tag:theconversation.com,2011:/es/topics/pemilihan-umum-48696/articlesPemilihan Umum – The Conversation2024-02-27T05:25:12Ztag:theconversation.com,2011:article/2239042024-02-27T05:25:12Z2024-02-27T05:25:12ZMengapa masyarakat Indonesia tetap memilih Prabowo meski sudah menonton film dokumenter ‘Dirty Vote’?<p>Film <a href="https://www.youtube.com/watch?v=yHX7N-gcvhQ>"><em>Dirty Vote</em></a>, yang bertepatan dengan masa tenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, menimbulkan beragam reaksi dari berbagai kelompok masyarakat. Dalam film tersebut, para ahli Hukum Tata Negara, di antaranya <a href="https://law.ugm.ac.id/zainal-arifin-mochtar/">Zainal Arifin Mochtar</a>, <a href="https://www.jentera.ac.id/staf/bivitri-susanti">Bivitri Susanti</a>, dan <a href="http://dosen.unand.ac.id/web/detail?kode=-by--d3y5xc632bn12gd72gsev--cx--jq-9oUjk8y7f4590j65">Feri Amsari</a> menyajikan bukti yang meyakinkan tentang pola kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang diduga dilakuka oknum negara pada Pemilu 2024.</p>
<p>Film <em>Dirty Vote</em> mengeksplorasi taktik propaganda yang digunakan oleh para pejabat publik untuk menggunakan kekuasaannya dalam memainkan situasi politik 2024. Pengaruh kepala daerah dan pejabat publik terhadap hasil Pemilu 2024 rupanya menjadi aspek penting bagi pasangan calon presiden (capres) tertentu. Ini membuat netralitas pejabat negara diragukan.</p>
<p>Setiap kandidat presiden dalam film ini diduga terlibat dalam taktik manipulatif menggunakan otoritas mereka masing-masing. Namun, pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendapat lebih banyak sorotan.</p>
<p>Film ini sempat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1832626/buru-buru-gelar-konpers-kubu-prabowo-gibran-dinilai-ingin-amputasi-efek-film-dirty-vote">diprediksi</a> akan menjatuhkan perolehan suara Prabowo-Gibran.</p>
<h2>Fakta di lapangan</h2>
<p>Menurut hasil hitung cepat KPU pada 19 Februari 2024, pukul 20:00:15, 589.624 suara dari 823.236 lokasi pemungutan suara telah dihitung, atau sama dengan 71,62% dari total suara yang masuk. Prabowo-Gibran memperoleh 56.424.389 suara atau <a href="https://pemilu2024.kpu.go.id/>">setara dengan 58,6%</a>. Jika paslon tersebut menerima lebih dari 50% suara dan memiliki distribusi geografis melebihi 20%, mereka akan memenangkan Pemilu 2024.</p>
<p>Meskipun film <em>Dirty Vote</em> telah ditonton sebanyak 9,1 juta kali dan telah diunggah ulang di berbagai kanal YouTube lainnya, data menunjukkan bahwa film ini tidak memengaruhi suara yang didapat Prabowo-Gibran. Kandidat capres-cawapres ini terbukti berhasil bertahan, bahkan unggul dalam hasil hitung cepat.</p>
<p>Masyarakat, terutama di tingkat akar rumput, kemungkinan besar tidak menunjukkan minat pada isu demokrasi yang disajikan dalam <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6p9l1y7xglo>">film <em>Dirty Vote</em></a>. Kampanye Prabowo-Gibran tentang <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/11/28/15402701/tkn-prabowo-gibran-mulai-kampanye-bagi-bagi-makan-siang-dan-susu-gratis-di">makan siang dan susu gratis</a> bisa jadi lebih relevan untuk masyarakat menengah ke bawah. Dari segi pendidikan, misalnya, <a href="https://www.unja.ac.id/survei-pilpres-dari-perspektif-pendidikan-masyarakat/">hasil survei</a> Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun 2021-2022 menunjukkan bahwa persentase pemilih yang berpendidikan SMP ke bawah sebesar 53,2% dan 36% di antaranya memilih Prabowo.</p>
<h2>Peta pemilih Prabowo-Gibran</h2>
<p>Harold Dwight Lasswell, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), mengembangkan formula analisis politik yang dikenal sebagai <em>“Who gets What?, When, and How”</em> untuk memeriksa model politik, yang digunakan juga pada <a href="https://books.google.co.id/books/about/Politics_Who_Gets_What_When_How.html?id=UlekDwAAQBAJ&redir_esc=y">negara-negara mayoritas Muslim</a> seperti di Indonesia.</p>
<p>Saya menggunakan formula ini untuk melihat siapa yang sebenarnya mendapatkan keuntungan dari film <em>Dirty Vote</em>.</p>
<p>Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD memang mendapat manfaat dari narasi yang dibangun di dalam film. Namun, Prabowo-Gibran justru makin tenar dan mendapatkan panggung.</p>
<p>Berdasarkan wawancara pribadi dengan <a href="https://web.facebook.com/auwoh?mibextid=ZbWKwL&_rdc=1&_rdr">tim kampanye Prabowo-Gibran</a>, film tersebut tidak berdampak signifikan terhadap hasil Pemilu. Dia menyatakan bahwa suara mereka telah terdistribusi di lima kelompok sumber suara.</p>
<p><strong>1. Pemilih pemula fokus pada isu-isu anak muda</strong></p>
<p>Kelompok pertama terdiri dari pemilih pemula yang didominasi oleh <a href="https://www.pewresearch.org/short-reads/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/">Gen Z</a>, anak muda yang lahir di antara tahun 1997 dan 2012 atau saat ini mereka berusia 12 hingga 27 tahun. Terlepas dari apakah mereka menonton film itu atau tidak, ada beberapa penyebab banyaknya suara di kelompok pertama untuk Prabowo-Gibran. Di antaranya, Ganjar Pranowo dianggap bertanggung jawab atas kegagalan terselenggaranya <a href="https://www.detik.com/jateng/sepakbola/d-6646526/pernyataan-lengkap-ganjar-soal-piala-dunia-u-20-batal-di-indonesia">Piala Dunia U20 di Indonesia</a>. Selain itu, promosi <a href="https://www.youtube.com/watch?v=KpMgyfYtagA">narasi <em>“gemoy”</em> telah menarik banyak pemilih muda </a>. Begitu juga dengan posisi Gibran yang dianggap sangat mewakili generasi muda.</p>
<p><strong>2. ‘Jiwa Korsa’ mematuhi komando</strong></p>
<p>Kategori kedua terdiri dari kelompok yang memiliki “Jiwa Korsa” (semangat daya juang atas dasar persamaan rasa persaudaraan, persahabatan, dan kekompakan) yang kuat, yakni kelompok militer. Logika korps membuat kelompok ini tidak akan terpengaruh oleh film <em>Dirty Vote</em>, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72gnrzp3j4o">dan justru bersatu</a> di bawah komando untuk kemenangan Prabowo, seorang mantan pejabat militer dan masih sangat dihormati.</p>
<p><strong>3. Percaya bahwa Prabowo adalah penerus Jokowi</strong> </p>
<p>Kelompok ketiga terdiri dari simpatisan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Keberpihakan Jokowi terhadap kubu Prabowo-Gibran <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Xv8S52jls2o>">terlihat jelas</a> karena bagaimanapun, Gibran adalah putra Presiden. Kelompok ini tergolong kelompok <em>“Die-Hard”</em> (pendukung fanatik) Jokowi. Mereka akan sukarela memilih siapapun yang didukung oleh Jokowi.</p>
<p>Selain itu, papan reklame yang menampilkan pembicaraan bahwa pemilihan presiden 2024 adalah jatah Prabowo, antara Jokowi dan Prabowo, juga merupakan salah satu instrumen penting dalam kemenangan Prabowo-Gibran. </p>
<p><strong>4. ‘Dirty Vote’ hanyalah kampanye hitam</strong></p>
<p>Kelompok keempat adalah kelompok kontranarasi. Kelompok ini menyerang kembali para penggemar film <em>Dirty Vote</em> bahwa film tersebut memiliki kecenderungan politik tertentu, tidak netral, dan selaras dengan kampanye hitam. Sebagai contoh kelompok <a href="https://www.jpnn.com/news/film-dirty-vote-jadi-kontroversi-foksi-ambil-langkah-hukum">FOKSI</a> (Forum Komunikasi Santri Indonesia) yang melaporkan tiga akademisi dalam film tersebut. </p>
<p><strong>5. Simpatisan kegigihan Prabowo</strong></p>
<p>Kelompok kelima adalah masyarakat umum. Baik yang tinggal di pedesaan ataupun di perkotaan. Mirip dengan Generasi Z, kelompok ini menunjukkan rasa tidak peduli terhadap film <em>Dirty Vote</em>. Mereka percaya bahwa Prabowo adalah capres dengan tingkat ambisi tertinggi untuk menang dan beberapa faktor alasan pembenaran lainnya.</p>
<p>Upaya Prabowo yang gagal sebagai cawapres pada Pilpres 2009 dan sebagai capres pada Pilpres 2014 dan 2019 mendapat rasa simpatik dari rakyat Indonesia. Prabowo memenangkan hati dan rasa iba dari banyak orang karena tekadnya yang <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1744384/capres-pemilu-2024-prabowo-subianto-pernah-gagal-4-kali-maju-sebagai-capres-dan-cawapres">tidak tergoyahkan untuk menjadi presiden Indonesia </a>. Dengan narasi tersebut, Prabowo telah berhasil membangun citra sebagai orang yang tidak mudah menyerah. </p>
<p>Dalam kacamata teori Lasswell, hasil politik muncul karena adanya interaksi antara <a href="https://openstax.org/books/introduction-political-science/pages/1-1-defining-politics-who-gets-what-when-where-how-and-why">aturan, realitas, dan pilihan</a>. Pilihan yang diambil para pemilih dalam menghadapi peraturan dan kenyataan menentukan hasil politik. </p>
<p>Aturan menunjukkan bahwa ada indikasi kecurangan pemilu dan penyalahgunaan kekuasaan pada Pemilu 2024 sebagaimana ditampilkan dalam film <em>Dirty Vote</em>. Namun, pemilih memiliki realitas mereka terkait citra dan karakter yang dibangun Prabowo, dukungan presiden, maupun fanatisme. Ketika dihadapkan pada dua hal ini, pemilih memilih untuk tetap memberikan suaranya pada Prabowo-Gibran meskipun sudah menonton film itu.</p>
<p>Dengan kata lain, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240222090757-617-1065797/dasco-sebut-film-dirty-vote-tambah-suara-3-4-persen-ke-prabowo-gibran">film yang awalnya dianggap akan mereduksi jumlah pemilih Prabowo</a> justru menguntungkan Prabowo-Gibran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223904/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rifqi Nurdiansyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Film Dirty Vote sempat diprediksi akan menjatuhkan perolehan suara paslon 02. Tapi ternyata realitasnya tidak demikian. Mengapa?Rifqi Nurdiansyah, Mahasiswa Doktoral Fakultas Studi Islam di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2196022023-12-19T06:53:32Z2023-12-19T06:53:32ZPanduan membaca janji-janji capres-cawapres secara kritis untuk pemilih pemula<p>Memasuki masa kampanye Pemilu 2024, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), banyak membanjiri publik dengan janji-janji politik lewat visi-misinya.</p>
<p>Capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806065/pilpres-2024-catat-janji-kampanye-anies-cak-imin-tambah-kuota-haji-hingga-sahkan-ruu-perampasan-aset">menjanjikan penambahan kuota haji hingga pengesahan RUU perampasan aset.</a>. Sementara pasangan nomor urut 2, Prabowo dan Gibran, antara lain <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806062/pilpres-2024-catat-janji-prabowo-gibran-sepekan-kampanye-hilirisasi-sampai-dana-abadi-pondok-pesantren">mendorong hilirisasi dalam bidang ekonomi dan dana abadi pesantren</a>. Pasangan nomor urut 3, Ganjar dan Mahfud, juga menjanjikan banyak hal, terutama <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1806215/pilpres-2024-catat-janji-ganjar-mahfud-sepekan-kampanye-izin-mendirikan-rumah-ibadah-hingga-gunakan-aspal-buton">distribusi pupuk dan pembangunan desa.</a></p>
<p>Dengan banyaknya paparan janji yang diterima publik, bagaimana caranya agar pemilih, terutama pemilih pemula yang belum memiliki pengalaman memilih sebelumnya, dapat menilai janji-janji tersebut secara kritis?</p>
<p><strong>1. Lihat rekam jejak calon (<em>track record</em>)</strong></p>
<p>Sifat <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/jtsb.12095">politik praktis sebagai arena dan proses negosiatif dengan tujuan utama meraih kekuasaan dan mempertahankannya</a> menjadikan janji-janji politik menjadi tidak pasti. </p>
<p>Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memprediksi nasib janji-janji politik adalah dengan <a href="https://www.unpad.ac.id/en/2013/11/future-leaders-should-not-be-elected-based-on-their-political-promises-but-on-their-track-records/">melihat <em>track record</em>.</a> Dalam hal ini, para pemilih, perlu melihat <em>track record</em> sikap, pandangan, dan kebijakan yang pernah diambil oleh pasangan capres-cawapres.</p>
<p>Lihat bagaimana Anies Baswedan, misalnya, ketika memimpin <a href="https://kumparan.com/berita-update/anies-baswedan-terobosan-selama-menjabat-menteri-pendidikan-1uWjDFGacjq">Kementerian Pendidikan dan Budaya (2014-2016)</a>, menjadi <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/620904/prestasi-anies-baswedan-selama-menjabat-gubernur-dki-jakarta">gubernur DKI Jakarta</a> dan menjadi <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/03/06160011/anies-baswedan-dari-rektor-termuda-hingga-kontroversi-di-panggung-politik?page=all">Rektor di Paramadina (2007-2015)</a>.</p>
<p>Lihat juga bagaimana kebijakan <a href="https://soloraya.solopos.com/ini-8-program-unggulan-wali-kota-solo-gibran-ada-disneyland-1110094">Gibran ketika menjadi Wali Kota Solo (2021 s.d. sekarang)</a>, atau bagaimana <a href="https://jatengprov.go.id/publik/ganjar-dorong-lahirnya-program-revolusioner-bidang-pendidikan-di-jateng/">Ganjar ketika menjadi Gubernur Jawa Tengah (2013 s.d. 2023)</a>.</p>
<p>Gagasan apa yang terlontar dan praktik baik apa yang dijalankan oleh mereka selama periode tersebut?</p>
<p>Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat kita jadikan modal untuk memprediksi apakah janji yang ditawarkan sekarang berpeluang untuk terpenuhi atau tidak.</p>
<p><strong>2. Cek sikap politik tokoh dan partai pendukung</strong></p>
<p>Cara lain untuk menilai janji-janji pemilu adalah dengan meninjau sikap politik dari para tokoh dan partai penyokong ketiga capres-cawapres. Produk kebijakan apa yang didukung dan diperjuangkan oleh mereka? Adakah kebijakan yang benar-benar memihak publik?</p>
<p><a href="https://kumparan.com/beritajatim-admin/pdip-pastikan-dukung-penghapusan-un-1sWF6fDQrNm">PDI-Perjuangan, contohnya, sebagai pendukung utama pasangan calon (paslon) nomor tiga, selama berkuasa di parlemen memberikan dukungan pada penghapusan Ujian Nasional (UN)</a>. </p>
<p>Sementara pada tahun 2019, lima partai yaitu PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, dan Partai NasDem merupakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190906175257-12-428252/lima-parpol-pengusung-jokowi-jadi-pengusul-revisi-uu-kpk">pengusul revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)</a> yang justru berisiko <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all">melemahkan lembaga anti korupsi</a>.</p>
<p>Tinjauan atas sikap politik ini dapat dilakukan tidak hanya di level legislatif tapi juga eksekutif. Kita bisa melihat bagaimana sikap pemerintah pusat maupun daerah, yang dalam beberapa kasus memunculkan kebijakan kontroversial seperti <a href="https://nasional.tempo.co/read/1697635/kebijakan-masuk-sekolah-pukul-05-00-wita-di-ntt-dinilai-tak-berbasis-kajian-ilmiah">jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA di Nusa Tenggara Timur (NTT) </a>, <a href="https://www.detik.com/bali/berita/d-6914472/sederet-kebijakan-kontroversial-gubernur-koster-minum-arak-larang-naik-gunung">ajakan untuk minum arak pagi dan malam</a> <a href="https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/mizani/article/view/46">salat berjamah berhadiah,</a> dan lain sebagainya.</p>
<p>Data dan fakta <em>track record</em> tersebut lebih bisa kita jadikan bahan pertimbangan daripada slogan dan jargon partai.</p>
<p><strong>3. Gunakan rasio, bukan emosi</strong></p>
<p>Namun, tetap perlu diingat bahwa di Indonesia, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/10/17502231/pakar-parpol-semakin-banyak-makin-tak-jelas-ideologinya">batas ideologis antar-partai sering tidak jelas</a>. Partai-partai cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik praktis. </p>
<p>Contohnya, partai yang mengklaim ideologinya kerakyatan, dalam praktiknya bisa membiarkan mekanisme pasar bebas (neoliberalisme) menguasai pendidikan tinggi, (<a href="https://www.goodreads.com/book/show/35377696-pendidikan-kritis">sebagaimana temuan riset saya di tahun 2016 </a>& <a href="https://www.researchgate.net/publication/369201675_Merdeka_Belajar_Antara_Esensi_dan_Kontradiksi"> dan 2022).</a> </p>
<p>Selain itu, perubahan situasi dan pergeseran relasi kuasa merupakan praktik lazim dalam politik Indonesia, sehingga <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/witness/201301/the-best-predictor-future-behavior-is-past-behavior"><em>track record</em> juga perlu dipahami keterbatasannya</a>. Hal ini sesuai dengan temuan riset dari <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/B9780080970868240798">Christian Staerklé, peneliti dari University of Lausanne, Swiss</a> tentang psikologi politik. Artinya, tetap terdapat kemungkinan bahwa capres-cawapres terpilih tidak melakukan hal-hal sesuai <em>track record</em> mereka.</p>
<p>Karena itu, setelah melihat <em>track record</em> dan mengecek sikap politik tokoh dan partai pendukung, pemilih perlu mengutamakan pertimbangan rasional-ilmiah ketimbang sikap suka dan tidak suka secara subjektif.</p>
<p>Caranya adalah dengan mengkaji secara kritis janji-janji yang terlontar. Janji politik seperti <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/12/10/21183941/gibran-sebut-program-makan-siang-dan-susu-gratis-bukan-retorika-belaka">makan siang dan minum susu gratis di sekolah</a>, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/research/20231109181303-130-487811/berantas-kemiskinan-ala-ganjar-1-sarjana-di-1-keluarga">satu keluarga miskin satu sarjana </a>, dan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1770578/5-janji-pkb-jika-cak-imin-menang-pilpres-2024-anggaran-dana-desa-rp-5-miliar-hingga-bbm-dan-sekolah-gratis">dana desa Rp 5 miliar</a> perlu direspons dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: Dananya dari mana? Dana yang akan diambil apakah akan mengurangi alokasi dana lain? Program mana yang akan diprioritaskan? Prediksi dampaknya seperti apa?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cek-fakta-benarkah-76-negara-punya-program-makan-siang-dan-susu-gratis-untuk-anak-sekolah-219913">Cek Fakta: benarkah 76 negara punya program makan siang dan susu gratis untuk anak sekolah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pertimbangkan juga apakah perumusan janji-janji politik tersebut menggunakan pendekatan ilmiah atau lebih pada usaha untuk meraup suara belaka.</p>
<p>Mengingat bahwa pilihan kita menentukan bagaimana negara ini dijalankan setidaknya dalam lima tahun ke depan, para pemilih perlu mencermati dan memahami mana janji-janji yang realistis dan mana yang tidak.</p>
<p>Dengan membaca janji-janji politik capres-cawapres secara kritis dan rasional, pemilih tidak sekadar menjadi objek pasif sasaran meraih suara, melainkan pelaku aktif yang berkontribusi dalam keberlangsungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219602/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edi Subkhan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana membaca visi-misi capres-cawapres agar dapat memilih secara rasional?Edi Subkhan, Lecturer at the Department of Curriculum and Educational Technology, Faculty of Education and Psychology, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2188232023-12-18T04:17:49Z2023-12-18T04:17:49ZRiset ungkap tiga prediksi terkait hoaks di Pemilu 2024<p>Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019,<a href="https://v1.mafindo.or.id/komite-korwil/"> tim penelitian</a> Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (<a href="https://www.mafindo.or.id/">Mafindo</a>), organisasi yang tersertifikasi oleh <a href="https://ifcncodeofprinciples.poynter.org/profile/mafindo"><em>International Fact Checking Network</em> (IFCN)</a> dan aktif melakukan berbagai kegiatan untuk melawan hoaks, melakukan analisis pemetaan hoaks. <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Penelitian ini</a> menggunakan metodologi analisis isi kuantitatif yang mengkaji 128 narasi hoaks Pilpres 2019. Data tersebut diambil dari laporan masyarakat dan hasil penelusuran <em>fact chekcer</em> di laman <a href="https://cekfakta.com/">cekfakta.com</a>.</p>
<p>Dari hasil pemetaan hoaks Pilpres 2019 tersebut, dapat dilihat beberapa prediksi hoaks untuk Pemilu 2024 sebagai berikut:</p>
<p><strong>1. Jumlah hoaks akan meningkat pascapemungutan suara, terutama jika terjadi sengketa pemilu</strong></p>
<p>Pemetaan tipologi hoaks pada pemilu 2019 menunjukkan bahwa aktivitas hoaks tertinggi terjadi pada fase pascapemilu, terutama dipicu adanya sengketa hasil pemilu, yaitu sebanyak 94 narasi hoaks. Jumlah ini hampir 3 kali lipat dari hoaks yang beredar di masa pra pemilu (34 narasi hoaks).</p>
<p>Besar kemungkinan, tren ini juga akan terjadi di Pemilu 2024. Selain peluang terjadinya sengketa hasil pemungutan suara, peningkatan jumlah hoaks juga bisa didorong oleh kemungkinan terjadinya Pilpres putaran kedua.</p>
<p>Prediksi tersebut setidaknya menguat di media massa, baik dari perspektif <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/12/11/21372991/survei-poltracking-indonesia-prediksi-pilpres-berlangsung-2-putaran">lembaga survei</a>, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231211122742-617-1035618/pengamat-yakin-pilpres-dua-putaran-prabowo-gibran-melaju">pengamat</a>, sejumlah <a href="https://www.detik.com/bali/nusra/d-7084439/pkb-yakin-pilpres-2024-dua-putaran-anies-cak-imin-vs-prabowo-gibran">politikus</a>, termasuk juga langkah antisipatif yang sudah disiapkan <a href="https://www.kompas.tv/nasional/445258/kpu-antisipasi-bila-pilpres-2024-berlangsung-dua-putaran">Komisi Pemilihan Umum (KPU)</a>.</p>
<p><strong>2. Penyelenggara pemilu rawan diserang hoaks</strong> </p>
<p>Selain potensi naiknya jumlah hoaks sebagai akibat dari proses pemilu yang semakin panjang, serangan kepada penyelenggara pemilu juga berpotensi meluas.</p>
<p>Salah satu temuan penting dari <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">riset pemetaan hoaks tahun 2022</a> adalah bahwa lembaga pemilu, termasuk KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tidak luput dari serangan hoaks.</p>
<p>Trend tersebut muncul sejak Pilpres 2019. Sebelumnya, pada Pilpres 2014, hoaks yang menyerang lembaga penyelenggara pemilu bisa dikatakan sangat minim. Risiko dari serangan hoaks terhadap entitas ini cukup serius karena berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-dampak-negatif-hoaks-pemilu-yang-perlu-kamu-tahu-218831">3 dampak negatif hoaks pemilu yang perlu kamu tahu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran hoaks terutama di masa pascapemilu. Isu-isu yang disasar berkisar pada proses pemungutan suara (14,1%) dan proses perselisihan pemilu (39,8%). Di fase ini, KPU merupakan entitas ketiga yang paling banyak disasar (15,6%), diikuti oleh kepolisian (11,7%) dan pemerintah pusat (7%).</p>
<p>KPU dapat mengantisipasi kerawanan ini dengan menyiapkan perangkat pengecek fakta dan berkolaborasi dengan koalisi sipil dan organisasi cek fakta.</p>
<p><strong>3. Hoaks dengan format video dan penggunaan kecerdasan buatan akan semakin meningkat.</strong></p>
<p>Kekuatan hoaks, salah satunya, terletak pada perpaduan teks dan visual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/4-alasan-kuat-mengapa-hoaks-begitu-memikat-218830">4 alasan kuat mengapa hoaks begitu memikat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">Penelitian Mafindo pada tahun 2022</a> mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan <a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">dengan persentase hingga 79,2%</a>.</p>
<p>Salah satu hoaks yang cukup ikonik setelah masa pemungutan suara pada Pemilu 2019, misalnya, adalah gambar “<a href="https://cekfakta.com/focus/2759">Prof. Tokuda tersenyum memperlihatkan data kecurangan KPU</a>” (22 Juni 2019) yang dibagikan lebih <a href="https://aceh.tribunnews.com/2019/06/23/hoaks-foto-pria-tua-disebut-pegang-data-kecurangan-kpu-ternyata-itu-kakek-sugiono-bintang-porno?page=all">dari 8.300 kali di Facebook</a>.</p>
<p>Dinarasikan dalam hoaks tersebut bahwa “Prof. Tokuda adalah ahli demokrasi di Jepang, sejak kecil ia merasa bersalah karena kakek neneknya dulu menjajah Indonesia”.</p>
<p>Hasil cek fakta menunjukkan bahwa gambar tersebut merupakan aktor video porno dari Jepang, Shigeo Tokuda. Hoaks ini termasuk dalam kategori <em>manipulated content</em> (jenis hoaks yang secara konten sudah ada, namun dimanipulasi) yang bersifat <a href="https://turnbackhoax.id/2019/06/22/salah-prof-tokuda-terseyum-ketika-memperlihatkan-data-kecurangan-kpu/">parodi</a>.</p>
<p>Selain itu, hoaks sering menggunakan bukti-bukti palsu untuk meyakinkan audiens. Penelitian kami menunjukkan bahwa gambar atau video adalah <a href="https://www.mafindo.or.id/2023/10/16/hoaks-di-indonesia-tahun-2022">jenis bukti yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 67% untuk memperkuat klaim hoaks</a>.</p>
<p>Dengan adanya perkembangan teknologi, gambar dan video dapat dibuat lebih menarik sekaligus lebih manipulatif sehingga membuat deteksi hoaks menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini sesuai temuan <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/memory-mind-and-media/article/identifying-and-minimising-the-impact-of-fake-visual-media-current-and-future-directions/05238C440ED9F72B2761542EB542B9CB?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=copy_link&utm_source=bookmark#">sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022</a> yang menunjukkan bahwa perkembangan teknologi, seperti kecerdasan buatan, telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu sehingga asli dan rekaan semakin susah untuk dibedakan.</p>
<p>Hal ini tentunya memerlukan cara-cara baru yang lebih efektif untuk melawan hoaks. </p>
<p>Selain meningkatkan kerja sama antara lembaga pengecek fakta, koalisi masyarakat sipil dan pemerintah, diperlukan juga inisiasi kerja kolaboratif yang menggabungkan pengamatan <em>fact checker</em> dan kecerdasan buatan dalam melakukan identifikasi awal hoaks.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p>Apa yang bisa kita pelajari dari maraknya hoaks pada Pemilu Presiden 2019?Finsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaFitri Murfianti, Leiden UniversityLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2188312023-12-12T08:45:45Z2023-12-12T08:45:45Z3 dampak negatif hoaks pemilu yang perlu kamu tahu<p>Mudahnya berbagi informasi di era digital membuat penyebaran hoaks semakin marak. Selama tahun 2022, peneliti <a href="https://www.mafindo.or.id/">Mafindo</a>, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">menemukan 1698 hoaks yang beredar di media sosial</a>.</p>
<p>Jumlah ini meningkat cukup signifikan di tahun 2023. Penelitian yang sedang kami lakukan (belum dipublikasikan) menemukan bahwa sampai akhir November 2023, sudah lebih dari 2100 hoaks yang ditemukan. Artinya, ada kenaikan lebih dari 400 hoaks dalam setahun. Situasi ini membuktikan bahwa menjelang pemilu terjadi <a href="https://www.nber.org/system/files/working_papers/w23089/w23089.pdf">kenaikan jumlah hoaks yang menyebar melalui berbagai saluran, terutama media sosial</a>.</p>
<p><a href="https://ojs.aaai.org/index.php/ICWSM/article/view/14976">Penelitian dari <em>Rensselaer Polytechnic Institute</em></a>, Amerika Serikat (AS) mengindikasikan bahwa informasi palsu terkait kandidat dan kebijakan merupakan hoaks yang sering viral selama pemilu.</p>
<p>Hoaks juga dapat berisi konten sensasional atau bermuatan emosi untuk memanipulasi opini publik atau mendiskreditkan lawan politik. </p>
<p><a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Penelitian kami tahun 2019</a> menemukan setidaknya tiga dampak negatif dari penyebaran informasi palsu atau hoaks selama pemilu: </p>
<h2>1. Pembunuhan karakter</h2>
<p>Dampak hoaks pemilu yang paling signifikan adalah pembunuhan karakter. Dalam konteks hoaks pemilu, istilah ini mengacu pada <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/5433">penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dengan sengaja untuk merusak reputasi tokoh atau partai politik</a>. <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/5433">Penelitian yang dilakukan oleh Lusia Astrika dan Yuwanto Yuwanto</a> dari Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pembunuhan karakter bisa memengaruhi persepsi pemilih.</p>
