Menu Close

Dua Tahun UU Cipta Kerja: PHK kian mudah, kenaikan upah jadi paling rendah

Omnibus Law perlu dievaluasi.
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Rabu (21/9/2022). Mereka menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan upah minimum provinsi (UMP) 2023 sebesar 13 persen sekaligus menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan menolak Omnibus Law. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz, CC BY

Dua tahun lalu, tepatnya tanggal 2 November 2020, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disahkan dengan terburu-buru oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU yang lebih dikenal dengan sebutan omnibus law tersebut menimbulkan banyak sekali kontroversi dalam proses pembuatannya.

Salah satu bagian yang banyak dikritik oleh akademisi, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil adalah Bab Ketenagakerjaan. Isinya dirasa merugikan masyarakat karena mengecilkan aspek perlindungan pekerja dan melakukan deregulasi terhadap peraturan ketenagakerjaan yang sudah lebih dulu ada.

Namun, pemerintah bergeming, meyakini bahwa UU tersebut akan memacu investasi dan menciptakan lapangan kerja baru.

Kini, dua tahun berlalu setelah pengesahan UU Ciptaker. Sejumlah peraturan pelaksana telah ditelurkan dan berbagai perubahan telah terjadi. Lalu apa imbasnya bagi para pekerja?

Mari kita menapak tilas untuk melihat bagaimana aturan ini berdampak pada tenaga kerja Indonesia dan melihat apa yang perlu kita evaluasi dari UU kontroversial ini.

Kado satu tahun UU Ciptaker: inkonstitusional bersyarat dan upah murah

Pada 3 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan kado pahit bagi pemerintah dan DPR. Melalui putusannya, MK menegaskan bahwa UU Ciptaker cacat secara formil, dan karenanya dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Namun, putusan ini tidak serta merta membatalkan UU Ciptaker. MK menyatakan UU tersebut tetap berlaku, dan memberikan waktu dua tahun bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan formil. Artinya, imbas UU Ciptaker masih akan terus dirasakan oleh masyarakat.

Di bulan yang sama, pemerintah mengumumkan bahwa kenaikan upah minimum tahun 2022 hanya sebesar 1,09%. Angka ini didapatkan dari formula upah minimum turunan UU Ciptaker (Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan No. 36 Tahun 2021), dan merupakan presentase kenaikan upah minimum terendah sepanjang sejarah.

Angka kenaikan upah minimum 2022 yang sangat rendah menimbulkan gelombang penolakan oleh pekerja, ditandai dengan bergulirnya berbagai protes dan unjuk rasa. Rendahnya kenaikan upah minimum provinsi (UMP) berdasarkan formula PP 36/2021 bahkan berujung polemik yang tak kunjung tuntas seperti terjadi di DKI Jakarta. Hingga saat ini, besaran UMP DKI Jakarta tahun 2022 masih belum tuntas disengketakan di PTUN.

Serikat pekerja berkali-kali mengkritik formula UMP dalam PP 36/2021 yang tidak merepresentasikan kebutuhan hidup layak (KHL). Akar permasalahannya, UU Ciptaker tidak lagi menjadikan survei KHL sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan UMP. Akibatnya sungguh telak: kenaikan UMP 2022 yang sangat minimal semakin menghimpit kondisi ekonomi para pekerja.

Kado dua tahun UU Ciptaker: PHK massal

Turbulensi ekonomi dua tahun belakangan, mulai dari pandemi COVID-19 hingga ancaman resesi di berbagai penjuru dunia, berimbas pada guncangan finansial pada sektor bisnis dan investasi. Dalam kondisi ekonomi yang bergejolak ini, banyak perusahaan yang memilih melakukan efisiensi melalui pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Hari-hari ini, opsi PHK paling banyak diambil oleh perusahaan-perusahaan rintisan atau start-up yang banyak pekerjanya adalah anak muda. Namun, isu PHK massal tidak hanya menghantui bisnis start-up. Bulan-bulan ke depan, ada kekhawatiran bahwa banyak perusahaan sektor padat karya juga akan melakukan PHK besar-besaran.

Gelombang PHK massal yang begitu masif menghantam pekerja hari-hari ini, menurut pemerintah merupakan ekses yang tidak dapat dihindari dari situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Namun, UU Ciptaker secara tidak langsung telah memperbesar potensi pekerja untuk di-PHK secara sepihak.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat bahwa ada lebih dari 17.000 pekerja yang di-PHK sejak UU Ciptaker disahkan, mayoritas diputus secara sepihak. PHK secara sepihak ini bisa terjadi karena adanya perubahan ketentuan terkait prosedur PHK dalam UU Ciptaker. Revisi Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker memungkinkan pengusaha untuk melakukan PHK hanya melalui pemberitahuan kepada pekerja/buruh.

Memang, masih ada kemungkinan pekerja untuk menolak pemberitahuan PHK dan meminta perundingan bipartit antara pekerja dan pengusaha. Namun, ketentuan ini mengabaikan fakta sosiologis bahwa kedudukan pekerja dan pengusaha sangat tidak setara. Dalam kenyataannya, sangat sulit bagi pekerja untuk menolak pemberitahuan PHK.

Hilangnya kewajiban pengusaha untuk melakukan perundingan sebelum PHK (sebagaimana sebelumnya diamanatkan dalam UU Ketenagakerjaan) berimbas pada semakin mudahnya pekerja mendapatkan vonis PHK dari perusahaan.

Evaluasi menyeluruh untuk memperbaiki UU Ciptaker

Pertengahan Oktober 2022 lalu, Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) menetapkan bahwa UMP tahun 2023 akan tetap mengacu pada PP 36/2021. Secara hukum, keputusan ini bisa dipahami karena PP 36/2021 adalah satu-satunya instrumen hukum yang mengikat terkait penetapan upah minimum.

Namun, dalam perspektif kesejahteraan pekerja, hal ini tentu jauh dari rasa keadilan, apalagi di tengah kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok yang semakin menggerus daya beli masyarakat.

Kedua isu di atas menunjukkan bahwa kekhawatiran banyak pihak terhadap UU Ciptaker yang disinyalir akan berdampak negatif bagi pekerja sebenarnya tidak meleset.

Lantas, apakah nasi telah menjadi bubur? Tidak juga.

Tahun depan, pemerintah memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap UU Ciptaker, sebagaimana amanat dari putusan MK. Harapannya, perbaikan yang dilakukan tidak sebatas formalitas belaka, tapi benar-benar menimbang ulang pasal-pasal bermasalah dalam UU Ciptaker, termasuk aturan-aturan yang merugikan pekerja di Bab Ketenagakerjaan.

Untuk melakukan perbaikan yang menyeluruh, pemerintah perlu mendengar masukan dari pemangku kepentingan terkait. Jangan melulu suara pengusaha, namun aspirasi pekerja yang banyak diabaikan dalam pembuatan UU Ciptaker pada 2020 lalu pun harus lebih serius dipertimbangkan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now