tag:theconversation.com,2011:/es/topics/gizi-kurang-51364/articlesgizi kurang – The Conversation2022-06-29T02:59:54Ztag:theconversation.com,2011:article/1853972022-06-29T02:59:54Z2022-06-29T02:59:54ZRiset: pandemi COVID-19 akibatkan anak-anak Indonesia mengalami dampak bertumpuk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/471302/original/file-20220628-23-g9d50m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Rubella pada murid Taman Kanak-Kanak Aisyiyah saat pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di Pontianak, Kalimantan Barat, 31 Mei 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1653976512">ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/tom</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan kini memasuki tahun ketiga berdampak besar pada mayoritas penduduk di segala bidang kehidupan. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena mereka masih bergantung pada keluarga. </p>
<p>Riset terbaru dari <a href="https://smeru.or.id/en/publication/analysis-social-and-economic-impacts-covid-19-households-and-strategic-policy">UNICEF, UNDP, Program Kemitraan Indonesia-Australia untuk Perekonomian (Prospera), dan SMERU Research Institute</a> menemukan bahwa anak-anak Indonesia menghadapi berbagai tantangan mulai dari guncangan ekonomi dan kerawanan pangan, terganggunya akses layanan kesehatan, hingga munculnya tekanan psikologis. </p>
<p>Riset ini berfokus untuk melihat dampak sosial-ekonomi pandemi COVID-19 terhadap rumah tangga pada 2020 dengan melibatkan lebih dari 12.000 rumah tangga di seluruh Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan berbagai berbagai tantangan yang dialami anak-anak selama pandemi dan alternatif kebijakan yang bisa mengatasinya. </p>
<h2>Guncangan ekonomi, kerawanan pangan, dan kesehatan anak</h2>
<p>Riset menemukan bahwa sekitar tiga perempat rumah tangga yang memiliki anak mengalami penurunan pendapatan. Rumah tangga tersebut kini menjadi rawan miskin, serta harus mengurangi jenis, jumlah, atau kualitas makanan yang dikonsumsi untuk menekan pengeluaran. </p>
<p>Upaya adaptasi tersebut justru dapat mengganggu kesehatan karena anak berisiko menjadi lebih sering mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi. </p>
<p>Dalam jangka panjang, kerawanan pangan dapat menyebabkan <a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/indicator/2012/06/household-food-insecurities">efek berbahaya pada kesehatan dan perkembangan anak</a>. Beberapa di antaranya adalah peningkatan kasus rawat inap, kekurangan zat besi, risiko perkembangan, dan masalah perilaku.</p>
<p>Seorang nenek di Serang, Banten, menjelaskan dalam wawancara bahwa ia mengubah konsumsi susu formula untuk cucunya yang berusia di bawah 5 tahun menjadi susu kental manis dengan harga yang lebih murah. Perubahan itu kemudian berdampak pada kesehatan anak.</p>
<p>“Sebelum pandemi COVID-19, cucu saya biasa minum susu D** (merek susu formula). Sekarang dia hanya minum susu kental manis. Saya kadang kasihan ke dia, karena kalau susu kental manis kandungan gulanya banyak. Jadinya dia sering sakit gigi,” kata nenek tersebut pada 10 Desember 2020.</p>
<h2>Terganggunya akses ke layanan kesehatan</h2>
<p>Studi ini menemukan bahwa 13% rumah tangga dengan anak berusia di bawah lima tahun tidak dapat memperoleh layanan imunisasi. Walau jumlahnya mungkin tampak relatif kecil, semua anak tetap memerlukan imunisasi rutin untuk tumbuh dan berkembang serta terhindar dari risiko infeksi penyakit menular.</p>
<p>Selain imunisasi, rumah tangga dengan anak penyandang disabilitas pun mengalami gangguan akses terhadap layanan kesehatan. </p>
<p>Sekitar 36,7% rumah tangga tersebut belum bisa mendapatkan terapi dan layanan kesehatan lain yang dibutuhkan anaknya. Ini terjadi karena gangguan di layanan medis, takut tertular virus, atau kekurangan dana. </p>
<p>Misalnya, seorang ibu di Kulon Progo mengungkapkan bahwa kondisi anaknya yang penyandang disabilitas memburuk karena tidak adanya terapi teratur dan asupan vitamin rutin. </p>
<p>“Sejak pandemi COVID-19 saya (sengaja) menghentikan terapi rutin anak di rumah sakit karena takut tertular virus corona. Sejak berhenti terapi, dia tidak minum vitamin untuk tulang. Sejak berhenti terapi anak saya sering mengeluh kakinya sakit, perkembangan kakinya juga terganggu. Dokter mengajarkan saya cara memijit kaki anak saya untuk terapi di rumah, tapi anak saya ya masih mengeluh kesakitan” kata informan itu pada 18 Desember 2020.</p>
<h2>Tekanan psikologis dan kesehatan mental</h2>
<p>Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis. </p>
<p>Sekitar 45% rumah tangga mengatakan anak-anak mereka mengalami masalah perilaku. Lalu 20% rumah tangga yang memiliki anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak mereka sulit berkonsentrasi. Beberapa dari mereka cenderung mudah marah, sedih, dan insomnia. </p>
