Menu Close

Dalam debat cawapres, baik Ma'ruf maupun Sandiaga gagal tawarkan program yang menjawab masalah

Kedua calon wakil presiden (cawapres)–Ma'ruf Amin (kiri) dan Sandiaga Uno–berpose dalam debat pemilihan presiden putaran ketiga yang menghadirkan kedua cawapres. Adi Weda/EPA

Debat ketiga pemilihan presiden (pilpres) pada 17 Maret 2019 menampilkan calon wakil presiden (cawapres) dari kedua kubu–Ma'ruf Amin dari kubu petahana Joko “Jokowi” Widodo dan Sandiaga Uno dari kubu Prabowo Subianto.

Dalam debat kali ini, kedua cawapres membicarakan masalah kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, serta sosial dan budaya.

Kami menghubungi beberapa akademisi untuk memberikan analisis mengenai paparan visi misi serta jawaban dua calon presiden tersebut terkait empat topik di atas. Dari empat akademisi yang kami hubungi, semua sepakat bahwa tidak ada pemenang dalam putaran debat kali ini. Kedua kandidat tidak menawarkan program-program yang relevan menjawab permasalahan masyarakat baik di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial dan budaya.

Berikut paparan mereka.


Solusi kedua calon untuk ketenagakerjaan tidak visioner dan relevan

Hizkia Yosias Polimpung, Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta dan peneliti Koperasi Riset Purusha

Secara umum, kedua kandidat belum memperlihatkan visi ketenagakerjaan yang cukup visioner. Baik Ma'ruf dan Sandiaga merespons topik-topik hangat seperti tenaga kerja di era revolusi industri 4.0, tenaga kerja asing, penyerapan tenaga kerja. Namun, mereka tidak menggariskan visi jangka panjang.

Keduanya juga tergesa-gesa melihat permasalahan-permasalahan ketenagakerjaan yang dibahas tadi sebagai sesuatu yang seolah-olah terjadi begitu saja. Misalnya, keduanya melihat ketidakcocokan antara keterampilan milenial dengan kebutuhan dunia kerja sebagai akar permasalahan kelompok ini tercatat sebagai kelompok penganggur tertinggi.

Padahal, berdasarkan sistem Penilaian Pelajar Internasional (PISA) dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), masalahnya terletak pada pendidikan Indonesia yang menderita persoalan sistemik serius karena gagal membekali peserta didik untuk merespons realitas kehidupan yang fluktuatif.

Alhasil, usulan-usulan keduanya di bidang ketenagakerjaan, tampak tidak menyelesaikan masalah.

Solusi memprioritaskan pemberian keterampilan teknis dan vokasional pun salah kaprah. Justru lulusan Sekolah Menengah Kejuruan yang paling banyak menganggur.

Selain itu, solusi yang ditawarkan juga tidak relevan dengan tren global. Laporan terbaru dari perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company terkait e-commerce di Indonesia menunjukkan bahwa kebutuhan tenaga kerja semakin mengarah ke keterampilan yang mengandalkan pengetahuan dan bukan keterampilan teknis dan praktis.

Laporan tersebut merekomendasikan pemberian keterampilan yang mengasah pemikiran di tingkat abstrak untuk menyelesaikan problem yang kompleks. Hal ini diperlukan agar Indonesia dapat mengambil kue investasi di wilayah regional yang mayoritas didominasi oleh aset tak terlihat seperti riset, merek, dan hak cipta. Laporan Bank Dunia terbaru juga menekankan pemberian kemampuan sosial. Namun kedua hal tersebut tidak diangkat oleh kedua kandidat.

Dari pemaparan keduanya, cukup terasa nuansa keberpihakan pada industri. Mereka selalu berbicara tentang pengembangan tenaga kerja demi memenuhi kebutuhan perusahaan.

Pemenang dalam sesi ini: tidak ada

Tampak jelas bahwa Sandiaga terlihat lebih meyakinkan dan lebih konkret dalam mengusulkan program ketimbang Ma’ruf. Namun, tawaran program yang konkret tidak cukup apabila tidak relevan dengan konteks global saat ini dan tidak mendukung kemaslahatan rakyat banyak.

