Artikel ini diterbitkan untuk menyambut Hari Gizi Nasional yang diperingati pekan ini, 25 Januari.
Di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat dalam kurun 20 tahun terakhir, masih banyak ditemukan anak kekurangan gizi di berbagai daerah.
Fakta ini menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik tidak sinkron dengan perbaikan gizi masyarakat. Walau masalah ini sangat penting, sejauh ini dalam musim kampanye pemilihan umum 2019, isu ini tidak memperoleh banyak perhatian dari para calon anggota parlemen (caleg) baik nasional maupun daerah, juga calon presiden dan wakilnya. Padahal mereka yang akan menentukan kebijakan dan arah pembangunan dalam lima tahun ke depan, termasuk pembangunan kesehatan dan gizi.
Hanya sedikit berubah dalam lima tahun
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mengkonfirmasikan kondisi ketimpangan gizi tersebut. Laporan tahun lalu menyebutkan terdapat 13,8% anak usia di bawah lima tahun dengan gizi kurang dan 3,9% gizi buruk. Artinya secara nasional dari estimasi populasi balita sebesar 23,8 juta jiwa yang digunakan pada kajian tersebut, terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.
Data ini hanya mengalami sedikit sekali perbaikan dibandingkan lima tahun sebelumnya (Riskesdas 2013) yang menyatakan ada 13,9% gizi kurang dan 5,7% gizi buruk pada rata-rata nasional.
Di beberapa provinsi, angka gizi kurang dan gizi buruk ada yang jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan angkanya lebih dari 25%, di antaranya Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Bahkan gizi kurang dan gizi buruk juga terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta meski dengan angka yang lebih rendah dari rata-rata nasional.
Dampak kurang gizi
Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik. Anak yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya sehingga menjadi pendek (stunted).
Kondisi ini lebih berisiko jika masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan. Data-data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Seperti disebut dalam laporan Riskesdas terakhir, ada 30,8% atau 7,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting, dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek.
Lalu apa saja dampak gizi buruk, baik langsung maupun langsung, terhadap anak dan ketahanan negara Indonesia?
1. Kognitif lemah dan psikomotorik terhambat
Bukti menunjukkan anak yang tumbuh dengan stunting mengalami masalah perkembangan kognitif dan psikomotor. Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan stunting besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada proporsi kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Artinya, besarnya masalah stunting pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa masa depan.
2. Kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga
Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada umumnya akan mempunyai kemampuan secara intelektual di bawah rata-rata dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang lebih lemah.
Pada saat yang sama, generasi yang tumbuh dengan kondisi kurang gizi dan mengalami stunting, tidak dapat diharapkan untuk berprestasi dalam bidang olah raga dan kemampuan fisik. Dengan demikian, proporsi kurang gizi dan stunting pada anak adalah ancaman bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan dari segala sisi.
3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif
Kondisi stunting tidak hanya berdampak langsung terhadap kualitas intelektual bangsa, tapi juga menjadi faktor tidak langsung terhadap penyakit degeneratif (penyakit yang muncul seiring bertambahnya usia).
Berbagai studi membuktikan bahwa anak-anak yang kurang gizi pada waktu balita, kemudian mengalami stunting, maka pada usia dewasa akan lebih mudah mengalami obesitas dan terserang diabetes melitus.
Seseorang yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kekurangan gizi dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem hormonal insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi kelebihan intake kalori, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah. Dengan demikian, kondisi stunting juga berperan dalam meningkatkan beban gizi ganda terhadap peningkatan penyakit kronis di masa depan.
4. Sumber daya manusia berkualitas rendah
Kurang gizi dan stunting saat ini, menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia usia produktif. Masalah ini selanjutnya juga berperan dalam meningkatkan penyakit kronis degeneratif saat dewasa.
Karena itu, Januari merupakan momen yang tepat bagi semua pihak (para orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan parlemen) untuk ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan gizi anak dan stunting tersebut. Perhatian terhadap Hari Gizi Nasional bukan semata seremonial, tapi merupakan sebuah bentuk kewaspadaan terhadap kondisi yang terjadi saat ini, dan kepedulian masa depan bangsa.
Akademisi, peneliti, dan pemerhati kesehatan masyarakat di lapangan dapat melakukan riset, mengedukasi masyarakat, dan mengadvokasi untuk melahirkan kebijakan sesuai dengan rekomendasi riset.
Anggota parlemen dan pemerintah punya peran penting untuk mempercepat mengurangi jumlah penderita gizi buruk dengan kebijakan dan anggaran yang memadai. Pada masa kampanye, para calon anggota parlemen semestinya melihat ini sebagai sebuah permasalahan yang penting yang harus diselesaikan. Kepedulian para caleg terhadap masalah stunting di daerah-daerah mereka menjadi indikator bahwa mereka memahami persoalan daerahnya dan peduli membangun generasi masa depan.
Kita berharap, perbaikan masalah gizi anak dan masyarakat merupakan bagian dari visi dan perjuangan mereka.