<p>Bagi anak sekolah, masalah ini bisa terjadi karena kurangnya interaksi yang bermakna dengan guru dan teman. Selain itu, gangguan dari anggota keluarga lainnya juga mengganggu konsentrasi anak selama pembelajaran jarak jauh. </p>
<p>Seorang ibu di Klungkung Bali menyoroti situasi belajar di rumah yang kurang kondusif karena anak berusia di bawah lima tahun mengganggu saudaranya yang lebih tua saat belajar di rumah. </p>
<p>“Anak saya yang masih balita sering menganggu kakaknya yang sedang belajar daring. Saya jadi mudah marah karena harus mengurus banyak hal: mengajari anak belajar, dan mengasuh anak balita supaya dia tidak ganggu kakaknya. Saat saya <em>ngajarin</em> anak, saya sepertinya juga tidak terlalu paham, mungkin karena saya memang tidak punya pengalaman menjadi guru” kata informan pada 14 Desember 2020. </p>
<h2>Upaya untuk mencegah keadaan lebih buruk</h2>
<p>Masalah-masalah yang terjadi di atas memang kompleks selama pandemi masih berlangsung. Untuk mengurangi dampak yang lebih buruk, riset ini merekomendasikan tiga hal.</p>
<p><strong>Pertama,</strong> pemerintah perlu melanjutkan <a href="https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-pemerintah-prioritaskan-penanganan-pandemi-perlindungan-sosial-dan-dukungan-umkm-selama-masa-pembatasan-kegiatan/">skema perlindungan sosial</a> untuk membantu rumah tangga selama masa pemulihan ini. Upaya tambahan juga diperlukan untuk melengkapi bantuan transfer tunai dengan pesan promosi kesehatan dan gizi, serta memastikan bahwa makanan bergizi tersedia dan terjangkau.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, petugas kesehatan perlu bekerja sama dengan kader kesehatan setempat untuk memantau kesehatan anak-anak dan memberikan perawatan yang diperlukan. Mereka perlu secara aktif menjangkau orang tua yang mungkin melewatkan imunisasi dan pemeriksaan kesehatan selama pandemi.</p>
<p><strong>Terakhir,</strong> pemerintah perlu menyadari adanya kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam belajar yang berpengaruh pada kondisi kesehatan mental mereka. Pemerintah perlu bekerja sama dengan komunitas sekolah dan orang tua untuk memberikan pembelajaran dan dukungan psikologis bagi anak-anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185397/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi The SMERU Research Institute, UNICEF, UNDP, dan PROSPERA. Penelitian ini didanai oleh UNDP, UNICEF, dan PROSPERA.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi The SMERU Research Institute, UNICEF, UNDP, dan PROSPERA. Penelitian ini didanai oleh UNDP, UNICEF, dan PROSPERA..</span></em></p>Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis.Sylvia Andriyani Kusumandari, Junior Researcher, SMERU Research InstituteMichelle Andrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1311482020-03-03T02:40:34Z2020-03-03T02:40:34ZYang perlu Indonesia lakukan untuk mengurangi jumlah anak stunting<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/317524/original/file-20200227-24676-5415a7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pemeriksaan bayi secara rutin merupakan langkah penting untuk memantau kesehatan bayi dan ibunya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/planasia/8163398507/in/album-72157627976670129/">Plan Asia/Flickr</a></span></figcaption></figure><p>Survei <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">terbaru Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan masalah gizi dan tumbuh kembang anak masih menjadi hambatan besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia. </p>
<p>Secara statistik pada September 2019, angka kemiskinan Indonesia menjadi <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/01/15/1743/persentase-penduduk-miskin-september-2019-turun-menjadi-9-22-persen.html">9,22 persen</a>, turun 0,19 persen dibanding Maret 2019. Namun pada akhir Desember lalu BPS merilis <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">prevalensi bayi di bawah lima tahun yang menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) mencapai 27,7 persen pada 2019</a>. Artinya 28 dari 100 balita masih memiliki tinggi badan kurang dari ukuran normal.</p>
<p>Walau angka tersebut turun sekitar tiga persen dibanding tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut tetap tinggi karena <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/292779-angka-stunting-di-indonesia-masih-lebih-tinggi-dari-toleransi-who">WHO menetapkan batas atasnya 20%</a>. </p>
<p>Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan angka stunting turun lebih drastis menjadi <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">19 persen pada 2024</a>. </p>
