tag:theconversation.com,2011:/es/topics/reformasi-54218/articlesreformasi – The Conversation2023-05-26T09:24:32Ztag:theconversation.com,2011:article/2063262023-05-26T09:24:32Z2023-05-26T09:24:32ZPerubahan budaya korporasi butuh kaum muda yang melakukan reformasi jangka panjang – bukan revolusi semalam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/528559/original/file-20230526-19-snkhng.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kaum muda bisa jadi memandang bahwa revolusi itu lebih menarik ketimbang reformasi. Namun, para pemimpin masa depan perlu terbuka dengan realitas bahwa perubahan yang bermakna dan tahan lama itu terjadi secara inkremental dan perlahan-lahan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Banyak institusi kapitalis saat ini <a href="https://utorontopress.com/9781487508425/connected-capitalism/">menuai dampak buruk</a> akibat <a href="https://www.economist.com/graphic-detail/2016/05/05/comparing-crony-capitalism-around-the-world">politik kroni</a>, <a href="https://theconversation.com/food-giants-reap-enormous-profits-during-times-of-crisis-184223">keserakahan</a>, dan pola <a href="https://www.vox.com/the-big-idea/2016/10/3/13141852/short-term-capitalism-clinton-economics">pikir jangka pendek</a>. Tapi, berbicara kapitalisme tak hanya tentang bobroknya saja, atau dampak negatif yang terjadi karena tindakan kelompok elit yang serakah.</p>
<p>Merombak kapitalisme dimulai dengan reformasi, yang berarti memberlakukan perubahan-perubahan di dalam struktur yang ada.</p>
<p>Menariknya, kelompok terkini yang memasuki angkatan kerja, yakni Gen Z, punya <a href="https://iea.org.uk/publications/left-turn-aheadsurveying-attitudes-of-young-people-towards-capitalism-and-socialism/">tingkat kepercayaan yang rendah</a> terhadap sistem korporasi. Mereka enggan “bermain” di sistem yang aturan mainnya sulit mereka percayai.</p>
<p>Meski riset tentang Gen Z belum banyak, kita tahu bahwa Gen Z <a href="https://www.ceeol.com/search/article-detail?id=531928">tampak tidak terlalu melibatkan diri</a> secara sosial (<em>civil engagement</em>) dan enggan bekerja sama dalam tim.</p>
<p>Selain itu, menurut <a href="https://ethisphere.widen.net/s/rgmldwrwxc/ethisphere-2023-ethical-culture-report-jan2023">studi terkini</a> dari perusahaan nirlaba Ethisphere, Gen Z termasuk salah satu yang paling gencar mengadopsi komitmen-komitmen etis, namun sekaligus yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk melaporkan adanya perilaku buruk di tempat kerja. Hampir 39% responden Gen Z memilih tidak melaporkan pelanggaran yang mereka lihat – selisih 11 poin dari kolega Gen X dan Baby Boomer mereka.</p>
<p>Pekerja Gen Z tidak percaya bahwa melaporkan pelanggaran dan perilaku buruk di tempat kerja itu sepadan dengan potensi bahwa mereka bisa mendapatkan perlawanan balik atau bahkan hukuman. Mereka juga ragu bahwa pelanggaran tersebut akan benar-benar ditindak.</p>
<p>Jadi, bagaimana Gen Z bisa menjadi agen reformasi yang efektif di tengah sistem yang tidak mereka percayai?</p>
<h2>Pentingnya kepercayaan</h2>
<p>Studi dari Ethisphere tersebut menemukan bahwa semakin muda seorang pegawai, semakin rendah kepercayaannya terhadap kebijakan korporasi yang dirancang untuk mencegah perlawanan balik ketika ada laporan. Temuan ini pun selaras dengan data yang lebih luas yang menunjukkan bahwa Gen Z memang <a href="https://morningconsult.com/form/gen-z-worldview-tracker/">cenderung tak percaya dengan institusi secara umum</a>.</p>
<p>Kenapa ini penting?</p>
<p>Studi akademik menjelaskan bahwa korporasi didorong oleh <a href="http://www.patriciathornton.com/files/Thornton_AJS_1999.pdf">logika-logika institusi</a> – yakni pola praktik, nilai, dan aturan historis yang dikonstruksikan secara sosial, yang memandu kegiatan sehari-hari dalam lingkungan korporat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A young woman sitting at a desk reading a sheaf of paper" src="https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Studi terkini menunjukkan bahwa Gen Z punya kepercayaan yang rendah terhadap sistem korporasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beragam logika institusional ini berkaitan dengan <a href="https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/36441/Imprinting2013.pdf?sequence=1">dampak historis dari lingkungan kerja terdahulu (<em>imprinting</em>)</a>. Proses ini pun melampaui sejarah itu sendiri – dampak dari <em>imprinting</em> organisasi bervariasi seiring waktu, merefleksikan keterikatan antara masa lalu dan masa kini, mengingat ia terus bertahan meski lingkungan sosial berubah.</p>
<p>Organisasi berpatokan pada logika-logika yang telah mengakar ini untuk menunjang citra mereka dan membantu kita memahami lingukungan sosial, serta sebagai panduan kita berperilaku dalam organisasi.</p>
<p>Perlawanan dan kritik terhadap logika institusional yang sudah usang ini, kini telah berujung pada lingkungan yang mampu berubah. Misalnya, ada masanya ketika logika institusional yang dominan, terutama yang terkait tujuan perusahaan, hanya berfokus pada <a href="https://philosophia.uncg.edu/media/phi361-metivier/readings/Friedman-Increase%20Profits.pdf">peningkatan profit</a>.</p>
<p>Akibat perlawanan dan kritik selama beberapa dekade, kini kita menyaksikan adanya logika institusional baru. Tujuan dari korporasi kini telah didefinisikan ulang untuk melibatkan <a href="https://www.researchgate.net/profile/Robert-Phillips-19/publication/337990788_On_the_2019_Business_Roundtable_Statement_on_the_Purpose_of_a_Corporation/links/5fda46c9299bf1408816d7a7/On-the-2019-Business-Roundtable-Statement-on-the-Purpose-of-a-Corporation.pdf">seluruh pemegang kepentingan (<em>stakeholder</em>) – bukan hanya pemegang saham (<em>shareholders</em>)</a> – dari kegiatan korporasi.</p>
<p>Pergeseran dari logika <em>shareholder</em> ke <em>stakeholder</em> ini merepresentasikan perubahan 180 derajat dari pola pikir institusional terdahulu. Cara-cara lama, meski telah mendarah daging, kini menjadi ditantang ketika para pemimpin korporasi dihadapkan dengan <a href="https://doi.org/10.5465/19416520.2011.590299">cara-cara baru</a> untuk menjalani dan melihat berbagai hal.</p>
<h2>Tidak ada jalan pintas untuk transformasi</h2>
<p>Meski kepercayaan-kepercayaan yang terinternalisasi serta kebiasaan-kebiasaan lama kini akhirnya mulai dipertanyakan, perubahannya cukup lambat. Riset terkait teori institusi menunjukkan bahwa konflik antara nilai lama dan baru akan terselesaikan melalui <a href="https://doi.org/10.5465/amr.2014.0405">perubahan-perubahan yang bersifat episodik atau bertahap</a>.</p>
<p>Perubahan semacam ini melibatkan periode-periode ketika organisasi menjadi terbuka bagi orang-orang untuk menerapkan perubahan bermakna, tapi juga diselangi periode-periode stabil ketika tidak ada perubahan yang terjadi.</p>
<p>Bisa dipahami kenapa kaum muda bisa jadi memandang bahwa revolusi itu lebih menarik ketimbang reformasi. Akan tetapi, kita butuh pemimpin masa depan yang terbuka terhadap realitas bahwa perubahan yang bermakna dan tahan lama itu sifatnya inkremental (sedikit demi sedikit). Perlu kesabaran dan komitmen.</p>
<p>Perubahan akan datang, misalnya, dari para milenial yang menuntut para bisnis kapitalis untuk <a href="https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/global/Documents/About-Deloitte/deloitte-2019-millennial-survey.pdf">memprioritaskan produk dan pekerjaan berkualitas</a> di atas profit, dan juga seluruh pekerja yang <a href="https://theconversation.com/management-is-so-passe-its-co-creation-that-workers-are-demanding-171574">menuntut kondisi kerja yang lebih baik</a> dari organisasi mereka.</p>
<p>Apalagi, kini semakin menjamur beragam standar dan produk yang menambah kompleksitas etika bisnis – namun banyak korporasi <a href="https://sloanreview.mit.edu/article/three-ways-companies-are-getting-ethics-wrong/">tak benar-benar menjalaninya dengan sungguh-sungguh</a>. Perubahan juga akan terjadi ketika orang-orang menolak untuk melanggengkannya.</p>
<h2>Merebut kembali kepercayaan kaum muda</h2>
<p>Gen Z benar untuk <a href="https://theconversation.com/how-large-corporations-make-huge-profits-from-hidden-markups-at-the-expense-of-consumers-197274">tidak percaya sistem yang ada</a> saat ini. Penulis dan komentator politik David Frum <a href="https://utorontopress.com/9781487508425/connected-capitalism/">menjelaskan kepada saya beberapa tahun lalu</a>, bahwa “koalisi apapun yang mengupayakan reformasi perlu memperhatikan masalah kaum muda dengan serius.”</p>
<p>Frum mengamati bahwa, selama kelompok elit menggambarkan bahwa “‘kapitalisme’ itu ciri-cirinya adalah standar hidup yang stagnan, hutang pendidikan yang menggunung, biaya perawatan anak yang mahal, hingga ancaman bencana lingkungan,” mereka akan terus mencari alternatif.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A group of young adults sitting and chatting in an office" src="https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Prioritas tertinggi dari rezim kekuasaan dan korporat adalah membangun kembali kepercayaan di antara generasi muda.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain itu, tak hanya Gen Z yang kehilangan rasa kepercayaan. <a href="https://www.pewresearch.org/science/2022/02/15/americans-trust-in-scientists-other-groups-declines/">Survei tahun 2022</a> di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa kepercayaan publik pada pemimpin bisnis dan politikus mencapai titik terendah dalam sejarah. <a href="https://www.hilltimes.com/story/2021/03/15/public-trust-in-government-business-media-erode-following-dramatic-spring-2020-surge-according-to-survey/229151/">Survei di Kanada</a> setahun sebelumnya menyoroti tren yang mirip.</p>
<p>Mungkin, lebih mengkhawatirkan lagi, adalah suatu survei yang menemukan bahwa <a href="https://www.ipsos.com/en-ca/news-polls/only-one-third-of-Canadians-believe-most-people-can-be-trusted">hanya sepertiga orang Kanada yang yakin bahwa sesama warga negara lainnya dapat dipercaya</a>, terlepas dari identitasnya.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/001872679304600907">Kepercayaan (“<em>trust</em>”)</a> telah didefinisikan sebagai “rasa saling percaya bahwa tidak ada pihak dalam suatu hubungan yang akan mengeksploitasi kerentanan pihak lainnya.” Sebaliknya, <a href="https://doi.org/10.1002/smj.4250150912">seberapa suatu pihak dapat dipercaya (“<em>trustworthiness</em>”)</a> bisa dipahami sebagai “sifat layak dipercaya oleh orang lain untuk tidak mengeksploitasi ketiadaan transparansi informasi (<em>adverse selection</em>), risiko moral (<em>moral hazard</em>), keterbatasan kontrak (<em>holdup</em>), atau bentuk kerentanan lainnya dalam transaksi.”</p>
<p>Dalam pemikiran kapitalisme konvensional, <a href="https://www.psychologytoday.com/ca/blog/managing-with-meaning/202203/trustworthiness-is-the-antidote-to-todays-trust-deficit">menjadi pihak yang dapat dipercaya</a> itu biasanya dilakukan jika bisa menghemat biaya. Kita perlu beranjak dari pandangan yang cenderung terlalu sempit ini.</p>
<p>Ketika kaum muda tidak percaya pada sistem, prioritas tertinggi dari rezim kekuasaan dan korporat adalah membangun kembali kepercayaan itu. Upaya untuk bisa dipercaya dan meraih predikat <em>trustworthiness</em> tersebut adalah hal yang akan meyakinkan generasi selanjutnya yang skeptis akan institusi yang ada, untuk bekerja sama dengan kita melakukan reformasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206326/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>David Weitzner menerima dana dari SSHRC Kanada.</span></em></p>Bagaimana Gen Z bisa menjadi agen perubahan yang efektif untuk reformasi ekonomi dalam suatu sistem yang tidak mereka percayai?David Weitzner, Assistant professor, Administrative Studies, York University, CanadaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1972592023-01-19T08:48:12Z2023-01-19T08:48:12ZSejak Orde Baru, majalah anak pengaruhi tumbuh kembang sosial anak – termasuk pandangan mereka akan negara dan gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505299/original/file-20230119-14-w8ubr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/bored-girl-reading-house-garden_2525633.htm#from_view=detail_alsolike">(Freepik/Jcomp)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa majalah anak di Indonesia pelan-pelan berhenti beredar. Setelah <a href="https://kutubukukartun.com/seperti-terbunuh-nya-media-cetak-anak-majalah-bobo-junior-dan-mombi-berhenti-terbit/">majalah <em>Kiddo</em></a> mandek cetak pada Desember 2016, kini giliran Kompas Gramedia yang menyetop penerbitan majalah <em>Bobo Junior</em> beserta majalah <em>Mombi</em> dan <em>Mombi SD</em> per Januari 2023.</p>
<p>Di samping nostalgia yang beberapa dari kita miliki terkait majalah-majalah tersebut, majalah anak memang merupakan salah satu media yang turut andil membangun kesadaran anak atas realitas di sekitarnya.</p>
<p>Menurut peneliti komunikasi Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku mereka <a href="https://onesearch.id/Record/IOS2893.JABAR000000000006995">“<em>Human Connection</em>”</a>, anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. </p>
<p>Mengingat mereka ada pada fase produktif dalam pembentukan segala hal, psikolog kenamaan <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Transmission-of-aggression-through-imitation-of-Bandura-Ross/bfbf8dcd615e36d9d0797208acc437c12a08f0e7">Albert Bandura</a> mengatakan anak adalah “peniru ulung”. Imajinasi anak tentang apa yang ideal tentang dunia, sangat mungkin terbangun lewat konsumsi mereka atas buku dan majalah.</p>
<p>Jadi, seperti apa bacaan yang sudah dikonsumsi anak-anak Indonesia selama beberapa dekade ke belakang?</p>
<p>Dengan merujuk pada berbagai pandangan akademisi dan riset terkini, termasuk <a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">penelitian saya sendiri</a>, saya ingin menjelaskan seperti apa muatan majalah anak yang telah beredar di Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini.</p>
<h2>Majalah anak pada Orde Baru: propaganda pembangunan hingga pembentuk peran gender</h2>
<p>Sejarah mencatat, majalah anak di Indonesia pertama kali hadir pada 1949, yakni majalah <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/20/majalah-anak-anak-masa-lalu-yang-selalu-dirindu"><em>Kunang-Kunang</em></a> terbitan Balai Pustaka.</p>
<p>Namun, popularitas majalah anak mungkin baru terlihat ketika <a href="https://www.validnews.id/opini/Menoleh-Jejak-Majalah-Anak-TTU"><em>Si Kuntjung</em></a> muncul pada 1956. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan berisi 16 halaman yang mencakup cerita-cerita pendek ramah anak. Pada eranya, kehadiran majalah ini sangat dinantikan anak-anak.</p>
<p>Yang menarik adalah <em>Si Kuntjung</em> merupakan majalah pertama, dan mungkin satu-satunya, yang <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ihis/article/view/3724">menjalin relasi yang sangat dekat</a> dengan pemerintah di masa Orde Baru.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1021357839799865344"}"></div></p>
<p>Pada kisaran 1976, pemerintahan Soeharto mendaulat majalah ini secara resmi sebagai majalah anak nasional. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga turut membantu penerbitan <em>Si Kuntjung</em> dari segi pemasaran dan pembiayaan.</p>
<p>Tonggak bersejarah selanjutnya adalah ketika pada tahun 1973, Kompas Gramedia menerbitkan majalah anak serupa bernama <a href="https://www.superkidsindonesia.com/super-smart/superenrichment/mengintip-masa-lalu-sejarah-majalah-anak-di-indonesia/"><em>Bobo</em></a> yang <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">populer hingga saat ini</a>. <em>Bobo</em> adalah majalah anak pertama yang berwarna dan menampilkan banyak komik di dalamnya. Senada dengan <em>Si Kuntjung</em>, majalah <em>Bobo</em> dianggap berkontribusi membentuk karakter anak pada era Orde Baru.</p>
<p><a href="https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/historiografi/article/view/32860">Kajian tahun 2021</a> dari Universitas Diponegoro, misalnya, memetakan bagaimana majalah <em>Bobo</em> memuat 18 nilai pembentuk karakter yang selaras dengan cita-cita pendidikan era tersebut. Nilai-nilai ini seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, dan seterusnya. </p>
<p>Namun, majalah ini masih tampak <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">memposisikan anak sebagai “komoditas”</a>. Produksi majalah <em>Bobo</em>, beserta berbagai teks dan penggambaran karakter di dalamnya, lekat dengan selara pasar, paham pembangunan, dan kepentingan elit. <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">Kontennya banyak menampilkan</a> sosok selebritas anak papan atas, representasi kecantikan dengan postur tubuh proporsional dan kulit putih, dan penyajian wahana bermain yang eksklusif, bergengsi, dan mahal.</p>
<p>Selain majalah, buku-buku pelajaran di Indonesia juga dijamin jadi “<em>best-seller</em>”. Dalam proses distribusi, pemerintah Orde Baru mendorong besar-besaran agar bacaan-bacaan tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah. Hal tersebut menegaskan bahwa bacaan anak di masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara, dan akibatnya pun menjadi laku di pasaran.</p>
<p>Tapi mengapa negara melakukan ini?</p>
<p>Menurut filsuf Prancis ternama, Louis Althusser, negara memang memiliki apa yang ia sebut sebagai “aparatus ideologis” (<a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt9qgh9v"><em>ideological state apparatus</em></a>). Negara, dengan berbagai instrumen, melakukan penanaman ideologi secara masif yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak sadar. Berlandaskan konsep ini, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/1722127.Pahlawan_pahlawan_Belia">penulis Saya Shiraishi dalam bukunya</a> juga menegaskan bahwa bacaan anak Indonesia merupakan sarana ideologis yang ampuh karena anak tidak terlalu mengontrol apa yang ia baca.</p>
<p>Tak hanya sebagai propaganda pembangunan, bacaan anak sejak Orde Baru telah menjadi <a href="https://www.goodreads.com/book/show/49193009-kitab-cerita">menjadi arena politisasi</a> terkait peran gender.</p>
<p>Peneliti gender di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), <a href="https://komunitasbambu.id/product/ibuisme-negara-state-ibuism-konstruksi-sosial-keperempuanan-orde-baru/">Julia Suryakusuma</a> berargumen bahwa pemerintah Orde Baru mengusung ideologi “Bapak-Ibuisme”. Sosok “bapak” berperan memimpin kekuasaan formal (misal di pemerintahan atau ekonomi), sementara “ibu” berperan memimpin kekuasaan informal (seperti di ranah domestik). Dengan ideologi ini, perempuan didefinisikan sesuai relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.</p>
<p>Cara pandang negara yang bias gender ini pun mempunyai implikasi pada kebanyakan bacaan anak. </p>
<p>Misalnya, banyak cerita anak bergenre kisah rakyat (<em>folklore</em>) yang populer pada Orde Baru seperti <em>Sangkuriang</em>, <em>Bawang Merah Bawang Putih</em>, hingga <em>Malin Kundang</em> memiliki tendensi untuk <a href="https://www.jcreview.com/admin/Uploads/Files/61c9ca6341f665.95168726.pdf">menanamkan karakter yang tidak adil gender</a>. Gambaran dominan tentang perempuan adalah berdasar standar kecantikannya, serta selalu ditempatkan di ranah domestik. Ilustrasi tentang perempuan yang terdiskriminasi dalam wilayah privat dan cenderung gemar berkonflik untuk merebutkan laki-laki juga masih sangat kuat dalam cerita-cerita tersebut. </p>
<h2>Evolusi bacaan anak selepas reformasi</h2>
<p>Meski butuh waktu beberapa tahun terlebih dahulu, menurunnya kontrol ketat negara pasca-Orde Baru membuka keran bagi karya-karya baru yang progresif. Banyak penulis mulai mengekpresikan karyanya secara terbuka dan visioner.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mata di Tanah Melus (2018)</span>
