Menu Close
Shutterstock/Ivan Marc.

Dua sisi EU AI Act: 10 hal yang bisa dipelajari Indonesia

European Union Artificial Intelligence Act atau EU AI Act merupakan regulasi pionir yang dikeluarkan oleh Uni Eropa untuk mengatur kecerdasan buatan (AI) secara global. Aturan ini bertujuan menyeimbangkan antara perlindungan hak fundamental dan inovasi yang bertanggung jawab.

Dengan pendekatan berbasis risiko, EU AI Act mengklasifikasikan aplikasi AI berdasarkan potensi bahayanya terhadap masyarakat. Beda tingkatan risiko, berbeda pula ketentuannya.

Misalnya, sistem AI yang dianggap berisiko tinggi harus menjalani serangkaian penilaian ketat, termasuk evaluasi dampak dan langkah mitigasi risiko. Aspek transparansi menjadi prioritas–termasuk kewajiban untuk memberi tahu pengguna ketika berinteraksi dengan AI–guna mencegah manipulasi. Otoritas nasional juga diberikan wewenang untuk mengawasi implementasi dan mengenakan sanksi bagi pelanggar.

Sementara untuk mendorong inovasi, EU juga menyediakan “sandbox regulasi”, yaitu lingkungan terkendali bagi bisnis untuk menguji teknologi AI tanpa risiko sanksi penuh. Konsep sandbox ini membantu inovator mengurangi risiko hukum dan memberi regulator kesempatan memahami teknologi selama proses uji coba, sehingga peraturan dapat mendukung inovasi tanpa mengorbankan keamanan.

Sumber: EU AI Act, diolah tim The Conversation Indonesia.

Namun, beberapa praktik AI tertentu, seperti sistem penilaian sosial dan manipulasi perilaku yang merugikan, dilarang total.

Semua aturan ini menunjukkan komitmen Uni Eropa melalui AI Act untuk melindungi hak-hak fundamental warga dengan memastikan keamanan dan kepercayaan publik terhadap produk dan layanan berbasis AI. Standarisasi yang dihasilkan diharapkan mendorong interoperabilitas dan efisiensi pasar AI Eropa, serta memicu inovasi etis yang selaras dengan nilai-nilai masyarakat.

Banjir kritik EU AI Act

Di samping berbagai pujian terhadap aturan pionir ini, EU AI Act ternyata juga banjir kritik. Banyak pihak, terutama perusahaan teknologi, yang mengeluhkan regulasi ini terlalu ketat dan justru bisa menghambat inovasi dalam pengembangan AI di Eropa.

Adapun beberapa poin yang menjadi kritikan di antaranya;

  • Persyaratan yang rumit bisa menjadi beban yang mengalihkan fokus dan sumber daya perusahaan dari inovasi ke urusan administratif.
  • Definisi dan klasifikasi risiko dalam EU AI Act dianggap masih kurang jelas. Beberapa istilah, seperti end user (pengguna akhir) dan affected persons (orang yang terdampak), tidak didefinisikan dengan baik. Ketidakjelasan ini dapat menyebabkan interpretasi yang berbeda di antara negara anggota Uni Eropa, menciptakan tantangan dalam penerapan regulasi tersebut secara konsisten.
  • Ada beberapa pasal yang menjadi sorotan, salah satunya pasal 14. Meskipun pasal ini menjelaskan soal kategori risiko tinggi, keragaman dalam interpretasi, persyaratan yang kompleks, dan kurangnya pedoman spesifik dapat menyebabkan kebingungan dalam penerapannya. Imbasnya, hal tersebut berpotensi memicu ketidakpastian kepatuhan. Selanjutnya, konsideran 8, Pasal 1. Meskipun poin ini menegaskan tujuan untuk melindungi keselamatan dan hak dasar, cakupan yang luas dari pernyataan ini dapat menyebabkan tantangan dalam interpretasi dan penerapan regulasi, baik bagi perusahaan maupun regulator.
  • Penilaian dan sertifikasi di bawah EU AI Act juga ruwet, terutama untuk sistem AI yang dianggap berisiko tinggi, yang melibatkan berbagai tahap evaluasi, pengujian, dan dokumentasi untuk membuktikan kepatuhan terhadap persyaratan regulasi. Durasi proses sertifikasi dan evaluasi juga tidak bisa dipastikan, karena bervariasi tergantung kompleksitas sistem, jenis penilaian, dan ketersediaan badan sertifikasi.

Meskipun sejumlah aturan penting dibuat untuk menjaga keamanan dan privasi dalam pengembangan AI, pembatasan yang terlalu ketat dan implementasi standar yang berbeda-beda dapat menimbulkan fragmentasi dan membatasi potensi inovasi teknologi AI. Hal ini pada gilirannya dapat menghambat kemajuan dan daya saing Eropa dalam inovasi teknologi AI.