<p>Selain intervensi langsung untuk meningkatkan status gizi ibu mengandung dan anak, untuk mengatasi stunting, akses pada air bersih, penanggulanan kemiskinan dan ketimpangan gender serta edukasi orang tua mengenai gizi, sangat penting untuk mengurangi prevalensi stunting. </p>
<h2>Beban ganda karena gizi</h2>
<p>Jutaan anak dan remaja Indonesia masih menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) dan <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/"><em>wasting</em> (bertubuh kurus)</a> karena kurang gizi. Di sisi lain, banyak juga anak Indonesia yang kegemukan karena kelebihan gizi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, menurut UNICEF, hampir 30 dari 100 anak berusia di bawah lima tahun menderita stunting, sedangkan pada tahun yang sama 10 dari 100 anak kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka. <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/status-anak-dunia-2019">Seperlima anak usia sekolah dasar kelebihan berat badan atau obesitas</a>. </p>
<p>Kedua masalah ini sama-sama membutuhkan penyelesaian, tapi saat ini pemerintah Indonesia lebih fokus menurunkan angka stunting.</p>
<p><em>Stunting</em> pada balita merupakan <a href="http://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kondisi kurang gizi kronis</a> pada anak berusia 0–59 bulan yang diukur berdasarkan <a href="https://hellosehat.com/parenting/nutrisi-anak/penentuan-status-gizi-anak/">indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)</a>. Anak yang menderita <em>stunting</em> memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek atau sangat pendek). </p>
<p><a href="http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S55589-Maya%20Adiyanti.">Penyebab utama stunting adalah</a> pola asuh gizi yang kurang baik dan sanitasi yang kurang layak. Tim Nusantara Sehat di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, misalnya, menemui bahwa keluarga balita yang mengalami stunting kebanyakan mengalami keadaan tersebut. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli lauk pauk yang bergizi dan tidak memiliki akses air bersih. Hal kecil menyangkut kebersihan juga kurang diperhatikan, seperti kuku anak yang hitam dan kotor dibiarkan saja. Ini menunjukkan kurangnya pengetahuan ibu. </p>
<p>Dampak dari keadaan anak kurang tinggi tidak hanya berpengaruh pada fisik melainkan juga mental dan emosional khususnya pada perkembangan <a href="https://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kecerdasan dalam berpikir</a>. Selain itu, dampak jangka panjangnya anak yang kekurangan gizi kronis pada masa pertumbuhan juga dapat <a href="https://theconversation.com/stunted-growth-and-obesity-the-double-burden-of-poor-nutrition-on-our-doorstep-50385">meningkatkan penyakit degeneratif</a> seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke, jantung dan lain-lain. Orang yang mudah sakit menyebabkan produktifitas menurun dan dapat merugikan perekonomian negara. Selain itu, orang tidak produktif dekat dengan kemiskinan. </p>
<p>Masalah serupa juga banyak terjadi di negara lain. <a href="https://www.unicef.org/reports/state-of-worlds-children-2019">Laporan terbaru UNICEF</a> menyatakan sampai saat ini masih terdapat 149 juta balita <a href="https://www.alodokter.com/bayi-lahir-stunting-faktor-penyebab-dan-risiko">stunting</a> dan 50 juta balita <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/">berbadan kurus</a> di seluruh dunia. </p>
<h2>Intervensi langsung dan tidak langsung</h2>
<p>Balita stunting dapat dicegah sejak masa kandungan. Ibu hamil harus sehat dan tidak mengalami anemia. Ibu hamil dengan anemia memiliki <a href="https://www.halodoc.com/anemia-saat-hamil-tingkatkan-risiko-stunting-pada-anak">risiko melahirkan bayi <em>stunting</em>. </a></p>
<p>Untuk meningkatkan status gizi ibu yang mengandung dan anak sesudah ibu melahirkan, pemerintah telah menjalankan intervensi langsung yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode ini merupakan periode emas seorang anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. </p>
<p>Pemerintah melaksanakan intervensi ini melalui program-program <a href="https://cegahstunting.id/program/gizi-spesifik/">pemberian makanan tambahan untuk ibu, konseling gizi selama hamil, pemberian imunisasi, dan kegiatan lainnya</a>. </p>
<p>Meski demikian, hasil <a href="https://www.antaranews.com/berita/764584/hampir-separuh-ibu-hamil-di-indonesia-alami-anemia">Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) BPS</a> menyatakan prevalensi anemia pada ibu hamil pada 2018 mencapai 48,9 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2013 yang 37,1 persen. </p>
<p>Karena status gizi buruk pada ibu mengandung dan anak disebabkan juga oleh faktor infrastruktur–seperti akses pada air bersih-serta faktor sosial-seperti diskriminasi terhadap perempuan-dan kemiskinan, intervensi langsung pada ibu dan anak tidak cukup. </p>
