Menu Close
Pendukung Basuki “Ahok"Tjahaja Purnama menunggu bebasnya mantan gubernur DKI Jakarta tersebut di depan penjara Mako Brimob di Depok pekan lalu. Adi Weda/EPA

Dari Ahok menjadi BTP: upaya rekonsiliasi yang efektif?

Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang biasa dikenal dengan sebutan Ahok meminta publik untuk memanggilnya dengan nama baru, BTP, yang diambil dari huruf pertama nama lengkapnya. Permintaan itu disampaikan melalui surat yang diunggah ke akun Instagram pribadinya menjelang pembebasan dirinya dari hukuman penjara atas kasus penodaan agama.

Dalam suratnya, BTP tidak menjelaskan alasan mengapa namanya berubah. Beberapa ahli berusaha menerjemahkan keputusan BTP sebagai upaya untuk membangun pencitraan dirinya yang baru dan lebih baik. Merujuk pada kajian psikologi, saya berpendapat ada kemungkinan tindakan BTP mengubah sebutannya sebagai upaya rekonsiliasi terhadap konflik. Namun efektivitas upaya ini masih dipertanyakan.

Mengurangi gesekan

Pada tahun 1966, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan yang salah satunya mengharuskan nama berlafal Indonesia bagi orang-orang beretnis Tionghoa. Kebijakan ini melarang penggunaan nama-nama Tionghoa dengan alasan untuk memperkuat identitas Indonesia mereka. Akibatnya orang-orang beretnis Tionghoa pada masa itu memiliki dua nama: nama Tionghoa dan Indonesia. Sedangkan keturunan mereka biasanya hanya memiliki satu nama yang diadopsi dari nama-nama Barat maupun Indonesia.

Setelah penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada tahun 2000 di bawah kebijakan mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perkara nama etnis Tionghoa tidak menjadi bahasan. Hingga Ahok mengganti namanya menjadi BTP.

Penggantian nama ini memunculkan lagi diskusi soal pergesekan identitas etnis dan agama minoritas kaum Tionghoa.

Mungkin BTP berusaha mengurangi gesekan-gesekan dari identitas minoritas yang melekat pada namanya dengan mengganti namanya. Bisa jadi, dia mengganti namanya dengan nama baru yang berasal dari nama orang Indonesia dengan harapan supaya dirinya bisa diterima oleh masyarakat kembali. Kesamaan identitas sosial memang bisa jadi salah satu faktor penting dalam rekonsiliasi konflik.

Teori kesamaan identitas untuk rekonsiliasi

Dalam kajian-kajian psikologi, langkah untuk mencari kesamaan identitas sosial bisa dianggap sebagai upaya pembentukan identitas bersama atau dalam konsep psikologi dikenal sebagai common ingroup identity.

Dengan mengganti namanya, BTP memberitahukan kepada orang-orang bahwa dirinya memiliki kesamaan identitas dengan mereka yang selama ini tidak menyukainya karena etnis Tionghoanya.

Efek dari pembentukan identitas kelompok bersama telah banyak diteliti dalam berbagai konteks rekonsiliasi konflik politik dan kekerasan di negara lain, seperti di Irlandia Utara, Chili, dan Bosnia Herzegovina.

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa konflik antar kelompok dapat diatasi jika pihak-pihak yang terlibat dalam konflik mendahulukan identitas bersama misalnya negara, karena dapat menumbuhkan rasa kesatuan sebagai satu entitas.

Apakah efektif?

Meski penggantian sebutan Ahok menjadi BTP bisa memberi rasa kesamaan identitas, namun keberhasilannya sebagai solusi terhadap masalah konflik yang dihadapi BTP masih dipertanyakan.

Nama BTP belum cukup mampu menghapus kenyataan perbedaan agama yang ada. Ahok, yang beragama Kristen, dipenjarakan karena dinyatakan bersalah menodai agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia.

Survei nasional yang baru saya lakukan pada 1.200 responden, menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih nyaman berinteraksi dengan orang yang berbeda suku daripada yang berbeda agama.

Lalu pada konteks kasus yang membuat BTP dipenjarakan, sebuah penelitian tentang pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di DKI Jakarta tahun 2012 menunjukkan bahwa salah satu alasan utama yang dipakai oleh lawan-lawan BTP untuk menjatuhkannya adalah identitas agamanya sebagai seorang non-Muslim, bukan etnisnya.

Menjaga hubungan harmonis antar kelompok beragama memiliki tantangan yang lebih rumit dibanding hubungan kelompok-kelompok lainnya di Indonesia. Orang Indonesia sulit mengabaikan identitas agama mereka demi mewujudkan identitas nasional bersama karena identitas agama merupakan bagian sangat penting bagi orang Indonesia.

Biasanya kelompok minoritaslah yang enggan mengadopsi identitas bersama dalam rekonsiliasi konflik. Hal ini karena identitas bersama umumnya disertai oleh penerapan identitas yang dominan dari kelompok mayoritas, sehingga keunikan identitas kelompok minoritas menjadi terancam.

Namun, pada konteks Indonesia tampaknya kelompok mayoritaslah yang enggan mengadopsi strategi ini. Hal ini erat kaitannya dengan isu agama yang disebutkan di atas. Sekeras apapun kelompok minoritas, khususnya Tionghoa non-Muslim, berusaha menunjukkan bahwa kita adalah sama-sama orang Indonesia, tetap saja mereka tidak dianggap memiliki kesamaan identitas.

Berlaku dua arah

Layaknya dalam konflik interpersonal, pada tingkatan kelompok pun, rekonsiliasi konflik perlu dilakukan oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Dari kasus BTP, kita sudah melihat bagaimana inisiatif Ahok untuk menyelesaikan konflik-konflik yang selama ini menderanya. Tapi sejauh ini, tampaknya belum ada tindakan serupa dari lawan-lawannya. Hal ini mungkin terjadi karena kasus penodaan agama yang dialami Ahok hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya ada ketegangan sosial yang lebih mendasar lagi untuk diatasi. Seperti pernah diulas juga di tulisan sebelumnya, aksi bela Islam adalah wujud solidaritas Muslim dan kemarahan atas ketimpangan sosial yang terjadi.

Oleh karena itu, menurut saya, solusi bagi penerimaan Ahok kembali di tengah-tengah masyarakat mayoritas, tidak hanya terkait dengan pemberian maaf kepada Ahok tapi juga rekonsiliasi hubungan antara kelompok mayoritas Islam dan minoritas di Indonesia, yaitu non-Muslim Tionghoa.

Merujuk pada kecenderungan kelompok mayoritas di Indonesia yang sulit menerima kelompok minoritas, maka upaya resolusi konflik yang dilakukan Ahok tidak bisa dilakukan satu pihak. Perlu ada pemahaman dari kelompok Islam juga tentang pentingnya menyelesaikan konflik yang ada.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now