<p>Pembunuhan karakter dilakukan dengan menyebarkan cerita yang dibuat-buat atau dibesar-besarkan, yang secara negatif menggambarkan karakter, etika, atau kemampuan kandidat. Tujuannya adalah untuk menciptakan atau memperbesar keraguan di kalangan pemilih mengenai kesesuaian individu yang dituju untuk menduduki jabatan tertentu. </p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/14614448211012377">Sebuah penelitian eksperimental di Italia dan AS pada tahun 2021</a> menegaskan bahwa tuduhan palsu dapat merusak reputasi politisi dan menyebabkan hilangnya dukungan di kalangan pemilih. Sekalipun informasi tersebut kemudian terbukti salah, kerusakan awal mungkin sulit untuk diperbaiki karena kesan mendalam yang ditimbulkan. </p>
<p>Kasus Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta tahun 2017 merupakan contoh nyata bagaimana hoaks berdampak pada pembunuhan karakter. </p>
<p>Lawannya <a href="https://www.voaindonesia.com/a/jaksa-dakwa-ahok-menistakan-agama-/3634661.html">menuduh</a> Ahok menghina Al-Qur'an dan pemilih Muslim dalam sebuah pidato. Hoaks ini berawal dari video yang diedit sedemikian rupa sehingga mengesankan Ahok mengatakan bahwa pemilih tidak perlu mengikuti ajaran Al-Qur'an khususnya surah Al Maidah 51 yang berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’ (pemimpin). Padahal, dalam konteks yang lebih lengkap, dia tidak menyerang isi kitab suci tersebut. </p>
<p>Tuduhan penistaan agama ini memiliki dampak besar pada elektabilitas Ahok. Ahok, yang sebelumnya populer dan memiliki peluang kuat untuk terpilih, mengalami <a href="https://news.detik.com/berita/d-4425584/kasus-penistaan-agama-hantui-karir-politik-ahok">penurunan dukungan yang signifikan, bahkan kasus ini terus menghantui karir politiknya</a>.</p>
<h2>2. Ketidakpercayaan terhadap badan penyelenggara pemilu</h2>
<p>Hoaks juga bisa melemahkan kepercayaan terhadap lembaga pemilu secara signifikan. Artikel dari <a href="https://www.brookings.edu/articles/misinformation-is-eroding-the-publics-confidence-in-democracy/"><em>Brookings Institution</em></a>, sebuah organisasi nonprofit yang berpusat di Washington, AS, menyoroti bahwa misinformasi, seperti klaim kecurangan pemilu, dapat membingungkan pemilih, sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap sistem pemilu. </p>
<p>Di AS, <a href="https://www.brookings.edu/articles/misinformation-is-eroding-the-publics-confidence-in-democracy/">survei media menemukan bahwa hanya 20% yang merasa “sangat yakin” terhadap integritas sistem pemilu AS, dan 56% responden dalam jajak pendapat CNN mengatakan mereka “sedikit atau tidak yakin” bahwa pemilu mewakili keinginan rakyat</a>.</p>
<p>Misinformasi mengenai proses pemilu, seperti prosedur pemungutan suara, penghitungan suara, atau hasil pemilu dapat membuat masyarakat mempertanyakan integritas lembaga penyelenggara pemilu.</p>
<p>Pada Pemilihan Presiden Indonesia 2019, contohnya, <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">banyak hoaks dan informasi palsu beredar mengenai penipuan dan manipulasi pemilu</a>, termasuk klaim adanya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/06/20/09414781/ahli-prabowo-sandi-sebut-ada-27-juta-ghost-voters-dalam-pemilu-2019"><em>ghost voters</em> atau nama-nama dalam daftar pemilih yang tidak boleh tercantum, baik karena duplikasi, fiktif, milik individu yang sudah meninggal atau tidak memenuhi syarat untuk memilih</a>.</p>
<p><a href="https://aji.or.id/upload/article_doc/FIX_Layout_Buku_Gangguan_Informasi,_Pemilu,_dan_Demokrasi_compres1.pdf">Keraguan yang terus-menerus ini dapat memperdalam perpecahan politik, yang berujung pada konflik dan ketidakstabilan masyarakat</a>.</p>
<p>Hoaks juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0048733322001494">dapat mengganggu aspek operasional pemilu</a>. Penyebaran informasi yang salah mengenai tanggal dan lokasi pemungutan suara, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pemilih.</p>
<p>Klaim palsu mengenai integritas alat pemungutan suara, penanganan surat suara, dan proses penghitungan suara juga dapat menimbulkan keraguan mengenai aspek teknis pemilu, sehingga membuat masyarakat mempertanyakan legitimasi hasil pemilu. </p>
<p>Salah satu contohnya adalah penggunaan kardus sebagai bahan pembuatan kotak suara pada Pemilu 2019. Kasus ini mencerminkan bagaimana informasi yang disalahpahami atau disajikan secara tidak lengkap dapat menciptakan keraguan, kontroversi, dan spekulasi mengenai aspek-aspek teknis pemilu. </p>
<p><a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17593/hoaks-penggunaan-kotak-suara-berbahan-kardus-sengaja-dirancang-agar-mudah-ditukar/0/laporan_isu_hoaks">Beberapa pihak bahkan menginterpretasikan penggunaan bahan ini sebagai upaya untuk memudahkan manipulasi suara</a>.</p>
<p>Meskipun KPU segera menanggapi isu ini dengan menjelaskan bahwa kotak suara kardus tersebut telah dirancang tahan air dan cukup kuat, serta memenuhi semua standar keamanan yang diperlukan, isu ini tetap menimbulkan keraguan dan perdebatan di masyarakat.</p>
<h2>3. Manipulasi citra</h2>
<p><a href="https://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif/article/view/3458">Sebuah penelitian tahun 2019</a>, menemukan bahwa tujuan propaganda politik hoaks, selain untuk memengaruhi masyarakat juga untuk mengubah citra negatif menjadi positif. Hoaks juga bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas calon yang didukung, atau menurunkan suara lawan. </p>
<p>Penyebaran informasi negatif atau salah tentang lawan politik biasanya berupa rumor, skandal yang dibuat-buat, termasuk latar belakang keluarga, atau penafsiran yang keliru mengenai kebijakan atau tindakan kandidat di masa lalu. Tujuannya adalah untuk mencoreng citra lawan di mata pemilih, sehingga mempengaruhi opini publik dan keputusan mereka untuk memilih kandidat tersebut.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah hoaks yang menyerang Joko “Jokowi” Widodo pada Pemilu 2019. Saat itu, kebohongan yang tersebar luas mengenai Jokowi adalah bahwa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17065/hoaks-innalillahi-ternyata-presiden-sekarang-sebenarnya-kristen-dan-pemerintahan-sekarang-di-kuasai-kristen/0/laporan_isu_hoaks">ia merupakan warga keturunan Tionghoa dan beragama Kristen</a>.</p>
<p>Misinformasi ini ditujukan untuk mempertanyakan kesetiaannya pada agama dan kebangsaan, yang merupakan topik sensitif dalam konteks sosial politik Indonesia di mana mayoritas beragama Islam dan beretnis Jawa. Hoaks ini dirancang untuk memengaruhi opini pemilih Muslim konservatif. Keraguan atas latar belakang dan agama Jokowi, diyakini dapat mengurangi daya tarik dan dukungan dari para pemilih tersebut.</p>
<p>Sementara untuk menaikkan citra positif, tim kampanye biasanya membuat informasi positif namun tidak akurat atau berlebihan tentang seorang kandidat. Misalnya, cerita palsu tentang pencapaian pribadi, statistik yang menyesatkan tentang kinerja, atau manipulasi gambar dan video. Tujuannya adalah untuk menciptakan gambaran kandidat yang ideal dan seringkali tidak realistis, sehingga dapat mempengaruhi persepsi publik secara positif.</p>
<p>Kampanye yang dilakukan oleh Donald Trump, mantan presiden AS, merupakan contoh dari praktik ini. Tim kampanyenya berusaha menaikkan citra positif dengan <a href="https://www.newyorker.com/magazine/2016/07/25/donald-trumps-ghostwriter-tells-all">mengklaim bahwa Trump sukses sebagai pengusaha sehingga mampu menegosiasikan perjanjian perdagangan yang lebih baik untuk AS</a>.</p>
<p>Kedua taktik ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap integritas pemilu, karena keduanya menghalangi pemilih untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi faktual.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218831/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, juga sebagai Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p>Hoaks telah terbukti berdampak negatif di masyarakat. Apa saja dampak dari maraknya persebaran hoaks ketika pemilu?Fitri Murfianti, Leiden UniversityFinsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2078282023-07-06T04:29:45Z2023-07-06T04:29:45ZArtis jadi caleg: pemilu kini laksana kontes kecantikan, kualitas demokrasi dipertanyakan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/535841/original/file-20230705-18160-p5ks5m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C0%2C1071%2C717&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Beberapa selebritas yang menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dari Partai Amanat Nasional (PAN).</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/CsbWNVkP0Ow/">Akun Instagram @bluesquad_ofc</a></span></figcaption></figure><p>Berbagai partai politik kerap memilih cara <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/592742/rekrutmen-parpol-yang-instan-timbulkan-fenomena-caleg-ganda">“instan”</a> untuk merebut hati masyarakat. Salah satunya dengan cara mengusung artis-artis maupun figur terkenal tanah air untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg). </p>
<p>Partai politik berharap pengusungan publik figur dapat <a href="http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JSIPOL/article/view/13710">membantu mereka meraup banyak suara</a> pada pemilu legislatif (pileg) tingkat daerah dan nasional karena mereka meyakini pemilih akan <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/7311">mencoblos nama yang familier</a>. </p>
<p>Berdasarkan data yang ada, banyak publik figur yang diajukan oleh berbagai partai politik di Indonesia. Menurut <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230516142913-620-950303/infografis-daftar-artis-dan-selebritas-maju-caleg-2024">media massa</a> terdapat 10 partai politik yang menyertakan nama-nama publik figur sebagai bakal caleg di laga pemilu 2024. </p>
<p>Ada beberapa nama publik figur yang mencalonkan diri untuk maju dalam putaran pemilu, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (5 nama), Partai Gerindra (10 nama), PDIP (14 nama), Partai Golkar (3 nama), Partai Nasdem (9 nama), PKS (1 nama), PAN (17 nama), Partai Demokrat (4 nama), PSI (3 nama) dan Perindo (11 nama).</p>
<p>Pada beberapa periode sebelumnya, strategi mengusung selebritas ini memang <a href="http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JSIPOL/article/view/13710/5101">cukup sukses</a> membantu partai mendulang suara, tapi secara tidak langsung ini juga mereduksi tujuan demokrasi dari pemilu itu sendiri. Pemilu harusnya menjadi ajang pencarian pemimpin dan kompetisi kebijakan, bukan semata unjuk popularitas demi mendapat banyak kursi di parlemen.</p>
<h2>Partai politik dan para selebritasnya</h2>
<p>Partai Amanat Nasional (PAN) disinyalir menjadi <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/22/ini-partai-pengusung-caleg-artis-terbanyak-di-pemilu-2024">partai yang paling banyak mengusung caleg</a> dari dunia <em>showbiz</em>. Deretan publik figur yang diusung oleh partai yang berdiri sejak 1998 ini sebagai bakal caleg untuk Pileg 2024. Nama-nama yang beredar antara lain Uya Kuya, Opie Kumis, dan Elly Sugigi. </p>
<p>Mereka hanya segelintir nama baru dari PAN yang berasal dari kalangan selebritas. Sebelumnya ada pelawak Eko Patrio dan aktris Desi Ratnasari.</p>
<p>Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai pemimpin koalisi pemerintah juga cukup banyak mengusung selebritas, termasuk Rieke Diah Pitaloka, Rano Karno, Nico Siahaan, penyanyi Krisdayanti dan dan Marcell Siahaan, serta pelawak Denny Cagur. Dalam Pileg periode sebelumnya (2019-2024), PDI-P dilaporkan sebagai partai yang artisnya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/05/16/14564831/para-caleg-artis-yang-diprediksi-dapat-suara-cukup-dan-lolos-ke-senayan">paling banyak</a> berhasil masuk ke Senayan.</p>
<p><a href="https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1044296/puluhan-artis-dan-selebritas-masuk-daftar-caleg-gerindra">Partai Gerindra</a> juga mengusung sejumlah selebritas untuk Pileg 2024. Mereka antara lain penyanyi Melly Goeslaw dan Ahmad Dhani, Taufik Hidayat, Ari Sihasale, Derry Drajad dan Didi Mahardika. </p>
<p>Ini menambah deretan artis yang sudah bergabung dengan Gerindra di Senayan sejak periode lalu, seperti Rachel Maryam, Jamal Mirdad, Moreno Suprapto dan Mulan Jameela.</p>
<p>Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Demokrat juga <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/22/ini-partai-pengusung-caleg-artis-terbanyak-di-pemilu-2024">sudah mendaftarkan deretan selebritas</a> untuk mengikuti kontestasi politik tahun depan.</p>
<p>Partai Perindo yang mencoba peruntungan tahun depan untuk bisa mendapat kursi di DPR RI juga mengusung <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/05/22/ini-partai-pengusung-caleg-artis-terbanyak-di-pemilu-2024">lebih dari 10 selebritas</a>. Bahkan beberap nama tengah viral di media sosial seperti <a href="https://www.liputan6.com/showbiz/read/5320576/lagu-aldi-taher-viral-dan-hasilkan-banyak-uang-sang-istri-sibuk-cek-tawaran-pekerjaan-suami-di-whatsapp">Aldi Taher</a>, Vicky Prasetyo, Venna Melinda, Kalina Ocktaranny, dan <a href="https://news.republika.co.id/berita/rudn6y484/kta-dirilis-yusuf-mansur-resmi-maju-caleg-perindo-dapil-dki-i">Yusuf Mansur</a> </p>
<p>Perlu digarisbawahi bahwa memang tidak semua selebritas menjadi caleg secara instan. Ada pula yang dari awal sudah berpolitik dan mengikuti proses kaderisasi partai, tidak serta merta diorbitkan untuk keperluan pemilu saja. </p>
<p>Salah satunya adalah <a href="https://cilegon.inews.id/read/290826/perjalanan-karier-inspiratif-rano-karno-aktor-sukses-yang-memerankan-si-doel-anak-betawi">Rano Karno</a>, selebritas terkenal tanah air yang juga politikus PDI-P. Ia <a href="https://nasional.kompas.com/read/2008/01/20/17260459/ismet-rano.dipastikan.menangkan.pilkada.tangerang">memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2008</a> dan menjadi Wakil Bupati Kabupaten Tangerang 2008-2013, lalu <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2011/10/30/16103077/%7ERegional%7EJawa">pilkada 2011</a> dan menjadi Wakil Gubernur Banten. Setelah itu, dia terpilih menjadi <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/05/14/11200001/raih-suara-terbanyak-di-banten-rano-karno-dongkrak-suara-pdi-p">anggota DPR RI periode 2019-2024</a> untuk daerah pemilihan (dapil) Banten.</p>
<p>Walaupun Rano Karno adalah selebritas, dia sudah lama aktif dalam kegiatan politik. Karir politiknya lahir dari proses kaderisasi partai yang panjang.</p>
<h2>Marketing politik</h2>
<p>Gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin partai dan program kerja <a href="https://books.google.co.id/books?id=BE3pDQAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_vpt_read#v=onepage&q&f=false">memerlukan suatu strategi</a> untuk dapat diterima oleh masyarakat luas. Strategi ini disebut marketing politik.</p>
<p>Di satu sisi, marketing politik menjadi sarana bagi partai untuk memperkenalkan ide politik mereka kepada masyarakat. Marketing politik juga <a href="https://books.google.co.id/books?id=BE3pDQAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id&source=gbs_vpt_read#v=onepage&q&f=false">dapat menciptakan suasana demokratis</a> sehingga membuat publik berpartisipasi aktif dalam politik.</p>
<p>Di sisi lain, marketing politik juga dapat menurunkan kualitas demokrasi. Banyak partai yang melakukan marketing tanpa ide atau gagasan yang jelas, lalu akhirnya memanfaatkan figur publik yang memiliki pesona di masyarakat. </p>
<p>Popularitas yang ditawarkan oleh publik figur memang bisa menjadi modal kuat dalam pemilu. Namun nyatanya, ini merupakan bentuk marketing yang tidak berkesinambungan.</p>
<p>Seringkali figur tersebut <a href="http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JSIPOL/article/view/13710/5101">tidak membawa ide atau gagasan</a> yang jelas sehingga, ketika sudah terpilih, masyarakat merasa tidak puas dengan kinerja mereka. Terlebih jika yang diusung adalah figur publik yang direkrut secara instan, bukan tokoh yang lahir dari <a href="https://www.unja.ac.id/pemilu-2019-bukti-kegagalan-kaderisasi-partai-politik/">proses kaderisasi internal partai</a>.</p>
<p>Dalam jangka panjang, ini semua akan berdampak pada munculnya rasa apatisme di masyarakat terhadap kegiatan demokrasi. Pada akhirnya strategi ini akan merugikan partai dan masyarakat umum.</p>
<p>Strategi marketing menggunakan publik figur untuk maju dalam konteks politik juga sebenarnya bukan cara yang “haram”. Hanya saja, jangan sampai “pemasangan” figur tersebut menghilangkan inovasi politik dan janji politik kepada masyarakat. </p>
<p>Marketing politik tetap harus berlandaskan pada ide politik yang ditawarkan itu sendiri. Tanpa ada ide politik yang jelas, dan hanya dengan mengandalkan popularitas semata, kegiatan pemasaran ini tidak akan maksimal.</p>
<p>Kemudian, jika partai tetap ingin mengusung selebritas, ada baiknya proses pengajuan tersebut melewati jalur kaderisasi partai terlebih dahulu. Proses kaderisasi partai ini yang akan <a href="http://opac-upt-bung-hatta.perpusnas.go.id/detail-opac?id=36711">membentuk jati diri kadernya</a> agar memiliki jiwa kepemimpinan dan melahirkan solusi bagi permasalahan masyarakat.</p>
<h2>Kontes “kecantikan” politik</h2>
<p>Upaya partai mendulang suara melalui popularitas figur publik tanpa disertai substansi politik yang konkrit telah mereduksi kualitas kontestasi politik itu sendiri dan membuatnya <a href="https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/mudra/article/view/707">tampak seperti kontes kecantikan (<em>beauty pageant</em>)</a>. </p>
<p>Ini karena nuansa pemilihan jadi lebih <a href="https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/63175">menekankan pada atribut fisik</a> para kontestan untuk dapat merebut atensi dewan juri - dalam hal ini para pemilih - untuk jadi pemenang. </p>
<p>Pada batas tertentu, pemilu memang memiliki kesamaan dengan kontes kecantikan. Semua peserta berusaha mencari cara untuk terlihat baik di depan para pemilih. Bedanya, jelas, pemilu berkaitan erat dengan nilai-nilai demokrasi dan masa depan dari masyarakat sebagai pemilih.</p>
<p>Mengusung caleg hanya karena melihat popularitas figur tersebut merupakan pertimbangan yang sangat disayangkan. Bukan aspek popularitas yang harus menjadi aspek utama dalam pertimbangan, melainkan aspek latar belakang figur - misalnya apakah ia punya catatan kriminal - dan program, kebijakan serta ide politik yang bisa ia tawarkan.</p>
<h2>Pentingnya literasi demokrasi</h2>
<p>Mengingat bahwa target partai politik adalah suara pemilih, maka dalam hal ini masyarakat perlu mendapat peningkatan pengetahuan tentang praktik demokrasi yang akuntabel.</p>
<p>Untuk masyarakat, langkah yang paling bisa dilakukan adalah memilih sosok wakil rakyat, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, yang memiliki program yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat. Mereka yang memiliki rekam jejak yang bersih. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk bisa mencari tahu profil para kandidat.</p>
<p>Publik juga bisa mulai menciptakan diskusi politik sebagai kegiatan normal di tengah komunitas dan keluarga. Saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa diskusi politik merupakan hal yang terlalu “tinggi”, bahkan dapat merusak hubungan dengan kerabat jika terdapat perbedaan pandangan. </p>
<p>Masyarakat harus benar-benar menerapkan pola pikir bahwa perbedaan pandangan politik adalah hal yang biasa.</p>
<p>Cara-cara tersebut bisa menjadi bagian dari proses peningkatan literasi demokrasi yang akan membantu meningkatkan kualitas demokrasi. Peningkatan demokrasi inilah yang akan mendorong partai politik untuk tidak menggunakan cara “instan” dan “memaksa” mereka untuk menyediakan figur-figur yang kompeten dan memiliki program-program cemerlang untuk permasalahan negara.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207828/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adrian Azhar Wijanarko terafiliasi dengan lembaga think-tank Paramadina Public Policy Institute.</span></em></p>Banyak partai politik yang memilih cara ‘instan’ untuk meraup suara pemilih, tapi sayangnya tidak memberikan nilai tambah terhadap demokrasi secara keseluruhan.Adrian Azhar Wijanarko, Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1900572022-09-07T00:40:07Z2022-09-07T00:40:07ZLiz Truss: Mengenal Perdana Menteri Inggris yang baru dan mengapa ia menggantikan Boris Johnson<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/482946/original/file-20220906-22-e9yk9u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=3%2C0%2C662%2C443&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Liz Truss, Perdana Menteri Inggris yang baru terpilih.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/liz-truss-isle-wight-united-kingdom-2194538977">Clicksbox / Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Liz Truss baru saja resmi menjadi Perdana Menteri (PM) Inggris yang baru. Setelah melalui pemilihan yang berlangsung kurang lebih dua bulan, Partai Konservatif memilih Truss sebagai pemimpin baru mereka. Truss juga telah bertemu Ratu Elizabeth II di Balmoral, Skotlandia, dan membentuk susunan kabinet inti untuk pemerintahannya. </p>
<p>Truss menjadi pemimpin Partai Konservatif keempat yang bertindak sebagai PM Inggris semenjak enam tahun ke belakang. Ia merupakan PM ke-15 di bawah Ratu Elizabeth II dan perempuan ketiga yang menjadi PM Inggris.</p>
<p>Popularitas Truss mulai mencuat sejak tahun 2010 ketika ia pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen Inggris. Empat tahun kemudian, ia bergabung dengan kabinet David Cameron sebagai Menteri Kehakiman, lalu menjadi Kepala Sekretaris Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Theresa May. Ketika Boris Johnson memerintah, Truss ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan Internasional sebelum akhirnya menjadi Menteri Luar Negeri. </p>
<p>Truss mengakui dirinya sebagai seorang libertarian ekonomi. Dalam referendum tahun 2016 tentang keanggotaan Inggris di Uni Eropa, dengan antusias ia mendukung Inggris untuk tetap menjadi anggota Uni Eropa, meskipun pada akhirnya ia <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/aug/31/brexit-monster-under-bed-liz-truss-ignore">mengadopsi pandangan yang bertolak belakang</a>. Truss secara terbuka menekankan manfaat Brexit dan mengecam Rusia atas invasi terhadap Ukraina.</p>
<p>Citra Liz yang lekat dengan libertarianisme ekonomi, optimisme politiknya, dan kecamannya terhadap Rusia terbukti membantunya memenangkan kontes kepemimpinan Inggris tahun ini. Terlepas dari sejumlah <a href="https://www.bbc.co.uk/news/62392031"><em>blunder</em></a> yang ia lakukan, Truss bisa unggul secara substansial atas lawannya, Rishi Sunak, berkat usulannya untuk pemotongan pajak, ditambah dengan kesetiannya kepada Johnson.</p>
<p>Sebagai PM baru, Truss menghadapi sejumlah tantangan yang rumit: inflasi yang merajalela, biaya energi yang sangat tinggi, layanan publik yang memburuk, aksi protes dari pihak industri, dan keinginan Skotlandia untuk merdeka dan mendirikan pemerintahannya sendiri. Di luar negeri, Truss harus menghadapi gejolak perang di Ukraina dan hubungan yang bermasalah dengan Uni Eropa.</p>
<h2>Mengapa Boris Johnson mengundurkan diri?</h2>
<p>Truss menggantikan Boris Johnson yang <a href="https://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-62070422">dipaksa mundur</a> sebagai pemimpin Partai Konservatif sekaligus PM pada bulan Juli lalu. Pengunduran diri massal yang dilakukan oleh sekitar 60 menteri dan pejabat politik lainnya, termasuk Menteri Kesehatan Sajid Javid dan Menteri Keuangan Rishi Sunak, adalah bentuk protes terhadap Johnson atas kesalahannya dalam menangani skandal yang melibatkan Chris Pincher, mantan petinggi Partai Konservatif.</p>
<p>Pincher mengundurkan diri dari jabatannya setelah dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap dua laki-laki di sebuah klub ekslusif. Ia mengaku “terlalu banyak minum”, tetapi menyangkal tuduhan tersebut dan tetap menjadi anggota parlemen independen. Setelah itu, muncul aduan-aduan tentang dugaan pelecehan seksual lainnya yang ia lakukan. Hal ini sontak menimbulkan pertanyaan tentang kapan pelecehan-pelecehan itu terjadi dan apakah Johnson mengetahuinya.</p>
<p>Downing Street (sebutan untuk kediaman resmi PM Inggris) awalnya membantah bahwa Johnson mengetahui tuduhan itu ketika ia menunjuk Pincher sebagai <em>Deputy Chief Whip</em>. Bantahan tersebut kemudian terbukti tidak benar. Johnson lalu dikecam lantaran tidak segera <a href="https://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-62014765">mencabut keanggotaan Pincher dalam partai</a>. Ia baru melakukannya setelah mendapat tekanan yang kuat dari para anggota jajarannya sendiri.</p>
<p>Akan tetapi, kekuasaan Johnson sebenarnya telah melemah bahkan sebelum kasus Pincher. Serangkaian skandal yang terjadi menunjukkan pendekatannya yang lemah terhadap standar kehidupan publik. Sejumlah anggota Partai Konservatif telah meminta Johnson untuk mengundurkan diri karena skandal <em>partygate</em> – pertemuan di Downing Street yang melanggar kebijakan pembatasan sosial COVID-19 – yang membuat dirinya dan istrinya dikenakan <a href="https://theconversation.com/boris-johnson-fined-by-police-over-partygate-what-happens-next-181215">denda oleh polisi</a>.</p>
<p>Perilaku Johnson dianggap telah mengganggu pemerintahan dan, karena telah menumpuk, tidak dapat ditoleransi. Setidaknya 41% anggota parlemen dari Partai Konservatif mendukung <a href="https://theconversation.com/boris-johnson-wins-no-confidence-vote-but-the-margin-will-make-him-nervous-184492">mosi tidak percaya</a> terhadap Jonhson awal Juli lalu. </p>
<p>Kebijakan Johnson yang dinilai kurang terarah juga mengakibatkan ketidakpuasan publik terhadapnya. Ia mengklaim telah “menyelesaikan Brexit”, tetapi apa sebetulnya rencana pemerintahannya ke depannya? Wacana kebijakan <a href="https://www.bbc.co.uk/news/56238260"><em>levelling-up</em></a> – merujuk pada upaya pemerataan ekonomi di wilayah Britania Raya – terus jadi bahan perbincangan, dengan hanya sedikit langkah nyata. Masalah-masalah tersebut diperparah oleh krisis biaya hidup yang menjulang dan kekacauan pengoperasian Downing Street.</p>
<p>Terakhir, Johnson juga dianggap sebagai beban elektoral. Partai Konservatif berada selangkah di belakang Partai Buruh dalam jajak pendapat sejak akhir 2019. Terlebih, anggota parlemen Konservatif khawatir kehilangan suara dalam pemilihan umum dan pemilihan sela dari Partai Buruh dan Demokrat Liberal.</p>
<p>Kasus Pincher terbukti fatal bagi Johnson karena langsung menjadi sumber ketidakpuasan publik. Pendukung Johnson mengklaim bahwa ia dikhianati oleh partainya - tetapi setelah tersandung berulang kali, Johnson sebenarnya tersungkur karena senjatanya sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/boris-johnson-resignation-how-the-prime-ministers-tumultuous-week-played-out-186607">Boris Johnson resignation: how the prime minister's tumultuous week played out</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/SeLlT8Vt7RA?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Kenapa belum ada pemilu?</h2>
<p>Pemilihan untuk pengganti Johnson menjadi urusan eksklusif bagi partai Konservatif yang kini memimpin pemerintahan. Inggris memiliki sistem parlementer, yang artinya pemerintahan saat itu dibentuk oleh siapa pun yang mendapatkan kepercayaan Dewan Rakyat (<em>House of Commons</em>), atau oleh pemimpin partai mana pun yang memenangkan mayoritas kursi pada pemilihan umum terakhir.</p>
