Menu Close

COVID-19 di Asia Tenggara: bukan ‘sekadar’ krisis kesehatan

Seorang demonstran memberikan hormat tiga jari selama protes terhadap kudeta militer di Mandalay, Myanmar, pada awal Mei. EPA

Kasus COVID-19 telah meningkat begitu drastis di Asia Tenggara beberapa bulan terakhir – bahkan pada bulan Juli, kawasan ini mencatat laju kematian paling cepat di dunia. Dengan merebaknya varian Delta, Asia Tenggara dan 655 juta penduduknya kini telah menjadi pusat pandemi akibat faktor geografis, politik, dan faktor sosial ekonomi yang ada.

Seperti terjadi di berbagai tempat lain di dunia, pandemi di Asia Tenggara mengungkap kebobrokan sistem.

Pandemi menunjukkan betapa negara-negara lebih mengutamakan kepentingan ekonomi ketimbang kerusakan lingkungan dan bencana kesehatan yang meningkat pesat di wilayahnya.

Tata kelola politik yang berpusat di elite dan meningkatnya halangan bagi masyarakat sipil semakin mempersulit warga Asia Tenggara untuk terlibat dengan pemerintah dalam mengatasi krisis ini.

Mengungkap dampak sistemik

Di Asia Tenggara, banyak sisi sosial dan budaya dalam pada masa pandemi ini tertutupi. Suara-suara dari pakar humaniora dan ilmu sosial, dan bahkan pakar kesehatan masyarakat tampaknya tidak didengar.

Pemerintah-pemerintah telah menerapkan langkah-langkah top-down tanpa mendiskusikan dengan mendalam apakah langkah-langkah tersebut sesuai dengan konteks, implikasi, dan dampak yang ada.

Krisis ini kompleks dan sistemik, maka perlu dibedah dari beberapa sudut.

Yang utama, faktor-faktor sosial ekonomi dan politik dalam pandemi perlu dipahami dan ditangani dengan lebih baik.

Pemerintah di Asia Tenggara dengan gencar mendorong upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, mereka secara tidak langsung telah mengabaikan upaya-upaya alternatif untuk mengurangi ketidaksetaraan dalam masyarakat dan memajukan keberlanjutan sumber daya alam.

Dalam menghadapi dampak pandemi, bantuan jangka pendek bukanlah solusi pengganti untuk penguatan perlindungan sosial dan adanya mekanisme redistribusi yang justru sangat dibutuhkan.

Kelompok masyarakat di seluruh Asia Tenggara memanfaatkan modal budaya dan sosial mereka untuk mengatasi masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya – COVID-19 telah mengubah cara hidup dan mata pencaharian mereka sehari-hari.

Mereka mencoba untuk menumbuhkan budaya ketahanan bersama-sama dalam situasi yang penuh batasan. Namun mereka sedikit mendapat perhatian atau dukungan dari lembaga pemerintah.

Semua permasalahan ini membutuhkan diskusi publik terbuka dan pengambilan keputusan yang transparan. Sedang realitanya, kita melihat ruang sipil menyusut akibat gencarnya langkah-langkah keamanan dan teknologi invasif dengan kedok kesehatan oleh pihak berkuasa.


Read more: Aspek keadilan sering dilupakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia


Politik pandemi dan hak asasi manusia

Salah satu karakter menonjol di Asia Tenggara adalah sebagian besar memiliki pemerintahan demokratis yang otoriter atau parsial.

Krisis kesehatan memberi rezim-rezim ini peluang untuk semakin menekan perbedaan pendapat politik dan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka.

Dominasi oligarki dan kelompok elite dalam keuangan negara membentuk arah pemerintahan.

Pemerintah cenderung menjadikan masalah kesehatan dan sosial sebagai masalah keamanan yang memerlukan langkah pengamanan besar-besaran, persenjataan, dan militerisasi. Kami melihat ini terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina.