Dua cawapres tidak menyentuh akar masalah pendidikan

Luhur Bima, Peneliti Senior SMERU Institute

Dalam penyampaian visi dan misi calon wakil presiden, Ma’ruf Amin menyebutkan rencana mengembangkan program beasiswa Kartu Indonesia Pintar hingga tingkat perguruan tinggi. Saat ini beasiswa ini diberikan kepada siswa dari keluarga miskin untuk sekolah dasar hingga sekolah atas. Sementara itu, Sandiaga Uno menyampaikan kebijakan peningkatan kualitas pendidikan melalui peningkatan kesejahteraan guru honorer dan perbaikan kurikulum yang berorientasi pada penguatan karakter.

Dua calon wakil presiden belum menyentuh akar masalah pendidikan di Indonesia, yaitu masih banyaknya anak Indonesia yang datang ke sekolah tanpa benar-benar belajar di sekolah. Hasil analisis tim RISE Indonesia dengan data The Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa masih banyak lulusan sekolah menengah atas yang tidak mampu menjawab secara benar soal berhitung sedeharna yang seharusnya sudah dikuasai oleh murid di tingkat sekolah dasar.

Terkait iklim riset di Indonesia, penjabaran Sandiaga tentang rencana penguatan riset lebih baik dibandingkan dengan apa yang diusulkan oleh Ma’ruf Amin. Rencana Ma’ruf untuk mengelola dana riset di bawah lembaga baru Badan Riset Nasional diragukan akan dapat meningkatkan kualitas riset Indonesia mengingat isu koordinasi dan ego kelembagaan masih menjadi permasalahan serius dalam birokrasi Indonesia.

Ide Sandiaga untuk mendorong kolaborasi riset antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha memiliki potensi positif terhadap penguatan riset di Indonesia. Namun, implementasinya harus diawasi dengan ketat untuk menjamin independensi kegiatan riset dari kepentingan perusahaan yang dapat merugikan masyarakat secara umum.

Pemenang dalam sesi ini: tidak ada

Kesimpulan dari debat cawapres terkait masalah pendidikan ini adalah Sandiaga mampu menjabarkan ide dan program yang dibawanya secara lebih baik daripada Ma’ruf. Namun, mereka tidak menyentuh masalah utama pendidikan di Indonesia yaitu rendahnya kualitas pendidikan dasar. Sebuah rumah besar dan mewah tanpa fondasi yang kokoh akan rentan untuk runtuh. Begitu juga dengan sistem pendidikan di Indonesia. Tanpa penguatan sistem pendidikan dasar, akan menjadi sia-sia untuk membahas masa depan riset Indonesia.

Masalah kesehatan mendasar tidak disorot

Hardisman Dasman, Ahli Kesehatan Publik Universitas Andalas Padang

Dua calon wakil presiden tidak memberikan gagasan yang kuat untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan yang mendasar saat ini seperti tingginya angka kematian ibu dan penyakit kronis degeneratif.

Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno tidak menyentuh sama sekali data tentang penyakit kronis degeneratif yang termasuk sepuluh penyebab kematian utama di Indonesia, dan angkanya cenderung meningkat pada laporan Riset Kesehatan Dasar 2018.

Ma’ruf hanya menyampaikan program pemerintah yang kini berjalan seperti PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) dan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat), sedangkan Sandiaga menyebutkan program preventif melalui olah raga tiap hari. Aspek perilaku merokok dan konsumsi tembakau yang terkait dengan penyakit degeneratif tidak disentuh sama sekali. Padahal perilaku tidak sehat ini terkait dengan penyakit-penyakit berat yang menghabiskan dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Dalam konteks JKN, Ma'ruf hanya menyebutkan akan melanjutkan program asuransi kesehatan sosial ini, tapi tidak menyentuh permasalahan yang dihadapi oleh sistem JKN dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelengaraannya. Sandiaga juga lebih fokus pada JKN dan sedikit menyentuh aspek preventif dengan peningkatan aktifitas fisik melalui olah raga 22 menit tiap hari. Sandiaga akan fokus pada penyelesaian masalah yang terjadi pada penyelenggaraannya, seperti penyelesaian masalah defisit BPJS, keterlambatan pembayaran pada rumah sakit, dan masalah pembayaran tenaga medis.

