Menu Close
Sejumlah Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) mengikuti rapid test COVID-19 di Medan, Sumatra Utara. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Medan melaksanakan rapid test terhadap 4.292 PPDP menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/foc.

Celah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan

Pemerintah sudah memutuskan untuk menunda pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah dari 23 September ke 9 Desember 2020.

Penundaan itu merupakan momen yang tepat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah untuk merevisi kembali aturan yang ada untuk menghindari praktik money politics atau politik uang yang merajalela di Indonesia.

Praktik money politics adalah praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator, calon kepala daerah atau bahkan calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu).

Riset terakhir menemukan bahwa satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu.

Pemerintah memang sudah memiliki beberapa aturan terkait dana kampanye untuk mengantisipasi kecurangan di lapangan. Tapi sayangnya, aturan yang ada masih memiliki beberapa celah yang jika tidak diperbaiki justru bisa mendorong praktik-praktik kecurangan tetap terjadi.

Celah hukum

Saat ini setidaknya sudah ada dua aturan hukum yang mengatur pengelolaan dana kampanye.

Dana kampanye sudah jelas diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 Pasal 74.

UU tersebut mengatur siapa yang berhak menyumbang dana, batas sumbangan dana kampanye hingga mekanisme penyimpanan dana kampanye dalam rekening bank.

Lalu ada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2017 sebagai petunjuk pelaksanaan tentang dana kampanye pilkada 2020.

Aturan KPU mengharuskan sumbangan dana kampanye dilengkapi dengan identitas lengkap penyumbang.

Aturan itu juga mengatur pencatatan dua bentuk sumbangan yang bisa berupa uang atau barang dan jasa. Sumbangan uang umumnya donasi awal yang biasanya untuk membuka rekening bank.

Peserta pilkada wajib mencatatnya dalam laporan awal dana kampanye (LADK) yang ditempatkan pada Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) di bank. Selanjutnya sumbangan-sumbangan kampanye bervariasi bisa dalam bentuk uang, barang atau jasa, peserta akan mencatatnya pada Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).

Dalam LPSDK, peserta yang menyumbang barang atau jasa tidak perlu menunjukkan bukti sumbangan yang ditransfer ke rekening bank, hanya bukti kuitansi pembelian barang dan jasa. Laporan akhir penerimaan dan pengeluaran dana kampanye dicatat di Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Seluruh laporan LADK, LPSDK, dan LPPDK dicatat menggunakan sistem teknologi informasi dari KPU yang bernama Sistem Dana Kampanye (SIDAKAM). Sistem ini bisa dipasang ke masing-masing komputer tim kampanye peserta pemilu untuk memberikan standar pelaporan. Namun, sistem ini masih belum bisa diakses publik.

Praktik di lapangan

Pengalaman penulis sebagai akuntan publik yang ikut mengaudit dana kampanye pemilu legislatif di Provinsi Sumatera Utara pada 2019 menunjukkan bahwa tidak adanya batasan sumbangan dalam bentuk barang dan jasa dan tidak adanya keharusan untuk mencatat sumbangan tersebut ke rekening bank menjadi celah yang disalahgunakan peserta pemilu.

Penulis menemukan bahwa semua peserta pemilu melaporkan penerimaan sumbangan dana kampanye tidak dalam bentuk uang tunai tapi dalam bentuk barang dan jasa yang jumlahnya bisa lebih besar dari yang dilaporkan karena tidak termonitor dan terverifikasi dalam rekening koran.

Peserta pada umumnya melaporkan penerimaan dalam bentuk sumbangan barang dan jasa sesuai dengan batasan sumbangan yang diperbolehkan, padahal jumlah sebenarnya bisa lebih dari yang dilaporkan. UU Pilkada membatasi pemberian sumbangan oleh individu hanya boleh maksimal Rp75 juta sedangkan untuk badan usaha maksimal Rp750 juta.

Contoh misalnya peserta pemilu menerima sumbangan dalam bentuk kaus, spanduk, biaya percetakan, dan jasa penyanyi pada saat kampanye terbuka. Sumbangan ini diterima hanya dengan bukti dokumen kuitansi pembelian barang dan pembayaran jasa saja yang nilainya rawan dimanipulasi.

Hal tersebut bisa dihindari jika semua sumbangan tersebut masuk dalam rekening bank. Manipulasi data sumbangan kampanye akan sulit dilakukan jika seluruh penerimaan dana kampanye termasuk dalam bentuk barang dan jasa masuk ke rekening bank terlebih dahulu. Setelah dana masuk baru bisa dikeluarkan untuk belanja barang dan jasa.

Sistem pengawasan yang ada saat ini juga belum melibatkan publik untuk ikut mengawasi. Laporan akhir penggunaan dana kampanye hanya diunggah setelah diaudit oleh akuntan publik independen di laman KPU dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang proses pelaporannya masih tertutup.

Solusi

Masih ada waktu untuk memperbaiki aturan dana kampanye jika ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah dengan cara membatasi sumbangan dana kampanye yang tidak tercatat di rekening bank.

Seandainya tidak bisa dihapus 100%, sumbangan dalam bentuk barang dan jasa sebaiknya dibatasi dengan nominal tertentu dan harus melaporkannya ke rekening bank.

Hal ini untuk membuat sistem pelaporan dana kampanye menjadi lebih transparan dan adil yang nantinya akan meminimalkan potensi kecurangan.

Aturan pembatasan sumbangan biaya kampanye baik dari perorangan maupun kelompok/badan usaha non-pemerintah akan lebih mudah diawasi dan diaudit jika arus keluar masuk sumbangan tercatat di dalam sistem perbankan.

Bawaslu sebaiknya meminta laporan dana kampanye ini secara periodik, misalnya per bulan, memastikan bahwa semua sumbangan harus melalui rekening bank, dan juga memberikan sanksi yang jelas jika tidak dilaksanakan.

Bawaslu bisa mencontoh pemilihan umum di Amerika Serikat yang mewajibkan semua kandidat mengumumkan perolehan dana kampanye secara berkala kepada publik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now