Menu Close
Basri Marzuki/Antara.

‘Cuan’ kredit karbon biru Indonesia amat berguna untuk melawan krisis iklim, bagaimana kita mengembangkannya?

Kawasan mangrove dan lamun Indonesia merupakan salah satu kunci untuk upaya global meredam untuk melawan perubahan iklim. Pasalnya, kedua ekosistem ini menyimpan sekitar 17% potensi ‘karbon biru’ dunia.

‘Karbon biru’ merupakan karbon yang diserap oleh kawasan perairan dan pesisir dari atmosfer. Ekosistem ini kemudian menyimpannya di berbagai tempat seperti sedimen mangrove maupun lamun, dan sebagainya.

Sayangnya, ekosistem mangrove dan lamun berada dalam bahaya akibat kerusakan dan alih fungsi lahan. Jika kerusakan tidak diredam, maka karbon dari ekosistem biru akan terlepas ke atmosfer sehingga dapat memperparah perubahan iklim.

Karena itulah, Indonesia membutuhkan sumber pendanaan yang berkelanjutan guna menopang pelestarian dan pemulihan ekosistem karbon biru. Salah satu alternatif sumbernya adalah melalui kredit karbon biru yang diperoleh dari proyek pelestarian dan pemulihan mangrove maupun lamun. Caranya, pengembang proyek dapat ‘menjual’ kredit karbonnya ke individu maupun perusahaan domestik dan luar negeri sebagai kompensasi atas emisi yang mereka keluarkan.

Ekosistem lamun menghadapi degradasi yang disebabkan manusia
Salah satu ekosistem lamun penting di Indonesia. BRIN

Supaya bisa diperdagangkan di pasar domestik, proyek harus memenuhi standar yang ditentukan pemerintah. Pengembang juga bisa menawarkannya ke pasar global sepanjang proyeknya mengikuti standar yang ditetapkan pemerintah dan lembaga independen seperti Verified Carbon Standard (Verra) ataupun Plan Vivo Foundation, serta terdaftar dalam Sistem Registri Nasional.

Verra baru mendaftarkan proyek konservasi karbon biru pertamanya, untuk menyerap hampir sejuta ton CO2 selama 30 tahun di ekosistem pesisir Kolombia. Hal ini dapat membuka arus investasi dan proyek kredit karbon biru di tanah air.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mencakup lebih dari 18 ribu pulau.

Situasi ini memungkinkan Indonesia untuk menghasilkan jauh lebih banyak kredit karbon biru dibandingkan negara lainnya, untuk menopang upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem laut dan pesisir. Kami menggarisbawahi dua aspek yang dapat diperbaiki Indonesia supaya proyek kredit karbon biru dapat subur dan berkembang di tanah air.

Peraturan dan kerja sama yang harmonis

Bekantan, spesies primata yang sangat penting bagi ekosistem mangrove di Tarakan, Kalimantan Utara. Galih Pradipta/Antara

Indonesia baru saja mengeluarkan aturan perdagangan karbon dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022.

Namun, perlu ada ketentuan rinci seputar pemanfaatan kredit karbon untuk pemulihan ekosistem karbon biru. Pengaturan kewenangan untuk perdagangan kredit karbon biru juga masih perlu diperjelas.

Sejauh ini, Perpres 98/2021 menyatakan upaya mitigasi iklim dalam ekosistem karbon biru merupakan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Namun pada saat ini, mayoritas ekosistem mangrove dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal ini disebabkan sebagian besar kawasan mangrove Indonesia termasuk dalam kawasan hutan. KLHK dan KKP telah sepakat untuk membagi tanggung jawabnya, di mana KKP berwenang atas mangrove di luar kawasan hutan.

