Menu Close
Samara Heisz / Alamy Stock Photo

Campak: kenapa WHO menyatakannya sebagai ‘ancaman global yang segera datang’

Salah satu konsekuensi dari pandemi COVID-19 adalah berkurangnya akses ke layanan kesehatan rutin dan rendahnya penyerapan imunisasi. Akibatnya, pada November 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan campak menjadi “ancaman yang akan segera terjadi di setiap wilayah di dunia”. Mereka menggambarkan bagaimana rekor jumlah hampir 40 juta anak telah melewatkan setidaknya satu dosis vaksin campak pada 2021.

Campak adalah suatu penyakit pernapasan akibat infeksi virus. Mirip dengan COVID, campak menyebar antar-orang karena tetesan pernapasan (droplet) dan aerosol (penularan melalui udara). Infeksi ini menghasilkan ruam dan demam pada kasus ringan.

Namun, kasus parah dapat mencakup ensefalitis (pembengkakan otak), kebutaan, dan pneumonia. Ada sekitar 9 juta kasus per tahun dan 128.000 kematian akibat campak.

Di Indonesia, sepanjang 2022 dilaporkan lebih dari 3.300 kasus campak, naik lebih dari 32 kali dibanding setahun sebelumnya.

Vaksin campak, yang dapat diberikan sendiri atau dikombinasikan dengan vaksinasi lain seperti gondok dan rubella untuk melengkapi imunisasi MMR, sangat efektif. Mayoritas negara memiliki jadwal dua dosis, dengan suntikan pertama biasanya diberikan pada usia 12 bulan dan dosis kedua saat anak berusia empat tahun.

Vaksin ini memberikan perlindungan yang sangat tinggi dan tahan lama, dan benar-benar merupakan contoh model dari istilah “penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin”. Jadwal dua dosis memberikan sekitar 99% perlindungan terhadap infeksi campak.

Di negara-negara berkembang yang serapan vaksinnya rendah, sebanyak satu dari sepuluh yang terkena campak, meninggal karena infeksi ini. Di negara maju, kematian sangat tinggi pada orang yang tidak divaksinasi dengan tingkat sekitar satu per 1.000 hingga 5.000 kasus campak.

Wabah baru penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin di area seperti zona konflik dan di antara populasi pengungsi cukup tinggi. Masalah seperti malnutrisi sangat meningkatkan risiko penyakit parah. Penyakit pernapasan yang menuliar adalah suatu kekhawatiran besar bagi kelompok kemanusiaan yang membantu kelompok-kelompok rentan seperti pengungsi Ukraina.

Campak sangat menular. Angka reproduksi dasar (R0) – yaitu, rata-rata berapa banyak orang yang terinfeksi akan menginfeksi populasi yang rentan – diperkirakan antara 12-18. Sebagai perbandingan , R0 varian COVID omicron sekitar 8,2.

Proporsi dari suatu populasi yang perlu divaksinasi untuk mengendalikan wabah dan untuk meminimalkan penularan selanjutnyadikenal sebagai ambang kekebalan kawanan (herd immunity threshold/HIT). Untuk campak, cakupan vaksin dari 95% biasanya dianggap sebagai angka ajaib HIT.

Sayangnya, sebagian besar negara di dunia berada jauh di bawah ambang batas tersebut, dengan cakupan global sekitar 71% untuk dua dosis, dan 81% untuk cakupan satu dosis. Di Inggris, data pada 2021-2022 menunjukkan bahwa 89% anak-anak telah menerima satu dosis vaksin campak.

Secara global, telah terjadi kemajuan yang signifikan dalam pengurangan kematian dari semua penyebab pada anak di bawah usia lima tahun. Angka kematian tahunan menurun dari 12,5 juta pada 1990 menjadi 5,2 juta penduduk pada 2019. Namun, cakupan vaksin yang rendah dapat membalikkan kenaikan tersebut.

A child with a measles rash.
Ruam biasanya muncul beberapa hari setelah gejala seperti pilek. Jure Gasparic / Alamy Stock Photo

Bahkan jika anak-anak selamat dari campak, ada kemungkinan kerusakan jangka panjang pada sistem kekebalan mereka, digambarkan sebagai “bentuk amnesia imun”. Pada populasi yang tidak divaksinasi, kasus campak yang parah mengakibatkan hilangnya rata-rata 40% antibodi yang biasanya mengenali kuman.

Setelah kasus campak ringan, anak-anak yang tidak divaksinasi kehilangan 33% dari antibodi tersebut. Sebagai perbandingan, pengukuran pada populasi kontrol yang sehat menunjukkan hilangnya antibodi sebesar 10% selama durasi yang sama atau lebih lama.

Misinformasi tersebar luas

Advokasi anti-vaksin telah menyebarkan desas-desus palsu dan cerita menakutkan, seperti klaim palsu oleh mantan dokter dan aktivis anti-vaksin Andrew Wakefield bahwa vaksin MMR (vaksin campak, rubella, gondongan) menyebabkan autisme.

Keyakinan ini tetap ada. Misalnya, survei populasi Amerika Serikat pada 2020 menemukan: “18% responden kami secara keliru menyatakan bahwa sangat atau agak akurat untuk mengatakan bahwa vaksin menyebabkan autisme.”

Misinformasi sejak dimulainya pandemi COVID telah menyebar luas. Risiko informasi yang salah ini dapat beranjak ke tingkat keraguan yang lebih besar dan penolakan vaksin untuk imunisasi rutin .

Campak menyebar dengan mudah dan merupakan infeksi parah dalam jangka pendek dan jangka panjang pada populasi yang tidak divaksinasi. Ada kebutuhan besar akan kampanye imunisasi untuk semakin melindungi dari penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, di seluruh dunia. Kebutuhan tersebut sangat mendesak di negara-negara berkembang dan di antara populasi rentan lainnya seperti pengungsi dan daerah konflik.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now