Menu Close
(Shutterstock)

ChatGPT: riset kami tunjukkan AI bisa membuat naskah akademik selevel artikel jurnal – tak heran banyak publikasi melarangnya

Beberapa penerbit jurnal ilmiah terbesar di dunia kini telah melarang atau membatasi para penulisnya untuk memakai ChatGPT, bot percakapan berbasis kecerdasan buatan (AI).

Bot ini memakai informasi dari berbagai sudut internet untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang cukup baik untuk berbagai pertanyaan. Oleh karenanya, para penerbit khawatir bahwa karya yang tidak akurat atau karya hasil plagiasi bisa saja masuk ke dalam laman-laman literatur akademik yang mereka publikasikan.

Beberapa peneliti bahkan mendaftarkan bot ini sebagai rekan penulis (co-author) dalam studi – penerbit merespons ini dengan melarangnya. Tapi kepala editor Science, salah satu jurnal ilmiah ternama di dunia, mengambil satu langkah lebih dan memutuskan untuk mengharamkan penggunaan teks hasil olahan ChatGPT dalam bentuk maupun untuk tujuan apapun dalam naskah-naskah yang diajukan.


Read more: Major publishers are banning ChatGPT from being listed as an academic author. What’s the big deal?


Tak heran bahwa penggunaan bot percakapan semacam ini menjadi perhatian banyak publikasi akademik. Riset terbaru kami, yang terbit di Finance Research Letters, menunjukkan bahwa ChatGPT mampu menuliskan artikel akademik dalam bidang keuangan yang layak masuk jurnal ilmiah.

Tentu performa bot ini punya kekurangan dalam beberapa aspek. Tapi, tinggal kami tambahkan saja keahlian dan wawasan kami, kemudian program ini sudah bisa melampaui berbagai keterbatasannya di mata para penelaah jurnal.

Meski demikian, kami berpandangan bahwa para penerbit dan peneliti tak serta merta harus menganggap ChatGPT sebagai ancaman. Kami menganggap ChatGPT bisa menjadi alat bantu yang potensial dalam melakukan penelitian – sebutlah asisten elektronik yang murah atau bahkan gratis.

Pemikiran kami begini: jika semudah itu mendapatkan jawaban-jawaban yang bagus dari ChatGPT, mungkin para peneliti tinggal mengambil langkah esktra untuk bisa memakainya demi menghasilkan riset yang luar biasa.

Misalnya, kami pertama menanyakan ChatGPT untuk menghasilkan empat bagian umum dalam studi: ide penelitian, kajian literatur (suatu evaluasi atau reviu dari studi-studi yang sudah dilakukan sebelumnya tentang topik ini), data, dan rekomendasi untuk proses pengujian dan penyelidikan lanjutan. Kami hanya menentukan tema umum dan bahwa hasilnya harus bisa terbit dalam “jurnal keuangan yang bagus”.

Ini adalah versi satu dari penggunaan ChatGPT kami. Untuk versi dua, kami memasukkan hampir 200 abstrak terkait studi-studi relevan yang sudah ada ke dalam jendela ChatGPT. Kami kemudian meminta program untuk mempertimbangkan hal-hal ini saat merancang empat tahap penelitian tersebut.

Kemudian untuk versi tiga, kami menambahkan “keahlian domain” – input dari peneliti dan akademisi. Kami membaca jawaban-jawaban yang dihasilkan oleh bot tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikan. Dengan begitu, kami mengintegrasikan keahlian kami dengan kemampuan ChatGPT.

Hingga akhirnya, kami meminta panel berisi 32 penelaah untuk masing-masing mereviu satu versi bagaimana ChatGPT bisa digunakan untuk menghasilkan studi. Mereka diminta menilai apakah karya-karya tersebut cukup komprehensif, tepat, dan apakah menawarkan kebaruan yang cukup untuk bisa terbit dalam jurnal keuangan yang “bagus”.

Pelajaran utama yang kami ambil adalah bahwa seluruh studi yang kami hasilkan dengan bantuan ChatGPT dianggap layak oleh para penelaah ahli. Ini cukup mencengangkan: suatu bot percakapan dianggap mampu menghasilkan ide-ide riset berkualitas.