<span class="attribution"><span class="source">Okky Madasari/Kompas Gramedia Utama</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa contohnya adalah bacaan anak karya pengarang Okky Madasari yang berjudul <a href="https://theconversation.com/mata-di-tanah-melus-gabungan-antara-yang-realis-and-utopis-untuk-sastra-anak-yang-progresif-105818"><em>Mata di Tanah Melus</em></a>. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang remaja perempuan yang menjumpai Suku Melus yang menutup diri ketika sedang diajak ibunya berlibur ke satu perbatasan Timor Leste. Tak seperti kebanyakan bacaan anak sebelumnya, Okky memposisikan perempuan secara otonom, tidak tersubordinasi dan tak terpinggirkan.</p>
<p>Selain itu, ada juga bacaan anak menarik berjudul <a href="https://www.goodreads.com/id/book/show/39288962-na-willa-dan-rumah-dalam-gang"><em>Na Willa</em> karya Reda Gaudiamo</a>. Willa sosok anak perempuan yang lincah, kuat dan jenaka – sebuah cerita yang yang menempatkan anak perempuan secara berbeda. Cerita anak ini pun unik menawarkan penggambaran sekaligus kritik yang unik atas pola asuh keluarga, harmoni beragama, sampai masalah rasisme. </p>
<p>Namun demikian, kemajuan ini masih cenderung lambat. Kita masih melihat ada banyak bacaan anak dengan penggambaran gender yang masih tertinggal meski telah lama memasuki era Reformasi.</p>
<p><a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">Penelitian</a> tentang bacaan anak bertemakan agama Islam selepas Orde Baru yang saya lakukan pada 2021, menemukan bahwa tradisi pelanggengan narasi patriarki dalam bacaan anak masih cenderung kuat, dengan penggambaran posisi laki-laki yang dominan ketimbang perempuan.</p>
<p>Ini menegaskan bahwa bacaan anak selama ini lagi-lagi masih sekadar menjadi komoditas. Apa yang menarik di mata pasar akan disajikan kepada anak tanpa ada kesadaran kritis atas nilai-nilai adil gender. </p>
<p>Seiring mulai banyak majalah cetak yang berhenti beredar untuk anak, bacaan-bacaan anak bertransformasi <a href="https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/pengenalan-literasi-digital-sejak-usia-dini-dapat-bentuk-generasi-emas-anak-indonesia/">menjadi digital</a>. Kini bacaan-bacaan anak mulai banyak disajikan dalam bentuk audiovisual dengan akses digital yang mudah, sehingga mengubah pola konsumsi anak atas bacaan sering semakin dekatnya mereka dengan gawai.</p>
<p>Beberapa pihak bisa jadi memperdebatkan potensi dampak negatif ketika anak lebih intens mengakses bacaan dan konten di internet.</p>
<p>Tapi ini tak boleh membuat kita lengah mempertanyakan hal yang juga penting: apakah bacaan dan konten yang dikonsumsi anak sudah mengusung nilai adil gender dan nilai-nilai progresif lain?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197259/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Radius Setiyawan menerima dana dari LPDP.</span></em></p>Anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. Bagaimana muatan majalah anak sejak era Orde Baru?Radius Setiyawan, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1804412022-04-02T14:36:45Z2022-04-02T14:36:45ZDari ‘AADC’ hingga ‘Yuni’: bagaimana kritik sosial dalam film Indonesia berevolusi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/455890/original/file-20220402-61039-9jns9g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto ara winda aktris terbaik ffi app</span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/0oezycTa1kxPQgwR9eEWPx?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Sejak Reformasi, film Indonesia <a href="https://theconversation.com/bagaimana-para-sineas-berpengaruh-indonesia-mengangkat-isu-sosial-melalui-film-sejak-kemerdekaan-144745">membuka diri terhadap muatan kritik sosial</a> dan menyajikan tema yang menantang penonton Indonesia dengan berbagai cara.</p>
<p>Kita melihatnya dalam film seperti <a href="https://www.imdb.com/title/tt1989598/"><em>Sang Penari</em> (2009)</a> karya Ifa Ifansyah yang membongkar pengalaman kelompok tari korban peristiwa 1965. Ada pula film <a href="https://www.imdb.com/title/tt8900302/"><em>Kucumbu Tubuh Indahku</em> (2018)</a> arahan Garin Nugroho yang menjelajahi seksualitas dalam budaya Indonesia.</p>
<p>Masyarakat juga disajikan penggambaran figur “<a href="https://theconversation.com/dari-rangga-ke-khudori-laki-laki-baru-di-film-indonesia-82759">laki-laki yang baru</a>”. Lihat saja sosok Rangga di <a href="https://www.imdb.com/title/tt0307920/"><em>Ada Apa dengan Cinta</em> (2002)</a> yang intelektual dan kritis, atau Sakti dalam <a href="https://www.imdb.com/title/tt0374506/"><em>Arisan</em> (2003)</a> yang mendefinisikan ulang makna maskulinitas.</p>
<p>Yang menarik, kita juga menjumpai penggambaran isu gender dan kekerasan seksual semakin gencar dalam satu tahun ke belakang. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://www.imdb.com/title/tt13834788/"><em>Yuni</em> (2021)</a> yang mengangkat tradisi pernikahan dini di daerah rural, ataupun <a href="https://www.imdb.com/title/tt13729220/"><em>Penyalin Cahaya</em> (2021)</a> yang menyoroti terjalnya pencarian keadilan dalam kasus pelecehan. </p>
<p>Para pembuat film pun semakin banyak menggunakan teknik visual seperti penerapan “<a href="https://www.jawapos.com/minggu/halte/19/12/2021/tatapan-perempuan-lokalitas-dan-interseksionalitas-dalam-film-yuni/"><em>female gaze</em></a>” (sudut pandang perempuan) hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20220114193544-220-746905/review-film-penyalin-cahaya">metafora tentang gender</a> yang kaya.</p>
<p>Berbagai film ini searah dengan bangkitnya kesadaran masyarakat terkait kesetaraan gender dan terbongkarnya <a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">gunung es kekerasan seksual</a> secara perlahan di Indonesia.</p>
<p>Bagaimana kritik sosial berkembang di Indonesia sejak Reformasi? Bagaimana para sineas menggambarkan tema menantang seperti gender dan seksualitas di era modern?</p>
<p>Untuk membedahnya, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami berbincang dengan Gilang Desti Parahita. Ia merupakan seorang dosen komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga mahasiswa PhD di King’s College London, Inggris.</p>
<p>Gilang menceritakan berbagai hal, dari kebebasan ekspresi seksualitas pada film era Orde Baru, munculnya kritik sosial dalam perfilman pasca Reformasi, kebangkitan sutradara perempuan, hingga gencarnya pembahasan dan penggambaran isu gender dalam film seperti <em>Yuni</em> dan <em>Penyalin Cahaya</em>.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180441/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Gilang Parahita, mahasiswa PhD di King's College London tentang evolusi kritik sosial dan penggambaran isu gender dalam film Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1735962021-12-14T02:33:11Z2021-12-14T02:33:11ZPemerintahan yang ‘Cukup Baik’: mengevaluasi upaya anti-korupsi secara realistis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/437132/original/file-20211213-13-1j23z3n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3000%2C2002&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung Pengadilan Tipikor di Jakarta.</span> <span class="attribution"><span class="source">Rosa Panggabean/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Kurangnya dana selalu menjadi kambing hitam kegagalan kebijakan anti-korupsi. <a href="https://leip.or.id/pengadilan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia-pasca-2009-antara-harapan-dan-kenyataan/">Penelitian-penelitian terbaru</a> terkait <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/ldr-2021-0107/html">Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)</a>, misalnya, hanya mengulang lagu lama.</p>
<p>Praktisi reformasi hukum atau <em>rule-of-law</em> tidak bisa hanya meminta anggaran lebih besar. Proposal lugu semacam ini tidak memperhitungkan terbatasnya sumber daya pemerintah. Ini juga bisa membuat mereka tidak dapat melihat alternatif yang lebih cocok yang memperhitungkan kemampuan dan tantangan Indonesia</p>
<p>Sering kali, masyarakat dan pembuat kebijakan menyetujui manfaat kebijakan tertentu, tapi gagal mengukur <a href="https://www.jstor.org/stable/10.1086/468105?seq=1#metadata_info_tab_contents">biaya penerapan</a>.</p>
<p>Menghitung dan merencanakan alokasi “<a href="https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/25880/9781464809507_Spot03.pdf?sequence=36&isAllowed=y">sumber daya finansial, manusia, dan prasarana</a>” sangat krusial untuk menciptakan kondisi pendukung bagi institusi hukum yang efektif dan adil.</p>
<p>Upaya-upaya anti-korupsi di Indonesia telah menghasilkan kerangka yang tidak berkelanjutan sehingga sulit untuk mencapai segala capaian yang diharapkan.</p>
<p>Kebijakan-kebijkan tersebut perlu ditinjau kembali dengan pendekatan “Good Enough Governance (<a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.0952-1895.2004.00256.x">pemerintahan yang cukup baik”</a>) - alih-alih “Good Governance” yang melibatkan agenda yang tidak realistis dalam jangka panjang dan menyulitkan.</p>
<h2>Kebijakan anti-korupsi era Reformasi</h2>
<p>Pasca krisis keuangan pada akhir 1990-an dan tumbangnya rezim Soeharto pada 1998, pemerintah Indonesia mengesahkan berbagai kebijakan anti-korupsi.</p>
<p>Kebijakan ini kemudian membentuk beberapa institusi untuk menegakkan hukum anti-korupsi. Institusi tersebut termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Pengadilan Tipikor.</p>
<p>Beberapa kebijakan juga mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, beserta pembentukan institusi seperti Komisi Informasi, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan Ombudsman.</p>
<p><a href="http://global.ir.fisip.ui.ac.id/index.php/global/article/view/6">Lembaga donor internasional</a> berperan dalam <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/asian-journal-of-comparative-law/article/abs/yogyakarta-local-ombudsman-promoting-good-governance-through-local-support/D47D9989862134F8E3B81862CB2E6D6B">mendukung pembentukan</a> <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00074918.2010.522504">beberapa lembaga tersebut di atas</a>.</p>
<p>Institusi yang kokoh dan berfungsi baik merupakan <a href="https://www.worldcat.org/title/rule-of-law-promotion-global-perspectives-local-applications/oclc/503330508">bagian penting </a> dalam upaya anti-korupsi dan supremasi hukum.</p>
<p>Akan tetapi, fokus berlebih pada pendekatan institusional dapat menghasilkan kegagalan dalam mencapai tujuan utama agenda supremasi hukum dan anti-korupsi.</p>
<p>Beberapa institusi yang baru dibentuk mengalami permasalahan keterbatasan anggaran. <a href="https://www.inderscienceonline.com/doi/abs/10.1504/IJPLAP.2014.057885">Ombudsman</a> dan <a href="https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=mAUoDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=pxcVeCCPB2&sig=YowNvDjzxYWg1tFYLVbJtyV5HRg#v=onepage&q&f=false">KPK</a>, misalnya, tidak memiliki anggaran cukup untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Hasilnya, kedua institusi kesulitan dalam memeriksa seluruh laporan kasus yang mereka terima.</p>
<p>Contoh tersebut hanya sebagian dari permasalahan sumber daya ketika membentuk institusi yang mendukung agenda “pemerintahan yang baik” dan mencegah korupsi di Indonesia.</p>
<p><a href="https://digital.lib.washington.edu/researchworks/bitstream/handle/1773/36734/Bosch_washington_0250E_15722.pdf?sequence=1&isAllowed=y">Pemerintah sangat bergantung pada donor</a> untuk membiayai agenda reformasi hukum.</p>
<p>Ketika donor pada akhirnya mengalihkan sumber daya kepada sektor atau negara lain, akankah pembayar pajak Indonesia bersedia atau mampu menanggung biayanya?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kpk-korban-matinya-kontrol-lembaga-peradilan-terhadap-kesewenangan-pembentuk-peraturan-160355">KPK korban matinya kontrol lembaga peradilan terhadap kesewenangan pembentuk peraturan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Studi kasus Pengadilan Tipikor</h2>
<p><a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_46.pdf">Undang-undang (UU) No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor</a> mengamanatkan pembentukan pengadilan tipikor di setiap provinsi dan kabupaten/kota - seluruhnya berjumlah 514.</p>
<p>Namun, Mahkamah Agung hanya mampu membentuk 34 pengadilan tipikor di ibu kota provinsi. Lambatnya pembentukan ini karena keterbatasan anggaran dan jumlah hakim ad hoc.</p>
<p>Akademisi dan aktivis menawarkan solusi dari dua titik yang berbeda. <a href="http://repository.unib.ac.id/7444/1/PENELITIAN%20KPK%20RI_LAMP%2010.pdf">Pada satu sisi</a>, pemerintah didesak untuk memenuhi mandat undang-undang dengan membentuk pengadilan tipikor di tiap kabupaten dan kota. Pada sisi lain, <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4eb4038a2a5b4/bubarkan-pengadilan-tipikor-daerah-">terdapat usulan pembubaran pengadilan tipikor</a>.</p>
<p>Salah satu lembaga advokasi, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Pengadilan (LeIP) mengusulkan <a href="https://leip.or.id/wp-content/uploads/2021/10/Ebook-Pengadilan-Tindak-Pidana-Korupsi-di-Indonesia-Pasca-2009-Antara-Harapan-dan-Kenyataan-1.pdf">solusi lebih komprehensif</a> dengan mempertimbangkan dampak biaya.</p>
<p>Mereka mengusulkan hakim tipikor untuk mendatangi pengadilan negeri tempat perkara akan disidangkan ketimbang membentuk pengadilan tipikor di setiap kabupaten dan kota.</p>
<p>Mekanisme yang sama telah dipraktikkan baik di negara-negara dengan sistem hukum <em>civil law</em> dan <em>common law</em> karena dianggap lebih efektif dari segi biaya.</p>
<p>Rekomendasi lainnya mengusulkan penerapan prinsip “<a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/ldr-2021-0107/html">satu dan tak terpisahkan”</a> dalam penuntutan perkara oleh kejaksaan. Prinsip ini memberi peluang bagi jaksa untuk menuntut perkara di pengadilan manapun di Indonesia.</p>
<p>Sehingga, jika jaksa pada kabupaten dan kota (Kejaksaan Negeri) mengalami keterbatasan anggaran, mereka dapat mengalihkan perkaranya kepada jaksa di ibu kota provinsi (Kejaksaan Tinggi). Terdakwa dan bukti-bukti kemudian dapat diserahkan oleh jaksa Kejaksaan Tinggi kepada pengadilan tipikor.</p>
<p>Mereformasi sistem peradilan merupakan perjalanan yang panjang. Upaya reformasi harus dievaluasi secara komprehensif dan reguler, dengan mempertimbangkan usulan progresif lainnya sebagai bagian dari <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/media/57a08a3340f0b6497400049a/U4-Brief-2013-05-web.pdf">reformasi peradilan jangka panjang</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-reformasi-hukum-di-indonesia-kerap-buntu-168270">Mengapa reformasi hukum di Indonesia kerap buntu?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pemerintahan yang Cukup Baik</h2>
<p>Pelaksanaan kebijakan anti korupsi sangat berbiaya tinggi, dan lembaga penegak hukum serta berbagai lembaga baru mengalami kekurangan sumber daya.</p>
<p>Di negara-negara lain, <a href="https://www.oecd.org/south-east-europe/programme/CO_Pocketbook_2018.pdf">seperti Eropa Timur dan Selatan</a>, berbagai kebijakan anti-korupsi tidak berjalan dengan efektif karena keterbatasan sumber daya.</p>
<p>Para pembuat kebijakan dan pelaku upaya reformasi perlu mengembangkan agenda pembangunan hukum yang lebih realistis dengan menghitung sumber daya dan membatasi capaian. </p>
<p>Gagasan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.0952-1895.2004.00256.x">“pemerintahan yang cukup baik” </a> ini menginginkan peningkatan kecil secara bertahap dalam intervensi proyek pembangunan dengan memperhatikan kondisi yang ada dan dinamika refromasi yang dilakukan.</p>
<p>Penyusunan agenda supremasi hukum dan anti-korupsi tidak dapat dicapai dengan cara tradisional, seperti mengesahkan hukum yang memberikan mandat kepada pemerintah untuk membentuk institusi baru.</p>
<p>Para reformis harus menerapkan <a href="http://courses.washington.edu/pbaf531/Grindle_GoodEnoughGovRevisited.pdf">berbagai kerangka analisis</a> untuk mengevaluasi proyek-proyek tersebut.</p>
<p>Penggunaan analisis manfaat-biaya, misalnya, dapat memberikan masukan berharga dalam menilai efisiensi suatu proyek.</p>
<p>Analisis tersebut dapat dilengkapi dengan analisis ekonomi-politik untuk memastikan <em>trade-offs</em>, insentif, dan sumber daya dipertimbangkan dalam mendukung proyek supremasi hukum dan anti-korupsi.</p>
<p>Cara-cara analisis tersebut menjadi penting terutama bagi negara berkembang, seperti Indonesia, yang memiliki keterbatasan sumber daya. Penerapan ini dapat mencegah pemerintah Indonesia dari melaksanakan <a href="https://www.press.umich.edu/11213/comparative_law_and_economics">proyek reformasi hukum yang berbiaya tinggi dan kemungkinan besar gagal</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173596/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Choky R. Ramadhan menerima dana dari Lembaga Pengeloa Dana Pendidikan (LPDP) Indonesia.</span></em></p>Evaluasi secara analisis dan realistis dapat mencegah pemerintah Indonesia dari pelaksanaan proyek reformasi hukum yang berbiaya tinggi dan kemungkinan besar gagal.Choky R. Ramadhan, Lecturer, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1682702021-10-04T05:55:24Z2021-10-04T05:55:24ZMengapa reformasi hukum di Indonesia kerap buntu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/424399/original/file-20211004-19-18sbq4u.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=242%2C0%2C5470%2C3260&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span></figcaption></figure><p>Seiring terbentuknya berbagai institusi dan aturan-aturan baru lewat reformasi hukum pasca 1998, Indonesia pernah disebut sebagai negara <a href="https://www.cambridge.org/core/books/problems-of-democratisation-in-indonesia/indonesias-place-in-global-democracy/E433DFBC06D155C9FC1623369AD36A9A">demokrasi yang sehat</a>. </p>
<p>Tapi belakangan, <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3239779">reformasi hukum semakin tidak berjalan</a> dan watak asli demokrasi Indonesia muncul ke permukaan: demokrasi tidak sesehat dugaan.</p>
<p>Banyak lembaga-lembaga hukum dan aturan-aturan kini jauh panggang dari api. </p>
<p>Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - salah satu capaian reformasi paling penting - telah <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-end-of-the-kpk-at-the-hands-of-the-good-president/">semakin menjauh dari tujuan</a>. Aturan seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dibuat tanpa partisipasi publik dan cenderung melayani <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/omnibus-law-shows-how-democratic-process-has-been-corrupted/">kepentingan segelintir elite</a>. </p>
<p>Mengingat berbagai <a href="https://digital.lib.washington.edu/researchworks/bitstream/handle/1773/36734/Bosch_washington_0250E_15722.pdf?sequence=1&isAllowed=y">bantuan pembangunan untuk reformasi hukum</a> dari lembaga-lembaga donor telah digelontorkan ke Indonesia, terutama pada era Reformasi, kebuntuan ini menjadi pertanyaan.</p>
