Artikel ini untuk memperingati Pekan Menyusui Dunia (World Breastfeeding Week), 1-7 Agustus.
Langkah sejumlah lembaga publik dan swasta di Indonesia memberikan donasi susu formula untuk bayi yang terdampak pandemi COVID-19 berpotensi memunculkan bahaya baru.
Donasi formula pada masa darurat hampir selalu menyebabkan bahaya karena menurunkan angka menyusui dan meningkatkan kasus infeksi. Pemberian susu formula juga menempatkan bayi pada situasi bahaya pangan karena tidak tersedianya sumber pangan yang berkelanjutan.
Masalahnya, produsen dan distributor formula melihat pandemi ini sebagai peluang. Mereka memberikan informasi yang kurang tepat terkait keamanan menyusui pada masa pandemi dan mendistribusikan bantuan formula. Langkah mereka jelas bertentangan dengan Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti Air Susu Ibu (ASI) yang dikeluarkan WHO pada 1981.
Karena itu, Organisasi Kesehatan Dunia telah meminta negara-negara anggota untuk menghentikan praktik pemasaran yang tidak etis dan donasi formula yang berbahaya ini.
Bencana dan susu formula
Pada masa normal saja, susu formula membawa banyak risiko terhadap kesehatan bayi. Risiko ini akan semakin meningkat pada kondisi darurat karena akses air bersih dan listrik terbatas (misalnya saat terjadi gempa bumi dan tsunami) atau keterbatasan ekonomi yang diakibatkan pandemi COVID-19 sehingga menyulitkan orang tua membeli formula.
Dalam peristiwa gempa bumi di Yogyakarta pada 2006, misalnya, donasi formula untuk bayi menyebabkan kasus penyakit diare meningkat dua kali lipat pada bayi yang menerima bantuan formula. Keluarga termiskin mendapat dampak terburuk karena muncul ketergantungan baru pada susu olahan pabrik dan tidak tersedianya akses air bersih dan listrik untuk memanaskan air pencampur formula.
Dalam panduan pemberian makanan bayi pada situasi darurat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa menyusui merupakan pemberian makan bayi yang aman dan terjamin, serta pemberian formula harus dilakukan dengan hati-hati.
Dalam situasi normal, susu formula baru bisa digunakan jika ada indikasi medis yang telah diatur oleh WHO, misalnya pada bayi dengan penyakit galaktosemia atau bayi dengan penyakit urin sirup mapel (maple syrup urine disease) yang membutuhkan susu formula khusus.
Sesuai dengan Panduan Pemberian Makanan Bayi dan Anak pada Masa Darurat terbitan WHO, dan telah diadopsi oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, bantuan menyusui sangat direkomendasikan, seperti bantuan makanan bergizi untuk ibu menyusui dan bantuan konseling psikologis.
Pada kondisi bayi tidak disusui oleh ibunya, perlu diketahui kemungkinan ibu untuk kembali menyusui (relaktasi), mencari ibu susu dan donor ASI perah sesuai dengan konteks budaya setempat.
Manfaat dari menyusui di situasi darurat
Menyusui merupakan hal penting bagi bayi pada setiap masa, namun menjadi lebih penting saat masa darurat seperti pandemi COVID-19.
Sebuah riset menunjukkan melalui menyusui, bayi tercukupi kebutuhan dan keamanan makanan dan minumannya, dan perlindungan dari infeksi.
Menyusui juga membantu ibu yang dalam kondisi stres untuk menjalin ikatan batin dan sekaligus mengasuh anaknya dengan baik. Tanpa disusui, kemampuan bayi melawan infeksi berkurang.
Sebaliknya, bayi yang diberi susu formula memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di rumah sakit, bahkan ketika kondisinya cukup buruk, berisiko meninggal.
Dengan alasan ini, Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan ibu yang terinfeksi COVID-19 tetap dapat melakukan kontak kulit segera setelah melahirkan dengan bayinya, berada dalam kamar perawatan yang sama (rawat gabung) dan terus menyusui.
