karena negara sudah menyepakati dan memfasilitasi kurikulum khusus ini.</p>
<p>Alih-alih, menggaungkan narasi <em>learning loss</em> justru berlawanan dengan berbagai inisiatif Kemendikbud-Ristek untuk menjauh dari semangat standardisasi – termasuk Kurikulum Darurat tersebut maupun filosofi “Merdeka Belajar” yang diperkenalkan dua tahun silam.</p>
<p>“[Merdeka Belajar] maknanya bukan keseragaman, bukan standardisasi, bukan ujian penentu (<em>high-stakes testing</em>) bagi anak,” <a href="https://www.youtube.com/watch?v=-I6A44QtMv0">kata Menteri Nadiem</a> dalam suatu diskusi pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat.</p>
<p>Sementara, saat orang membahas hilangnya “capaian” belajar, <a href="https://www.bostonglobe.com/2020/09/03/opinion/when-schools-out-kids-suffer-less-than-you-might-think">yang mereka maksud</a> seringkali capaian dalam ujian atau skor kecakapan lainnya yang mengedepankan standardisasi.</p>
<p>Maka gamblang bahwa narasi <em>learning loss</em> tak sejalan dengan filosofi ini.</p>
<h2>Beban tambahan di tengah pandemi</h2>
<p>Ketiga, pembicaraan terkait <em>learning loss</em> sering memunculkan label seperti “<a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/mendikbudristek-nadiem-satu-generasi-learning-loss-tak-bisa-dikembalikan-lagi.html">generasi <em>learning loss</em></a>” atau “<a href="https://banpaudpnf.kemdikbud.go.id/berita/menjawab-tantangan-lost-learning-dan-lost-generation-di-tengah-pandemi">generasi tertinggal</a>”.</p>
<p>Pelabelan ini berkonotasi hukuman dan tak manusiawi.</p>
<p>Pandemi COVID-19 ini adalah pademi global. Para siswa kita tak sendirian menghadapinya. Ratusan juta siswa lain di bumi ini juga mengalaminya. Kita tidak ingin menggaungkan keputusasaan; kita ingin menggemakan harapan pada mereka.</p>
<p>Di luar persoalan sekolah, ketika pandemi memuncak di Indonesia pada pertengahan 2021, banyak siswa dan orang tua menyaksikan kematian, krisis kesehatan, ketimpangan sosial ekonomi, hingga merasakan tekanan psikologis.</p>
<p>Kita perlu mempertanyakan kembali: apakah bijak terus menerus melanggengkan stigma terkait <em>learning loss</em>?</p>
<h2>Siapa yang diuntungkan dari narasi <em>learning loss</em>?</h2>
<p>Keempat, kita perlu mempertimbangkan bahwa narasi <em>learning loss</em> adalah suatu hasil konstruksi sosial. Ada yang untung dan ada yang rugi akibat narasi ini.</p>
<p>Konstruksi <em>learning loss</em> dekat dengan pelabelan “yang tertinggal” atau capaian akademik generasi sekarang yang mengalami kesenjangan atau penurunan. </p>
<p>Pertanyaannya, apa definisi “yang tertinggal”? Siapa yang mengonstruksinya? Apakah ada konflik kepentingan yang harus kita waspadai?</p>
<p>Menurut kami, di tengah pandemi, hal ini merupakan narasi yang sangat menguntungkan bagi kelangsungan aktor pendidikan yang bergantung pada capaian siswa yang rendah – misalnya <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">lembaga bimbingan belajar (bimbel)</a>.</p>
<p>Ini juga jadi pintu masuk bagi platform pendidikan daring berbayar untuk menginisiasi kerja sama dengan pemerintah dengan dalih sebagai suplemen untuk pembelajaran daring yang kualitasnya belum baik. Beberapa pihak bahkan menyebut mereka sebagai “<a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/16/predator-pendidikan">predator pendidikan</a>” di tengah pandemi.</p>
<h2>Sikap yang tepat</h2>
<p>Ketika kita membicarakan <em>learning loss</em>, sesungguhnya ini juga merupakan seruan bersama untuk mengajak guru Indonesia berbenah. Namun, kita perlu bijak.</p>
<p>Banyak guru saat ini belum memiliki bekal untuk menyelenggarakan pembelajaran aktif menggunakan teknologi digital baik untuk pembelajaran jarak jauh, tatap muka, maupun campuran keduanya (<em>hybrid learning</em>).</p>
<p>Rasanya tak elok terus menerus dan menyoal <em>learning loss</em> saat para guru tengah berupaya – bahkan sebagian besar harus belajar dari nol – untuk menyelenggarakan pembelajaran yang efektif selama pandemi. </p>
<p>Kami merekomendasikan masyarakat maupun para aktor dunia pendidikan untuk meninggalkan pandangan yang bias terkait <em>learning loss</em>.</p>
<p>Sebaliknya, kita perlu beralih ke pendekatan atau <a href="https://www.proquest.com/openview/ec74cc970a7a4fd125b833158e23000a/1?pq-origsite=gscholar&cbl=41436">lebih apresiatif dan produktif</a>.</p>
<p>Guru harus terus didorong untuk menggali apa yang telah para siswa pahami, kuasai, dan tunjukkan selama belajar dari rumah – selambat apa pun kemajuan mereka. Ini menjadi <a href="https://theconversation.com/kembalinya-sekolah-tatap-muka-tiga-langkah-darurat-untuk-pulihkan-kemampuan-siswa-pasca-setahun-lebih-belajar-di-rumah-167959">titik berangkat</a> dalam menyelenggarakan pembelajaran ketika sekolah hendak dibuka kembali.</p>
<p>Berangkat dari situlah para siswa dapat tumbuh dan maju tanpa beban sebagai “generasi <em>learning loss</em>”.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173266/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Pada tahun 2018 dan 2019, Puji Astuti menerima dana dari DRPM skema penelitian dasar unggulan perguruan tinggi (PDUPT) untuk penelitian tentang pembelajaran kooperatif.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Teguh Kasprabowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kecemasan terkait hilangnya capaian belajar siswa selama pandemi, atau “learning loss”, seringkali merupakan narasi yang bias. Kami menawarkan lensa alternatif untuk memahaminya.Puji Astuti, Associate Professor of TEFL Methodology, Universitas Negeri SemarangTeguh Kasprabowo, Assistant Professor of Creative Writing, Universitas Stikubank SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1679832022-01-04T08:03:53Z2022-01-04T08:03:53ZBagaimana membuat kuliah tidak membosankan: jawabannya bukan teknologi, tapi memahami cara mengajar yang baik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/421256/original/file-20210915-15-1hn8knb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4299%2C2866&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bored-male-student-listens-lecture-university-1077839498">Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dengan kembalinya pembelajaran tatap muka di beberapa universitas Australia tahun ini, Wakil Rektor Australian National University (ANU), Brian Schmidt <a href="https://campusmorningmail.com.au/news/lets-it-hear-for-live-and-in-person%20-lecturing/">memperkirakan</a> bahwa jumlah perkuliahan akan berkurang dan tidak sekadar menjadi solusi memperbaiki pengajaran <em>online</em> yang kurang optimal selama pandemi. </p>
<p>Sejak saat itu pula, banyak pihak telah <a href="https://www.aare.edu.au/blog/?p=8996">mendiskusikan bagaimana perkuliahan yang ideal</a>, termasuk wakil rektor University of Technology Sydney dan direktur National Center for Student Equity in Higher Education di Australia Barat, dengan berbagai gagasan – mulai dari <a href="https://www.aare.edu.au/blog/?p=8377">kembali mengadopsi sistem kuliah seperti biasa hingga menghapuskan kuliah sepenuhnya</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1361073268451463171"}"></div></p>
<p>Selama ini memang ada <a href="http://www.theguardian.com/higher-education-network/blog/2014/may/15/ten-reasons-we-should-ditch-university-lectures">banyak kritikan</a> terhadap sistem perkuliahan. Namun, ketergantungan pada teknologi yang mendadak muncul karena COVID ini telah menguatkan seruan untuk mengakhiri tradisi perkuliahan. Dari berbagai wacana yang beredar, kuliah akan digantikan dengan <a href="https://theconversation.com/covid-killed-the-on-campus-lecture-but-will-unis-raise-it-from-the-dead-152971">berbagai sistem teknologi yang canggih</a>.</p>
<p>Berbagai aspirasi ini didasari oleh dua asumsi: bahwa kuliah adalah sarana pengajaran yang buruk, dan penggunaan teknologi akan memperbaiki pembelajaran.</p>
<p>Tetapi, apakah asumsi-asumsi ini tepat? Ketimbang mentah-mentah menolak kuliah dan mengadopsi teknologi, ada baiknya kita melihat kedua aspek ini, beserta keterkaitan antar keduanya, dengan lebih dekat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-menciptakan-kelas-online-yang-interaktif-di-tengah-pandemi-covid-19-pelajaran-dari-singapura-140738">Cara menciptakan kelas _online_ yang interaktif di tengah pandemi COVID-19: pelajaran dari Singapura</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Suka-duka kita terkait sistem perkuliahan</h2>
<p>Wacana tentang penghapusan sistem kuliah biasanya memiliki beberapa pola.</p>
<p>Keluhan paling umum menyebutkan bahwa kuliah adalah sistem yang didaktik (seperti “menceramahi”) dengan <a href="https://www.sciencemag.org/news/2014/05/lectures-arent-just-boring-theyre-ineffective-too-study-%20menemukan">pembelajaran yang pasif dan membosankan</a>. Kritik ini sering disertai dengan argumen bahwa rentang perhatian siswa di kelas hanya sebatas <a href="https://resilienteducator.com/classroom-resources/short-attention-span-class-structure/">10-18 menit</a> saja.</p>
<p>Meskipun <a href="https://journals.physiology.org/doi/full/10.1152/advan.00109.2016">klaim ini tidak terbukti</a>, kita semua pernah merasakan betapa susahnya fokus dan tetap terjaga saat diceramahi oleh dosen di depan kelas. Tapi, sebaliknya, kita juga pernah merasakan beberapa sesi perkuliahan yang sangat menarik dan mengasyikkan.</p>
<p>Siapa pun yang pernah menghadiri TED Talk, atau setidaknya menontonnya di YouTube, tahu bagaimana rasanya terpikat oleh presentasi seseorang selama <a href="https://www.ted.com/participate/organize-a-local-tedx-%20acara/tedx-organizer-guide/speakers-program/event-program">3-18 menit</a> tersebut.</p>
<p>Tapi bisakah kuliah tetap menarik perhatian orang-orang jika melebihi 18 menit?</p>
<p>Mendiang Profesor Randy Pausch terkenal karena kuliahnya yang berkualitas dan menggugah, terlebih pada kelas terakhirnya, “<a href="https://www.cmu.edu/randyslecture/"><em>Randy Pausch’s Last Lecture</em></a>”, yang disampaikannya setelah menerima diagnosis kanker pankreas yang mematikan. Ceramah itu disampaikan dalam waktu kurang lebih satu jam 15 menit, dan banyak yang menganggapnya sebagai suatu mahakarya <a href="https://www.nytimes.com/2008/04/08/health/08well.html">pengajaran dan komunikasi</a>.</p>
<p>Kuliah yang berdurasi panjang memang dapat berdampak besar bagi seseorang. Tapi, untuk benar-benar memberikan dampak positif itu, seseorang perlu memahami faktor yang membuat suatu kuliah menjadi berkualitas lalu berkomitmen untuk terus memperbaikinya.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/ji5_MqicxSo?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Sesi kuliah terakhir Randy Pausch.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Terus bereksperimen dan berefleksi</h2>
<p>Pausch menantang stereotip tentang apa itu perkuliahan. Dia menggunakan <a href="https://www.talkingaccounting.com/2019/01/07/using-props-in-the-classroom/">alat peraga fisik, multimedia, dan sumber daya lainnya</a> untuk mendorong batas-batas perkuliahan yang selama ini membosankan dan cenderung satu arah. Hasilnya adalah suatu sesi kuliah yang dinamis dan senantiasa melibatkan audiens sehingga mampu memikat dan mempertahankan atensi mereka.</p>
<p>Memberikan kuliah dengan kualitas seperti itu memerlukan lebih dari sekadar pengalaman. Kita harus <a href="https://poorvucenter.yale.edu/ReflectiveTeaching">mengevaluasi praktik mengajar kita</a>, merefleksikan kembali kualitas dan tujuan pemaparan kita di kelas, kemudian berkomitmen untuk mengembangkan kuliah tersebut maupun kemampuan komunikasi diri kita sendiri.</p>
<p>Profesor Eric Mazur menjelaskan bagaimana ia, saat mengajar fisika di Harvard pada tahun 1990-an, menyadari bahwa <a href="https://harvardmagazine.com/2012/03/twilight-of-the-lecture">kuliahnya gagal</a> membuat murid-muridnya tetap tertarik atau pun memenuhi tujuan pembelajaran mata kuliah tersebut. Kesadaran ini akhirnya ia digunakan sebagai batu loncatan untuk meningkatkan kuliahnya dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan pengajarannya.</p>
<p>Sejak saat itu, Mazur kerap dianggap sebagai ahli dalam meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam kuliah. Dia telah menciptakan berbagai solusi bagi para akademisi untuk membuat siswa tetap aktif dalam perkuliahan, bahkan melampaui batas 18 menit. Teknik yang dianjurkan oleh <a href="https://mazur.harvard.edu/presentations/keynote-twilight-lecture-peer-instruction-active-learning">Mazur</a> mencangkup berbagai hal; mulai dari <a href="https://youtu.be/Z9orbxoRofI">mengintegrasikan instruksi antar mahasiswa ke dalam kuliah</a> hingga <a href="https://youtu.be/iisnPrQLcNU">menggunakan platform kolaboratif yang canggih</a> untuk memastikan persiapan mahasiswa sebelum kuliah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/universitas-bisa-gandeng-platform-kelas-online-untuk-wujudkan-visi-kampusmerdeka-nadiem-147924">Universitas bisa gandeng platform kelas online untuk wujudkan visi #KampusMerdeka Nadiem</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Hilangkan asumsi, bukan perkuliahan</h2>
<p>Lalu bagaimana dengan klaim bahwa munculnya teknologi dapat menggantikan tradisi perkuliahan? Hal ini tampaknya perlu kita ragukan karena beberapa alasan.</p>
<p>Metode Pausch dan Mazur dapat ditransfer ke ruang <em>online</em>, sekalipun kita tidak menyebutnya lagi sebagai “perkuliahan”. Wujudnya dapat kita lihat di platform pembelajaran <em>online</em> terkemuka seperti <a href="https://www.khanacademy.org">Khan Academy</a> atau <a href="https://www.linkedin.com/learning/">LinkedIn Learning</a> (sebelumnya <a href="https://www.lynda.com">Lynda</a>). Beragam bentuk pengajaran ini membuat kami sadar bahwa teknologi dapat benar-benar membantu kuliah alih-alih sekadar menggantikannya.</p>
<p>Nah, sekarang mari kita balik pertanyaannya: apakah penggunaan teknologi dapat menjamin dan bahkan memperbaiki sistem pengajaran?</p>
<p>Teknologi dapat mempermudah berbagai praktik, seperti penggunaan <a href="https://elearning.uq.edu.au/guides/virtual-classroom/using-zoom-tips">fitur <em>polling</em> (jejak pendapat), <em>break-out room</em> (ruang diskusi privat layaknya di Zoom), serta <em>timer</em> (penerapan batas waktu)</a>. Teknologi bahkan dapat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6798020/">membuka ruang untuk berbagai kemungkinan dan paradigma baru</a> dalam pengajaran. Namun tentu tidak ada jaminan pasti.</p>
<p>Jumlah <a href="http://hackeducation.com/2019/12/31/what-a-shitshow">teknologi pendidikan yang berujung gagal</a> sangatlah banyak. Saat membedah apa yang salah, kami menemukan beberapa <a href="https://www.insidehighered.com/blogs/higher-ed-gamma/why-most-ed-tech-fails">kesalahpahaman yang umum terjadi</a>.</p>
<p>Salah satunya adalah kesalahpahaman bahwa menggunakan teknologi otomatis sama dengan meningkatkan kualitas pengajaran. Teknologi tidak membawa nilai pedagogis. Mengganti podium presentasi menjadi iPad tidak kemudian mengubah pembelajaran yang biasanya membosankan dan satu arah, tiba-tiba menjadi interaktif dan hidup.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Siswa yang kesulitan untuk memperhatikan kuliah online" src="https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/401465/original/file-20210519-3808-mr67wn.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kuliah yang bersifat satu arah dan membosankan adalah pengajaran yang buruk, baik jika itu disampaikan secara <em>online</em> maupun <em>offilne</em>.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bored-unhappy-woman-watching-lon-online-1873189777">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sama seperti kuliah, penggunaan teknologi harus berangkat dari komitmen kuat untuk membenahi pengajaran maupun pengajar itu sendiri.</p>
<h2>Jadilah kritis, reflektif, dan terus memperbaiki diri</h2>
<p>Teknologi tidak pernah bisa menggantikan nilai pedagogis dari praktik belajar dan mengajar. Meski teknologi dapat mendorong transformasi besar, ia tidak semestinya jadi syarat mutlak untuk memperbaiki cara mengajar.</p>
<p>Entah seseorang merupakan pengajar berteknologi tinggi atau pun rendah, ia tetap dapat memberikan kuliah yang baik atau menemukan alternatif lain yang efektif jika memprioritaskan teknik mengajar di atas teknologi.</p>