<p>Kapan pun seorang PM mengundurkan diri di tengah-tengah periode suatu parlemen (yang berlangsung 5 tahun), tidak ada kebutuhan konstitusional untuk mengadakan pemilu lagi. Sehingga, partai yang tengah berkuasa dapat menunjuk pemimpin baru dan PM baru.</p>
<p><a href="https://blogs.lse.ac.uk/politicsandpolicy/the-take-over-prime-ministers-without-a-popular-mandate-1916-2016/">PM pengganti</a> adalah hal yang biasa selama ini. Sejak 1945, delapan jabatan PM dimulai dengan kemenangan dalam Pemilu, sementara sisanya dimulai di tengah-tengah masa pemerintahan.</p>
<p>Partai politik memiliki aturan sendiri mengenai cara pemilihan pemimpin baru. Sebelum 1965, para pemimpin Partai Konservatif ditunjuk berdasarkan rembukan tokoh-tokoh senior partai. Sejak saat itu hingga 1998, para pemimpin dipilih secara eksklusif oleh anggota parlemen Konservatif. Pasca 1998, mereka dipilih melalui proses dua tahap, dengan anggota parlemen memilih dua kandidat yang keputusan finalnya diambil oleh anggota partai – atau <a href="https://commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/sn05125/">sekitar 180.000 anggota yang melakukan pembayaran wajib</a> untuk Konservatif.</p>
<p>Delapan kandidat berpartisipasi dalam tahap pertama kontes untuk menggantikan Johnson. Setelah lima putaran pemungutan suara di antara anggota parlemen Konservatif, Sunak menempati urutan teratas dengan 137 suara (38,3%), sementara Truss, yang saat itu menjabat sebagai Menlu, berada di urutan kedua dengan 113 suara (31,6%). Penny Mordaunt, mantan Menteri Pertahanan, tereliminasi dengan 105 suara (29,3%).</p>
<p>Pemilu kemudian dilanjutkan dengan pemungutan suara anggota partai. Sunak dan Truss mencari dukungan maksimal selama bulan Juli sampai Agustus. Pada akhirnya, Truss mendapatkan total 57% suara, mengalahkan Sunak yang hanya mendapat 43% suara.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/liz-truss-these-two-daunting-challenges-sit-right-at-the-top-of-the-new-prime-ministers-in-tray-189098">Liz Truss: these two daunting challenges sit right at the top of the new prime minister's in-tray</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang akan terjadi selanjutnya?</h2>
<p>Tugas pertama Truss adalah untuk segera membentuk pemerintahan. Orang-orang yang ia pilih menjadi anggota kabinetnya akan menentukan hubungannya dengan partainya. Perlu diingat, Truss bisa menjadi pemimpin karena ia dipilih anggota partainya - bukan karena anggota parlemennya. Setiap periode “bulan madu” dapat berlangsung singkat, terutama jika Konservatif <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Opinion_polling_for_the_next_United_Kingdom_general_election">terus-terusan kalah dari Partai Buruh</a> dalam jajak pendapat. </p>
<p>Yang terpenting, Truss perlu mengelola ekspektasi partainya tentang Pemilu berikutnya. PM pengganti biasanya selalu <a href="https://inews.co.uk/news/politics/next-prime-minister-pressure-call-general-election-this-year-1823159">disambut dengan seruan</a> untuk segera melakukan Pemilu dengan alasan bahwa penempatan mereka tidak benar secara konstitusional.</p>
<p>Pada saat yang sama, PM pengganti pastinya menginginkan terpilih di Pemilu. Hal ini dapat meningkatkan otoritas dan memungkinkan mereka untuk memulai dengan serangkaian komitmen manifesto yang baru.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/is-the-uk-heading-into-an-election-five-signs-to-look-out-for-in-the-first-few-weeks-under-prime-minister-liz-truss-189008">Is the UK heading into an election? Five signs to look out for in the first few weeks under Prime Minister Liz Truss</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Truss memiliki kuasa untuk mengadakan Pemilu kapan pun ia mau. Jika Konservatif bisa unggul dalam jajak pendapat, Truss perlu mempertimbangkan apakah sebaiknya mundur lebih cepat dengan alasan situasi ekonomi yang mungkin memburuk atau menunggu sampai akhir, dengan harapan bahwa segalanya dapat diperbaiki.</p>
<p>Jika tidak ada dorongan seperti itu, perhitungan tersebut akan diperdebatkan, dan parlemen 2019 kemungkinan akan menjalankan masa jabatan penuh. Pemilih akan memiliki kesempatan untuk memilih PM baru mereka selambat-lambatnya Januari 2025.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/190057/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nicholas Allen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemimpin baru partai Konservatif mewarisi negara yang sedang dalam krisis.Nicholas Allen, Professor of Politics, Royal Holloway University of LondonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1472922020-11-03T11:05:38Z2020-11-03T11:05:38ZSemua partai telah memenuhi kuota caleg perempuan, tapi mengapa jumlah perempuan di parlemen tetap sedikit?<p>Ada lebih banyak perempuan yang maju dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) 2019 dibanding Pileg-pileg sebelumnya.</p>
<p>Tampaknya syarat mencalonkan minimal 30% kandidat perempuan agar partai politik bisa berkompetisi dalam pemilihan umum legislatif (Pileg) telah berhasil <a href="https://www.viva.co.id/berita/politik/383492-partai-tak-punya-30-caleg-perempuan-dicoret-kpu">“memaksa”</a> partai untuk patuh.</p>
<p>Setidaknya ini terlihat dari Pileg terakhir pada 2019 saat rata-rata jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua partai mencapai 41,2%.</p>
<iframe title="" aria-label="Split Bars" id="datawrapper-chart-bbkiN" src="https://datawrapper.dwcdn.net/bbkiN/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="228"></iframe>
<p>Kuota gender <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/politics-and-gender/article/story-of-the-theory-of-critical-mass/592171C05B9B828DBBDCC121B05780D4">penting</a> untuk meningkatkan keterpilihan perempuan agar mencapai <em>critical mass</em>.</p>
<p><em>Critical mass</em> adalah jumlah minimal yang diperlukan menciptakan perubahan (rata-rata dipatok 30% dari jumlah kursi legislatif) agar mereka bisa memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen. </p>
<p>Penelitian yang saya lakukan pada 2019, dan baru saja terbit di jurnal <a href="https://doi.org/10.1017/S1743923X19000321">Politics & Gender</a>, menemukan bahwa partai-partai politik telah berupaya mencalonkan lebih banyak perempuan. </p>
<p>Namun, meski jumlah caleg perempuan bertambah, keterpilihan calon perempuan dalam Pileg masih rendah. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-kantor-yang-maskulin-menambah-beban-pekerja-perempuan-kantoran-di-masa-pandemi-145624">Riset: kantor yang maskulin menambah beban pekerja perempuan kantoran di masa pandemi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penuhi kuota</h2>
<p>Di Indonesia, <a href="https://doi.org/10.1017/S1743923X19000321">tujuh partai politik</a> yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan berpartisipasi di dalam setiap Pileg sejak 2004 telah mencalonkan perempuan sesuai ketentuan kuota pada Pileg 2014 dan 2019. </p>
<iframe title="[ Insert title here ]" aria-label="Interactive line chart" id="datawrapper-chart-Xsjlo" src="https://datawrapper.dwcdn.net/Xsjlo/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="176"></iframe>
<p>Semua partai, baik yang berideologi Islam maupun pluralis/nasionalis, sama-sama telah lebih banyak mencalonkan perempuan.</p>
<p>Data menunjukkan nominasi caleg perempuan di Pileg 2019 rata-rata naik 25% dibandingkan tahun 2004. </p>
<h2>Perempuan bukan prioritas</h2>
<p>Meski jumlah caleg perempuan bertambah, jumlah perempuan yang memegang kursi di parlemen lebih rendah.</p>
<p>Pada Pileg tahun lalu, misalnya, tingkat kemenangan caleg laki-laki 2,6 kali lebih tinggi dibanding perempuan.</p>
<p>Ini karena banyak partai yang masih belum memprioritaskan caleg perempuan.</p>
<iframe title="[ Insert title here ]" aria-label="Interactive line chart" id="datawrapper-chart-TIqZ9" src="https://datawrapper.dwcdn.net/TIqZ9/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="176"></iframe>
<p>Masih sangat sedikit partai yang memberikan nomor urut satu kepada perempuan, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S027753951830428X">posisi teratas</a>.</p>
<p>Lewat wawancara dengan ketua fraksi dan ketua badan pemenangan pemilu masing-masing partai, saya menemukan bahwa seleksi caleg oleh mayoritas partai di Indonesia masih sangat tertutup dan tersentralisasi.</p>
<p>Temuan ini sejalan dengan temuan-temuan terkait pencalonan anggota parlemen di banyak negara yang <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/politics-and-gender/article/revealing-the-secret-garden-the-informal-dimensions-of-political-recruitment/29F23C54BE926D0EF460BA9F8424C373">tertutup dari publik</a>.</p>
<p>Publik tidak benar-benar tahu mekanisme apa yang menentukan seorang caleg mendapat nomor urut 1 atau 9 dari partai. </p>
<p>Namun khusus di pengalaman PPP tahun 2014, terjadi lonjakan alokasi nomor urut teratas untuk caleg perempuan. </p>
<p>Responden saya menyebut bahwa salah satu faktor penyebabnya adalah ketua badan pemenangan pemilu PPP di tahun itu adalah perempuan.</p>
<p>Ini menarik karena sesuai dengan riset sebelumnya yang menemukan bahwa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1065912909349631">jenis kelamin ketua tim pemenangan</a> (laki-laki atau perempuan) berperan penting dalam mendorong atau menghambat kandidat perempuan untuk mencalonkan diri.</p>
<p>Kuota gender adalah konsep yang cukup baru. Di dunia, pada 1995, kuota gender hanya diterapkan lewat undang-undang di Argentina dan Nepal. </p>
<p>Kini, menurut data Inter-Parliamentary Union (IPU), ketentuan kuota gender telah diterapkan di <a href="https://www.ipu.org/resources/publications/reports/2020-03/women-in-parliament-1995-2020-25-years-in-review#:%7E:text=IPU%20analysis%20shows%20that%20gender,11.3%20per%20cent%20in%201995">81 negara </a>
Di banyak negara, kuota gender telah berhasil membuat jumlah perempuan di parlemen meningkat. Data IPU menunjukkan negara dengan kuota gender memiliki legislator perempuan lebih banyak (30,3%) daripada negara yang tidak menerapkan (17,9%).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-indonesia-analisis-ungkap-perempuan-miskin-yang-paling-menderita-selama-pandemi-covid-19-146676">Di Indonesia, analisis ungkap perempuan miskin yang paling menderita selama pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Biaya saksi dan kendala rekrutmen</h2>
<p>Sebagian responden riset saya mengaku tidak mengalami kesulitan dalam menjaring perempuan yang tertarik untuk berkompetisi demi kursi legislatif di DPR. </p>
<p>Tapi sebagian lainnya menilai animo perempuan untuk menjadi caleg sudah jauh berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun terdahulu.</p>
<p>Terlebih lagi, partai politik menetapkan sedikitnya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45886460">Rp 500 juta</a> untuk harga posisi nomor urut 1 di kertas suara. </p>
<p>Maka tak heran jika banyak caleg perempuan terbatas berasal dari latar belakang ekonomi atas.</p>
<p>Harga nomor urut satu setiap partai tentunya berbeda-beda, namun justifikasinya satu: partai membutuhkan dana untuk menyiapkan saksi di sekitar 800.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar pencatatan akurat.</p>
<p><a href="https://koran.tempo.co/read/cover-story/436054/ppp-wajibkan-calon-legislator-setor-rp-500-juta?#">Biaya saksi</a> ini dibebankan kepada caleg dengan sistem iuran, tapi sebagian pihak menyebutnya dengan “mahar” yang dibayarkan caleg agar bisa dicalonkan oleh partai.</p>
<p>Praktik ini sudah sepatutnya mendapat perhatian dari semua kalangan. </p>
<p>Tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pencatatan hasil pemilu dan masifnya aksi jual-beli suara menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi.</p>
<p>Lebih khusus lagi ini adalah ancaman bagi representasi politik perempuan, sebab pemilu yang mahal membuat partisipasi perempuan semakin terbatas.</p>
<p>Kuota gender 30% bisa jadi berhasil memaksa partai untuk mencalonkan lebih banyak perempuan dalam Pileg. </p>
<p>Namun, bila caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, maka kenaikan jumlah caleg perempuan tidak akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR secara optimal.</p>
<p>Selain itu, biaya kampanye yang sangat mahal (termasuk kewajiban menyetor uang agar dapat nomor urut satu), membuat caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat. </p>
<p>Lagi-lagi, ini akan menguatkan cengkraman oligarki di politik Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147292/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ella S. Prihatini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Caleg perempuan belum menjadi prioritas partai; biaya mahal yang harus dikeluarkan caleg juga menjadi halangan.Ella S. Prihatini, Lecturer of International Relations, Faculty of Humanities, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1486562020-10-23T08:52:40Z2020-10-23T08:52:40ZPeneliti: alasan ekonomi untuk lanjutkan Pilkada serentak tidak tepat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/365142/original/file-20201023-22-ukx2j.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto tahapan kampanye pilkada serentak kota mataram as</span> </figcaption></figure><p>Salah satu alasan pemerintah bersikeras untuk tetap mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) akhir tahun ini meski banyak sekali yang menentangnya adalah alasan ekonomi.</p>
<p>Pemerintah memperkirakan Pilkada bisa memutar uang hingga <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5197908/perputaran-uang-selama-pilkada-diprediksi-tembus-rp-26-t">Rp 26 triliun</a> dan diharapkan dapat menggerakkan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat pandemi. </p>
<p>Namun, dua peneliti ekonomi yang kami wawancarai mengatakan argumentasi tersebut tidak tepat.</p>
<p>Mereka berpendapat dampak ekonomi dari Pilkada tidak akan signifikan dan malah memberikan dampak risiko penyebaran COVID-19 yang lebih tinggi.</p>
<h2>Dampak tidak signifikan</h2>
<p>Rizal Taufikurahman, kepala pusat Ekonomi Makro dan Keuangan di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan bahwa dampak ekonomi Pilkada tidak akan maksimal karena terbatasnya mobilitas masyarakat. </p>
<p>Jika kondisi normal dan tidak di tengah pandemi, Pilkada memang akan mendorong berbagai sektor untuk tumbuh seperti usaha sektor tekstil, perdagangan, informasi, dan komunikasi. Contohnya untuk pembuatan baliho, serta atribut kampanye sampai ke iklan di media. </p>
<p>Namun karena terbatasnya mobilitas masyarakat, sumbangan Pilkada akan tidak besar terhadap ekonomi ini karena yang akan tumbuh hanya sektor seperti informasi dan komunikasi. Ini dikarenakan pembatasan mobilitas massa maka aktivitas kampanye akan dilakukan sebagian besar secara daring ataupun media lainnya.</p>
<p>Pada triwulan kedua tahun ini, sektor informasi dan komunikasi hanya menyumbangkan <a href="https://www.bps.go.id/website/materi_ind/materiBrsInd-20200805114633.pdf">4,66% dari produk domestik bruto (PDB)</a> atau seluruh penjualan jasa dan barang di Indonesia yang mencapai <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/1737/-ekonomi-indonesia-triwulan-ii-2020-turun-5-32-persen.html">Rp 3.687,7 triliun</a>. </p>
<p>Pendapat senada juga datang dari Eric Alexander Sugandi, peneliti senior di Universitas Kebangsaan Republik Indonesia. Secara historis, menurut Eric, dampak ekonomi penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia hanya bertahan paling lama setengah tahun saja. </p>
<p>“Ada dampak ekonominya, namun akibat negatifnya juga banyak jika pandemi ini berlarut-larut dan dana penanganan dari pemerintah pasti bertambah,” jelas Eric.</p>
<p>Jika penanganan pandemi menjadi lebih lama karena kasus yang terus bertambah, maka pemulihan ekonomi juga akan menjadi tertunda dan anggaran yang dibutuhkan akan membengkak. </p>
<p>Jika wabah COVID-19 ini tidak terkendali, maka kemungkinan besar <a href="https://theconversation.com/peneliti-target-pertumbuhan-ekonomi-5-tahun-depan-sulit-tercapai-148249">target pertumbuhan 5% yang direncanakan pemerintah di tahun depan pun akan sulit tercapai</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/peneliti-target-pertumbuhan-ekonomi-5-tahun-depan-sulit-tercapai-148249">Peneliti: target pertumbuhan ekonomi 5% tahun depan
sulit tercapai</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>.</p>
<h2>Risiko penularan lebih tinggi</h2>
<p>Selain dampak ekonominya yang tidak signifikan, penyelenggaraan Pilkada justru akan memberikan dampak risiko penyebaran COVID-19 yang lebih tinggi. </p>
<p>Sampai saat ini jumlah penambahan kasus COVID-19 belum mengalami perlambatan. Hingga kamis, 22 Oktober 2020, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/23/08181181/377541-kasus-covid-19-di-indonesia-antisipasi-kenaikan-akibat-libur-panjang?page=all">kasus positif COVID-19 telah mencapai 377.541 kasus setelah pada hari itu bertambah 4.432 kasus</a>.</p>
<p>Rizal melihat risiko ini bisa muncul mulai dari proses kampanye, pemungutan suara, maupun pemutusan dan perhitungan suara.</p>
<p>Walaupun pemerintah sudah mengimbau pelaksanaan protokol kesehatan dalam proses pemungutan suara seperti pembatasan jumlah pemilih yang hadir hingga
<a href="https://covid19.go.id/p/berita/implementasi-protokol-kesehatan-ketat-pada-daerah-penyelenggara-pilkada"> 50 orang dengan jaga jarak 1 meter</a>, namun pelanggaran masih bisa terjadi.</p>
<p>Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat setidaknya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/18/07224251/pelanggaran-protokol-kesehatan-saat-kampanye-pilkada-meningkat">terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan ketika waktu kampanye yang terjadi pada kurun 6-15 Oktober 2020</a>. Jumlah ini meningkat dari 237 kasus di periode 26 September hingga 5 Oktober.</p>
<p>Peta zona risiko dari Kementerian Kesehatan mengidentifikasi setidaknya ada
ada 309 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada. Dari daftar tersebut, setidaknya <a href="https://covid19.go.id/p/berita/implementasi-protokol-kesehatan-ketat-pada-daerah-penyelenggara-pilkada">45 kabupaten/kota masuk dalam zona merah (tinggi)</a>. </p>
<h2>Pilkada serentak sebaiknya ditunda sampai tahun depan</h2>
<p>Menurut Rizal dan Eric, Pilkada serentak ini sebaiknya ditunda sampai setidaknya tahun penyebaran COVID-19 lebih terkendali.</p>
<p>“Pilkada serentak sebaiknya dipikirkan kembali,” ujar Rizal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148656/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Dampak ekonominya tidak banyak, Pilkada serentak malah akan menghasilkan peningkatan kasus COVID-19.Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1471872020-09-30T10:20:06Z2020-09-30T10:20:06ZMengapa politikus Indonesia kian sering menggalang dukungan etnis dan agama untuk menang pemilu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/360730/original/file-20200930-14-qom1zx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Adeng Bustomi/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Pada 2017, sebuah masa pemilihan gubernur Jakarta berakhir dengan kemenangan <a href="https://theconversation.com/jakarta-governor-election-results-in-a-victory-for-prejudice-over-pluralism-76388">prasangka atas pluralisme</a>. </p>
<p>Dalam pemilihan tersebut terjadi upaya yang sangat kuat oleh berbagai kelompok Islam untuk <a href="https://www.newmandala.org/interpreting-jakarta-election/">mengutuk</a> gubernur petahana Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, seorang keturunan Cina beragama Kristen.</p>
<p>Etnis dan agama seringkali menjadi isu yang dipolitisasi dalam pemilihan umum (pemilu). Penelitian telah menunjukkan bahwa hal tersebut terutama terjadi selama <a href="https://www.foreignaffairs.com/reviews/capsule-review/2000-05-01/voting-violence-democratization-and-nationalist-conflict">transisi menuju demokrasi</a>.</p>
<p>Selama masa transisi itu, rapuhnya aturan dan praktik demokrasi, dibarengi dengan kuatnya ikatan etnis, seringkali memotivasi politikus untuk mencari dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan pemilih kepada suku, etnis, atau agama. </p>
<p>Tapi, yang terjadi di Indonesia membingungkan. </p>
<p>Setelah tiga dekade masa pemerintahan otoriter, transisi Indonesia menuju demokrasi pada 1999 berlangsung sangat cepat dan penuh kekerasan yang dipicu oleh parahnya krisis ekonomi, demonstrasi massa, dan kerusuhan. </p>
<p>Walau periode itu penuh pergolakan, <a href="https://ink.library.smu.edu.sg/cgi/viewcontent.cgi?article=3732&context=soss_research">penelitian saya</a> menunjukkan bahwa penggunaan isu etnis dan agama menurun selama kampanye pemilu tahun 1999.</p>
<p>Namun, studi ini juga menunjukkan bahwa pola itu berubah pada pemilu 2009 saat berbagai calon mulai memobilisasi dukungan dari kelompok etnis lokal, agama, dan komunitas lainnya. Ini terjadi 10 tahun sesudah transisi Indonesia. </p>
<p>Bahkan, pemilihan gubernur Jakarta pada 2017 terjadi kira-kira dua dekade setelah transisi demokrasi Indonesia. </p>
<p>Lalu, mengapa politikus Indonesia meningkatkan penggunaan isu etnis dan agama dalam beberapa tahun terakhir?</p>
<p>Dalam mempelajari hal tersebut, saya menemukan bahwa reformasi pemilu legislatif yang dilakukan tahun 2009 - yang menentukan bahwa kandidat akan memenangkan kursi berdasarkan jumlah suara yang ia peroleh, memiliki peran kunci dalam munculnya politik etnis dan agama.</p>
<h2>Reformasi elektoral</h2>
<p>Sebelum 2009, Indonesia menggunakan sistem proporsional daftar tertutup.</p>
<p>Dalam sistem ini, partai mengajukan daftar peringkat calon legislatif untuk setiap daerah pemilihan. Konstituen pun kemudian memilih partai, bukan individu. </p>
<p>Partai memberikan jatah kursi yang mereka menangkan pada para kandidat berdasarkan peringkat calon di daftar, mulai dari yang paling atas.</p>
<p>Pada pemilu 2009, daftar kandidat berubah dari tertutup menjadi terbuka. Pergantian ini hasil dari <a href="https://www.academia.edu/30169302/Indonesias_2009_Elections_The_New_Electoral_System_and_the_Competing_Parties">keputusan Mahkamah Konstitusi</a> pada Desember 2008. </p>
<p>Putusan tersebut didukung oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat dan pengamat media yang mengklaim bahwa sistem baru itu bisa mengurangi kekuatan elite dalam mengontrol partai politik Indonesia. </p>
<p>Hal ini berarti, masyarakat dapat memilih kandidat individu, dan partai harus mengalokasikan kursinya kepada kandidat yang memiliki suara tertinggi dalam pemilihan. </p>
<p>Perubahan ini membawa dampak drastis pada cara para kandidat berkampanye. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/politik-di-tengah-pandemi-pertimbangan-untuk-meniadakan-pilkada-2020-137931">Politik di tengah pandemi: pertimbangan untuk meniadakan Pilkada 2020</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kampanye pemilu</h2>
<p>Untuk memahami dampak dari perubahan aturan ini terhadap berbagai perilaku kampanye, saya mempelajari ratusan berita koran tentang pemilu yang terbit sejak 1997-2004 dan membandingkan dengan berita pada periode 2009-2014.</p>
<p>Berita-berita tersebut diambil dari <em>Waspada</em>, sebuah surat kabar lokal besar yang melayani pembaca di berbagai daerah di Sumatra Utara. Dalam studi saya, setiap berita dikategorikan sesuai tipe acara kampanye, dukungan, dan upaya menarik dukungan dari kelompok tertentu. </p>
<p>Hasil dari sebelum pemilu 2009 menunjukkan bahwa kandidat berkampanye utamanya dalam acara kampanye besar partai bersama dengan pemimpin partai dan kandidat lainnya. </p>
<p>Para kandidat mencari dukungan dari pemimpin partai di tingkat daerah dan nasional serta berbicara pada pendukung setia partai.</p>
<p>Karena sistem yang tertutup, kandidat fokus untuk memenangkan suara untuk partai dan berupaya berada pada peringkat tinggi dalam daftar calon. </p>
<p>Untuk meyakinkan para pemimpin partai yang mengatur daftar calon dan membantu partai mendapatkan suara, para kandidat perlu menunjukkan loyalitas mereka terhadap partai dan mengkampanyekan program dan kepemimpinan partai. </p>
<p>Oleh karena itu, kampanye saat itu menjadi sangat partai-sentris. </p>
<p>Sejak 2009, karena konstituen dapat memilih kandidat tertentu, para pemilih menjadi lebih tertarik untuk mengetahui siapa-siapa saja kandidat ini. </p>
<p>Untuk memenangkan suara individu, kandidat mengubah taktik mereka. Di samping meyakinkan para pemimpin partai, mereka mulai fokus pada kelompok-kelompok pemilih terutama kelompok etnis, agama, dan komunitas lokal. </p>
<p>Ini tentu tidak mengejutkan, karena kelompok-kelompok ini membentuk jalinan masyarakat Indonesia. </p>
<p>Pemberitaan menceritakan perubahan ini. </p>
<p>Sejak 2009, para kandidat semakin sering bertemu dengan kelompok etnis dan agama skala kecil ketimbang terlibat kampanye besar.</p>
<p>Mereka berkampanye lebih banyak dengan pemimpin lokal ketimbang pimpinan partai, berusaha menciptakan kedekatan etnis dan agama, dan mengubah fokus pesan dari partai menjadi karakter, pengalamann, dan layanan mereka masing-masing.</p>
<p>Secara keseluruhan, pemilihan legislatif menjadi lebih kandidat-sentris. </p>
<p>Sebagian dari kita bisa berprasangka bahwa kandidat-kandidat politik itu hanya berusaha menarik dukungan dari kelompok etnis dan agama mereka sendiri serta berusaha untuk mendominasi kelompok di luar. </p>
<p>Namun, kenyataannya tidak demikian. </p>
<p>Saya menemukan bahwa pesan-pesan kandidat cenderung positif dan mereka menghindari pendekatan negatif atau strategi yang menjauhkan kelompok etnis atau agama lain. </p>
<p>Lebih lanjut, di daerah yang beragam, jamak bagi kandidat untuk mengunjungi, meyakinkan, dan menerima dukungan dari kelompok etnis dan agama lain. </p>
<p>Secara keseluruhan, aturan yang berpusat pada kandidat justru memperkuat hubungan pribadi antara pemilih dan wakil mereka: sekarang masyarakat Indonesia diberikan lebih banyak informasi tentang kandidat dan memiliki lebih banyak waktu untuk terlibat dengan mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/celah-hukum-dalam-aturan-dana-kampanye-pilkada-serentak-2020-bisa-picu-banyak-kecurangan-138202">Celah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pilkada 2020</h2>
<p>Meskipun penelitian saya berfokus pada pemilihan legislatif (pileg) Indonesia, terdapat sebuah hubungan antara penemuan di pileg sejak 2009 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang jauh lebih fokus pada kandidat. </p>
<p>Dalam pilkada, pendekatan kelompok etnis lokal, agama, dan komunitas lain melalui acara kecil, pernyataan dukungan, dan permintaan dukungan sudah sangat lazim. </p>
<p>Akan tetapi, menurut saya, kampanye pilkada 2020 <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/21/regional-races-cant-wait-until-the-pandemic-is-over-state-palace-says-amid-criticism.html">mendatang</a> akan cukup berbeda karena dampak pandemi COVID-19. </p>
<p>Pertama dan terutama, acara kampanye langsung seperti yang saya bahas di atas akan dibatasi, sehingga kandidat baru akan memiliki kesempatan lebih sedikit untuk bertemu tatap muka dengan kelompok etnis, agama, dan komunitas. Ini menjadi keuntungan bagi petahana. </p>
<p>Namun, karena acara seperti ini telah menjadi bagian utama dalam kampanye Indonesia, kita dapat menduga akan terjadi beberapa pelanggaran terhadap pembatasan ini. </p>
<p>Dalam tahap pendaftaran pada awal September sudah terlihat <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/08/bawaslu-records-243-health-protocol-violations-during-regional-elections-registration.html">berbagai pelanggaaran</a> pada protokol kesehatan. </p>
<p>Kedua, para kandidat akan lebih sering menggunakan media lain seperti poster, media lokal, radio, media sosial, dan pertemuan virtual untuk terhubung dengan pemilih. </p>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1540-5907.2005.00143.x">Penelitian</a> di Amerika Serikat telah menemukan bahwa konten media politik dapat menginformasikan dan memobilisasi para pemilih untuk termotivitasi melihat informasi politik.</p>