<p>Berbagai studi menjelaskan musababnya pada <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/pad.623">lemahnya desain kelembagaan</a>, atau <a href="https://www.imf.org/external/np/leg/sem/2004/cdmfl/eng/lev.pdf">dibajaknya institusi-institusi hukum</a> untuk kepentingan politik sempit, atau karena <a href="https://cdn.odi.org/media/documents/10714.pdf">aparat yang kurang kompeten</a>. Masalah kelembagaan dan aparaturnya juga kerap dihubungkan dengan <a href="https://www.ide.go.jp/English/Publish/Reports/Asedp/074.html">rentang usia pembaharuan hukum yang masih pendek</a>, dibandingkan dengan pengalaman negara-negara maju.</p>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/books/legal-pluralism-and-development/1CB5E65D7709F37DBB6DF76ECE357701">Studi lainnya</a> menekankan pada keragaman hukum yang tumbuh dalam masyarakat (pluralisme hukum), sehingga upaya ‘transplantasi’ satu hukum yang liberal dan rasional tak selalu bisa diterima.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1967738?src=">Riset kami</a> pada 2019-2021 menunjukkan bahwa keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum. Kemampatan ini lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip liberal - yang kami sebut sebagai legalisme iliberal. </p>
<p>Dengan watak semacam ini, hukum cenderung bekerja untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan upaya perlindungan hak warga negara dan tak dapat menjamin perwujudan keadilan.</p>
<p>Dalam upaya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang ada tidak berkepentingan membentuk sistem hukum yang rasional. Selama ini masih terjadi, upaya mewujudkan hukum yang rasional itu — yang sejalan dengan <em>rule of law</em> sebagai konsep pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak warga — akan terus terhenti.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-reformasi-pengelolaan-keuangan-daerah-tidak-lantas-menurunkan-korupsi-151681">Riset: reformasi pengelolaan keuangan daerah tidak lantas menurunkan korupsi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kapitalisme dan kekacauan</h2>
<p>Bentuk pengorganisasian kekuatan-kekuatan ekonomi-politik adalah perwujudan dari perkembangan kapitalisme dan evolusi negara yang spesifik. </p>
<p>Secara sederhana, kapitalisme adalah sistem ekonomi (dan politik) yang bertumpu pada penguasaan alat produksi oleh privat untuk akumulasi profit. Pemikir klasik Max Weber menjelaskan bahwa perkembangan tata ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh suatu kerangka hukum tertentu. </p>
<p><a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674556515">Menurut Weber</a>, hukum yang rasional — yakni yang bisa memberikan prediktabilitas dan kepastian — dapat menjamin terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Dalam sejarahnya, hukum yang rasional merupakan respons atas kekuasaan yang absolut dari kelas aristokrat. </p>
<p>Hukum yang rasional pada mulanya bertujuan agar kepentingan kelas kapitalis (borjuis) yang baru tumbuh bisa terlindungi dari campur tangan penguasa politik dan terutama dari pungutan pajak yang mencekik. </p>
<p>Dalam perkembangannya, hukum juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan bagi kelas pekerja dan secara lebih luas juga warga negara. </p>
<p>Dari pengalaman masyarakat Eropa Barat, dapat kita lihat bahwa hukum yang rasional bukan semata pemberian negara atau hasil transplantasi lembaga donor, melainkan produk dari konflik sosial.</p>
<p>Sementara itu, kapitalisme yang diperkenalkan melalui kolonialisme di Indonesia menciptakan struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang amat berbeda dari pengalaman bangsa-bangsa Eropa. </p>
<p>Di Indonesia, tidak ada kelas aristokrat yang dominan secara politik maupun kelas borjuis yang kuat secara ekonomi. </p>
<p>Akibatnya, negara yang ditopang birokrat warisan kolonial tidak hanya memegang kendali atas kekuasaan politik, tetapi juga menggantikan fungsi kelas kapitalis. </p>
<p><a href="https://books.google.com.au/books/about/Indonesia.html?id=woSrAZ13P2IC">Badan-badan usaha milik negara</a> hasil nasionalisasi perusahaan Belanda, misalnya, menjalankan peran sentral dalam proses perkembangan kapitalisme pada awal berdirinya Indonesia. </p>
<p>Saat kemudian kelas kapitalis telah tumbuh berkat bantuan negara, mereka amat bergantung pada akses atas kontrak dan perlindungan politik dari penguasa. </p>
<p>Keadaan ini menciptakan fusi kekuatan ekonomi dan politik. </p>
<p>Di sini, pelaku ekonomi dominan cenderung tidak memerlukan hukum yang rasional untuk membatasi campur tangan politik maupun untuk membangun otonomi relatif dari negara. </p>
<p>Alhasil, ekonomi didominasi oleh sektor-sektor yang membuka ruang besar bagi perburuan rente dengan memanfaatkan alokasi sumber daya dari negara, yang sekaligus meminggirkan liberalisme pasar. </p>
<p>Maka, ada dua poin pokok yang patut kita pertegas. </p>
<p>Pertama, keberadaan <em>rule of law</em> tidak selalu memiliki <a href="https://freedomhouse.org/article/democracy-good-business">korelasi positif yang kuat</a> dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketiadaan hukum yang rasional, tumpang-tindih aturan, dan <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9789811636622">segala bentuk kekacauan (<em>disorder</em>)</a> - termasuk maraknya korupsi dan mobilisasi kekerasan - tidak selalu menjadi hambatan bagi kegiatan usaha. </p>
<p>Dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, kekacauan ini ironisnya justru menjadi alat yang menunjang akumulasi kapital.</p>
<h2>Legalisme iliberal</h2>
<p>Bagaimana berbagai bentuk kekacauan yang menopang kerangka pengaturan yang iliberal dapat berguna dalam upaya-upaya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan? </p>
<p>Bukankah kekacauan justru melahirkan ketidakpastian bagi iklim usaha yang menghambat pertumbuhan ekonomi?</p>
<p>Hasil survei dari <a href="http://www3.weforum.org/docs/WEF_TheGlobalCompetitivenessReport2020.pdf">World Economic Forum</a>, misalnya, mengategorikan korupsi — yang merupakan salah satu bentuk kekacauan — sebagai penghambat utama investasi. Logikanya, jika korupsi berkurang, maka ekonomi akan berkembang. </p>
<p>Pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar mendorong perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan rangking indeks kemudahan berbisnis, ia bersama Dewan Perwakilan Rakyat justru berkontribusi dalam berbagai upaya pelemahan KPK. </p>
<p>Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, bahkan tegas menyatakan bahwa keberadaan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/24/10314331/penjelasan-moeldoko-yang-sebut-kpk-hambat-investasi-dan-tanggapan-kpk?page=all">KPK adalah penghambat investasi</a>. </p>
<p>Ia memang sempat mengoreksi pernyataan itu, namun pesan tentang logika kekuasaan yang sebenarnya, telah sampai kepada publik. </p>
<p>Hasil wawancara kami dengan beberapa pengusaha nasional mengonfirmasi logika itu. Bagi mereka, keberadaan KPK yang kuat adalah pengganggu usaha.</p>
<p>Saat menjabat sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190918162404-532-431626/pengusaha-sebut-revisi-uu-kpk-positif-bagi-iklim-investasi">Roeslan Roeslani</a>, juga menegaskan bahwa <a href="https://nasional.tempo.co/read/1459071/ini-pasal-pasal-uu-kpk-baru-yang-berpotensi-hambat-pemberantasan-korupsi">UU KPK yang baru</a> berdampak positif bagi iklim investasi.</p>
<p>Pandangan-pandangan ini tentu bertentangan dengan asumsi liberal tentang penciptaan hukum yang rasional untuk pertumbuhan ekonomi nasional. </p>
<p>Kontradiksi ini tampak dari lemahnya gagasan ekonomi pasar bebas di Indonesia yang diharapkan dapat ditunjang oleh hukum yang rasional.</p>
<p>Dominasi ekonomi rente menempatkan penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai gangguan.</p>
<p>Jokowi juga mengemukakan anjuran-anjuran yang berusaha memfasilitasi ekonomi pasar saat hendak membentuk UU Cipta Kerja yang merevisi dan menggabungkan lebih dari 70 UU. Ia mengklaim UU omnibus ini dapat mengatasi masalah yang menghambat iklim investasi, terutama terkait <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20201009183047-4-193288/jokowi-sebut-pungli-dapat-hilang-dengan-omnibus-law">pungutan liar dan tumpang tindih aturan</a>.</p>
<p>Nyatanya, aturan ini dibuat dengan <a href="https://theconversation.com/proses-pembahasan-ruu-cipta-kerja-di-dpr-tak-representatif-140179">mengabaikan transparansi</a> dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik sebagai komponen penopang ekonomi liberal. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kemunduran-demokrasi-dalam-pemerintahan-jokowi-nyalakan-tanda-bahaya-124100">Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Reformasi hukum di tengah logika kekacauan</h2>
<p>Selama aktor ekonomi-politik dominan tidak berkepentingan menegakkan hukum yang rasional, dan lebih bersandar pada berbagai bentuk kekacauan, maka tata politik-hukum akan tetap bertendensi iliberal.</p>
<p>Kebuntuan reformasi hukum juga akibat dari dominasi pendekatan yang menekankan pada perubahan-perubahan institusional. </p>
<p>Pendekatan ini memandang persoalan hukum disebabkan oleh aturan yang bermasalah, budaya hukum yang lemah, atau penegakannya yang berat sebelah. </p>
<p>Banyak lembaga donor telah memberi perhatian pada aspek-aspek ini, di antaranya lewat <a href="https://cdn.odi.org/media/documents/10714.pdf">pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum atau penyusun undang-undang</a>.</p>
<p>Cara pandang ini berisiko memisahkan pembentukan dan penegakan hukum dari dinamika kekuasaan, dan mengasumsikan hukum sebagai entitas yang otonom dan netral.</p>
<p>Keberadaan institusi hukum dengan desain kelembagaan yang baik seperti KPK, misalnya, pernah dianggap sangat menjanjikan untuk reformasi hukum di Indonesia. Akan tetapi, desain kelembagaan yang baik serta dukungan moral dari publik tetap tidak berhasil menyelamatkan KPK dari pembajakan elite. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa reformasi yang berfokus pada perubahan institusional dan “gerakan-gerakan moral” masih sulit membendung kekuatan ekonomi-politik yang iliberal. </p>
<p>Perubahan-perubahan seperti itu tidak menyentuh logika kekuasaan yang bertumpu pada kekacauan sebagai alat akumulasi kekayaan. </p>
<p>Logika kekuasaan ini adalah produk dari bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diorganisasikan. </p>
<p>Maka penting untuk memahami bagaimana pengorganisasian kekuatan-kekuatan itu dalam menganalisis kebuntuan reformasi hukum di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168270/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Abdil Mughis Mudhoffir menerima dana dari Australia Awards Hadi Soesastro Prize 2017 untuk penelitian ini</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rafiqa Qurrata A'yun tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum, melainkan lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang cenderung iliberal.Rafiqa Qurrata A'yun, PhD candidate at Melbourne Law School, The University of MelbourneAbdil Mughis Mudhoffir, Assistant Professor at the Department of Sociology, State University of Jakarta and Honorary Research Fellow at the Asia Institute, University of Melbourne, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1629352021-06-17T08:58:42Z2021-06-17T08:58:42Z“Umbi-umbian” yang terabaikan: ASN/PNS menjadi korban reformasi birokrasi yang buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/406943/original/file-20210617-23-r476fp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=22%2C3%2C2031%2C1418&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/2fTsAds4GKidonuHzmK0Jh" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Beberapa bulan ini, berbagai polemik muncul terkait Aparatur Sipil Negara (ASN) — termasuk <a href="https://theconversation.com/asn-serba-salah-bagaimana-birokrat-indonesia-kian-jadi-bulan-bulanan-kala-pandemi-141779">ancaman kesejahteraan pegawai negeri sipil di kala pandemi</a>, dan <a href="https://theconversation.com/petisi-thr-pns-tunjukkan-reformasi-birokrasi-yang-parsial-dan-diskriminatif-160537">pembayaran THR yang tertunda</a> bagi mereka.</p>
<p>Masalah-masalah ini adalah sebagian cerminan dari <a href="https://theconversation.com/apakah-reformasi-birokrasi-jokowi-berhasil-152824">reformasi sistem birokrasi</a> di berbagai lembaga pemerintah Indonesia yang baru berjalan sebagian saja dan cenderung diskriminatif.</p>
<p>Kanti Pertiwi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia (UI), misalnya, menjelaskan bahwa setelah sekian tahun, berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan bagi pegawai negeri belum menyeluruh dan menunjukkan kesenjangan antar institusi pemerintah.</p>
<p>Besarnya penghasilan ASN, misalnya, tidak mempertimbangkan <a href="https://geotimes.co.id/opini/dilema-yang-dihadapi-asn-di-masa-pandemi/?fbclid=IwAR2fnZ2qH4JYvZCwCeOuxgAWRybUgI9sZpmfWhZL53YTxKDk_kFDZVIzomA">kebutuhan hidup layak</a>, melainkan ditentukan lewat mekanisme <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1173150/menpan-rb-tunjangan-kinerja-pns-bervariasi-sesuai-kinerja/full&view=ok">penerimaan tunjangan</a>. </p>
<p>Menurut Kanti, salah satu akar masalahnya adalah kebijakan terkait ASN masih membela kelompok elit dan tidak melibatkan banyak pegawai negeri dalam proses perumusannya.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkap dengan Kanti di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=-RFS0fC1SJia2GLExHoj8A">podcast SuarAkademia</a>, di mana kami akan hadir rutin memandu sahabat TCID untuk memahami berbagai isu yang sedang hangat, bersama akademisi dan para editor kami.</p>
<p>SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/162935/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Kami ngobrol dengan Kanti Pertiwi, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, tentang masalah kesejahteraan aparat sipil negara.Andre Arditya, Editor Politik + MasyarakatLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1616702021-05-27T08:42:58Z2021-05-27T08:42:58ZLika-liku gerakan politik anak muda setelah Reformasi 1998<iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/3cpWaJOnYh5yTWqnUKJ0h6" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Pada tanggal 21 Mei lalu, Indonesia merayakan 23 tahun sejak gerakan yang dipelopori mahasiswa di tahun 1998 berhasil memaksa mundur Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.</p>
<p>Sejak saat itu, telah timbul dan tenggelam berbagai gerakan anak muda lainnya di Indonesia. </p>
<p>Pada bulan September 2019, misalnya, muncul gelombang demonstrasi ‘<a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/24/students-throng-in-front-of-house-more-flood-into-jakarta-as-protests-continue.html">#ReformasiDikorupsi</a>’ – gerakan politik anak muda terbesar sejak Reformasi – meskipun pada akhirnya tidak berhasil menggagalkan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU-KPK) yang dianggap berbagai akademisi <a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396">melemahkan kinerja KPK</a>.</p>
<p>Bagaimana lika-liku yang dialami gerakan politik anak muda di Indonesia pasca Reformasi?</p>
<p>Untuk menjawabnya, pada episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=3q_814iSRWu2aHIZsGRt_g">podcast SuarAkademia</a>, kami berbincang dengan Robertus Robet, aktivis hak asasi manusia (HAM) dan juga dosen sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).</p>
<p>Robet menceritakan pengalamannnya saat terlibat dengan berbagai kelompok studi mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1998, dan juga <a href="https://theconversation.com/demonstran-tidak-tahu-isu-apa-yang-sebenarnya-mendorong-individu-berpartisipasi-dalam-unjuk-rasa-124280">membandingkan gerakan anak muda</a> saat Reformasi dengan demonstrasi September 2019 – dari <a href="https://theconversation.com/bahasa-jenaka-dalam-protes-mahasiswa-tunjukkan-pergeseran-persepsi-politik-anak-muda-151103">gaya protes</a> hingga <a href="https://theconversation.com/kita-tidak-bisa-diam-meski-ditekan-akademisi-dukung-gerakan-mahasiswa-124356">represi negara</a> yang terjadi.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=3q_814iSRWu2aHIZsGRt_g">podcast SuarAkademia</a>, di mana kami akan hadir rutin memandu sahabat TCID untuk memahami berbagai isu yang sedang hangat, bersama akademisi dan para editor kami.</p>
<p>SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/161670/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pada episode ini, kami berbincang dengan Robertus Robet, aktivis hak asasi manusia (HAM) dan juga dosen sosiologi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tentang gerakan politik anak muda setelah 1998.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1570452021-03-29T09:05:26Z2021-03-29T09:05:26ZGerakan politik anak muda - contohnya gerakan mahasiswa - mampu bergerak cepat, tapi sulit melanjutkan perjuangan di luar jalanan<p>Berbagai gerakan anak muda di Hong Kong, Thailand, dan Indonesia pada tahun-tahun terakhir, – serta yang saat ini <a href="https://time.com/5943708/myanmar-youth-protests/">berlangsung di Myanmar</a> – melanjutkan tradisi anak muda sebagai kekuatan politik penting. </p>
<p>Dalam sejarah panjangnya, gerakan anak muda memiliki berbagai potensi dan tantangan yang khas. </p>
<p>Gerakan mahasiswa – salah satu jenis gerakan anak muda – misalnya memiliki potensi sebagai kekuatan yang relatif lebih mudah memobilisasi diri. </p>
<p>Namun, gerakan anak muda juga memiliki kesulitan untuk menghilangkan mitos sebagai kekuatan moral dan melembagakan gerakan mereka pasca mobilisasi di jalanan. </p>
<h2>Bergerak cepat</h2>
<p>Jumlah mereka yang banyak dan berdekatan, serta relatif memiliki waktu luang lebih banyak menjadi keuntungan bagi anak muda.</p>
<p>Gerakan anak muda cenderung mudah untuk memobilisasi diri. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu wujudnya. </p>
<p>Kedekatan geografis mempermudah mereka untuk saling berkomunikasi dan merencanakan sebuah aksi. </p>
<p>Di kota-kota yang memiliki kampus-kampus yang letaknya berdekatan, mobilisasi cenderung lebih mudah dilakukan. </p>
<p>Misalnya, gerakan mahasiswa Thailand 1973 akan sulit terjadi tanpa <a href="http://dspace.lib.hawaii.edu/bitstream/10790/3259/prizzia.r-1975-0014.pdf">konsentrasi</a> kampus-kampus yang berada di Bangkok. </p>
<p>Antara 6 hingga 15 Oktober 1973, gerakan mahasiswa Thailand di bawah koordinasi The National Student Center of Thailand (NSCT) berhasil menumpahkan ratusan ribu mahasiswa ke jalan untuk meminta pembebasan 13 rekan aktivis mereka sekaligus amandemen konstitusi yang dianggap hanya melanggengkan rezim junta militer di bawah pimpinan Jenderal Thanom Kittikachorn. </p>
<p>Awal gerakan mahasiswa Cina tahun 1989 juga bermula dari mobilisasi oleh mahasiswa yang <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/231399?casa_token=eGgQHbi0OfEAAAAA:aaB37Ei8q5yW01xnHs3_Zq7-RqJNZhsBVw-39IKUhuwzXadqdstOG_O5eiYXz-mbZqB1hx1-Bzo">tinggal</a> bersama di asrama seperti di Universitas Beijing. </p>
<p>Mereka juga terbantu oleh konsentrasi sekitar 67 universitas yang berada di Beijing yang memudahkan komunikasi dan mobilisasi mahasiswa di tahun 1989. </p>
<p>Mahasiswa juga cenderung memiliki banyak waktu luang. Dalam waktu senggangnya, mahasiswa dapat mendiskusikan isu-isu sosial politik terkini yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran kritis dan politis. </p>
<p>Hal ini menjadikan mereka sebagai kelompok yang mudah tertarik ke dalam agitasi untuk merencanakan aksi kolektif. </p>
<p>Untuk memanfaatkan waktu luang, peran kelompok-kelompok formal dan informal di dalam kampus adalah penting. Kelompok-kelompok ini merupakan wahana mengisi waktu luang dengan beragam corak ideologinya dan pengetahuan yang ditawarkan. </p>
<p>Protes mahasiswa Myanmar tahun 1988 sulit terjadi tanpa peranan <a href="https://eric.ed.gov/?id=ED580529">kelompok diskusi</a> yang mulai aktif di Yangon sejak tahun 1984. Kelompok diskusi ini rutin bertemu mendiskusikan buku sastra dan sejarah yang dilarang oleh rezim. </p>