<p>Kita perlu menolak anggapan bahwa sistem perkuliahan adalah malapetaka bagi mahasiswa, dan juru selamatnya adalah teknologi. Alih-alih, mari kita menggali lebih dalam dan mengkritisi bagaimana cara meningkatkan praktik pengajaran, serta menerapkan metode mengajar yang baik untuk menciptakan pembelajaran yang menarik dan berdampak besar bagi mahasiswa.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167983/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa mahasiswa mempertanyakan kenapa harus kembali kuliah tatap muka. Yang lain kesulitan belajar online. Dosen yang baik berfokus pada teknik mengajar, entah media apa pun yang mereka gunakan.Christopher Charles Deneen, Associate Professor & Enterprise Research Fellow in Education Futures, University of South AustraliaMichael Cowling, Associate Professor – Information & Communication Technology (ICT), CQUniversity AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1693752021-11-08T09:15:04Z2021-11-08T09:15:04ZStudi tegaskan masifnya dampak orang tua dalam pembelajaran anak: kita harus bangun terus peran mereka selepas pandemi<p>COVID-19 dan pembelajaran jarak jauh “memaksa” orang tua mengemban beban raksasa mendampingi anaknya belajar di rumah, meskipun dengan <a href="https://obsesi.or.id/index.php/obsesi/article/view/705">berbagai tantangan</a>.</p>
<p><a href="https://www.povertyactionlab.org/project/learning-home-during-pandemic-experiences-parents-and-teachers">Kajian</a> dari pemerintah Jakarta bersama Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab Asia Tenggara (J-PAL SEA), misalnya, menemukan orang tua kesulitan memandu anak mereka fokus belajar – terutama untuk siswa kelas 1-3 di sekolah dasar (SD). Tantangan ini lebih besar lagi pada keluarga miskin karena minimnya akses pada materi, gawai, dan sambungan internet.</p>
<p>Hal di atas juga jadi <a href="https://www.detik.com/edu/sekolah/d-5692747/5-alasan-nadiem-mengapa-siswa-harus-segera-sekolah-tatap-muka">alasan pemerintah</a> mendorong sekolah di seluruh Indonesia untuk kembali menggelar tatap muka.</p>
<p>Kabar baiknya, <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/event/20210727_UNP%20-%20Profil%20Pembelajaran%20dan%20Potensi%20Pandemi.pdf">studi lembaga penelitian SMERU</a> di Bukittinggi, Sumatera Barat menunjukkan bahwa orang tua di sana berhasil melampaui berbagai tantangan tersebut.</p>
<p>Mayoritas orang tua punya kesadaran tinggi – terlepas latar belakang sosio ekonomi mereka – untuk membimbing anak mereka. Bahkan, capaian murid di Bukittinggi lebih tinggi selama pandemi ketimbang tahun sebelumnya.</p>
<p>Keberhasilan ini menunjukkan jika orang tua berkomitmen untuk mendampingi anak belajar di rumah, dampaknya sangat masif pada capaian akademik mereka.</p>
<p>Namun, untuk membangun komitmen yang tinggi seperti ini bagi orang tua di seluruh Indonesia, bahkan selepas pandemi, butuh kampanye dan strategi dari seluruh aktor sistem pendidikan.</p>
<h2>Kaya atau miskin, pendampingan yang efektif punya dampak masif</h2>
<p>Saat ini, <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/event/20210727_UNP%20-%20Profil%20Pembelajaran%20dan%20Potensi%20Pandemi.pdf">Program Research on Improving Systems of Education (RISE-SMERU)</a> di Indonesia tengah meneliti hasil belajar 1.500 murid SD kelas 2-5 selama pandemi di Bukittinggi.</p>
<p>Masyarakat Bukittinggi dikenal amat mengutamakan pendidikan. Mereka, misalnya, mempunyai ungkapan “Biarlah kurang makan, asal tidak kurang ilmu.”</p>
<p>Mayoritas murid di sana minim komunikasi dengan guru setelah sekolah tutup, tetapi selama di rumah mereka tetap belajar 6 hari per minggu bersama orang tua. Budaya ini sudah berjalan sebelum pandemi, dan kini makin gencar.</p>
<p>Penelitian kami bahkan mengungkap hasil tes numerasi dan literasi rancangan RISE-SMERU yang diraih murid selama belajar di rumah pada tahun 2020, lebih tinggi dibanding saat belajar tatap muka sepanjang tahun 2019.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=563&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=563&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=563&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=708&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=708&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/428115/original/file-20211024-21-1s4ruz2.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=708&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Hasil tes murid di Bukittinggi. Garis kuning menunjukkan tahun 2020, sementara garis biru menunjukkan tahun 2019.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(SMERU Research Institute)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Yang mengejutkan, meski hasil tes murid yang orang tuanya berpendidikan lebih rendah berada di bawah murid yang orang tuanya berpendidikan tinggi, murid dari seluruh kelompok sosio-ekonomi sama-sama mengalami peningkatan capaian saat pandemi.</p>
<p>Bahkan, peningkatan paling signifikan terlihat pada murid kelas bawah yang orang tuanya justru berpendidikan rendah – mengejar ketertinggalan mereka dari murid dari kelompok ekonomi lebih tinggi.</p>
<p>Penelitian ini belum final, dan kami masih menanti banyak temuan menarik lainnya. </p>
<p>Tapi, sejauh ini ada indikasi bahwa sepanjang orang tua punya komitmen dan dukungan yang kuat untuk membimbing anak belajar di rumah, hasilnya akan menakjubkan.</p>
<h2>Memupuk budaya mendampingi anak di rumah</h2>
<p>Sayangnya, semangat dan praktik di atas <a href="https://www.aeaweb.org/articles?id=10.1257/app.6.2.105">belum menjadi kebiasaan</a> kelompok masyarakat di banyak daerah lain.</p>
<p>Sebagai upaya mendobrak itu, RISE-SMERU menggagas kampanye untuk mendorong partisipasi aktif orang tua dalam pendidikan anak. Program ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah.</p>
<p>Mulai Februari 2020, setiap bulan kami gencar mengirimkan surat dan poster kepada orang tua murid di 65 SD, yang mengajak mereka berpartisipasi dalam pembelajaran anak.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=858&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=858&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=858&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1078&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1078&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/428119/original/file-20211024-19-16r502.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1078&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kampanye RISE-SMERU untuk meningkatkan pendampingan belajar anak oleh orang tua.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(SMERU Research Institute)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tema selebaran yang kami kirimkan memuat beberapa praktik baik yang bisa dilakukan orang tua – termasuk beberapa pelajaran penting dari studi SMERU di Bukittinggi.</p>
<p>Di antaranya adalah pedoman belajar di rumah, menciptakan suasana nyaman dan tenang untuk anak belajar, cara menyemangati anak belajar, membaca bersama anak, bagaimana berkomunikasi dengan guru, dan lain-lain.</p>
<p>Sekarang, para peneliti RISE-SMERU tengah menganalisis dampak tersebut.</p>
<p>Namun, apabila kami bisa mereplikasi semangat dan budaya pendampingan yang terjadi di Bukittinggi, cara ini bisa jadi model baik bagi pemangku kebijakan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.</p>
<h2>Sekolah bisa turut berperan dengan menggandeng orang tua</h2>
<p>Hilangnya capaian belajar, bersamaan dengan gerakan Merdeka Belajar gagasan Menteri Nadiem, mengingatkan masyarakat bahwa murid belajar dengan laju yang berbeda.</p>
<p>Guru di sekolah berperan mengidentifikasi capaian mereka yang berbeda-beda melalui asesmen rutin, untuk kemudian memberi materi belajar yang sesuai sehingga siswa bisa mengejar ketertinggalannya. <a href="https://www.povertyactionlab.org/case-study/teaching-right-level-improve-learning">Studi kami di J-PAL</a>, misalnya, meneliti metode asesmen bernama <a href="https://www.teachingattherightlevel.org/the-tarl-approach/">Mengajar di Level Yang Tepat (TARL)</a> yang telah teruji selama dua dekade di India.</p>
<p>Tapi, proses di atas tidak sepenuhnya bisa terjadi di sekolah sehingga guru perlu komunikasi rutin dengan orang tua.</p>
<p>Di sini, orang tua berperan melanjutkan proses pembelajaran anak sesuai arahan guru – apalagi di tengah masa transisi pembelajaran bauran antara sekolah dan rumah.</p>
<p>Meski demikian, orang tua punya kapasitas maupun <a href="https://www.povertyactionlab.org/project/learning-home-during-pandemic-experiences-parents-and-teachers">waktu untuk mendampingi yang berbeda</a> akibat pekerjaan mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">Survei: beban pendampingan belajar anak selama pandemi lebih banyak ke ibu ketimbang ayah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di sini, pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi dukungan yang pas untuk membantu orang tua sekaligus memantau pembelajaran siswa. <a href="https://www.povertyactionlab.org/sites/default/files/research-paper/working-paper_8778_Stemming-Learning-Loss-Pandemic_Botswana_Aug2020.pdf">Kajian dari J-PAL</a>, misalnya, menemukan bahwa perangkat sederhana seperti SMS hingga telepon efektif untuk mempererat pendampingan antara guru dan orang tua.</p>
<p>Namun, hal yang sebaliknya juga bisa dilakukan – mendekatkan orang tua kepada sekolah dan ruang kelas.</p>
<p>Pada akhir 1980-an, sekolah tempat anak salah satu dari kami belajar di Amerika Serikat mengundang orang tua dalam sebuah program kunjungan kelas secara bergiliran.</p>
<p>Hal berkesan yang terlihat adalah kecintaan murid kepada guru. Setiap anak yang datang ke sekolah, pertama-tama mencari gurunya untuk mengucapkan selamat pagi dan menunjukkan kehadirannya. Guru menyambut mereka dengan penuh keramahan.</p>
<p>Sementara di Indonesia, pada masa itu murid masih lebih cenderung menghindar kalau berpapasan dengan guru – mungkin hingga sekarang.</p>
<p>Tapi, yang lebih penting, kunjungan seperti ini memungkinkan orang tua <a href="https://www.teachingforchange.org/parents-visit-classrooms">memperoleh pengalaman dan pemahaman</a> tentang dinamika di ruang kelas anak mereka. Orang tua menerima informasi tentang apa yang diajarkan, serta mengetahui instruksi dan rencana kelas. Sebaliknya, guru memperoleh umpan balik yang berharga.</p>
<p>Pada akhirnya, ini memperkuat ikatan antara rumah dan sekolah.</p>
<p>Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota atau sekolah, misalnya, bisa merintis program kunjungan seperti ini. Rata-rata kelas di sekolah berisi 30 murid. Kalau setiap tahun kelas menyediakan 30 minggu untuk mengundang orang tua murid secara bergiliran, dan setiap minggu dialokasikan tiga hari, dalam setahun tiap orang tua berkesempatan tiga kali mengamati cara guru mengajar anak mereka.</p>
<p>Pandemi ini merupakan momentum untuk merefleksikan perubahan terhadap strategi dan kebijakan pendidikan.</p>
<p>Selain memperbaiki konsep pendidikan sehingga lebih berpihak pada perkembangan tiap anak, masa-masa ini juga membuka wawasan tentang krusialnya peran aktif orang tua dalam proses pembelajaran siswa di rumah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169375/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Studi lembaga penelitian SMERU di Bukittinggi, Sumatera Barat menunjukkan bahwa orang tua di sana berhasil melampaui berbagai tantangan dalam mendampingi pembelajaran anak.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteGumilang Aryo Sahadewo, Assistant Professor of Economics, Universitas Gadjah Mada Hapsari Kusumaningdyah, Research Associate, Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab Asia Tenggara (J-PAL SEA)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1563942021-05-02T03:30:52Z2021-05-02T03:30:52ZSalah kaprah ‘homeschooling’ di tengah pandemi: bagaimana pelaksanaannya yang ideal?<p>Seiring pelaksanaan belajar dari rumah akibat pandemi, konsep ‘<em>homeschooling</em>’ menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.</p>
<p><em>Homeschooling</em> adalah metode pendidikan berbasis keluarga yang menjadikan rumah sebagai pusat aktivitas pembelajaran.</p>
<p>Sebelum pandemi, data tahun 2015 dari <a href="https://www.beritasatu.com/archive/245201/ada-11000-anak-memilih-homeschooling">Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)</a> menyebutkan sebanyak 11.000 anak usia sekolah menjalankan <em>homeschooling</em>.</p>
<p>Semakin banyak orang tua melirik metode ini dengan <a href="https://www.theatlantic.com/politics/archive/2020/09/homschooling-boom-pandemic/616303/">berbagai alasan</a> – dari meningkatkan pemantauan kemajuan pembelajaran anak hingga skeptisnya orang tua atas metode sekolah konvensional. </p>
<p>Mereka menilai <em>homeschooling</em> memberikan lebih banyak fleksibilitas dan ruang kreativitas bagi anak.</p>
<p>Namun, seiring waktu, <em>homeschooling</em> seringkali disalahartikan sebagai <a href="http://rdk.fidkom.uinjkt.ac.id/index.php/2020/06/12/tinjau-efektivitas-homeschooling-di-tengah-pandemi/">sekadar berpindahnya kegiatan pembelajaran dari sekolah ke rumah</a> dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan sekolah.</p>
<p>Pemahaman ini tidak sesuai dengan filosofi yang sebenarnya ingin diusung metode <em>homeschooling</em>. Alih-alih memerdekakan anak, anak justru tetap terkekang karena pembelajaran yang dilakukan di rumah tidak sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.</p>
<p>Melalui artikel ini, kami ingin menjelaskan bagaimana penerapan <em>homeschooling</em> yang ideal, sehingga bisa menjadi alternatif yang efektif dalam mendidik anak sesuai dengan tumbuh kembang mereka dan kemampuan keluarga.</p>
<h2>Jadi, apa sebenarnya <em>homeschooling</em>?</h2>
<p>Poin yang paling utama dalam <em>homeschooling</em> adalah keluarga memegang peran sentral dalam setiap aktivitas pembelajaran anak dan bertanggung jawab memperhatikan kebutuhan mereka.</p>
<p>Orang tua <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/295720706.pdf">mendampingi anak</a> mulai dari menentukan arah tujuan pendidikan, keterampilan dan kemampuan yang akan diasah, pemilihan kurikulum yang diperlukan, hingga cara belajar keseharian anak. </p>
<p>Semua ini dilakukan dengan komunikasi dan dialog dua arah dan terbuka dengan anak.</p>
<p>Karena <em>homeschooling</em> berbasis keluarga, bentuknya akan bervariasi dan tergantung kesepakatan yang diambil oleh keluarga tersebut. Terkait evaluasi, keluarga dapat mengambil <a href="https://rumahinspirasi.com/home/ijazah-legalitas-homeschooling/">ujian kesetaraan</a> di berbagai <a href="https://data.jakarta.go.id/dataset/data-pusat-kegiatan-belajar">Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)</a> yang ada, apabila dibutuhkan.</p>
<p>Ijazah yang didapatkan dari proses ini memiliki legalitas yang sama dengan sistem sekolah, dan juga sudah diatur secara resmi oleh <a href="http://rumahinspirasi.com/permendikbud-no-1292014-tentang-homeschooling-sekolahrumah/">berbagai aturan pemerintah</a>.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/fFZBgU-Pz_w?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Dalam menjalankan homeschooling, keluarga dapat mengambil ujian kesetaraan di berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang ada. Ijazah yang didapatkan dari proses ini memiliki legalitas yang sama dengan sistem sekolah.</span></figcaption>
</figure>
<p>Praktik homeschooling bukanlah konsep baru dalam pendidikan. <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED427138.pdf">Beberapa figur terkenal di dunia</a> seperti Abraham Lincoln, Thomas Edison, dan Albert Einstein pernah menjalani metode belajar ini waktu kecil.</p>
<p>Di Indonesia, tokoh sejarah <a href="https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=249900228">Agus Salim</a> juga memilih model pendidikan ini untuk keluarganya. </p>
<h2><em>Homeschooling</em> itu bukan lembaga</h2>
<p>Meskipun demikian, masih banyak kekeliruan dalam penerapan <em>homeschooling</em> yang tidak sesuai dengan filosofi yang tepat.</p>
<p>Pertanyaan yang seringkali terlontar dari banyak keluarga di Indonesia yang memilih metode ini adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200610191105-20-511967/kemendikbud-banyak-orang-tua-tanya-pendaftaran-homeschooling">“<em>homeschooling</em>-nya di mana?</a>”</p>
<p>Pertanyaan seperti itu muncul karena <em>homeschooling</em> kerap diartikan sebagai sebuah institusi atau lembaga fisik yang memberikan layanan pendidikan layaknya sekolah. </p>
<p>Dalam pelaksanaannya, memang terdapat <em>homeschooling</em> berbasis komunitas di mana beberapa jaringan keluarga bergabung untuk menjalankan <em>homeschooling</em> secara bersama-sama.</p>
<p>Namun, menyamakan hal ini dengan sekolah adalah sebuah kekeliruan. Berbeda dengan sekolah, <em>homeschooling</em> tidak semestinya menerapkan aturan dan proses pembelajaran formal yang harus dijalankan setiap anak secara seragam.</p>
