Menu Close
Antrean peserta Jaminan Kesehatan Nasional di BPJS Kesehatan Sukabumi Jawa Barat. Rani Restu Irianti/Shutterstock

Efisiensi dan produktivitas rumah sakit turun setelah ikut skema JKN, apa penyebabnya?

Debat dua calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno tiga pekan lalu mempersoalkan defisit dan implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sayangnya, baik Ma'ruf maupun Sandiaga hanya mengeluarkan pernyataan normatif dan teoretis.

Berbagai masalah melilit program JKN. Cakupan program JKN sudah cukup luas–hingga 1 Maret 2018, 218 juta orang bergabung dalam program JKN, 96 juta di antaranya disubsidi dari APBN. Namun, sejak dimulai pada 2014, BPJS Kesehatan telah mengalami defisit keuangan pada tahun pertama Rp3,3 triliun dan pada 2018 menjadi Rp10,98 triliun.

Defisit keuangan ini dampaknya paling dirasakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit.

Penelitian saya dan beberapa penelitian lain menunjukkan efisiensi dan produktivitas rumah sakit menurun setelah skema JKN. Penyebabnya, rumah sakit harus menomboki kekurangan biaya layanan rumah sakit untuk pasien JKN. Selain itu klaim pembayaran BPJS seringkali terlambat dibayarkan sehingga mempengaruhi aliran kas rumah sakit. Hal ini menghambat kegiatan operasional dan pelayanan rumah sakit.

Rumah sakit tak efisien

Penelitian yang saya lakukan di Provinsi Sulawesi Selatan pada 25 rumah sakit pemerintah yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan bergabung dengan program JKN menunjukkan 14 rumah sakit (56%) masuk kategori tidak efisien dan hanya 11 rumah sakit (44%) yang efisien. Dari tahun ke tahun sejak implementasi program JKN, secara rata-rata rumah sakit hanya mampu beroperasional secara efisien pada 2016, sedangkan pada 2014, 2015 dan 2017 rata-rata rumah sakit tidak efisien. Riset ini mencakup data rumah sakit pada 2014-2017.

Efisiensi dalam konteks ini adalah ukuran yang menunjukkan perbandingan pencapaian output aktual yang dihasilkan rumah sakit dengan output maksimal yang seharusnya dapat dicapai oleh rumah sakit dengan menggunakan kombinasi dari input yang dimiliki.

Indikator input dalam penelitian ini terdiri dari luas bangunan rumah sakit, total aset, total biaya operasional dan total biaya farmasi RS. Sedangkan indikator output terdiri dari jumlah pasien, jumlah pemeriksaan laboratorium, jumlah tindakan operasi, total pendapatan operasional RS, angka rata-rata lamanya pasien dirawat, dan rata-rata jumlah hari sebuah tempat tidur tidak terisi.

Rendahnya efisiensi RS tidak hanya dijumpai di Provinsi Sulawesi Selatan. Beberapa penelitian lain seperti di Minahasa Sulawesi Utara dan Kota Semarang juga memperlihatkan dampak negatif standar JKN terhadap kinerja keuangan, produktivitas, dan efisiensi rumah sakit saat mereka ikut skema BPJS Kesehatan.

Dalam riset ini, saya menemukan pula bahwa tingkat pertumbuhan produktivitas rumah sakit cenderung turun dari tahun ke tahun. Produktivitas merupakan perbandingan seluruh input yang digunakan oleh rumah sakit untuk menghasilkan output dibandingkan tahun sebelumnya. Indikator input dan output yang digunakan tidak hanya menggunakan parameter keuangan tapi juga parameter lainnya seperti jumlah pasien yang dilayani dan jumlah pemeriksaan.

Pada periode 2014-2015 pertumbuhan produktivitas rumah sakit yang saya teliti naik 7,4% tapi kemudian turun menjadi hanya 4,1% pada 2015-2016. Dan pada periode 2016-2017 produktivitas mereka turun lagi karena hanya tumbuh 0,5%.

Penyebabnya apa?

Penelitian saya menemukan adanya pengaruh negatif antara persentase pasien JKN dan skor efisiensi rumah sakit. Semakin besar jumlah pasien JKN yang dilayani oleh sebuah rumah sakit, maka tingkat efisiensinya akan semakin rendah.

Terdapat dua faktor penyebab utama atas masalah ini. Pertama besaran tarif biaya layanan rumah sakit yang ditetapkan pemerintah yang merujuk pada sistem penghitungan yang disebut Sistem Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) saat ini belum rasional. Masih terjadi selisih besaran biaya riil yang dikeluarkan oleh rumah sakit pada beberapa kasus jika dibandingkan dengan besaran tarif INA-CBGs yang diterima RS.