<p>Sebelum gerakan mahasiswa Indonesia 1998 turun ke jalan, <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=5947">kelompok-kelompok diskusi</a> di kampus juga menjadi kendaraan bagi mahasiswa belajar teori-teori sosial kritis sekaligus ruang untuk membedah perilaku rezim otoriter Orde Baru. </p>
<p>Unit kegiatan pers kampus juga memiliki peranan besar menjadi tempat belajar bersama perkembangan sosial politik di bawah Orde Baru. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-cara-mengatasi-ancaman-terhadap-gerakan-mahasiswa-124582">Cara-cara mengatasi ancaman terhadap gerakan mahasiswa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Gerakan selepas dari jalanan</h2>
<p>Salah satu tantangan bagi gerakan mahasiswa adalah hasrat menjadi gerakan moral. </p>
<p>Konsep gerakan moral menyatakan bahwa mahasiswa ingin bersih dari kepentingan politik dan menjaga kemurnian gerakan dengan menolak beraliansi dengan kelompok sosial lain. </p>
<p>Keinginan ini adalah ilusi karena mahasiswa tidak mampu mendorong perubahan sendirian. </p>
<p>Esensi dari gerakan sosial adalah aksi kolektif yang kerap muncul dari kegelisahan dan amarah banyak kelompok dengan berbagai latar belakang. </p>
<p>Berusaha menjaga suatu gerakan tetap eksklusif justru akan mengurangi kekuatan fundamental gerakan sosial yaitu <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691639611/power-in-numbers">jumlah</a>. </p>
<p>Gerakan mahasiswa di Indonesia kerap mendengungkan posisi sebagai gerakan moral. </p>
<p>Protes mahasiswa di tahun 1965-66 <a href="https://www.upress.umn.edu/book-division/books/student-activism-in-asia">memulai</a> tradisi gerakan anak muda sebagai gerakan moral. Keyakinan ini bertahan hingga 1998. </p>
<p>Mengubur mitos gerakan moral adalah langkah pertama dalam membangun gerakan yang memiliki potensi lebih besar menghasilkan dampak bermakna.</p>
<p>Tantangan lain dari gerakan mahasiswa adalah kesulitan untuk melakukan institusionalisasi gerakan pasca mobilisasi di jalan. </p>
<p>Gerakan mahasiswa jarang ikut – secara sistematis – dalam membangun rezim baru karena ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan gerakan dalam jangka panjang. </p>
<p>Kelemahan ini lumrah terjadi karena status mahasiswa adalah sementara. Lemahnya institusionalisasi gerakan ini mengakibatkan lemahnya kendali mereka terhadap agenda perubahan yang awalnya diusung. </p>
<p>Sesudah presiden BJ Habibie dilantik setelah Soeharto lengser, misalnya, upaya sistematis mengubah protes di jalanan menjadi gerakan politik hanya berhasil dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). </p>
<p>Keduanya menjadi basis sosial bagi berdirinya Partai Keadilan dan PRD yang mengikuti Pemilu 1999. Tapi, keduanya tidak terlalu berhasil mengontrol arah reformasi karena <a href="https://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf">perolehan</a> yang minim dalam pemilu. </p>
<p>PRD bahkan tidak berhasil mendapatkan satu kursi pun di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1999. </p>
<p>Namun tidak semua gerakan yang dimotori anak muda berakhir dengan kegagalan pelembagaan gerakan. </p>
<p>Pengalaman Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Mesir mengajarkan bahwa ada peluang bagi gerakan yang dimotori anak muda untuk merebut kekuasaan. </p>
<p>Meski demikian, perlu kita catat bahwa Ikhwanul Muslimin telah <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691163642/the-muslim-brotherhood">membangun</a> basis pergerakannya selama berpuluh-puluh tahun sebelum sampai pada puncaknya memenangi pemilihan umum pada 2012 dengan menggunakan Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party). </p>
<p>Perlu diingat pula bahwa merebut kekuasaan tidak berarti suatu gerakan kemudian mampu mewujudkan seluruh agendanya. </p>
<p>Satu tahun setelah presiden Mohamed Morsi merebut kursi presiden dengan dukungan Ikhwanul Muslimin, ia berusaha <a href="http://press.georgetown.edu/book/georgetown/arab-fall">mengubah</a> Konstitusi Mesir dan memberi lebih banyak kekuasaan kepada dirinya. Langkah tersebut memicu protes besar dari kelompok sekuler yang kemudian dimanfaatkan oleh militer untuk melakukan kudeta. </p>
<p>Hal yang perlu disadari adalah agenda gerakan saat merebut kekuasaan tidak serta merta selalu terwujud saat gerakan sudah terlembaga.</p>
<p>Tenaga dan waktu yang anak muda miliki untuk bergerak jelas menjadi keuntungan bagi mereka.</p>
<p>Tapi kedua hal tersebut tidaklah cukup. </p>
<p>Kemampuan mobilisasi semata tanpa kemampuan untuk melembagakan gerakan tidak akan memiliki dampak yang lebih jauh selain menggoyang dan menurunkan sebuah rezim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157045/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Fajar menerima dana dari The Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF)</span></em></p>Anak muda mampu bergerak dalam jumlah besar secara cepat. Namun salah satu tantangan utama mereka adalah mempertahankan hidup gerakan selepas dari jalanan.Muhammad Fajar, Postdoctoral Fellow, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1571422021-03-23T10:20:18Z2021-03-23T10:20:18ZMemetakan arah revisi otonomi khusus Papua agar bukan semata soal anggaran dan pemekaran<p>Bulan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) <a href="https://nasional.tempo.co/read/1431797/dpr-tetapkan-anggota-pansus-otonomi-khusus-papua">membentuk Panitia Khusus (Pansus)</a> untuk membahas revisi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua.</p>
<p>Status Otonomi Khusus diberlakukan sejak 2001 sebagai jalan tengah atas desakan sebagian rakyat Papua untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. Berpuluh-puluh tahun masyarakat Papua didera berbagai persoalan <a href="https://www.voaindonesia.com/a/survei-lipi-pelanggaran-ham-persoalan-terbesar-di-papua/4164959.html">besar</a> terkait politik, sejarah, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta masalah kesejahteraan. </p>
<p>Skema Otsus yang dituangkan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/44901/uu-no-21-tahun-2001">Undang-Undang (UU) No. 21 tahun 2001</a> mencakup berbagai kekhususan bagi Papua untuk mempertahankan kesatuan republik. </p>
<p>Salah satu kekhususan bagi Papua adalah dalam hal anggaran: Provinsi Papua dan Papua Barat memperoleh penerimaan khusus setara 2% dari Dana Alokasi Umum nasional. Skema tersebut berlangsung selama 20 tahun dan berakhir pada akhir tahun 2021. </p>
<p>Pansus DPR diberitakan bertugas menyiapkan draft revisi UU Otsus dan memberikan kerangka legal bagi perpanjangan Otsus, <a href="https://www.antaranews.com/berita/2010141/revisi-uu-otsus-dan-membangun-bumi-cenderawasih-dalam-kerangka-nkri">khususnya terkait alokasi dana otonomi khusus dan kewenangan pemekaran</a>. </p>
<p>Dalam masyarakat Papua muncul berbagai dukungan dan penolakan terhadap rencana revisi Otsus bukan hanya pada soal anggaran dan pemekaran, namun terkait upaya menghadirkan kesejahteraan dan perdamaian di Papua. </p>
<h2>#Pro-kontra</h2>
<p>Setidaknya terdapat tiga kubu berbeda dalam masyarakat Papua menyikapi rencana perpanjangan Otsus: kubu pendukung perpanjangan Otsus, kubu penentang Otsus, dan kubu yang menyarankan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Otsus. </p>
<p><a href="https://regional.kompas.com/read/2021/02/20/16443281/13-kepala-suku-pegununungan-tengah-papua-dukung-otsus-diperpanjang?page=all">Bagi kubu pro Otsus</a>, perpanjangan Otsus sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan di Papua yang masih sangat jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia. </p>
<p>Kelompok ini melihat bahwa terlepas dari berbagai kekurangannya, implementasi Otsus selama dua dekade telah membuka peluang besar untuk mengejar ketertinggalan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua. </p>
<p>Otsus membuka kesempatan luas bagi anak-anak Papua untuk menjadi pemimpin dan elemen utama penggerak mesin pemerintahan di daerahnya. </p>
<p>Otsus juga menyediakan sumber dana yang besar bagi percepatan pembangunan, mendorong bergulirnya roda perekonomian guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua. </p>
<p>Karena itu, menurut mereka, Otsus perlu diperpanjang untuk memastikan seluruh proses tersebut tetap berjalan. </p>
<p>Kubu penentang Otsus memiliki pandangan sebaliknya. </p>
<p>Bagi mereka, pelaksanaan Otsus selama 20 tahun terakhir hanya memanjakan kalangan elite dan tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat Papua secara umum. </p>
<p>Masyarakat Papua bahkan cenderung semakin <a href="https://jubi.co.id/kenapa-otsus-ditolak-lalu-orang-papua-minta-merdeka/">termarginalisasi</a> dengan semakin derasnya arus masuk masyarakat pendatang yang mendominasi sektor-sektor ekonomi.</p>
<p>Penolakan terhadap Otsus, yang pertama kali digaungkan sebagian masyarakat Papua pada 2005, saat ini cenderung meluas. </p>
<p>Jika pada 2005 penolakan terhadap Otsus terutama digerakkan oleh elemen masyarakat adat di Papua, saat ini penolakan disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat lainnya.</p>
<p>Mereka mencakup kelompok mahasiswa, para tokoh adat, tokoh agama, serta masyarakat umum. Aksi penolakan bukan hanya di Papua, tapi juga di kota-kota lain seperti Bandung, Jawa Barat; Jakarta, Makassar, Sulawesi Selatan; Malang, Jawa Timur; Manado, Sulawesi Utara; dan Yogyakarta.</p>
<p>Di antara kedua kutub tersebut, ada kelompok ketiga yang menghendaki evaluasi secara menyeluruh terhadap implementasi Otsus selama ini sebelum revisi dan perpanjangan dilakukan. </p>
<p>Bagi kelompok terakhir, yang perlu dievaluasi bukan hanya akuntabilitas penggunaan dana otonomi khusus sebagaimana kerap disampaikan oleh elite-elite pemerintahan di Jakarta, melainkan <a href="https://jubi.co.id/rdp-evaluasi-otsus-papua-akan-dilanjutkan-pada-2021/">seluruh aspek yang tertuang dalam UU Otsus</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/rasis-sejak-dini-temuan-diskriminasi-dalam-tontonan-dan-bacaan-anak-tentang-papua-142164">Rasis sejak dini: temuan diskriminasi dalam tontonan dan bacaan anak tentang Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kesejahteraan dan perdamaian</h2>
<p>Jika kita cermati lebih jauh, substansi UU Otsus mengandung setidaknya dua visi yang saling menopang, yakni visi kesejahteraan dan visi perdamaian. </p>
<p>Pemerintah mendasarkan pendekatan kesejahteraan pada asumsi bahwa berbagai persoalan Papua berakar pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Papua. </p>
<p>Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, meyakini bahwa akar masalah kekerasan di Papua adalah <a href="https://www.timesindonesia.co.id/read/news/192000/kapolri-beberkan-akar-masalah-kekerasan-di-papua">masalah pembangunan dan kesejahteraan</a>.</p>
<p>Laporan statistik menunjukkan bahwa berbagai indikator pembangunan menunjukkan Papua selalu berada pada <a href="https://kumparan.com/kumparanbisnis/pembangunan-manusia-di-papua-terendah-se-indonesia-1srFEyMKIPh">peringkat paling bawah</a> dengan persentase penduduk miskin paling tinggi secara nasional. </p>
<p>Dari perspektif kesejahteraan, maka persoalan Papua akan dapat diselesaikan seiring dengan perbaikan kesejahteraan terutama dengan mendorong pembangunan ekonomi, perbaikan pelayanan publik, dan tersedianya lapangan pekerjaan. </p>
<p>Namun demikian, pendekatan kesejahteraan dalam 20 tahun terakhir tidak sepenuhnya berjalan efektif. </p>
<p>Di samping minimnya peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, implementasi pendekatan tersebut ternyata justru memicu persoalan baru seperti <a href="https://theconversation.com/integrasi-sosial-kunci-selesaikan-persoalan-papua-secara-tuntas-dan-bermartabat-122318">melebarnya kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang</a>, maupun merenggangnya kerekatan antara kelompok masyarakat asli Papua. </p>
<p><a href="https://regional.kompas.com/read/2019/12/30/07000031/kaleidoskop-2019--kerusuhan-di-papua-buntut-kasus-rasial-dan-hoaks?page=all">Rangkaian kerusuhan sosial</a> yang terjadi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di Papua Barat dan Papua, seperti Sorong, Fak Fak, Manokwari, Timika, Deiyai, Jayapura, dan Wamena pada 2019 adalah salah satu puncak gambaran masalah itu. </p>
<p>Visi kedua yang terkandung dalam UU Otsus – dan seringkali dimaknai sebagai roh dari Otsus – adalah visi perdamaian. </p>
<p>Visi perdamaian berangkat dari keyakinan bahwa persoalan Papua adalah persoalan multidimensi yang antara lain meliputi persoalan sejarah integrasi Papua, pelanggaran HAM di masa lalu, serta penghargaan terhadap simbol-simbol dan entitas budaya Papua. </p>
<p>Poin-poin visi perdamaian ini tersebut tertuang secara eksplisit dalam UU Otsus, antara lain dalam Pasal 2 tentang simbol kultural, Pasal 28 tentang pembentukan partai politik, Pasal 45-47 tentang pembentukan Komisi HAM, pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta Pasal 50-51 tentang peradilan adat. </p>
<p>UU Otsus juga memberi kewenangan luas bagi Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dituangkan dalam satu bagian yang terdiri dari 7 pasal dan 13 ayat. </p>
<p>Salah satu kewenangan strategis MRP adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang tercantum pada Pasal 20. Selain itu, Pasal 76 mengatur pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi baru juga harus atas persetujuan MRP.</p>
<p>Nyatanya, selama 20 tahun terakhir poin-poin tersebut tidak ada yang secara konsisten dilakukan. </p>
<p>Pada era presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid (1999-2001), bendera Bintang Kejora sempat diizinkan berkibar sebagai simbol kultural rakyat Papua. Tapi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/4805">Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007</a> tentang Lambang Daerah yang melarang pengibaran bendera yang memiliki kesamaan dengan bendera kelompok separatis. </p>
<p>Pada tahun 2003, terbit sebuah Instruksi Presiden (Inpres) tentang <a href="http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/uploaded_files/pdf/government_regulation/normal/Inpres_1_2003_Megawati.pdf">pemekaran Papua</a> menjadi tiga provinsi, padahal UU Otsus menegaskan bahwa pemekaran Papua harus atas persetujuan MRP dan DPRP. </p>
<p>Sejak tahun 2008, MRP dan DPRP juga kehilangan kewenangannya dalam proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua serta anggota MPR RI.</p>
<p>Selain itu, hingga saat ini pengadilan HAM dan KKR juga tidak pernah terbentuk di Papua.</p>
<p>Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, pemerintah justru gencar meningkatkan kehadiran militer di Papua yang berpotensi memicu kasus-kasus pelanggaran HAM baru sebagaimana diindikasikan oleh <a href="https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/8198/2018/en/">Amnesty International</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jebakan-sara-dalam-praktik-rasisme-terhadap-warga-papua-141302">Jebakan SARA dalam praktik rasisme terhadap warga Papua</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Arah revisi Otsus Papua</h2>
<p>Berhadapan dengan pro-kontra yang cukup tajam, semestinya pemerintah mempertimbangkan lebih matang desain proses dan arah revisi undang-undang otonomi khusus Papua. </p>
<p>Visi kesejahteraan menjadi elemen penting namun di saat yang sama visi perdamaian merupakan faktor yang menentukan. </p>
<p>Revisi dan perpanjangan Otsus Papua dengan hanya berkutat pada visi kesejahteraan yang secara sempit diterjemahkan dalam bentuk penambahan anggaran dan kemudahan dalam memekarkan daerah, bukanlah pilihan yang bijak. </p>
<p>Pengalaman 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa penekanan pada kedua aspek tersebut bukan hanya tidak menyelesaikan masalah, namun melahirkan masalah-masalah baru. </p>
<p>UU Otsus dengan 79 pasal di dalamnya, sesungguhnya telah menyediakan jalan damai yang cukup komprehensif dengan memadukan visi kesejahteraan dan visi perdamaian.</p>
<p>Jika visi perdamaian menjadi roh atau jiwa, maka visi kesejahteraan menyediakan “raga” bagi pembangunan manusia Papua seutuhnya. </p>
<p>Kuncinya terletak pada konsistensi dan kesungguhan Jakarta dan Papua. </p>
<p>Dengan konsistensi dan kesungguhan semestinya Otonomi Khusus dapat menjadi jalan bagi upaya membangun jiwa dan raga serta merebut hati dan pikiran rakyat Papua.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157142/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arie Ruhyanto adalah peneliti di Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada namun tulisan ini tidak merepresentasikan posisi institusi dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. </span></em></p>Berhadapan dengan pro-kontra yang tajam, pemerintah perlu mempertimbangkan lebih matang proses dan arah revisi UU Otsus Papua.Arie Ruhyanto, Doctoral Researcher, University of BirminghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1507582020-12-15T04:13:45Z2020-12-15T04:13:45ZImpunitas, ketidakadilan, dan pengabaian hak asasi manusia dalam peradilan militer terus berlangsung<p>Bulan lalu Majelis Hakim Pengadilan Militer Jakarta menjatuhkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5269415/keroyok-jusni-hingga-tewas-11-tni-divonis-bui-paling-lama-12-tahun">vonis ringan </a> kepada 11 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengeroyokan seorang laki-laki yang kemudian tewas di Tanjung Priok, Jakarta, pada Februari. </p>
<p>Para prajurit itu dijatuhi vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara. Hanya dua dari mereka dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari kedinasan TNI Angkatan Darat (AD).</p>
<p>Para pelaku terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian - yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (<a href="https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php/hukum-acara/func-download/2453/chk,8380cf682b410e66a885001bb40c53f5/no_html,1/">KUHP</a>) dapat dihukum penjara paling lama tujuh tahun. </p>
<p>Mereka bahkan mendapatkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5258649/11-prajurit-tni-yang-keroyok-jusni-hingga-tewas-dituntut-1-2-tahun-bui">rekomendasi</a> peringanan hukuman dari atasan mereka, Mayor Jenderal (Mayjen) Isdarmawan Ganemoeljo, lewat surat Kapusbekangad R/622.06/12/293/subditpamoster tanggal 30 Juni 2020.</p>
<p>Lebih lanjut, respons Markas Besar (Mabes) TNI tidak sejalan dengan semangat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum yang berkeadilan. Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Achmad Riad mengatakan <a href="https://tirto.id/keadilan-telah-runtuh-hukuman-ringan-tni-yang-siksa-bunuh-jusni-f7ed">tak ada yang salah dari rekomendasi itu</a>. </p>
<p>Vonis ringan dan tidak berkeadilan ini menunjukkan kembali perlunya revisi <a href="http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/UU-31-thn-1997-ttg-Peradilan-Militer.pdf">Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer</a> dengan segera. </p>
<h2>Mandeknya revisi UU Peradilan Militer</h2>
<p>Dalam hal revisi UU Peradilan Militer, dua dekade reformasi TNI masih menemui jalan buntu. </p>
<p><a href="https://kontras.org/wp-content/uploads/2019/07/menerobos-jalan-buntu.pdf">Sejak 2005</a>, desakan untuk merevisi UU itu telah mengemuka lantaran dianggap menjadi alat langgengnya impunitas: peradilan militer memiliki kewenangan mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum. </p>
<p>Padahal, idealnya mereka harus diadili di pengadilan umum. </p>
<p>Alhasil, berbagai kasus pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer. </p>
<p>Prosesnya tertutup, tidak transparan, dan tidak mengakomodisai kepentingan korban sehingga hasilnya mudah ditebak. Pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan alih-alih atasan mereka yang memberi perintah, pelaku juga mendapat hukuman rendah, sementara kebenaran tidak terungkap. </p>