<p><em>Homeschooling</em> harus mengedepankan pendidikan berbasis keluarga, karena setiap keluarga memiliki <a href="https://phi.or.id/2020/11/03/mengapa-perlu-belajar-aneka-metode-homeschooling/">kebutuhan yang berbeda-beda</a>.</p>
<p>Ketika orang tua memilih menjalankan <em>homeschooling</em> kemudian sekadar menyerahkan sepenuhnya ke sebuah “lembaga <em>homeschooling</em>”, ini sama saja mengikutkan anak pada suatu sistem pembelajaran formal layaknya sekolah.</p>
<p>Menyerahkan <em>homeschooling</em> ke pihak eksternal juga justru membuat praktik ini terkesan mahal. <a href="https://ajaib.co.id/menakar-untung-rugi-homeschooling-untuk-dompet-orang-tua/">Antusiasme orang tua</a> – terutama di lingkungan perkotaan – yang tinggi terhadap <em>homeschooling</em> kemudian dibajak oleh <a href="https://www.jpnn.com/news/ini-kisaran-biaya-yang-dibutuhkan-jika-anak-anda-jalani-homeschooling?page=2">berbagai lembaga <em>homeschooling</em> dengan mendongkrak biaya</a> dan membuatnya seolah seperti klub eksklusif.</p>
<h2><em>Homeschooling</em> juga bukan sekadar memindahkan sekolah ke rumah</h2>
<p>Yang juga penting adalah pemahaman bahwa <em>homeschooling</em> itu tidak sama dengan membawa pembelajaran dari sekolah untuk dilakukan di rumah – atau hanya memindahkan lokasi saja.</p>
<p>Studi dari <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s00787-020-01706-1">Eropa</a> dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7507793/pdf/medscimonit-26-e925591.pdf">Cina</a> menemukan ketika <em>homeschooling</em> hanya memindahkan kegiatan belajar dari sekolah ke rumah, anak dan orang tua rawan mengalami stres karena pembelajaran di rumah dipenuhi berbagai tekanan dari institusi pendidikan.</p>
<p>Tekanan yang umum dirasakan misalnya berbentuk jadwal yang padat dan adanya berbagai tugas untuk murid, namun tanpa dukungan yang cukup dari guru karena dilakukan secara daring. </p>
<p>Sebaliknya, apabila keluarga menerapkan <em>homeschooling</em> sesuai dengan filosofi dasarnya, dampak yang diperoleh anak justru akan bersifat positif dan tanpa paksaan.</p>
<p>Keluarga harus memiliki cara berpikir bahwa <em>homeschooling</em> adalah proses mendesain ulang sistem belajar di rumah yang berpusat pada kebutuhan anak, ketimbang sekadar menjiplak struktur pembelajaran di institusi pendidikan formal.</p>
<h2>Keputusan bersama antara orang tua dan anak</h2>
<p>Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, kita bisa menyimpulkan betapa besarnya tanggung jawab orang tua dalam menyukseskan <em>homeschooling</em> bagi anaknya.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0013124510380418">Penelitian tahun 2011</a> di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa performa akademik anak yang mengikuti <em>homeschooling</em> sangat bergantung pada seberapa baik orang tua dalam merancang dan membuat kegiatan belajar di rumah. </p>
<p>Menurut kami, orang tua sebaiknya terus mengikuti perkembangan tren pendidikan terkini, dan berkomitmen untuk membuat kegiatan <em>homeschooling</em> menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Ketika orang tua memiliki keterbatasan, memanggil guru atau orang yang lebih ahli untuk mengajar anaknya juga bisa menjadi pilihan. </p>
<p>Meskipun posisi orang tua menjadi sentral, peran anak dalam memilih model pendidikan yang paling pas juga harus dipertimbangkan.</p>
<p>Orang tua bisa saja merasa bahwa <em>homeschooling</em> adalah model pendidikan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan anak. Tapi pada akhirnya, orang tua juga harus mengakomodasi pilihan anaknya – di sinilah pentingnya diskusi yang terbuka dengan seluruh anggota keluarga.</p>
<p>Dalam komunikasi dengan anak, orang tua juga harus membahas konsekuensi dan kekurangan dari metode ini.</p>
<p>Anak yang sudah pernah menempuh jalur sekolah formal, misalnya, kemungkinan akan membutuhkan adaptasi untuk membangun budaya belajar yang jauh berbeda (atau disebut <a href="https://rumahinspirasi.com/deschooling-membangun-budaya-baru-belajar/#:%7E:text=Secara%20sederhana%2C%20deschooling%20adalah%20sebuah,homeschooling%20(yang%20kurang%20terstruktur).&text=Sebab%2C%20pasca%20sekolah%20sebenarnya%20anak,dari%20sekolah%20yaitu%20dunia%20nyata.">‘<em>deschooling</em>’</a>).</p>
<p>Pengalaman sosialisasi anak yang cenderung berkurang akibat <em>homeschooling</em> di rumah juga kerap menjadi momok – ini <a href="https://www.sehatq.com/artikel/strategi-agar-anak-tetap-bersosialisasi-meski-sekolah-di-rumah#kekhawatiran-yang-tidak-beralasan">bisa diatasi dengan berbagai cara</a> seperti bergabung dengan klub ekstrakurikuler di luar rumah.</p>
<p>Dengan adanya pandemi, <em>homeschooling</em> bisa menjadi alternatif agar anak tetap belajar dan mengembangkan diri. Namun, orang tua harus menerapkannya dengan baik untuk memastikan pengalaman tersebut adalah yang terbaik bagi anaknya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156394/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kami ingin menjelaskan bagaimana penerapan homeschooling yang ideal, sehingga bisa menjadi alternatif yang efektif dalam mendidik anak sesuai dengan tumbuh kembang mereka dan kemampuan keluarga.Fikri Muslim, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Angga Sisca Rahadian, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1584252021-04-10T10:15:55Z2021-04-10T10:15:55ZTutupnya sekolah menyebabkan ‘learning loss’ dan memperlebar ketimpangan antara siswa kaya dan miskin<p>Minggu lalu, pemerintah mengumumkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/03/dorong-akselerasi-ptm-pemerintah-umumkan-skb-empat-menteri">Surat Keputusan Bersama (SKB) dari empat kementerian</a> yang membolehkan sekolah kembali buka <a href="https://www.suara.com/news/2021/03/30/133902/skb-4-menteri-putuskan-buka-sekolah-dengan-prokes-ketat-mulai-juli-2021">mulai Juli 2021</a> seiring target rampungnya vaksinasi guru.</p>
<p>Bahkan pemerintah membolehkan sekolah yang sudah memberikan vaksin pada semua tenaga pengajarnya untuk mengadakan kelas tatap muka sekarang juga, tentu dengan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5513792/5-poin-penting-terkait-pembukaan-sekolah-tatap-muka-terbatas-pada-juli-2021/2">persetujuan orang tua murid</a>.</p>
<p>Meskipun demikian, masih ada guru serta kelompok masyarakat yang <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210330182814-20-624019/guru-respons-skb-4-menteri-sekolah-belum-siap-tatap-muka">ragu dengan rencana ini</a> akibat masih adanya temuan <a href="https://tekno.tempo.co/read/1421397/anak-positif-covid-19-di-indonesia-74-ribu-kasus-3-ribuan-klaster-sekolah/full&view=ok">kasus COVID-19 di lingkungan sekolah</a>.</p>
<p>Namun, kita perlu mengingat bahwa penutupan sekolah selama setahun ini memperparah hilangnya capaian belajar (“<em>learning loss</em>”) murid terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok rentan. </p>
<p>Jika dibiarkan, hal ini berpotensi mengancam masa depan anak-anak dari kelompok rentan dan juga mempertajam kesenjangan.</p>
<h2>Hilangnya capaian belajar</h2>
<p><a href="https://www.edglossary.org/learning-loss/"><em>Learning loss</em></a> adalah hilangnya pengetahuan atau keterampilan pelajar dari apa yang sebelumnya sudah dipelajari atau dikuasai.</p>
<p>Kehilangan ini umumnya diukur untuk mengetahui dampak penutupan sekolah. Berbagai penelitian sebelumnya, misalnya, mengukur <em>learning loss</em> akibat <a href="https://riseprogramme.org/sites/default/files/publications/RISE_WP-039_Adrabi_Daniels_Das_0.pdf">bencana</a>, <a href="https://www.brookings.edu/research/summer-learning-loss-what-is-it-and-what-can-we-do-about-it/">libur sekolah</a>, maupun <a href="https://www.the74million.org/article/aldeman-what-a-wave-of-teacher-strikes-in-argentina-can-teach-us-about-learning-disruptions-degree-attainment-higher-unemployment-lower-earnings/">mogok sekolah</a>. </p>
<p>Bank Dunia <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">memperkirakan</a> tutupnya sekolah selama delapan bulan di Indonesia akibat pandemi COVID-19 bisa menghapus kembali kemampuan membaca pelajar – setara dengan setengah tahun proses pembelajaran.</p>
<p>Ini pun terjadi di negara yang relatif maju. Di Belgia, <a href="https://osf.io/preprints/socarxiv/ve4z7/download">studi</a> menunjukkan dua bulan penutupan sekolah karena pandemi menyebabkan pelajar kehilangan hasil belajar yang setara dengan 1,5 bulan proses pembelajaran di sekolah.</p>
<h2>Dampak terburuk <em>learning loss</em>: mempertajam ketimpangan antar murid</h2>
<p>Meskipun terjadi pada banyak pelajar, fenomena ini lebih umum terjadi pada anak-anak dari kelompok rentan.</p>
<p>Selama pandemi, anak dari kelompok ekonomi menengah ke-bawah dan dengan level pendidikan orang tua rendah <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">memiliki kesempatan belajar lebih sedikit</a> dibanding kelompok anak lainnya karena berbagai keterbatasan di antaranya <a href="http://sdgcenter.unpad.ac.id/pencapaian-agenda-pendidikan-berkualitas-untuk-semua-sdg-4-di-tengah-disrupsi-pandemi-covid-19/">fasilitas pembelajaran</a> seperti koneksi internet dan komputer.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">Survei kami</a> di empat provinsi pada tahun lalu menunjukkan hanya sekitar 28% anak yang bisa belajar dengan media daring.</p>
<p>Di daerah yang relatif berkembang seperti Jawa Timur angkanya bisa sampai 40%, namun di daerah lain seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pembelajaran daring masing-masing kurang dari 10% dan 5%.</p>
<p>Oleh karena itu, penutupan sekolah dapat memperparah kerentanan kelompok pelajar yang padahal sudah rentan terlebih dahulu sebelum pandemi.</p>
<p>Ketertinggalan hasil belajar antara kelompok pelajar kaya dan miskin di Indonesia <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">diprediksi</a> juga makin meningkat dari 1,4 tahun menjadi 1,6 tahun proses pembelajaran akibat empat bulan penutupan sekolah.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sumber:</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">Yarrow, Masood, dan Afkar (World Bank, 2020)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain ketimpangan kelas ekonomi, kesenjangan juga terlihat antara pelajar laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Di Ghana, <a href="https://www.educ.cam.ac.uk/centres/real/publications/Using%20educational%20transitions%20to%20estimate%20learning%20loss%20due%20to%20Covid-19%20school%20closures.pdf">studi</a> menemukan bahwa di antara anak-anak dengan hasil belajar rendah selama pandemi, anak perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil daripada anak laki-laki untuk bisa mengejar ketertinggalan mereka. </p>
<p>Ini terjadi karena <a href="https://www.savethechildren.org/content/dam/usa/reports/ed-cp/global-girlhood-report-2020.pdf">besarnya tuntutan</a> bagi siswa perempuan untuk membantu orang tua, yang membuat waktu belajar mereka lebih lebih terbatas.</p>
<p><em>Learning loss</em> pun berpotensi mengancam prospek anak di masa mendatang.</p>
<p>Riset yang <a href="https://www.econstor.eu/bitstream/10419/217486/1/GLO-DP-0548.pdf">menghitung</a> data dari negara maju, berkembang, dan tertinggal memprediksi <em>learning loss</em> akibat penutupan sekolah selama satu tahun akan mengakibatkan kehilangan sekitar 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dari sebuah negara. </p>
<p>Di Indonesia, jika dikalkulasi per individu, <em>learning loss</em> bisa membuat pelajar <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">kehilangan pendapatan</a> sebesar Rp 7 juta setiap tahunnya ketika mereka sudah bekerja.</p>
<p>Untuk pelajar dari kelompok ekonomi rentan, kehilangan pendapatan per tahun bisa 14% lebih besar dibandingkan dengan pelajar dari kelompok ekonomi lebih tinggi.</p>
<p>Akibatnya, peluang anak dari kelompok rentan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka di masa depan akan semakin menantang.</p>
<h2>Belajar tatap muka harus fokus memulihkan <em>learning loss</em> pada pelajar rentan</h2>
<p>Selain menjamin keselamatan siswa dengan pelaksanaan protokol kesehatan, bukanya kembali sekolah harus fokus mengatasi dampak buruk akibat hilangnya capaian belajar.</p>
<p>Sekolah perlu melakukan adaptasi pembelajaran dan kurikulum ketika buka kembali mengingat terjadi kehilangan capaian belajar yang tidak sama antar kelompok murid.</p>
<p>Di sini, sekolah harus mendorong guru melakukan <a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-5524780/kisah-perjuangan-guru-di-pelosok-kalimantan-utara-cegah-learning-loss/1">“asesmen formatif”</a> – penilaian yang memetakan ulang <a href="https://rise.smeru.or.id/id/publikasi/memulihkan-penurunan-kemampuan-siswa-saat-sekolah-di-indonesia-dibuka-kembali-pedoman-bagi">level kemampuan murid</a>. Melalui penilaian ini, proses pembelajaran bisa berjalan lebih sesuai dengan kebutuhan belajar anak didik terutama setelah satu tahun sekolah tutup.</p>
<p>Selanjutnya, mengingat belajar tatap muka dalam waktu dekat juga masih akan dilakukan secara terbatas dan bertahap, penting bagi sekolah untuk lebih erat menggandeng orang tua. </p>
<p>Studi yang dilakukan di Botswana menunjukkan keterlibatan orang tua berpotensi <a href="https://ideas.repec.org/p/csa/wpaper/2020-13.html">memulihkan kehilangan capaian belajar</a> hingga sebesar 52%.</p>
<p>Tidak semua orang tua memang ada di posisi untuk mendampingi anak belajar. Sebagian anak bisa jadi tidak hidup dengan orang tua, atau sebagian orang tua mungkin memiliki waktu terbatas karena harus bekerja.</p>
<p>Di sini, pelibatan masyarakat – misalnya melalui Taman Baca Masyarakat <a href="https://kaltara.tribunnews.com/2020/10/08/atasi-problem-pendidikan-di-malinau-kala-pandemi-covid-19-wahyudi-taman-baca-masyarakat-solusinya">(TBM)</a> – bisa mengantisipasi hal ini. Pembukaan kelas-kelas di taman baca bisa dilakukan untuk membantu pelajar yang kesulitan belajar, tentunya dengan tetap mempertimbangkan keselamatan dan keamanan anak di luar rumah.</p>
<p>Berbagai langkah ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan hanya oleh sekolah. Tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah daerah dan pusat, baik melalui pendanaan maupun pendampingan, sekolah serta orang tua akan sangat kesulitan. </p>
<p>Kekhawatiran publik tentang dampak kesehatan yang muncul akibat pembukaan sekolah bisa dipahami dan penting untuk dipertimbangkan – orang tua pasti menginginkan anak mereka untuk belajar dengan nyaman dan aman.</p>
<p>Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama memastikan belajar tatap muka berjalan secara aman, dengan memprioritaskan kesehatan anak, baik fisik maupun <a href="https://tirto.id/stres-burnout-jenuh-problem-siswa-belajar-daring-selama-covid-19-f3ZZ">psikologis</a>, dan mencegah dampak <em>learning loss</em> yang sudah terjadi akibat penutupan sekolah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/158425/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>George Adam Sukoco adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Hana Martha adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p>Tutupnya sekolah selama setahun memperparah hilangnya hasil belajar (“learning loss”) murid terutama yang berasal dari kelompok rentan. Ini bisa mempertajam kesenjangan dan mengancam masa depan mereka.Senza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)George Adam Sukoco, Monitoring and Evaluation Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Hana Martha, Monitoring Evaluation Research Learning Officer, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1349332020-04-06T03:43:38Z2020-04-06T03:43:38ZGagap 3 aspek vital: kuliah online di tengah COVID-19 bisa perparah gap akses pembelajaran bermutu bagi mahasiswa miskin<p>Sejak pemerintah Indonesia mengumumkan <a href="https://tirto.id/update-corona-indonesia-covid-19-bencana-nasional-kasus-capai-117-eFq1">bencana nasional coronavirus (COVID-19)</a> pada 14 Maret lalu, pemerintah daerah seperti <a href="https://www.kompas.tv/article/71234/gubernur-dki-anies-baswedan-resmi-liburkan-sekolah-di-jakarta-selama-2-minggu">DKI Jakarta</a> dan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/14/134500165/sejumlah-kampus-lakukan-pembelajaran-jarak-jauh-akibat-corona-mana-saja-">beberapa universitas</a> mengubah pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) alias kuliah online. </p>
<p>Untuk menghambat makin luasnya penularan wabah coronavirus, keputusan ini tepat.