Ini tentu memantik banyak pertanyaan fundamental terkait makna dari kreativitas dan kepemilikian ide-ide kreatif – pertanyaan-pertanyaan yang tak ada satu pun bisa menjawab.

Lecture theatre
ChatGPT bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian. Shutterstock

Kelebihan dan kekurangan

Hasil ini juga menggarisbawahi beberapa potensi kelebihan dan kekurangan dari ChatGPT. Kami menemukan bahwa nilainya bisa berbeda-beda untuk bagian riset yang berbeda. Dalam kasus kami, bagian ide penelitian dan data cenderung meraih skor tinggi. Sementara, skor untuk bagian kajian literatur dan rekomendasi pengujian lebih rendah, meski tetap bisa diterima.

Dugaan kami adalah bahwa ChatGPT unggul dalam mengambil serangkaian teks eksternal lalu menghubungkannya (yang merupakan inti dari ide penelitian), atau mengambil bagian-bagian yang mudah diidentifikasi dalam suatu dokumen lalu membuat beberapa penyesuaian saja (contohnya ringkasan data – segmen teks yang mudah dikenali dalam kebanyakan artikel ilmiah).

Kelemahan dari platform ini terlihat ketika tugasnya lebih kompleks, misalnya ketika ada terlalu banyak tahapan dalam proses konseptual. Kajian literatur dan pengujian bisa dianggap masuk dalam kategori ini. ChatGPT cenderung unggul dalam beberapa tahapan, tapi tidak semua – dan para penelaah pun melihat ini.

Meski demikian, kami mampu mengatasi keterbatasan ini dalam versi penggunaan ChatGPT kami yang paling canggih (versi tiga), ketika kami berkolaborasi dengan bot tersebut untuk menghasilkan rancangan studi yang layak. Seluruh segmen dalam rancangan studi yang kami hasilkan meraih skor tinggi dari penelaah. Ini menunjukkan bahwa peran para peneliti belum mati.

Dampak etis

ChatGPT adalah alat. Dalam riset kami, kami menunjukkan bahwa, dengan penanganan hati-hati, ia bisa digunakan untuk menghasilkan rancangan penelitian keuangan yang layak. Bahkan tanpa penanganan lebih, ia masih mampu menghasilkan karya yang masih relatif oke.

Jelas, ini punya implikasi etis bagi penelitian.

Sebelumnya saja, integritas riset telah menjadi problem mendesak dalam dunia akademik. Situs seperti RetractionWatch rutin menyampaikan hasil penelitian yang palsu, hasil plagiasi, atau bahkan benar-benar salah. Apakah ChatGPT bisa memperparah hal ini?

Jawaban singkatnya, bisa jadi. Tapi kita tak bisa mengembalikan susu yang sudah tumpah. Teknologi ini hanya akan menjadi lebih canggih (dan dengan sangat cepat). Bagaimana caranya kita mengakui atau meregulasi peran ChatGPT dalam riset dalam pertanyaan besar yang perlu dijawab di kemudian hari.

Tapi temuan kami juga berguna dalam hal ini – dengan menemukan bahwa versi kolaborasi ChatGPT yang paling superior adalah yang melibatkan keahlian sang peneliti, kami menunjukkan bahwa masukan dari peneliti manusia masih sangat penting dalam menghasilkan riset yang layak.

Untuk saat ini, kami berpandangan bahwa peneliti sebaiknya melihat ChatGPT sebagai asisten, bukan ancaman. Bisa jadi, alat ini berguna bagi kelompok peneliti yang biasanya kesulitan mendapatkan sumber daya finansial untuk menyewa bantuan riset tradisional (manusia) – yaitu para peneliti negara berkembang, mahasiswa pascasarjana, dan peneliti pada awal karir.

Sangat memungkinkan bahwa ChatGPT (maupun program serupa) bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian.

Tapi para peneliti perlu sadar akan banyaknya larangan penggunaan teknologi ini dalam penulisan dan pengajuan naskah akademik. Cukup jelas bahwa ada banyak pandangan berbeda terkait penggunaan teknologi ini, jadi perlu kehati-hatian lebih dalam penggunaannya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now