Menu Close

Dengan atau tanpa media sosial, teori konspirasi akan tetap menjamur

mooremedia via Shutterstock

Teori-teori konspirasi mengenai COVID-19 telah mendorong orang melakukan tindakan berisiko dan berbahaya dalam beberapa bulan terakhir.

Tidak ada penjelasan sederhana mengapa orang percaya teori konspirasi seperti ini, dan pakar sekalipun hanya dapat mengatakan bahwa penyebab keyakinan seperti itu kompleks dan beragam.

Namun jurnalis, aktivis, dan politikus semakin menyalahkan internet dan media sosial dalam untuk penyebaran teori konspirasi.

Tuduhan yang ditujukan pada media sosial cenderung mengambil bentuk narasi yang sama seperti banyak teori konspirasi.

Tuduhan itu bisa berupa sebuah anekdot, mungkin kesaksian dari sumber tepercaya seperti dokter yang mengklaim bahwa perusahaan media sosial “bertanggungg jawab atas hilangnya nyawa”.

Atau bisa dalam bentuk penggambaran publik sebagai korban tak berdosa di tangan para pencatut internet jahat. Semua dirancang untuk menarik orang-orang yang sudah cenderung tidak percaya pada korporasi dan perusahaan teknologi.

Tuduhan semacam itu bermasalah karena bukti-bukti yang ada menunjukkan situasi yang tidak hitam-putih.

Era pra-internet

Teori konspirasi dihasilkan, disebarkan, dan diyakini orang jauh sebelum ada internet dan media sosial.

Presiden Amerika Serikat (AS) John Kennedy dibunuh pada November 1963. Tidak lama kemudian sebagian besar orang Amerika meyakini bahwa sang presiden telah dibunuh oleh sekelompok konspirator tidak dikenal – padahal pernyataan resmi mengatakan bahwa pelaku ada seorang pria bersenjata yang sendirian.

Pada 1975, 80% orang Amerika percaya pada teori-teori konspirasi Kennedy.

Saat-saat terakhir JFK. Walt Cisco, Dallas Morning News via Wikimedia Commons

Pada akhir 1940-an, seseorang menemukan puing-puing di gurun New Mexico di Roswell, AS. Pada 1997, 71% orang Amerika percaya bahwa pemerintah menyembunyikan informasi tentang UFO, 45% percaya bahwa alien telah mengunjungi Bumi dan hanya 25% yang percaya pada penjelasan pemerintah tentang apa yang sebenarnya terjadi di Roswell.

Jajak pendapat kami terhadap orang Amerika mengungkap beberapa contoh teori konspirasi yang mendapat dukungan tidak sebanyak teori JFK dan alien dari era pra-internet.

Misalnya, teori-teori bahwa Presiden Barrack Obama memalsukan akta kelahirannya untuk secara ilegal merebut kursi kepresidenan, dan bahwa pemerintahan Presiden George Bush atau kelompok lain ada di belakang serangan teror 11 September hanya diyakini tidak lebih dari 30% masyarakat Amerika.

Masih menjadi pertanyaan apakah teori konspirasi itu lebih luas dan lebih berpengaruh di era sebelum internet.

Ini dengan mempertimbangkan beberapa contoh, misalnya kelompok anti-komunis Red Scares pada abad ke-20, kepanikan Illuminati pada awal abad ke-19, atau perburuan penyihir abad ke-17.


Read more: Simonini’s letter: the 19th century text that influenced antisemitic conspiracy theories about the Illuminati


Teknologi bukanlah masalahnya

Apa yang kita lihat sekarang dengan COVID-19 bukanlah hal yang baru: teori konspirasi telah berkembang sepanjang sejarah manusia, dan karena berbagai alasan.

Beberapa psikolog mengatakan bahwa teori-teori ini adalah produk sampingan alami dari mekanisme psikologis evolusioner yang terjahit ke dalam DNA kita untuk membantu mendeteksi ancaman dan melindungi diri kita dari kelompok saingan.

Sejarawan menemukan bahwa teori konspirasi telah hadir secara teratur, digunakan oleh para pemimpin dan kelompok pinggiran, untuk menyebarkan pesan dan membangun koalisi.

Terlepas dari pola-pola yang mirip, teori-teori konspirasi terkait COVID-19 tetap baru dan membingungkan. Teori-teori ini tersebar melalui YouTube, Reddit, Facebook, dan Twitter.

Tetapi, opini-opini modern memiliki banyak kesalahan dalam penalaran. Opini-opini ini hanya melihat teori konspirasi tertentu, bukan pada unsur-unsur dasar yang dimiliki oleh semua teori tersebut.

Di masa lalu, video game, musik rock, televisi, telepon, radio dan buku-buku adalah metode-metode komunikasi yang disalahkan sebagai sumber penyakit masyarakat baru.

Mengapa orang percaya teori konspirasi

Riset ilmu politik dan psikologi menunjukkan bahwa motivasi untuk percaya atau tidak percaya teori konspirasi sebagian besar tidak berhubungan dengan metode komunikasi tertentu.

Peneliti menyebut “penalaran termotivasi”, misalnya, mengarahkan orang untuk menerima teori konspirasi yang sesuai dengan motivasi politik dan sosial yang ada serta menolak teori yang tidak sesuai dengan motivasi tersebut.

Ini menjelaskan mengapa para pendukung Donald Trump lebih cenderung mempercayai teori konspirasi bahwa ancaman COVID-19 dibesar-besarkan untuk menjelek-jelek kepemimpinan Trump.


Read more: How conspiracy theories spread online – it's not just down to algorithms


Demikian juga, banyak keadaan psikologis yang membuat teori konspirasi menarik bagi orang justru tidak banyak hubungannya dengan media sosial.

Ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kecemasan - perasaan-perasaan yang muncul akibat meningkatnya jumlah kematian, ekonomi yang hancur, dan isolasi sosial - akan diperburuk oleh situasi pandemi, dan tidak berhubungan dengan jumlah waktu yang dihabiskan orang di Faceboook dan Twitter.

Dengan kata lain, orang percaya pada teori konspirasi karena sejumlah alasan, baik sadar maupun tidak sadar. Kita bukan sekadar kertas kosong atau domba-domba yang siap digiring pada ide-ide yang ditunjukkan pada kita.

Studi terbaru bahkan menemukan bukti bahwa generasi muda yang tumbuh dengan internet bisa lebih cerdas daripada generasi sebelumnya terkait soal informasi yang tersebar secara online.

Generasi muda benar-benar mempraktikkan “jangan percaya semua yang kamu baca di internet”.

Terlepas dari sejarah panjang teori konspirasi atau penyebarannya baru-baru ini di media sosial, teori konspirasi memang menimbulkan masalah bagi masyarakat.

Namun, menimpakan kesalahan pada media sosial itu keliru dan justru membuat masalah kian tak selesai.

Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now