Sayangnya, karena kesenjangan digital di Indonesia masih sangat tinggi, tidak semua siswa bisa mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik lewat kulian online. </p>
<p>Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di bawah kepemimpinan pengusaha muda berbasis teknologi, Nadiem Makariem, perlu mempertimbangkan tiga aspek vital untuk memastikan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh tidak <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0895904804266469">memperluas kesenjangan sosial</a>, memperdalam ketimpangan kualitas pendidikan antarkelompok sosial-ekonomi dan membuat kelompok marginal makin terpinggirkan. </p>
<p>Tiga aspek digital tersebut adalah ketersediaan infrastruktur digital, keterampilan digital, dan karakteristik teknologi. </p>
<h2>1. Ketersediaan infrastruktur digital</h2>
<p>Indonesia saat ini belum menyediakan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), prasyarat utama untuk pembelajaran jarak jauh, yang memadai dan meluas untuk seluruh warganya. </p>
<p>Data <a href="https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Pages/stat/default.aspx">International Telecommunication Union (ITU)</a> dan <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/11/10/986/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-menguasai-komputer-menurut-provinsi-dan-klasifikasi-daerah-2012-2018.html">Biro Pusat Statistik (BPS)</a> terbaru menggambarkan kurang dari 40% penduduk Indonesia yang menjadi pengguna internet. Hanya 3% yang secara regular mendapatkan akses internet pita lebar yang cepat.</p>
<iframe title="Kepemilikan dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi penduduk Indonesia, 2009-2018" aria-label="Interactive line chart" src="https://datawrapper.dwcdn.net/XJW8i/5/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="600"></iframe>
<p>Akses pita lebar internet menjadi elemen penting dalam PJJ karena metode pembelajaran menggunakan metode audio-visual yang membutuhkan kapasitas sambungan besar. Bahkan di Ibu kota Jakarta, belum semua penduduknya dapat menikmati sambungan internet pita lebar, terutama yang belum menggunakan sambungan kabel optik. </p>
<p>Hampir semua operator telepon selular di Indonesia memang sudah menawarkan sambungan 4G LTE, tapi kualitas sambungan yang tidak selalu stabil masih menjadi kendala besar. Sekalipun terdapat akses internet cepat, tidak semua penduduk bisa membeli akses tersebut.</p>
<p>Menurut data BPS jumlah pengguna telepon selular mencapai lebih dari 100%, namun hanya 20% penduduk Indonesia yang memiliki komputer, medium yang ideal untuk kegiatan belajar mengajar karena karakteristiknya yang memungkinkan penggunaan beragam aplikasi yang mendukung proses pembelajaran. </p>
<p>Faktor ekonomi menjadi penghambat adopsi komputer di negara berkembang ketika penduduk tidak mampu membelinya. </p>
<h2>2. Keterampilan digital: problem peserta didik dan pengajar</h2>
<p>Keterampilan digital menjadi faktor penting lainnya untuk memahami kesenjangan digital. Kompetensi dan literasi dalam menggunakan komputer dan berselancar di dunia maya menjadi keterampilan dasar yang dibutuhkan. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13691180902823845">studi di Amerika Serikat menggambarkan bahwa keterampilan digital terkait erat dengan generasi dan usia</a>. Generasi milenial dianggap lebih adaptif dan terampil menggunakan teknologi digital ketimbang generasi orang tuanya. </p>
<p>Kesenjangan generasi yang berkorelasi dengan keterampilan digital bisa termanifestasi dalam PJJ, ketika guru atau dosen yang gagap teknologi tidak akan mampu mengelola pembelajaran.</p>
<p>Selain itu, status sosio-ekonomi pengguna juga mempengaruhi<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0736585317303192#t0005"> tingkat kompetensi dan literasi</a> dalam menggunakan TIK. </p>
<p>Peserta didik yang berasal dari kalangan kurang mampu sangat mungkin tidak memiliki komputer atau sambungan internet, sehingga mengalami <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1461444810386774">keterbatasan akses fisik dan material</a> teknologi digital. Walaupun mereka berasal dari <a href="http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20-%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf">generasi <em>digital native</em></a> keterampilan digital mereka akan lebih rendah dibandingkan siswa dari keluarga yang lebih berada. </p>
<p>Jadi ada keterkaitan erat antara kesenjangan sosial, ketersediaan akses, dan keterampilan digital. Ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi kualitas PJJ dan membuat kesenjangan digital menjadi masalah multidimensi. </p>
<h2>3. Karakteristik teknologi: kegamangan dalam pengadopsian teknologi</h2>
<p>Ketersediaan beragam aplikasi yang dapat digunakan dalam PJJ, seperti <a href="https://www.whatsapp.com/?lang=id">WhatsApp</a>, <a href="https://meet.google.com/unsupported?ref=https://meet.google.com/">Google Meet</a>, <a href="https://zoom.us/meetings">Zoom</a>, dan <a href="http://official-blog.line.me/en/archives/1037569333.html">Line</a> telah menimbulkan tantangan baru. </p>
<p>Setiap aplikasi mempunyai karakteristik khusus yang akan mempengaruhi interaksi antara mahasiswa dan dosen. Kekhawatiran utama adalah dampak dari aplikasi tersebut terhadap kualitas hasil pembelajaran.</p>
<p>Aplikasi seperti Zoom yang memiliki fitur lebih kaya dan interaktif tentu akan memberikan hasil yang lebih baik ketimbang medium WhatsApp. Pengajar harus memahami karakteristik teknologi yang digunakan dalam PJJ, terutama terkait pengetahuan atas kelebihan dan kekurangan aplikasi yang digunakan. </p>
<p>Pembuatan materi pengajaran tentu akan mengacu kepada kapasitas dan kapabilitas dari medium yang digunakan. </p>
<p>Teori <a href="https://apps.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/a149317.pdf">kesempurnaan media (<em>media richness</em>)</a> menggambarkan bahwa interaksi tatap muka menjadi medium paling kaya yang dapat mereduksi keambiguan penyampaian pesan. Media digital memiliki keterbatasan dalam memberikan isyarat non-verbal dan juga kecepatan umpan balik yang dapat menganggu komunikasi selama pembelajaran.</p>
<p>Perubahan metode tatap muka di kelas menjadi termediasi via layar laptop membutuhkan adaptasi dan perubahan, terutama dari sisi penyiapan materi dan interaksi dalam ruang maya. Pengajar yang tidak memiliki keterampilan digital dan pengetahuan atas karakteristik teknologi yang memadai akan terhambat sehingga tidak bisa mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.</p>
<p>Tantangan ini juga dialami oleh peserta didik yang belum terbiasa dengan ragam aplikasi pembelajaran yang akan digunakan. Keterbatasan sumber daya ekonomi menciptakan kesenjangan digital di kalangan milenial, terutama terkait <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1461444807080335">penggunaan ragam aplikasi</a>.</p>
<p>Siswa yang memiliki kemampuan finansial lebih bisa bereksplorasi dengan internet dan aplikasinya sehingga sudah terbiasa dan bisa cepat beradaptasi. Sedangkan siswa yang memiliki keterbatasan ekonomi, akan tertinggal.</p>
<h2>Pembelajaran jarak jauh: mempertajam kesenjangan</h2>
<p>Dalam studi terbaru Jan van Dijk dari Universitas Twente Belanda ihwal kesenjangan digital, <a href="https://www.wiley.com/en-us/The+Digital+Divide-p-9781509534456">ada keterkaitan antara kesenjangan sosial dengan ketersediaan akses terhadap internet dan keterampilan digital</a>. </p>
<p>Keterbatasan akses fisik dan material terhadap TIK di kalangan mahasiswa dari kelompok menengah ke bawah berdampak pada rendahnya kompetensi dan literasi digital yang mempengaruhi kemampuan mereka memaksimalkan penggunaan aplikasi dalam PJJ. Hal ini membuat PJJ bisa memperdalam kesenjangan sosial. </p>
<p>Harus ada <a href="http://www.ascd.org/publications/books/111005/chapters/Section-1@-What-Is-Formative-Assessment%C2%A2.aspx">evaluasi formatif</a> selama proses PJJ berlangsung–kita tidak tahu persis kapan wabah coronavirus ini akan berakhir–dan intervensi bisa cepat dilakukan ketika terjadi indikasi yang tidak sesuai harapan. </p>
<p>Pemerintah pusat dan daerah harus mampu mengawasi proses ini dan bila perlu merevisi di tengah jalan untuk memperbaiki kekurangan, terutama terkait ketersediaan akses dan keterampilan digital.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134933/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Whisnu Triwibowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterbatasan akses fisik dan material terhadap TIK di kalangan mahasiswa dari kelompok menengah ke bawah berdampak pada rendahnya kompetensi dan literasi digital mereka.Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1291962020-01-24T01:54:49Z2020-01-24T01:54:49ZYang kurang dari kebijakan ‘Merdeka Belajar’ Menteri Nadiem: perlunya libatkan keluarga dan pemerintah daerah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/309400/original/file-20200110-97171-xu2jph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa sekolah dasar bermain di tepi sungai di Batang Jawa Tengah, September 2018.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/javaindonesia-18-group-elementary-school-students-1344057668">Onyengradar/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Kebijakan “<a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191214035630-20-456913/konsep-merdeka-belajar-nadiem-belum-sentuh-kesejahteraan-guru">Merdeka Belajar</a>” yang diluncurkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim Desember tahun lalu hanya berpusat di sekolah. </p>
<p>Empat kebijakan, yakni Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diserahkan kepada sekolah, Ujian Nasional (UN) diubah dalam model asesmen kelulusannya, perencanaan pembelajaran disederhanakan, dan sistem zonasi penerimaan siswa baru yang fleksibel, semuanya bertumpu pada sekolah.</p>
<p>Padahal, hasil pembelajaran sebenarnya dipengaruhi oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat yang dirumuskan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Tripusat_pendidikan">Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara</a> sebagai
<a href="http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Edukasia/article/view/811">tripusat pendidikan</a> </p>
<p>Dalam pendidikan, pelaku utama keluarga adalah orang tua, tokoh penting sekolah adalah guru, dan wakil istimewa masyarakat adalah pemerintah (pusat dan daerah). </p>
<p>Proyek percobaan <a href="http://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">Sekolah Keluarga seperti di Bukittinggi</a> bisa menjadi contoh bagaimana ketiga unsur tersebut bahu-membahu meningkatkan kualitas pendidikan anak mulai dari lingkup keluarga. </p>
<p>Dari orang tua yang mendidik karakter di rumah, guru bertugas mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan kepada murid. Kemudian, pemerintah berfungsi mengarahkan layanan pendidikan melalui berbagai kebijakan.</p>
<p>Tanpa penguatan pada tripusat pendidikan itu secara bersamaan, sulit mengharapkan kualitas dan karakter siswa akan meningkat secara signifikan. </p>
<h2>Sekolah Keluarga di Bukittinggi</h2>
<p>Kini hadir secercah harapan dari Bukittinggi ihwal cara meningkatkan peran keluarga dalam pendidikan.</p>
<p>Pada awal Desember 2019, sebagai peneliti <a href="https://www.riseprogramme.org/countries/indonesia/overview">dalam riset yang bertujuan untuk meningkatkan sistem pendidikan di Indonesia (RISE)</a>, saya mengikuti diskusi kelompok dengan beberapa orang tua murid dari berbagai sekolah dasar di Bukittinggi. </p>
<p>Mereka mufakat bahwa seharusnya pusat pendidikan karakter adalah keluarga, sementara pusat pengajaran akademis (pengetahuan) adalah sekolah. </p>
<p>Forum diskusi ini juga menawarkan dua gagasan. Pertama, perlu mengembangkan panggung bagi murid untuk merealisasikan pendidikan karakter yang mereka peroleh dalam keluarga melalui pergaulan di lingkungan sekolah (dan masyarakat). Kedua, perlu menyediakan ruang bagi anak untuk mempraktikkan pengetahuan dan kemampuan bernalar yang didapat di sekolah dalam kehidupan sehari-hari keluarga (dan masyarakat). </p>
<p>Sebagai upaya mempersiapkan generasi masa depan dengan dukungan orang tua hebat, pemerintah Kota Bukittingi sejak 2018 meluncurkan <a href="http://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">program Sekolah Keluarga</a>. Dalam dua tahun awal pelaksanaannya, peserta Sekolah Keluarga kebanyakan para ibu. Ke depan, program ini juga akan menarget para ayah dan pemuda/remaja, baik laki-laki maupun perempuan. </p>
<p>Mulai 2020 Sekolah Keluarga akan diselenggarakan di setiap kelurahan. Peserta setiap angkatan harus berkomitmen menghadiri minimal 12 dari 16 jadwal pertemuan mingguan. Beberapa di antara mereka putus di tengah jalan. Bagi mereka yang <em>drop out</em> diberi kesempatan untuk mengikuti angkatan berikutnya.</p>
<p>Materi pembelajaran berisi <a href="https://www.indonesiastudents.com/8-fungsi-keluarga-menurut-bkkbn-beserta-penjelasannya-lengkap/">delapan fungsi keluarga</a> terkait tugas mengasuh dan mendewasakan anak yang dirinci ke dalam 20 materi pelajaran. Di antaranya, (1) penanaman nilai agama dalam keluarga, (2) menjadi orang tua hebat, (3) hak anak, (4) komunikasi benar, baik dan menyenangkan, (5) pelibatan keluarga di satuan pendidikan, (6) mengasuh anak di era digital, dan (7) pendidikan seksualitas dan pubertas pada anak.</p>
<p>Pengajar Sekolah Keluarga adalah pejabat instansi pemerintah (vertikal dan daerah), akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan pengusaha. Mereka tidak dibayar, kecuali pengajar tamu yang didatangkan dari luar Bukittinggi.</p>
<h2>Meningkatkan kapasitas keluarga melalui orang tua</h2>
<p>Sekolah Keluarga di Bukittinggi merupakan contoh bagus mengenai sebuah program sebagai upaya merawat kapasitas orang tua dalam mengasuh dan membesarkan anak. Pada hakikatnya setiap orang tua memiliki kesadaran dan keinginan untuk melihat keberhasilan pendidikan dan masa depan kehidupan anaknya.</p>
<p>Sekolah Keluarga sampai sejauh ini relatif sukses merawat perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak. Beberapa pernyataan orang tua dalam diskusi kelompok menunjukkan adanya perubahan pengetahuan, kesadaran, dan perilaku orang tua:</p>
<p><em>“Saya berusaha menyambut dan memperhatikan cerita anak ketika pulang sekolah yang selama ini tidak pernah saya lakukan.”</em></p>
<p><em>“Saya mengurangi waktu kerja sebagai penjahit agar dapat mendampingi anak belajar yang sebelumnya saya bekerja dari pagi sampai malam.”</em></p>
<p><em>“Saya makin menyadari bahwa tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak sebenarnya lebih besar dibanding guru.”</em></p>
<p><em>“Saya menularkan pengetahuan kepada tetangga yang mempunyai masalah dalam hubungan dengan anak.”</em></p>
<p>Pada akhirnya, gagasan Ki Hadjar Dewantara mengenai tripusat pendidikan tetap relevan untuk selalu dipertimbangkan sebagai satu kesatuan fondasi dalam berbagai rumusan kebijakan reformasi pendidikan yang sampai saat ini masih bersifat parsial. </p>
<h2>Kebijakan parsial kurang memadai</h2>
<p>Pendekatan parsial yang digunakan pemerintah untuk mereformasi sistem pendidikan saat ini terlihat dari dua prioritas yang ditetapkan pemerintah: <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/18/13260101/mendikbud-nadiem-karakter-pengetahuan-dan-keterampilan-jadi-modal-dasar?page=all">meningkatkan kualitas siswa sekaligus penguatan karakter lulusannya</a>. Keduanya hanya bertumpu pada sekolah.</p>
<p>Sekolah yang aktor utamanya guru memang komponen penting dalam pendidikan. Namun, realitasnya <a href="http://info-menarik.net/hasil-ukg-kemendikbud-tahun-2015/">lebih separuh dari sekitar 3 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG)</a> tidak mencapai skor kelulusan.</p>
<p>Sementara itu, <a href="http://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/%28PRINT%29%20RISE%20-%20Infografis%20PKB_Rev.pdf">laporan RISE pada tahun 2019 tentang praktik pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru menunjukkan hasil tidak menggembirakan</a>. Penyebabnya, <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">rancangan dan tujuan pelatihan guru tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan guru</a>, antara lain, karena (i) ketidaktepatan pemetaan kompetensi guru, (ii) kemampuan pedagogis infrastruktur kurang memenuhi harapan dan kebutuhan peserta. </p>
<p>Akibatnya, terdapat jurang perbedaan kapasitas yang besar antarguru dalam berinteraksi dengan murid. Masalah ini terkait dengan, antara lain, perbedaan bobot minat menjadi guru, mutu pendidikan calon guru, dan pengalaman kerja sebagai guru.</p>
