Menu Close

Cina kembangkan pengaruhnya melalui media dengan 3 strategi berikut

The Climate Reality Project , CC BY

Cina, dalam beberapa tahun terakhir, kian memperlihatkan upaya untuk memperluas pengaruh medianya secara global seiring dengan pesatnya pertumbuhan peran Cina dalam tatanan dunia.

Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tak urung menjadi salah satu target prioritas propaganda media Beijing, terlebih karena Indonesia menjadi lokasi strategis dan penting bagi terwujudnya mega proyek infrastruktur milik Cina Belt and Road Initiative (BRI).

Di berbagai belahan dunia, strategi pemerintah Cina dalam menyebarkan informasi dan menanamkan narasi versinya adalah dengan melakukan kesepakatan berbagi konten melalui kemitraan dengan media, pengaturan sensor, serta pelatihan bagi para jurnalis asing.

Cina mengadopsi berbagai strategi di atas dengan tujuan untuk memperkuat narasi yang sejalan dengan kepentingan Partai Komunis Cina (PKC) untuk disebarkan, terutama ke negara-negara yang memiliki jalinan kerja sama penting dengan Negeri Tirai Bambu ini, tak terkecuali Indonesia.

Memperluas kehadiran fisik

Beberapa media Cina juga telah mendirikan kantor cabang mereka di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, seperti Hi Indo! Channel yang beroperasi di bawah otoritas China International Television Corporation (CITV) dan menargetkan para penonton muda. Selain itu, kantor berita terbesar di Cina, Xinhua, pun telah membuka kantor cabangnya di Jakarta.

Perkembangan ini mempunyai andil besar untuk memudahkan agenda operasional mereka, terutama dalam upaya merekrut wartawan dan pegawai lokal yang diharapkan dapat membantu memastikan bahwa “narasi versi Cina” tersebar secara luas melalui bahasa lokal.

Beberapa media Cina juga telah merambah dunia digital dengan memiliki akun media sosial berbahasa Indonesia. Contoh paling krusial adalah Xinhua, yang memiliki akun Twitter berbahasa Indonesia dengan 64.400 pengikut.

Meskipun jumlah pengikut ini tidak seberapa dibandingkan dengan media asing lainnya seperti Voice of America milik Amerika Serikat di Indonesia dengan 324.000 pengikut, namun kehadiran akun media sosial Cina versi Bahasa Indonesia ini telah membuka pintu bagi PKC untuk menyebarkan narasinya kepada penduduk Indonesia secara langsung.

Laman Twitter Xinhua Indonesia, misalkan saja, sering berisi terjemahan pidato Xi Jinping yang menyebarkan narasi tentang bagaimana proyek BRI akan menguntungkan Indonesia. Topik mengenai unifikasi Taiwan dengan Cina serta berita tentang kunjungan dan komentar positif politikus Indonesia terhadap Xinjiang juga sering menghiasi laman twitter akun tersebut.

Mengundang wartawan ke Cina dan bekerja sama dengan media Indonesia

Selain itu, dalam beberapa waktu belakangan ini, Cina juga sangat aktif mengundang banyak jurnalis asing ke negara itu dengan tujuan agar Cina dapat mensuplai informasi yang telah dikurasi sesuai dengan narasi berita yang ingin ia sebarkan ke dunia.

Pada 2019, perwakilan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) turut menghadiri konferensi Forum Jurnalis Belt and Road Initiative (BRI). Acara tersebut diselenggarakan oleh Asosiasi Seluruh Jurnalis Cina (All China Journalist Association-ACJA) yang juga merupakan afiliasi dari PKC.

Didukung oleh China Communications University dan China International Radio, kerja sama dari konferensi tersebut juga melahirkan berbagai kemitraan, di antaranya meliputi pertukaran jurnalis, pelatihan jurnalistik, pelaporan berita bersama, serta beragam kegiatan akademik lainnya.

Sekembalinya dari konferensi tersebut, seorang jurnalis dari Lombok menulis sebuah artikel di koran lokal Indonesia memuji Cina dan kebebasan persnya.

Pada tahun yang sama, menyusul meningkatnya protes atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Cina terhadap masyarakat Uighur, jurnalis Indonesia, bersama dengan para pemimpin organisasi Muslim diundang untuk mengunjungi Cina dalam rangkaian tur ke Xinjiang yang telah diatur dan dimodifikasi sebelumnya sehingga rombongan tersebut hanya diizinkan untuk dibawa ke sebagian kecil kamp Uighur saja.

