Menu Close

Cermin kasus Brigadir Yosua dan Stadion Kanjuruhan: siapa yang menanggung biaya pemeriksaan forensik?

Tersangka Bharada Richard Eliezer (ketiga kiri) berjalan sebelum rekonstruksi pembunuhan Brigadir Joshua di rumah pribadi Irjen Ferdy Sambo di Jalan Saguling, Duren Tiga, Jakarta, 30 Agustus 2022. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww

Adanya permintaan autopsi ulang – karena hasil autopsi pertama sempat diragukan – dalam kasus kematian tidak wajar Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat dan kasus tragedi kematian massal di Stadion Kanjuruhan membuka tabir bahwa praktik kedokteran forensik belum sepenuhnya menjadi bagian sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

Meski sudah tercantum dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, saat ini pelayanan forensik patologi (autopsi mayat) dan forensik klinik (pemeriksaan korban hidup) tidak tercakup dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan.

Forensik klinik adalah pemeriksaan forensik orang hidup. Misalnya pemeriksaan korban kasus penganiayaan, kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, penyiksaan anak, atau kecelakaan lalu lintas. Pemeriksaan atas terduga atau tersangka pelaku juga termasuk ke dalam lingkup ini, misalnya pemeriksaan kedokteran untuk memastikan seseorang adalah pelaku kekerasan seksual.

Pemeriksaan orang hidup atau forensik klinik sebetulnya pernah tercakup dalam BPJS sebelum 2018, tapi implementasinya menghadapi kendala.

Salah satu masalahnya adalah pemeriksaan forensik tidak pernah dimasukkan dalam Casemix INA-CBGs (Indonesian Case Base Groups), yaitu algoritme penatalaksanaan pasien berdasarkan diagnosis. Algoritme ini menjadi dasar tentang dokter apa saja yang terlibat dalam penanganan pasien, pemeriksaan apa yang perlu dilakukan, langkah-langkah terapi atau penatalaksanaan, dan biaya yang bisa diklaimkan.

Belum sempat kendala ini ditangani, pada 2018 terbit Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 yang menghapus cakupan BPJS untuk kedokteran forensik sama sekali.

Sejumlah pemain dan pengurus Arema FC menaburkan bunga di depan patung Singa Tegar kawasan Stadion Kanjuruhan, Malang, 3 Oktober 2022. Tabur bunga dan doa bersama tersebut sebagai bentuk duka cita atas jatuhnya korban 133 jiwa pada tragedi di Stadion Kanjuruhan. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/rwa

UU mengatur, tapi tidak jelas mekanismenya

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 136 dan 229 dengan jelas mengatakan pembiayaan pemeriksaan autopsi ditanggung oleh negara.

Pasal 125 UU Kesehatan juga menyatakan pembiayaan pemeriksaan forensik untuk korban hidup maupun mayat ditanggung APBN atau APBD. Namun tidak dijelaskan institusi negara yang mana yang berkewajiban membiayai atau bagaimana pembiayaan ini selayaknya dikeluarkan.


Read more: Pakar Menjawab: bagaimana tes DNA bisa membantu polisi usut pembunuhan seperti kasus Brigadir Yosua?


Peraturan BPJS No. 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Pasal 59 ayat (2) huruf i menyatakan bahwa pelayanan kedokteran forensik klinik termasuk dalam skema BPJS.

Dalam kenyataannya peraturan perundang-undangan tersebut sulit dijalankan, khususnya setelah terbit Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 Pasal 52 ayat (1) huruf r dan s. Perpres ini menyatakan bahwa skema jaminan kesehatan tak lagi menjamin pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.

Jadi siapa yang membayar?

Jika berpegang pada peraturan presiden tersebut, maka logikanya pembiayaan dibebankan kepada institusi penegak hukum (kepolisian) yang memerlukan pemeriksaan forensik.

Peraturan Kepolisian (Perkap) No. 8 Tahun 2018 menyatakan bahwa pelayanan kedokteran forensik tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Pasal 10-12 menyatakan biaya yang menjadi tanggung jawab Kepolisian adalah

  • pembuatan visum et repertum (VeR) atau surat keterangan medis orang hidup;
  • pembuatan VeR orang mati (pemeriksaan luar, autopsi, pemeriksaan lab kedokteran forensik, gali kubur atau ekshumasi);
  • identifikasi personal;
  • pemeriksaan psikiatri forensik; dan
  • pembuatan database kedokteran forensik.
  • Hukum kesehatan dan medikolegal untuk kepentingan hukum dan peradilan (memberikan keterangan ahli dalam berita acara pemeriksaan; memberikan keterangan ahli di pengadilan; konsultasi hukum kesehatan; dan mediasi masalah kesehatan dalam sengketa medis).