<h2>Kondisi birokrasi pendidikan</h2>
<p>Perubahan sistem yang parsial diperburuk dengan kondisi birokrasi pendidikan di daerah. </p>
<p>Pejabatnya cenderung tertutup, sulit berubah dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Padahal, pendidikan dasar (SD dan SMP) di bawah wewenang pemerintah kabupaten/kota. </p>
<p>Kebijakan pemerintah pusat yang visioner akan sia-sia bila tidak diimplementasikan oleh pemerintah daerah/dinas pendidikan yang juga visioner.</p>
<p>Ada variasi yang lebar terkait kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola layanan pendidikan. </p>
<p>Pada awal 2018, misalnya, RISE di Indonesia mencoba menelepon 64 pejabat dinas pendidikan kabupaten/kota yang kenaikan nilai UN-nya masuk kelompok tinggi. Kami mengasumsikan ke-64 kabupaten/kota ini memiliki inovasi dalam layanan pendidikan.</p>
<p>Sebelum menelepon, kami meminta bantuan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk mengirim surat pemberitahuan kepada 64 dinas pendidikan tersebut. Isinya meminta agar dinas pendidikan memfasilitasi RISE di Indonesia mengenai ihwal inovasi mereka dalam layanan pendidikan melalui survei telepon. </p>
<p>Hasilnya, mayoritas mereka tidak bersedia melayani wawancara via telepon kami. Artinya, “inovasi” yang mereka lakukan, kalau ada, tidak bisa diketahui untuk bahan pembelajaran kebijakan bagi daerah lain atau evaluasi kebijakan mereka sendiri. </p>
<p>Memang masih jarang terdengar pemerintah daerah yang berani berinovasi dalam pengelolaan layanan pendidikan. Kebanyakan mereka berpikir dan bekerja rutin melaksanakan kebijakan pusat seperti yang berlangsung selama puluhan tahun.</p>
<p>Dalam konteks inilah, meningkatkan kapasitas keluarga dan dinas pendidikan kabupaten/kota juga harus menjadi prioritas selain “Merdeka Belajar” di sekolah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129196/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam pendidikan, pelaku utama keluarga adalah orang tua, tokoh penting sekolah adalah guru, dan wakil istimewa masyarakat adalah pemerintah (pusat dan daerah).Syaikhu Usman, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1260152019-10-30T08:55:41Z2019-10-30T08:55:41ZSains tunjukkan bagaimana cara menghindari gangguan saat belajar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/299417/original/file-20191030-17873-8fb6rb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pada dasarnya, jangan lakukan ini.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/focused-young-african-woman-sitting-alone-668101813?src=g-dBDgwseDuXv27vDcOhdQ-1-11">Flamingo Images/Shutterstock </a></span></figcaption></figure><p>Kehidupan modern penuh dengan gangguan - dan beberapa gangguan dapat memberi efek negatif terhadap kemampuan kita berkonsentrasi saat belajar. Masalahnya adalah banyak orang cenderung meremehkan seberapa besar mereka terganggu dengan apa yang terjadi di sekitar mereka. Berikut cara untuk mendapatkan hasil belajar terbaik dengan mempertimbangkan lingkungan Anda.</p>
<p>Membaca sering disertai dengan suara obrolan dari sekitar, seperti dari televisi atau percakapan teman atau kolega. Ketika mencoba untuk berkonsentrasi pada suatu tugas, beberapa orang <a href="https://www.ingentaconnect.com/content/dav/aaua/2002/00000088/00000004/art00010">sering mengatakan</a> bahwa adanya obrolan di dekatnya mengganggu konsentrasi mereka. Tapi, biasanya mereka tidak cermat dalam memperkirakan <a href="https://asa.scitation.org/doi/10.1121/1.419596">secara akurat</a> seberapa terganggunya mereka akibat suara-suara tersebut. Nyatanya, setelah diukur dalam laboratorium, ternyata kemampuan orang untuk mengerjakan tugas-tugas terkait studinya diperburuk oleh ucapan yang tidak relevan di sekitarnya.</p>
<p>Misalnya, sebuah <a href="https://doi.org/10.1037/xhp0000680">penelitian terbaru</a> merekam gerakan mata partisipan saat mereka membaca teks dan mendengarkan obrolan yang tidak relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membaca jadi memerlukan lebih banyak upaya karena partisipan harus lebih sering kembali ke kata-kata yang telah dibaca sebelumnya dan memeriksanya kembali. Gangguan ini terjadi karena pembaca secara tidak sengaja mencoba mendengarkan obrolan yang tidak relevan dan memproses maknanya, meskipun itu tidak ada hubungannya dengan apa yang mereka baca.</p>
<p>Mendengarkan musik adalah gangguan umum yang banyak dipilih pelajar. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1461444814531692">Survei</a> baru-baru ini menemukan bahwa 62% mahasiswa belajar atau mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik. Tapi, sekali lagi, bukti <a href="https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/xlm0000544">dari pembacaan pergerakan mata dengan komputer</a> baru-baru ini menunjukkan bahwa mendengarkan musik juga mengurangi efisiensi dalam membaca dengan cara yang mirip dengan obrolan yang tidak relevan.</p>
<p>Hal ini mungkin terjadi karena pembaca mencoba memproses lirik musik yang didengar. Bahkan, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1745691617747398">rangkuman terbaru</a> dari banyak penelitian terkait topik ini telah menyarankan bahwa mendengarkan musik berlirik mungkin sama mengganggunya dengan memahami teks sambil mendengarkan obrolan di sekitar.</p>
<p>Meski begitu, mendengarkan musik instrumental hanya memiliki sedikit efek negatif terhadap pemahaman ketika belajar. Jadi, jika Anda harus mendengarkan musik saat belajar, mungkin lebih baik mendengarkan lagu klasik daripada lagu pop terbaru.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=395&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=395&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=395&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=496&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=496&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/298088/original/file-20191022-120204-c57exs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=496&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hindari penggunaan teknologi jika Anda mampu.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/concentrated-bearded-man-reading-book-334592630?src=JWB9co5IJk9dzK2OJMj6Fw-1-3">A and I Kruk/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Masalah tugas ganda</h2>
<p>Bahkan jika Anda belajar dalam ruangan yang kosong dan melepas <em>headphone</em> Anda, maka gangguan potensial besar dapat berupa ponsel pintar dan media sosial. Dalam satu <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0360131514000384">penelitian</a>, siswa yang mengerjakan tugas selama tiga jam rata-rata memiliki 35 gangguan, seperti memainkan ponsel, mengakses internet untuk tujuan non-belajar atau mendengarkan musik.</p>
<p>Jenis kegiatan tugas ganda semacam itu biasanya dikaitkan dengan <a href="https://educationaltechnologyjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41239-018-0096-z">kinerja</a> belajar yang lebih buruk. Sebagai contoh, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563214001678">suatu penelitian</a> menemukan bahwa siswa yang diizinkan untuk mengirim pesan melalui ponsel selama kuliah memiliki pemahaman materi yang lebih rendah daripada mereka yang mematikan ponsel. <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S036013151930034X">Survei</a> baru-baru ini menemukan bahwa peningkatan penggunaan Facebook harian dikaitkan dengan peningkatan gangguan akademik.</p>
<p>Meski menggunakan media lain saat belajar merusak kinerja mereka, para pelajar ini mungkin tidak selalu sadar, karena mereka cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam tugas ganda. Misalnya, satu <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%252Fs10758-015-9266-4">studi</a> meminta partisipan untuk melakukan satu atau dua tugas sekaligus. Tugas-tugas ini menilai apakah pernyataan yang diucapkan itu benar dan menghitung bentuk objek visual. Meskipun para remaja dan anak muda ini melaporkan kepercayaan diri yang kuat akan kemampuan melakukan tugas ganda, nyatanya, kinerja mereka hampir selalu lebih buruk dibandingkan ketika mereka hanya melakukan satu tugas.</p>
<p>Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa menggunakan media saat belajar harus dibatasi karena adanya penurunan kinerja saat melakukan tugas ganda. Salah satu strategi untuk menghindari efek negatif dari media adalah mengambil <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563212003305">jeda teknologi</a> singkat selama Anda mengakses internet, tapi kemudian batasi penggunaannya selama waktu belajar Anda. <a href="https://educationaltechnologyjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41239-018-0096-z">Opsi</a> lainnya mungkin adalah menghindari penggunaan ponsel pintar dan perangkat lain sebelum belajar selesai pada hari itu, atau dengan menyimpan gawai tersebut jauh dari ruang belajar.</p>
<p>Jadi, saat Anda mengira bisa belajar di kafe yang ramai, atau dengan TV menyala, atau dengan ponsel tetap terhubung dengan dunia, kemungkinannya adalah hasil belajar Anda tidak sebagus yang Anda perkirakan. Dengan merencanakan sesi belajar yang meminimalkan gangguan eksternal, Anda dapat meningkatkan konsentrasi dan kinerja secara keseluruhan.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126015/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Martin Vasilev tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bahkan jika Anda belajar dalam ruangan yang kosong dan melepas headphone Anda, maka gangguan potensial besar berupa ponsel pintar dan media sosialMartin Vasilev, Postdoctoral researcher, Bournemouth UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1222622019-08-26T07:52:31Z2019-08-26T07:52:31ZHati-hati, harapan besar guru juga dapat kurangi kepercayaan diri murid<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289311/original/file-20190825-170935-1p6lghv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>Untuk banyak siswa, <a href="https://theconversation.com/uk/search?utf8=%E2%9C%93&q=teacher+pressure">tekanan dan ekspektasi</a> adalah bagian dari pengalaman bersekolah. Ada tekanan untuk tampil baik pada tugas-tugas tertentu, memenuhi standar yang diterapkan oleh sekolah, dan untuk murid meraih potensi maksimalnya. </p>
<p>Kemudian, ada pula <a href="https://theconversation.com/uk/search?utf8=%E2%9C%93&q=students+pressure">banyak ekspektasi</a> – bahwa setiap siswa akan mengerjakan pekerjaan rumahnya (PR), datang ke sekolah tepat waktu, dan menunjukkan kemampuan terbaiknya.</p>
<p>Tekanan menjadi lebih tinggi ketika diikuti dengan kemungkinan buruk yang terjadi bila harapan tidak terpenuhi – kekecewaan guru, nilai yang jelek, atau mendapat teguran keras. Hal ini dibuktikan dalam penelitian. Para peneliti telah menemukan bahwa “kontrol” dari para guru <a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-05694-014">berhubungan dengan minat siswa yang lebih rendah</a>.</p>
<p>Meski banyak penelitian yang fokus pada motivasi siswa dan peran guru dalam memberikan harapan positif dan membangun, tidak banyak yang mengulas tentang pengalaman siswa terkait “tekanan dari ekspektasi”. Tidak banyak pula dari kita yang mengetahui bagaimana tekanan ekspektasi ini terjadi dalam kesehariannya, seperti tugas-tugas dan hal-hal lain yang harus dikerjakan karena tuntutan dari guru – dari satu pelajaran ke pelajaran lain, hari demi hari. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0361476X18302315?via%3Dihub">Penelitian terbaru kami</a> melihat hal-hal seperti ini, kami menemukan bahwa tekanan ekspektasi dari para guru dapat menjadikan para siswa belajar lebih keras – namun, hal ini berdampak negatif untuk beberapa siswa. </p>
<h2>Di bawah tekanan</h2>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0361476X18302315?via%3Dihub">Dalam penelitian ini</a>, kami bertanya pada 231 siswa di Inggris, terdiri dari siswa kelas lima dan kelas enam. Mereka diminta melaporkan setiap harinya pengalaman belajar mereka satu kali dalam setiap pelajaran, selama satu minggu. </p>
<p>Dalam setiap pelajaran, siswa melaporkan mengapa mereka melakukan tugas yang diberikan. Pilihan responsnya adalah, “Saya menikmatinya”, “Saya memilih untuk melakukannya”, dan “Saya tertarik dengan hal itu”. Ini akan digolongkan sebagai “motivasi otonom” – kondisi ketika siswa sendiri yang ingin melaksanakan tugas. Siswa juga dapat memilih “Saya harus melakukannya” dan “guru saya ingin saya melakukannya”. Ini akan digolongkan sebagai “tekanan ekspektasi”.</p>
<p>Siswa juga melaporkan seberapa keras mereka belajar dan seberapa percaya diri mereka tentang apa yang mereka pelajari. Para guru pun diminta melaporkan seberapa terlibatnya mereka dengan setiap siswa di kelas, merinci berapa banyak waktu yang mereka habiskan bersama setiap siswa, dan berapa banyak perhatian yang mereka berikan kepada setiap siswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/284526/original/file-20190717-147270-1rx45la.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Siswa yang menghadapi tekanan ekspektasi lebih tinggi dalam pelajaran, belajar lebih keras.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kami menemukan, semakin tinggi ekspektasi tekanan dalam sebuah pelajaran, semakin sulit siswa mengikuti pelajaran selanjutnya. Tapi penelitian kami juga menemukan bahwa siswa mengaku kurang menikmati pelajaran tersebut - dan merasa kurang percaya diri dalam mata pelajaran tertentu.</p>
<p>Penelitian kami juga menunjukkan bahwa jika siswa menikmati tugas mata pelajaran tertentu pada pelajaran sebelumnya, maka guru akan memahami hal ini dan cenderung melonggarkan tekanan ekspektasi mereka dalam pelajaran berikutnya. Tetapi ini benar-benar dirasakan oleh para siswa, yang kemudian akan mengurangi usaha mereka – menunjukkan hubungan yang cukup kompleks dan dinamis antara tekanan ekspektasi guru dan usaha, kegembiraan, dan kepercayaan diri siswa.</p>
<h2>Membebaskan diri</h2>
<p>Tentu saja, secara realistis, beberapa siswa mungkin perlu dorongan sedikit keras saat memulai, menyelesaikan tugas atau untuk belajar lebih keras. Tetapi, berdasarkan penelitian kami, terlalu banyak mendorong siswa dapat membuat mereka kehilangan motivasi atau kurang percaya diri. Dalam jangka waktu panjang, rasanya <a href="https://theconversation.com/secondary-students-can-suffer-from-spending-an-extra-year-drilling-for-gcse-exams-88974">keseimbangan antara tekanan dan jaminan</a> yang sesuai diperlukan. Jika tidak, kelelahan dan ketidakpuasan dapat mengambil alih - yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja akademik.</p>
<p>Memang, <a href="https://psycnet.apa.org/record/2010-15712-005">penelitian </a> menunjukkan bahwa guru-guru yang lebih memperhatikan perspektif siswa dan tidak menekankan realitas perihal tenggat waktu, penyelesaian tugas, dan ekspektasi - jadi mengenal siswa, nilai-nilai, dan pemikiran mereka - cenderung lebih baik dalam mengidentifikasi kebutuhan, minat, dan preferensi siswa, serta dapat memberikan tujuan pembelajaran yang bermakna dengan menggunakan kegiatan yang relevan dan variatif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/feedback-from-teachers-doesnt-always-help-pupils-improve-41000">Feedback from teachers doesn't always help pupils improve</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jadi, alih-alih mengandalkan bahasa pengendalian, guru harus berpikir untuk memberikan harapan yang dapat dimengerti, merangkai pelajaran dengan jelas, dan menjelaskan hal-hal secara ringkas. Para guru juga akan mendapat manfaat dari menerima adanya perasaan negatif di kelas - memberi tahu para siswa bahwa tidak apa-apa bila merasa lelah atau gugup.</p>
<p>Para guru juga dapat mulai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.3102/0034654308325583?journalCode=rera">memberikan dukungan</a> dalam interaksi sehari-hari dengan siswa, menggunakan pujian dan dorongan untuk membantu siswa mencapai potensi maksimal mereka. </p>