<p>Lebih jauh, hak-hak korban juga <a href="https://kontras.org/wp-content/uploads/2019/07/menerobos-jalan-buntu.pdf">tak kunjung dipenuhi</a>. </p>
<p>Pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-555979/pembahasan-ruu-peradilan-militer-alot">2006</a>, pembahasan rancangan UU (RUU) Peradilan Militer tidak menemukan titik temu. </p>
<p>Semua fraksi DPR berpendapat tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit harus diadili dalam lingkup peradilan umum. </p>
<p>Di pihak lain, pemerintah menghendaki semua tindak pidana yang dilakukan oleh semua prajurit TNI dibawa ke <a href="https://news.detik.com/berita/d-555979/pembahasan-ruu-peradilan-militer-alot">pengadilan militer</a>. </p>
<p>Memasuki dekade kedua Reformasi, pembahasan revisi UU Peradilan Militer tidak menemui kemajuan. </p>
<p>RUU Peradilan Militer bahkan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54dc94356eb98/prolegnas-2015-2019-periode-krusial-dalam-pembaharuan-hukum-dan-ham/">2015-2019</a>. Padahal, revisi itu selalu tercantum pada Prolegnas sebelumnya. </p>
<p>Revisi UU Peradilan Militer juga tak disinggung lagi dalam <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55026782e5658/revisi-uu-peradilan-militer-hilang-dari-prolegnas/">Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional</a> (RPJMN). </p>
<p>Pemerintah lewat Kementerian Pertahanan justru mengusulkan RUU Keamanan Nasional dan RUU Rahasia Negara kembali masuk daftar Prolegnas 2015-2019. Padahal, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sudah lama memprotes dan mengingatkan pemerintah tentang bahaya kedua RUU tersebut. </p>
<p>Militer <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55026782e5658/revisi-uu-peradilan-militer-hilang-dari-prolegnas/">dikhawatirkan</a> mencoba masuk ke ranah keamanan dalam negeri dengan cara menjalin kesepakatan dengan sejumlah lembaga pemerintahan dan lewat proses legislasi dengan masuknya dua RUU itu ke dalam RPJMN dan Prolegnas. </p>
<p>RUU Kamnas juga dikhawatirkan akan digunakan untuk menggabungkan TNI dan polisi seperti masa Orde Baru; atau memberikan kewenangan kepada TNI agar bisa bertindak seperti polisi yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. </p>
<p>Hal ini mengancam kebebasan sipil masyarakat Indonesia dan meningkatkan risiko pelanggaran hak sipil dan hak asasi negara oleh tentara.</p>
<p>Pada <a href="https://nasional.tempo.co/read/442504/29-tokoh-masyarakat-tolak-ruu-keamanan-nasional">2012</a>, sejumlah tokoh pembela hak asasi manusia seperti Usman Hamid dan Todung Mulya Lubis menolak RUU Keamanan Nasional. </p>
<p>Mereka mendesak parlemen mengembalikan usulan RUU itu ke pemerintah karena tak jelas maksudnya, dipenuhi pasal karet, bertentangan dengan UU lain, dan dinilai dapat mengancam hak asasi manusia serta demokrasi. </p>
<p>RUU Keamanan Nasional, misalnya memberikan presiden wewenang untuk mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa melalui pertimbangan parlemen dalam menghadapi ancaman keamanan nasional. </p>
<p>Ini bertolak belakang dengan UU TNI bahwa pengerahan kekuatan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik negara, yang berarti harus mendapat pertimbangan dari parlemen.</p>
<p>Kegagalan revisi sistem peradilan militer yang ada menjadi penanda bagaimana akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar. </p>
<p>Dalam Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia pada 2014 yang dikeluarkan lembaga kajian Institute for Defense, Security, and Peace Studies, dijelaskan bahwa menurut standar HAM internasional, sistem peradilan militer seharusnya dikesampingkan atau bahkan tidak diperkenankan untuk mengadili personel militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM serius, seperti penghilangan paksa, eksekusi di luar hukum, dan penyiksaan. </p>
<p>Peradilan militer juga tidak diperkenankan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Amanat perundang-undangan</h2>
<p>Dalam laporan <a href="http://setara-institute.org/en/jalan-sunyi-reformasi-tni/">dua dekade reformasi TNI</a> pada 2019, SETARA Institute mencatat bahwa reformasi TNI belum menyentuh titik-titik penting.</p>
<p>Salah satunya adalah penyelesaian dan pertanggung-jawaban hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kasus kekerasan, penganiayaan, dan penembakan dalam kerusuhan Mei 1998; kasus Trisakti; penghilangan atau penculikan aktivis 1997/1998, Semanggi I dan II, serta deretan kasus lainnya di Aceh dan Papua ada dalam daftar kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat masa lalu yang diduga melibatkan aparat militer. </p>
<p>Mandeknya revisi UU Peradilan Militer juga termasuk titik-titik penting itu.</p>
<p>Selain kegagalan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda bahwa akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh aparat militer masih menjadi masalah besar.</p>
<p>Patut diakui, TNI telah melakukan beberapa upaya penguatan pemahaman berkaitan dengan HAM dan hukum kemanusiaan. </p>
<p>Misalnya, pada 2011, TNI AD dan Komisi Nasional (Komnas) HAM meningkatkan kerja sama <a href="https://nasional.kompas.com/read/2011/04/09/02591697/twitter.com">pendidikan HAM dan hukum bagi para prajurit TNI</a>. </p>
<p>Namun, amanat agar TNI tunduk kepada peradilan umum jika melakukan tindak pidana di wilayah sipil merupakan amanat peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. <a href="https://m.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe81e8bf92e/nprt/657/tap-mpr-no-vii_mpr_2000-tahun-2000-peran-tentara-nasional-indonesia-dan-peran-kepolisian-negara-republik-indonesia">VII/MPR/2000</a> pada tahun 2000 telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer, dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. </p>
<p><a href="https://referensi.elsam.or.id/2014/10/uu-nomor-34-tahun-2004-tentang-tentara-nasional-indonesia/">UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI</a> juga mengatur hal yang sama.</p>
<p>Amanat undang-undang tersebut adalah perwujudan prinsip kesamaan di muka hukum (<em>equality before the law</em>). </p>
<p>Dengan demikian, tentu sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi revisi UU Peradilan Militer ini tidak dilakukan.</p>
<hr>
<p><em>Ignatius Raditya Nugraha membantu penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150758/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ikhsan Yosarie tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Revisi Undang-Undang Peradilan Militer, yang menjadi alat melanggengkan impunitas aparat, masih mandek setelah dua dekade Reformasi.Ikhsan Yosarie, Peneliti, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1488132020-10-27T04:41:21Z2020-10-27T04:41:21ZPada usia ke-50, LBH terus berdiri di sisi korban<p>Ketika <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201009132002-12-556500/ribuan-orang-ditangkap-demo-omnibus-law-polisi-labeli-anarko">ribuan demonstran</a> ditangkap saat berunjuk rasa menentang Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja awal bulan ini, tidak sulit diduga organisasi mana yang akan turun untuk membela mereka.</p>
<p>Selama puluhan tahun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menjadi <a href="https://books.google.com.au/books?id=jAUZSSEqwfEC&pg=PA292&lpg=PA292&dq=%22defense+instance+of+choice%22+daniel+lev&source=bl&ots=fgHk1StRcU&sig=ACfU3U3sD2EMlWxjm4XPVX3b2IO1FYKG-A&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjywZ6c0NrrAhXlmuYKHbbhAkoQ6AEwAHoECAEQAQ#v=onepage&q=%22defense%20instance%20of%20choice%22%20daniel%20lev&f=false">pembela andalan</a> dalam kasus-kasus politik paling kontroversial di Indonesia.</p>
<p>Minggu ini, LBH merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Berawal dari satu kantor di Jakarta, sekarang telah ada 16 kantor LBH tersebar di Indonesia di bawah payung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). </p>
<p>Selama setengah abad, LBH telah mendampingi orang-orang miskin dan marjinal. LBH telah mendampingi mereka yang terlibat kasus politik tingkat tinggi, telah bersuara lantang menentang penyalahgunaan kuasa oleh negara, dan terus memajukan supremasi hukum, demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia (HAM).</p>
<p>Lewat upaya-upaya tesebut, LBH telah menjadi ikon masyarakat sipil Indonesia dan pembela kepentingan publik yang teguh.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">Mengapa UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja tapi memperkuat oligarki</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>‘Lokomotif demokrasi’</h2>
<p>Adnan Buyung Nasution mendirikan LBH untuk memperkenalkan jasa bantuan hukum yang gratis di Indonesia. Namun, pada awalnya, LBH didirikan bukan sekadar untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan. </p>
<p>Bahkan sejak hari-hari awalnya berdiri, LBH melihat gerakan bantuan hukum sebagai kunci utama perjuangan konstitusional dan supremasi hukum yang lebih besar. </p>
<p>Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto, LBH dengan cepat menyadari bahwa menyediakan bantuan hukum secara <em>pro bono</em> atau cuma-cuma bagi kasus individu tidak akan berdampak pada akar masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan. </p>
<p>Upaya LBH menyediakan bantuan hukum konvensional dengan kondisi yang ada saat itu digambarkan sebagai “<a href="https://books.google.com.au/books?redir_esc=y&id=aG5WAAAAMAAJ&focus=searchwithinvolume&q=%22hopelessly+beside+the+point%22">sangat tidak relevan</a>”, tulis akademisi hukum terkemuka Daniel Lev dalam <em>Legal Aid in Indonesia</em>. </p>
<p>Karena itu, LBH mengembangkan ideologinya sendiri terkait bantuan hukum, yaitu “bantuan hukum struktural”. LBH menggabungkan usaha memberikan wakil atau kuasa hukum dengan berbagai macam aktivitas nonlitigasi.</p>
<p>Pengacara dan staf LBH mengedukasi komunitas-komunitas terkait hak-hak mereka dan membantu membentuk komunitas yang bisa mendampingi diri mereka sendiri. Mereka juga mengadvokasikan kampanye media dan hasil penelitian.</p>
<p>Selama tahun-tahun terakhir masa Orde Baru, LBH berkembang menjadi pusat perlawanan masyarakat sipil terhadap rezim Soeharto, menjadi titik perkumpulan bagi para mahasiswa dan aktivis.</p>
<p>LBH melihat diri sebagai “lokomotif demokrasi” untuk menyebarkan pemikiran tentang HAM dan demokrasi serta pada akhirnya “<a href="https://books.google.com.au/books?id=n_DqinpeaLMC&pg=PA115&lpg=PA115&dq=aspinall+%22lay+the+groundwork+for+democratic+transformation%22&source=bl&ots=qcjL79TvT7&sig=ACfU3U0DypetBJBftQMyZXfOREYOIZY4Gw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjC27u9yNrrAhURjuYKHWv1D1cQ6AEwAHoECAIQAQ#v=onepage&q=aspinall%20%22lay%20the%20groundwork%20for%20democratic%20transformation%22&f=false">meletakkan fondasi untuk transformasi demokratis</a>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kemunduran-demokrasi-dalam-pemerintahan-jokowi-nyalakan-tanda-bahaya-124100">Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menentukan posisi dalam demokrasi</h2>
<p>Pada 1998, rezim Orde Baru runtuh. Indonesia memulai transisinya ke dalam demokrasi. </p>
<p>Pencabutan pembatasan masyarakat sipil menyebabkan munculnya beberapa organisasi-organisasi khusus, dengan mandat yang serupa dengan LBH.</p>
<p>LBH, secara tiba-tiba, terpaksa merenungkan kembali identitas organisasi dan perannya di dalam Indonesia yang lebih demokratis.</p>
<p>LBH tidak lagi menjadi suara yang dominan di masyarakat sipil pada waktu itu. Dan beberapa organisasi yang baru sudah lebih nyaman berinteraksi dengan pemerintah.</p>
<p>Selama beberapa waktu, LBH kesulitan menemukan perannya. LBH harus memutuskan, apakah mereka ingin berkolaborasi dengan institusi pemerintah atau mempertahankan pendekatan oposisi seperti sebelumnya.</p>
<p>Selain harus menentukan perannya, YLBHI menghadapi kendala keuangan yang besar karena donor asing yang menyediakan bantuan dana operasi mengalihkan fokus dan lebih menekankan fokus mereka pada program pemerintah. </p>
<p>YLBHI juga mengalami kendala kekurangan tenaga ketika pergantian kepemimpinan yang melemahkan organisasi tersebut.</p>
<p>Keputusan kontroversial Buyung untuk mewakili Jenderal Wiranto pada 2000, saat ia dituduh melakukan pelanggaran HAM di Timor Timor pada 1999, juga semakin memberatkan masalah LBH.</p>
<p>Keputusan itu mengucilkan kolega-kolega Buyung di LBH dan masyarakat sipil yang lebih luas. </p>
<p>Buyung mungkin memiliki motivasi untuk mempromosikan budaya hukum profesional, tapi dia bergerak terlalu cepat dibandingkan kolega-koleganya, yang masih menganggap sistem hukum yang ada masih korup dan tidak adil. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membela orang-orang marjinal</h2>
<p>Walau menghadapi tantangan-tantangan ini, LBH terus mendampingi mereka yang paling tersingkirkan dan berada di samping gerakan-gerakan yang paling tidak disukai di Indonesia.</p>
<p>Ketika lebih dari 140 orang homoseksual ditangkap dalam penggebrekan polisi di sauna di Jakarta pada 2017, LBH adalah anggota utama dari <a href="https://www.forum-asia.org/?p=23959">koalisi masyarakat sipil</a> yang turun untuk mendampingi mereka.</p>
<p>Ini dilakukan tak lama setelah puncak <a href="https://www.hrw.org/report/2016/08/10/these-political-games-ruin-our-lives/indonesias-lgbt-community-under-threat">serangan terhadap hak-hak LGBT</a> secara nasional, ketika 93% orang Indonesia menganggap masyarakat tidak seharusnya menerima homoseksualitas.</p>
<p>LBH juga terlibat dalam hampir semua kasus penistaan agama penting selama era Reformasi. </p>
<p>Seperti yang LBH telah lakukan selama Soeharto berkuasa, lembaga ini melanjutkan pendampingannya terhadap orang-orang urban miskin yang mengalami penggusuran paksa, petani yang kehilangan lahan mereka karena proyek, hak-hak pekerja, dan hak-hak perempuan serta anak.</p>
<p>Sejak jatuhnya Soeharto, organisasi masyarakat sipil, termasuk LBH, telah berada di garis depan untuk mengupayakan adanya tradisi baru terkait litigasi kepentingan publik di Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Pengacara-pengacara LBH berperan kunci utama dalam koalisi yang <a href="https://www.loc.gov/law/foreign-news/article/indonesia-constitutional-court-strikes-down-book-banning-law/">berhasil menantang kuasa Jaksa Agung untuk melarang buku</a>. </p>
<p>Selama era demokratis, LBH mempertahankan pendekatan oposisi dalam berinteraksi dengan pemerintah - suatu pendekatan yang telah LBH kembangkan dalam masa Soeharto.</p>
<p>Beberapa kali, kelompok masyarakat sipil lain mengkritik LBH karena mempertahankan posisi oposisi. Mereka merasa bahwa LBH tidak menggunakan kesempatannya untuk berperan menguatkan institusi dalam masa baru yang lebih demokratis.</p>
<p>Namun, LBH tidak peduli. Seperti kata Febi Yonesta dari YLBHI kepada saya, “selama anggota masyarakat menjadi korban, kami akan beroposisi terhadap pemerintah.” </p>
<p>Seperti banyak pengacara aktivis di berbagai tempat, di seluruh dunia, LBH adalah pengganggu bagi pemerintah, dan “<a href="https://scholarship.law.georgetown.edu/facpub/1232/">mereka memang seharusnya menjadi pengganggu</a>”. </p>
<p>Oleh karena ini, LBH sering menerima reaksi negatif yang cukup besar.</p>
<p>Pada 2017 contohnya, polisi menggerebek diskusi akademik LBH terkait kekerasan anti-komunis era 1965-66, setelah mendapat tekanan dari demonstran fundamentalis Islam dan anti-komunis.</p>
<p>Karena sejarah dan jati diri LBH, tindakan polisi itu dipandang sebagai serangan terhadap masyarakat sipil itu sendiri. </p>
<p>Bagi banyak orang dalam kelompok masyarakat sipil, diamnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo terhadap serangan-serangan itu adalah bukti tambahan yang menunjukkan sikap apatis Jokowi terhadap HAM dan reformasi hukum.</p>
<p>Sejak peristiwa itu, kemunduran demokrasi semakin memburuk. Pemerintah semakin sering banyak menggunakan dalih penistaan agama dan pencemaran nama baik untuk membungkam mereka yang mengkritik pemerintah. </p>
<p>Pembatasan kebebasan berserikat juga menjadi semakin besar. Hak asasi kelompok minoritas semakin tidak terlindungi. </p>
<p>Namun seiring pemerintah menjadi lebih represif, LBH tampaknya telah menemukan fokus perannya yang baru. LBH memutuskan untuk tetap berpihak kepada korban dan dengan berani memperjuangkan kemajuan demokrasi Indonesia.</p>
<p>Selama masa unjuk rasa #ReformasiDikorupsi pada 2019, kantor LBH menjadi pusat berbagai aktivitas. Bahkan istilah Reformasi Dikorupsi itu sendiri muncul dalam sebuah rapat tengah malam antara aktivis-aktivis masyarakat sipil di kantor LBH. </p>
<p>LBH lagi-lagi memainkan peran utama dalam demonstrasi #MosiTidakPercaya yang muncul sebagai respon terhadap UU Cipta Kerja.</p>
<p>Walau LBH tidak lagi menjadi organisasi pro-demokrasi satu-satunya yang berpengaruh, LBH tampaknya menikmati perannya untuk mengumpulkan dan membangun koalisi seperti yang mereka lakukan semasa Orde Baru.</p>
<p>Bagaimana kita menilai pengaruh LBH setelah setengah abad?</p>
<p>Seperti yang dikatakan almarhum akademisi terkemuka dalam bidang profesi hukum Indonesia, Daniel Lev, soal LBH pada akhir 1980-an: “Dampak LBH dalam masalah-masalah sosial, politik, dan hukum seharusnya tidak dibesar-besarkan, tapi dampak itu tidak bisa dilupakan.”</p>
<p>Di kala orang-orang yang mengkritik pemerintah secara vokal <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/06/04/i-was-kidnapped-govt-critic-ravio-patra-files-pretrial-motion-against-police.html">ditangkap berdasarkan tuduhan yang direkayasa</a>, di kala kaum homoseksual ditangkap karena melakukan pesta di ruang pribadi, dan di kala <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/major-procedural-flaws-mar-the-omnibus-law/">DPR melanggar prosedur-prosedur legislatif</a> untuk meloloskan berbagi UU yang sangat kontroversial dengan partisipasi publik yang minim, maka peran LBH dalam demokrasi Indonesia menjadi jauh lebih penting dari sebelumnya. </p>
<hr>
<p><em>Ignatius Raditya Nugraha menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148813/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tim Mann tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Lembaga Bantuan Hukum (LBH) telah menjadi ikon bagi masyarakat sipil Indonesia dan pembela kepentingan publik yang teguh.Tim Mann, PhD candidate and Associate Director, Centre for Indonesian Law, Islam and Society, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1465852020-09-24T07:23:44Z2020-09-24T07:23:44ZEnam dekade UU Pokok Agraria: reformasi pertanahan masih jalan di tempat, ancaman menghadang di depan<p>Pada 24 September 2020, <a href="https://dkn.or.id/wp-content/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentang-Pokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf">Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria</a> (UUPA) genap berusia 60 tahun.</p>
<p>Produk hukum yang dikeluarkan presiden Sukarno ini telah melalui perjalanan amat panjang di jagat hukum pertanahan Indonesia. </p>
<p>Saat UU itu dikeluarkan, <a href="https://spi.or.id/merealisasikan-semangat-keadilan-sosial-dalam-uupa-1960/">semua kalangan</a> seperti masyarakat adat, para petani, termasuk para pengusaha, menyatakan bawah bahwa UUPA merupakan jawaban dari perlawanan terhadap kolonialisme atas penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. </p>
<p>Di samping sebagai pijakan dasar pertanahan nasional, saat itu pemerintah melalui UUPA ingin meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. </p>
<p>Semangat UUPA adalah membangun peradaban dan kedaulatan negara terhadap hak atas tanah. </p>
<p>UUPA bersandar pada Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan penguasaan negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. </p>
<p>Enam dekade UUPA adalah momen refleksi. </p>