Solusi yang sulit dipraktikkan

Perlu dikaji mendalam bagaimana skema perundang-undangan ini diterjemahkan dan dilaksanakan di tingkat praktis.

Beberapa rumah sakit daerah tampaknya menerapkan pembiayaan tunai (non asuransi) untuk semua keperluan yang tidak dapat diklaim, baik untuk pembiayaan pemeriksaan kesehatan (pengobatan), maupun untuk pemeriksaan (pelaporan forensik).

Rumah sakit tidak memandang apakah nanti yang akan membayar pihak Kepolisian atau pihak pasien (korban). Apakah karena jumlah kasus tidak banyak sehingga sistem ini dianggap lebih mudah?

Di tingkat praktis, kesulitan terjadi karena berarti Kepolisian (penyidik) harus menyediakan dana tunai untuk membayar biaya terkait. Bagaimana jika pihak korban membayarkan terlebih dulu apakah akan di-reimburse? Apakah jika tidak ada dana tunai pihak rumah sakit dapat mengeluarkan tagihan kepada Kepolisian? Kalau bisa, bagaimana teknisnya ? Apakah pemeriksaan (autopsi) yang dibiayai oleh pihak lain tidak diakui sebagai bukti? Sering muncul berbagai pertanyaan masyarakat dan rumah sakit yang belum ada jawaban memuaskan.

Ketidakjelasan ini rupanya dapat menyebabkan korban kekerasan harus membayar sendiri pemeriksaan kesehatan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum. Ini satu contoh, belum ada gambaran statistik untuk memperlihatkan luasnya masalah.

Beberapa pemerintah daerah berkomitmen membiayai pelayanan pemeriksaan kekerasan pada perempuan dan anak. Namun, hal ini sangat tergantung pada kondisi daerah, sehingga keberlakuannya tidak seragam di semua daerah.

Masukkan ke sistem kesehatan

Karena kedokteran forensik belum tegas dijadikan bagian dari sistem pelayanan kesehatan, hal ini berimbas pada kurang jelasnya kebijakan yang dapat menjamin agar praktik kedokteran forensik berlangsung dengan baik.

Imbas signifikan terjadi pada minimnya fasilitasi pelayanan kedokteran forensik. Dari sisi profesionalisme, misalnya, tingkat penghasilan dokter spesialis forensik rata-rata jauh lebih rendah dibanding profesi dokter spesialis lainnya.

Akibatnya, minat dokter untuk menjadi spesialis forensik sangat rendah. Saat ini Indonesia hanya memiliki kurang dari 300 dokter spesialis forensik dan medikolegal dengan sebaran terbanyak di 7 universitas besar dengan program studi spesialis forensik & medikolegal. Jumlah lulusan baru spesialis forensik sulit mengimbangi yang pensiun atau meninggal.


Read more: Kenapa Indonesia butuh sistem otopsi mayat yang independen dan imparsial? Belajar dari kasus Brigadir Yosua


Ditambah lagi permintaan Kepolisian untuk mengautopsi di rumah sakit pusat atau daerah semakin turun. Sebab kepolisian lebih memilih untuk mengirimnya ke rumah sakit kepolisian yang saat ini jumlahnya 52 rumah sakit.

Pengembangan ilmu dan praktik kedokteran forensik Indonesia jangan sampai terjerumus pusaran negatif seolah-olah pemeriksaan kematian via autopsi itu baru dilakukan hanya jika ada permintaan dari kepolisian.

Kini saatnya kita masuk pada paradigma pelayanan kedokteran forensik sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan kedokteran forensik dilaksanakan oleh dokter (tenaga kesehatan), di fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit), menggunakan prinsip dan dikembangkan melalui ilmu pengetahuan kedokteran. Ini bermanfaat bukan saja untuk kepentingan hukum tapi juga untuk kedokteran pencegahan.

Karena itu, pemerintah harus mereformasi sistem pelayanan kedokteran forensik, termasuk sistem pembiayaannya, untuk menjadi sistem yang independen, akuntabel, transparan, dan dijamin imparsialitasnya.

Salah satu caranya adalah masukkan praktik kedokteran forensik dalam sistem kesehatan nasional dengan melayani kepentingan forensik berbagai pihak, baik otoritas penegak hukum sebagai klien utama, maupun kepentingan individual di masyarakat, dalam kerangka hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi.

Dengan cara itu, seluruh sistem bersinergi membangun pelayanan kedokteran forensik Indonesia profesional dan independen untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab. Harapannya kepercayaan masyarakat terhadap pemeriksaan forensik yang disampaikan oleh dokter forensik akan meningkat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now