<p>Semua ini diharapkan dapat membantu siswa untuk membuat mereka lebih didukung dan memungkinkan mereka untuk mencapai potensi maksimal mereka di dalam kelas.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122262/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lars-Erik Malmberg has received funding from Research Councils UK and The John Fell Fund (Oxford University) for the Learning Every Lesson Study (LEL).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Andrew J. Martin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ekspektasi yang diberikan guru kepada siswanya penting untuk menjaga motivasi dan meningkatkan potensi akademik. Meski demikian, ekspektasi yang berlebihan dapat berakibat buruk bagi sebagian siswa.Lars-Erik Malmberg, Professor of Quantitative Methods in Education, University of OxfordAndrew J. Martin, Scientia Professor and Professor of Educational Psychology, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1202872019-07-20T01:13:56Z2019-07-20T01:13:56ZRapor kompetensi guru SD Indonesia merah, dan upaya pemerintah untuk meningkatkannya belum tepat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/284638/original/file-20190718-147265-1ls23vz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Guru sekolah dasar yang kompeten dan profesional dapat mendorong kualitas siswa.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MzQ0MTU2NywiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfNjczNDQzMDUyIiwiayI6InBob3RvLzY3MzQ0MzA1Mi9tZWRpdW0uanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCJWWENUSXcvNDNwM3MyM3pkcVdDeWRXWFkxSUUiXQ%2Fshutterstock_673443052.jpg&pi=41133566&m=673443052&src=o7jGCORBzpXzacQA6B9GyA-1-7"> E. S. Nugrah/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Kompetensi dan profesionalisme guru berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran siswa. Sepanjang peningkatan kualitas dan pemetaan kompetensi guru tidak menjadi prioritas pemerintah, sulit untuk membayangkan mutu pendidikan di Indonesia dapat meningkat.</p>
<p>Salah satu alat evaluasi yang digunakan dalam mengukur kompetensi guru di Indonesia adalah Uji Kompetensi Guru (UKG). Tes ini menilai penguasaan kompetensi pedagogik, kemampuan guru mengelola kelas dan menyiapkan strategi belajar untuk murid, dan kompetensi profesional, penguasaan guru terhadap materi dan kemampuan mengevaluasi pembelajaran. </p>
<p><a href="https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=ukg">Nilai rata-rata kompetensi guru dari jenjang SD, SMP hingga SMA cukup mengkhawatirkan</a> berdasarkan hasil uji kompetensi 2015. Secara nasional nilai rata-rata <a href="https://beritagar.id/artikel/berita/rapor-guru-dalam-hasil-uji-kompetensi">guru tingkat SD adalah 40,14; SMP 44,16; dan SMA 45,38</a>. Nilai ini di bawah standar minimal yang ditetapkan 55. Tahun lalu standar minimalnya dinaikkan menjadi 75. </p>
<p>Meskipun Uji Kompetensi Guru tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya indikator kualitas guru, hasil UKG tetap menunjukkan bahwa banyak guru di Indonesia belum punya minimum kompetensi yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelajaran yang berkualitas. </p>
<p>Bahkan dengan penyelenggaraan pendidikan guru yang sudah berlapis, yakni calon guru harus mengikuti program profesi guru selama setahun setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, kualitas guru belum baik. Dalam <a href="http://www.rise.smeru.or.id/id/content/a2-pendidikan-profesi-guru-ppg-prajabatan">studi Research on Improving Education Systems (RISE) di Indonesia pada 2018</a>, saya dan kolega menemukan hanya 12,43% guru sekolah dasar yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis dan 21,27% yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran matematika. </p>
<p>Studi ini mensurvei persepsi diri 360 guru kelas sekolah dasar lulusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar yang mengikuti program Pendidikan Profesi (PPG) selama setahun secara tatap muka di tujuh universitas penyelenggara pendidikan keguruan di Pulau Jawa tahun lalu. Guru yang mengikuti survei memiliki pengalaman mengajar antara 6 bulan hingga lima tahun. Mereka merupakan sampel dari <a href="http://ppg.ristekdikti.go.id/daftar/">2.449 guru SD dari seluruh Indonesia yang ikut program tersebut di 43 universitas</a>. </p>
<p>Bila para guru tidak kompeten dalam mengajarkan materi baca tulis dan matematika di tingkat sekolah dasar, tidak mengagetkan bahwa pencapaian siswa Indonesia dalam berbagai program penilaian nasional maupun internasional juga berada dalam kategori rendah. <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/peringkat-dan-capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan">Pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2015, misalnya</a>, rata-rata skor literasi matematika siswa Indonesia adalah 386, berada di bawah nilai rata-rata skor literasi matematika siswa dari 72 negara peserta PISA sebesar 490.</p>
<p>Lalu upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan? </p>
<h2>Langkah strategis: memetakan kompetensi guru</h2>
<p>Sistem pendidikan guru saat ini belum mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik profesional. Bahkan hal mendasar seperti penguasaan materi pengajaran belum dikuasai dengan baik. </p>
<p>Di tingkat sekolah dasar, kondisinya lebih mengkhawatirkan karena guru harus menguasai materi berbagai mata pelajaran yang menjadi konsep fundamental dalam perkembangan siswa di tingkat pendidikan selanjutnya. </p>
<p>Untuk mengembangkan kompetensi guru secara berkelanjutan, pemetaan kompetensi guru melalui hasil UKG seperti yang dilakukan saat ini belum tepat sasaran. Pemetaan melalui UKG yang ada saat ini tidak memperhatikan perkembangan kompetensi guru dalam jenjang karir yang berbeda. </p>
<p>Sampai saat ini pemerintah belum memetakan kompetensi dan tahap pengembangan yang harus dimiliki oleh guru pertama, guru muda, guru madya, dan guru utama. Padahal, <a href="https://www.aitsl.edu.au/teach/standards">sistem seperti ini telah dikembangkan di banyak negara maju seperti di Australia</a>, dengan tujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai kompetensi yang harus dimiliki seorang guru dan pengembangan yang harus dilakukan guru untuk mencapai kompetensi tersebut. </p>
<p>Kurikulum pendidikan keguruan saat ini juga perlu ditinjau ulang secara menyeluruh. Perlu desain kurikulum yang dapat membekali guru dengan pengetahuan yang dalam dan luas mengenai materi yang diajarkannya, keterampilan mengajar yang sesuai, serta sikap positif terhadap kebutuhan belajar siswa yang beragam. </p>
<h2>Upaya pemerintah naikkan kompetensi guru</h2>
<p>Dalam sistem yang saat ini berlangsung, baik guru pemula maupun guru yang telah berpengalaman menempuh program pengembangan dan pelatihan yang sama, dengan jenis pelatihan yang tidak jarang tumpang tindih.</p>
<p>Saat ini, untuk meningkatkan kompetensi guru, pemerintah menyelenggarakan <a href="http://ppg.ristekdikti.go.id/daftar/">Pendidikan Profesi Guru (PPG)</a> dan <a href="http://diklat.belajar.kemdikbud.go.id/?_ga=2.243326913.573033484.1526998615-2008175935.1526998615">Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)</a>. Melalui pendidikan tambahan tersebut, guru diharapkan mendapatkan kesempatan mempelajari berbagai kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi pendidik profesional.</p>
<p>Pada 2017, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi <a href="http://lldikti12.ristekdikti.go.id/2017/08/26/permenristekdikti-no-55-tahun-2017-tentang-standar-pendidikan-guru.html">merancang dua jenis program PPG berdasarkan kelompok sasaran</a>, yaitu <a href="http://ppg.ristekdikti.go.id/">program PPG pra-jabatan dan PPG dalam jabatan</a>. </p>
<p>Satu-satunya cara bagi guru untuk memperolah sertifikat pendidik profesional adalah dengan mengikuti PPG. PPG menggantikan program sertifikasi pendidik melalui pengumpulan portofolio atau PLPG (pendidikan dan latihan profesi guru).</p>
<p>Guru akan menjalani lokakarya dan praktik pengalaman lapangan di sekolah dengan materi kompetensi pedagogik, pengetahuan materi pengajaran, keterampilan berkomunikasi dan pengembangan karakter sebagai pendidik profesional. </p>
<p>Program PPG pra-jabatan selama dua semester ditujukan pada calon guru pemula atau guru yang belum berpengalaman mengajar dengan metode tatap muka. Sedangkan program PPG selama satu semester untuk guru dalam jabatan atau yang sudah bertugas di sekolah baik negeri maupun swasta dilaksanakan dengan memadukan metode pembelajaran daring dan tatap muka. PPG wajib diikuti oleh guru baik yang berlatarbelakang pendidikan S1 kependidikan maupun S1 non-kependidikan. </p>
<p>Penyelenggaraan PPG ini bukan tanpa polemik dan telah menjadi perbincangan di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Program PPG dianggap tidak efektif bagi guru yang telah menempuh pendidikan keguruan di jurusan keguruan/kependidikan karena hanya mengulang mata kuliah selama studi S1. Dalam model pendidikan guru saat ini, penyelenggaraan pendidikan keguruan reguler dan program PPG seolah-olah terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. </p>
<p>Adapun dalam program <a href="http://diklat.belajar.kemdikbud.go.id/?_ga=2.243326913.573033484.1526998615-2008175935.1526998615">Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)</a> mayoritas pesertanya adalah guru yang telah memperoleh sertifikasi profesi. Dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan PKB selama 60 jam, guru didorong meningkatkan kapasitasnya dalam penguasaan kemampuan pedagogi dan penguasaan materi bidang studi. </p>
<p>Mengingat mayoritas peserta PKB sudah memiliki sertifikat pendidik profesional, desain diklat seperti ini pada akhirnya hanya menjadi penyegaran atas materi yang pernah dipelajari guru di bangku kuliah, dan belum mengembangkan kompetensi guru secara berkelanjutan. </p>
<p><a href="http://www.rise.smeru.or.id/id/publikasi/hasil-temuan-studi-diklat-fungsional-pkb">Temuan studi RISE 2018 menunjukkan</a> bahwa meskipun telah mengikuti diklat PKB, banyak guru tidak dapat memenuhi kriteria capaian minimal kompetensi. </p>
<h2>Perlu pengembangan yang tepat</h2>
<p>Guru akan dapat menguasai kompetensi yang dibutuhkan untuk memfasilitasi pembelajaran siswa dengan pengembangan yang tepat dan berkelanjutan. </p>
<p>Bukan hanya menunjang guru dalam memfasilitasi pembelajaran yang efektif, pengembangan yang tepat dan berkelanjutan akan memungkinkan guru yang berpengalaman untuk berkolaborasi dengan guru pemula, dan menjadi mentor bagi mereka, sehingga dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam perbaikan pembelajaran di kelas. </p>
<p>Kualitas suatu sistem pendidikan tidak akan melebihi kualitas gurunya. Peningkatan kompetensi guru dalam memfasilitasi pembelajaran harus menjadi prioritas jika kita ingin meningkatkan mutu pembelajaran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120287/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Shintia Revina terlibat dalam riset Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris (DFID UK), pemerintah Australia (DFAT), dan Bill and Melinda Gates Foundation.</span></em></p>Hanya 12% guru sekolah dasar yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis dan 21% yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran matematika.Shintia Revina, Peneliti, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1201852019-07-15T08:55:58Z2019-07-15T08:55:58ZSekolah alam: bagaimana belajar di alam bebas membantu perkembangan anak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/283611/original/file-20190711-44472-657iwc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C6%2C4344%2C2880&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Meski banyak <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/berj.3273">penelitian</a> menyebutkan agar anak-anak dapat menghabiskan waktu bermain di luar ketimbang berada <a href="https://www.theguardian.com/environment/2016/mar/25/three-quarters-of-uk-children-end-less-time-outdoors-than-prison-inmates-survey">di dalam ruangan</a>, para orang tua masih <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1353829205000195">khawatir</a> membiarkan mereka melakukan aktivitas yang dianggap terlalu berisiko seperti memanjat pohon atau menjelajah alam. </p>
<p>Padahal, salah satu <a href="https://www.mdpi.com/1660-4601/12/6/6423">penelitian</a> menunjukkan bahwa permainan di luar ruangan bermanfaat untuk mengembangkan ketahanan emosional pada anak. </p>
<p>Sekolah-sekolah baru mulai memahami <a href="https://theconversation.com/outdoor-learning-has-huge-benefits-for-children-and-teachers-so-why-isnt-it-used-in-more-schools-118067">pentingnya waktu bermain di luar ruangan</a> bagi anak-anak pada satu setengah dekade terakhir. Mereka pun mulai merancang program-program yang memasukkan sesi pembelajaran di luar kelas.</p>
<p>Salah satu program yang semakin meningkat popularitasnya dalam beberapa tahun terakhir adalah sekolah alam.</p>
<h2>Apa itu sekolah alam?</h2>
<p><a href="https://www.forestschoolassociation.org/what-is-forest-school/">Sekolah alam</a> adalah inisiatif pembelajaran di luar ruangan sebagai alat untuk pembelajaran dan pengembangan.</p>
<p>Gerakan sekolah alam di Inggris dimulai sejak awal tahun 1990-an ketika para pendidik di Bridgewater College di Somerset, Inggris melakukan perjalanan ke Denmark.</p>
<p>Mereka mempelajari bagaimana orang-orang Skandinavia yang sangat menghargai ruang terbuka hijau memasukkan nilai-nilai tersebut ke dalam sistem pendidikan mereka. Setelah kembali dari Denmark, para pendidik tersebut mulai mengembangkan konsep sekolah alam pertama dan menerapkannya kepada tempat penitipan anak. Lalu, mereka mulai memasukkan kualifikasi penilaian <em>B-Tech</em> (setara dengan fisika, matematika dan bahasa inggris) ke dalam sistem sekolah alam. </p>
<p>Para pendidik Bridgewater tersebut berkontribusi dalam mengembangkan pelatihan yang terstruktur bagi para praktisi sekolah alam. Kini, <a href="https://www.forestschoolassociation.org/">Asosiasi Sekolah Alam</a>, badan profesional untuk praktisi sekolah alam di Inggris, telah memiliki lebih dari 1.500 anggota.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/9zat9ef1vHo?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Melalui sekolah alam, anak-anak diberi kesempatan untuk menjelajah alam terbuka. Mereka akan belajar cara menghadapi risiko dan tantangan di alam terbuka dengan gaya mereka sendiri. Sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14733285.2011.638176">penelitian</a> telah menunjukkan bahwa sekolah alam memberikan stimulasi permainan imajinatif saat bermain di alam terbuka. </p>
<p>Untuk <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/berj.3491">penelitian kami</a>, kami mewawancarai lebih dari 30 anak-anak berusia antara empat dan sembilan tahun untuk mencari tahu pengaruh sekolah alam dalam proses pembelajaran mereka. Hasilnya, anak-anak yang bersekolah di sekolah alam merasa lebih mandiri. Mereka memiliki rasa tanggung jawab pribadi, sosial dan lingkungan yang lebih besar. </p>
<p>Mereka juga mengatakan bahwa mereka dapat menerapkan ketrampilan yang didapat saat sekolah alam dan mengembangkannya sebagai kemampuan non-akademis. </p>
<p>Sekolah alam mendorong anak-anak untuk berpikir kreatif–untuk keluar dari zona nyaman dan mengambil risiko–, dan bekerja sama dengan teman-teman mereka. Mereka juga merasa lebih aktif secara fisik selama berada di sekolah alam karena belajar bergerak dengan aman di area yang sulit ditebak dan menantang.</p>
<h2>Bergerak itu penting</h2>
<p><a href="https://www.who.int/news-room/detail/24-04-2019-to-grow-up-healthy-children-need-to-sit-less-and-play-%20-lebih">Badan Kesehatan Dunia (WHO)</a> menyatakan bahwa anak kecil perlu diberikan kesempatan bermain untuk tumbuh sehat. Sayangnya, manfaat dari sekolah alam masih sering salah kaprah. </p>
<p>Orang awam masih menganggap sekolah alam sebagai bagian terpisah dari pendidikan formal. Di Inggris, memang ada beberapa sekolah alam yang memang beroperasi penuh waktu, seperti <a href="https://wildawood.co.uk/">Wildawood Forest School</a> di Cambridgeshire. Namun, sebagian besar terintegrasikan ke dalam sekolah-sekolah biasa, murid-murid meninggalkan ruang kelas untuk belajar di sekolah alam selama setengah atau sehari penuh sekali atau dua kali seminggu. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/YDbycHY1iEQ?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Kami berbicara dengan anak-anak, kepala sekolah, dan pimpinan sekolah alam di dua sekolah dasar dan <a href="https://doi.org/10.1111/geoj.12302">menemukan</a> bahwa pendidikan formal dan informal dapat melengkapi satu sama lain. </p>
<p>Mereka mengakui bahwa sistem sekolah dapat meredam rasa ingin tahu anak-anak tentang dunia. Lebih lanjut, anak-anak menyadari bahwa belajar di kelas lebih banyak diarahkan oleh guru dan berfokus kepada lulus ujian. </p>
<p>Sementara, para kepala sekolah mengakui tekanan yang diberikan kepada anak sejak usia dini dan adanya kebutuhan untuk mengukur perkembangan murid berdasarkan target yang ditetapkan.</p>
