Menu Close

Dalih sakit Setya Novanto dan perlunya dokter antikorupsi untuk pemberantasan korupsi

Ketua DPR Setya Novanto ditahan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, 19 November 2017. Rosa Panggabean/Antara Foto via REUTERS

Kata sakit dan korupsi menjadi populer setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto menggunakan alasan sakit untuk menghindari pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik yang diperkirakan merugikan negara Rp2,3 triliun. Dokter-dokter antikorupsi dibutuhkan untuk memberikan opini dan diagnosis yang mendukung pemberantasan korupsi.

Tak hanya Novanto seorang. Alasan sakit jamak terdengar ketika seseorang tersangkut kasus korupsi dan menjadi alasan paling sering dipakai untuk menghindari proses hukum di tahap pemeriksaan saksi, tersangka, dan terdakwa. Pertanyaannya: sejauh mana klaim sakit mempengaruhi proses pemberantasan korupsi di Indonesia?

Banyak orang bertanya, Novanto sakit sungguhan atau tidak. Sebab, sakitnya Ketua Umum Partai Golkar itu termasuk unik. Begitu dia memenangkan praperadilan dan status tersangka yang pertama dibatalkan, tiba-tiba dia sembuh dan segera dapat beraktivitas kembali.

Sakit Novanto rupanya berkaitan dengan hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan alasan sakit sebagai suatu kondisi seseorang dapat menghindar dari proses hukum, kecuali seperti diatur dalam Pasal 154 ayat (2) KUHAP. Ketentuan tersebut hanya memberikan kelonggaran bagi seseorang untuk diperiksa dengan alasan yang sah dalam pemeriksaan peradilan. Alasan yang sah itu, secara praktik hukum acara, termasuk salah satunya adalah kondisi sakit dengan surat keterangan dari dokter untuk menunda pemeriksaan di peradilan.

Secara kemanusiaan, alasan sakit dengan keterangan dokter juga dapat menjadi alasan untuk menunda pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam peradilan, hingga saksi atau tersangka dinyatakan sembuh.

Masalahnya, bagaimana jika alasan sakit itu hanya upaya untuk menunda-nunda proses hukum? Bukan tidak mungkin keterangan dokter dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari seseorang diproses hukum.

Sakit itu sejarah

Alasan sakit dalam kasus korupsi memiliki sejarahnya sendiri. Selain Novanto yang mengklaim mengalami komplikasi sakit berupa vertigo, pengapuran jantung, dan penurunan fungsi ginjal, beberapa saksi atau tersangka kasus korupsi kerap “tiba-tiba” jatuh sakit dan berharap proses hukum yang hendak menjeratnya ditunda.

Ketika mantan Presiden Soeharto dipanggil oleh Kejaksaan Agung pada 1999 hingga 2008, sakit merupakan alasan yang membuat proses pemeriksaannya tak tuntas. Kondisi sakit itu selain menggagalkan pemeriksaan Soeharto dalam kasus dugaan korupsi, juga berujung pada keluarnya Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3).

Sampai saat ini tidak ada kajian akademis yang membuktikan alasan sakit mantan presiden yang berkuasa 32 tahun itu merupakan kondisi yang benar atau hanya kamuflase. Yang jelas, setiap dokter bertanggung jawab secara etik ketika mengeluarkan keterangan dokter terkait hal tersebut.

Menariknya, alasan sakit sejak itu kian marak digunakan para saksi atau tersangka kasus korupsi. Kerap pula alasan sakit terasa ganjil. Misalnya, terdakwa kasus korupsi Trans-Jakarta Udar Pristono, mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Pada mulanya dia menggunakan kursi roda saat masuk ruang sidang, namun setelah sidang berjalan lancar dan selesai, ia berjalan seperti biasa, melupakan kursi rodanya. Lain Udar, lain pula Hassan Widjaja. Terdakwa perkara suap Badan Pengawas Perdagangan Berjangka (Bappebti) itu tiba-tiba menggunakan kursi roda saat di ruang sidang padahal sebelum diperiksa, dia kondisinya sehat dan mampu berolahraga.


Baca juga: Resep menghapus kemiskinan ala Paus Fransiskus


Keadaan “mendadak sakit” itu juga diklaim oleh Nunun Nurbaeti, pengusaha Tubagus Chaeri Wardana, anggota DPR Tri Yulianto, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan pengusaha Hartati Murdaya Poo, begitu kasus korupsinya ditangani oleh KPK. Bahkan politikus sekaliber mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga menyatakan sakit gigi yang membuatnya tidak dapat hadir dalam persidangan.

Semestinya pernyataan sakit tidak semudah itu digunakan untuk menghindari proses hukum. Sakit tersebut harus dipastikan berdasarkan surat keterangan dokter yang berada dalam sumpah profesi yang dilindungi etika profesi kedokteran.

Bila terbukti surat keterangan dokter itu palsu, maka dokter yang mengeluarkannya dapat dikenakan sanksi pidana menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice) yang diatur dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penerapan pasal tersebut untuk para dokter, yang mengeluarkan surat keterangan sehingga saksi atau tersangka memalsukan sakitnya, menjadi sangat penting untuk mencegah dramatisasi sakit tubuh tersangka agar terhindar dari proses hukum. Kasus yang melibatkan Novanto menjadi menarik untuk ditindaklanjuti karena jangan sampai profesi kedokteran dengan mudah dimanfaatkan oleh para saksi atau tersangka korupsi untuk menghindar dari proses hukum.

Apalagi beberapa fakta menunjukkan terdapat keganjilan sehubungan dengan pernyataan sakitnya Novanto. Sakit Novanto terkesan rekayasa karena dalam beberapa foto yang tersebar di publik, alat-alat kesehatan yang digunakan Novanto terlihat tidak aktif. Belum lagi soal keganjilan kesembuhan mendadak Novanto terjadi setelah memenangkan praperadilan terkait status tersangkanya.

Peran dokter antikorupsi

Pernyataan sakit para tersangka korupsi tentu saja berasal dari dokter. Jika dokternya ikut menari dalam lantunan gendang para tersangka korupsi, surat keterangan dokter adalah bagian dari kejahatan korupsi. Namun jarang sekali dokter dikenai sanksi Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi tersebut. KPK juga belum pernah memidanakan dokter yang dianggap terlibat menghalang-halangi penegakan hukum. Itu sebabnya para dokter leluasa memberikan surat keterangan sakit kepada para saksi atau tersangka kasus korupsi.

Pada titik ini, peran dokter antikorupsi menjadi sangat penting. Keterangan mereka dapat menjadi alternatif bagi penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menentukan apakah seorang saksi, tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana perkara korupsi, benar-benar mengalami kondisi sakit, baik ringan maupun berat.

Dengan keterangan itu, proses hukum dapat ditentukan untuk dilanjutkan atau tidak. Dengan demikian dokter dapat terlibat dalam upaya melindungi hak-hak kemanusiaan saksi, tersangka, terdakwa, dan terpidana perkara korupsi, sekaligus terlibat dalam menegakkan keadilan.

Pendapat dokter antikorupsi itu sangat penting bagi aparat penegak hukum untuk membedakan seorang tersangka sakit beneran atau sakit “jadi-jadian” yang merupakan alasan untuk menghindari proses hukum.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now