Menu Close
Mayoritas dokter bekerja di wilayah perkotaan sehingga di daerah pedesaan dan terpencil kekurangan dokter. Fifian Irom/Shutterstock

Dokter menumpuk di Jawa dan kota: akar masalahnya pada sistem rekrutmen dan pendidikan kedokteran

Setiap 100 ribu penduduk di Indonesia saat ini rata-rata punya 50 dokter. Rasio ini lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tujuh tahun lalu rasionya hanya 37:100.000.

Meskipun rasio dokter saat ini memenuhi target yang ditetapkan oleh pemerintah, jumlah ini baru separuh dari angka yang diharapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini merekomendasikan tiap negara memiliki setidaknya 228 tenaga kesehatan (dokter, perawat, dan bidan) untuk 100.000 penduduk. Khusus untuk dokter, angka 100 per 100.000 penduduk disebut sebagai nilai ideal untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Masalahnya bukan hanya kekurangan jumlah dokter secara keseluruhan, tapi yang lebih mencemaskan adalah ketimpangan distribusi dokter antara kota besar dan kota kecil, Jawa dan luar Jawa, perkotaan dan pedesaan.

Dari data Konsil Kedokteran Indonesia, ketimpangan bisa dilihat, misalnya, di DKI Jakarta pada 2016 memiliki 170 dokter untuk 100.000 penduduk, sedangkan Sulawesi Barat hanya punya 10 dokter untuk 100.000 penduduknya.

Masalah ini didukung oleh fakta bahwa dari 83 sekolah kedokteran di Indonesia, lebih dari separuh (44) terletak di Pulau Jawa, dan seluruhnya berlokasi di wilayah perkotaan. Saat program penempatan di rumah sakit (koasistensi), beberapa sekolah kedokteran menjalankan program magang dan menugaskan calon dokter di rumah sakit di wilayah non-perkotaan, tapi umumnya durasinya kurang dari setahun.

Setelah penugasan itu selesai mereka cenderung pindah ke perkotaan. Itulah yang tampaknya menjelaskan bahwa mayoritas dokter lebih senang merawat pasien di perkotaan dan Pulau Jawa.

Riset empiris di Indonesia dengan sampel memadai tentang hal ini memang belum ada dan saat ini saya sedang meneliti topik tersebut.

Pemerintah harus menyusun kebijakan yang inovatif untuk memenuhi kekurangan dokter sekaligus mendistribusikan dokter lebih merata. Kebijakan saat ini seperti pemberian insentif dan pengabdian setahun dokter baru akan sulit memecahkan problem tersebut bila model pendidikan kedokteran dan rekrutmen mahasiswa kedokteran tidak direformasi.

Indonesia bisa belajar dari Thailand, Jepang, Australia, dan Cina yang telah mereformasi model pendidikan kedokteran dan rekrutmen dokter baru untuk ditempatkan di pedesaan dan pedalaman.

Penyebab tidak merata

Keengganan dokter bekerja di wilayah pedesaan dan terpencil antara lain disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur dasar dan fasilitas pendukung di wilayah ini. Di samping itu rendahnya insentif dan ketidakjelasan perkembangan karir pun menyebabkan banyak dokter dan tenaga kesehatan lainnya enggan bertahan di daerah-daerah tersebut.

Faktor lainnya, kurangnya fasilitas pendidikan untuk anak dan lapangan pekerjaan untuk suami atau istri dokter, serta terbatasnya ketersediaan peralatan kesehatan dan obat-obatan di luar perkotaan.

Pemerintah pusat maupun daerah telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk menaikkan jumlah dokter di pedesaan dan terpencil. Seperti memberikan insentif daerah yang cukup tinggi, membuat program penugasan khusus melalui Nusantara Sehat, memfasilitasi rumah dan kendaraan dinas, atau mewajibkan setahun pengabdian untuk dokter spesialis.

Kebijakan-kebijakan tersebut sesuai dengan rekomendasi WHO untuk menerapkan sekurang-kurangnya satu dari empat strategi berikut: regulasi, sistem pendidikan, insentif finansial, dan dukungan untuk kehidupan personal maupun profesional.

Namun kebijakan yang diimplementasikan tersebut belum cukup berdampak dalam menjamin kesediaan dokter untuk bekerja dalam jangka panjang di wilayah non-perkotaan dan terpencil. Kebijakan pemberian insentif atau wajib pengabdian, misalnya, memang dapat menambah rekrutmen dokter di pedesaan tapi kurang kuat untuk menahan mereka tetap bekerja di daerah pedalaman dalam jangka panjang.