<p>Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan intervensi yang tidak langsung untuk mengatasi stunting. Contoh kegiatan dalam intervensi tidak langsung ini adalah penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan pemberdayaan perempuan.</p>
<p>Tidak hanya bagi ibu hamil dan balita pada 1000 HPK, masyarakat secara umum juga menjadi <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">sasaran dari intervensi tak langsung ini</a>. </p>
<h2>Edukasi calon orang tua</h2>
<p>Upaya pemerintah untuk fokus pada intervensi kesehatan anak dan ibu hamil sudah cukup tepat karena titik dimulainya pembangunan sumber daya manusia (SDM) dimulai dari usaha untuk memastikan keadaan ibu sehat. Para ibu mendapatkan asupan makanan sesuai dengan kebutuhan, tidak mengalami anemia dan penyakit menular melalui cek kehamilan rutin, serta sanitasi yang baik seperti memiliki akses air bersih dan jamban sehat.</p>
<p>Namun, minimnya pengetahuan orang tua mengenai gizi turut <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/nutrisi">menyebabkan tingginya angka gizi buruk</a>. Pengetahuan tentang kesehatan bayi dan balita, serta pentingnya pemberian gizi yang cukup menjadi modal yang penting. </p>
<p>Oleh karena itu, perlu pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pekarangan rumah untuk dijadikan kebun gizi yang ditanami sayur-sayuran dan buah-buhan, serta petingnya peningkatan kegiatan ibu-ibu PKK dalam pengolahan makanan beragam, bergizi, aman dan seimbang.</p>
<p>Pemerintah bisa memberdayakan para tenaga kesehatan untuk mengedukasi baik calon ibu maupun ayah untuk memastikan ibu dan anak sehat. Dalam RAPBN 2020, Kementerian Kesehatan mendapat alokasi anggaran Rp 132 triliun untuk seluruh fungsi kesehatan. Hal itu membuat Kemenkes menjadi pemilik <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">anggaran terbesar keenam di APBN 2020</a>. Anggaran ini bisa digunakan untuk mendukung optimalisasi edukasi calon orang tua. </p>
<p>Perlu sinergi yang lebih kuat dari masyarakat dan pemerintah ke depan untuk memperkuat sistem pemberian layanan gizi. Organisasi internasional seperti UNICEF juga bisa menjadi partner pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama masyarakat yang lebih sehat dan produktif.</p>
<p><em>Fauziyah Wulandari, anggota Tim Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan yang bertugas di Kabupaten Halmahera Tengah, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131148/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Annisa Nurul Ummah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlu kolaborasi pemerintah dan masyarakat luas untuk mengurangi jumlah anak stunting di IndonesiaAnnisa Nurul Ummah, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Badan Pusat StatistikLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1101042019-01-22T07:27:53Z2019-01-22T07:27:53ZEmpat dampak stunting bagi anak dan negara Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/254690/original/file-20190121-100279-1yjz6a9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Potret perkembangan tubuh anak. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU0ODA4NDg5MywiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTA4NDc2MzA2OSIsImsiOiJwaG90by8xMDg0NzYzMDY5L2h1Z2UuanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCIyeGxXNXVUOVVuOXhXZlE4WHR2NCt1UUZ2cmMiXQ%2Fshutterstock_1084763069.jpg&pi=41133566&m=1084763069&src=HpGkX8c-7MUapjav13-IyA-1-42">Ann131313/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini diterbitkan untuk menyambut <a href="http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Panduan-HGN-2019_1262.pdf">Hari Gizi Nasional</a> yang diperingati pekan ini, 25 Januari.</em> </p>
<hr>
<p>Di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat dalam kurun 20 tahun terakhir, masih banyak ditemukan <a href="https://theconversation.com/sains-sekitar-kita-ancaman-stunting-di-indonesia-dan-cara-mengatasinya-98786">anak kekurangan gizi</a> di berbagai daerah. </p>
<p>Fakta ini menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik tidak sinkron dengan <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/01/18/12171331/sehari-di-rumah-sakit-anak-gizi-buruk-mulai-bisa-minum-susu">perbaikan gizi masyarakat</a>. Walau masalah ini sangat penting, sejauh ini dalam musim kampanye pemilihan umum 2019, isu ini tidak memperoleh banyak perhatian dari para calon anggota parlemen (caleg) baik nasional maupun daerah, juga calon presiden dan wakilnya. Padahal mereka yang akan menentukan kebijakan dan arah pembangunan dalam lima tahun ke depan, termasuk pembangunan kesehatan dan gizi.</p>
<h2>Hanya sedikit berubah dalam lima tahun</h2>
