Menu Close

Diskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan: bagaimana ‘ageism’ merugikan pekerja, terutama pekerja kontrak dan perempuan

Beberapa waktu lalu, “Bunda Corla”, persona media sosial dengan lebih dari 6 juta pengikut di Instagram, memicu diskusi hangat soal pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan. Para warganet membandingkan Bunda Corla yang berusia di atas 40 tahun dan masih bisa mendapat pekerjaan formal sebagai karyawan restoran cepat saji di Jerman – tempat ia kini tinggal – dengan kondisi di Indonesia.

Di Indonesia, kebanyakan lowongan pekerjaan memberikan syarat usia dengan batas maksimal sangat muda, yakni di kisaran 30 tahun atau bahkan 25 tahun.

Akibatnya, orang-orang dengan usia di atas 30 tahun memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam pasar kerja.

Normalisasi diskriminasi usia di lapangan kerja

Di banyak negara lain, praktik pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dapat dikategorikan sebagai diskriminasi berbasis usia (ageism). Ini terjadi ketika seseorang dirugikan secara tidak adil karena alasan, yang tidak dapat dibenarkan secara objektif, terkait dengan usianya.

Berbagai negara telah melarang praktik ageism di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk, dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasar pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut.

Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Misalnya, kita sangat mudah menemui lowongan pekerjaan – bahkan yang disebarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) lewat tagar #LokerNaker di Twitter – dengan pembatasan usia maksimal bahkan semuda 25 tahun.

Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa pemberi kerja hingga pemerintah pun memaklumkan penggunaan batasan usia dalam lowongan pekerjaan.

Ageism dan pekerja kontrak

Normalisasi terhadap diskriminasi berbasis usia secara umum berimbas pada seluruh angkatan kerja. Namun, pekerja-pekerja yang sedari awal berada dalam posisi lebih rentan (precarious) – seperti pekerja dengan status kontrak – akan merasakan dampak yang lebih besar.

Pekerja kontrak memiliki keamanan kerja yang sangat rendah. Misalnya, mereka tidak pernah punya jaminan bahwa kontrak pekerjaan mereka akan terus diperpanjang. Kontrak yang habis masa berlakunya akan serta merta menyebabkan pekerja tersebut langsung kehilangan pekerjaan.

Bayangkan ketika pekerja habis masa kontraknya dalam usia yang tidak lagi “muda”, batasan usia dalam lowongan kerja yang beredar akan menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan baru.

Padahal, kondisi pasar kerja Indonesia yang kian fleksibel (atau dalam konteks ini berarti rentan) selepas terbitnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menyebabkan pegawai makin mudah dipekerjakan dengan kontrak tidak tetap.

Pekerja perempuan kena dampak lebih

Berbagai riset juga menunjukkan bahwa ageism cenderung berimbas lebih buruk terhadap pekerja perempuan.

Dalam konteks Indonesia, salah satu alasannya adalah karena banyaknya pekerja perempuan yang berhenti bekerja sementara waktu saat mereka menikah, hamil, melahirkan, dan kemudian mengurus anak. Ketika para pekerja perempuan tersebut ingin kembali ke pasar kerja, usia mereka telah lewat “batasan usia” yang banyak disyaratkan oleh lowongan pekerjaan.

Ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab mengapa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan di Indonesia masih berada jauh di bawah laki-laki – hanya sebesar 53,41% dibandingkan laki-laki yang sebesar 83,87%.

Bahkan, jika perempuan bisa kembali bekerja sekalipun, mereka seringkali hanya bisa bekerja di sektor informal yang cenderung tidak memiliki batasan usia. Perempuan-perempuan pengemudi ojek online (ojol) yang saya wawancarai, misalnya, mengaku bekerja sebagai ojol karena usia mereka sudah tidak memungkinkan untuk mencari pekerjaan “kantoran”. Padahal, usia mereka masih di angka 30-40 tahunan.

Selain itu, bekerja di sektor informal tentu berdampak pada upah dan perlindungan sosial yang lebih sedikit. Akibatnya, banyak pekerja perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan secara finansial.

Pengaturan diskriminasi usia di Indonesia

Apakah Indonesia memang tidak punya ketentuan mengenai diskriminasi usia?

Dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003 memang tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur larangan adanya batas usia. Namun, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Di sini, tenaga kerja mengacu pada “setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”

Secara singkat, sepanjang seseorang masih mampu melakukan pekerjaan, negara seharusnya menjamin kesempatan yang sama untuk mereka dalam memperoleh pekerjaan.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999. Isi dari konvensi ini secara umum memberikan tanggung jawab bagi negara untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja.

Ini berarti pemerintah tak punya lagi alasan untuk membiarkan ageism di dunia kerja – apalagi mempromosikannya lewat lowongan kerja yang disebarkan institusi negara. Aturan-aturan di atas seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang secara konkrit melarang pencantuman pembatasan usia dalam lowongan pekerja tanpa adanya alasan yang jelas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now