<p>Meskipun demikian, cara ini akan berdampak kecil kepada mereka yang tidak tertarik pada politik. </p>
<p>Secara keseluruhan, kampanye yang didorong oleh media cenderung memiliki efek lebih terbatas dalam pengetahuan politik dan partisipasi politik pemilih. Beberapa bukti menunjukan bahwa cara ini bahkan dapat mendorong meningkatnya sikap apatisme pada politik. </p>
<p>Terakhir, pemilu yang demokratis ini kemungkinan akan terganggu oleh partisipasi pemilih yang lebih rendah karena kekhawatiran wabah. </p>
<p>Oleh karena itu, kita dapat memprediksi bawah masa kampanye 2020 akan menjadi masa kampanye yang tidak biasa. </p>
<p>Dalam situasi yang mendorong para kandidat untuk berinovasi, calon yang sudah terkenal dan mampu secara efektif menggunakan baik media tradisional dan media digital untuk memobilisasi dukungan akan memiliki peluang sukses lebih besar dalam pilkada nanti. </p>
<hr>
<p><em>Wiliam Reynold menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/147187/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Artikel ini didukung oleh hibah dari The Konosuke Matsushita Memorial Foundation.</span></em></p>Sebuah perubahan penting sistem pemilihan pada 2009 menggeser fokus pemilu dari partai politik kepada masing-masing kandidat.Colm Fox, Assistant Professor of Political Science, Singapore Management UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1436072020-08-04T10:01:39Z2020-08-04T10:01:39ZGibran lawan kotak kosong di Solo? Begini mekanisme calon tunggal dalam Pilkada<p>Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mendapat dukungan sangat kuat sebagai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200717143735-32-525888/pdip-resmi-usung-gibran-putra-jokowi-calon-wali-kota-solo">calon wali kota Surakarta</a> di Jawa Tengah hingga terbuka kemungkinan ia menjadi calon tunggal dalam pemilihan tersebut.</p>
<p>Gibran awalnya mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memiliki 30 kursi dari total 45 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta. </p>
<p>Ia kemudian mendapat <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200803143931-32-531639/gerindra-resmi-ikut-usung-gibran-rakabuming-di-pilkada-solo">dukungan</a> dari Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Golkar, yang masing-masing menguasai tiga kursi di DPRD.</p>
<p>Dengan dukungan 39 kursi di DPRD, besar kemungkinan Gibran menjadi satu-satunya calon wali kota Surakarta untuk periode 2020-2025 yang pemilihannya dijadwalkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-menghindari-bias-kognitif-dalam-memilih-pemimpin-yang-baik-saat-pemilu-142664">Pentingnya menghindari bias kognitif dalam memilih pemimpin yang baik saat pemilu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mekanisme calon tunggal</h2>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt578e1c1341856/undang-undang-nomor-10-tahun-2016">Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2016</a> tentang Pilkada mensyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika memiliki minimal 20 persen dari total kursi DPRD.</p>
<p>Di Surakarta, ini berarti pasangan calon membutuhkan dukungan minimal 9 kursi.</p>
<p>UU tersebut juga menjelaskan mengenai mekanisme calon tunggal. Ada lima kemungkinan calon tunggal akan melenggang dalam Pilkada.</p>
<p>Pertama, calon tunggal terjadi jika sampai batas akhir pendaftaran dan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya ada satu calon yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).</p>
<p>Kedua, terdapat beberapa pasangan yang mendaftar akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KPUD hanya satu pasangan yang memenuhi syarat, dan setelah masa pendaftaran diperpanjang terdapat pasangan lain mendaftar akan tetapi tidak memenuhi syarat. </p>
<p>Ketiga, beberapa pasangan memenuhi syarat pendaftaran, namun sejak masa penetapan calon sampai dimulainya masa kampanye terdapat pasangan lain yang berhalangan tetap seperti kandidat meninggal dunia atau kandidat tidak dapat melaksanakan tugas secara permanen.</p>
<p>Calon tunggal terjadi jika parpol atau koalisi parpol pendukung pasangan yang berhalangan tersebut tidak mengusulkan pergantian calon atau calon pengganti yang diajukan tidak memenuhi syarat.</p>
<p>Keempat, calon tunggal juga bisa terjadi jika sejak kampanye dimulai sampai dengan pemungutan suara, ada pasangan calon lain berhalangan tetap dan parpol atau koalisi parpol tidak mengusulkan pengganti atau mengajukan pengganti tapi tidak memenuhi syarat.</p>
<p>Kelima, calon tunggal juga bisa terjadi jika pasangan calon lain terdiskualifikasi seperti memalsukan ijazah atau petahana menggunakan fasilitas negara bagi kepentingan kampanye sehingga menyebabkan satu pasangan calon yang memenuhi syarat. </p>
<p>Secara teknis, pelaksanaan pemilihan calon tunggal tidak jauh berbeda dengan pemilihan dengan pasangan calon lebih dari satu. </p>
<p>Pemilih akan disuguhi dua kotak dalam kertas suara. Kotak pertama adalah gambar pasangan calon tunggal dan kotak kedua adalah kotak kosong yang tidak bergambar. </p>
<p>Setiap pemilih diminta untuk mencoblos salah satu kotak tersebut. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/celah-hukum-dalam-aturan-dana-kampanye-pilkada-serentak-2020-bisa-picu-banyak-kecurangan-138202">Celah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bagaimana jika calon tunggal kalah?</h2>
<p>Kotak kosong menang jika calon tunggal tidak mampu mendapatkan suara lebih dari
50 persen dari suara sah.</p>
<p>Jika ini terjadi, UU mengamanatkan pemilihan ulang pada periode pemilihan serentak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/06/27/18000791/bagaimana-jika-kotak-kosong-menang-pilkada?page=all">berikutnya</a>. </p>
<p>Calon tunggal yang dinyatakan “kalah” dapat kembali mencalonkan diri dengan mengikuti mekanisme awal termasuk juga susunan parpol pendukung yang mungkin saja berbeda. </p>
<p>Secara politik, tidak ada jaminan parpol atau koalisi parpol lama akan mendukung calon tunggal yang kalah tersebut.</p>
<p>Pada Pilwalkot Makassar di Sulawesi Selatan pada 2018, <a href="https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180709093718-32-312619/kotak-kosong-menang-wali-kota-makassar-di-tangan-kemendagri">kotak kosong dinyatakan menang</a> dengan memperoleh 53 persen suara sedangkan calon tunggal, pasangan Munaffri Arifuddin-Rachmatika Dewi, hanya memperoleh 47 persen suara. </p>
<p>Karena tidak ada ada pasangan calon terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat sementara untuk memimpin hingga pemilihan berikutnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-temukan-tiga-penyebab-praktik-kecurangan-pada-pemilu-2014-dan-2019-130188">Riset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Calon tunggal dalam demokrasi</h2>
<p>Keberadaan calon tunggal dapat dikaitkan dengan <a href="https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/54621/INDO_96_0_1381338354_11_34.pdf?sequence=1">kemunduran demokrasi</a> dan menguatnya oligarki politik.</p>
<p>Mekanisme pemilihan di Indonesia saat ini sangat berbasis pasar dan modal sehingga memunculkan kesempatan bagi satu kelompok politik untuk mendominasi.</p>
<p>Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa seseorang butuh dana setidaknya <a href="https://nasional.tempo.co/read/1273602/ongkos-pilkada-mahal-tito-karnavian-yang-gak-bayar-ketemu-saya/full&view=ok">Rp30 miliar</a> jika ingin menjadi calon bupati.</p>
<p>Pilkada Indonesia sangat pragmatis dan menyebabkan dinamika politik yang mendorong munculnya calon tunggal dalam arena Pilkada. </p>
<p>Menurut saya ada beberapa sebab mendasar munculnya calon tunggal.</p>
<p>Pertama, ada satu kelompok politik yang terlalu menguasai dan dominan sehingga tidak terdapat ruang interaksi kekuasaan yang berimbang. </p>
<p>Hal ini diperparah dengan kepentingan elite untuk selalu berada dalam lingkaran kekuasaan. </p>
<p>Pada posisi inilah Gibran berada. </p>
<p>Dominasi PDI-P di Surakarta, mesin elektoral Jokowi, dan kekuatan modal adalah tiga unsur begitu kuatnya posisi Gibran dalam arena politik di Surakarta.</p>
<p>Kedua, ada kandidat yang sangat populer dan tingkat elektabilitas tinggi, sehingga calon yang lain melihat tidak ada peluang mengalahkan kandidat tersebut. </p>
<p>Ini biasanya terjadi pada kandidat dengan posisi petahana yang memiliki modal konstituen.</p>
<p>Sebenarnya, keberadaan “kotak kosong” dapat menjadi simbol perlawanan publik terhadap kepentingan elite. </p>
<p>Kemenangan kotak kosong pada Pilwalkot Makasar 2018 menunjukkan bahwa keinginan elite dan publik tidak selalu berbanding lurus. </p>
<p>Mekanisme kotak kosong setidaknya dapat menjadi metode untuk memperkecil dominasi kepentingan elite terhadap kehendak publik. </p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143607/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arizka Warganegara tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Undang-undang telah mengatur soal calon tunggal dalam Pilkada, termasuk jika kotak kosong menang.Arizka Warganegara, Lecturer at Department of Government Studies, Universitas LampungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1301882020-01-30T01:44:29Z2020-01-30T01:44:29ZRiset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/312187/original/file-20200128-81395-141muhy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=147%2C278%2C4734%2C2940&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Made Nagi/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Wahyu Setiawan, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) awal bulan ini karena diduga menerima <a href="https://nasional.tempo.co/read/1296306/kpk-panggil-harun-masiku-sebagai-tersangka-suap-komisioner-kpu">suap</a> dari politikus.</p>
<p>Wahyu diduga menerima suap untuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/11/07520671/akhir-kiprah-wahyu-setiawan-di-kpu-ditahan-kpk-dan-mengundurkan-diri?page=all">menjamin</a> agar politikus PDI Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku bisa ditetapkan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024. Wahyu diduga meminta uang hingga Rp 900 juta ke Harun.</p>
<p>Kasus tersebut merupakan salah satu bentuk kasus malapraktik dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. </p>
<p><a href="https://www.kcl.ac.uk/people/sarah-birch">Sarah Birch</a>, profesor ilmu politik di King’s College London, Inggris, <a href="https://www.researchgate.net/publication/288050847_Electoral_Malpractice">menjelaskan</a> malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi untuk mengganggu proses dan hasil pemilu sehingga kepentingan publik digantikan oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut. </p>
<p>Saya bersama rekan-rekan saya telah melakukan penelitian tentang malapraktik yang terjadi pada pemilu 2014 dan 2019, dan menemukan tiga penyebab mengapa praktik kecurangan terus terjadi pada penyelenggaraan pemilu di Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">Memahami cara kerja _buzzer_ politik Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Penyebab kecurangan</h2>
<p>Ada tiga penyebab malapraktik pemilu masih kerap terjadi di Indonesia. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, relasi patronase yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, calon legislatif (caleg) dan pemilih. Patronase politik adalah penggunaan sumber daya untuk memberikan imbalan kepada individu yang telah memberikan dukungan elektoral.</p>
<p>Setiap caleg atau pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) merasa perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, patronase, ataupun kekerabatan demi kemenangan yang ingin diperoleh. </p>
<p>Relasi yang terbangun ini melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Aspek material adalah biaya politik; sementara non-material berupa hubungan yang bersifat sosial dan kultural yang disebabkan karena kekerabatan ataupun hubungan kedekatan secara personal. </p>
<p>Ini yang terjadi pada kasus Wahyu di atas.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, sistem pemilu yang ada mendorong caleg menghalalkan segala cara untuk menang. Sistem pemilu legislatif Indonesia adalah <em>open list proporsional representation</em>, yaitu seorang caleg dapat terpilih karena mendapatkan suara terbanyak dalam daftar terbuka di partainya. Dalam sistem tertutup – yang pernah digunakan di pemilu sebelum 2004, terpilihnya seorang caleg ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. </p>
<p>Sistem ini mendorong para caleg berlomba-lomba mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. Salah satu akibatnya, kompetisi para caleg di internal partai sangat ketat dan keras. </p>
<p>Caleg yang merasa punya potensi kemenangan besar akan melakukan manipulasi suara dengan penggelembungan ataupun pengurangan suara dari lawannya sesama partai, ketimbang lawan dari partai lain. </p>
<p>Tahun lalu misalnya, Amran, seorang caleg DPRD Kabupaten Bintan, Riau, dari Golkar mengajukan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/08/07/07105071/67-gugatan-pileg-2019-diputuskan-mk-hanya-3-yang-dikabulkan-sebagaian?page=all">gugatan</a> ke Mahkamah Konstitusi di pemilu 2019 terhadap rekan separtainya, Aisyah. Amran mengklaim kehilangan sejumlah suara di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Bintan Timur dan, di saat yang bersamaan, Aisyah mendapat tambahan suara.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang. </p>
<p>Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. </p>
<p>Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan. </p>
<p>Secara blak-blakan seorang calon anggota legislatif Partai Perindo mengatakan telah membayar Rp 600 juta kepada 10 dari 12 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/06/17/17435481/10-anggota-ppk-di-karawang-mengaku-terlibat-jual-beli-suara-dengan-caleg">Karawang</a>, Jawa Barat, pada 2019.</p>
<p>Sistem penyelenggaraan pemilu kita sebenarnya telah berupaya agar proses pelaksanaan pemilu dapat bekerja transparan dan akuntabel. KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) memiliki sistem pengendalian dan pengawasan kepada seluruh aparat di bawahnya.</p>
<p>Namun, malapraktik terjadi karena memang para caleg yang merasa perlu untuk “mengotak-atik” proses demi keuntungan pribadi dan kelompoknya harus melibatkan para penyelenggara pemilu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/semakin-banyak-perempuan-di-dpr-tapi-riset-ungkap-kehadiran-mereka-mungkin-tidak-signifikan-125013">Semakin banyak perempuan di DPR, tapi riset ungkap kehadiran mereka mungkin tidak signifikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kaitan dengan riset lain</h2>
<p>Studi kami memperkaya berbagai kajian terkait dengan malapraktik pemilu yang sedang berkembang di dunia seperti yang telah dilakukan oleh Sarah Birch. </p>
<p>Berbagai studi telah mengidentifikasi adanya manipulasi terhadap hasil pemilu di Indonesia dengan titik tekan yang berbeda.</p>
<p>Edward Aspinall, profesor politik di Australian National University, Australia, dan Mada Sukmajati dosen ilmu politik dan pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, <a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/electoral-dynamics-in-indonesia-money-politics-patronage-and-clientelism-at-the-grassroots">menjelaskan</a> bahwa jual beli suara (<em>vote buying</em>) yang terjadi di banyak lokasi di Indonesia disebabkan oleh ikatan-ikatan yang terjalin antara caleg dan kelompok pemilih. Hal yang sama juga terjadi melalui relasi dan kedekatan antara caleg dengan para penyelenggara pemilu.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/publikasi/buku-pembiayaan-pemilu">sebuah kumpulan riset</a> yang diterbitkan Bawaslu menyebut bahwa salah satu aspek penting dalam manipulasi adalah arus uang dalam pemilu, seperti yang dilakukan oleh caleg Perindo di Karawang ataupun kasus Golkar di Bintan. </p>
<p>Seorang caleg, misalnya, mempersiapkan sejumlah uang untuk menyuap petugas dalam memanipulasi hasil pemilu, baik di level TPS hingga kabupaten/kota tempat proses rekapitulasi penghitungan suara masih dapat diganggu. Untuk melakukan tindakan manipulasi, para aktor ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.</p>
<p>Dalam penelitian lain saya bersama kolega di Universitas Indonesia sebelumnya tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kami menemukan bahwa walau para penyelenggara pemilu di semua tingkatan telah dan selalu diingatkan dalam aspek integritas, kasus-kasus yang menyangkut kemandirian dan profesionalitas para penyelenggara pemilu tidak berkurang sama sekali. </p>
<p>Antara tahun 2018 dan 2019, ada <a href="https://www.wartaekonomi.co.id/read261724/soal-dugaan-pelanggaran-kode-etik-pemilu-2019-dkpp-ambil-langkah-tegas.html">1.030 kasus pengaduan</a> yang diterima oleh DKPP. Sebanyak 650 kasus disidangkan dan 144 orang penyelenggara pemilu diberhentikan tetap.</p>
<p>Tahun ini <a href="https://otda.kemendagri.go.id/berita-dan-informasi/pilkada-serentak-digelar-23-september-2020-ini-tahapannya/">pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak</a> akan dilakukan pada September. Malapraktik ini sulit dihentikan kecuali para penyelenggara pemilu memiliki tekad kuat untuk tidak melakukan tindakan curang sekecil apapun. </p>
<p>Publik, lewat lembaga masyarakat sipil ataupun media massa, bisa dan harus terus memperkuat pemantauan penyelenggaraan pemilu di semua daerah sehingga para kandidat dan para penyelenggara pemilu kesulitan untuk berkongsi untuk melakukan kecurangan. </p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130188/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aditya Perdana menerima dana dari Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi dalam penelitian ini di kurun waktu 2017-2020. </span></em></p>Kecurangan terjadi karena kuatnya hubungan antara penyelengggara pemilu dan caleg, sistem pemilihan yang mendorong kompetisi keras, dan lemahnya sistem pendukung pemilihan.Aditya Perdana, Assistant Professor, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1294612020-01-09T02:03:28Z2020-01-09T02:03:28ZMengapa orang-orang memilih politikus yang jelas-jelas tukang bohong<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/308778/original/file-20200107-123399-1uvpcmp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">'Saya juga tidak percaya saya masih memegang jabatan ini.'</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/hershey-pa-december-10-2019president-donald-1586066944">Evan El-Amin/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Baru-baru ini, Inggris memilih perdana menteri <a href="https://www.theguardian.com/law/video/2019/sep/24/supreme-court-rules-prorogation-unlawful-void-and-of-no-effect-video">yang secara tidak sah membekukan parlemen</a> untuk menghindari penyelidikan demokratis dan yang secara terang-terangan mengeluarkan pernyataan palsu, kapan pun ia mau. </p>
<p>Boris Johnson dengan santai menyangkal keberadaan media <a href="https://www.independent.co.uk/voices/boris-johnson-hospital-labour-activist-nhs-whipps-cross-london-a9112361.html">di depan kamera TV</a> dan ia <a href="https://www.theguardian.com/politics/2019/nov/08/boris-johnson-goods-from-northern-ireland-to-gb-wont-be-checked-brexit">mengelak tentang elemen inti</a> perjanjian Brexit yang dia susun, seperti perlunya pemeriksaan pabean antara Inggris dan Irlandia Utara.</p>
<p>Pada 2016, pemilih Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada pilihan antara seorang kandidat presiden yang 75% pernyataan kampanyenya akurat dan kandidat lainnya yang 70% klaimnya salah <a href="https://www.politifact.com/truth-o-meter/lists/people/comparing-hillary-clinton-donald-trump-truth-o-met/">menurut salah satu lembaga pengecekan fakta</a>. Orang Amerika kemudian memilih Donald Trump yang telah membuat <a href="https://www.washingtonpost.com/graphics/politics/trump-claims-database/">lebih dari 13.000 klaim salah atau menyesatkan</a> sejak menjabat.</p>
<p>Tingkat kepuasan publik (<em>approval rating</em> Trump) terhadap <a href="https://news.gallup.com/poll/203207/trump-job-approval-weekly.aspx">cenderung stabil selama dua tahun</a> dan sebanyak 77% Republikan <a href="https://bit.ly/2FoZhqd">menganggapnya jujur</a>. Johnson terpilih dengan kemenangan telak dan <a href="https://www.express.co.uk/news/politics/1179256/boris-johnson-news-prorogue-parliament-suspension-court-poll-brexit-the-queen">lebih dari setengah penduduk Inggris tidak peduli</a> dengan tindakan Johnson yang membekukan parlemen.</p>
<p>Kenapa ini bisa terjadi? Mengapa para demagog tukang bohong memiliki daya tarik dalam masyarakat yang memiliki sejarah panjang demokrasi dan empirisme?</p>
<p>Apakah orang-orang tidak peka terhadap kebohongan? Apakah mereka tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah? Apakah orang-orang tidak lagi peduli pada kebenaran?</p>
<p>Jawabannya bergantung dan bertumpu pada perbedaan antara pemahaman konvensional kita mengenai kejujuran dan gagasan “keaslian”. Elemen utama dari kejujuran adalah akurasi faktual, sedangkan elemen utama dari keotentikan adalah keselarasan antara persona pribadi dan persona publik dari seorang politikus.</p>
<p>Penelitian tim saya telah menunjukkan bahwa pemilih Amerika - termasuk pendukung Trump - <a href="http://dx.doi.org/10.1098/rsos.160802">responsif terhadap koreksi kebohongan Trump</a>. Saat publik mengetahui bahwa sebuah klaim itu salah, tingkat kepercayaan mereka pada klaim tersebut juga berkurang.</p>
<p>Namun, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara berkurangnya kepercayaan mereka dan perasaan mereka terhadap Trump di antara para pendukungnya. Dukungan publik tetap stabil, walau mereka menyadari pernyataan Trump tidak akurat.</p>
<p>Pemilih bisa jadi memahami dengan baik bahwa seorang politikus berbohong, dan mereka mungkin mengabaikan kebohongan itu ketika ditunjukkan kebenarannya. Tapi pemilih yang sama, tampaknya, menerima dibohongi tanpa ada dampak pada kandidat favoritnya. </p>
<p>Putusnya hubungan antara persepsi akurasi dan dukungan untuk politikus ini telah <a href="http://dx.doi.org/10.1111/pops.12586">diperlihatkan berulang kali</a> oleh tim kami dan juga <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11109-019-09528-x">peneliti lain yang menggunakan metodologi berbeda</a>.</p>
<p>Tapi bukan berarti orang-orang telah tidak peduli akan kebenaran dan kejujuran dalam politik sama sekali.</p>
<p>Penelitian yang dipimpin oleh Oliver Hahl dari Carnegie Mellon University <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0003122417749632">telah mengidentifikasi keadaan khusus</a> ini, yaitu orang menerima politikus yang berbohong. </p>
<p>Ketika orang merasa kehilangan haknya dan terpinggirkan dari sistem politik, mereka kemudian menerima kebohongan dari seorang politikus yang mengklaim diri membela “rakyat” melawan “kemapanan” atau “elite”. Dalam keadaan-keadaan khusus tersebut, perilaku pelanggaran mencolok terhadap hal-hal yang diperjuangkan oleh elite ini - seperti kejujuran atau keadilan - dapat menjadi sinyal bahwa politikus tersebut adalah pejuang sejati “rakyat” melawan “kemapanan”.</p>
<p>Untuk politikus populis, seperti Trump dan Johnson, yang secara eksplisit mengadu antara sesuatu yang dimitoskan sebagai rakyat melawan sesuatu yang dimitoskan sebagai elite, perbuatan terang-terangan mengabaikan fakta justru mempertegas keotentikan mereka di mata para pendukung.</p>
<p>Berapa pun banyaknya pengecekan fakta tidak akan mengurangi daya tarik Trump, Johnson, Rodrigo Duterte (Presiden Filipina), Jair Bolsonaro (Presiden Brasil) atau demagog populis lainnya di seluruh dunia.</p>
<p>Untuk melemahkan demagog dan membuat kebohongan tidak dapat diterima lagi, kepercayaan pemilih terhadap sistem politik harus dipulihkan. </p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0003122417749632">Penelitian oleh Hahl dan koleganya</a> juga menunjukkan bahwa ketika orang-orang menganggap sistem politik itu sah dan adil, mereka menolak politikus yang berbohong dan mereka benci dibohongi. </p>
<p>Jadi, kunci untuk bergerak maju adalah mengupayakan politik yang dapat mengurangi daya tarik demagog populis dan memberi keuntungan pada politikus agar lebih jujur.</p>
<p>Tidak ada resep yang cepat dan mudah untuk proses ini. Tapi jelas bahwa rakyat AS perlu memiliki pembahasan politis tentang ketimpangan pendapatan. Pada tahun 2015, 24 manajer pengelola investasi global menghasilkan uang lebih banyak daripada seluruh guru taman kanak-kanak di AS, dan sekarang miliarder membayar tarif pajak yang lebih rendah <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2019/10/06/opinion/income-tax-rate-wealthy.html">daripada semua orang AS</a>. Tidak mengherankan bahwa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/casp.2409">ketimpangan telah diidentifikasi</a> sebagai salah satu variabel yang menyebabkan turunnya legitimasi demokrasi di mata orang banyak. </p>
<p>Johnson <a href="https://www.theguardian.com/politics/2019/dec/09/refuses-to-look-at-picture-of-boy-forced-to-sleep-on-hospital-floor">menolak untuk melihat foto</a> seorang anak laki-laki penderita pneumonia yang dipaksa tidur di lantai rumah sakit. Ketika pelayanan kesehatan seperti itu tidak dapat lagi diterima dan begitu anak-anak yang sakit menemukan tempat yang baik di rumah sakit, kebohongan Johnson tidak akan lagi menjadi daya tarik. </p>
<h2>Cara lain yang memungkinkan</h2>
<p>Sangat menggembirakan untuk mengetahui bahwa di negara lain dengan struktur dan kebijakan politik yang berbeda, pemilih tidak menoleransi kebohongan politikus. <a href="http://dx.doi.org/10.1098/rsos.180593">Penelitian yang dilakukan oleh tim saya di Australia</a> telah menunjukkan bahwa pemilih Australia akan mengurangi dukungan pada politikus yang diketahui tidak jujur.</p>
<p>Menggunakan metodologi yang persis paralel dengan <a href="http://dx.doi.org/10.1111/pops.12586">penelitian kami terhadap pemilih di Amerika</a>, kami menemukan bahwa, tidak seperti di Amerika, koreksi atas kesalahan politikus membuat pemilih Australia cenderung tidak mendukung mereka. Efek ini muncul tidak terpengaruh pilihan politik, artinya pemilih tidak menoleransi kebohongan bahkan yang datang dari kubu mereka sendiri.</p>
<p>Di Australia, memilih itu wajib dan preferensial. Seluruh warga wajib memilih atau jika tidak bisa didenda; pemilihan dilakukan dengan memberi peringkat pada seluruh partai politik. Cara semacam ini membantu mencegah polarisasi politik; ini menegaskan bahwa sebuah sistem politik dapat menentukan kesejahteraan sebuah negara.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/what-would-the-british-parliament-look-like-under-proportional-representation-128808">What would the British parliament look like under proportional representation?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129461/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephan Lewandowsky receives funding from the Australian Research Council, the Volkswagen Foundation, and the ESRC. He is an occasional and unpaid adviser to Facebook and Google, and he has contributed to work by the Joint Research Centre of the European Commission.</span></em></p>‘Mereka bisa jadi tukang bohong, tapi paling tidak mereka jujur.’Stephan Lewandowsky, Chair of Cognitive Psychology, University of BristolLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1233602019-09-12T07:48:17Z2019-09-12T07:48:17Z4 alasan mengapa media sosial bisa salah membaca opini publik dalam pemilu di Amerika Serikat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/292112/original/file-20190912-190050-13fkpgc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Online discussion doesn’t always accurately reflect the real political landscape.