<p>Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan mengkonfirmasikan kondisi ketimpangan gizi tersebut. Laporan tahun lalu menyebutkan <a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf">terdapat 13,8% anak usia di bawah lima tahun dengan gizi kurang dan 3,9% gizi buruk</a>. Artinya secara nasional dari estimasi <a href="https://www.bappenas.go.id/files/5413/9148/4109/Proyeksi_Penduduk_Indonesia_2010-2035.pdf">populasi balita sebesar 23,8 juta jiwa</a> yang digunakan pada kajian tersebut, terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk. </p>
<p>Data ini hanya mengalami sedikit sekali perbaikan dibandingkan lima tahun sebelumnya (<a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf">Riskesdas 2013</a>) yang menyatakan ada 13,9% gizi kurang dan 5,7% gizi buruk pada rata-rata nasional. </p>
<p>Di beberapa provinsi, angka gizi kurang dan gizi buruk ada yang jauh di atas rata-rata nasional. Bahkan angkanya lebih dari 25%, di antaranya <a href="https://theconversation.com/gizi-buruk-pada-balita-di-ntt-mengapa-sulit-diakhiri-91841">Nusa Tenggara Timur</a>, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Bahkan gizi kurang dan gizi buruk juga terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta meski dengan angka yang lebih rendah dari rata-rata nasional.</p>
<h2>Dampak kurang gizi</h2>
<p>Kekurangan gizi pada anak berdampak secara akut dan kronis. Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akut akan terlihat lemah secara fisik. Anak yang mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, terutama yang terjadi sebelum usia dua tahun, akan terhambat pertumbuhan fisiknya sehingga menjadi pendek (<em>stunted</em>). </p>
<p>Kondisi ini lebih berisiko jika masalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5081104/pdf/emss-69666.pdf">gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan</a>. Data-data secara nasional di Indonesia membuktikan bahwa angka stunting yang tinggi beriringan dengan kejadian kurang gizi. Seperti disebut dalam laporan Riskesdas terakhir, ada 30,8% atau 7,3 juta anak di Indonesia mengalami <em>stunting</em>, dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek. </p>
<p>Lalu apa saja dampak gizi buruk, baik langsung maupun langsung, terhadap anak dan ketahanan negara Indonesia?</p>
<p><strong>1. Kognitif lemah dan psikomotorik terhambat</strong></p>
<p>Bukti menunjukkan anak yang tumbuh dengan <em>stunting</em> mengalami masalah perkembangan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084763/">kognitif dan psikomotor</a>. Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan <em>stunting</em> besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada proporsi kualitas sumber daya manusia yang akan dihasilkan. Artinya, besarnya masalah <em>stunting</em> pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas bangsa masa depan. </p>
<p><strong>2. Kesulitan menguasai sains dan berprestasi dalam olahraga</strong></p>
<p>Anak-anak yang tumbuh dan berkembang tidak proporsional hari ini, pada umumnya akan mempunyai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5726774">kemampuan secara intelektual di bawah rata-rata</a> dibandingkan anak yang tumbuh dengan baik. Generasi yang tumbuh dengan kemampuan kognisi dan intelektual yang kurang akan lebih sulit menguasai ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi karena kemampuan analisis yang lebih lemah.</p>
<p>Pada saat yang sama, generasi yang tumbuh dengan kondisi kurang gizi dan mengalami stunting, tidak dapat diharapkan untuk berprestasi dalam bidang olah raga dan kemampuan fisik. Dengan demikian, proporsi kurang gizi dan stunting pada anak adalah ancaman bagi prestasi dan kualitas bangsa di masa depan dari segala sisi.</p>
<p><strong>3. Lebih mudah terkena penyakit degeneratif</strong></p>
<p>Kondisi <em>stunting</em> tidak hanya berdampak langsung terhadap kualitas intelektual bangsa, tapi juga menjadi faktor tidak langsung <a href="https://theconversation.com/stunted-growth-and-obesity-the-double-burden-of-poor-nutrition-on-our-doorstep-50385">terhadap penyakit degeneratif (penyakit yang muncul seiring bertambahnya usia)</a>. </p>
<p>Berbagai studi membuktikan bahwa anak-anak yang kurang gizi pada waktu balita, kemudian mengalami stunting, maka pada <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12886432">usia dewasa akan lebih mudah mengalami obesitas </a> dan terserang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4232245">diabetes melitus</a>. </p>
<p>Seseorang yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya mengalami kekurangan gizi dapat mengalami masalah pada perkembangan sistem hormonal insulin dan glukagon pada pankreas yang mengatur keseimbangan dan metabolisme glukosa. Sehingga, pada saat usia dewasa jika terjadi kelebihan intake kalori, keseimbangan gula darah lebih cepat terganggu, dan pembentukan jaringan lemak tubuh (lipogenesis) juga lebih mudah. Dengan demikian, kondisi <em>stunting</em> juga berperan dalam meningkatkan beban gizi ganda terhadap peningkatan penyakit kronis di masa depan. </p>