Langkah-langkah ini dilakukan melalui metode yang beragam; termasuk pengawasan dan kriminalisasi warga. Secara khusus, kelompok minoritas dan populasi rentan – dari pengungsi dan migran hingga komunitas agama minoritas – menjadi kambing hitam.

Penggunaan teknologi untuk pelacakan kontak menciptakan ketidakpastian dalam perlindungan hak individu dan hak kolektif atas kesehatan.

Ini terjadi seiring dengan adanya pembatasan kebebasan sipil seperti kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan informasi; kita bisa lihat ini terjadi di Kamboja, Thailand, dan secara brutal terjadi di Myanmar.


Read more: Pembatasan internet setelah kerusuhan 22 Mei: Keamanan publik lebih utama ketimbang kebebasan bermedia sosial


Sistem solidaritas lokal

Menghadapi gejala otoriter ini, rakyat Asia Tenggara bergantung pada upaya-upaya lokal, rahasia, atau sembunyi-sembunyi untuk menjaga dan mempertahankan ekonomi lokal dan sistem kekayaan swadaya masyarakat.

Krisis COVID-19 berdampak buruk pada ratusan ribu orang yang mencari nafkah dari ekonomi jalanan.

Sebuah studi yang mempelajari kelompok miskin kota Jakarta menunjukkan kemampuan mereka bertahan dalam menghadapi kelambanan pemerintah dan risiko tinggi untuk terus bertahan hidup.

Risiko utama adalah ancaman kesehatan bagi kelompok miskin Jakarta karena tingkat tes COVID-19 yang sangat rendah dan akses minim ke alat pelindung.

Perubahan cepat kondisi Ibu Kota Indonesia – yang sebelum pandemi saja sudah genting – membuat banyak orang tidak memiliki banyak pilihan. Banyak yang kembali ke kota dan desa asal. Beberapa kemungkinan membawa virus.

Kelompok miskin juga rentan terhadap rentenir. Para rentenir ini memanfaatkan adanya kebutuhan masyarakat demi uang tunai, menambah jumlah utang yang kerap sangat melumpuhkan.

Kelambanan pemerintah serta komnbinasi ancaman penyakit dan kehancuran ekonomi mengharuskan warga untuk akhirnya bergantung pada diri mereka sendiri dan pada satu sama lain demi bertahan hidup.

Mereka mengembangkan jaringan yang saling mendukung dan berswadaya untuk memberikan perlindungan bersama.

Namun karena dampak pembatasan sosial dan penutupan terus berlanjut, peluang sosial dan ekonomi semakin menyusut. Jaringan swadaya saja tidak cukup.

Di Indonesia, sebagaimana negara Asia Tenggara lainnya, intervensi mendasar pemerintah diperlukan segera agar penduduk miskin dapat melewati krisis ini.

Orang miskin sangat membutuhkan rapid test, bahan makanan yang cukup dan berkelanjutan, subsidi tunai tanpa birokrasi berbelit, infrastruktur dasar termasuk pasokan air bersih, dan penghentian penggusuran dan pembayaran utang. Tanpa langkah-langkah ini, mereka akan menjadi kelompok paling menderita dalam pandemi.


Read more: Aspek keadilan sering dilupakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia


Kemanusiaan dalam masa krisis

Sebuah analisis menunjukkan bahwa masalah dalam pengelolaan pandemi di Asia Tenggara pada dasarnya bersifat institusional.

Krisis ini mengungkapkan kegagalan struktural yang berhubungan dengan kepentingan khusus elit dan pengabaian terhadap sebagian besar penduduk.

Dengan demikian, tantangan bagi masyarakat sipil adalah untuk mengungkap dan mengatasi dimensi kemanusiaan pada masa krisis. Dimensi ini adalah sebuah spektrum yang tersusun atas penyedotan tanpa henti yang merusak lingkungan, keserakahan buta demi keuntungan ekonomi, dan politik yang menghalangi warga negara mengambil kendali atas nasib bersama.

Perspektif ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mereka dapat bertindak bersama-sama untuk mengatasi pandemi dan untuk melindungi kebutuhan bersama untuk kepentingan generasi mendatang.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now