Diskusi online tidak selamanya menggambarkan peta politik secara akurat.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/indianapolis-indiana-usa-april-26-2019-1383908771?src=h7375V6PyLfay2OpuVM1ZQ-1-32">Russ Vance/Shutterstock.com </a></span></figcaption></figure><p>Saya kerap menemukan mitos dan kesalahpahaman tentang data politik, baik dalam <a href="https://scholar.google.com/citations?user=j4_2N9kAAAAJ&hl=en">kelas yang saya ajar</a> atau dalam pemberitaan media.</p>
<p>Yang paling sering dijumpai adalah pernyataan bahwa hasil survei zaman sekarang <a href="https://www.usatoday.com/story/news/politics/onpolitics/2016/08/25/record-polls-all-wrong-says-pollster-kellyanne-conway-donald-trump-hillary-clinton/89322686/">tidak akurat</a>. Namun, <a href="https://fivethirtyeight.com/features/the-polls-are-all-right/">seperti yang ditunjukkan oleh situs berita <em>FiveThirtyEight</em></a>, hasil jajak pendapat tetap akurat dari tahun ke tahun.</p>
<p>Masalah jajak pendapat banyak dibahas setelah pemilihan umum 2016 di Amerika Serikat (AS), <a href="https://www.nytimes.com/2017/05/31/upshot/a-2016-review-why-key-state-polls-were-wrong-about-trump.html">ketika hasil survei salah memprediksi</a> kemenangan Donald Trump. Namun, hanya sedikit perhatian yang diberikan pada penilaian opini publik di Facebook atau Twitter.</p>
<p>Anda mungkin telah melihat beberapa berita utama, seperti “<a href="https://forward.com/schmooze/419611/bernie-sanders-is-running-for-president-and-twitter-is-exploding/">Bernie Sanders mencalonkan diri sebagai presiden, Twitter heboh</a>” dan “<a href="https://www.usatoday.com/story/news/politics/2018/09/09/joe-biden-returns-instagram-draws-1-million-followers/1250061002/">Kembalinya Joe Biden ke Instagram menarik 1 juta pengikut</a>.”</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1039023177572265985"}"></div></p>
<p>Sama halnya dengan obsesi publik terhadap hasil survei, pemberitaan juga sering didorong berbagai hal, mulai dari jumlah pengikut seseorang hingga apakah ada komentar negatif terhadapnya.</p>
<h2>Salah prediksi</h2>
<p>Ada berbagai alasan yang menjadikan metrik media sosial penting, namun hanya dua yang utama. </p>
<p>Pertama, <a href="https://sciencepolicy.colorado.edu/about_us/meet_us/max_boykoff/readings/parmelee_2013.pdf">diskusi online</a> dapat memengaruhi apa – atau siapa – yang media, atau masyarakat luas bicarakan.</p>
<p>Kedua, media sosial kerap digunakan oleh jurnalis, serta tim sukses politik, untuk menilai <a href="https://doi.org/10.1177/0894439318791527?journalCode=ssce">opini publik</a>.</p>
<p>Pada level paling luas, metrik media sosial, seperti fitur jejak pendapat, digunakan untuk menentukan kandidat mana yang populer. Pada 2016, saya menemukan <a href="https://instituteforpr.org/24491-2/">popularitas Ben Carson</a> mengalahkan kandidat mana pun di Facebook. Tapi kenyataannya dia tidak menjadi presiden.</p>
<p>Bahkan analisis yang lebih mendalam bisa melewatkan realitas yang lebih luas. Sebagai contoh, <a href="https://www.forbes.com/sites/kathleenchaykowski/2016/03/25/why-bernie-sanderss-social-media-followers-are-more-engaged-than-donald-trumps">sebuah artikel dari Forbes pada tahun 2016</a> mencatat keunggulan Bernie Sanders atas Trump perihal keterlibatan dalam media sosial.</p>
<p>Liputan terhadap hal-hal seperti ini dapat menggiring persepsi yang salah tentang kandidat dan isu mana yang harus dibahas, serta pemahaman tentang opini publik yang lebih luas.</p>
<p>Menurut saya, ada beberapa penjelasan sederhana mengapa masyarakat harus berhati-hati menggunakan unggahan atau data dari media sosial sebagai penilaian terhadap realitas yang lebih luas.</p>
<h2>1. Gelembung penyaring</h2>
<p>Jika Anda seorang pecandu isu politik, ada kemungkinan Anda suka membaca berita atau menonton melalui televisi.</p>
<p>Nyatanya, jumlah pelanggan koran di Amerika Serikat merupakan <a href="https://www.journalism.org/fact-sheet/newspapers/">salah satu yang terendah</a> dan <a href="https://www.adweek.com/tvnewser/here-are-the-top-cable-news-shows-of-q2-2019/407842/">kurang dari 2% warga Amerika menonton</a> Fox News, CNN, atau MSNBC pada saat jam tayang utama.</p>
<p>Ada kemungkinan bahwa sebagian besar media tidak menyertakan sumber berita tradisional.</p>
<p>Hal yang sama terjadi di media sosial, karena algoritme yang menyaring berita-berita apa saja yang diterima seseorang.</p>
<p><a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2018/08/15/jack-dorsey-says-hes-rethinking-core-how-twitter-works/">Perusahaan teknologi sudah berencana</a> untuk mengubah cara operasi mereka, tapi sebagian besar perusahaan masih mengandalkan pemberian konten yang relevan untuk tetap bertahan - dengan kata lain, <a href="https://theconversation.com/feedback-loops-and-echo-chambers-how-algorithms-amplify-viewpoints-107935">menciptakan gelembung</a> yang membatasi pandangan seseorang terhadap kenyataan yang lebih luas.</p>
<p><a href="https://www.kqed.org/news/11703717/how-social-media-echo-chambers-drown-out-the-voices-in-the-middle">Tim peneliti dari Universitas Stanford di Amerika Serikat menemukan</a> bahwa gema (<em>echo chamber</em>) dalam media sosial cenderung mematikan suara-suara moderat selama debat tentang isu-isu penting, seperti pembatasan senjata api. Ini akan menyebabkan masalah untuk orang-orang yang ingin mengurai informasi. </p>
<p>Ini juga merupakan masalah yang berdampak bagi <a href="https://www.businessinsider.com/marianne-williamson-won-the-internet-in-the-2020-democratic-debate-2019-7">jurnalis dan liputan mereka yang luas</a>. Algoritme yang sama yang membatasi pandangan publik. </p>
<p>Misalnya, para peneliti menemukan bahwa, ketika jurnalis mengutip dari Twitter, mereka cenderung mengutipnya dari sumber <a href="https://doi.org/10.1080/21670811.2018.1490658">“elit”</a> saja, seperti politisi atau selebriti.</p>
<h2>2. Bias Twitter</h2>
<p>Facebook mungkin mendapat banyak perhatian para pembuat kebijakan karena banyaknya kampanye politik, tapi Twitterlah yang lebih sering dilirik <a href="https://www.pewinternet.org/2016/10/25/political-content-on-social-media/">masyarakat</a> dan <a href="https://www.cjr.org/the_media_today/journalists-on-twitter-study.php">jurnalis</a>.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/21670811.2018.1490658">Satu penelitian menunjukkan</a> bahwa, sepanjang tahun 2016, Twitter digunakan sebagai sumber berita bagi <em>The New York Times</em> sebanyak 12.234 kali dan bagi <em>The Guardian</em> sebanyak 23.164 kali. Sebagai perbandingan, Facebook dikutip oleh <em>The New York Times</em> dan <em>The Guardian</em> masing-masing sebanyak 6.846 dan 7000 kali.</p>
<p>Ada perbedaan yang besar antara Facebook dan Twitter. Facebook digunakan hampir 70% masyarakat AS, tapi <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/10/share-of-u-s-adults-using-social-media-including-facebook-is-mostly-unchanged-since-2018/">Pusat Penelitian Pew menemukan</a> hanya 22% warga AS menggunakan Twitter.</p>
<p>Dengan demikian, hanya seperlima populasi AS yang menggunakan Twitter dalam peliputan politik.</p>
<p>Lebih lanjut, pengguna Twitter hampir tidak mewakili partai yang mereka dukung. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan <a href="https://www.nytimes.com/interactive/2019/04/08/upshot/democratic-electorate-twitter-real-life.html"><em>The New York Times</em></a> menunjukkan bahwa pendukung partai Demokrat di Twitter jauh lebih progresif dan liberal dibandingkan rata-rata pendukung Demokrat lainnya.</p>
<p>Metrik Twitter tidak hanya gagal mengukur banyak warga AS, mereka cenderung hanya mengukur hal-hal yang lebih “kiri” atau “kanan” dari kenyataannya. </p>
<h2>3. Titik buta pemilih tua</h2>
<p>Kesenjangan data ini tumbuh lebih jelas ketika Anda melihat perilaku media sosial secara lebih luas.</p>
<p>Jajak pendapat tradisional mencoba menemukan publik yang mewakili mereka akan ikut memilih. Tidak demikian dengan media sosial.</p>
<p>Pada tahun 2020 diprediksi 23% pemilih berusia <a href="https://www.pewsocialtrends.org/essay/an-early-look-at-the-2020-electorate/">lebih dari 65 tahun</a>. Menurut catatan Pew, ini akan menjadi “yang tertinggi sejak 1970.”</p>
<p>Pertanyaan: siapa yang masih belum menggunakan media sosial?</p>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir penggunaan media sosial telah meluas hingga mereka yang berusia di atas 65 tahun. Namun, <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/10/share-of-u-s-adults-using-social-media-including-facebook-is-mostly-unchanged-since-2018/">tidak ada platform yang digunakan</a> oleh lebih dari 46% dari populasi ini.</p>
<p><iframe id="EyfJN" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/EyfJN/1/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Hanya tujuh persen dari warga di atas 65 tahun yang menggunakan Twitter. Sementara penggunaan Reddit - <a href="https://www.pewinternet.org/2016/10/25/political-content-on-social-media/">platform politik-sentris lain</a> - hanya sebesar 1%.</p>
<p>Ada perbedaan besar antara mereka yang paling mungkin menggunakan media sosial dan mereka yang paling mungkin memilih. Itu menyebabkan masalah besar ketika membandingkan dinamika pemilih yang lebih luas dengan metrik media sosial.</p>
<h2>4. Yang belum diketahui tentang pemilih muda dan beragam</h2>
<p>Ada masalah lain: <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/10/share-of-u-s-adults-using-social-media-including-facebook-is-mostly-unchanged-since-2018/">pemilih berusia 18 sampai 24 tahun kemungkinan besar</a> menggunakan Instagram atau Snapchat seperti mereka menggunakan Facebook.</p>
<p>Karena jurnalis bergantung pada <em>platform</em> seperti Facebook dan Twitter, mereka mungkin melewatkan sesuatu yang juga penting dan ramai diperbincangkan oleh pemilih muda. </p>
<p>Lebih lanjut lagi, orang-orang <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/10/share-of-u-s-adults-using-social-media-including-facebook-is-mostly-unchanged-since-2018/">Afrika Amerika dan Hispanik</a> menggunakan Snapchat dan Twitter lebih intens daripada orang kulit putih. Kini, mayoritas Hispanik menggunakan Instagram, dibanding dengan hanya sepertiga orang kulit putih yang memakai platform itu.</p>
<p>Mengabaikan data media sosial berarti melewatkan beberapa pandangan tentang pemilih. Setiap penilaian data sosial perlu dilakukan hati-hati agar tidak salah dalam membaca apa yang sebenarnya data tunjukkan tentang publik. </p>
<p>Banyak hal yang belum diketahui ketika menganalisis data media sosial - dan para pengumpul data perlu berpikir kritis tentang apa yang sebenarnya para pemilih ini cari.</p>
<p>Jadi, jangan berasumsi bahwa apa yang Anda lihat di media atau media sosial sesuai dengan dinamika yang terjadi di antara calon pemilih, apalagi mereka yang berada di negara bagian, desa, atau demografi tertentu.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/123360/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joseph Cabosky tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Media sosial sering dimanfaatkan untuk mengumpulkan informasi, terutama tentang pemilihan presiden. Namun, hasilnya sering tidak mewakili kenyataan.Joseph Cabosky, Assistant Professor of Public Relations, University of North Carolina at Chapel HillLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1157102019-04-19T00:37:05Z2019-04-19T00:37:05ZSiapa yang tumbuh, stagnan, dan rontok? Analisis hasil ‘quick count’ pileg 2019<p>Hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei Pemilihan Legislatif (pileg) yang digelar serentak dengan Pemilihan Presiden (pilpres) pada Rabu 17 April kemarin menunjukkan bahwa partai berkuasa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), meski memimpin perolehan suara, tidak mengalami lonjakan jumlah suara yang signifikan. </p>
<p>Stagnasi PDI-P menjadi menarik karena hal ini terjadi saat partai lain seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengalami penurunan suara. </p>
<p>Siapa yang mengambil suara dari partai-partai ini? Sebagian mungkin beralih ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang berhasil menyalip ke peringkat dua. Namun, di luar dugaan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengalami pertumbuhan suara paling tinggi tahun ini. </p>
<h2>Para pemain yang berlaga</h2>
<p>Dalam pileg 2019, terdapat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/07/19/16200761/infografik-bakal-caleg-16-parpol-pada-pemilu-2019">16 partai yang bersaing</a> untuk memperebutkan lebih dari <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/explainer-will-the-2019-elections-be-fair/">20.000 kursi</a> di parlemen tingkat nasional dan daerah. </p>
<p>Sebanyak 12 partai sudah pernah berkompetisi di pileg, yaitu PDI-P, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gerindra, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (NasDem), PKS, PPP, Partai Amanat Nasinal (PAN), Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). </p>
<p>Sementara itu partai yang baru kali ini berlaga di pileg adalah Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).</p>
<p>Sebagaimana <a href="https://www.merdeka.com/politik/inilah-prediksi-partai-partai-peraup-banyak-suara-di-pemilu-2019.html">diprediksi</a> oleh berbagai lembaga survei menjelang hari pencoblosan, partai-partai yang bersaing di pileg akan menjumpai persaingan yang sangat ketat untuk mencapai ambang batas parlemen sebesar 4% suara nasional sesuai <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/node/534/undang-undang-nomor-7-tahun-2017">Undang Undang Pemilu (pemilihan umum) No. 7 tahun 2017</a>. </p>
<p>Ketika tidak melewati ambang batas ini, artinya mereka gagal mendapat kursi di parlemen.</p>
<p>Berbagai hasil perhitungan cepat atau <em>quick count</em> perolehan suara partai menunjukkan bahwa pemilih di Indonesia lebih mendukung partai-partai yang <a href="https://www.cnnindonesia.com/pemilu2019/quickcount/pileg/14">sudah mapan</a> dan lebih lama berdiri ketimbang partai baru. </p>
<p>Hal ini sejalan dengan <a href="https://www.merdeka.com/politik/inilah-prediksi-partai-partai-peraup-banyak-suara-di-pemilu-2019.html">perkiraan</a> dari lembaga-lembaga survei yang diumumkan mendekati hari pencoblosan.</p>
<h2>Gerindra menggeser Golkar?</h2>
<p>Sebelum pileg, lembaga survei LSI menaksir PDI-P, partai yang berkuasa di rezim Jokowi, <a href="https://news.detik.com/berita/d-4498303/survei-lsi-pdip-potensi-juara-pemilu-gerindra-golkar-bersaing-di-posisi-2/komentar">akan sanggup meraih 24% suara</a>. Hasil <em>quick count</em> menunjukkan partai yang berlambang banteng hitam, meskipun tetap memimpin perolehan suara, tidak mendapat lonjakan suara seperti prediksi LSI. Jumlah suara untuk PDI-P bertengger di kisaran 19%-20%. Hasil ini hanya lebih tinggi satu persen daripada periode sebelumnya dan menunjukkan performa yang stagnan. </p>
<iframe title="Tren perolehan persentase suara partai politik" aria-label="Interactive line chart" id="datawrapper-chart-sCXSt" src="https://datawrapper.dwcdn.net/sCXSt/3/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important;" height="800" width="100%"></iframe>
<p>Partai Gerindra dengan raihan suara berkisar antara 12%-13% menggeser peringkat dua pileg 2014, Golkar. Sementara Golkar diprediksi turun peringkat ke posisi ke-tiga dengan jumlah dukungan sebesar 10-11% suara nasional.</p>
<p>Dari 16 partai yang bersaing di pileg 2019, tampaknya hanya sembilan partai yang akan lolos dari saringan 4% ambang batas parlemen. Partai-partai ini adalah PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, NasDem, Demokrat, PAN, dan PPP.</p>
<p>Dengan hasil ini, jumlah partai yang akan masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat nasional akan berkurang dari 10 menjadi 9, karena raihan suara Hanura terbukti rontok ke kisaran 1%-2% dari 5,26% yang dicapai di pileg 2014. </p>
<p><a href="https://tirto.id/hanura-di-pemilu-2019-didera-konflik-dan-terancam-tak-lolos-ke-dpr-dlDG">Konflik kepemimpinan</a> dan skandal korupsi yang menerpa partai yang dirintis oleh Wiranto (kini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) ini tampaknya sangat berpengaruh terhadap elektabilitas partai tersebut. </p>
<p>Partai yang juga terhantam skandal korupsi, <a href="https://www.tagar.id/ditangkap-kpk-berapa-jumlah-kekayaan-romahurmuziy">PPP</a>, menunjukkan raihan suara yang merosot tajam di pileg 2019. Jika sebelumnya partai berlambang Ka'bah ini berada di papan tengah dengan mengantongi 6,5% suara nasional, angka itu sekarang merosot dua poin ke kisaran 4,6%. </p>
<p>Hasil ini membuat PPP–sebagai salah satu partai tertua di Indonesia–berada di zona kritis karena hanya berada sedikit di atas ambang batas 4% untuk bisa bergabung ke DPR.</p>
<p>Suara Demokrat juga termasuk yang terpangkas di pileg 2019. Pamor partai berlambang bintang yang bersinar ke tiga arah ini terkesan mulai memudar seiring dengan berbagai <em>blunder</em> dalam <a href="https://theconversation.com/partai-politik-mana-yang-paling-populer-di-jagad-maya-indonesia-111991">strategi kampanye</a> yang dilakukannya. Raupan suara Demokrat terus terkikis. Setelah menjadi pemenang di 2009 dengan 20,85%, raupan suaranya turun ke 10,19% di tahun 2014, dan berlanjut menyusut ke kisaran 8% untuk tahun ini.</p>
<p>Sementara itu, kenaikan signifikan ditunjukkan oleh PKS yang diperkirakan bakal mengantongi 2-3% lebih besar suara ketimbang pileg 2014. Hasil ini menjadikan partai berbasis Islam dengan slogan “Ayo Lebih Baik” berada di zona aman dengan kisaran dukungan 8,6%-9,6% suara nasional. Untuk pileg 2019, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/01/02/19002871/targetkan-12-persen-suara-pada-pemilu-2019-ini-strategi-pks">PKS menargetkan 12%</a> suara dengan rangkaian strategi termasuk menggarap serius pemilih pemula dan menyaring <a href="https://jabar.idntimes.com/news/jabar/galih/di-bandung-tanpa-caleg-artis-strategi-pks-berubah/full">kandidat bukan artis</a> tapi memiliki elektabilitas yang lumayan.</p>
<p>Partai NasDem juga berhasil meningkatkan raupan suara dari 6,5% di pileg 2014, menjadi 8% tahun ini. Faktor pemanfaatan stasiun televisi nasional Metro TV oleh pemiliknya Suryo Paloh yang juga pendiri NasDem yang gencar mempromosikan partai ini kepada publik adalah salah satu kunci keberhasilannya.</p>
<h2>Partai baru kurang diminati</h2>
<p>Hasil pileg 2019 menunjukkan bahwa partai-partai lama masih mendominasi persaingan merebut kursi DPR. Dan akibat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1088219/pemilu-2019-pengamat-ambang-batas-4-persen-bunuh-diri-partai">ambang batas parlemen 4%</a> yang ditetapkan DPR dalam Undang-Undang Pemilu 2017, naik dari 3,5% dari pemilihan sebelumnya, semua partai baru gagal meloloskan calon legislatifnya ke DPR-RI.</p>
<p>Partai Garuda, Partai Berkarya, Perindo, dan PSI masuk ke kelompok partai yang terpaksa menelan pil pahit. </p>
<p><em>Quick count</em> yang dilakukan oleh <a href="https://www.kompas.com/">Kompas</a> menunjukkan bahwa Perindo yang didirikan oleh salah satu taipan media, Harry Tanoesoedibjo, berhasil mengumpulkan dukungan 2,8% suara. Lalu Partai Berkarya yang dirintis oleh Tommy Soeharto dan keluarga Cendana pun meraih 2,1% suara nasional. </p>
<p>Perjuangan sengit ditunjukkan oleh PSI yang diketuai oleh Grace Natalie, seorang mantan presenter televisi. Meskipun selama periode kampanye (September 2018-April 2019) partai yang berslogan <a href="https://psi.id/">“Terbuka, Progresif, Itu Kita!”</a> ini mendapat banyak “panggung” untuk mempromosikan program-program dan pandangan politiknya, raihan suara mereka hanya bertengger di angka 2%.</p>
<p>Mengusung konsep sebagai partai “darah muda” dalam perpolitikan Indonesia, PSI belum banyak diminati oleh pemilih. Dan hal ini sudah diprediksi sebelumnya dalam sebuah riset yang diterbitkan di jurnal <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277539518300116">Women’s Studies International Forum</a>. Riset menunjukkan bahwa pemilih muda masih cenderung memilih kandidat laki-laki dibanding perempuan dan mendukung partai lama daripada yang baru. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selera-politik-pemilih-muda-indonesia-partai-lama-capres-sipil-90825">“Selera politik” pemilih muda Indonesia—partai lama, capres sipil</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski gagal mendapatkan kursi di parlemen nasional, PSI mencatat kesuksesan yang sangat mengejutkan di Ibukota. <a href="https://news.detik.com/berita/d-4515828/psi-pamer-jadi-partai-empat-besar-di-dki">Partai ini berhasil meraup hampir 8% suara</a> di DKI Jakarta menurut lembaga survei CSIS-Cyrus. </p>
<p><a href="https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/pemilih/dpt/1/nasional">Data KPU</a> menunjukkan setidaknya 80-100 juta pemilih di pileg 2019 berusia di bawah 40 tahun. Angka ini nyaris separuh dari total pemegang hak suara yang berjumlah 190 juta orang. Jumlah pemilih muda semakin besar di setiap pemilu, seiring populasi penduduk Indonesia yang kian besar di kelompok usia produktif.</p>
<p>Belajar dari capaian PSI yang identik dengan anak muda dan sangat gencar berkampanye di media sosial, boleh dikata partai ini masih tergolong asing di kalangan pemilih muda Indonesia. Di sisi lain, partai-partai lama, yang relatif tidak terlalu jitu memanfaatkan media sosial, juga menggarap serius kalangan pemilih muda lewat jalur <em>offline</em>, misalnya dengan <a href="https://www.jitunews.com/read/79015/partai-golkar-sasar-generasi-milenial">merombak kepengurusan</a> partai agar memberikan posisi bagi politisi muda.</p>
<p>Kecenderungan pemilih muda terlihat jelas lewat besaran dukungan yang diberikan terhadap partai-partai lama yang sangat sulit digoyang oleh partai-partai baru. Bagaimanapun hasil pileg 2019, komposisi pemilih, di mana hampir separuh memegang hak suara adalah mereka berusia di bawah 40 tahun, memainkan peranan yang sentral untuk diteliti lebih jauh.</p>
<p>Dan untuk sementara, aman rasanya berkesimpulan bahwa korelasi antara usia pemilih dengan usia partai yang dipilih (partai lama versus partai baru) belumlah terlalu signifikan. Dengan kata lain, pemilih muda masih mendukung partai tua yang sudah lebih sering mengikuti pemilu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115710/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ella S. Prihatini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), meski memimpin perolehan suara, tidak mengalami lonjakan jumlah suara yang signifikan.Ella S. Prihatini, Endeavour scholar, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1155772019-04-16T12:08:18Z2019-04-16T12:08:18ZNasib hutan Indonesia ada di tangan pemenang pilpres<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/269560/original/file-20190416-147525-15vsfsu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C2692%2C1457&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orangutan Tapanuli yang sangat terancam dari Sumatra, Indonesia.</span> <span class="attribution"><span class="source">Maxime Aliaga / Sumatran Orangutan Conservation Programme</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Indonesia mengadakan pemilihan presiden Rabu, 17 April 2019, yang akan menentukan apakah Joko “Jokowi” Widodo akan mendapatkan masa jabatan kedua dalam pertandingan ulang dengan rival lamanya, Prabowo Subianto, atau tidak. </p>
<p>Bertanding kembalinya Jokowi mungkin membahayakan keanekaragaman hayati global, karena ia mengancam <a href="http://www.foresthints.news/worry-eu-move-may-prompt-jakarta-to-lift-palm%20-oil-moratorium">mengingkari moratorium</a> pembukaan perkebunan kelapa sawit baru. Ini dapat mempercepat deforestasi di Papua, Kalimantan, dan Sumatra. </p>
<p>Dalam waktu singkat, Jokowi berubah dari penyelamat lingkungan–seseorang yang berjuang melawan kebakaran hutan yang merusak dan kabut berbahaya, mencoba memperlambat ekspansi kelapa sawit dan mempromosikan beberapa tindakan ramah lingkungan lainnya–menjadi corong nasionalistis untuk industri kelapa sawit.</p>
<p>Mari berharap transformasi Jokowi layaknya ‘Dr Jekyll dan Dr Hyde’ bersifat sementara–semacam kegilaan singkat yang menjangkiti banyak politikus di tengah sengitnya pertempuran memenangkan hati pemilih. </p>
<p>Jika tidak, hutan Indonesia dan spesies langka yang hidup di dalamnya akan menghadapi risiko yang lebih besar.</p>
<p><a href="https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN?category=summary&economicImpact=eyJ5ZWFyIjoyMDA1fQ%3D%3D&treeLossTsc=eyJoaWdobGlnaHRlZCI6ZmFsc2">Dari tahun 2001 hingga 2017</a> Indonesia kehilangan lebih dari 24,4 juta hektar tutupan hutan–area yang lebih luas daripada Inggris. Deforestasi di Indonesia salah satu penghancuran hutan dan produksi emisi gas rumah kaca terparah di Bumi.</p>
<p>Hilangnya hutan yang meluas itu sangat membahayakan konsentrasi hewan langka yang sangat tinggi di Indonesia yang merupakan salah satu negara terkaya secara biologis di Bumi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=567&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=567&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=567&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=713&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=713&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/269287/original/file-20190415-147514-16w9m5x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=713&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Konsentrasi besar hewan langka di Indonesia dan Asia Tenggara.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Apa yang terjadi?</h2>
<p>Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Bersama dengan Malaysia, negara tetangganya, Indonesia menghasilkan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-4-431-54895-9_10">lebih dari 85%</a> pasokan minyak kelapa sawit dunia.</p>
<p>Pada September tahun lalu, Jokowi memberlakukan <a href="https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN?category=summary&economicImpact=eyJ5ZWFyIjoyMDA1fQ%3D%3D&treeLossTsc=eyJoaWdobGlnaHRlZCI6ZmFsc2V9">moratorium</a> perkebunan kelapa sawit baru. Meski hanya efektif sebagian, inisiatifnya disambut oleh para konservasionis dan ilmuwan di seluruh dunia.</p>
<p>Tetapi sekarang, hanya kurang lebih enam bulan kemudian, Jokowi <a href="http://www.foresthints.news/worry-eu-move-move-prompt-jakarta-to-lift-palm-oil-moratorium">mengancam untuk mundur</a> dari moratoriumnya yang telah mendapat banyak pujian. Mengapa?</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/269313/original/file-20190415-147525-15wxzvf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perusakan hutan hujan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Rhett Butler / Mongabay</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jokowi ingin menghukum Uni Eropa (UE) - karena mengeluarkan <a href="https://ec.europa.eu/energy/en/topics/renewable-energy/biofuels/sustainability-criteria">kebijakan</a> untuk <a href="https://news.mongabay.com/2019/03/europe-in-bid-to-phase-out-palm-biofuel-leaves-fans-and-foes-dismayed/">menghapus</a> <em>biofuel</em> yang dihasilkan dari kelapa sawit pada tahun 2030.
Jokowi telah <a href="https://news.mongabay.com/2019/02/indonesian-candidates-find-common-ground-in-support-for-palm-oil/">bersumpah</a> untuk meningkatkan penggunaan biofuel di Indonesia, guna meningkatkan swasembada energi negara. Lawannya, Prabowo, juga membuat janji serupa.</p>
<h2>Rencana Uni Eropa</h2>
<p><a href="https://www.mdpi.com/2071-1050/10/11/4111">Eksperimen ceroboh</a> Uni Eropa dengan biofuel dimulai pada tahun 2003, dalam upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Dengan cepat, mereka menjadi <a href="https://www.transportenvironment.org/press/cars-and-trucks-burn-almost-half-all-palm-oil-used-europe">konsumen terbesar</a> biofuel di dunia.</p>
<p>Awalnya, permintaan biofuel yang tinggi dari Eropa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia dan Malaysia. Untuk mengambil keuntungan dari situasi ini, baik industri kelapa sawit besar maupun petani kecil memperluas perkebunan yang sudah sangat besar dengan membuka hutan dan lahan gambut yang mengandung banyak karbon. </p>
<p>Tetapi yang menjadi masalah adalah Uni Eropa gagal menyadari betapa banyak penebangan hutan yang disebabkan oleh kelapa sawit, baik secara langsung maupun tidak.</p>
<p>Sebagai tanggapan, organisasi dan ilmuwan lingkungan yang menyadari hal ini mengingatkan bahwa UE sebenarnya <a href="https://www.mdpi.com/2071-1050/10/11/4111">mendorong penebangan hutan</a>–menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dari kerusakan hutan yang seharusnya bisa ditekan dengan cara mengurangi penggunaan energi fosil.</p>
<p>Oleh karena itu, Uni Eropa sekarang berencana untuk menghapus minyak kelapa sawit.</p>
<h2>Kesalahan juga ada pada Uni Eropa</h2>
<p>Ada banyak pihak yang bisa dipersalahkan mengenai hal ini. Kebijakan baru Uni Eropa cacat karena minyak kelapa sawit yang mereka “hapuskan” sama sekali tidak menghentikan importir UE untuk membeli minyak sawit dari Indonesia–itu hanya mencegah mereka untuk memasukan pasokan tersebut ke dalam target energi terbarukan mereka.</p>
<p>Dan jika minyak kelapa sawit dinyatakan bebas dari penebangan hutan–yang dapat dilakukan oleh produsen tertentu–maka minyak tersebut juga dapat dibeli secara bebas oleh Uni Eropa.</p>
<p>Untuk bagian mereka, Indonesia dan Malaysia telah melakukan segala cara terhadap Uni Eropa selama berbulan-bulan sperti <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/15/indonesia-threatens-to-challenge-eu-at-wto-in-palm-oil-feud.html">berjanji untuk meluncurkan tantangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)</a>, <a href="https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3003214/indonesia-pushes-palm-oil-companies-take-legal-action">mendorong perusahaan kelapa sawit untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Uni Eropa</a> dan <a href="https://www.thestar.com.my/business/business-news/2019/03/22/indonesia-threatens-to-ban-european-goods/">mengancam</a> untuk <a href="https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3003709/mahathir-mohamad-says-european-union-risks-trade-war">melarang masuknya barang-barang dari Eropa</a> </p>
<p>Taktik Indonesia dan Malaysia telah bergeser ke arah mempromosikan produsen yang lebih kecil dan menengah yang secara kolektif disebut “petani kecil”. Mereka, secara tradisional, dianggap tidak menyebabkan hilangnya hutan secara luas. </p>
<p>Tetapi, petani kecil kini menguasai lebih dari 50% lahan perkebunan kelapa sawit, dan merupakan salah satu <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aaf044">perusak hutan terbesar</a>.</p>
<p>Membantu “petani kecil” telah menjadi seruan dari <a href="https://www.sourcewatch.org/index.php/Initiative_for_Public_Policy_Analysis">Initiative for Public Policy Analysis</a>yang berbasis di Nigeria, sebuah kelompok pelobi yang sebagian didukung oleh pihak-pihak yang skeptis terhadap perubahan iklim. </p>
<p>Sekarang, Malaysia mengeluarkan banyak uang untuk membuat kelompok Nigeria melobi Uni Eropa untuk mereka. </p>
<h2>Demam pemilu</h2>
<p>Dengan pemilihan yang akan datang, ancaman Jokowi untuk mencabut moratorium minyak sawit telah berubah dari menkhawatirkan menjadi sangat amat menakutkan.</p>
<p>Selain menyatakan bahwa ia mungkin meninggalkan moratorium minyak kelapa sawitnya, ia bahkan mengusulkan untuk <a href="https://www.asiatimes.com/2019/04/%20artikel%20/%20minyak%20sawit-isu-panas-dalam-pemilihan-Indonesia%20/">menjual sebagian besar minyak sawit Indonesia ke Cina dan India</a>–konsumen-konsumen besar yang akan senang hati membeli minyak kelapa sawit terlepas dari sumber atau dampaknya terhadap kerusakan hutan–selama harganya murah. Malaysia juga mempertimbangkan <a href="https://www.reuters.com/article/palmoil-exports-idUSL3N1AJ1AH">pasar baru dengan catatan lingkungan yang lemah di Afrika</a>.