Salah satu aspek yang belum dilaksanakan secara optimal adalah reformasi sistem pendidikan kedokteran.

Riset di negara-negara maju seperti di Australia, Kanada,Amerika Serikat dan negara berkembang (Thailand dan Vietnam) menunjukkan bahwa kemauan seorang dokter untuk bekerja di wilayah non-perkotaan sangat berkaitan dengan tempat dan lingkungan dokter menghabiskan usia sekolah dan semasa studi kedokteran. Itu di luar faktor adanya infrastruktur, fasilitas, dan insentif yang memadai.

Karena mayoritas pendidikan kedokteran di Pulau Jawa dan perkotaan, dampaknya distribusi dokter di pulau ini jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa.

Ada kabar baik bahwa sejak moratorium pembukaan fakultas kedokteran dicabut pada 2017 ada 8 fakultas kedokteran baru. Dan mulai tahun ajaran 2019/2020 ada 6 fakultas kedokteran baru siap menerima mahasiswa.

Dari 14 fakultas kedokteran baru yang dibuka sejak 2017 tersebut, hanya 4 di antaranya yang dibangun di luar Jawa-Bali, dan hanya 2 di provinsi dengan rasio dokter terendah, yakni Gorontalo dan Maluku Utara.

Walau demikian, mendirikan fakultas kedokteran tanpa mengembangkan kurikulum yang berbasis pelayanan kesehatan pedesaan ataupun berinovasi dalam sistem rekrutmen mahasiswa juga akan kurang berdampak bagi pemerataan distribusi dokter, terlebih bila lokasinya di tempat yang telah padat dokter.

Berkaca ke tetangga

Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menghadapi masalah kurangnya dokter dan tidak meratanya distrubusi dokter. Salah satunya, Thailand juga punya masalah serupa.

Dalam 20 tahun terakhir, Thailand menerapkan intervensi komprehensif untuk meningkatkan ketersediaan dokter di wilayah pedesaan. Kebijakan ini meliputi merekrut mahasiswa kedokteran dari wilayah pedesaan, memberi mereka beasiswa studi S1 kedokteran, menempatkan mereka di rumah sakit di pedesaan selama masa perkuliahan dan rotasi klinis, dan mewajibkan mereka mengabdi minimal 3 tahun setelah lulus S1 dan denda bagi sarjana yang melanggar kontrak tersebut.

Dengan kebijakan ini, proporsi dokter Thailand lulusan program intervensi tersebut yang meneruskan bekerja di rumah sakit pedesaan lebih tinggi 2,4 kali dibandingkan dokter yang direkrut dengan model reguler.

Tidak hanya di Thailand, model perekrutan khusus ini juga telah membuahkan hasil yang baik di Jepang,Cina, dan Australia.

Satu studi di Negeri Kanguru menunjukkan penempatan mahasiswa kedokteran di wilayah pedesaan meningkatkan proporsi dokter yang tertarik untuk bekerja di wilayah tersebut setelah lulus kuliah.

Langkah strategis

Pemerintah Indonesia dapat menerapkan pola intervensi terkait sistem pendidikan kedokteran seperti di Thailand dan Australia untuk memenuhi kebutuhan dokter di wilayah pedesaan dan pedalaman. Intervensi serupa bisa dilaksanakan dengan persyaratan:

Pertama, rekrutmen khusus dan beasiswa untuk mahasiswa dari wilayah pedesaan membutuhkan subsidi dari pemerintah. Karena biaya yang dibutuhkan cukup besar, pemerintah daerah mestinya turut menyediakan beasiswa karena hal ini menyangkut kewajiban daerah dalam mencukupi akses kesehatan bagi masyarakatnya.

Kedua, butuh investasi besar untuk membangun rumah sakit dan fasilitas kesehatan di wilayah pedesaan yang akan jadikan tempat belajar dan bekerja selama 1-2 tahun. Investasi ini tidak hanya gedung dan fasilitas medis, tapi juga sumber daya manusia sebagai pembimbing klinis di rumah sakit tersebut.

Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama menyusun kebijakan inovatif yang akan menambah jumlah dokter dan distribusi dokternya lebih merata di negeri ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now