Menu Close
puffin.

Di balik masalah burung laut puffin yang populasinya terancam

Burung puffin menghadapi masa depan yang mengkhawatirkan. Populasi mereka menurun tajam. Bahkan ada kekhawatiran bahwa burung laut ini akan punah dalam 100 tahun ke depan.

Sebagai makhluk yang sangat dicintai dan penuh teka-teki, burung puffin mudah dikenali dari paruhnya yang berwarna-warni. Mereka melenggang dengan gaya yang unik dan mengeluarkan suara-suara aneh. Ciri khas mereka yang menawan telah digunakan sebagai simbol buku anak-anak, dan untuk mengilustrasikan banyak perangko. Namun, mereka sekarang juga muncul dalam daftar spesies yang terancam punah.

Di Kepulauan Farne, Inggris, jumlah burung ini turun rata-rata 12% dalam kurun waktu lima tahun. Populasi di salah satu pulau turun 42%.

Burung puffin biasa yang dinamai sesuai dengan penampilannya yang bengkak dan membulat (meskipun nama ilmiahnya, Fratercula arctica, berasal dari kemiripannya dengan seorang biarawan yang mengenakan jubah), memiliki wilayah persebaran yang luas di belahan bumi utara. Koloni-koloni mereka berkembang biak dari Norwegia hingga Newfoundland.

Sekitar 90% dari populasi global ditemukan di Eropa. Sekitar 60% di antaranya berkembang biak di Islandia (yang juga merupakan rumah bagi sebuah tradisi yang melibatkan anak-anak untuk menyelamatkan burung puffin yang masih kecil dan bandel - “pufflings” - dan mengembalikannya ke laut yang aman).

Inggris merupakan rumah bagi 10% populasi burung puffin dunia. Mereka berkembang biak di banyak pulau dan daerah pesisir daratan.

Meskipun ada sekitar 450.000 burung puffin di Inggris, spesies ini terancam punah karena populasi yang terus menurun dengan cepat. Survei terbaru di Kepulauan Farne mengungkapkan bahwa meskipun ada peningkatan yang stabil selama 70 tahun terakhir, jumlah populasi puffin menurun sebanyak 42% selama lima tahun terakhir.

Sayangnya, kita hanya mengetahui sedikit sekali tentang ekologi burung puffin di luar musim kawin. Meskipun burung-burung ini berkumpul dalam jumlah besar untuk berkembang biak, mereka menghabiskan dua pertiga hidupnya sendirian, di laut Atlantik utara. Akibatnya, mereka sangat sulit untuk dipantau.

Apa penyebab turunnya populasi burung puffin?

Pertama, meski burung puffin dapat hidup dalam waktu yang cukup lama (yang tertua yang tercatat sejauh ini mencapai usia 34 tahun), populasi kawin (breeding population) mereka terbatas di sedikit lokasi. Mereka juga memiliki tingkat reproduksi yang rendah, hanya bertelur satu kali dalam setahun. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Pemulihan mereka dari dampak negatif juga membutuhkan waktu cukup lama.

Mereka juga diburu–oleh manusia dan hewan lainnya. Puffin yang diasap atau dikeringkan dianggap sebagai makanan lezat (atau sebagai penyedap bubur) di beberapa tempat, seperti Islandia dan Kepulauan Faroe. Namun, meski pernah dipanen secara berlebihan oleh manusia, perburuannya kini dipertahankan pada tingkat yang berkelanjutan.

Selama musim kawin, burung puffin bersarang di liang di puncak tebing. Meskipun sarang ini melindungi mereka dari predator udara, seperti burung camar, anak burung dan telurnya tidak aman dari mamalia seperti musang dan rubah.

Di Pulau Lundy di Selat Bristol, populasi burung puffin turun menjadi hanya 10 pasang, tetapi sejak pemberantasan tikus di sana, keadaan mulai membaik. Namun demikian, burung skua Arktik dapat menjadi masalah khusus karena mereka mencuri makanan dari burung puffin dewasa yang seharusnya diperuntukkan bagi anak-anak mereka.

Hidup di lautan terbuka membuat burung puffin sangat rentan terhadap polusi seperti tumpahan minyak. Misalnya, setelah tumpahan minyak di Torrey Canyon pada tahun 1967, jumlah burung puffin yang berkembang biak di Perancis pada tahun berikutnya menurun drastis hingga 85%.

Burung puffin hampir seluruhnya memakan ikan kecil, seperti sandeel, ikan haring, dan capelin. Ikan-ikan ini memiliki porsi 90% dari total makanan anak puffin.

Burung-burung ini memiliki paruh khusus dengan duri yang menghadap ke belakang, yang mencegah mangsanya (hingga sekitar 60 ikan sekaligus) jatuh dari mulutnya saat mencari makan. Namun, pada tahun-tahun saat sumber makanan utama berkurang, banyak anak burung yang mati kelaparan.

Burung Puffin juga mengalami peningkatan kematian akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim. Serangkaian badai besar baru-baru ini menyebabkan 54.000 burung laut, setengahnya adalah burung puffin, terdampar di sepanjang pantai. Kelaparan disebut-sebut sebagai penyebab utama kematian.

Perubahan perilaku burung puffin

Sea temperatures have increased over the past 30 years, causing indirect effects on puffin survival. The rise in temperature decreases the abundance of plankton, which in turn leads to a reduction in the growth and survival of young sandeel and herring on which the puffins rely, particularly during the breeding season. Conditions in the North Sea are even causing some puffins to travel into the Atlantic, rather than the North Sea, in search of food – a perilous trek involving greater distances and different habitats.

Suhu laut yang meningkat selama 30 tahun terakhir, secara tidak langsung memengaruhi kelangsungan hidup puffin. Kenaikan suhu menurunkan kelimpahan plankton yang pada gilirannya menyebabkan penurunan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan sandeel dan ikan haring muda yang menjadi makanan burung puffin, terutama selama musim kawin. Kondisi di Laut Utara bahkan menyebabkan beberapa burung puffin melakukan perjalanan ke Atlantik, bukan ke Laut Utara, untuk mencari makanan. Perjalanan ini berbahaya karena jaraknya yang lebih jauh dan habitat yang berbeda.

It seems that a combination of factors are to blame for the decline in puffins, but the reduction in their food supply, particularly as a result of increased sea temperatures, appears to be the main culprit.

Tampaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebab menurunnya jumlah burung puffin. Namun berkurangnya pasokan makanan mereka terutama akibat peningkatan suhu laut, tampaknya menjadi penyebab utama.

We need to continue monitoring puffins worldwide to better understand factors affecting populations. Hopefully, we can put measures in place to minimise pollution, reduce introduced predators and promote sustainable harvesting to try and ensure that the fate of this wonderful bird is not the same as that of the dodo.

Kita perlu terus memantau burung puffin di seluruh dunia untuk lebih memahami faktor-faktor yang mempengaruhi populasi. Semoga kita dapat mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan polusi, mengurangi predator yang masuk, dan mendorong penangkapan yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa nasib burung yang luar biasa ini tidak sama dengan nasib burung dodo.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now