Dan dalam wujud kesembronoan yang sebenarnya, Indonesia bahkan mengancam untuk <a href="https://www.sourcewatch.org/index.php/Initiative_for_Public_Policy_Analysis">menarik diri dari perjanjian iklim Paris</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/269317/original/file-20190415-147522-1c6lupz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=425&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pembabatan hutan untuk minyak sawit di Kalimantan, Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">David Gilbert / Greenpeace</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Hikmah yang dapat dipetik</h2>
<p>Mari kita berharap kembalinya akal sehat setelah pemilihan umum Indonesia selesai.</p>
<p>Moratorium kelapa sawit Jokowi ini bisa dibilang jauh dari sempurna, dengan pelanggaran moratorium saat ini dilaporkan <a href="http://www.foresthints.news/no-resolve-evident-in-palm-oil-moratorium-enforcement">hampir setiap hari</a>.</p>
<p>Namun meski tidak sempurna, moratorium memang memperlambat laju gundulnya hutan. Moratorium tidak hanya meliputan pembekuan perizinan baru, tapi juga tinjauan terencana perizinan kelapa sawit yang, jika diterapkan, akan menangkap perusak hutan baik besar maupun kecil.</p>
<p>Dan dengan semua kelemahannya, ‘penghentian’ Uni Eropa adalah langkah ke arah yang benar asalkan tidak membuka pintu ke tanaman biofuel lainnya seperti <a href="https://www.euractiv.com/section/agriculture-food/news/biofuels-commission-blacklists-palm-oil-throws-soybeans-lifeline/">kedelai</a>–yang umumnya dihasilkan dari pembabatan hutan. </p>
<p>Jadi, mari kita lihat siapa yang terpilih pada 17 April besok.</p>
<p>Jika Jokowi menang, penting bagi kita semua untuk memintanya tidak meninggalkan moratorium itu. </p>
<p>Jika Prabowo, <a href="https://news.mongabay.com/2019/02/indonesian-candidates-find-common-ground-in-support-for-palm-oil/">yang sepertinya mencerminkan posisi pro-kelapa sawit seperti Jokowi</a>, kita mungkin akan menghadapi tantangan lingkungan yang relatif serius.</p>
<p>Siapa pun yang menang, kita harus mengawasi Indonesia, Malaysia, dan Eropa secara cermat–untuk melihat apakah mereka mengejar kebijakan pembangunan berkelanjutan secara umum. Atau secara efektif menjadi boneka perusak hutan dari lobi pertanian mereka yang kuat.</p>
<p><em>Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p>
<hr>
<p><em>Judul artikel ini telah diedit untuk mempertahankan kebaruan</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115577/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bill Laurance menerima dana dari berbagai organisasi sains dan filantropis. Ia direktur Centre for Tropical Environmental and Sustainability Science di James Cook University in Cairns, Australia, dan pendiri ALERT -- the Alliance of Leading Environmental Researchers & Thinkers -- kelompok advokasi sains yang menjangkau 1-2 juta pembaca dalam seminggu.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penny van Oosterzee tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bertanding kembalinya Jokowi mungkin membahayakan keanekaragaman hayati global, karena ia mengancam mengingkari moratorium pembukaan perkebunan kelapa sawit baru.Bill Laurance, Distinguished Research Professor and Australian Laureate, James Cook UniversityPenny van Oosterzee, Adjunct Associate Professor James Cook University and University Fellow Charles Darwin University, James Cook UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1146242019-04-16T10:34:53Z2019-04-16T10:34:53ZPemilih pemula dalam Pilpres 2019, bagaimana karakter mereka di tengah menguatnya konservatisme<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/269550/original/file-20190416-147514-12tuzds.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas tempat pemungutan suara mencoba kotak suara di Batang, Jawa Tengah, 27 Maret 2019.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU1NTQzOTIxNCwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTM1MDg1NzUyOCIsImsiOiJwaG90by8xMzUwODU3NTI4L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sInpJTVhLcWcyQVhEbEI1b2ZIcTU5REgvaXl3YyJd%2Fshutterstock_1350857528.jpg&pi=41133566&m=1350857528&src=lHmJGTqiHRxs-_5yyxkNrg-4-56">Onyengradar/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam pemilihan umum Rabu besok (17 April), setidaknya <a href="https://news.detik.com/berita/d-4215354/ada-5-juta-pemilih-pemula-di-pemilu-2019">ada lima juta suara pemilih pemula</a> (usia 17 tahun, baru pertama kali memilih) yang akan diperebutkan oleh pasangan calon presiden dan wakilnya, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. </p>
<p>Jumlah tersebut sekitar 2,5% dari total pemilih yang <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181215171713-32-353929/kpu-jumlah-pemilih-tetap-pemilu-2019-capai-192-juta">mencapai 192 juta orang.</a> Meski porsiya kecil, suara mereka sangat mempengaruhi siapa calon presiden yang menang, apalagi di tengah selisih suara yang makin mengecil.</p>
<p>Survei mutakhir menunjukkan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190412134939-32-385666/smrc-selisih-elektabilitas-jokowi-dan-prabowo-198-persen">selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo 19,8%</a>, sementara pemilih yang belum menentukan pilihan 6,3%. Ayunan suara dari pemilih pemula akan ikut menentukan siapa yang akan menjadi presiden terpilih. </p>
<p>Hasil <a href="https://journal.ugm.ac.id/jps/article/view/23524">riset awal saya</a> menunjukkan bahwa pemilih pemula memiliki preferensi memilih yang tidak tergantung pada nilai-nilai ideologis tapi lebih cenderung dipengaruhi oleh isu keseharian seperti isu kemacetan di kota besar, banjir, ketersediaan bahan pokok, dan layanan publik. Satu riset saya lagi <a href="https://journal.ugm.ac.id/jsp/article/view/24795">menunjukkan</a> mereka juga lebih banyak mengonsumsi media sosial sebagai deskripsi awal tentang preferensi perilaku memilihnya. </p>
<p>Kedua pola tersebut berkembang dari waktu ke waktu karena pada dasarnya pemilih pemula adaptif terhadap dinamika isu dan periode. Pada pemilu 2014, pemilih pemula dihadapkan pada narasi populisme dan oligarki. Sekarang pada 2019, mereka menghadapi narasi konservatisme identitas dan pluralisme kebangsaan. Apa pun narasinya, pemilih pemula memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan generasi yang lebih tua. </p>
<p>Beberapa pemilih muda di Indonesia memilih untuk menjadi relawan dalam gerakan politik dan memiliki identitas kelompok yang kuat. Ada juga yang apolitis dan apatis. </p>
<h2>Voluntarisme</h2>
<p>Banyak anak muda yang melibatkan diri dalam politik melalui voluntarisme politik. Ini dapat dilihat dalam keterlibatan mereka dalam gerakan relawan misalnya <a href="http://mediaindonesia.com/read/detail/200118-relawan-milenial-usung-kampanye-ceria-untuk-jokowi-amin">Relawan Jokowi</a> bagi pendukung Presiden petahana Joko Widodo,<a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Teman_Ahok">Teman Ahok</a> bagi pendukung mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dan <a href="https://web.facebook.com/sahabatRK/?_rdc=1&_rdr">Sahabat Ridwan Kamil</a> bagi pendukung mantan Wali Kota Bandung. </p>
<p>Anak muda yang tidak menyukai <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/24795">hierarki</a> dan institusi kerap memilih untuk terlibat dalam gerakan relawan ketimbang partai politik. Mereka tidak terikat pada norma dan organisasi, tapi masih bisa untuk berjuang bersama dalam sebuah ikatan. Mereka <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/24795">lebih mengedepankan solidaritas berbasis isu</a> atau sebagian juga masih berbasis fanatisme figur. </p>
<h2>Kolegialitas</h2>
<p>Hal lain yang bisa dilihat dari karakter politik anak muda Indonesia adalah <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/37954">kolegialitas</a>. Suara dan sikap mereka tidak mewakili suara per individu, tapi <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/issue/view/3495">suara kelompok</a>. </p>
<p><a href="https://eprints.qut.edu.au/117670/2/Fiona_Suwana_Thesis.pdf">Sebuah riset terbaru menunjukkan</a> bahwa anak muda Indonesia berupaya membangun eksistensi dan representasi dengan membentuk kelompok-kelompok atau komunitas mereka sendiri, misalnya dalam bentuk kelompok bermusik atau komunitas olahraga. Hasil riset tersebut menunjukkan kalau eksistensi dan representasi tersebut digerakkan oleh penggunaan media digital. </p>
<p>Dalam melakukan hal itu mereka menunjukkan sifat mereka yang ingin independen dan netral tapi dalam skala kelompok. Mereka disatukan pada minat dan kesamaan.
Kolegialitas juga bermakna sebagai perlawanan kultural terhadap sistem sosial yang telah mapan. Anak muda Indonesia bisa bereksperimen dengan kolegialitas sebelum mencemplungkan diri dalam ajang politik terbuka. </p>
<p>Dalam urusan politik praktis, kolegialitas berbasis kelompok ini menjadi momen penting bagi para politikus maupun partai politik untuk bisa meraup dan merengkuh satu segmen anak muda tersebut. Kelompok band <a href="https://pilpres.tempo.co/read/1192722/slank-akan-gelar-konser-akbar-dukungan-untuk-jokowi">musik Slank</a>, yang mendukung Jokowi, dan para fans mereka adalah contoh bentuk kolegalitas ini. </p>
<p>Bagi para pemilih muda, mereka harus menyadari juga bahwa kolegialitas mereka rentan untuk diinflitrasi dan dibelokkan oleh kelompok masyarakat partisan dan loyalis figur tertentu guna menambah jumlah perolehan suara.</p>
<h2>Apolitis dan apatis</h2>
<p>Karakter yang paling sering dibicarakan dalam membahas politik anak muda adalah kecenderungan <a href="http://mediaindonesia.com/read/detail/192157-survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik">apolitis dan apatis</a>. Kedua sikap tersebut selalu muncul dalam berbagai kajian maupun diskusi akademik yang membahas anak muda Indonesia terutama <a href="http://mediaindonesia.com/read/detail/192157-survei-alvara-milenial-cuek-terhadap-politik">mereka yang lahir pasca-1998</a>. </p>
<p>Temuan <a href="https://www.csis.or.id/uploaded_file/event/ada_apa_dengan_milenial____paparan_survei_nasional_csis_mengenai_orientasi_ekonomi__sosial_dan_politik_generasi_milenial_indonesia__notulen.pdf">riset Center for Strategic and International Studies</a> dan <a href="https://www.academia.edu/35915408/MEMAHAMI_MILENIAL_INDONESIA_by._Alvara_Research_Center">Alvara</a> mengemukakan bahwa gejala apolitis itu terjadi karena perbedaan faktor sosial ekonomi dan sosial politik, misalnya ketersediaan lapangan kerja dan aksesibilitas informasi. Keduanya berdampak pada pembentukan karakter apolitis yang lebih didorong faktor pragmatis; rezim berganti atau bertahan tidak mempengaruhi langsung kehidupan mereka. </p>
<p>Oleh karena itu, gejala apolitis ini bukan muncul karena maraknya persekusi dan intimidasi misalnya perundungan dan pengucilan di lingkungan sosial karena perbedaan politik, tapi pola apolitis sudah dibentuk lama sejak menjalani pendidikan di rumah.<a href="http://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/305/pdf%20Wiratri,%202018"> Keluarga memiliki andil besar dalam mempengaruhi perjalanan hidup seseorang</a> ketika nanti menentukan pilihan hidup karena anak dapat menjadi cerminan keberhasilan pendidikan orang tua secara sosial. Banyak keluarga Indonesia yang mendorong anak muda sekarang (17-35 tahun) untuk menjadi kelompok pekerja mapan. Penanaman nilai itu yang menjadi basis pandangan anak muda bahwa mengejar karir mapan secara ekonomis itu suatu keharusan daripada bertarung idealisme. </p>
<p>Bagaimana pun, suara politik anak muda Indonesia berpotensi untuk menjadi penyeimbang, bahkan menjadi penentu dalam pemilu presiden 2019 ini. Siapa pun yang menang, presiden terpilih harus mendengar suara mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/114624/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wasisto Raharjo Jati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gerakan voluntarisme politik kini menjadi tren berpolitik jalan tengah anak muda yang tidak biasa dengan hierarki dan institusi.Wasisto Raharjo Jati, Junior scientist in Indonesian Politics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1155242019-04-16T07:44:02Z2019-04-16T07:44:02ZBagaimana pemilu Indonesia berbeda dari Australia<p>Saat orang Australia bersiap-siap untuk pemilihan umum mereka yang akan datang pada bulan Mei, orang Indonesia akan menuju ke kotak suara Rabu, 17 April 2019.</p>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/04/08/21501411/jumlah-pemilih-pemilu-2019-bertambah-jadi-192866254">Lebih dari 190 juta orang</a> terdaftar untuk memilih dalam demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Warga kedua negara akan memilih perwakilan mereka dalam pemilihan masing-masing, tapi mereka memiliki cara berbeda dalam pelaksanaannya. </p>
<h2>Pemilihan presiden langsung</h2>
<p>Pertama, tidak seperti di Australia yang mewajibkan warganya mengikuti pemilu, orang Indonesia dapat memilih untuk menggunakan hak pilih mereka atau untuk memutuskan untuk tidak memilih. Analis memperkirakan bahwa jumlah yang tidak memilih, yang disebut “golongan putih” (golput), di Indonesia <a href="https://en.tempo.co/read/1170259/golput-may-rise-potential-misuse-of-ballot-in-2019-election">akan meningkat</a> tahun ini. Sementara beberapa pemilih mungkin tidak muncul ke kotak suara karena apatis terhadap politik, beberapa <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-golput-save-indonesian-democracy/">golput</a> berpendapat bahwa ini adalah sikap politik yang dibenarkan karena tidak adanya calon yang dianggap baik. Orang-orang ini bisa jadi datang ke tempat pemungutan suara, tapi mencoblos semua kertas suara, untuk memastikan pilihan mereka (untuk tidak memilih) tercatat. </p>
<p>Parlemen Australia <a href="https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Senate/Powers_practice_n_procedures/platparl/c03">secara <em>de facto</em> digambarkan sebagai sistem dua partai</a>. Pemilih Australia tidak dapat secara langsung memilih perdana menteri mereka. Sebaliknya, mereka memilih anggota parlemen mereka dari dua partai besar, beberapa partai kecil, atau anggota independen. Dalam kebanyakan kasus, anggota parlemen adalah anggota atau pendukung partai politik. Partai politik yang berhasil memenangkan lebih dari 75 kursi anggota parlemen akan membentuk pemerintahan, dan pemimpinnya akan ditunjuk sebagai perdana menteri.</p>
<p>Sementara, Indonesia melaksanakan pemilihan presiden langsung di bawah sistem multipartai. Meskipun pemilih Indonesia dapat memilih presiden mereka, pencalonan calon presiden ditentukan oleh partai politik yang memperoleh minimum 20% kursi di DPR.</p>
<p>Pada hari Rabu, pemilih Indonesia akan memilih kandidat untuk presiden dan legislator. Tahun ini, ada dua kandidat presiden dan 14 partai politik yang bertanding.</p>
<p>Presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo sekali lagi akan berhadapan dengan mantan jenderal Prabowo Subianto. Jokowi, kandidat dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI-P), didukung oleh koalisi yang beranggotakan delapan partai lain. Prabowo dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memiliki tiga partai lain di koalisinya.</p>
<p>Sistem pemilihan presiden langsung diperkenalkan di Inodnesia pada 2004. Indonesia telah melaksanakan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_1955">pemilihan umum sejak tahun 1955</a>. Namun, Indonesia sempat dekat dengan gaya kepemimpinan otoriter, baik di bawah Soekarno maupun Soeharto. Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami demokratisasi.</p>
<p>Kandidat presiden harus <a href="https://australiaindonesiacentre.org/guide-to-the-2019-indonesian-elections-path-to-the-presid//">mengamankan lebih dari 50%</a> dari suara rakyat untuk memenangkan pemilihan. Jika tidak ada kandidat yang dapat memperoleh 50% dalam pemilihan, pemilihan putaran kedua akan diadakan untuk mencari suara mayoritas.</p>
<p>Presiden terpilih di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Karena pemerintah eksekutif tidak berasal dari kamar legislatif, presiden Indonesia bukan anggota parlemen. Presiden menggunakan kekuasannya untuk membentuk kabinet. Para menteri fokus menjalankan portofolio eksekutif dan bukan bagian dari fungsi legislatif.</p>
<h2>Kursi legislatif</h2>
<p><a href="https://pearson.com.au/products/DG-Fenna-Alan-et-al/Government-and-Politics-in-Australia/9781486000517?R=9781486000517">Sistem preferensi</a> pemilihan Dewan Perwakilan Australia memungkinkan hampir <a href="https://www.aec.gov.au/Enrolling_to_vote/Enrolment_stats/national/2019.htm">17 juta</a> pemilih memberikan peringkat suara mereka berdasarkan preferensi mereka. </p>
<p>Sementara di Indonesia, pemilihan umum presiden menggunakan sistem mayoritas sederhana, di mana warga hanya memberikan suara untuk satu opsi. Pemilih Indonesia menggunakan paku untuk memukul kertas suara, <a href="https://www.peo.gov.au/learning/fact-sheets/federal-elections.html">sementara pemilih Australia menandai pilihan mereka menggunakan pulpen</a>. </p>
<p>Australia melaksanakan pemungutan suara pemenang tunggal, artinya satu daerah pemilihan hanya diwakili oleh satu anggota dari satu partai politik atau independen. Di Indonesia, satu daerah pemilihan dapat diwakili oleh lebih dari satu anggota dari lebih dari satu partai politik.</p>
<p>Sementara Dewan Perwakilan Australia yang akan datang akan terdiri dari 151 anggota dan masing-masing akan mewakili distrik dengan satu anggota, DPR akan terdiri dari <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40678216">575 kursi</a> dari 80 daerah pemilihan. Dengan kata lain, setiap konstituensi Indonesia diwakili oleh lebih dari satu anggota, tergantung pada ukuran populasi.</p>
<h2>Memainkan kartu truf: politik identitas</h2>
<p>Seperti di negara manapun, ada isu-isu khusus yang membuat para pemilih menjadi sangat emosional, dan di sinilah para politikus biasanya mengeksploitasi taktik mereka untuk mengumpulkan suara.</p>
<p>Di Australia, perilaku pemilih banyak dibentuk oleh sejumlah masalah seperti manajemen ekonomi, pengangguran, hubungan industri, perpajakan, pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemanasan global, pengungsi dan pencari suaka. </p>
<p>Masalah pengelolaan ekonomi dan kesehatan adalah <a href="https://australianelectionstudy.org/wp-content/uploads/Trends-in-Australian-Political-Opinion-1987-2016.pdf">masalah yang paling penting</a> di Pemilu Australia 2016.</p>
<p>Pemilih Australia juga mengkhawatirkan ketidakstabilan politik Australia. Sebelum 2010, orang Australia cenderung percaya bahwa mereka pada dasarnya memilih perdana menteri mereka dengan memilih partai politik pilihan mereka. Namun, setelah enam kali pergantian Perdana Menteri sejak 2010, perilaku pemilih Australia bergeser dan mengantisipasi pencabutan perdana menteri sebagai <a href="https://www.abc.net.au/news/2015-09-23/karvelas-%20this-is-just-the-westminster-system-in-action%20/%206797818">sesuatu yang mungkin dapat terjadi</a>.</p>
<p>Di Indonesia, perilaku memilih agak dipengaruhi oleh <a href="https://www.cambridge.org/core/books/voting-behavior-in-indonesia-since-democratization/sociological-and-demographic-factors/%208350495D0045C67601F4F5615DCFB895">tiga faktor</a>: agama, etnis dan semangat kedaerahan, dan kelas sosial.</p>
<p>Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, sebagian besar taktik dari kedua kubu calon presiden di Indonesia adalah membangun aliansi dengan kelompok-kelompok Islam dan mempromosikan simbol dan ritual Islam. </p>
<p>Pekan lalu, sekelompok ulama Islam terkenal menyatakan dukungan mereka kepada Prabowo Subianto. <a href="https://theconversation.com/a-preacher-says-starbucks-customers-will-go-to-the-hell-the-rise-of-indonesias-new-generation-of-preachers-95837">Ustad Abdul Somad</a>, misalnya, salah satu pengkhotbah Islam Indonesia yang paling terkenal dengan 8,8 juta pengikut di Instagram dan 1,2 juta pelanggan di Youtube, menyatakan dukungannya melalui wawancara 13 menit dengan Prabowo, yang disiarkan di televisi nasional.</p>
<p>Di pihak Jokowi, para ulama Islam lainnya seperti <a href="https://pilpres.tempo.co/read/1195433/bertemu-mbah-moen-dan-luthfi-bin-yahya-jokowi-diberi-sorban">Maimun Zubair dan Luthfi bin Yahya mempersembahkan sorban dan tasbih untuk Jokowi</a> sebagai tanda dukungan. Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar, telah secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Jokowi, karena calon wakil presidennya, Ma'ruf Amin, juga merupakan salah satu pengkhotbah Islam terkemuka dari NU.</p>
<p>Politik identitas sebagai kartu truf terakhir di Indonesia tidak bisa dihindari. Saat ini, jajak pendapat menunjukkan bahwa <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/13/prabowo-narrows-gap-but-jokowi-still-in-lead-final-polls%20.html">Jokowi memimpin</a>. Kita akan lihat bagaimana kelanjutannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115524/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hangga Fathana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Warga kedua negara akan memilih perwakilan mereka dalam pemilihan masing-masing, tapi mereka memiliki cara berbeda dalam pelaksanaannya.Hangga Fathana, Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1119912019-03-14T08:57:58Z2019-03-14T08:57:58ZPartai politik mana yang paling populer di jagad maya Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262878/original/file-20190308-150683-13gg17s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Setengah dari 260 juta penduduk Indonesia kini terhubung dengan internet, dan rata-rata menghabiskan hampir <a href="https://digitalreport.wearesocial.com/">9 jam per hari online</a>. <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/09/indonesia-se-asias-digital-powerhouse.html">Penelitian bersama Google-Temasek</a> memperkirakan bahwa Indonesia akan memiliki 215 juta pengguna internet pada tahun 2020, menjadikannya peringkat keempat pemakai internet terbanyak di dunia. </p>
<p>Meski ratusan juta orang di Indonesia menghabiskan banyak waktu di internet, hanya sedikit yang diketahui tentang pemanfaatan internet oleh partai-partai politik di Indonesia untuk berhubungan langsung dengan pemilih dan menyebarkan pesan-pesan politik mereka melalui kampanye virtual. </p>
<p>Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir makin jelas terlihat bagaimana partai-partai politik di negara-negara lain, misalnya di <a href="https://www.statista.com/topics/3723/social-media-and-politics-in-the-united-states/">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://www.bbc.com/news/uk-politics-41349409">Inggris</a>, memanfaatkan media sosial dan menggencarkan pemasaran politik secara digital dalam pemilu. </p>
<p>Apakah partai-partai di Indonesia sudah memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih untuk menang pemilu? Dan adakah korelasi antara jumlah kursi di parlemen serta usia partai terhadap popularitas mereka di internet? </p>
<h2>Popularitas partai di media sosial</h2>
<p>Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meneliti penggunaan internet oleh 16 partai politik peserta pemilu 2019. Kami mengamati akun-akun media sosial yang didaftar oleh partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai akun resmi mereka untuk periode kampanye jelang Pemilu 2019. Masa observasi riset kami berlangsung sepanjang 23 September 2018 hingga 4 Desember 2018. </p>
<p>Kami menemukan bahwa semua partai, kecuali Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarluaskan materi kampanye mereka kepada publik. Namun, pemanfaatan dan kinerja platform media sosial partai ternyata beragam tingkatannya. Mayoritas partai menggunakan empat platform: Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Lima partai tidak memiliki akun di YouTube. </p>
<p>Rata-rata partai politik di Indonesia telah menggunakan Facebook selama 4 tahun, Twitter selama 5 tahun, dan Instagram selama 2 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa Twitter adalah platform media sosial yang paling mapan yang digunakan oleh partai. Bahkan ada lima partai yang telah menggunakan Twitter selama lebih dari enam tahun. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Boxplot usia partai dan pemanfaatan media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Perhitungan penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah partai dengan <a href="https://www.facebook.com/PDIPerjuangan/">akun Facebook paling tua</a>. Bergabung dengan situs jejaring sosial ini sejak 2008, dua tahun sejak Facebook terbuka untuk siapa pun di atas 13 tahun yang memiliki alamat email. Sementara itu, <a href="https://www.facebook.com/amanatnasional/">Partai Amanat Nasional (PAN)</a> telah bergabung dengan Facebook selama 8 tahun terakhir, diikuti oleh <a href="https://www.facebook.com/HumasPartaiKeadilanSejahtera/">Partai Keadilan Sejahtera (PKS)</a> yang akunnya telah terdaftar sejak 7 tahun lalu. </p>
<p>Namun, menarik untuk dicatat bahwa meski menjadi tiga partai politik Indonesia pertama yang membuat akun Facebook, popularitas PDI-P (sekitar 1,5 juta <em>follower</em>), PAN (187.000), dan PKS (615.000) di Facebook jauh lebih rendah daripada <a href="https://www.facebook.com/gerindra/">Gerindra</a> dengan sekitar 3,6 juta <em>follower</em> dan <a href="https://www.facebook.com/psi.or.id/">Partai Solidaritas Indonesia</a> dengan sekitar 2,9 juta <em>follower</em>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Usia partai dan popularitas online.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Studi kami juga menemukan bahwa usia partai tidak menentukan popularitas partai di dunia maya. Gerindra yang didirikan hanya 10 tahun yang lalu telah menjadi partai yang paling populer di semua media sosial, kecuali YouTube. </p>
<p>Partai yang lebih tua seperti Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jauh tertinggal dalam mengumpulkan dukungan online. </p>
<p>Akun Golkar di Twitter yang dilaporkan kepada KPU sebagai akun resmi media sosial partai selama kampanye 2019, sebagai contoh, ada empat; @2DPP-Golkar, @fraksigolkar, @GoJo2019, dan @GolkarBalitbang. Akun @2DPP-Golkar <a href="https://twitter.com/search?q=%402DPP-Golkar%20&src=typd">tidak dapat ditemukan</a>, sementara <a href="https://twitter.com/fraksigolkar">@fraksigolkar</a> memiliki 10.200-an pengikut. Selanjutnya <a href="https://twitter.com/GoJo2019">@GoJo2019</a>, yang merupakan akun Relawan Golkar Jokowi, hanya memiliki 200-an <em>followers</em>. Dan <a href="https://twitter.com/GolkarBalitbang">@GolkarBalitbang </a> diikuti oleh 881 akun di Twitter. </p>
<p>Kondisi serupa terjadi di kubu PPP. Di jagad Twitter, partai ini mengusung 2 akun; <a href="https://twitter.com/DPP_PPP">@DPP_PPP</a> dengan 38.100-an pengikut, dan <a href="https://twitter.com/sahabatgusrommy">@sahabatgusrommy</a> yang hanya memiliki 1.140 <em>followers</em>. Demikian pula, PDI-P sebagai pemenang dalam pemilu 1999 dan 2014, popularitasnya di media sosial jauh di belakang partai yang lebih muda. </p>
<h2>Transisi digital</h2>
<p>Partai politik di Indonesia tampaknya masih meraba-raba dalam penggunaan media digital sebagai alat untuk menyebarkan informasi. Para pengurus partai memiliki prioritas yang berbeda-beda terkait peningkatan popularitas virtual mereka. </p>
<p>Beberapa partai menganggap popularitas di Facebook atau Twitter tidak terlalu penting. Atau, mereka belum benar-benar memahami strategi berkampanye di media sosial. </p>
<p>Partai Demokrat adalah salah satu partai yang lemah dalam strategi berkampanye di internet. Partai ini menggunakan “kode” baru yang berasal dari nomor urut partai untuk Pemilu 2019: 14. </p>
<p>Kode yang mereka gunakan adalah “S14P” (dibaca: “siap”) dan mereka membuat akun-akun media sosial yang sama sekali baru dengan menggunakan kode ini. Sepertinya manajer media sosial Partai Demokrat ingin kode ini menunjukkan pada warganet bahwa Demokrat siap untuk memenangkan pesta demokrasi 2019. Menariknya, partai ini menjalankan akun resmi lain di Twitter sejak 2011 (@PDemokrat) dengan sekitar 88.500 pengikut dan 10.600 tweets. Sementara, semua akun media sosial yang mereka daftarkan ke KPU menggunakan kode “S14P” dan hanya memiliki segelintir pengikut. </p>
<p>Kami menilai keputusan untuk mendaftarkan akun media sosial yang sama sekali baru adalah kurang tepat. Ini menunjukkan elit Demokrat tidak memperhatikan dengan saksama strategi membangun isu dan menjaring pemilih via internet. </p>
<p>Untuk mempertahankan keterlibatan publik dan untuk meningkatkan loyalitas mereka kepada partai, akun media sosial harus selalu konsisten sehingga jumlah pengikut atau <em>likes</em> dapat terus tumbuh. </p>
<p>Salah strategi ini ternyata tidak unik di Demokrat saja. Partai-partai lain, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), mendaftarkan banyak akun baru di media sosial kepada KPU sebagai media sosial resmi mereka untuk pemilu 2019 daripada mempertahankan akun yang lebih mapan dan lebih populer.</p>
<h2>Kursi di parlemen</h2>
<p>Setelah memantau popularitas partai-partai politik di media sosial, kami kemudian memeriksa apakah ada hubungan antara kursi partai di parlemen hasil Pemilu 2014 dan popularitas mereka di media sosial. </p>
<p>Kami menggunakan paket <em>corrplot</em> yang tersedia di aplikasi perangkat lunak <a href="https://www.rstudio.com/">RStudio</a> untuk memvisualisasikan matriks korelasi antara kursi partai dan usia akun media sosial mereka. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Matriks korelasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Gambar di atas menunjukkan bahwa kursi partai hanya memiliki korelasi kuat dan positif (0,67) dengan usia akun Facebook. Kami menyimpulkan ada korelasi antara usia akun medsos dengan jumlah kursi di parlemen hasil pemilu 2014. Semakin tua umur akun Facebook sebuah partai, sebagai contoh, kecenderungannya adalah partai tersebut memiliki kursi yang semakin banyak di parlemen.</p>