<p>Sekolah alam memberikan kesempatan, baik bagi guru dan murid, untuk keluar dari proses belajar yang monoton di ruangan kelas. Sebagai gantinya, mereka terlibat aktif dalam pembelajaran yang mandiri.</p>
<p>Hal ini akan mengembangkan keterampilan non-akademis dari para murid, seperti negosiasi, ketahanan mental, dan kemandirian. Dengan memadukan kedua metode pembelajaran, anak-anak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan berbagai keterampilan dan mempersiapkan mereka untuk masa depan, sekaligus menumbuhkan rasa cinta kepada alam bebas sejak usia dini. </p>
<p><em>Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahas Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120185/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Janine Coates adalah anggota Forest School Association dan merupakan seorang praktisi pelatihan Forest School.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Helena Pimlott-Wilson tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sekolah Alam membantu anak belajar meski tanpa mereka sadari.Janine Coates, Lecturer in Qualitative Research Methods, Loughborough UniversityHelena Pimlott-Wilson, Senior Lecturer in Human Geography, Loughborough UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1135652019-06-20T05:31:23Z2019-06-20T05:31:23ZPengajaran aritmatika di SD sembunyikan logika, bagaimana mengatasinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/280153/original/file-20190619-52791-bplx86.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mengajarkan cara berhitung yang benar logis dan transparan sangat penting untuk para siswa sekolah dasar.</span> <span class="attribution"><span class="source">The Conversation</span></span></figcaption></figure><p>Pembelajaran matematika di sekolah dasar didesain untuk mendorong para siswa berpikir sistematis, kritis, analitis, logis, dan kreatif sesuai dengan kemampuan anak. </p>
<p>Matematika juga berfungsi untuk mengembangkan <a href="http://digilib.unila.ac.id/602/3/BAB%20II.pdf">kemampuan komunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol</a> untuk menyelesaikan persoalan matematis. Di sekolah dasar, kurikulum matematika menekankan aspek bilangan, geometri dan pengukuran, dan pengolahan data. </p>
<p>Masalahnya, dalam proses pembelajaran operasi dasar aritmatika (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian) kerap kali guru “menyembunyikan” tanda dan proses berhitung yang semestinya disampaikan secara transparan kepada para siswa. Kadang-kadang guru dan buku rujukan lebih fokus pada orientasi hasil ketimbang proses penyelesaikan soal yang logis benar dan transparan. </p>
<p>Selama berabad-abad, guru mengajarkan metode vertikal–metode berhitung yang prosesnya dapat dilakukan secara terstruktur dari atas menuju bawah–untuk menyelesaikan soal aritmatika. Dalam beberapa tahun terakhir, saya mengembangkan dan menguji-cobakan <a href="https://p4tkmatematika.org/2008/11/mencongak-dengan-metris/">metode horizontal (metris)</a>, yakni metode perhitungan yang proses penyelesaian dilakukan <a href="https://books.google.co.id/books/about/BERHITUNG_SUPERCEPAT_CARA_HITUNG_CEPAT_T.html?id=DB2wDAAAQBAJ&redir_esc=y">secara mendatar (horizontal)</a>. Metode ini bisa dipakai sebagai metode alternatif untuk pengajaran penyelesaian soal.</p>
<p><a href="https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/abdimas/article/view/8983/8748">Saya dan kolega melakukan riset</a> dengan melatih penggunaan metode horizontal untuk operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian kepada 37 guru sekolah dasar di Cisauk, Tangerang, pada 2015. Dari jumlah itu 34 di antaranya menerapkan metode ini di kelas setelah pelatihan. Enam bulan kemudian hasil pengajaran metode ini dites melalui kompetisi aritmatika antarsiswa sekolah dasar di kecamatan tersebut yang menerapkan metode ini. Hasilnya, pembelajaran metris meningkatkan kemampuan para siswa dalam menjawab soal dengan lebih cepat dan lebih baik. </p>
<p>Sebuah <a href="http://ejournal.upi.edu/index.php/jassi/article/view/9698">riset lainnya juga menunjukkan penggunaan metode horizontal dapat meningkatkan kemampuan berhitung</a> dalam konsep pembagian pada anak tuna rungu di sekolah dasar Nagreg Bandung. </p>
<p>Pembelajaran aritmetika dapat berkualitas apabila proses berhitung yang menggunakan simbol matematis dapat dilakukan secara logis benar dan transparan. </p>
<p>Logis benar artinya setiap langkah dalam proses berhitung harus selalu berdasarkan aturan yang telah ditetapkan oleh definisi pada simbol matematis tersebut.</p>
<p>Sedangkan transparan berarti setiap langkah dalam proses berhitung yang benar tersebut sampai diperoleh hasil akhirnya dapat diperlihatkan secara terbuka. </p>
<p>Dalam proses hitungnya sejak awal hingga hasil akhirnya harus selalu dihubungkan dengan tanda sama-dengan (=). </p>
<h2>Masalah metode berhitung</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=339&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=339&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=339&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=427&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=427&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280145/original/file-20190619-52783-c6a88x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=427&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Soal matematika di buku kelas dua sekolah dasar, yang menjelaskan metode vertikal.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Suatu hari saya menerima kiriman foto halaman buku matematika dari seorang ibu yang anaknya masih belajar di sekolah dasar kelas 2. Foto tersebut memuat proses pembelajaran penjumlahan dengan bilangan negatif atau pengurangan dengan metode vertikal. </p>
<p>Proses pembelajaran pengurangan tersebut menjelaskan suatu persoalan apabila harga mutlak pada bilangan negatif lebih besar dari pada bilangan positifnya, seperti soal -35 + 21 = 21 – 35. Proses penyelesaiannya dengan metode vertikal sebagai berikut:</p>
<ol>
<li>Langkah pertama, abaikan tanda negatif. </li>
<li>Langkah kedua, kurangi bilangan terbesar (35) dengan bilangan terkecil (21), 35 – 21 = 14. </li>
<li>Langkah ketiga, beri tanda pada bilangan hasilnya sesuai dengan tanda pada bilangan terbesar (21 – 35 = -14).<br></li>
</ol>
<p>Metode berhitung ini termasuk logis benar karena bila langkah tersebut diterapkan maka hasil akhirnya tidak salah. </p>
<p>Tapi apakah cara berhitung di atas termasuk logis benar dan transparan? Ternyata jawabnya tidak, karena setiap langkah hitungnya yang dimulai dari soal awal hingga hasil akhirnya tidak selalu dihubungkan dengan tanda sama dengan (=). </p>
<p>Saya kemudian bertanya ke guru matematika SD dan jawabannya mengejutkan. Dia menjelaskan bahwa sebagian proses berhitungnya tidak perlu diperlihatkan langkah per langkahnya alias disembunyikan, lalu hasil akhirnya saja yang ditulis pada lembar jawaban. </p>
<p>Bila proses pembelajaran seperti ini yang dikembangkan, guru telah gagal mengajarkan kepada para siswa untuk tetap berpikir logis benar dan transparan. </p>
<h2>Metode vertikal vs horizontal</h2>
<p>Lalu bagaimana agar proses pendidikan berhitung tersebut dapat logis benar dan transparan? Solusinya ada dua cara. Pertama soal itu dapat diselesaikan tetap menggunakan metode konvensional/vertikal tapi bukan seperti yang terdapat pada buku panduan tersebut. Atau, kedua, dengan memanfaatkan metode horizontal. </p>
<p>Pertama, bila menggunakan metode konvensional maka konsep sifat perkalian antara tanda negatif dan negatif menjadi positif harus sudah diketahui oleh siswa SD. </p>
<p>Pemenuhan syarat ini bisa jadi merupakan kekurangan dari cara konvensional karena konsep perkalian antar bilangan negatif belum diberikan kepada siswa SD di tingkat awal seperti siswa kelas 1 atau 2. Proses penjelasan cara berhitung 21 – 35 agar dapat tetap logis benar dan transparan adalah 21 – 35 = - (- 21 + 35) = - (35 – 21) = - 14. </p>
<p>Sedangkan untuk memperoleh hasil pengurangan 35 – 21 prosesnya dapat menggunakan metode konvensional secara logis benar dan transparan yang biasa sudah diajarkan oleh para guru SD. </p>
<p>Kedua, bila penyelesaiaan soal 21 – 35 menggunakan bantuan metode horizontal maka persyaratan pemahaman siswa akan konsep perkalian antar bilangan negatif yang mesti dipenuhi oleh metode konvensional di atas tidak dibutuhkan lagi. Sehingga proses pembelajaran pengurangan yang logis benar dan transparan dapat lebih awal diberikan ke para siswa SD dengan memanfaatkan metode ini.</p>
<p>Dalam metris terdapat notasi pagar (|) yang berfungsi sebagai pengelompokan nilai tempat bilangan satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan. Proses penjumlahan atau pengurangan dapat dilakukan oleh bilangan yang mempunyai nilai tempat yang sama.</p>
<p>Notasi pagar tersebut dapat dilepas apabila jumlah pagar sama dengan jumlah angka di sebelah kanannya dan tanda positif (negatif) pada setiap angka diantara semua notasi pagar harus sama. </p>
<p>Dengan bantuan metode horizontal dapat dibuktikan bahwa proses perhitungan 21 – 34 dapat tetap benar dan transparan yaitu (2|1) – (3|5) = 2-3|1-5 = -1|-4 = - (1|4) = - 14. </p>
<p>Sedangkan untuk penjelasan 2-3 = -1 atau 1-5 = -4 dapat diterangkan dengan mudah menggunakan garis bilangan. Hal ini dapat terjadi karena dengan bantuan metode horizontal maka soal penjumlahan dan pengurangan dengan bilangan puluhan, ratusan, dan ribuan dapat dicacah menjadi bilangan paling kecil yaitu berupa bilangan satuan sehingga dengan mudah mampu divisualisasikan oleh siswa-siswi sekolah dasar. </p>
<p>Kurikulum pendidikan matematika dasar dengan proses pengajaran yang selalu dijaga agar tetap logis benar dan transparan dalam memecahkan masalah aritmetika sangat penting. Model kurikulum pembelajaran seperti ini akan membuat para siswa SD dapat lebih baik memahami proses berhitung. </p>
<p>Dengan metode berhitung yang logis benar dan transparan, pemahaman siswa diharapkan dapat meningkat dan menjadi dasar untuk pengembangan kemampuan siswa bidang matematika tingkat pendidikan berikutnya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya menerima inovasi metode belajar yang logis benar dan transparan agar kualitas pendidikan Indonesia makin menanjak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/113565/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephanus Ivan Goenawan menerima dana dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya untuk riset implementasi metode horisontal di Cisauk Tangerang, </span></em></p>Metode horizontal bisa dipakai sebagai metode alternatif untuk pengajaran penyelesaian soal matematika dengan logis benar dan transparan.Stephanus Ivan Goenawan, Lecturer in Physics and Creator of Metris, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1100302019-01-18T07:59:51Z2019-01-18T07:59:51ZDarurat mutu pembelajaran, mengapa wali murid jarang protes ke sekolah dan pemerintah?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/254270/original/file-20190117-24628-12uzpzy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Para siswa Sekolah Menengah Atas sedang di luar kelas di Kecamatan Berastasi, Karo, Sumatra Utara, September 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU0NzcyNDUxMywiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfNjUzMzM2NTEyIiwiayI6InBob3RvLzY1MzMzNjUxMi9tZWRpdW0uanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCJGRnNuYVdIdHkxa0ZBaUFjWml0NEhFMUdYcmsiXQ%2Fshutterstock_653336512.jpg&ir=true&pi=26377567&m=653336512&src=7hnxFXmhTqmvkucfaPAjFg-1-17">DarwelShots/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Walau kualitas pembelajaran siswa di Indonesia <a href="https://theconversation.com/guru-makin-sejahtera-di-era-desentralisasi-tapi-tidak-berdampak-pada-kualitas-pendidikan-86000">masih rendah</a>, jarang sekali wali murid melayangkan protes secara terbuka dan massal tentang masalah akut ini kepada guru, sekolah, pemerintah, dan parlemen. Orang tua menjawab buruknya hasil pembelajaran dengan mendaftarkan anaknya les privat. </p>
<p>Kerap kali pemangku kepentingan pendidikan tingkat pusat, daerah, dan lingkungan sekolah (orang tua siswa dan guru) lebih bersemangat memperkuat pendidikan karakter di sekolah ketimbang meningkatkan kualitas pembelajaran. Isu degradasi moral siswa di lingkup sekolah lebih dominan dibanding isu kualitas hasil pembelajaran.</p>
<p>Pertanyaan besarnya: bagaimana menyelaraskan kebijakan pendidikan dan pengajaran di Indonesia untuk meningkatkan mutu pembelajaran di tengah meningkatnya perhatian terhadap pendidikan karakter? </p>
<h2>Darurat mutu pembelajaran</h2>
<p>Beberapa tahun belakangan ini, marak publikasi tentang <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180607113429-284-304214/bank-dunia-kualitas-pendidikan-indonesia-masih-rendah">rendahnya hasil pembelajaran murid</a> Indonesia. </p>
<p>Kajian terbaru <a href="https://riseprogramme.org/publications/rise-working-paper-18026-indonesia-got-schooled-15-years-rising-enrolment-and-flat">Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia 2018</a> memperlihatkan situasi darurat pembelajaran di Indonesia. Sejumlah besar lulusan sekolah menengah atas (SMA) belum menguasai kemampuan berhitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka sederhana) yang seharusnya telah dikuasai saat di sekolah dasar. Penyebab utamanya adalah <a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">ketidaktuntasan pembelajaran</a>.</p>
<p>Hasil riset ini mengkonfirmasi publikasi tentang rendahnya posisi Indonesia dibanding negara lain dalam hasil tes <a href="https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf">Program for International Student Assessment (PISA) 2015</a>, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2015 untuk <a href="http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-results/timss-2015/mathematics/student-achievement/#side">matematika</a> dan <a href="http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-results/timss-2015/science/student-achievement/">sains</a>, dan Programme for International Assessment of Adult Competencies <a href="https://www.cdev.org/blog/need-pivot-learning-new-data-adult-skills-indonesia">(PIAAC)</a>. </p>
<p>Hasil yang serupa dengan beberapa tes internasional tersebut ditunjukkan juga dalam <a href="https://puspendik.kemdikbud.go.id/inap-sd/">Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016</a> yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=203&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=203&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=203&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=255&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=255&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/254266/original/file-20190117-24641-1510lvl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=255&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016 yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://puspendik.kemdikbud.go.id/inap-sd/">Pusat Penilaian Pendidikan/Balitbang Kemendikbud</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Akses meningkat tapi kualitas masih rendah</h2>
<p>Orientasi kebijakan pendidikan sejak setengah abad lalu berfokus pada penyediaan akses bersekolah seluas-luasnya. Dimulai melalui <a href="https://nasional.tempo.co/read/839912/mendikbud-sudah-30-tahun-sd-inpres-tidak-naik-mutunya/full&view=ok">Program Inpres SD</a> dan diikuti dengan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada 1984 dan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada 1994. Walau akses sekolah makin luas, mutu pembelajaran sampai sekarang masih rendah.</p>
<p>Gencarnya publikasi tentang rendahnya mutu pembelajaran tersebut, belum cukup menggugah pemangku kepentingan pendidikan untuk menggugatnya, termasuk Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi pendidikan. <a href="http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Daftar-Anggota-Komisi-X">Terdapat 10 dari 47 anggota Komisi X </a> yang mengisi profil mereka dalam bentuk kegiatan, galeri, atau agenda di website mereka. Lima di antaranya memperlihatkan ketertarikan pada isu pendidikan, tapi bukan tentang kualitas hasil pembelajaran. </p>
<p>Dalam sebuah studi di Nusa Tenggara Barat, kami menemukan ada pejabat daerah yang tidak melihat rendahnya mutu pembelajaran sebagai persoalan serius pendidikan. “Urusan pendidikan sudah bisa berjalan sendiri,” katanya. Maksudnya, sekolah berlangsung setiap hari, guru melaksanakan tugas dan murid masuk sekolah tanpa hambatan. Persoalan penting bagi daerah ini adalah membangun pertanian dan irigasi, mengembangkan pariwisata dan usaha mikro, kecil, dan menengah.</p>