Risiko terinfeksi rendah saat disusui
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa risiko infeksi COVID-19 tergolong rendah jika bayi dirawat bersama ibu dan disusui.
Penelitian dari New York menunjukkan tidak ada satu bayi dari 116 bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi COVID-19 menjadi terinfeksi. Dalam penelitian lain, 666 bayi yang lahir dari ibu yang terkena COVID-19, hanya 28 bayi yang terinfeksi.
Bayi yang disusui tidak lebih berisiko terinfeksi COVID-19 dibanding bayi yang diberi susu formula, dan telah terbukti pemisahan ibu dan bayi setelah melahirkan tidak mencegah penularan. Antibodi COVID-19 telah ditemukan dalam ASI yang membantu bayi melawan infeksi COVID-19.
Jika bayi terinfeksi, mereka jarang menjadi parah dan tidak memiliki gejala. Bahkan bayi prematur kemungkinan tidak mengalami infeksi yang parah jika tertular COVID-19.
Meski demikian, ibu mengalami banyak tantangan untuk menyusui bayinya.
Beberapa kebijakan organisasi kesehatan beberapa negara menyatakan untuk memisahkan ibu dan bayi pasca melahirkan dan tidak diperbolehkan menyusui di masa pandemi. Meski kemudian beberapa merevisi kebijakan tersebut.
Tantangan lainnya adalah pengurangan layanan non-esensial seperti penghapusan atau pengurangan kelas edukasi menyusui, layanan konsultasi menyusui, pemeriksaan kehamilan lebih sedikit di beberapa layanan kesehatan.
Tantangan ini tidak hanya terjadi negara berkembang seperti di Indonesia.
Sebuah penelitian di Australia menunjukkan banyak ibu merasa stres dan tidak nyaman dengan kondisi pandemi ini. Ketika mereka mengalami kesulitan dalam menyusui, mereka ragu untuk datang ke klinik atau rumah sakit karena takut tertular COVID-19 jika mengunjungi RS atau sarana layanan kesehatan lainnya.
Salah satu hikmah dari pandemik ini adalah semakin banyak ibu yang menyadari pentingnya menyusui sebagai pelindung bayi mereka dari infeksi. Mereka juga sadar bahwa ASI merupakan sumber makanan yang aman dan selalu tersedia, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan kemampuan mereka membeli susu formula.
Australian Breastfeeding Association (ABA), misalnya, menunjukkan banyak ibu yang menghubungi layanan konseling mereka untuk bantuan menyusui. Para konselor dari ABA meyakinkan bahwa hal wajar jika bayi menyusu lebih sering pada waktu yang kurang nyaman dan bahwa stres ibu tidak mempengaruhi produksi ASI.
Mari dukung ibu menyusui untuk melindungi kesehatan bayi
Tak hanya meningkatkan risiko kesehatan pada bayi dan ibu, penggunaan susu formula berkontribusi dalam polusi dan perubahan iklim karena produksi formula membutuhkan banyak sumber daya.
Peternakan sapi menyebabkan penggundulan hutan, dan selama proses produksinya membutuhkan sumber daya listrik dan air yang banyak sejak proses produksi hingga penyimpanan dan distribusi. Selain itu produksi formula menghasilkan emisi gas efek rumah kaca (gas methan/CH4, nitrogen oksida/N2O, dan karbondioksida/CO2) yang berpengaruh besar terhadap perubahan iklim yang ekstrem. Ini merupakan alasan di balik topik Pekan Menyusui Sedunia tahun ini “Dukung Menyusui untuk Bumi yang Lebih Sehat”.
Di tengah ketidakpastian dan belum diketahui kapan persisnya pandemi ini akan berakhir, kita harus mendukung ibu dan keluarganya menyusui bayinya agar ibu dan bayinya sehat secara fisik dan batin. Air susu ibu jauh lebih sehat dan berkelanjutan dibanding susu formula olahan pabrik.
Menyusui tidak hanya melindungi kesehatan ibu dan bayi, namun juga kesehatan lingkungan kita.