<p>Sementara, usia partai memiliki korelasi yang lemah dan negatif dengan popularitas di Facebook / F_L (-0,22) dan YouTube / Y_S (-0,21). Kami berkesimpulan partai yang lebih tua kurang populer di Facebook dan YouTube dibandingkan dengan partai yang lebih muda.</p>
<p>Hal penting lain dari temuan kami adalah bahwa popularitas partai di berbagai platform media sosial memiliki korelasi yang kuat dan positif. Jumlah <em>likes</em> di Facebook sejalan dengan volume pengikut Instagram / I_F (0,80). Hal yang sama berlaku dengan jumlah pelanggan YouTube dan pengikut Twitter, dengan skor 0,75.</p>
<p>Menariknya, usia akun Facebook milik partai dan jumlah <em>likes</em> memiliki skor korelasi yang lebih lemah (0,44) dibandingkan dengan usia akun Instagram / I_A dan pengikut Instagram (0,76) atau di YouTube (0,7) dan Twitter (0,67). </p>
<p>Dengan demikian, riset ini menyimpulkan pola popularitas partai di internet berbeda-beda tergantung pada jenis media sosial. Facebook tampaknya memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan platform media sosial lainnya dalam hal mendulang minat atau dukungan publik.</p>
<h2>Prediksi hasil pemilu</h2>
<p>Riset tentang penggunaan media sosial oleh partai politik di Indonesia masih akan terus berkembang, mengikuti kian bergeliatnya pemanfaatan jalur ini sebagai wahana berkampanye dan mendulang dukungan. Dengan volume pengguna internet yang terus meningkat, sangat besar peluang bagi partai dan politikus untuk menggunakan akun-akun sosial mereka demi menguatkan profil politik.</p>
<p>Namun, di sisi lain, sebagaimana riset kami menunjukkan, untuk saat ini mayoritas partai di Indonesia belum memanfaatkan internet sebagai medium berkampanye dan merebut dukungan massa. Dan popularitas di jagad maya belum secara akurat diterjemahkan sebagai tingkat kesuksesan elektoral.</p>
<p>Dengan kata lain, kami menemukan bahwa media sosial di Indonesia–baik oleh partai, politikus, dan pemilih–belum terlalu signifikan digunakan sebagai wadah aktivisme politik (<em>political activism</em>). </p>
<p>Itu sebabnya, keriuhan di media sosial belum benar-benar bisa menjadi tolak ukur keberhasilan partai menggiring isu dan mendulang dukungan suara di pemilu. Interaksi di media sosial di Indonesia belum bisa digunakan untuk memprediksi hasil kontestasi politik, baik itu legislatif maupun eksekutif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111991/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sudahkah partai-partai di Indonesia memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih di pemilu?Ella S. Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, The University of Western AustraliaHadrian Geri Djajadikerta, Associate Dean Research, School of Business and Law, Edith Cowan UniversityMuhammad Sigit Andhi Rahman, Lecturer in International Relations, President UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1013912018-08-10T13:02:13Z2018-08-10T13:02:13ZPrabowo pilih Sandiaga, Jokowi pilih Ma'ruf, kompromi politik? Ini analisis para ahli<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/231486/original/file-20180810-2915-1rbtqjy.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=7%2C1%2C1270%2C848&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sandiaga Uno (kiri) akan bertarung melawan Ma'ruf Amin untuk merebut kursi wakil presiden di pemilihan presiden tahun 2019</span> <span class="attribution"><span class="source">Wikimedia commons, diedit oleh Triasa/The Conversation</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Kandidat presiden Indonesia yang akan bertarung pada pemilihan presiden tahun depan baru-baru ini mengumumkan siapa pendamping mereka, setelah berbulan-bulan penuh spekulasi.</p>
<p>Para ahli mengatakan, nama yang muncul adalah hasil kompromi politik para elite politik yang mengabaikan harapan publik dan hasil survei.</p>
<p>Petahana Joko “Jokowi” Widodo, yang mendukung isu pluralisme dan pergerakan hak asasi manusia dalam pemilu 2014, secara dramatis justru memilih calon wakil presiden dari golongan konservatif yakni <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/08/09/breaking-mui-chief-maruf-amien-tapped-as-jokowis-running-mate.html">Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin</a>. </p>
<p>Pengangkatan Ma'ruf mengejutkan banyak orang karena banyak yang mengira Jokowi akan memilih Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga pluralis Islam. </p>
<p>Di sisi lain, lawan Jokowi, mantan anggota militer Prabowo Subianto <a href="https://www.republika.co.id/berita/en/national-politics/18/08/10/pd7jdn414-prabowosandiaga-uno-to-challenge-jokowimaruf">akan maju</a> bersama pengusaha yang terjun ke politik yakni Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.</p>
<p>Penunjukan Sandiaga tidak kalah mengejutkan. Sebelumnya, Prabowo bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tentang kemungkinan membentuk <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/07/23/sby-prabowo%20-set-untuk-koalisi-talks.html">koalisi</a> dan memasangkan anak SBY, Agus Yudhoyono sebagai pendamping Prabowo.</p>
<p>Kami menanyakan para ahli untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik keputusan mendadak ini.</p>
<hr>
<h2>Kompromi elite partai</h2>
<p><strong>Burhanuddin Muhtadi — Pengajar bidang pemilihan umum (Pemilu) dan perilaku pemilih di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah</strong></p>
<p>Jokowi memilih Ma'ruf sebagai kompromi atas tuntutan partai-partai koalisinya. Saat ini Jokowi didukung koalisi yang terdiri dari sembilan partai, termasuk di dalamnya para pemain lama seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa.</p>
<p>Ma'ruf yang telah berumur 75 tahun dipilih karena sosoknya yang mungkin diterima oleh partai koalisi. Mengingat usia tuanya, Ma'ruf tidak akan menjadi ancaman bagi mereka pada pemilihan presiden 2024 mendatang.</p>
<p>Sementara itu, Mahfud yang berusia lebih muda—61 tahun—dapat menjadi ancaman potensial bagi partai politik besar. Pencalonan Mahfud sebagai wakil presiden dapat membuka jalan baginya untuk maju sebagai presiden dalam pemilu 2024 mendatang, sesuatu yang ingin dihindari oleh beberapa parpol.</p>
<p>Jika Jokowi memilih Mahfud, dia akan menanggung risiko kehilangan dukungan Golkar. </p>
<p>Sementara itu, Prabowo memilih Sandiaga sebagai jalan keluar dari kebuntuan antara partai koalisinya. Sandiaga adalah pilihan aman di tengah ketegangan antara Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera. </p>
<p>PD ingin anak SBY jadi pendamping Prabowo, sementara PAN dan PKS menawarkan calon lain di luar partai politik yang lebih netral demi mendapatkan suara lebih banyak. </p>
<p>Calon wakil presiden yang tepat untuk Jokowi sebenarnya Mahfud. Hasil survei menunjukkan, elektabilitasnya lebih tinggi dari kandidat lainnya. Sosoknya diterima semua pemilih muslim. Pengalaman Mahfud dalam pemerintahan juga mampu menambal kekurangan pemerintahan Jokowi dalam agenda hukum dan antikorupsi. </p>
<p>Sementara itu, pasangan sempurna untuk Prabowo seharusnya Agus. Ia dapat menarik para pemilih muda. Berdasarkan hasil survei, elektabilitasnya <a href="http://indikator.co.id/uploads/20180503154425.Rilis_SurNas_03_Mei_2018.pdf">lebih tinggi</a> dari Sandiaga. </p>
<p>Tetapi, pada akhirnya, para elite politiklah yang menentukan calon pendamping Jokowi dan Prabowo.</p>
<p>Hal positif utama dari Ma'ruf bagi Jokowi adalah bahwa ia menghancurkan kemungkinan koalisi ketiga yang dapat mengurangi kemungkinan Jokowi menang.</p>
<p>Kedua, latar belakang kuat Ma'ruf sebagai pemimpin muslim diharapkan dapat melindungi Jokowi dari kampanye hitam menggunakan agama. Pada 2014, kubu Prabowo melabeli Jokowi sebagai pemimpin yang kurang Islami karena agenda pluralismenya. </p>
<p>Jokowi dikenal <a href="https://theconversation.com/under-jokowi-conservative-groups-start-to-condemn-terrorism-96802">tidak populer</a> di kalangan pemilih muslim karena pendekatan otoriternya terhadap kaum konservatif muslim selama pemerintahannya kemarin. Untuk itu, penunjukan Ma'ruf diharapkan dapat mempengaruhi para pemilih muslim. </p>
<p>Meskipun demikian, Ma'ruf mungkin juga dapat merusak elektabilitas Jokowi di kalangan pendukung dari kelompok minoritas. Ma'ruf adalah salah seorang tokoh yang menyebabkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama <a href="https://theconversation.com/can-support-for-the-jailed-former-jakarta-governor-bring-change-in-indonesias-blasphemy-law-77565">dipenjara</a> karena <a href="https://theconversation.com/behind-the-rise-of-blasphemy-cases-in-indonesia-95214">kasus penodaan agama</a>.</p>
<p>Sementara itu, kekuatan Sandiaga terletak pada usia yang relatif muda yang diharapkan dapat mempengaruhi para pemilih milenial. Sebagai pengusaha sukses, Sandiaga mungkin juga menguntungkan Prabowo dalam hal dukungan keuangan untuk kampanye.</p>
<h2>Antisipasi dari Jokowi</h2>
<p><strong>Nyarwi Ahmad — Direktur <em>Presidential Studies</em> di Departemen Pusat Penelitian Media Digital dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada</strong></p>
<p>Pencalonan Ma'ruf adalah bagian langkah taktis Jokowi untuk menarik pemilih muslim. Tampaknya Jokowi ingin mencegah terulangnya perang yang sama yang dilakukan Prabowo pada pemilihan sebelumnya.</p>
<p>Ma'ruf dipilih karena dia telah dianggap sosok yang paling aman oleh pihak lain dalam koalisi Jokowi. Partai politik lainnya menerima pencalonan Ma'ruf karena ia tidak akan menjadi ancaman baru dalam pemilihan 2024.</p>
<p>Pengalaman Ma'ruf yang banyak di lembaga legislatif, pemerintahan dan organisasi muslim diharapkan dapat memaksimalkan mesin politik Jokowi.</p>
<p>Meski begitu, latar belakang Ma'ruf tampaknya tidak cocok dengan figur nasionalis Jokowi. Dengan kata lain, <em>co-branding</em> Jokowi dan Ma'ruf tidak cukup solid. Jokowi mungkin perlu membuat strategi meyakinkan pemilih bahwa dia dan pasangannya mendukung agenda yang sama.</p>
<p>Penunjukan Sandiaga juga merupakan kompromi politik. Itu adalah strategi Prabowo memastikan koalisinya akan tetap utuh.</p>
<p>Prabowo melihat Sandiaga sebagai sosok yang bertolak belakang dengan Ma'ruf. Sandiaga adalah seorang pemuda dan pebisnis profesional. Hal ini bisa mendongkrak popularitas Prabowo di kalangan pemilih muda. </p>
<p>Para pemilih muda dengan jumlah total 70 juta (atau sepertiga dari pemilih Indonesia) <a href="https://theconversation.com/big-bike-sneakers-and-denim-jacket-rebranding-jokowi-to-win-millennials-vote-in-2019-94890">adalah kunci</a> kemenangan pemilihan.</p>
<p>Penunjukan Sandiaga juga dapat memperkuat kampanye politik di belakang #2019GantiPresiden yang diluncurkan kubu Prabowo. Citra muda dan profesional Sandiaga akan menjadi antitesis sempurna bagi citra lama dan birokrat Jokowi.</p>
<p>Koneksi bisnis Sandiaga juga dapat menjadi sumber keuangan yang besar untuk mendukung kampanye.</p>
<h2>Ma'ruf sasar pemilih muslim, Sandi incar milenial</h2>
<p><strong>Arya Fernandes — Peneliti <em>Centre for Strategic and International Studies</em> (CSIS)</strong></p>
<p>Perubahan skenario politik dalam pencalonan wakil presiden menunjukkan upaya pasangan calon untuk menjawab tantangan politik eksternal saat kampanye nanti. </p>
<p>Jokowi dihadapkan pada situasi harus berkompromi dengan partai politik dan kekuatan politik eksternal, seperti <a href="https://news.detik.com/berita/4156600/nu-bicara-opsi-tinggalkan-jokowi-jika-mahfud-md-jadi-cawapres">Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)</a>. Posisi beberapa partai politik, terutama PKB, yang tidak menerima nama Mahfud MD membuat Jokowi berpikir ulang. </p>
<p>PKB mengancam keluar dari koalisi bila nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak dipilih. Selain itu desakan PBNU agar Jokowi memilih kader NU dan memberikan peringatan keras bahwa Mahfud bukanlah representasi NU juga membuat Jokowi bimbang.</p>
<p>Pilihan kepada Ma’ruf Amin bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, akomodasi politik Jokowi kepada partai koalisi dan kekhawatiran berubahnya dukungan partai, terutama kemungkinan terbentuknya poros ketiga, yang bisa saja menganggu suara Jokowi dalam pemilu.</p>
<p>Kedua, respons terhadap kondisi politik eksternal terutama kekhawatiran Jokowi pada menguatnya politik identitas. Ketakutan bahwa dirinya dipersepsikan tidak ramah terhadap kelompok pemilih muslim juga membuat Jokowi akhirnya harus menerima nama Ma’ruf. </p>
<p>Sebagai Ketua Umum MUI, Ma’ruf diharapkan Jokowi dapat menetralkan isu negatif terkait politik identitas.</p>
<p>Sementara, pilihan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45133067">Prabowo Subianto kepada Sandiaga Uno </a> juga menunjukkan awal perubahan narasi kampanye Prabowo. Bila Prabowo masih menggunakan narasi lama, sepertinya dia akan susah bersaing. </p>
<p>Bila narasi kampanye Prabowo-Sandiaga berubah, misalnya pro-investasi, pro-pasar, pro-toleransi, Jokowi akan kesulitan memenangi pemilihan.</p>
<p>Nama Sandiaga yang menguat pada menit akhir menunjukkan kemampuannya berunding dan lobi politik pada waktu yang krusial di tengah <em>deadlock</em> politik internal. </p>
<p>Sandiaga mampu membaca kebuntuan politik menjelang penetapan calon wakil presiden, karena beberapa partai koalisi tidak sepenuhnya menyetujui nama Salim Assegaf dan Agus Yudhoyono.</p>
<p>Pertimbangan Prabowo memilih Sandiaga, selain sebagai jalan tengah, juga karena mewakili elite politik baru yang berasal dari kalangan pengusaha-profesional, yang diharapkan mampu mengelola isu-isu ekonomi.</p>
<p>Pertimbangan lainnya adalah Sandiaga diharapkan bisa menarik suara dari kelompok milenial, pemilih pemula, perempuan, dan ibu rumah tangga. </p>
<h2>Mengabaikan pemilih perempuan dan pemuda</h2>
<p><strong>Ella S. Prihatini — Penerima beasiswa Endeavour dan kandidat PhD dari University of Western Australia</strong> </p>
<p>Kandidat presiden dan wakil presiden menunjukkan gagalnya regenerasi dalam proses demokrasi di Indonesia. Petahana berdampingan dengan ulama yang berusia 75 tahun. Prabowo juga memilih tokoh politik yang sudah memegang kekuasaan di pemerintahan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.</p>
<p>Pilihan-pilihan yang dibuat kandidat presiden jelas menunjukkan bahwa para kandidat mengabaikan kelompok-kelompok besar di populasi pemilih tapi sering tidak terwakili: perempuan dan generasi muda.</p>
<p>Jumlah perempuan setengah dari populasi nasional. Tetapi mereka tidak diwakili dalam pasangan calon saat ini. Pemilu saat ini masih didominasi oleh laki-laki, lebih khusus lagi laki-laki di atas usia 45 tahun. </p>
<p>Pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden ini menunjukkan pentingnya revisi aturan syarat minimal usia untuk menjadi caleg (calon legislator). UU Pemilu mengatur seseorang minimal berusia 21 tahun untuk bisa maju menjadi caleg, sedangkan syarat jadi pemilih adalah 17 tahun. </p>
<p>Kenapa ada jurang pemisah ini? Bila usia 17 tahun dianggap sudah cukup bertanggung jawab atas pilihan politik—maka diizinkan untuk memilih—lantas kenapa tidak dianggap pantas untuk dipilih?</p>
<p>Jika kita lihat batas minimal usia caleg di negara lain seperti Australia dan Jerman, mereka yang <a href="https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Senate/Powers_practice_n_procedures/Brief_Guides_to_Senate_Procedure/No_21">berusia 18 tahun</a>] sudah bisa mendaftarkan dirinya untuk maju dan turut serta dalam pencalonan anggota parlemen tingkat nasional. </p>
<p>Hal ini bisa menjadi salah satu strategi memupuk bibit-bibit politisi yang lebih muda dan lebih mewakili populasi pemilih.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/101391/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kami meminta para ahli untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi keputusan mendadak dalam memilih calon wakil presiden untuk pemilihan berikutnya.Burhanuddin Muhtadi, Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaArya Fernandes, Researcher, Centre for Strategic and International Studies, IndonesiaElla S. Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, The University of Western AustraliaNyarwi Ahmad, Director for Presidential Studies at Department at Digital Media and Communication Research Center, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1003172018-07-20T08:36:58Z2018-07-20T08:36:58ZRiset tunjukkan sepertiga pemilih Indonesia terima suap saat pemilu<p>Praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator atau calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu) – atau yang biasa disebut sebagai praktik jual beli suara atau politik uang – begitu merajalela di Indonesia.</p>
<p><a href="http://bellschool.anu.edu.au/news-events/events/5471/buying-votes-indonesia-partisans-personal-networks-and-winning-margins">Penelitian doktoral saya </a> mengenai praktik jual beli suara di Indonesia menemukan bahwa satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu. </p>
<p>Saya mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.</p>
<p>Artikel saya berusaha menjawab mengapa praktik jual beli suara begitu mengakar di Indonesia meski dianggap tabu oleh masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya membawa pengaruh sedikit pada hasil pemilu.</p>
<h2>Praktik jual beli suara: masa lalu dan masa sekarang</h2>
<p>Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan <a href="https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/herbert-feith-indonesia-election-of-1955.pdf">uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal</a> agar bisa memenangkan pemilu.</p>
<p>Pada saat masa Orde Baru, membeli suara pemilih <a href="https://www.amazon.com/Elections-Indonesia-Order-Beyond-Democracy/dp/0700713522">dianggap bukan strategi yang populer </a>karena partai politik pada saat itu melihat tidak ada untungnya melakukan praktik ini dengan sistem pemilu yang selalu memenangkan partai pemerintah, yaitu Golkar. Meskipun demikian, Golkar beberapa kali dilaporkan
<a href="https://www.uvic.ca/research/centres/capi/assets/docs/Schiller_Indonesian_Elections.pdf">membagikan uang</a> untuk memobilisasi dukungan massa. </p>
<p>Praktik jual beli suara <a href="http://repec.giga-hamburg.de/pdf/giga_06_wp37_ufen.pdf">hampir tidak terdengar pada pemilu 1999 </a>, ketika Indonesia baru berubah menjadi negara demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Saat itu, kompetisi terjadi antar partai, dan bukan antar kandidat, yang menurut saya berperan penting dalam mendorong maraknya praktik jual beli suara ini. </p>
<p>Saya perhatikan praktik jual beli suara mulai berkembang pada pemilu 2009, setelah pemerintah memperbolehkan individual kandidat untuk berkompetisi di dalam pemilu. Fakta bahwa setiap kandidat bersaing tidak hanya dengan calon lainnya dari partai yang berbeda tapi juga bersaing dengan kandidat lainnya dalam satu partai memperparah keberadaan praktik jual beli suara. </p>
<p>Praktik jual beli suara masih ada sampai sekarang. Dalam penelitian saya di lapangan selama 13 bulan pada 2013 dan 2014, saya menemukan kebanyakan para kandidat ini sangat terbuka dalam mendiskusikan berapa banyak uang yang mereka bagikan kepada para pemilih dan bagaimana mereka terlibat dalam praktik jual beli suara ini. </p>
<p>Praktik jual beli suara ini ada di mana-mana sehingga seorang mantan anggota parlemen pernah menantang saya dalam sebuah wawancara agar saya memotong jarinya jika saya bisa menemukan anggota parlemen yang terpilih tanpa membeli suara pemilih. </p>
<p>Meskipun jumlah kasus praktik jual beli suara di Indonesia tinggi, tidak banyak yang mengetahui berapa cakupannya dan bagaimana praktik ini mempengaruhi hasil pemilu. Riset saya berusaha menjawab kedua pertanyaan ini. </p>
<p>Menggunakan data survei yang dikumpulkan setelah pemilu 2014, saya menemukan bahwa setidaknya 33% dari pemilih pernah ditawari suap. Hal ini berarti bahwa dari 187 juta total jumlah pemilih, hampir 62 juta orang menjadi target praktik jual beli suara. Angka ini menempatkan Indonesia di nomor ketiga negara-negara di dunia yang melakukan praktik jual beli suara, setelah Uganda dan Benin. </p>
<h2>Menyebar melawan semua norma dan hukum</h2>
<p>Di kebanyakan negara, termasuk Indonesia, praktik jual beli suara dianggap ilegal dan tabu oleh masyarakat. </p>
<p><a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/node/534/undang-undang-nomor-7-tahun-2017">Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan</a> menganggap praktik ini sebagai sebuah bentuk kejahatan. Hukuman maksimal bagi para pelaku adalah denda sebesar Rp48 juta dan empat tahun penjara. </p>
<p>Orang yang menerima suap untuk memilih calon tertentu juga mendapat label negatif dari masyarakat karena dianggap tidak dapat melaksanakan mandat demokrasi yang telah diberikan. </p>
<p>Menyadari bahwa praktik jual beli suara bukanlah praktik yang lazim di kalangan masyarakat, saya berasumsi bahwa akan sulit bagi saya untuk menanyakan topik ini kepada responden karena kemungkinan besar mereka akan berbohong karena takut dihukum dan juga diasingkan secara sosial. </p>
<p>Berdasarkan asumsi tersebut, saya kemudian melakukan sebuah survei eksperimen yang diharapkan dapat mendorong pemilih untuk memberikan jawaban yang lebih jujur. Berbeda dengan survei biasanya, survei saya menggunakan seperangkat pertanyaan terselubung dan tidak langsung yang tidak akan mengintimidasi responden agar mereka bisa berkata jujur. </p>
<p>Survei yang saya kembangkan ini berdasarkan metode yang dilakukan di Nikaragua dan Libanon yang dibuat untuk mengantisipasi ketika responden berbohong mengenai fakta bahwa mereka disuap. </p>
<p>Ternyata hasil riset saya menunjukkan bahwa asumsi saya di atas salah. Baik menggunakan survei biasa maupun survei eksperimen, keduanya menunjukkan bahwa pemilih Indonesia secara terbuka mengakui bahwa mereka menerima suap untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini menandakan bahwa praktik jual beli suara di Indonesia tidaklah setabu seperti yang diperkirakan sebelumnya. </p>
<p>Pada masa kampanye pemilu 2014, saya menjadi saksi bagaimana istilah semacam NPWP dan golput menjadi begitu populer di kalangan para pemilih. NPWP yang biasanya merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, diplesetkan menjadi <em>Nomer Piro, Wani Piro</em>, yang diambil dari bahasa Jawa yang artinya menanyakan kepada kandidat, mereka berani bayar berapa agar pemilih memilih mereka. </p>
<p>Sementara itu, golput yang biasanya merujuk pada pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, saat itu diplesetkan menjadi “golongan penerima uang tunai”.</p>
<h2>Meski dampaknya kecil, jumlah kasus tetap banyak</h2>
<p>Meskipun praktik jual beli suara banyak ditemukan di Indonesia, dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah. Penelitian saya menunjukkan bahwa praktik jual beli suara ini hanya mempengaruhi sekitar 11% dari total hasil suara. </p>
<p>Saya menawarkan dua penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, kandidat salah target. Penelitian saya menunjukkan bahwa bukannya menargetkan pemilih loyal, para calon justru banyak menyasar pemilih yang tidak terikat yang belum tentu akan memberikan suara mereka. </p>
<p>Pemilih loyal, yang jumlahnya terbatas (hanya 15% dari jumlah seluruh pemilih), itu juga diperebutkan oleh banyak kandidat yang bersaing, sehingga membuat mereka sulit untuk disasar. </p>
<p>Kedua, kecenderungan para tim sukses (broker) untuk meraup keuntungan dari kandidat dengan membesar-besarkan jumlah pemilih loyal juga mengakibatkan mengapa dampak praktik jual beli suara begitu rendah. Banyak pemilih yang disuap bukanlah pemilih yang loyal terhadap kandidat. Pemilih ini mungkin menerima duitnya, tapi mereka memilih calon yang lain. </p>
<p>Selain itu, banyak tim sukses yang bahkan bekerja untuk beberapa kandidat, termasuk yang berasal dari partai politik yang berbeda, yang kemudian memungkinkan terjadinya pembelotan besar-besaran. </p>
<p>Namun, jika praktik jual beli suara terbukti tidak efektif, mengapa masih banyak ditemui? </p>
<p>Dalam studi ini, saya telah menghitung bahwa rata-rata margin kemenangan yang membedakan seorang kandidat yang lolos dengan yang tidak, hanya 1,65%. </p>
<p>Jadi, jika praktik jual beli suara ternyata bisa mempengaruhi hingga 11%, tidak heran jika banyak kandidat politik masih menggunakan strategi ini karena praktik ini mungkin saja memberi mereka kemenangan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100317/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Burhanuddin Muhtadi menerima beasiswa dari Australian Awards Scholarship (AAS) untuk program PhD-nya. Dia juga mendapat dana AAS; the Australian National University; Money Politics in Southeast Asia Project, proyek riset kolaboratif tentang politik uang; dan juga kantor dimana dia pernah bekerja, Indikator and Lembaga Survei Indonesia, untuk riset PhDnya.</span></em></p>Praktik jual beli suara sangat mengakar di Indonesia disamping penolakan dari masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya sedikit mempengaruhi hasil pemilihan.Burhanuddin Muhtadi, Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/941842018-03-29T09:49:08Z2018-03-29T09:49:08ZMempertahankan hubungan pertemanan selama pemilu: jangan bicara politik di media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/212628/original/file-20180329-189830-1vaasmi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C997%2C712&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kita perlu menemukan strategi agar keterlibatan kita dalam media sosial tidak akan membahayakan hubungan yang kita punyai sekarang.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/02/28/08350381/ini-tahapan-dan-jadwal-lengkap-pemilu-2019">Pemilihan presiden 2019</a> Indonesia sudah di depan mata. Dari pemilihan gubernur Jakarta tahun lalu, kita tahu bahwa hobi <em>posting</em> soal pandangan politik bisa menimbulkan konsekuensi sosial yang tidak diinginkan.</p>
<p>Teman saya berhenti berteman dengan tantenya di Facebook karena dia sangat jengkel dengan postingan dan komentar-komentar si tante yang menyerang pendirian politiknya. Hubungan mereka yang tadinya hangat dan akrab berubah menjadi canggung, cuma karena mereka berbeda pandangan politik.</p>
<h2>Apa yang harus kita lakukan?</h2>
<p>Media sosial membawa sebuah perubahan tak terbayangkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Media sosial memungkinkan kita menyiarkan minat-minat personal kita dalam bentuk-bentuk yang tak terbilang banyaknya, termasuk pandangan politik, pada orang banyak. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ujaran-kebencian-menyebar-via-media-sosial-saat-pilkada-dki-jakarta-apakah-portal-berita-terlibat-92413">Ujaran kebencian menyebar via media sosial saat pilkada DKI Jakarta, apakah portal berita terlibat?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebelum masanya internet dan kehadiran media sosial, panggung yang ada untuk menyiarkan pendapat politik terbatas pada media <em>mainstream</em> atau propaganda pemerintah. Namun sekarang, <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0038038511422553">semua orang</a>, dari politikus hingga warga biasa, dengan akses ke media sosial memiliki panggung untuk membagi pandangan mereka. </p>
<p>Dengan pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden di depan mata, kita akan melihat semakin maraknya perdebatan politik di media sosial. Kita perlu menemukan strategi agar keterlibatan kita dalam media sosial tidak akan membahayakan hubungan yang kita punyai sekarang.</p>
<p>Walaupun menyadari sepenuhnya bahwa menyingkirkan semua akses ke media baru itu nyaris mustahil, saya yakin ada cara-cara yang bisa kita tempuh agar kita tidak begitu menjengkelkan bagi, atau jengkel dengan, teman-teman Facebook kita. </p>
<p>Strategi-strateginya terkait dengan <a href="https://academic.oup.com/jcr/article/40/1/90/1792313">penerapan pengendalian diri</a> yang bisa muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, antara lain:</p>
<p><strong>Hindari perdebatan tidak berguna</strong></p>
<p>Perdebatan di kolom komentar Facebook bisa berubah dengan cepat menjadi pertengkaran yang <a href="http://dx.doi.org/10.1111/jcom.12188">memutus ikatan sosial</a>.</p>
<p>Para psikolog sosial sudah lama meyakini bahwa pendirian paling kuat adalah yang paling <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1467-9221.2005.00431.x">resisten terhadap persuasi</a>. Itu artinya semakin kita menantang teman-teman Facebook yang mengesalkan kita, semakin kebal mereka jadinya.</p>
<p>Malah, kita mungkin akan lebih beruntung bila kita tak acuh saja. Strategi deradikalisasi pandangan ideologis/politik esktrem yang terbaik seharusnya datang dari perenungan pribadi, bukan dari tekanan dari orang lain.</p>
<p><strong>Periksa tiga kali sebelum mengirim di media sosial</strong> </p>
<p><a href="https://www.forbes.com/forbes/welcome/?toURL=https://www.forbes.com/sites/alicegwalton/2018/03/08/false-news-spreads-faster-than-the-truth-on-twitter/&refURL=https://www.google.co.id/&referrer=https://www.google.co.id/">Berita palsu dan hoaks</a> selalu berisi unsur-unsur emosional dan itu sebabnya bisa menyebar lebih cepat dari berita sungguhan. Berita palsu sering membangkitkan emosi kita; sehingga mengundang perilaku impulsif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bukan-sekadar-berita-palsu-media-sosial-dan-kampanye-politik-yang-disetir-pasar-81755">Bukan sekadar berita palsu: media sosial dan kampanye politik yang disetir pasar</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebelum memutuskan apa yang akan dikirim, ada baiknya menimbang konsekuensi terburuk apa yang mungkin ditimbulkan kiriman tersebut. </p>