Selain mengundang para jurnalis ke Cina, entitas media Negeri Tirai Bambu ini juga telah menjalin hubungan dengan rekan dan partner media di Indonesia untuk mendukung strategi berbagi konten berita. Strategi ini terbukti memudahkan konten media yang bersumber dari pemerintah Cina beredar luas serta menjangkau khalayak Indonesia melalui media lokal.

Kerja sama semacam ini juga telah terjalin dengan The Jakarta Post. Mereka bekerja sama dengan media dari Cina, seperti Xinhua dan China Daily yang dimiliki oleh Departemen Publisitas PKC, untuk posting ulang berita mereka. The Jakarta Post juga pernah menerbitkan artikel yang ditulis oleh beberapa duta besar Cina.

Selain itu, Xinhua juga telah menandatangani perjanjian kemitraan dengan kantor berita negara Indonesia Antara dan MetroTV, yang membuat dua organisasi media besar Tanah Air ini menyiarkan berita bernada lebih positif dan liputan yang terlihat kurang kritis tentang Cina.

Penelitian dari British Journal of Chinese Studies juga mengkonfirmasi bahwa beberapa media Indonesia, yang sering posting ulang laporan media Cina dalam beberapa tahun terakhir, acap kali menerbitkan dan menulis berita tentang Cina dengan narasi positif.

Kebijakan Sensor

Cina juga secara bertahap terus melakukan upaya penyensoran informasi anti-Cina di Indonesia.

Pada Agustus 2020, Reuters melaporkan bahwa perusahaan teknologi Cina ByteDance telah menyensor artikel yang kritis terhadap pemerintah Cina yang terbit di Baca Berita Indonesia (BaBe). Babe ialah aplikasi agregator berita yang digunakan oleh jutaan orang di Indonesia. Aturan penyensoran tersebut didasarkan pada instruksi dari kantor pusat di Beijing.

Konten yang dibatasi di antaranya termasuk berita yang menyematkan referensi ke “Tiananmen” dan “Mao Zedong.” Adapun berita yang menginformasikan mengenai ketegangan Cina-Indonesia di Laut Cina Selatan dan larangan lokal pada aplikasi berbagi video TikTok yang juga dimiliki ByteDance, juga termasuk dalam konten yang disensor. Walaupun demikian, Reuters juga menyebutkan adanya klaim bahwa aturan moderasi tersebut tidak terlalu ketat pada 2019 dan pertengahan 2020 yang lalu.

Pada awal 2021, badan sensor pemerintah Cina juga memblokir situs surat kabar Indonesia Jawapos.com di beberapa daerah seperti di Beijing, Shenzhen, Mongolia Dalam, dan provinsi Yunnan.

Jawapos.com mengatakan hal ini diduga karena pemerintah Cina sangat sensitif terhadap media yang mengkritik PKC. Selain alasan itu, ditengarai berita yang sering dimuat di Jawapos.com terkait pelanggaran hak asasi manusia yang diderita masyarakat Uighur juga dapat menjadi pemicu keluarnya perintah pemblokiran tersebut.

Apa yang harus dilakukan

Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia perlu memastikan bahwa pengaruh media Cina tidak mengancam kebebasan demokrasi, khususnya bagi media pers negeri ini.

Lembaga think tank Freedom House yang berbasis di Amerika Serikat turut menyarankan sejumlah cara untuk menghadapi pengaruh media Cina yang kian meningkat.

Pertama, Indonesia perlu mendorong lembaga akademis dan penelitian untuk melakukan riset yang komprehensif guna mempelajari dan menganalisis strategi media Cina dalam menyebarkan narasi biasnya. Temuan tersebut kemudian dapat dijadikan basis untuk meningkatkan kesadaran jurnalis mengenai isu ini.

Media lokal juga harus menyadari kemungkinan risiko jurnalistik dan politik sebagai akibat dari bekerja sama dan menjalin kemitraan dengan media Cina.

Tak kalah pentingnya, jurnalis dan asosiasi media harus berhati-hati saat menandatangani kesepakatan kebijakan berbagi konten, tak hanya dengan media pemerintah Cina saja, tetapi juga berbagai asosiasi jurnalis yang terafiliasi dengan PKC.

Adalah tanggung jawab utama bagi media massa untuk selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dengan bersikap transparan terhadap konten bersponsor, tulisan yang dibayar oleh pejabat Cina, serta menyajikan informasi mengenai sumber dana bagi jurnalis yang bepergian ke Cina atas hasil berita yang dipublikasikan.

Yeta Purnama, mahasiswi Universitas Islam Indonesia, berkontribusi pada artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now