<p>Setelah puluhan tahun berjalan, reforma agraria yang diniatkan lewat UUPA masih belum mencapai tujuan akhirnya. Ke depan, masih ada ancaman-ancaman yang menghambat reforma agraria.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/logika-sektoral-dan-pasar-menjadi-masalah-utama-dalam-pelaksanaan-reforma-agraria-di-indonesia-135645">Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Belum mencapai hasil</h2>
<p>Dalam setiap rezim pemerintahan yang berkuasa, frasa “kebijakan reforma agraria” selalu ada dalam pernyataan visi, misi maupun program kerja. </p>
<p>Faktanya, kebijakan-kebijakan dan politik hukum yang dikeluarkan tidak senafas dengan reforma agraria. </p>
<p>Maria S.W. Sumardjono, begawan hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pernah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2010/09/24/03504295/twitter.com?page=all">menyebutkan</a> bahwa UUPA memiliki kekurangan-kekurangan secara isi dan belum mampu mengatasi pelbagai persoalan yang menyangkut konflik pertanahan di Indonesia. </p>
<p>Ia mengatakan bahwa kekurangan itu seharusnya dilengkapi di tahun-tahun berikutnya. </p>
<p>Namun pada masa Orde Baru di 1970-an, muncul pelbagai UU sektoral seperti UU kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan pengairan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. </p>
<p>Berbagai UU itu mereduksi UUPA sebagai UU yang mengatur pertanahan semata, dan mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum reforma agraria.</p>
<p>Ketentuan-ketentuan dalam UU sektoral tersebut tidak disandarkan pada aturan UUPA dan konsitusi bahkan melenceng dari prinsip-prinsip keadilan agraria.</p>
<p>Setelah Orde Baru jatuh pada 1998, era Reformasi ternyata juga tidak membawa perubahan berarti dalam reforma agraria. </p>
<p>Produk-produk hukum yang ditetapkan dan direncanakan dalam bidang agraria dan sumber daya alam masih mengabaikan keberpihakan terhadap masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana amanat UUPA. </p>
<p>Hal tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Misalnya, awal tahun ini DPR mengesahkan <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20200512/44/1239644/dpr-sahkan-ruu-minerba-resmi-menjadi-undang-undang-">perubahan UU Mineral dan Batubara</a> (Minerba), <a href="https://nasional.tempo.co/read/1250545/ruu-sumber-daya-air-disahkan-walhi-swastanisasi-terselubung/full&view=ok">menghidupkan kembali</a> UU Sumber Daya Air yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2015 silam, hingga merencanakan mengatur soal agraria dalam pembentukan rancangan omnibus law Cipta Kerja. </p>
<p>Itu semua merupakan upaya yang semata-mata mementingkan kepentingan ekonomi dan investasi namun mengabaikan prinsip-prinsip utama keadilan reforma agraria seperti tanah sebagai alat sosial, tanah bukan sebagai komoditas komersial, dan tanah untuk mereka yang benar-benar bekerja di atasnya. </p>
<h2>Ancaman di depan</h2>
<p>Kini setidaknya terdapat tiga titik api paling berbahaya yang mengancam masa depan UUPA dan reforma agraria. </p>
<p><em>Pertama</em>, wacana untuk mengundangkan berbagai pengaturan pertanahan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Banyak sekali ketentuan dalam RUU tersebut yang berseberangan dengan prinsip-prinsip keadilan agraria. </p>
<p>Selama ini investor dan sebagian birokrat menganggap bahwa kesulitan memperoleh tanah merupakan salah satu <a href="http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Untuk_Kemudahan_Investasi__Omnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani_dan_Masyarakat_Adat/">hambatan untuk berinvestasi</a>.</p>
<p>Lewat UU sapu jagat itu, ketentuan yang menyangkut pertanahan dan sumber daya alam diutak-atik dan diterobos tanpa mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan. </p>
<p>Misalnya, ada ketentuan tentang penghapusan kewajiban perkebunan mengusahakan lahan perkebunan dan sanksi bagi perusahaan yang tak menjalankan kewajiban. </p>
<p>Begitu juga ada ketentuan tentang pembentukan bank tanah sebagai upaya akselerasi proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur yang berdalih untuk kepentingan reforma agraria. </p>
<p>Kemudahan-kemudahan perizinan pertanahan atas nama pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur akan menyuburkan praktik-praktik makelar dan spekulan tanah.</p>
<p><em>Kedua</em>, semakin menjamurnya aturan sektoral atau peraturan perundang-undangan di bidang agraria pasca UUPA, yang berseberangan dengan nilai-nilai konstitusional dan HAM. </p>
<p>Akhir-akhir ini rakyat terus dihadapkan dengan kejutan-kejutan produk hukum serba instan yang tidak memihak pada kepentingan publik, tak terkecuali produk hukum di bidang agraria dan SDA. </p>
<p>Misalnya, UU Minerba yang baru memberikan kemudahan-kemudahan perizinan yang diberikan kepada taipan tambang sehingga memudarkan prinsip-prinsip kepastian hukum dan keadilan agraria. </p>
<iframe style="height:700px; width:100%; border: none;" src="https://databoks.katadata.co.id/datapublishembed/115547/di-sektor-mana-konflik-agraria-paling-besar-terjadi" width="100%" height="400"></iframe>
<p><em>Ketiga</em>, belum ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasi letusan konflik agraria yang semakin meningkat tiap tahunnya. </p>
<p>Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah organisasi yang menyoroti kasus-kasus konflik lahan, <a href="https://www.krjogja.com/peristiwa/nasional/279-konflik-agraria-terjadi-di-indonesia-selama-2019/">mencatat pada 2019</a> terdapat 279 letusan konflik agraria dengan melibatkan 420 desa di berbagai provinsi. </p>
<p>Konflik agraria adalah penyebab terjadinya kerusakan lingkungan yang berujung pada terpinggirkannya hak-hak konstitusional masyarakat, terutama masyarakat adat.</p>
<p>Berdasarkan ketiga ancaman di atas, maka pilihan hukum paling ideal adalah pemerintah dan DPR menyusun kembali secara hati-hati cetak biru kebijakan pertanahan atau agraria berdasarkan perkembangan hukum dan masyarakat. </p>
<p>Cetak biru tersebut dapat berupa pembaruan-pembaruan kebijakan agraria dan sumber daya alam berdasarkan perkembangan yang menerjemahkan cita-cita keadilan agraria. </p>
<p>Cita-cita keadilan agraria tentu saja berkaitan dengan kepastian hukum kepemilikan tanah, pencegahan krisis ekologi, penyelesaian konflik, pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.</p>
<p>Kebijakan tersebut harus menggambarkan apa yang menjadi visi, misi, tujuan, program, dan skala prioritas dalam reformasi pengaturan agraria. </p>
<p>Jika pemerintah dan DPR tidak melangkah ke arah itu, spirit UUPA untuk menyerasikan antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan melalui reforma agraria akan semakin sulit terwujud; momen 60 tahun UUPA tidak akan berarti apa-apa.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146585/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beni Kurnia Illahi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengaturan pertahanan di RUU Cipta Kerja, bermacam UU sektoral, dan ketidakseriusan pemerintah mengatasi konflik menjadi ancaman di depan.Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Universitas BengkuluLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1449522020-08-28T04:01:49Z2020-08-28T04:01:49ZStatus ASN bagi pegawai semakin melemahkan KPK<p>Dengan penetapan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai aparatur negara sipil (ASN) pada Juli, semakin parah pelemahan KPK sebagai lembaga anti rasuah Indonesia. </p>
<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Juli <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/10/075000465/pegawai-kpk-resmi-berstatus-asn-apa-dampaknya?page=all">menandatangani</a> <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5f311f6c4543c/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-41-tahun-2020#">Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 tahun 2020</a> yang menetapkan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) pada Juli. </p>
<p>Peraturan ini keluar menyusul terbitnya <a href="https://www.kpk.go.id/images/pdf/Undang-undang/UU-Nomor-19-Tahun-2019.pdf">Undang-Undang (UU) No 19 tahun 2019</a> tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tahun lalu. </p>
<p>UU ini menyulut protes besar dari mahasiswa di berbagai kota di Indonesia akhir tahun lalu yang memandang UU tersebut bagian dari upaya bertubi-tubi elite politik untuk <a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396">mengerdilkan KPK</a></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396">Upaya pelemahan KPK telah berlangsung lebih dari satu dekade</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memasang kekang</h2>
<p>Gerakan Reformasi yang dimulai pada 1998 berjuang untuk mengakhiri gurita korupsi yang dikembangkan oleh Orde Baru. Sistem yang korup itu melibatkan elite politik, bisnis, dan militer dalam jaringan yang kompleks.</p>
<p>KPK berdiri pada tahun 2002 dengan harapan dapat menjadi sebuah lembaga anti-korupsi yang <a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">independen, kuat, berkomitmen, dan ditakuti</a>.</p>
<p>Dari <a href="https://globalanticorruptionblog.com/2019/10/02/guest-post-indonesian-anticorruption-institutions-at-risk-part-1-the-significance-of-the-kpks-first-acquittal/">ratusan penuntutan</a> di pengadilan, KPK baru kalah <a href="https://www.medcom.id/nasional/hukum/JKRVLZVK-kpk-3-kali-keok-di-tipikor">tiga kali</a>.</p>
<p>Sejak didirikan, KPK terus mendapat upaya pelemahan, baik lewat kriminalisasi dan intimidasi, maupun lewat kebijakan.</p>
<p>UU KPK yang baru adalah bagian dari berbagai macam upaya yang dilakukan <a href="https://theconversation.com/upaya-pelemahan-kpk-telah-berlangsung-lebih-dari-satu-dekade-130396">DPR bersama pemerintah</a> untuk melemahkan KPK. </p>
<p>UU yang baru itu mengamanatkan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. </p>
<p>Namun, tidak satu pun klausul di PP menyatakan bahwa KPK dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun.</p>
<p>PP itu dengan jelas menempatkan KPK di bawah kekuasan presiden. PP itu secara menyeluruh mengalihstatuskan pegawai KPK menjadi ASN. </p>
<p>Pemerintah melalui PP tersebut berniat mengendalikan KPK beserta sumber daya manusianya dalam kepentingan politik eksekutif.</p>
<p>Dengan mengubah status pegawai KPK sebagai ASN, pola dan manajemen kerja di KPK akan cenderung birokratis dan akan terus tunduk kepada aturan eksekutif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/reformasi-sampai-di-sini-jokowi-robohkan-warisan-demokrasi-indonesia-125434">Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mematikan semangat</h2>
<p>Berbeda dengan pimpinan KPK yang dibatasi masa kerja 5 tahun, pegawai KPK bekerja dalam jangka waktu lebih lama.</p>
<p>Maka, pengekangan birokratis pada pegawai KPK akan berdampak cukup besar dan lama pada semangat anti-korupsi di lembaga tersebut. </p>
<p>Di satu sisi, pegawai KPK akan tersandera dengan aturan birokratis ASN dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya. </p>
<p>Di sisi lain, akan muncul mafia-mafia baru kasus korupsi yang berasal dari oknum pegawai KPK dalam proses pemeriksaan perkara. </p>
<p>Sebagai ASN, pegawai KPK akan berpotensi dipengaruhi oleh pimpinan eksekutif baik di internal maupun eksternal KPK berupa suap dan gratifikasi. </p>
<p>Dengan model birokrasi di Indonesia saat ini yang sangat kaku, sulit kiranya mewujudkan KPK yang bebas dari intervensi dari pihak manapun. </p>
<p><a href="https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2014/5TAHUN2014UU.htm">UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN</a> mengatur bahwa ASN melaksanakan kebijakan dan program pemerintah. </p>
<p>Maka ada potensi untuk penyalahgunaan kewenangan di tubuh KPK ketika terdapat program pemerintah yang tidak sejalan dengan semangat anti-korupsi, sesuai <a href="https://fin.co.id/2020/02/13/ombusdman-masih-temukan-praktik-korupsi-di-birokrasi/">temuan Ombudsman</a> awal tahun ini tentang perilaku serupa dalam birokrasi kementerian dan lembaga negara. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/revisi-uu-kpk-saat-ini-salah-arah-ini-3-hal-yang-harusnya-direvisi-123459">Revisi UU KPK saat ini salah arah. Ini 3 hal yang harusnya direvisi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pilihan yang bisa dilakukan</h2>
<p>Sebagai institusi negara, KPK tidak bisa tidak harus tunduk pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. </p>
<p>Namun, kalau memang pemerintah masih beritikad baik dalam pemberantasan korupsi, dalam perspektif hukum administrasi kepegawaian ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan. </p>
<p>Pilihan pertama, pegawai KPK yang dialihstatuskan menjadi ASN tidak terikat secara penuh dengan ketentuan UU ASN beserta peraturan pelaksananya. </p>
<p>Artinya, pegawai KPK tidak terikat pada UU ASN yang mengatur manajemen sumber daya manusia mulai dari pengadaannnya, mutasi, hingga sistem penggajian dan tunjangannya. </p>
<p>Ini dapat ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah lain untuk melindungi independensi KPK.</p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49838/pp-no-63-tahun-2005">PP No. 63 Tahun 2005</a> tentang sistem manajemen sumber daya manusia KPK yang belum dicabut dapat menjadi referensi dalam mendesain PP baru itu.</p>
<p>Pilihan kedua, pegawai KPK yang beralihsatus sebagai ASN tunduk pada ketentuan UU ASN dan peraturan pelaksananya, namun dengan catatan.</p>
<p>Pihak eksekutif - dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara - dapat membuat nota kesepahaman bersama dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan KPK untuk tidak ikut campur dalam setiap proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh KPK, terutama dalam menangani kasus yang melibatkan aparatur eksekutif pemerintahan. </p>
<p>SOP tersebut dapat memuat lengkap dan detail soal hak dan kewajiban pegawai KPK beserta larangan lembaga eksekutif untuk tidak terlibat dalam proses penegakan hukum.</p>
<p>Dua pilihan ini harus menjadi pertimbangan, agar fungsi dan kewenangan KPK sebagai tetap independen dan bermarwah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144952/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beni Kurnia Illahi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Status pegawai KPK sebagai ASN menempatkan KPK di bawah kendali dan kekang eksekutif.Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Universitas BengkuluLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1447452020-08-22T12:31:05Z2020-08-22T12:31:05ZBagaimana para sineas berpengaruh Indonesia mengangkat isu sosial melalui film sejak kemerdekaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/354058/original/file-20200821-22-1yxmfp9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Adegan tari jatilan dalam film November 1828.</span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Perjalanan panjang industri perfilman di Indonesia tidak hanya ditandai dengan adanya perkembangan ekonomi, namun juga oleh kontribusi dari para sineas terbaik bangsa.</p>
<p>Dalam salah satu bab buku saya, <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9783319408736"><em>Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity</em></a>, saya membahas beberapa film dan sutradara Indonesia yang paling inovatif dan berpengaruh besar terhadap perkembangan budaya dalam 70 tahun terakhir.</p>
<p>Sejak merdeka, industri perfilman Indonesia telah melalui tiga periode – era Soekarno, era Orde Baru, dan era pasca Reformasi – yang sejalan dengan perubahan rezim di negara ini.</p>
<h2>Lahirnya sinema Indonesia modern</h2>
<p>Beberapa bulan setelah Indonesia mendapat <a href="https://www.un.org/dppa/decolonization/en/history/former-trust-and-nsgts">pengakuan internasional</a> sebagai bangsa yang merdeka pada akhir tahun 1949, Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) membuat film yang mengangkat perjuangan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. </p>
<p>Perusahaan ini dipimpin oleh Usmar Ismail. Ia dikenal sebagai <a href="https://time.com/5206668/google-doodle-usmar-ismail-indonesia/">pelopor penting perfilman Indonesia</a> pada awal masa kemerdekaan.</p>
<p>Film pertama Perfini setelah kemerdekaan yakni <a href="https://www.imdb.com/title/tt0042378/"><em>Darah dan Do'a</em></a> (1950) kemudian disusul <a href="https://www.imdb.com/title/tt0045997/"><em>Lewat Djam Malam</em></a> (1954) yang terinspirasi oleh <a href="http://ccat.sas.upenn.edu/italians/resources/Amiciprize%20/1996/index.html">sineas Italia tahun 1940-an</a> seperti Roberto Rossellini. Film neorealis Rossellini menggambarkan perlawanan terhadap kehadiran Nazi dan pemerintahan fasis di Italia yang terjadi pada akhir Perang Dunia Kedua.</p>
<p>Namun, Usmar Ismail mengambil satu langkah lebih maju dibanding para neorealis Italia karena berani mengangkat ambiguitas moral dan pelanggaran hak asasi manusia selama periode revolusi. Dalam film <em>Lewat Djam Malam</em>, misalnya, tokoh utama yang bernama Iskandar, digambarkan mengalami keresahan setelah melakukan kejahatan perang. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352685/original/file-20200813-14-huwpp4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Iskandar dalam Lewat Djam Malam (1954).</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Film-film awal Usmar Ismail sangat dihormati, sehingga tanggal 30 Maret, yang bertepatan dengan hari pertama produksi filmnya <em>Darah dan Do'a</em>, diperingati sebagai <a href="https://time.com/5206668/google-doodle-usmar-ismail-indonesia/">Hari Film Nasional</a> di Indonesia.</p>
<p>Pada tahun 1955, Perfini membuat film yang bisa jadi merupakan film satir politik pertama yang dibuat orang Indonesia, berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt0048694/"><em>Tamu Agung</em></a>. Film itu menyindir perayaan berlebihan terhadap figur Soekarno dan mengungkap bahaya dari kepemimpinan politik karismatik. Pada tahun 1957, Perfini juga memproduksi sebuah film komedi Betawi pertama berjudul <a href="https://www.worldcat.org/title/tiga-buronan/oclc/50513017"><em>Tiga Buronan</em></a>, disutradarai oleh Nja Abbas Akup.</p>
<p>Namun, industri film Indonesia mengalami fase naik dan turun.</p>
<p>Salah satu kemunduran industri film Indonesia terjadi pada akhir era Soekarno dan tahun-tahun setelah <a href="https://theconversation.com/how-indonesias-1965-1966-anti-communist-purge-remade-a-nation-and-the-world-48243">tragedi 1965</a>. Hanya ada tujuh film yang dibuat pada tahun 1968.</p>
<h2>Kritik sosial pada masa Orde Baru</h2>
<p>Di antara tahun 1970 hingga 1988, rata-rata produksi film Indonesia naik menjadi 70 film per tahun, sebagian diakibatkan oleh munculnya <a href="https://www.britannica.com/art/history-of-the-motion-picture/Ancaman-televisi">format layar lebar dan film warna</a>.</p>
<p>Pada tahun 1970-an, muncul berbagai sutradara baru seperti Sjuman Djaya yang pernah menempuh pendidikan di Moskow, Rusia. Selain itu, ada juga nama lain seperti Teguh Karya, yang bersama dengan kelompok <a href="https://books.google.co.id/books/about/Teguh_Karya.html?id=vQGzswEACAAJ&redir_esc=y">Teater Populer</a> membuat 13 film pada tahun 1970 sampai 1988.</p>
<p>Salah satunya adalah epik sejarah berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt0079644/"><em>November 1828</em></a>, yang selesai pada 1979. Selain menggambarkan peristiwa dari sudut pandang penduduk desa dalam melawan kolonialisme Belanda selama Perang Jawa (1825-1830), film ini membenturkan nilai-nilai Jawa dan nilai-nilai kolonial Barat.</p>