<p>Tanyakan kepada diri sendiri sebelum mengirim: apakah kita akan memberikan sumbangan positif atau apakah kiriman ini akan berakhir dengan pertikaian tak jelas lagi. Jika jawaban untuk pertanyaan pertama adalah tidak dan untuk yang kedua adalah ya, sebaiknya hindari tombol “kirim”.</p>
<p><strong>Sesekali lakukan diet media sosial</strong></p>
<p>Kita tidak punya kendali atas kehidupan orang lain, jadi alangkah baiknya tidak merepotkan diri dengan apa yang harus dilakukan orang lain. </p>
<p>Ketika kejengkelan mulai menjadi tak tertahankan, melakukan diet media sosial akan jauh lebih membantu daripada memutus pertemanan dengan teman-teman Facebook kita. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/212630/original/file-20180329-189816-fhxgwp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diet media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Menghentikan pertemanan dengan teman-teman Facebook berpotensi memerangkap kita dalam gelembung politik dan menjadikan kita kurang toleran dengan pandangan-pandangan yang berseberangan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-memasukkan-rasionalitas-ke-media-sosial-wilayah-publik-era-digital-86082">Bagaimana memasukkan rasionalitas ke media sosial, wilayah publik era digital?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Pandangan politik versus kepribadian</strong></p>
<p>Saya tak habis mengerti dengan fakta bahwa kita seringkali tidak bisa membedakan pendirian politik seseorang dengan kualitas personal seseorang yang mereka tunjukkan di dunia nyata. </p>
<p>Teman yang membuat status politik menjengkelkan boleh jadi adalah pribadi yang hangat dan baik hati dalam kehidupan sesungguhnya saat kita bertemu langsung. </p>
<p>Media sosial menghalangi kita melihat orang lain sebagai totalitas, memaksa kita memandang orang yang sikap politiknya berseberangan dengan kita secara <a href="http://dx.doi.org/10.1111/jcom.12188">kurang manusiawi</a>. Sekali lagi ini membuktikan media sosial sebagai tempat berbahaya bagi percakapan tentang politik, terutama ketika dialog terjadi antara dua orang yang merepresentasikan dua pihak yang berseberangan. </p>
<p>Walaupun ada sebuah studi yang mengonfirmasi bahwa media sosial berguna dalam <a href="http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2012.10.008">mendorong proses musyawarah yang demokratis</a>, jika orang ingin membicarakan politik elektoral, saya sangat menganjurkan untuk melakukannya dalam sebuah percakapan tatap muka yang sehat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/212629/original/file-20180329-189810-1q5hctb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Teman yang membuat status politik menjengkelkan boleh jadi adalah orang yang hangat dan baik hati dalam kehidupan sesungguhnya saat kita bertemu langsung.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure><img src="https://counter.theconversation.com/content/94184/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizqy Amelia Zein tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebelum posting di media sosial pikirkan dulu konsekuensi terburuk dari pesan yang akan Anda kirimkan.Rizqy Amelia Zein, Dosen di Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/938592018-03-23T11:09:58Z2018-03-23T11:09:58ZPsikografis: analisis perilaku yang Cambridge Analytica pakai untuk tahu pikiran pemilih<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/211676/original/file-20180323-54887-142lbis.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C0%2C913%2C519&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Melacak perilaku untuk menarik kesimpulan</span> <span class="attribution"><span class="source">GarryKillian/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Kesepakatan yang telah terungkap antara Cambridge Analytica dan Facebook mengandung semua elemen seru Hollywood: CEO ala musuh Bond, miliarder yang penyendiri, peniup peluit naif yang juga punya kepentingan, ilmuwan data bergaya hipster yang banting stir jadi politikus, akademisi dengan etika yang patut dipertanyakan, dan tentunya presiden Amerika Serikat terpilih beserta keluarganya yang berpengaruh. </p>
<p>Sebagian besar diskusi telah berkutat pada bagaimana Cambridge Analytica bisa memperoleh data lebih dari 50 juta pengguna Facebook—dan bagaimana mereka diduga gagal menghapus data ini ketika diminta. Namun sebenarnya ada juga persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan Cambridge Analytica dengan data tersebut. Kenyataannya, pendekatan Cambridge Analytica dalam memproses data mewakili tren penggunaan analisa data saat ini sebagai alat untuk menghasilkan wawasan—dan untuk menciptakan pengaruh. </p>
<p>Sebagai contoh, lembaga survei telah lama menggunakan teknik segmentasi untuk menyasar kelompok pemilih tertentu, misalnya dengan memilah peserta berdasarkan jenis kelamin, usia, penghasilan, tingkat pendidikan, dan besar/kecilnya keluarga. Segmentasi juga dilakukan dengan melihat afiliasi politik atau preferensi belanja. Mesin analisis data yang digunakan calon presiden Hillary Clinton pada kampanye tahun 2016 lalu—dinamakan Ada, dari nama ahli matematika abad ke-19 dan perintis komputasi awal—menggunakan segmentasi canggih untuk membidik kelompok pemilih, seperti yang dilakukan Barack Obama empat tahun sebelumnya.</p>
<p>Cambridge Analytica dikontrak oleh tim kampanye Trump dan memberi senjata yang benar-benar baru untuk mesin pemilihan. Selain menggunakan segmen demografis untuk mengidentifikasi pemilih seperti pada kampanye Clinton, Cambridge Analytica juga melakukan segmentasi berdasarkan <a href="https://hbr.org/2016/03/psychographics-are-just-as-important-for-marketers-as-demographics">psikografis</a>. Demografis sifatnya informatif berdasarkan kelas, edukasi, pekerjaan, usia, dan sebagainya. Sedangkan psikografis sifatnya perilaku—sarana untuk melakukan segmentasi berdasarkan kepribadian.</p>
<p>Hal ini sangat masuk akal karena jelas dua orang dengan profil demografi yang sama (misalnya lelaki kulit putih, usia paruh baya, bekerja, menikah) bisa memiliki kepribadian dan opini yang sangat berbeda. Kita juga tahu bahwa menyesuaikan sebuah pesan sesuai dengan kepribadian seseorang—apakah mereka terbuka, introvert, argumentatif, dan sebagainya—sangat membantu untuk menyampaikan pesan tersebut.</p>
<h2>Memahami orang dengan lebih baik</h2>
<p>Secara tradisional, ada dua jalan untuk memastikan kepribadian seseorang. Bisa dengan cara mengenal mereka dengan sangat baik—biasanya dalam waktu yang lama. Atau Anda bisa membuat mereka mengkuti tes kepribadian dan meminta mereka menunjukkan hasilnya pada Anda. Tidak satu pun dari metode ini realistis untuk dilakukan pada para pemilih. Cambridge Analytica menemukan cara ketiga, dengan bantuan dua akademisi dari Universitas Cambridge.</p>
<p>Pertama, Aleksandr Kogan, yang menjual kepada mereka akses ke 270.000 tes kepribadian yang diselesaikan oleh pengguna Facebook <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-03-20/meet-the-psychologist-at-the-center-of-facebook-s-data-scandal">melalui aplikasi daring yang diciptakannya</a> untuk kepentingan riset. Memberikan data tersebut ke Cambridge Analytica tampaknya berlawanan dengan kode etik Facebook, tapi baru pada Maret 2018 Kogan dilarang oleh Facebook dari platformnya. Ditambah lagi, data Kogan juga disertai bonus: ia telah dilaporkan mengumpulkan Facebook dari teman-teman yang mengikuti tes kepribadian—dan, dengan rata-rata 200 teman per orang, tersebutlah jumlah sampai sekitar 50 juta orang.</p>
<p>Namun, tidak semua dari 50 juta orang ini mengikuti tes kepribadian yang diciptakan Kogan. Di sinilah peran akademisi kedua Cambridge <a href="https://www.psychometrics.cam.ac.uk/about-us/directory/michal-kosinski">Michal Kosinski</a>. Kosinski—yang dilaporkan meyakini bahwa penyasaran mikro berdasarkan data daring bisa memperkuat demokrasi—telah menemukan sebuah cara untuk <a href="https://applymagicsauce.com/">merekayasa balik suatu profil kepribadian berdasarkan aktivitas Facebook</a> seperti “likes”. Ketika Anda memilih foto matahari terbenam, anak anjing, atau manusia, hal-hal tersebut bisa memberi informasi banyak mengenai kepribadian Anda. Aktivitas Anda di Facebook memberi informasi yang begitu kaya, hanya berdasarkan 300 “likes”, model Kosinski bisa memprediksi profil kepribadian seseorang <a href="https://www.theguardian.com/technology/2015/jan/13/your-computer-knows-you-researchers-cambridge-stanford-university">dengan akurasi yang sama dengan pasangan suami atau istri</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/211322/original/file-20180321-165583-uvdzz2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sesuatu yang berbeda untuk tiap orang.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/cropped-image-young-man-working-on-648758662?src=8MwCturVDH8XHvp9TzgCRg-1-24">GaudiLab via Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kogan mengembangkan ide Kosinki, memperbaikinya, dan membuat kesepakatan dengan Cambridge Analytica. Dari harta karun ini—dan digabungkan dengan data tambahan yang diambil dari tempat lain—Cambridge Analytica membangun profil kepribadian untuk lebih dari 100 juta pemilih terdaftar. Dinyatakan bahwa perusahaan tersebut menggunakan profil ini untuk membuat iklan yang tepat sasaran.</p>
<p>Bayangkan misalnya Anda bisa mengidentifikasi segmen pemilih yang sangat teliti dan sedikit neurotik, dan segmen lain sangat ekstrovert tapi tidak begitu terbuka. Pastinya, orang di tiap segmen akan merespon iklan politik yang sama dengan cara berbeda. Namun di Facebook, mereka sama sekali tidak perlu melihat iklan yang sama—tiap orang akan melihat iklan yang dibuat secara individual, guna mendapatkan respons yang diinginkan. Respons tersebut tergantung tujuan pengiklan, apakah itu memilih seorang calon, tidak memilih calon yang lain, atau untuk menyumbang dana.</p>
<p>Cambridge Analytica mengembangkan lusinan variasi iklan pada tema politik berbeda seperti imigrasi, ekonomi, dan hak kepemilikan senjata; semua dirancang untuk profil kepribadian yang berbeda. Tidak ada bukti bahwa mesin pemilih Clinton memiliki kemampuan yang sama. </p>
<p>Analisis perilaku dan profil psikografik akan terus ada, apapun yang terjadi pada Cambridge Analytica—yang telah <a href="https://www.cnbc.com/2018/03/19/facebook-data-scandal-cambridge-analytica-denies-whistleblowing-claim.html">mengkritik dengan tegas</a> apa yang disebutnya “tuduhan palsu di media”. Di satu sisi, mereka mengindustrialisasi apa yang selalu dilakukan oleh orang penjualan yang baik, yakni dengan menyesuaikan pesan mereka dan menyampaikannnya kepada pelanggan sesuai kepribadian mereka. Pendekatan untuk pemilihan umum ini—dan juga untuk pemasaran—akan menjadi warisan terakhir Cambridge Analytica.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/93859/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Michael Wade adalah salah satu penulis Digital Vortex: How Today's Market Leaders Can Beat Disruptive Competitors at Their Own Game.</span></em></p>Bagaimana ilmu perilaku berbasis data diuji coba dalam dunia politik.Michael Wade, Professor of Innovation and Strategy, Cisco Chair in Digital Business Transformation, International Institute for Management Development (IMD)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922792018-02-26T10:18:36Z2018-02-26T10:18:36ZPolarisasi politik tak melulu buruk—asalkan dua syarat terpenuhi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/207472/original/file-20180222-152351-b1vp8l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=32%2C6%2C2122%2C1414&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kecenderungan polarisasi politik di Indonesia efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu antara Presiden Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto. </span> <span class="attribution"><span class="source">REUTERS/Darren Whiteside/Beawiharta</span></span></figcaption></figure><p>Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini. </p>
<p>Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu antara Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto, mantan jenderal di era Soeharto yang mendirikan Partai Gerindra. </p>
<p>Tren polarisasi itu berlanjut pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, dan tampaknya akan berlanjut pada pilpres 2019 nanti jika koalisi partai politik yang bertarung tidak banyak berubah.</p>
<p>Ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (<em>trust</em>) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi. </p>
<p><a href="https://books.google.com/books?id=J93o05MH3v8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false;%20https://www.jstor.org/stable/pdf/3088895.pdf?refreqid=excelsior%3A7827474c172d451a8d964058887d54bd">Banyak penelitian telah membuktikan</a> bahwa sikap saling percaya antarwarga adalah fondasi mikro yang akan mendorong anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Lewat berbagai saluran sukarela, partisipasi politik itu pada akhirnya akan menyuburkan demokrasi. </p>
<p>Karena itu, terkikisnya sikap saling percaya warga dikhawatirkan akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rendahnya partisipasi politik, seperti rendahnya penggunaan hak pilih dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, berpengaruh pada <a href="https://books.google.co.id/books/about/Participation_in_America.html?id=9K5fdvfmGREC&redir_esc=y">rendahnya mutu demokrasi</a>. </p>
<p>Apakah polarisasi politik benar-benar mengkhawatirkan?</p>
<h2>Polarisasi massa</h2>
<p>Politik Amerika Serikat adalah contoh elite dan warganya terbelah antara kaum liberal dan konservatif, Partai Republik dan Partai Demokrat. Inggris adalah contoh lain yang mengalami polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, terutama direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Konservatif. </p>
<p>Namun, polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi. Menurut ilmuwan politik <a href="https://books.google.com/books?id=B82_x2v_CGQC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">James Q. Wilson (2012)</a>, komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih.</p>
<p>Polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya, sejak rezim Soeharto menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di antaranya lewat kebijakan partai politik tidak boleh memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten, indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita. </p>
<p>Keterbukaan di era demokrasi, sesudah lengsernya Soeharto, tak serta merta mendorong debat ideologis di masyarakat. Presidensialisme multi-partai yang kita anut pasca-reformasi justru mendorong munculnya pragmatisme politik: partai-partai politik berkoalisi berdasarkan kepentingan jangka pendek, seperti memperoleh kursi kabinet, tanpa mempertimbangkan ideologi. </p>
<p>Dalam banyak kasus, polarisasi umumnya merupakan perpanjangan perbedaan garis politik yang tumbuh di kalangan elite di legislatif, yang kemudian mempengaruhi perilaku politik warga. Misalnya, perbedaan posisi elite Partai Demokrat dan Republik di Amerika atas isu aborsi pada era 1990-an membuat publik Amerika terbelah dan mengadopsi posisi elite yang mereka dukung.</p>
<p>Namun, dalam politik mutakhir Indonesia, polarisasi lebih merupakan fenomena populer yang berkembang di tingkat massa, ketimbang elite politik. </p>
<p>Kecenderungan non-ideologis politik kepartaian Indonesia membuat elite politik bisa bermanuver ke segala arah. Umumnya mereka bergerombol di kutub koalisi yang berkuasa. Tentu banyak motifnya, tapi mudah untuk menemukan dorongan keuntungan ekonomi dan politik di baliknya. </p>
<p>Misalnya, tidak lama setelah Jokowi memenangkan kursi presiden pada pilpres 2014, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan mengubah haluan koalisi menjadi pendukung Jokowi, yang membuat mereka memperoleh kursi di kabinet. Partai-partai ini meninggalkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di kubu oposisi. </p>
<p>Perubahan koalisi ini tidak serta merta diikuti pendukungnya. Komitmen pemilih terhadap kandidat yang mereka dukung tampak lebih kuat ketimbang pragmatisme elite. </p>
<p>Komentar dan perdebatan politik para pengguna media sosial memperlihatkan jelas bagaimana polarisasi politik terus berlangsung. Para pendukung masing-masing calon presiden pada pilpres 2014 lalu tetap mempertahankan sikap antagonisme mereka hingga kini.</p>
<h2>Partisipasi politik</h2>
<p><a href="https://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3391&context=etd;">Studi terbaru</a> tentang polarisasi politik mengungkap bahwa polarisasi justru mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. <a href="https://books.google.com/books?id=LVHF3roJPU0C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">Sarjana politik Alan Abramowitz (2010)</a>, misalnya, menemukan bukti selama pemilihan presiden Amerika pada 2004 dan 2008, para pemilih termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Abramowitz menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi. </p>
<p>Banyak yang menyaksikan bahwa pilpres Indonesia 2014 telah membelah banyak ikatan keluarga dan teman. Namun, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 70%. Angka partisipasi itu cukup tinggi dibandingkan misalnya pengguna hak pilih di Amerika pada pilpres 2016 yang hanya 55%. </p>
<p>Begitu juga dengan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam pilgub DKI 2017 mencapai <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2017#cite_note-48">78%</a> sementara <a href="https://kpujakarta.go.id/file_data/Hasil%20Penghitungan%20Suara%20Provinsi%20DKI%20Jakarta%20Pemilu%20Gubernur%20dan%20Wakil%20Gubernur%20Tahun%202012.pdf">pada 2012 66.7%</a>** </p>
<p>Selain itu, ada fakta penting lain yang muncul: banyak orang menjadi lebih sadar akan politik, ingin tahu tentang kandidat dan kebijakan yang mereka tawarkan, dan berpartisipasi dalam melakukan kampanye untuk kandidat yang mereka dukung. Singkatnya, polarisasi telah mengaktifkan mereka yang sebelumnya tidak terlibat dalam politik untuk lebih aktif dalam politik.</p>
<p>Para pemilih juga menjadi lebih aktif mengawasi kinerja pemerintah. Sementara pendukung Presiden Jokowi terus mendukung setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya terus-menerus mengkritik setiap kebijakan yang diambil pemerintah. </p>
<p>Dengan bantuan media sosial, mudah bagi kedua kelompok untuk menyebarkan opini terkait kebijakan yang mereka setujui atau tidak setujui. Efeknya, pemerintah tidak hanya dituntut lebih transparan dan akuntabel, namun juga harus memiliki justifikasi yang rasional untuk tiap kebijakannya jika tidak ingin dikritik habis-habisan.</p>
<h2>Posisi kandidat</h2>
<p>Dampak lain dari menguatnya polarisasi massa adalah para kandidat terdorong untuk membedakan kebijakan yang mereka tawarkan kepada para pemilih. Bagi kandidat, itu penting untuk mempertahankan pendukung setia mereka. Bagi pemilih, polarisasi semacam itu akan membantu mereka memilih kandidat yang tepat. </p>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.9.070204.105138">Geoffrey C. Layman dkk</a> menegaskan bahwa perbedaan kebijakan yang lebih jelas antara kandidat akan memungkinkan warga untuk melihat perbedaan posisi kandidat atas suatu kebijakan, sehingga mendorong mereka memberi suara berdasarkan kebijakan. </p>
<p>Pendeknya, polarisasi politik tak melulu berefek buruk. Ia justru berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat dukungan partisan para kandidat. </p>
<p>Tentu saja, polarisasi politik akan memperkuat demokrasi dengan dua kondisi. Pertama, para elite tidak terdorong untuk terus mengeksploitasi politik identitas dan menggunakan kampanye negatif untuk menyerang kelemahan lawan. Upaya-upaya tersebut, seperti tampak pada pilpres 2014 dan pemilihan gubernur Jakarta 2017 lalu, hanya melahirkan kompetisi yang tidak sehat. </p>
<p>Kedua, publik tidak terus-menerus saling menebar kabar bohong dan ujaran kebencian lewat media sosial. Ini kontraproduktif bagi proses demokrasi. Penegakan hukum oleh aparat kepolisian boleh jadi satu cara mengurangi penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian. Kita berharap media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga institusi pendidikan dan keagamaan, dapat turut menanamkan kesadaran publik tentang perlunya bersikap etis dan kritis dalam politik. Bukan malah sebaliknya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92279/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Testriono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Asalkan eksploitasi politik identitas dihindari dan publik menahan diri dari menyebar kabar bohong, polarisasi bisa bermanfaat.Testriono, Researcher at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/895412018-01-18T10:30:16Z2018-01-18T10:30:16ZBagaimana mendongkrak keterwakilan perempuan di DPR?<p>Memasuki awal 2018, diskusi mengenai pemilihan umum (pemilu) Indonesia yang digelar tahun depan mulai mengemuka. Selain isu calon presiden, tak kalah penting adalah calon-calon legislator yang akan menjadi representasi rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, dan keterwakilan perempuan dalam lembaga tersebut. </p>
<p>Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tidak hanya penting dari aspek perimbangan antara laki-laki dan perempuan. Populasi Indonesia separuhnya berjenis kelamin perempuan. Namun lebih dari itu, kehadiran anggota parlemen perempuan diharapkan bisa menjamin kepentingan kaum perempuan menjadi salah satu prioritas kebijakan, di antaranya terkait dengan isu pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan layanan kesehatan.</p>
<p>Angka keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Saat pemilu pertama kali digelar pada 1955, jumlah kursi perempuan hanya 5,06%, dan angka ini terus bertambah secara bertahap hingga mencapai 11,4% pada 1997 (KPU 2014). </p>
<p>Selepas rezim Orde Baru, berbagai reformasi hukum terkait dengan pemilu legislatif mengenalkan <a href="http://paperroom.ipsa.org/papers/paper_5065.pdf">sistem kuota gender</a> yang bertujuan membuka peluang lebih besar bagi perempuan untuk terpilih. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/rih96/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="400"></iframe>
<h1>Kuota gender belum efektif</h1>
<p>Namun, melihat pengalaman tiga siklus pemilu yakni 2004, 2009, dan 2014, kuota gender yang mewajibkan partai untuk menempatkan perempuan sedikitnya 30 persen di daftar calon tetap (DCT) belum mendongkrak keterpilihan perempuan secara signifikan. </p>
<p>Pada 2004, perempuan hanya berhasil menguasai 11,24% kursi di DPR. Pada pemilu lima tahun kemudian jumlahnya naik menjadi 18,21%. Sementara pada 2014 <a href="https://www.antaranews.com/berita/561232/buntunya-advokasi-perempuan-berpolitik">keterwakilan perempuan justru menipis menjadi 17%</a>. </p>
<p>Secara umum, jumlah calon legislatif (caleg) perempuan dari tujuh partai yang bersaing di tiga pemilu legislatif terus meningkat. Namun mengapa jumlah perempuan yang terpilih tidak bisa meningkat secara maksimal? </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/kyq71/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="400"></iframe>
<h1>Caleg perempuan nomor urut 1</h1>
<p>Dalam <a href="https://books.google.co.id/books/about/Political_Recruitment.html?id=GlAbudeTSwQC&redir_esc=y">bukunya yang mengulas rekruitmen politik</a> Pippa Norris dan Ronald Inglehart menawarkan tiga tingkat analisis: faktor sistematik, faktor partai, dan individu calon legislatif. </p>
<p>Undang-Undang Pemilu, sistem partai, dan sistem hukum di sebuah negara termasuk dalam kategori faktor sistematik. Sementara faktor partai politik meliputi ideologi dan aturan internal partai dalam mencalonkan perempuan sebagai anggota legislatif. </p>
<p>Faktor terakhir terkait dengan aspek motivasi dan sumber daya individu orang yang akan menjadi caleg. </p>
<p>Dalam tulisan ini, analisis saya akan fokus pada faktor partai politik dalam menominasikan caleg perempuan. Hal yang bisa diukur adalah tren penempatan caleg perempuan di nomor urut 1 dan tingkat keterpilihan caleg perempuan yang berada di nomor urut teratas. </p>
<p>Analisis statistik dari <a href="http://www.kpu.go.id/index.php/pages/index/NzE0">data hasil pemilu</a> menunjukkan, mayoritas caleg yang berhasil melenggang ke Senayan adalah mereka yang dinominasikan pada nomor urut satu. </p>
<p>Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa nomor urut sangat menentukan keterpilihan seorang caleg. Meski demikian, patut pula dicermati bahwa peluang untuk terpilih nomor urut 4 dan seterusnya ternyata meningkat 10 kali lipat dari 1,6% pada 2004 menjadi 16,4% pada pemilu 2014. </p>
<p>Sementara itu, keterpilihan caleg nomor 1 terus menurun dari 73,6% pada 2004 menjadi 62,1% pada 2014. Sebagian faktor penjelas dari tren ini adalah mulai diberlakukannya sistem pemilu yang terbuka (<em>open-list</em>) pada pemilu 2014. Dalam sistem ini, kalah-menangnya caleg semata ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Sistem pemilihan yang semacam ini memberikan peluang untuk caleg di nomor urut besar bisa terpilih, dan trennya terus naik. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/uTi3x/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="400"></iframe>
<h2>Cara partai menominasikan caleg perempuan</h2>
<p>Analisa terhadap tujuh partai politik yang mengikuti tiga pemilu legislatif menunjukkan bahwa tiap-tiap partai memiliki pola yang berbeda saat menominasikan caleg perempuan. </p>
<p>Grafik di bawah ini menunjukkan dua partai berbasis Islam; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menempatkan caleg perempuan di nomor urut satu dengan tren yang berlawan arah. </p>
<p>PPP secara stabil dan signifikan terus menambah porsi caleg perempuan nomor urut satu, bahkan rasionya merupakan yang tertinggi di antara semua partai. Sedangkan PKS menempatkan semakin sedikit perempuan di nomor urut 1. </p>
<p>Pada pemilu 2014, PPP menempatkan perempuan sebagai caleg nomor satu di 22 daerah pemilihan (dapil), sementara PKS hanya mengisi satu daerah pemilihan dengan perempuan sebagai caleg teratas. </p>
<p>Partai-partai lain, kecuali Golkar, menunjukkan peningkatan alokasi caleg perempuan di nomor urut 1. Peningkatan paling tajam terjadi di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kenaikannya mencapai nyaris 600 % dibandingkan pemilu 2009. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/qSC1o/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Dalam pemilu 2014, terlihat jelas bahwa 90 persen caleg perempuan yang terpilih dari PPP adalah mereka yang menempati nomor urut 1. Dengan kata lain, banyak pemilih PPP mendukung caleg perempuan yang ditempatkan di posisi teratas. Sementara di partai lain, seperti Golkar dan Demokrat, mayoritas perempuan yang terpilih justru bukan duduk di nomor urut 1, sebagian bahkan ada yang melaju dengan nomor urut 7, 8, dan 9. </p>
<p>Grafik berikut memetakan tingkat kesuksesan caleg perempuan dengan nomor satu dalam pemilu 2009 dan 2014. Terlihat bahwa pada pemilu 2009, Partai Demokrat, PDI-P, dan PKS berhasil mengirimkan 100 persen caleg perempuan nomor urut 1 ke DPR. </p>
<p>Sementara di pemilu berikutnya, “success rate” ini anjlok untuk semua partai kecuali Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Salah satu faktor penjelasnya terletak pada aspek sistem pemilu terbuka, yang memungkinkan semua caleg bisa terpilih tanpa peduli posisi nomor urut. Aspek lain ditentukan oleh berkurangnya perempuan ditempatkan di posisi teratas, terjadi di PKS yang hanya punya satu dapil dengan caleg perempuan sebagai pemimpin daftar calon tetap (DCT). </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/GzEjE/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="600"></iframe>
<h2>Selanjutnya apa?</h2>
<p>Berkaca dari pengalaman tiga kali pemilu legislatif, apakah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan jumlah anggota perempuan DPR? Satu hal yang tetap relevan adalah mengupayakan agar caleg perempuan semakin banyak ditempatkan di nomor urut teratas, meskipun memang dengan sistem terbuka siapa saja dan di nomor mana saja bisa terpilih.</p>
<p>Di sisi lain, beberapa politikus dan aktivis perempuan mulai mendesak agar partai politik memainkan peranan yang lebih gencar dalam kaderisasi agar perempuan yang maju dalam pemilihan legislatif adalah mereka yang benar-benar memiliki sumber daya serta kemampuan politik yang serius.</p>
<p>Sebuah <a href="http://www.ifes.org/sites/default/files/20110119_indonesia_electoral_survey_2.pdf">survei oleh International Foundation for Electoral Systems (IFES) pada 2010</a>
mengindikasikan bahwa pemilih meminati caleg perempuan yang memiliki beberapa kualitas unggulan. Kualitas yang paling dicari oleh pemilih adalah kecerdasan (35%), bersih dari korupsi (26%), dan pengalaman di dunia politik (20%). Hal ini menunjukkan bahwa untuk berhasil mendulang suara, caleg perempuan perlu mengasah nilai tambahnya mulai dari kemampuan intelektual, praktik politik yang bersih, dan mengumpulkan “jam terbang” sebagai politikus. </p>
<p>Pada akhirnya, memperbanyak jumlah caleg perempuan memang penting untuk menjamin peluang keterpilihan di pemilu. Lebih ideal lagi bila partai serius menempatkan perempuan sebagai kandidat teratas di banyak dapil. Namun jauh lebih penting sekarang adalah meningkatkan kualitas caleg agar jumlah perempuan menjadi wakil rakyat di DPR menjadi lebih banyak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89541/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ella S Prihatini menerima beasiswa Endeavour dari Department of Education and Training Australia. </span></em></p>Kuota gender yang mewajibkan partai untuk menempatkan perempuan sedikitnya 30 persen di daftar calon tetap (DCT) belum mendongkrak keterpilihan perempuan secara signifikan.Ella S. Prihatini, PhD student, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.