Kendati begitu, kedua kementerian masih memerlukan standar dan prosedur pengelolaan yang selaras untuk menghindari tumpang tindih di lapangan. Pengaturan yang tumpang tindih berisiko membengkakkan ongkos pengembangan proyek bagi pengembang maupun komunitas, yang dapat menghalangi investasi kredit karbon biru. Kerangka kerja strategis dapat membantu mengoordinasikan fungsi dan tugas lintas instansi terkait karbon biru guna mengoptimalkan manfaat dari ekosistem karbon biru.


Read more: Manfaat perdagangan karbon bagi ekonomi dan lingkungan Indonesia


Persoalan lainnya adalah data dan informasi ekosistem karbon biru yang tersebar di berbagai institusi. Beberapa di antaranya adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, hingga Pemerintah Daerah.

Integrasi riset dan data karbon biru menjadi sangat penting, sebab data yang dapat diakses dan dapat diandalkan sangat dibutuhkan untuk menetapkan basis emisi dan target dalam rangka mengukur efektivitas proyek karbon kredit.

Sejauh ini, data emisi karbon biru Indonesia baru mencakup kawasan mangrove. Adapun pendataan lamun masih memerlukan kerja keras dari berbagai pihak.

Lebih jauh lagi, banyak lembaga non-pemerintah seperti organisasi masyarakat sipil, lembaga riset, institusi keuangan, pemerintah pusat maupun daerah, hingga korporasi yang terlibat dalam aktivitas pelestarian karbon biru. Pihak-pihak ini semestinya bisa saling berkoordinasi dan berkolaborasi agar upaya konservasi karbon biru tidak tumpang tindih dan lebih efektif.

Partisipasi warga dan pembagian keuntungan

Stasiun benih bakau di Taman Hutan Mangrove Bali. Nyoman Hendra Wibowo/Antara

Proyek kredit karbon biru yang menguntungkan bisa menaikkan taraf hidup masyarakat pesisir. Saat ini, masyarakat pesisir di Indonesia termasuk dalam kelompok rentan.

Selain menguntungkan, riset yang dilakukan Lindsay Wylie dari American University School of International Service juga membuktikan keterlibatan warga sangat mempengaruhi tingkat kesuksesan sejumlah proyek karbon di dunia.

Misalnya, proyek karbon berbasis warga, Mikoko Pamoja, berhasil memulihkan ekosistem mangrove seluas 117 hektare di Teluk Gazi, Kenya. Proyek ini juga berhasil mendatangkan pendapatan komunitas, yang digunakan untuk membangun sekolah dan jaringan air bersih.

Pemerintah dapat mencontoh kesuksesan tersebut dengan meningkatkan partisipasi warga dalam berbagai inisiatif pelestarian karbon biru. Sebab, keberlanjutan proyek ini akan bergantung pada komunitas pesisir yang akan memperoleh langsung dari aktivitas konservasi maupun restorasi.


Read more: Seberapa besar modal Indonesia mengatasi krisis lingkungan hidup dunia? Ini perspektif para guru besar


Sebelum menggaet masyarakat, pemerintah dapat membuat aturan [safeguards]: serangkaian prinsip, aturan, dan prosedur untuk melindungi warga dari risiko yang timbul dari suatu proyek, sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka.

Proyek-proyek karbon biru, sebelum dilaksanakan, juga harus disetujui warga. Masyarakat harus memiliki saluran untuk menyampaikan keluhan, perhatian mereka terkait pelaksanaan proyek. Inisiatif ini juga harus lebih memperhatikan persoalan gender.

Pelaksanaan proyek juga perlu melibatkan organisasi masyarakat sipil yang berperan penting dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat.

Untuk memastikan partisipasi warga, proyek harus dijalankan secara kreatif, dengan menyediakan berbagai bentuk pembagian manfaat. Misalnya, proyek dapat mencakup aktivitas silvofishery – kombinasi budi daya perikanan dengan rehabilitasi mangrove. Proyek seperti ini dapat menambah keuntungan ekonomi warga sekaligus memastikan kesehatan ekosistem mangrove.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now