Menu Close

Deklarasi G20 Bali 2022: Kesuksesan siapa?

Penutupan KTT G20 Bali
Presiden Joko WIdodo (tengah) disaksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani ((kedua kanan) dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menutup secara resmi KTT G20 Indonesia 2022 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11/2022). ANTARA FOTO/Media Center G20 Indonesia/M Risyal Hidayat/ws

Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali, 15-16 November lalu, berhasil menghasilkan sebuah deklarasi bersama.

Tercapainya deklarasi menjadi hal yang cukup mengejutkan, sekaligus menggembirakan, mengingat konferensi tersebut dilaksanakan di tengah saat situasi geopolitik yang tidak kondusif dan meningkatnya tensi antara negara-negara besar yang juga menjadi anggota G20.

Terlepas dari kesuksesan Indonesia sebagai Presidensi dalam melaksanakan perhelatan akbar ini, timbul pertanyaan: Apakah ini buah dari proses diplomasi Indonesia? Bagaimana dengan tekanan negara-negara maju yang selama ini begitu kuat mengusung isu konflik Rusia-Ukrania? Di samping seluruh rasa bangga masyarakat Indonesia, apa manfaat yang bisa didapat oleh masyarakat global dari deklarasi itu?

Dominasi isu Rusia-Ukraina dalam penyelenggaraan G20

Sejak serangan Rusia ke Ukrania pada bulan Februari 2022, pembahasan isu dalam rangkaian pertemuan G20 telah mengalami pergeseran.

Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS), sempat mendesak adanya agenda pembahasan tentang konflik Rusia-Ukrania dalam KTT G20, termasuk mengusulkan mengeluarkan Rusia dari keanggotaan G20 dan menghadirkan Presiden Ukrania Volodymyr Zelenskyy dalam pertemuan KTT G20.

Negara-negara G7 juga mengancam melakukan walk out jika Presiden Rusia Vladimir Putin hadir dalam KTT G20.

Dalam hampir seluruh rangkaian pertemuan G20 di tingkat menteri atau Working Group, negara-negara G7 terus mengeluarkan pernyataan yang mengecam Putin atas invasi Rusia di Ukrania. Walhasil, seringkali pertemuan-pertemuan itu mengalami kebuntuan dan pada akhirnya hanya menghasilkan ringkasan pemimpin rapat (chair’s summary), bukan dokumen kesepakatan atau komunike (communique).

Tekanan dari negara-negara G7 membuat Indonesia sebagai tuan rumah G20 berada di posisi yang sulit. Padahal, di luar persoalan geopolitik, Indonesia sudah menetapkan tiga isu prioritas untuk dibahas, yakni tata kelola kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Ketiganya sangat relevan dengan upaya pemulihan ekonomi global yang terdampak pandemi COVID-19.

Berbagai upaya dilakukan Indonesia untuk merespon berbagai desakan, baik desakan kelompok yang pro atas usulan negara G7 maupun yang kontra.

Salah satu upaya yang terlihat adalah inisiatif Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkunjung langsung ke Rusia dan Ukraina untuk masing-masing menemui Putin dan Zelenskyy. Jokowi secara langsung mengundang mereka menghadiri KTT G20 di Bali.

Sayangnya, baik Putin maupun Zelenskyy tetap memilih tidak hadir secara tatap muka pada KTT G20. Rusia diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Sergei Lavrov, sementara Zelenskyy hadir secara virtual.

Tarik menarik kekuatan negara-negara besar makin terlihat dari hasil deklarasi KTT G20. Poin 3 Deklarasi Pemimpin G20 Bali secara jelas menyatakan kecaman atas invasi Rusia terhadap Ukrania:

Most members strongly condemned the war in Ukraine and stressed it is causing immense human suffering and exacerbating existing fragilities in the global economy - constraining growth, increasing inflation, disrupting supply chains, heightening energy and food insecurity, and elevating financial stability risks. There were other views and different assessments of the situation and sanctions.

Paragraf tersebut tidak mengatasnamakan seluruh anggota, melainkan hanya menyebut “most members” (sebagian besar anggota). Artinya, hanya tidak seluruh pemimpin negara anggota G20 satu suara terhadap kecaman tersebut.

Kondisi tersebut mencerminkan adanya kompromi-kompromi yang terjadi dalam perumusannya akibat adanya perbedaan sikap antara para pemimpin negara.

Di satu sisi, negara-negara Barat cenderung menyalahkan Rusia atas krisis pangan global yang tengah terjadi. Di sisi lain, ada Cina, misalnya, yang secara konsisten menolak mengecam Rusia.

Presiden Cina Xi Jinping dalam G20 justru mendorong penghentian permusuhan antara Rusia dan Ukrania dan mengajak negara-negara lain untuk tidak mempolitisasi isu Rusia-Ukraina sebagai penyebab krisis pangan. Cina meyakini bahwa krisis pangan terjadi bukan karena masalah pasokannya, tapi karena banyak negara yang memberlakukan sanksi terhadap Rusia sehingga rantai pasok jadi terhambat.

Dinamika yang didominasi oleh negara G7 tersebut membuat negara berkembang seperti Indonesia yang berada dalam posisi sangat terjepit. Padahal, sejak awal dimulainya perdebatan global terkait perang di Ukraina, pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa forum G20 bukan forum yang tepat untuk membahas, apalagi menyelesaikan, konflik Rusia-Ukrania.

Perlu dicatat bahwa G20 adalah forum informal yang seharusnya fokus pada pembahasan tentang perekonomian global. Isu keamanan maupun geopolitik secara khusus tidak seharusnya ditekankan pada pertemuan ini.

Alih-alih menyerukan multilateralisme yang diharapkan dapat membangun kerangka dan tindakan bersama (Common framework and Collective Action), forum G20 masih tebal diselimuti oleh kepentingan-kepentingan negara-negara besar.

Mengawal Hasil G20

KTT G20 kali ini memberikan warna tersendiri dibandingkan konferensi G20 sebelum-sebelumnya. Tidak hanya sarat dengan segala kompleksitas terkait geopolitik, konferensi kali ini juga menghadapi tantangan besar karena berlangsung di tengah upaya pemulihan global pascapandemi.

Tema besar yang diusung Indonesia, “Recover Together, Recover Stronger”, mempunyai makna yang sangat dalam tentang pentingnya bangkit bersama, baik dalam pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan. Prinsip inklusivitas dan leave no one behind dalam agenda pembangunan berkelanjutan telah didengungkan sedemikian rupa dalam berbagai forum.

Namun, tampaknya makna kata “together” masih menyisakan tanda tanya: merujuk ke siapa atau kelompok negara mana?

Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang terbesar adalah memastikan berbagai komitmen yang dihasilkan dalam KTT G20, dilaksanakan oleh para anggotanya.

Negara G20 diharapkan dalam mengimplementasikan kesepakatan utama secara konkrit, seperti pengumpulan dana pandemi (Pandemic Fund). Manfaat dari dana tersebut tidak hanya diarahkan untuk anggota G20, namun utamanya untuk negara-negara berkembang yang memiliki kerentanan atas tantangan dunia saat ini.

Mengawal implementasi hasil kesepakatan G20 ini menjadi penting mengingat forum G20 bukan forum yang mengikat. Di sinilah sesungguhnya kesuksesan Presidensi G20 Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now