<p><strong>4. Sumber daya manusia berkualitas rendah</strong></p>
<p>Kurang gizi dan <em>stunting</em> saat ini, menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia usia produktif. Masalah ini selanjutnya juga berperan dalam meningkatkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC589958/">penyakit kronis degeneratif saat dewasa</a>.</p>
<p>Karena itu, Januari merupakan momen yang tepat bagi semua pihak (para orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan parlemen) untuk ikut berperan dalam menyelesaikan permasalahan gizi anak dan <em>stunting</em> tersebut. Perhatian terhadap Hari Gizi Nasional bukan semata seremonial, tapi merupakan sebuah bentuk kewaspadaan terhadap kondisi yang terjadi saat ini, dan kepedulian masa depan bangsa.</p>
<p>Akademisi, peneliti, dan pemerhati kesehatan masyarakat di lapangan dapat melakukan riset, mengedukasi masyarakat, dan mengadvokasi untuk melahirkan kebijakan sesuai dengan rekomendasi riset.</p>
<p>Anggota parlemen dan pemerintah punya peran penting untuk mempercepat mengurangi jumlah penderita gizi buruk dengan kebijakan dan anggaran yang memadai. Pada masa kampanye, para calon anggota parlemen semestinya melihat ini sebagai sebuah permasalahan yang penting yang harus diselesaikan. Kepedulian para caleg terhadap masalah <em>stunting</em> di daerah-daerah mereka menjadi indikator bahwa mereka memahami persoalan daerahnya dan peduli membangun generasi masa depan.</p>
<p>Kita berharap, perbaikan masalah gizi anak dan masyarakat merupakan bagian dari visi dan perjuangan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110104/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hardisman Dasman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anak yang tumbuh dengan stunting secara empiris juga terbukti berpengaruh terhadap perkembangannya secara menyeluruh. Terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.Hardisman Dasman, Associate Professor In Healthcare Policy and Ethics, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/918412018-03-22T09:44:03Z2018-03-22T09:44:03ZGizi buruk pada balita di NTT, mengapa sulit diakhiri?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/211306/original/file-20180321-165557-1hqs2xl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Menimbang bayi di Posyandu untuk memantau berat bayi guna mencegah kurang gizi. Penimbangan bayi di Kupang, September 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bybmedia/39577497235/in/photostream/">Reinier van Oorsouw/UNICEF/Flickr.com</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Dua pekan lalu, <a href="http://kupang.tribunnews.com/2018/03/09/kasus-gizi-buruk-di-ntt-terus-menurun-apa-benar-simak-data-berikut-ini">Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya</a> mengklaim bahwa angka gizi buruk di provinsi ini menurun sekitar 8,02% dari 3.340 anak usia di bawah lima tahun (balita) penderita gizi buruk pada 2015 menjadi 3.072 penderita pada 2016. Selain harus diperiksa lagi akurasi klaim tersebut, apa sebenarnya penyebab utama gizi buruk di provinsi kawasan timur Indonesia itu?</p>
<h2>Apa itu gizi buruk dan gizi kurang</h2>
<p>Kurang gizi ditandai dengan badan yang kurus, karena <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Riskesdas%202010%20Nasional.pdf">berat badannya kurang</a> untuk anak seusianya. Terlepas dari masalah genetik, tubuh anak kurang gizi juga lebih pendek dibanding anak lain seusianya. Jika masalah kekurangan gizi ini tidak segera diatasi, anak akan mengalami masalah gizi buruk. </p>
<p>Sedangkan anak bergizi buruk lebih mudah terlihat karena gizi buruk ini sangat mempengaruhi fisik. Gizi buruk terdiri dua jenis yaitu <a href="https://www.healthline.com/health/marasmus">marasmus </a>dan <a href="https://www.healthline.com/health/kwashiorkor">kwasiorkor</a>. Penderita marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus, sehingga tulang-tulangnya sangat menonjol. Ibaratnya, hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Sedangkan penderita kwasiorkor memiliki perut yang buncit dan kaki yang membengkak. Biasanya hal ini disebabkan karena anak kekurangan protein.</p>
<h2>Prevalensi tinggi di NTT</h2>
<p>Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita di <a href="http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2015/19_NTT_2015.pdf">Nusa Tenggara Timur (NTT)</a> pada 2010 menempati urutan tertinggi kedua di bawah Nusa Tenggara Barat (NTB). Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di NTT pada tahun itu <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Riskesdas%202010%20Nasional.pdf">mencapai 29,4%</a> yang terdiri dari gizi buruk 9% (atau 53.580 balita) dan gizi kurang 20,4% (atau 121.448 balita). Dengan kata lain, terdapat 175.028 kasus balita gizi buruk dan gizi kurang dari 595.331 balita yang ditimbang pada 2010 di NTT. </p>