Pada debat antar calon, Sandiaga menjelaskan langkah konkret: menghitung secara riil berapa pembiayaan yang tepat untuk JKN ini, dengan melibatkan ahli-ahli keuangan dan pembiayaan kesehatan. Namun tidak ada paparan dan penjelasan selanjutnya tentang bagaimana penerapannya.

Jika dengan analisis yang tepat didapatkan biaya per kapita setiap peserta, apakah iuran BPJS Kesehatan oleh masyarakat non-PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang tidak ditanggung negara akan ditingkatkan? Jika hal ini dilakukan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan, akan memberatkan masyarakat. Jika iuran peserta (masyarakat) tetap, artinya akan dibebankan kepada pemerintah. Sandiaga tidak menjelaskan bagaimana langkah dan pola yang akan dilakukannya bila terpilih untuk menutup defisit BPJS tersebut.

Dua calon sempat menyinggung masalah kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun keduanya tidak memaparkan data-data yang terjadi, seperti tidak adaya sorotan terhadap AKI (angka kematian ibu) yang pada laporan Survei Nasional Antar Sensus terakhir masih 305 per 100 ribu kelahiran hidup, anemia ibu hamil, serta angka kematian bayi dan balita.

Dua kandidat hanya menyebut masalah stunting. Sandiaga menyebutkan akan adanya bantuan susu bagi anak-anak yang telah disapih. Sebaliknya, Ma’ruf lebih baik dalam menjelaskan terkait masalah ini, bahwa masalah stunting adalah hal yang kompleks, terkait dengan 1000 hari kehidupan, sejak pembuahan di dalam kandungan. Ma’ruf memaparkan dengan baik akan arti penting preventif pada ibu hamil dengan memaksimalkan program yang ada saat ini, seperti PIS-PK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga) dan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat).

Pemenang dalam sesi ini: tidak ada

Secara keseluruhan program yang sampaikan oleh Ma'ruf lebih tepat untuk menyelesaikan masalah kesehatan dalam konteks pencegahan, tapi apa terobosannya dan apa yang akan dilakukan untuk perbaikan terhadap yang sudah ada saat ini belum jelas. Sedangkan program preventif Sandiaga tidak terlihat, hanya bersifat kegiatan atau imbauan. Sandiaga unggul dalam menyelesaikan masalah JKN.

Minim kepedulian terhadap kelompok terpinggirkan

Ni Luh Putu Maitra Agastya, Peneliti perlindungan sosial di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia.

Berdasarkan paparan visi misi yang disampaikan kedua cawapres, isu sosial dan kebudayaan tidak menjadi prioritas.

Tidak ada pembahasan program sosial terkait perlindungan perempuan, anak, kelompok penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.

Padahal, seharusnya program bantuan sosial menyasar para kelompok rentan yang selama ini terkendala mengakses bansos dan program lainnya.

Masalah tingginya intoleransi juga tidak dibahas dalam aspek sosial budaya. Penelitian terakhir dari SETARA Institute menunjukkan beberapa kota dan kabupaten yang masih menerapkan kebijakan yang tidak inklusif. Masalah ini hampir tidak dibahas sepanjang debat terkait sosial budaya. Ide untuk meningkatkan toleransi melalui pendidikan juga tidak dibahas secara konkret oleh kedua pihak.

Saat menjawab pertanyaan tentang infrastruktur budaya, tidak ada yang memberikan strategi yang konkret. Seharusnya kedua kandidat berbicara mengenai strategi yang menyasar akar permasalahan dari lemahnya infrastruktur budaya. Salah satu dari akar masalah tersebut adalah minat sastra yang rendah dan tidak berkembangnya kebudayaan daerah dalam pendidikan.

Pemenang sesi ini: tidak ada pemenang

Isu sosial budaya merupakan isu yang luas namun saling terkait dengan isu pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan.

Dalam debat ini, kedua calon belum mampu memberikan solusi bagaimana kelompok-kelompok rentan bisa mendapatkan akses untuk pelayanan publik baik dengan kartu-kartu atau program unggulan lain yang sudah ditawarkan. Belum ada prioritas untuk mengubah kebijakan dan kondisi yang secara struktural membatasi akses kelompok-kelompok rentan. Batasan tersebut bisa berupa norma sosial budaya yang menyebabkan kelompok rentan ini dipinggirkan secara sosial dan mendapat perlakuan diskriminatif dalam pelayanan publik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now