<p><em>November 1828</em> merupakan film Indonesia pertama yang dikenal luas di Eropa. Film ini juga pernah diputar di festival film London dan Berlin.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=257&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352872/original/file-20200814-16-gx6pie.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=323&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Adegan tarian padepokan dalam film <em>November 1828</em> (1979).</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada tahun 1985, Teguh menulis dan menyutradarai filmnya yang paling inovatif, <a href="https://www.imdb.com/title/tt0288210/"><em>Secangkir Kopi Pahit</em></a>. Menggunakan struktur kilas balik, film ini menggambarkan nasib orang-orang yang bermigrasi ke kota dari pedesaan di berbagai wilayah di Indonesia.</p>
<p>Sjuman Djaya juga memberikan kontribusi penting dengan memproduksi film-film yang memperkaya kritik sosial dalam perfilman era Orde Baru. Salah satunya adalah filmnya <a href="https://www.imdb.com/title/tt1121093/"><em>Si Mamad</em></a> (1973) yang mengandung sindiran terhadap praktik korupsi pada kalangan birokrat.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://www.imdb.com/title/tt0336691/"><em>Kerikil Kerikil Tajam</em></a> (1984) menggambarkan bahaya yang menimpa perempuan desa yang melakukan perjalanan ke Jakarta untuk mencari pekerjaan karena tidak tersedianya lapangan kerja di desa.</p>
<p>Film Sjuman Djaya lainnya yaitu <a href="https://www.imdb.com/title/tt0337194/"><em>Si Doel Anak Betawi</em></a> (1973) - bersama dengan <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2019/03/28/a-celebration-of-benyamin-suebs-films.html">berbagai film karya Benyamin Sueb</a> - mengenalkan masyarakat Indonesia secara luas pada gaya hidup orang Betawi. </p>
<p>Budaya suku Betawi, yang dianggap sebagai penduduk asli Jakarta, kemudian menjadi tema penting dalam budaya populer Indonesia selama 40 tahun berikutnya.</p>
<p>Sjuman Djaya juga mengadaptasi berbagai karya sastra penting, yang kemudian memberikan gambaran yang gamblang tentang isu agama dan patriarki dalam sejarah bangsa Indonesia. Contohnya adalah film <a href="https://www.imdb.com/title/tt0395106/">Atheis</a> (1974) yang diadaptasi dari <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/%201283619.Atheis">novel Achdiat Kartamihardja</a>, dan juga film <a href="https://www.imdb.com/title/tt0337076/">Raden Ajeng Kartini</a> (1982) yang bercerita tentang biografi tokoh emansipasi wanita tersebut, berdasarkan surat-surat asli yang ia tulis sendiri. </p>
<p>Pada 1990-an produksi film layar lebar menurun drastis. Hal ini terjadi karena adanya persaingan dari industri televisi komersial yang baru didirikan. Hanya empat film yang diproduksi pada tahun 1998.</p>
<h2>Pengakuan internasional dan bangkitnya sineas perempuan pada era pasca Reformasi</h2>
<p>Berbagai perempuan muda berbakat yang pernah melakukan studi di Institut Kesenian Jakarta - seperti Nan Achnas dan Mira Lesmana - berperan penting dalam mencapai terobosan bagi perempuan dalam industri film. Penulis-sutradara perempuan penting lainnya termasuk Nia Dinata, Mouly Surya, Djenar Maesa Ayu, dan Kamila Andini. </p>
<p>Nia Dinata menyutradarai beberapa film yang mengeksplorasi topik baru seperti batasan dari pernikahan poligami pada filmnya yang berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt0799938/"><em>Berbagi Suami</em></a> (2006).</p>
<p>Aspek lainnya dari era pasca reformasi adalah meningkatnya kehadiran sineas Indonesia yang diakui dunia internasional.</p>
<p><a href="https://www.thejakartapost.com/life/2019/09/04/garin-nugroho-keeps-rediscovering-film.html">Garin Nugroho</a> membuat film pertamanya, <a href="https://www.imdb.com/title/tt0101586/"><em>Cinta Dalam Sepotong Roti</em></a> pada tahun 1991. Namun, pada era pasca reformasi ia terus membuat film yang menantang penonton dengan berbagai cara.</p>
<p>Pada tahun 2002, ia membuat film berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt0344801/"><em>Aku Ingin Menciummu Sekali Saja</em></a>. Film ini mempertanyakan perilaku tentara Indonesia dalam upayanya untuk mengendalikan penduduk asli Papua.</p>
<p>Film terbarunya yang berjudul <a href="https://www.imdb.com/title/tt8900302/"><em>Kucumbu Tubuh Indahku</em></a> (2018) menggambarkan kehidupan seorang penari lengger - tarian tradisional lintas gender dari Jawa Tengah. Film ini mengeksplorasi berbagai pertanyaan tentang gender dalam masyarakat Indonesia.</p>
<p>Melalui film ini, Garin menantang penontonnya dengan secara sengaja menampilkan tradisi biseksualitas dan homoseksualitas di Indonesia serta prasangka yang muncul terhadap mereka.</p>
<p><a href="https://www.imdb.com/title/tt1989598/"><em>Sang Penari</em></a> (2009) karya sutradara baru Ifa Ifansyah juga menggambarkan kelompok tari asal Jawa - termasuk kelompok tari sayap kiri yang menjadi korban peristiwa 30 September 1965.</p>
<p>Sutradara Kamila Andini juga membuat film yang bercerita tentang anak muda di komunitas lokal mereka. Contohnya adalah film <a href="https://www.imdb.com/title/tt1934427/"><em>Laut Bercermin</em></a> (2011) yang pembuatannya langsung melibatkan orang Bajau yang berlayar di laut Sulawesi Selatan, dan film <a href="https://www.imdb.com/title/tt07215548/"><em>Sekala Niskala</em></a> (2018), yang difilmkan langsung di Bali.</p>
<h2>Melestarikan sinema nasional yang kritis</h2>
<p>Film-film yang diproduksi pada masa awal terbentuknya Perfini sering dianggap sebagai landasan munculnya “perfilman nasional”. Namun, film-film ini juga merupakan salah satu bentuk “perfilman nasional kritis”, yang menonjolkan dan menyinggung berbagai aspek negatif dari negara yang waktu itu baru terbentuk.</p>
<p>Tema-tema yang diusung di antaranya adalah pelanggaran hak asasi manusia oleh pejuang kemerdekaan, korupsi yang dilakukan kalangan tentara, dan bahaya kepemimpinan politik karismatik.</p>
<p>Kepedulian untuk membuat film yang relevan secara sosial menjadi nyata pada film-film pada masa awal Perfini. Semangat dari film-film tersebut kemudian diteruskan secara invatif oleh para sineas Indonesia generasi kedua, ketiga, dan keempat.</p>
<hr>
<p><em>Diva Tasya menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144745/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>David Hanan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam salah satu bab buku saya, saya membahas beberapa film dan sutradara Indonesia yang paling inovatif dan berpengaruh besar terhadap perkembangan budaya dalam 70 tahun terakhir.David Hanan, Honorary Fellow at the Asia Institute, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1445052020-08-14T11:14:44Z2020-08-14T11:14:44ZMenguatnya konservatisme memundurkan reformasi kebijakan demi kesetaraan perempuan di Indonesia<p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan memiliki peran penting dalam jatuhnya Soeharto, dan tidak diragukan bahwa <a href="https://www.chathamhouse.org/expert/comment/how-women-are-transforming-indonesia">perempuan terus mengalami kemajuan penting sejak Reformasi</a> dimulai pada 1998.</p>
<p>Indonesia telah memiliki presiden perempuan, dan saat ini memiliki menteri-menteri perempuan, di antaranya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mereka masing-masing adalah birokrat kelas dunia dan pembaharu ekonomi.</p>
<p>Perempuan, tua atau muda, di desa atau kota, secara aktif urun daya pada keluarga, komunitas dan bangsanya.</p>
<p><a href="https://pekka.or.id/blog/2020/04/23/laporan-tahun-2019-pekka/">Mereka adalah kepala rumah tangga</a> yang aktif secara sosial, menjadi sukarelawan, dan berorganisasi di berbagai bidang kehidupan.</p>
<p>Namun, setelah 75 tahun merdeka, Indonesia masih memiliki kesenjangan yang signifikan dalam kesetaraan.</p>
<p>Di bidang ekonomi hingga keadilan sosial, perempuan tetap dirugikan. Misalnya, tingkat partisipasi mereka di pasar tenaga kerja secara umum <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2018.1530727">tidak berubah</a> (hanya sekitar 51% untuk perempuan berusia 15 tahun ke atas) dalam 20 tahun terakhir.</p>
<p>Ada juga catatan-catatan komprehensif atas isu-isu penting seperti <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/child-marriage-surges-amid-covid-19-and-growing-conservatism/">pernikahan remaja perempuan di bawah umur</a> dan <a href="https://brill.com/view/journals/bki/174/1/article-p24_2.xml?language=en">kekerasan terhadap perempuan</a>.</p>
<p>Saya <a href="https://doi.org/10.1017/trn.2019.14">mengkaji</a> meningkatnya kesalehan publik dan dampaknya terhadap reformasi kebijakan untuk kesetaraan di Indonesia selama dua dekade terakhir.</p>
<p>Walau ada kerugian yang terukur bagi perempuan, ada kecenderungan dalam advokasi kebijakan untuk mendorong agenda kebijakan yang didasari oleh agama - beberapa dipimpin oleh perempuan Muslim - yang menarik mundur kemajuan dan membatasi kebebasan memilih perempuan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352868/original/file-20200814-20-1sjgwk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Konservatisme agama dan politik Islam</h2>
<p><a href="https://www.pewforum.org/2018/06/13/how-religious-commitment-varies-by-country-among-people-of-all-ages/">Riset Pew</a> pada 2018 mengungkapkan bahwa orang Indonesia sangat religius: sekitar 93% penduduk percaya agama dan melihat agama sebagai aspek penting dalam kehidupan mereka.</p>
<p>Temuan ini tentu tidak kontroversial.</p>
<p>Namun, yang kemudian menjadi jelas sejak Reformasi adalah adanya tren politikus dan beragam aktor masyarakat sipil (termasuk organisasi berbasis agama dan perempuan) yang <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/trans-trans-regional-and-national-studies-of-southeast-asia/article/rising-public-piety-and-the-status-of-women-in-indonesia-two-decades-after-reformasi/7676157EA18DB194320C44C49219ECC1">mengeksploitasi kesalehan publik</a> untuk memajukan agenda sosial berdasarkan norma-norma agama konservatif. </p>
<p>Akibatnya, dalam banyak contoh, agama merasuk ke dalam wacana publik dan mempengaruhi, bahkan menentukan, masa depan dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum.</p>
<p>Secara khusus, bagian dari agenda usaha adalah penggunaan perspektif religius yang didasarkan pada pemisahan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Perempuan tentu saja terdampak.</p>
<p>Contoh yang menonjol adalah promosi mengenakan pakaian Muslim, semakin populernya <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-singles-propose-marriage-without-dating">gerakan “Indonesia tanpa pacaran”</a>, promosi untuk poligami, dan seruan untuk <a href="https://www.newmandala.org/an-anti-feminist-wave-in-indonesias-election/">mencela feminisme</a> berdasarkan nilai-nilai Islam.</p>
<p>Ini adalah <a href="https://theconversation.com/against-the-tide-why-womens-equality-remains-a-distant-dream-in-arab-countries-74410">tren sosial yang terjadi di banyak negara Muslim</a>, seperti Mesir, Maroko dan Tunisia.</p>
<p>Di wilayah tempat Islam mendominasi, perempuan jelas berisiko dipaksa untuk mengikuti satu aliran Islam berdasarkan citra perempuan Muslim ideal dari kacamata patriarki. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/352902/original/file-20200814-24-6kmz3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Aktivisme melawan kesetaraan gender</h2>
<p>Contoh-contoh gerakan sosial Islam populer ini menunjukkan adanya komitmen untuk secara sukarela patuh pada nilai-nilai tertentu.</p>
<p>Gerakan-gerakan ini merefleksikan adanya kesetiaan pada sebuah cara pandang dalam hidup yang mengatur peran dan perilaku perempuan secara spesifik.</p>
<p>Adanya sebagian perempuan yang mendukung cara pandang ini menunjukkan bahwa di Indonesia hari ini, perempuan tampaknya mampu menentukan pilihan tentang perannya dalam kehidupan dan masyarakat.</p>
<p>Yang menjadi masalah adalah pilihan-pilihan pribadi dan tindakan-tindakan kolektif ini juga telah menjadi dasar dalam upaya untuk mempengaruhi masyarakat lebih luas.</p>
<p>Dengan kata lain, pilihan dan tindakan ini berada di pusat penolakan terhadap inisiatif kebijakan yang bertujuan untuk menguntungkan perempuan dan memajukan kesetaraan dalam forum politik dan hukum.</p>
<p>Serangkaian nilai tertentu yang menjadi identifikasi satu kelompok saat ini diterapkan pada perempuan Indonesia secara keseluruhan.</p>
<p>Bentuk aktivisme yang paling menyeluruh adalah seruan bagi negara untuk mengatur tubuh perempuan, termasuk hak reproduksi, moralitas dan seksualitas perempuan.</p>
<p><a href="https://www.nytimes.com/2008/10/30/world/asia/30iht-indo.1.17378031.html">Pengesahan Undang-Undang (UU) Anti Pornografi</a> pada 2008 adalah contoh awal yang menonjol. </p>
<p>UU tersebut kemudian diikuti oleh upaya <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/the-anti-sexual-violence-bill-a-clash-of-values-or-politics/">mengkriminalisasi homoseksualitas</a>, yang mempengaruhi kemampuan memilih bagi laki-laki dan juga perempuan.</p>
<p>Ada pula upaya penolakan yang gigih dan <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/child-marriage-constitutional-court-finally-ditches-religious-arguments/">sangat teorganisasi terhadap usaha untuk meningkatkan kesetaraan di Mahkamah Konstitusi</a>.</p>
<p>Dalam proses pengesahan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/13/house-agrees-to-raise-minimum-marriage-age-to-19.html">revisi UU Perkawinan</a> oleh Dewan Perwakilan Rakyat - yang menaikkan usia minimum menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun - tantangan serupa juga muncul.</p>
<p>Tantangan itu datang dari kubu yang sangat <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/ailas-unsuccessful-petition-a-narrow-escape-from-overcriminalisation/">dimotivasi oleh dan bertujuan mendorong doktrin agama</a> dalam membela sesuatu yang tidak layak dibela.</p>
<p>Yang terbaru, ada penolakan yang tegas dan keras terhadap <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/02/public-outcry-as-house-plans-to-delay-sexual-violence-bill-again.html">Rancangan Undang-Undang Anti-kekerasan Seksual</a>. </p>
<p>Sekali lagi, para penolak membangun argumentasi berdasarkan atas ajaran Islam.</p>
<p>Kampanye tidak hanya dilakukan oleh politikus tetapi juga kelompok masyarakat sipil yang sangat terorganisasi, seperti <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/09/19/how-a-populist-morality-movement-is-blocking-a-law-against-sexual-violence-in-indonesia-analysis.html">Aliansi Cinta Keluarga</a>, yang tanpa henti mempromosikan nilai-nilai sosial konservatif.</p>
<p>Mereka menolak kerangka kebijakan yang dapat <a href="https://theconversation.com/why-indonesias-anti-sexual-violence-bill-important-for-people-with-disabilities-118045">memajukan perempuan, dan khususnya perempuan penyandang disabilitas</a>.</p>
<p>Rancangan UU tersebut memperkenalkan sebuah kerangka keadilan pidana yang komprehensif terhadap kekerasan seksual, yang mencakup pelecehan seksual, eksploitasi seksual, kontrasepsi paksa, prostitusi paksa, perbudakan, dan pelecehan seksual yang terjadi di ranah pribadi dan publik.</p>
<p>Bila rancangan UU itu ditolak, ini berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus dinormalisasi.</p>
<h2>Pilihan siapa?</h2>
<p>Sulit bagi banyak orang untuk menentang norma-norma agama dalam masyarakat yang sangat taat dalam beragama.</p>
<p>Para pendukung kebijakan kesetaraan publik juga secara negatif dianggap sebagai pendukung ideologi <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/02/05/pks-rejects-antirape-bill-because-it-has-liberal-perspective.html">asing</a> atau <a href="https://nasional.tempo.co/read/1149894/maju-mundur-pembahasan-ruu-pks/full&view=ok">budaya Barat</a> yang bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia.</p>
<p>Tantangan yang ada saat ini adalah agar kontestasi publik di Indonesia dapat dengan tepat mencerminkan kebutuhan semua perempuan Indonesia ketimbang pilihan kelompok tertentu.</p>
<p>Demokrasi memastikan adanya ruang terbuka untuk debat semacam ini.</p>
<p>Namun, saat ini ada bahaya nyata bahwa kemajuan-kemajuan bagi perempuan Indonesia yang berada dalam posisi lemah akan hilang dalam hiruk-pikuk perdebatan bias gender berdasarkan agama.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan oleh Agradhira Nandi Wardhana dari Bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144505/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dina Afrianty menerima dana dari Knowledge Sector Initiative yang didanai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia dan dilaksanakan lewat kemitraan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia. Pendapat yang dikemukakan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mewakili pandangan pemerintah Australia atau Indonesia.</span></em></p>Ada kecenderungan dalam advokasi kebijakan yang menghambat kemajuan perempuan dan membatasi kebebasan perempuan dalam memilih.Dina Afrianty, Research Fellow at La Trobe Law School, La Trobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1417862020-07-29T06:39:30Z2020-07-29T06:39:30ZPenempatan perwira militer, polisi aktif di BUMN menjadi tanda Reformasi semakin mundur<p>Bulan lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendapat <a href="https://tirto.id/risiko-potensi-masalah-perwira-tni-polri-menjabat-komisaris-bumn-fKPN">kritikan</a> deras dari publik karena <a href="https://www.cnbcindonesia.com/market/20200611074218-17-164523/bersih-bersih-erick-thohir-deretan-para-jenderal-di-bumn">menempatkan</a> perwira tinggi dan jenderal aktif, baik militer maupun kepolisian, dalam jajaran petinggi BUMN.</p>
<p>Kebijakan Erick jelas tidak sesuai dengan aturan dalam <a href="http://www.dpr.go.id/dokblog/dokumen/F_20150616_4760.PDF">Undang-Undang (UU) No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI)</a>) dan <a href="https://www.ojk.go.id/waspada-investasi/id/regulasi/Pages/Undang-Undang-Nomor-2-Tahun-2002-tentang-Kepolisian-Republik-Indonesia.aspx">UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri)</a>). </p>
<p>Penempatan sejumlah perwira TNI/Polri aktif dalam jajaran direksi dan komisaris perusahaan BUMN menggambarkan keengganan pemerintah melaksanakan reformasi TNI/Polri dan menjalankan amanat peraturan perundang-undangan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/rangkap-jabatan-di-bumn-adalah-masalah-bagi-keadilan-sosial-142183">Rangkap jabatan di BUMN adalah masalah bagi keadilan sosial</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Amanat Reformasi</h2>
<p>Pada masa Orde Baru, Soeharto <a href="http://www.imparsial.org/publikasi/opini/tni-polri-dilarang-berpolitik/">memanfaatkan</a> militer dan polisi yang dulu berada dalam satu atap Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk menjaga dan mempertahankan kekuasaannya. </p>
<p>Alhasil, peran dan fungsi ABRI di masa Orde Baru lebih banyak terlihat kiprahnya pada kehidupan politik praktis. ABRI menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, serta berada di dalam parlemen. </p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ffe8d256bf00/node/657/tap-mpr-novi_mpr_2000-tahun-2000-pemisahan-tentara-nasional-indonesia-dan-kepolisian-negara-republik-indonesia">Ketetapan MPR No. VI tahun 2000</a> menyatakan bahwa peran sosial politik ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi tentara dan polisi yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.</p>
<p>Pencabutan peran ganda polisi dan dan tentara pada dasarnya merupakan upaya untuk menjaga demokrasi dan secara khusus membangun profesionalitas tentara dan polisi. </p>
<p>Kini, penempatan perwira TNI/Polri aktif pada beberapa perusahaan BUMN jelas tidak sesuai dengan <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ee73698d0e12/jenderal-aktif-jabat-komisaris--menteri-bumn-diingatkan-ketentuan-uu-tni-dan-polri/">amanat undang-undang</a>. </p>