Di samping itu, muncul kekhawatiran tentang brain drain, yaitu ketika regulasi yang ketat dapat mendorong para talenta digital dan perusahaan AI beralih ke wilayah yang lebih ramah inovasi. Misalnya, perusahaan rintisan teknologi bisa saja memindahkan operasional atau bahkan seluruh perusahaan mereka ke negara seperti Amerika Serikat yang saat ini memiliki regulasi yang cenderung ramah inovasi dalam hal pengembangan AI.

Ilustrasi Brain Drain.Sumber:Shutterstock/Alphaspirit.it.

Belajar dari sejarah

Undang-Undang Lokomotif pada abad ke-19 semestinya memberikan pelajaran penting bagi Uni Eropa dalam menyusun AI Act, terutama dalam hal menyeimbangkan regulasi dengan inovasi. Awalnya, Undang-Undang Lokomotif memberlakukan pembatasan yang sangat ketat pada kendaraan bermesin, termasuk persyaratan untuk mengatur kecepatan maksimum. Pembatasan ini kemudian dinilai menghambat pengembangan teknologi otomotif dan memperlambat adopsi kendaraan bermotor.

Seiring waktu, Undang-Undang Lokomotif akhirnya diubah dengan sejumlah pelonggaran yang memungkinkan industri otomotif untuk tumbuh dan berkembang. Ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam regulasi untuk dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi dan kebutuhan industri.

Jadi, penerapan AI Act dengan pendekatan berbasis risiko memang sebuah langkah yang tepat. Namun, yang harus diingat bahwa regulasi yang baik harus tetap fleksibel dan adaptif dengan peninjauan berkala. Regulator perlu belajar dari pengalaman sejarah, seperti Undang-Undang Lokomotif, untuk memastikan bahwa regulasi berfungsi sebagai pendorong kemajuan, bukan sebagai penghalang.

Pelajaran bagi Indonesia

Bagi negara-negara Asia, terutama Indonesia, pengalaman EU AI Act, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dapat menjadi pelajaran berharga dalam menyusun regulasi AI di masa mendatang. Setidaknya ada 10 hal yang seharusnya diperhatikan dalam mengatur AI:

  1. Pendekatan bertahap yang memungkinkan adaptasi industri tanpa guncangan ekonomi sambil memberi ruang untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan, termasuk pengaturan mengenai hak data dan privasi, dengan mempertimbangkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan oleh AI.

  2. Kerangka regulasi fleksibel yang mengakomodasi kecepatan perkembangan teknologi AI dan memungkinkan pembaruan tanpa perombakan total. Pengawasan independen diperlukan untuk menjamin implementasi yang sesuai dengan etika dan keamanan.

  3. Kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan, seperti menjamin transparansi dan akuntabilitas di sektor-sektor yang rentan.

  4. Alih-alih mengatur seluruh spektrum AI sekaligus, Indonesia dapat fokus pada area yang paling kritis bagi konteks nasional.

  5. Kerja sama dalam blok regional untuk menciptakan standar yang harmonis, meningkatkan daya saing kolektif, dan mengurangi fragmentasi pasar global, sembari memperhatikan harmonisasi regulasi internasional agar tidak terjadi kesenjangan pengaturan di antara negara.

  6. Regulasi berbasis insentif yang bertujuan mendorong adopsi AI secara etis serta menciptakan lingkungan bisnis yang kolaboratif. Penting bagi kita untuk mengatur perusahaan teknologi agar tidak menjadi “super policy entrepreneurs” atau korporasi yang memiliki pengaruh sangat besar dalam pembuatan kebijakan, sehingga mereka bisa memaksakan atau mendorong kebijakan yang menguntungkan mereka. Kita harus memastikan AI digunakan untuk kepentingan publik, bukan semata korporasi atau kelompok tertentu.

  7. Membangun kapasitas regulator dan memastikan regulasi relevan dengan perkembangan teknologi.

  8. Adopsi pendekatan “sandbox regulasi” penting untuk memungkinkan eksperimen terkontrol teknologi AI baru.

  9. Dalam merancang regulasi, penting untuk mempertimbangkan kapasitas usaha kecil menengah dan startup lokal. Memberikan bantuan teknis dan finansial dapat memperkuat ekosistem inovasi.

  10. Mengizinkan penyesuaian kebijakan sesuai perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat.

Dengan mengambil pelajaran ini, Indonesia dapat menciptakan lingkungan regulasi yang mendorong inovasi AI sambil melindungi kepentingan publik. Keseimbangan antara pengaturan dan fleksibilitas untuk mendorong inovasi adalah kuncinya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,000 academics and researchers from 5,058 institutions.

Register now