<p>Empat tahun berikutnya, <a href="http://sp.beritasatu.com/home/sebanyak-3351-anak-di-ntt-alami-gizi-buruk/80875">dari 361.696 anak yang ditimbang</a>, 23.963 anak (6,6%) di antaranya kurang gizi dan 3.351 anak (0,9%) mengalami gizi buruk tanpa gejala klinis. Terjadi penurunan <a href="http://www.beritasatu.com/kesra/285436-januari-mei-2015-sebanyak-1918-anak-di-ntt-alami-gizi-buruk.html">angka gizi buruk pada 2015</a>, tapi pemerintah tidak boleh kendor bekerja menurunkan angka gizi bermasalah. Bisa saja masa masih ada kasus yang belum diketahui.</p>
<p><a href="https://journal.stikes-bali.ac.id/journal/detail/484/faktor-risiko-gizi-buruk-dan-gizi-kurang-pada-balita-di-kabupaten-sumba-barat-daya-nusa-tenggara-timur">Riset kami di Kecamatan Kodi Utara</a>, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, pada Maret-Mei 2014, menunjukkan faktor yang paling berisiko meningkatkan kejadian gizi kurang pada balita adalah pendapatan keluarga yang kurang dari Rp234.141 per bulan dan frekuensi sakit anak balita di atas 3 kali dalam 6 bulan.</p>
<p>Data untuk mengetahui faktor risiko gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di NTT ini kami ambil dari 38 balita dengan gizi kurang sebagai kelompok kasus dan 76 balita sehat sebagai kontrol, yang dipilih dari 4.321 balita yang teregistrasi di Puskesmas Kori. Kami mengumpulkan data dengan wawancara langsung di rumah masing-masing responden. </p>
<p>Dari analisis uji hubungan menunjukkan bahwa balita dari keluarga dengan pendapatan kurang dari Rp234.141 berisiko 15 kali mengalami gizi kurang karena pendapatan keluarga berhubungan erat dengan pola konsumsi dan asupan gizi anak. Sedangkan, balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali lebih besar mengalami gizi kurang. Frekuensi sakit berhubungan dengan infeksi penyakit. Infeksi penyakit dan kejadian gizi buruk atau kurang merupakan hubungan yang timbal balik. </p>
<p>Kami berharap hasil riset ini dapat dipergunakan oleh penentu kebijakan di NTT untuk memerangi gizi buruk yang seolah-olah tiada jalan keluarnya. Sebelum tim kami, belum pernah ada riset di kecamatan tersebut untuk mengetahui faktor risiko gizi kurang pada anak balita. </p>
<h2>Gizi buruk dan kematian balita</h2>
<p>Jumlah anak balita yang mengalami kurang gizi di negara berkembang pada 2009 dilaporkan <a href="https://www.unicef.org/publications/files/Tracking_Progress_on_Child_and_Maternal_Nutrition_EN_110309.pdf">mencapai 129 juta</a> atau sekitar 1 dari 4 balita. Dari jumlah itu, 10% mengalami gizi buruk. Adapun balita yang meninggal akibat gizi kurang dan buruk di negara berkembang pada 2013 dilaporkan sebanyak 2.835.000 atau 45% dari total jumlah kematian balita.</p>
<p><a href="https://www.unicef.org/publications/files/Tracking_Progress_on_Child_and_Maternal_Nutrition_EN_110309.pdf">UNICEF melaporkan</a> bahwa prevalensi balita yang mengalami <em>wasting</em>,(gizi kurang karena berat badan anak tidak sesuai dengan tinggi badannya) di Indonesia pada 2009 menduduki peringkat kelima (14% atau 2.841.000 balita) di dunia setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Bangladesh.</p>
<p>Selain menyebabkan kematian, gizi buruk dan kurang gizi juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan. Setiap anak yang mengalami gizi buruk dilaporkan mempunyai risiko <a href="http://paradigmakaumpedalaman.blogspot.co.id/2012/01/gizi-buruk-di-negeri-yang-kaya.html">kehilangan IQ sebesar 10-13 poin.</a></p>
<p>Menurunkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita sangat penting karena gizi sangat mempengaruhi pertumbuhan anak, yang dikenal <em>golden periode</em> alias 1000 Hari Pertama Kehidupan. Pada masa ini asupan gizi benar-benar harus dicukupi untuk tumbuh kembang anak yang optimal agar tidak terjadi <em>lost generation</em>. Apalagi pengurunan kemiskinan, hidup sehat, dan penyedia air bersih adalah tiga dari <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Sustainable_Development_Goals">17 tujuan pembangunan berkelanjutan</a> yang harus dicapai pada 2030.</p>
<h2>Faktor-faktor penyebab</h2>
<p>Kejadian gizi buruk <a href="http://infooterkinii.blogspot.co.id/2016/04/">di Kabupaten Sumba Barat Daya, berdasarkan laporan Dinas Kesehatan 2010</a>, menduduki peringkat ketiga (1,3%) dan menempati peringkat ke-9 (4,9%) kabupaten dengan gizi kurang tertinggi di NTT. Kecamatan Kodi Utara di Sumba Barat Daya merupakan salah satu kecamatan dengan kejadian gizi buruk dan gizi kurang tertinggi pada 2013. Kejadiannya mencapai 0,60% dari 4.321 balita yang datang ke posyandu. </p>