<p>Kita juga belum bisa berharap banyak dari masyarakat, khususnya orang tua murid untuk menggugat atas kenyataan rendahnya mutu pembelajaran anak mereka. Penyebabnya, menurut hasil survei yang dikutip dalam <a href="https://www.researchgate.net/publication/230557659_Indonesian_Decentralization_Accountability_Deferred">studi Blane Lewis (2010)</a>, peneliti Australian National University, 86% masyarakat Indonesia sudah merasa puas atas praktik layanan pendidikan. Hanya 7% yang pernah memprotes jeleknya mutu pendidikan kepada pemerintah daerah, sekolah, Dewan Pendidikan, atau parlemen. Alih-alih menuntut perbaikan mutu, orang tua yang mengetahui hasil pembelajaran anaknya rendah lebih memilih untuk membiayainya mengikuti bimbingan belajar privat. </p>
<h2>Perhatian besar ke pendidikan karakter</h2>
<p>Perhatian terhadap kualitas pembelajaran jauh lebih sedikit dibanding dengan perhatian terhadap pendidikan karakter. Studi <a href="https://t.co/nJ6Hq4R0sv?amp=1">RISE Indonesia (2018)</a> mengungkapkan tingginya perhatian pemangku kepentingan terhadap pendidikan karakter. Diskusi intelektual dan wacana publik tentang pendidikan dibayangi isu degradasi moral siswa, dan lebih heboh dibanding diskusi soal rendahnya hasil pembelajaran murid. </p>
<p>Ketertarikan masyarakat terhadap pendidikan karakter umumnya dilatarbelakangi keprihatinan terhadap perilaku negatif anak muda, seperti tawuran dan <em>bullying,</em> pemakaian narkoba, lunturnya wawasan kebangsaan, dan pergaulan remaja yang menabrak norma agama. Karena itu, banyak pengelola pendidikan yang kemudian terdorong melaksanakan pendidikan karakter dengan penekanan kuat pada dimensi moralitas, nasionalisme, dan religiusitas.</p>
<p>Indikasinya terlihat, misalnya, dalam <a href="https://mutudidik.files.wordpress.com/2017/02/konsep-dan-pedoman-ppk.pdf">pedoman pelaksanaan pendidikan karakter </a> yang mengatur aktivitas religius sebelum memulai kegiatan kelas. Kabupaten Purwakarta mengeluarkan Buku Kontrol Siswa yang menjadikan praktik berdoa pagi dan membaca kitab suci sebagai salah satu pedoman bagi guru dan orang tua dalam menilai karakter anak. Kecenderungan adanya upaya peningkatan <a href="http://phdi.or.id/artikel/pasraman-dan-pembentukan-karakter-bangsa">pendidikan karakter juga terjadi di Bali</a>. </p>
<p>Prioritas tinggi pemangku kepentingan pada dimensi moralitas, religiusitas, dan nasionalisme dalam pendidikan karakter berpotensi menggeser perhatian terhadap krisis mutu pendidikan. Padahal, filosofi dasar kebijakan pendidikan karakter adalah tidak mendikotomikan unsur karakter dan unsur akademis. </p>
<p><a href="https://edunamika.com/wp-content/uploads/2017/09/Perpres-Nomor-87-Tahun-2017-tentang-Penguatan-Pendidikan-Karakter.pdf">Peraturan Presiden tentang Penguatan Pendidikan Karakter</a>, juga Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh <a href="https://mutudidik.files.wordpress.com/2017/02/konsep-dan-pedoman-ppk.pdf">Kemendikbud</a> tidak memisahkan pengembangan intelektual dan karakter. </p>
<p>Penekanan yang terlalu kuat pada pendidikan karakter dikhawatirkan dapat memperlemah usaha dan investasi pemerintah dalam meningkatkan mutu pembelajaran. </p>
<p>Sayangnya, seperti temuan dalam <a href="https://t.co/nJ6Hq4R0sv?amp=1">studi RISE 2018</a>, pendelegasian tugas dan kewenangan mulai dari negara kepada birokrat pemerintah pusat, diteruskan ke pemerintah daerah, lalu kepada kepala sekolah dan guru untuk menyelaraskan pendidikan karakter dan pengajaran akademis tidak koheren. Akibatnya, pemangku kepentingan cenderung menafsirkan tugas dalam menjalankan pendidikan karakter menekankan aspek moralitas, religiusitas, dan nasionalisme. </p>
<p>Kata “karakter” memang penuh makna, dalam bahasa agama pengertiannya dekat dengan akhlak. Pemangku kepentingan cenderung melaksanakan pendidikan karakter di luar kegiatan pengajaran akademis. Padahal, pada prinsipnya pendidikan karakter dapat memperkuat hasil pengajaran akademis melalui pengembangan karakter positif, seperti kerja keras, disiplin, jujur, rasa ingin tahu yang kuat, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, menghargai prestasi, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, dan bertanggung jawab.</p>
<h2>Lalu, bagaimana memperbaiki proses pembelajaran?</h2>
<p>Slogan “Menumbuhkan Generasi Cerdas dan Berkarakter” yang dikeluarkan Kemendikbud menggarisbawahi pentingnya unsur intelektual dan karakter dalam satu kesatuan proses pembelajaran. </p>
<p>Sejalan dengan itu, menumbuhkan kecerdasan anak sama pentingnya dengan menanamkan berbagai karakter positif, seperti dirumuskan dalam <a href="https://mutudidik.files.wordpress.com/2017/02/konsep-dan-pedoman-ppk.pdf">Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter</a> untuk SD dan SMP.</p>
<p>Pada birokrat pendidikan tampak ingin menyeimbangkan kedua hal itu dalam tataran konsep. Namun, masih terlihat kegamangan dalam cara penerapan yang tepat di tingkat sekolah. Untuk itu, peneliti, akademisi, dan praktisi pendidikan perlu saling berbagi hasil penelitian dan pengalaman untuk dapat menjadi rujukan pembuatan kebijakan yang menyeimbangkan pengajaran akademis dan penguatan karakter. </p>
<h2>Pentingnya protes dan kontribusi wali murid</h2>
<p>Selama wali murid tidak melihat adanya masalah dalam pengajaran akademis, sulit mengharapkan mereka menjadi penggerak perbaikan mutu pembelajaran. Padahal, mobilisasi wali murid untuk mengurusi mutu pembelajaran anak berpotensi untuk membawa perubahan. </p>
<p>Di banyak sekolah tumbuh paguyuban atau organisasi wali murid yang aktif berkelompok per kelas dan menjalin komunikasi melalui WhatsApp. Dalam usaha menarik perhatian orang tua pada kegiatan belajar anak, salah satu caranya adalah melalui suatu kebijakan nasional pemerintah mewajibkan wali kelas mengumumkan garis besar rencana program belajar bulanan kepada wali murid. Tujuannya agar mobilisasi wali murid tidak hanya terbatas mengurusi sarana dan prasarana sekolah atau penguatan karakter, tapi juga mengenai mutu pembelajaran anak.</p>
<p>Pada tataran kebijakan pusat dan daerah, peran DPR dan DPRD juga penting. Anggota parlemen di level nasional dan daerah perlu meningkatkan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan dalam usaha memperbaiki proses pembelajaran. </p>
<p>Kini pihak eksekutif mulai meluncurkan kebijakan perbaikan mutu pembelajaran, seperti <a href="http://www.informasiguru.com/2018/05/ppdbtahun2018.html">program zonasi pada penerimaan peserta didik baru</a>. Parlemen yang kritis terhadap pola pikir birokrat yang terjerat pada urusan sarana dan prasarana fisik semata dapat mempercepat perbaikan mutu pembelajaran anak Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110030/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman terlibat dalam riset Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris dan Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Heni Kurniasih terlibat dalam riset Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris dan Australia.</span></em></p>Hanya 7% yang pernah memprotes jeleknya mutu pendidikan kepada pemerintah daerah, sekolah, atau Dewan Pendidikan.Syaikhu Usman, Senior Researcher, SMERU Research InstituteHeni Kurniasih, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/860002018-01-22T09:58:34Z2018-01-22T09:58:34ZGuru makin sejahtera di era desentralisasi, tapi tidak berdampak pada kualitas pendidikan<p>Lebih dari 60% anggaran pendidikan secara nasional digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Anggaran tersebut terserap hampir seratus persen di semua daerah. Namun menaikkan gaji guru pegawai negeri dan memberikan <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170831120620-78-238599/anggaran-tunjangan-profesi-guru-naik-di-2018-jadi-rp796-t">tunjangan profesi guru</a> rupanya tidak langsung <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170321142901-20-201727/64-persen-dana-pendidikan-untuk-guru-kualitas-murid-rendah">meningkatkan kualitas siswa dan lulusan sekolah</a>.</p>
<p>Padahal, dalam sistem pendidikan di Indonesia, apa lagi pendidikan dasar, <a href="https://theconversation.com/what-is-the-role-of-a-teacher-64977">guru yang berkualitas dan kompeten</a> memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. </p>
<p>Di era <a href="https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiOwpTQiffXAhXDtpQKHWq7DeEQFggmMAA&url=http%3A%2F%2Fpih.kemlu.go.id%2Ffiles%2FUU0232014.pdf&usg=AOvVaw2fh6Q2IxQxRzEttlkVprda">otonomi daerah</a>, usaha perbaikan kualitas pendidikan melalui pengembangan guru tidak lagi terbatas tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten dan kota yang berwenang mengelola sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) memiliki peran besar dalam menyediakan pendidikan berkualitas bagi masyarakatnya, termasuk dengan mendorong ketersediaan tenaga guru yang berkualitas.</p>
<p>Lalu, bagaimana peran pemerintah daerah dalam usaha perbaikan kualitas guru di era desentralisasi? Hasil analisis awal dari penelitian kami menunjukkan bahwa komitmen dan peran pemerintah daerah merupakan faktor krusial dalam usaha peningkatan kualitas guru yang dilakukan oleh pemerintah pusat. </p>
<h2>Inisiatif pemerintah daerah</h2>
<p>Diagnostik awal yang dilakukan oleh <a href="http://www.riseprogramme.org/content/rise-indonesia">tim peneliti Research in Improving System of Education (RISE) Indonesia</a> memperlihatkan bahwa hanya sedikit jumlah kabupaten dan kota yang memiliki inisiatif kebijakan atau program berkaitan dengan perbaikan kualitas guru tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Kurang dari 10% dari total sekitar 500 kabupaten dan kota di Indonesia yang teridentifikasi memiliki kebijakan atau program tersebut.</p>
<p>Proses diagnostik dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai bentuk inisiatif pemerintah daerah, di luar kegiatan operasional rutin mereka, yang berkaitan dengan guru. Informasi diperoleh dari penelusuran media dan wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan terkait. </p>
<p>Setidaknya, ada 77 kebijakan dan program terkait reformasi guru yang tersebar di 43 kabupaten dan kota. Sekitar 62% dari kebijakan atau program tersebut berbentuk tunjangan daerah untuk guru yang penyalurannya dilakukan berdasarkan kinerja guru atau kriteria tertentu (27%) atau pun tanpa kriteria sama sekali (35%). Hanya sekitar 9% dari kebijakan pemerintah daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas guru melalui perbaikan kemampuan mengajar dan pengetahuan mereka. </p>
<p>Temuan ini memperlihatkan masih rendahnya terobosan atau inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam meningkatkan kualitas guru.</p>
<p>Inisiatif pemerintah daerah secara umum masih terbatas pada peningkatan kesejahteraan para guru ketimbang kualitas mereka mengajar. Padahal, peningkatan kesejahteraan guru tidak serta merta <a href="http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/03/10/omluns359-mendikbud-tunjangan-profesi-guru-belum-berbanding-lurus-dengan-kualitas">meningkatkan kompetensi mereka</a> ataupun <a href="http://www.nber.org/papers/w21806.pdf">berdampak positif </a> terhadap hasil pembelajaran murid, setidaknya dalam jangka waktu pendek.</p>
<h2>Reformasi nasional guru</h2>
<p>Di tingkat internasional, hasil tes <a href="https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf">Programme for International Student Assessment (PISA) 2015</a> memperlihatkan kemampuan murid Indonesia di bidang literasi, matematika, dan ilmu pengetahuan alam lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan murid negara lain yang berpartisipasi dalam tes tersebut. Untuk tes matematika, Indonesia berada di ranking ke-65 dari 72 negara, jauh di bawah Vietnam (ranking 22) dan Thailand (55). Hasil tes bahasa maupun ilmu pengetahuan juga memperlihatkan hasil yang serupa.</p>
<p>Pemerintah menyadari bahwa perbaikan kualitas pembelajaran murid tidak dapat tercapai hanya dengan meningkatkan kesejahteraan guru. Intervensi pemerintah yang berbasis kemampuan mengajar dan pengetahuan guru dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas guru. </p>
<p>Pemerintah pusat menyelenggarakan Uji Kompetensi Guru (UKG) untuk memetakan kualitas guru, dengan mengukur kemampuan pedagogik dan kompetensi mereka. Tes tersebut terdiri dari <a href="http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/10/15/nw9ew3219-kemendikbud-targetkan-nilai-minimal-ukg-55">10 modul kompetensi</a> yang akan menjadi pintu masuk pemerintah dalam menjalankan program pelatihan untuk guru berdasarkan hasil UKG dari masing-masing guru. </p>
<p>Para guru yang memiliki hasil UKG di bawah standar minimum harus ikut program <a href="http://diklat.belajar.kemdikbud.go.id/">Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)</a> yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. </p>
<p>Berdasarkan hasil wawancara tim RISE Indonesia dengan pejabat Kementerian Pendidikan, pemerintah berencana untuk meningkatkan standar minimum UKG setiap tahunnya. Dengan begitu, para guru akan terus didorong untuk meningkatkan kompetensi profesional melalui partisipasi mereka di program PKB. Hal ini menjadi latar belakang dari pemilihan nama program tersebut dengan harapan guru akan secara berkelanjutan mengembangkan kompetensi profesionalnya.</p>
<h2>Implementasi kebijakan nasional</h2>
<p>Implementasi program PKB ini ditargetkan akan dapat meningkatkan kualitas para guru. Namun keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan menyebabkan sulitnya menyelenggarakan pelatihan guru dalam skala besar. Karena itu, diperlukan peran serta pemerintah daerah untuk mendukung terlaksananya program nasional tersebut. </p>
<p>Usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran melalui kebijakan dan program nasional terkait guru tidak akan mencapai hasil yang optimal bila tidak ada dukungan dan komitmen dari pemerintah daerah. Di sisi lain, masih banyak pemerintah daerah, terutama kabupaten dan kota, yang tidak memiliki kapasitas, baik dari sisi pengetahuan maupun sumber daya manusia (SDM), untuk membuat inisiatif kebijakan yang dapat berdampak langsung terhadap perbaikan kualitas pendidikan. </p>
<p>Untuk itu, koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah menjadi penting dalam usaha perbaikan kualitas guru. </p>
<p>Dari sisi pemerintah daerah, dibutuhkan komitmen untuk mendukung program nasional yang telah disusun oleh pemerintah pusat. Dukungan ini berbentuk baik alokasi anggaran daerah maupun SDM pemerintah daerah. Sementara itu, peningkatan kapasitas SDM dinas pendidikan daerah perlu menjadi salah satu strategi pemerintah pusat agar daerah memiliki kemampuan yang memadai melaksanakan program dari pusat. </p>
<p>Komunikasi yang baik tidak hanya penting dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, tapi juga di antara pemerintah daerah itu sendiri. Pemerintah daerah harus didorong untuk mau dan dapat saling belajar dari pengalaman daerah lain. </p>
<p>Pada akhirnya, pemahaman yang sejalan antara pemerintah pusat dan daerah akan tanggung jawab mereka untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia menjadi faktor utama keberhasilan reformasi guru di era desentralisasi ini. Ratusan triliunan rupiah yang sudah dibelanjakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru seharusnya mendongkrak kualitas pembelajaran dan lulusan sekolah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86000/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Luhur Bima terlibat dalam penelitian ini yang didanai oleh Research on Improving Systems of Education (RISE). RISE adalah program riset berbagai negara yang didanai pemerintah Inggris dan Australia. Pendapat dalam artikel ini adalah pendapat para penulis dan tidak mewakili pandangan RISE Programme serta para donornya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Asri Yusrina terlibat dalam penelitian ini yang didanai oleh Research on Improving Systems of Education (RISE). RISE adalah program riset berbagai negara yang didanai pemerintah Inggris dan Australia. Pendapat dalam artikel ini adalah pendapat para penulis dan tidak mewakili pandangan RISE Programme serta para donornya.</span></em></p>Komitmen dan peran pemerintah daerah merupakan faktor krusial dalam usaha peningkatan kualitas guru yang dilakukan oleh pemerintah pusat.Luhur Bima, Senior Researcher, SMERU Research InstituteAsri Yusrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.