Sebuah riset di RSU Kota Tangerang Selatan, misalnya, memperlihatkan tarif rumah sakit yang diberikan kepada pasien lebih tinggi dibanding tarif INA-CBG’s, dengan rata-rata selisih Rp.1.090.000 per berkas klaim. Penelitian lain di empat rumah sakit kelas A di kota Jakarta, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta juga menunjukkan selisih negatif untuk layanan persalinan sectio caesarea.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu segera menyesuaikan tarif INA-CBGs yang diamanatkan setiap dua tahun sekali. Tarif yang dipakai saat ini merupakan hasil pembaruan 2016 dan hingga kini belum ditinjau lagi oleh Kementerian Kesehatan. Besaran kenaikannya harus dikaji secara mendalam dan komprehensif dengan perhitungan analisis biaya riil agar permasalahan ini tidak terus terulang.

Faktor kedua adalah seringnya terjadi keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan hingga 3-4 bulan ke rumah sakit. Hal ini mempengaruhi kinerja efisiensi dan produktivitas rumah sakit secara sistemik. Misalnya, tak ada persediaan obat akibat RS “dikunci” oleh perusahaan obat karena menunggak pembayaran untuk obat sebelumnya. Dampak ikutannya, kegiatan lain di RS seperti pendidikan dan pelatihan untuk seluruh sumber daya manusia RS ditunda karena dananya dialihkan untuk membeli obat.

Seringnya keterlambatan pembayaran jasa pelayanan akan berpengaruh terhadap komitmen dan kepuasan kerja serta kinerja sumber daya manusia di RS. Hal ini menjadi permasalahan yang hampir dirasakan di seluruh RS. Hasil Riset Ketenagaan di Bidang Kesehatan (Risnakes) 2017 menunjukkan bahwa secara keseluruhan/nasional, motivasi kerja staf rumah sakit mayoritas berada pada level motivasi kerja “sedang” (53,2 persen), sedangkan tingkat kepuasan kerja mereka hanya 23,9 persen (“rendah”).

Apa solusinya?

Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah diatur bahwa rumah sakit berhak mendapat subsidi/bantuan dari pemerintah daerah dan mendapatkan insentif pajak, khususnya bagi rumah sakit negeri. Namun sampai saat ini peraturan pemerintah sebagai turunan dari undang-undang tersebut belum ada. Padahal ini dapat menjadi solusi untuk membantu kelancaran cashflow di rumah sakit.

Strategi lain yang dapat ditempuh oleh rumah sakit untuk menghadapi ketidaklancaran aliran kas di rumah sakit adalah pinjaman pembiayaan. Hal ini mungkin dilaksanakan khususnya bagi rumah sakit yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Pasal 86 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2018 tentang BLUD menyatakan BLUD dapat meminjam dana sehubungan dengan kegiatan operasionalnya baik pinjaman jangka panjang maupun pinjaman jangka pendek.

Namun, kebijakan ini belum dapat berjalan di daerah karena petunjuk dan aturan teknis yang mengatur belum diterbitkan oleh para kepala daerah. Hal ini menimbulkan keraguan oleh rumah sakit. Padahal dari segi aturan, Pasal 87 ayat 5 dari peraturan tersebut menyebutkan mekanisme atau tata cara pinjaman jangka pendek BLUD diatur oleh peraturan kepala daerah.

Maka, sebagai salah satu solusi jangka pendek untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah daerah perlu segera mengeluarkan kebijakan berupa aturan dan petunjuk teknis mengenai pinjaman jangka pendek.

Yang tak kalah penting harus menjadi perhatian pemerintah adalah terbitnya Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah yang dapat menjadi ancaman tersendiri bagi efisiensi dan produktivitas rumah sakit negeri di Indonesia. Ancaman ini muncul karena fleksibilitas penggunaan anggaran rumah sakit menjadi terganggu dengan bentuk kelembagaan saat ini yang berubah menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) di bawah Dinas Kesehatan.

Berada dalam birokrasi anggaran Dinas Kesehatan akan mempengaruhi keleluasaan rumah sakit dalam merespons kebutuhan pelayanan dengan cepat, efektif dan efisien.

Mengembalikan rumah sakit sebagai sebuah lembaga teknis yang otonom dengan fleksibilitas pengelolaan keuangan menjadi kunci agar rumah sakit dapat berkembang dan optimal melayani pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional.

Di luar urusan teknis di atas, penutupan defisit BPJS Kesehatan melalui “dana talangan” yang diambil dari dana pajak rokok daerah hanya solusi jangka pendek.


Read more: Defisit BPJS Kesehatan ditutup pajak rokok, bisakah berkelanjutan?


Solusi jangka panjangnya adalah pemerintah harus menetapkan besaran iuran yang rasional, meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran oleh peserta, meningkatkan efesiensi dan efektivitas pelayanan di rumah sakit serta mendorong lebih keras upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat untuk menurunkan angka kesakitan masyarakat.

Langkah ini membutuhkan komitmen yang tegas dari pemerintah. Karena semua ini bukan semata menjadi persoalan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now