<p>Dari studi literatur diketahui banyak faktor yang dilaporkan berhubungan dengan gizi buruk dan gizi kurang, antara lain sosial ekonomi, faktor pada ibu dan faktor lingkungan. Dalam riset kami, ada 13 faktor risiko (variabel independen) yang diteliti, tapi di sini kami sajikan lima variabel yang terpenting saja:</p>
<ol>
<li>Pendapatan keluarga;</li>
<li>Frekuensi sakit anak;</li>
<li>Pendidikan ibu;</li>
<li>Frekuensi penimbangan anak di posyandu;</li>
<li>Sumber air minum. </li>
</ol>
<p>Keluarga berpendapatan di bawah Rp234.141 per bulan berisiko lebih tinggi (15 kali) anaknya mengalami gizi kurang ketimbang anak dari keluarga berpendapat di atas angka tersebut. <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jgki/article/view/17468">Penelitian yang dilakukan oleh Anwar di Lombok Timur pada 2005</a> juga menemukan ada pengaruh antara pendapatan keluarga dengan gizi buruk dan kurang. Dengan kata lain minimnya pendapatan yang membuat miskin menjadi penyebab gizi buruk. </p>
<p>Balita yang dalam 6 bulan menderita sakit lebih dari 3 kali meningkatkan risiko 35 kali mengalami gizi kurang dibandingkan dengan balita yang dalam 6 bulan mengalami sakit kurang dari 3 kali. Temuan hampir sama dengan hasil riset Diah (2011) dari Universitas Udayana di Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang yang menyatakan kejadian gizi buruk dan kurang akan berisiko pada anak yang sering mengalami sakit daripada anak yang jarang sakit. </p>
<p>Pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah meningkatkan risiko sembilan
kali lebih besar terhadap gizi buruk dan kurang. Riset serupa yang dilakukan oleh <a href="https://journal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3562">Istiono (2009) di Kulonprogo Yogyakarta</a> menyatakan tingkat pengetahuan ibu sangat mempengaruhi sikap dan perilaku dalam memilih makanan untuk dikonsumsi, yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap keadaan gizi anak balita.</p>
<p>Anak balita yang jarang datang ke posyandu meningkatkan risiko terjadinya gizi
buruk dan kurang. Balita yang tidak dibawa oleh ibunya untuk ditimbang badannya di posyandu satu kali setiap bulan meningkatkan risiko 9 kali lebih besar mengalami gizi buruk atau kurang dibandingkan balita yang rutin ditimbang berat badannya setiap bulan di posyandu. </p>
<p><a href="http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/47046/1/2010kus2.pdf">Riset Kusriadi (2010) di Nusa Tenggara Barat</a> juga menemukan bahwa pemantauan pertumbuhan anak balita melalui penimbangan dan pemanfaatan posyandu yang baik berisiko lebih kecil mengalami gizi kurang dibandingkan yang jarang melakukan penimbangan dan pemanfaatan posyandu.</p>
<p>Faktor yang juga meningkatkan risiko kejadian gizi buruk dan kurang adalah
sumber air minum. Sumber air minum yang diambil dari sungai atau kali yang tidak tertutup, sehingga mudah untuk terpapar kotoran dan bakteri, meningkatkan risiko terhadap gizi buruk dan gizi kurang 7 kali lebih besar mengalami gizi kurang dibandingkan dengan mengkonsumsi air dari sumber yang terlindung.</p>
<p>Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basuki (2003) di Bandar Lampung yang menunjukan penggunaan air minum yang bersih berpengaruh secara langsung terhadap kesehatan balita. Terjadi penurunan kejadian balita yang terkena diare sebesar 6% dan berpengaruh tidak langsung terhadap status gizi anak.</p>
<h2>Lalu bagaimana mengakhiri gizi buruk?</h2>
<p>Menyelesaikan masalah gizi buruk perlu melibatkan banyak pihak. Orang tua, keluarga, masyarakat, petugas medis, NGO, dan pemerintah perlu bekerja sama memerangi gizi buruk. Gizi buruk dan gizi kurang ini disebabkan oleh multifaktor, sehingga penyelesaiannya pun melibatkan banyak pihak di wilayah yang rentan gizi kurang.</p>
<p>Upaya untuk menurunkan kejadian gizi buruk dan gizi kurang bisa dilaksanakan sesuai dengan faktor risiko di atas, yaitu meningkatkan pendapatan keluarga, mengurangi frekuensi sakit anak, menambah pengetahuan ibu tentang gizi, meningkatkan frekuensi kehadiran anak balita di posyandu dan pengadaan air minum bersih. </p>
<p>Angka penderita gizi buruk yang tertera dalam Riset Kesehatan Dasar dan riset lainnya bukan hanya deretan angka statistik, tapi anak-anak belia dan lemah yang membutuhkan kehadiran negara untuk mengakhiri penderitaan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91841/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kadek Dwi Ariesthi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kejadian gizi buruk dipengaruhi oleh frekuensi sakit anak, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi, dan frekuensi kehadiran anak balita di posyandu dan air minum bersih. Kemiskinan pemicunya.Kadek Dwi Ariesthi, Lecturer in public health, STIKES Citra Husada Mandiri KupangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.