<p>Kebijakan tersebut bertentangan UU TNI dan UU Polri.</p>
<blockquote>
<p>“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” (UU TNI, Pasal 47, ayat 1)</p>
<p>“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.” (UU Polri, Pasal 28, ayat 3)</p>
</blockquote>
<p>Lebih lanjut, UU TNI juga mengatur pengecualian jabatan sipil yang bisa diduduki prajurit aktif dengan batasan yang jelas. </p>
<p>Jabatan sipil yang dapat diduduki TNI aktif terbatas pada jabatan di kantor Koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.</p>
<p>Kedudukan sipil yang dikecualikan tersebut juga memiliki syarat: harus ada permintaan dari pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non-departemen yang dimaksud, serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku.</p>
<p>Terang terbaca bahwa posisi di perusahaan BUMN bukanlah termasuk pada jabatan sipil yang dikecualikan.</p>
<p>UU TNI dan UU Polri berperan penting sebagai fondasi dalam reformasi TNI dan Polri. </p>
<p>Pelbagai kebijakan pemerintah terkait TNI dan Polri seharusnya konsisten dan mengacu pada dua perundang-undangan ini. </p>
<p>UU TNI secara rinci menyebut bahwa “Tentara Profesional” menganut prinsip demokrasi, dan ketentuan hukum nasional; dan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, ketentuan hukum nasional.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kepemimpinan-yang-beretika-diperlukan-untuk-memulihkan-integritas-bumn-131775">Kepemimpinan yang beretika diperlukan untuk memulihkan integritas BUMN</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dipertanyakan</h2>
<p>Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI <a href="https://tirto.id/risiko-potensi-masalah-perwira-tni-polri-menjabat-komisaris-bumn-fKPN">Mayjen Sisriadi</a> menerangkan bahwa pengangkatan perwira sebagai komisaris selalu diawali oleh surat yang dilayangkan Kementerian BUMN. </p>
<p>Lewat surat ini, kementerian meminta Panglima TNI untuk mencarikan orang-orang dengan kapabilitas tertentu.</p>
<p>Namun jelas dalam UU TNI, bahwa prajurit TNI aktif hanya bisa diminta untuk mengisi jabatan-jabatan sipil yang telah disebutkan di atas. </p>
<p>Sehingga, tentu menjadi pertanyaan, apa dasar Kementerian BUMN melayangkan surat permintaan tersebut?</p>
<p>Dalam UU TNI dan UU Polri hanya terdapat dua klasifikasi anggota, yakni TNI/Polri aktif dan TNI/Polri tidak aktif. Perwira tidak aktif adalah yang pensiun dini atau pensiun biasa. </p>
<p>Undang-undang pun jelas menyebut prajurit TNI atau anggota Polri harus pensiun dini jika ingin menduduki jabatan sipil di luar institusi TNI/Polri. </p>
<p>Tidak ada pembenaran TNI/Polri aktif diperbolehkan menduduki jabatan sipil dengan alasan memasuki <a href="https://gensindo.sindonews.com/read/75582/12/seknas-jokowi-nilai-sah-saja-saja-pati-tni-polri-jadi-komisaris-bumn-1592586390">usia pensiun</a> atau pun karena memiliki <a href="https://money.kompas.com/read/2020/06/25/103000226/era-erick-thohir-22-anggota-tni-polri-masuk-jajaran-komisaris-bumn">kapasitas</a>.</p>
<p>Ombudsman Republik Indonesia — lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik — telah <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/06/28/asn-tni-polri-aktif-jadi-komisaris-bumn-ombudsman-surati-presiden">memperingatkan</a> bahwa saat ini ada 397 komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merangkap jabatan dan menimbulkan konflik kepentingan.</p>
<p>Aparatur Sipil Negara (ASN) aktif di kementerian maupun lembaga non kementerian menjadi pejabat rangkap jabatan terbanyak di BUMN, diikuti komisaris dari kalangan TNI dan Polri. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perpres-jokowi-yang-bisa-tempatkan-perwira-tni-di-kementerian-berbenturan-dengan-uu-dan-semangat-reformasi-121978">Perpres Jokowi yang bisa tempatkan perwira TNI di kementerian berbenturan dengan UU dan semangat reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kemunduran</h2>
<p>Dalam konteks reformasi TNI, perluasan peran militer ke dalam ranah sipil menggambarkan kemunduran reformasi TNI pasca Orde Baru. </p>
<p>Penempatan prajurit TNI aktif di perusahaan BUMN ini menjadi catatan buruk pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.</p>
<p><a href="http://setara-institute.org/jalan-sunyi-reformasi-tni/">SETARA Institute</a> dalam laporan tentang dua dekade Reformasi mencatat perluasan peran militer dalam ranah sipil berupa pelibatan militer antara lain dalam program ketahanan pangan, cetak sawah, pengawasan harga sembako, dan pengenalan lingkungan sekolah.</p>
<p>Militer juga akan semakin masuk ke ranah sipil lewat <a href="https://nasional.tempo.co/read/1299587/revisi-uu-tni-masuk-prolegnas-aktivis-desak-reformasi-militer/full&view=ok">rencana revisi UU TNI</a>.</p>
<p>Revisi ini rencananya akan menambahkan ketentuan agar prajurit aktif dapat duduk di Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanganan Bencana, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Badan Keamanan Laut.</p>
<p>Reformasi TNI dan Polri seharusnya berjalan tidak hanya dari dalam institusi militer dan kepolisian. </p>
<p>Institusi sipil yaitu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Baik pemerintah, DPR, TNI, maupun Polri mutlak menurut amanat Reformasi dan memahami isi UU TNI dan UU Polri.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/141786/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ikhsan Yosarie tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penempatan sejumlah perwira TNI/Polri aktif dalam perusahaan BUMN melanggar undang-undang dan tidak sesuai semangat reformasi.Ikhsan Yosarie, Peneliti, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1417792020-07-21T08:41:33Z2020-07-21T08:41:33ZASN serba salah: bagaimana birokrat Indonesia kian jadi bulan-bulanan kala pandemi<p>Bulan lalu, pemerintah menyebut rencana <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/21/194500165/menteri-tjahjo-berencana-pangkas-asn-yang-tak-produktif-ini-kata-bkn?page=all">memecat</a> aparat sipil negara (ASN) yang tidak produktif. </p>
<p>Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mengatakan penerapan kebijakan bekerja dari rumah bagi ASN selama wabah membuat ASN tak produktif dan dinilai tidak bisa menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawab mereka. </p>
<p>Berbarengan dengan itu, pemerintah juga akan menunda <a href="https://money.kompas.com/read/2020/06/22/170526526/birokrasi-belum-ramping-tunjangan-kinerja-pns-terancam-ditunda">pembayaran tunjangan kinerja</a> ASN di kementerian dan lembaga yang belum menyelesaikan pekerjaan rumah mereka terkait penyederhanaan struktur birokrasi. </p>
<p>Di tengah wabah, birokrat di Indonesia semakin terjepit di bawah sistem yang ketat, mengeksploitasi, dan mendiskriminasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pandemi-covid-19-menunjukkan-kerja-dari-rumah-memungkinkan-bagi-asn-136238">Pandemi COVID-19 menunjukkan kerja dari rumah memungkinkan bagi ASN</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kontrol atas birokrasi</h2>
<p>Ada sekitar <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4874553/ada-42-juta-pns-di-indonesia-40-cuma-urus-administrasi">4,2 juta ASN</a> tersebar di berbagai daerah di Indonesia. </p>
<p>Para ASN memegang peran strategis yang beragam mulai dari merumuskan dan mengeksekusi rencana pembangunan dan memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat seperti di ranah perlindungan warga negara, perpajakan, kependudukan, dan masih banyak lagi.</p>
<p>Dalam dua dekade terakhir, manajemen birokrasi di Indonesia menunjukkan betapa kuatnya kontrol pemerintah atas tubuh birokrasi. </p>
<p>Dari wawancara yang kami lakukan dengan sekelompok birokrat Indonesia, kontrol ini mewujud dalam berbagai instrumen seperti <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9781843926818">absensi sidik jari, pengenalan wajah, bahkan pelacakan via satelit</a> yang kian dianggap normal.</p>
<p>Pengawasan ketat terhadap tubuh birokrasi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari <a href="http://www.lse.ac.uk/internationaldevelopment/pdf/wp/wp18.pdf">wacana anti-korupsi</a> yang mengemuka di dunia pada akhir 1990-an. Wacana anti-korupsi global ini memotret <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/17422040810870079/full/html">birokrasi atau ASN sebagai biang keladi korupsi</a>.</p>
<p>Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa gerakan anti-korupsi global banyak didorong oleh aktor-aktor seperti Bank Dunia dan Transparansi Internasional, <a href="https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/s10551-020-04560-y.pdf">yang merefleksikan kepentingan aktor-aktor di dunia Barat</a>.</p>
<p>Mereka memandang korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang berfokus di sektor publik, khususnya di negara-negara <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/475">Dunia Ketiga.</a></p>
<p>Pendekatan demikian cenderung mengabaikan persoalan <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/17422040810870079/full/html">korupsi di ranah swasta</a>, maupun <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/may/12/anti-corruption-summit-us-united-kingdom-tax-havens">di negara maju</a>. </p>
<p>Di balik pandangan sempit atas korupsi, terdapat peran institusi-institusi yang mengedepankan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%252Fs10611-013-9450-1">agenda neoliberalisme</a> – dua yang utama adalah Bank Dunia dan Transparansi Internasional, dua organisasi yang merupakan kolaborasi beberapa negara di Eropa dan Amerika. </p>
<p>Anti-korupsi menjadi lekat dengan agenda memuluskan jalan investasi pemilik modal dan mengecilkan peran negara yang dianggap memiliki <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01436590500336864">sifat ‘korup’</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-mengapa-peran-akademisi-di-kabinet-menjadi-tidak-efektif-sejak-era-reformasi-125657">Riset: mengapa peran akademisi di kabinet menjadi tidak efektif sejak era reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Paradigma korporatis untuk birokrasi</h2>
<p>Sebagai konsekuensi dari gerakan anti-korupsi global, pemerintah Indonesia melakukan upaya pembenahan birokrasi dan memilih pendekatan <a href="http://samarinda.lan.go.id/jba/index.php/jba/article/view/153"><em>New Public Management</em></a> (NPM). </p>
<p>Di dunia, NPM sudah dikenal sejak akhir <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-9299.2009.01766.x">1970-an</a>. Pada 1990-an, istilah NPM digunakan untuk <a href="http://newdoc.nccu.edu.tw/teasyllabus/110041265941/Hood%20NPM%201991.pdf">menggambarkan</a> pembenahan radikal dalam manajemen layanan publik di beberapa negara seperti Inggris dan Australia. </p>
<p>Di Indonesia, pemikiran terkait NPM mulai diperbincangkan akhir 1990-an. Reformasi birokrasi bisa dikatakan mulai diterapkan pada <a href="https://rsa.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01442872.2019.1708301">tahun 2003-2004</a>. </p>
<p>Pembenahan ini menerapkan manajemen ala swasta untuk membuat layanan publik fokus pada pengguna dan lebih efisien. </p>
<p>NPM banyak menerapkan konsep-konsep yang digunakan dalam sektor swasta, termasuk perangkat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1045235410001346">teknologi disiplin</a> – yaitu perangkat untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pekerja, contohnya penggunaan indikator kinerja dan perangkat absensi yang memindai sidik jari.</p>
<p>Selain itu, NPM juga mengadopsi jargon seperti ‘budaya korporasi’ (<em>corporate culture</em>), ‘manajemen kinerja’ (<em>performance management</em>), birokrat sebagai ‘penjual’ layanan, dan masyarakat sebagai ‘pembeli’. </p>
<p>Lewat program reformasi birokrasi dengan pendekatan NPM, ASN dinilai berdasarkan capaian target kinerja, dan diberi iming-iming remunerasi (pemberian tambahan tunjangan) dalam <a href="https://jurnal.bkn.go.id/index.php/asn/article/download/127/60/">iklim kerja kompetitif</a>.</p>
<p>NPM menjanjikan birokrasi yang lebih profesional, yang lebih dikenal dengan gagasan <em>good governance</em>. Logikanya, jika birokrat profesional, maka pelayanan menjadi semakin baik di mata publik. </p>
<p>Di atas kertas, ini tampak seperti sebuah cita-cita mulia. Sayangnya, pada saat yang sama, NPM turut mendorong tiap-tiap ASN untuk mengejar kepentingan pribadi di atas segala-galanya.</p>
<p><a href="https://dphu.org/uploads/attachements/books/books_5003_0.pdf">NPM didasarkan pada</a> <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1096749401000411"><em>public-choice theory</em></a>, yakni sebuah pandangan tentang kebebasan individu dalam membuat pilihan rasional untuk mengejar tujuan-tujuan pribadi. </p>
<p>ASN didorong untuk menunjukkan kinerjanya, dengan cara apapun, agar bisa mendapat imbalan finansial tertentu. </p>
<p>Ini menjadi bumerang bagi birokrasi itu sendiri. </p>
<p>Karena mengejar tujuan pribadi, individu selalu mempertimbangkan aspek untung-rugi (<em>cost-benefit</em>) dalam membuat keputusan dan dalam bekerja. </p>
<p>Pertimbangan untung-rugi ini juga mendorong ASN untuk sekadar memuaskan sistem evaluasi kinerja demi remunerasi. Para bawahan terpaksa belajar untuk mengakali <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-8551.2005.00466.x">sistem kontrol kinerja yang berisi objektif-objektif, tenggat waktu, dan indikator</a>, misalnya, dengan melakukan manipulasi pada sistem absensi dan pencapaian indikator.</p>
<p>Iklim kompetitif yang dibentuk menjerumuskan birokrasi pada sistem <a href="https://www.theguardian.com/news/2018/oct/19/the-myth-of-meritocracy-who-really-gets-what-they-deserve">meritokrasi</a> - sistem menilai orang berdasarkan kemampuan atau prestasi, yang dapat berujung pada eksploitasi dan diskriminasi. </p>
<p>Penggunaan konsep <em>performance-related pay</em> dalam rezim NPM yang telah banyak <a href="https://www.jstor.org/stable/27697826?seq=1#metadata_info_tab_contents">dikritik</a> mewujud dalam sistem pemeringkatan pegawai maupun instansi yang berdampak pada kesenjangan penghasilan. </p>
<p>ASN dieksploitasi karena didorong untuk terus berusaha memenuhi indikator kinerja (agar mendapat tunjangan tambahan) dengan bekerja sampai larut malam dan di hari libur. ASN menjadi tidak kolaboratif karena berkompetisi untuk mendapatkan penghasilan lebih bagi diri sendiri. </p>
<p>Di samping itu, program reformasi birokrasi juga menjustifikasi penghasilan yang timpang antar ASN, yang merupakan bentuk diskriminasi.</p>
<p>Sebagai contoh, para auditor yang ditugaskan pada instansi pemerintah yang berbeda meski memiliki masa kerja yang sama (misal 10 tahun) akan menerima penghasilan yang berbeda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gerakan-sosial-berbasis-media-baru-bisa-redup-tapi-tak-pernah-mati-riset-dari-ambon-129369">Gerakan sosial berbasis media baru bisa redup tapi tak pernah mati: riset dari Ambon</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Birokrasi yang babak belur</h2>
<p>Selain soal kontrol dan budaya korporat, di Indonesia, birokrasi juga kerap jadi bahan perundungan. </p>
<p>Penelitian pada 2019 tentang <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/231965-citra-pns-yang-bobrok-di-mata-publik-masih-bertahan.html">citra ASN di media sosial</a> menunjukkan bahwa birokrat masih menjadi kelompok yang dicap ‘bobrok’ oleh masyarakat Indonesia.</p>
<p>Ini konsisten dengan studi-studi terdahulu yang mengungkap bahwa birokrat kerap jadi sasaran kritikan dalam opini populis, yang dikenal sebagai <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1540-6210.2006.00575.x"><em>bureaucracy bashing</em></a>. </p>
<p>Politikus dan aktor-aktor pemimpin opini sengaja mendulang dukungan lewat praktik <em>bureaucracy bashing</em>. Selama musim kampanye, misalnya, <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt9qh4pn">politikus kerap menjelek-jelekkan birokrasi untuk mendulang suara</a>.</p>
<p>Padahal, praktik itu memiliki dampak negatif seperti <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1540-6210.2006.00575.x">rendahnya semangat kerja pegawai dan kualitas rekrutmen yang buruk</a>. </p>
<p>Studi lain di Jerman pada 2016 juga mengungkap bahwa masyarakat cenderung lebih mudah untuk mengabaikan pengalaman positif dengan aparat birokrasi, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0952076716658798?journalCode=ppaa">dibanding pengalaman negatif</a>. Pengalaman negatif ini biasanya kemudian mereka sebarluaskan di media sosial. </p>
<p>Dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari, birokrat dalam rezim NPM diberi gelar <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/273430-smart-asn-40-akan-ubah-pola-lama-birokrasi">‘Smart ASN’</a> dan diimajinasikan sebagai aktor yang gesit penuh kreativitas, meski sebenarnya mereka terpenjara. </p>
<p>Para elite berlindung di balik jargon <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-9299.2009.01766.x">efektivitas, efisiensi, dan produktivitas </a>. Mereka tidak secara gamblang menjelaskan ideologi di balik NPM, tetapi terus menerus mereproduksi wacana seputar kinerja yang sebetulnya merugikan ASN.</p>
<p>Dengan bersembunyi di balik indikator-indikator capaian tertentu, ketimpangan penghasilan pegawai <a href="https://money.kompas.com/read/2020/03/07/143757126/5-instansi-pns-dengan-tunjangan-tertinggi-siapa-juaranya?">antar-instansi pemerintah</a> dijustifikasi, sementara hal itu tidak berdampak pada para elite yang masih bisa menikmati sumber penghasilan lain jauh di atas <a href="https://tirto.id/masalah-di-balik-rangkap-jabatan-komisaris-bumn-era-jokowi-fMhx">rata-rata bawahannya</a>].</p>
<p>Besarnya penghasilan ASN tidak mempertimbangkan <a href="https://geotimes.co.id/opini/dilema-yang-dihadapi-asn-di-masa-pandemi/?fbclid=IwAR2fnZ2qH4JYvZCwCeOuxgAWRybUgI9sZpmfWhZL53YTxKDk_kFDZVIzomA">kebutuhan hidup layak</a>, melainkan ditentukan lewat mekanisme pembagian tunjangan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1173150/menpan-rb-tunjangan-kinerja-pns-bervariasi-sesuai-kinerja/full&view=ok">layaknya “bonus”</a> di perusahaan. </p>
<p>Gaji pokok dibiarkan kecil, dan tunjangan ditentukan lewat indikator yang bermasalah dan pada kasus ASN daerah akan bergantung pada kemampuan masing-masing pemerintah daerah.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, para birokrat perlu berhenti bersikap naif, dan menyadari situasi yang mereka hadapi, serta tidak menerimanya begitu saja. </p>
<p>Birokrat yang hidup dalam rezim NPM berada dalam perangkap <a href="https://brill.com/view/journals/hima/17/3/article-p3_1.xml">layaknya perlombaan tikus (<em>rat race</em>)</a>: hidup dalam ilusi ‘kinerja’ dan ‘produktivitas’ yang tidak ada habis-habisnya. </p>
<p>Mengikuti rezim standardisasi, kuantifikasi dan pengawasan yang konstan hanya akan membebani para birokrat secara tak berkesudahan. </p>
<p>Lagipula, jika ASN benar <em>smart</em>, mengapa perlu <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/664553">dikontrol begitu ketat?</a></p>
<p><strong>Kedua</strong>, para birokrat perlu berkoalisi dengan akademisi untuk membangun pengetahuan tentang birokrasi dari dalam birokrasi itu sendiri. </p>
<p>Birokrat perlu memahami tantangan dan peluang birokrasi dengan menghadirkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1045235415000519">analisis</a> yang peka terhadap konteks historis, sosial, budaya, dan politik dari birokrasi.</p>
<p>Birokrasi perlu memberikan suaranya tentang cita-cita ‘reformasi’ sehingga klaim-klaim yang dibuat terkait <a href="https://20.detik.com/blak-blakan/20200610-200610002/tjahjo-kumolo-blak-blakan-reformasi-birokrasi-di-era-jokowi">kegagalan maupun kesuksesannya</a> dapat dikritisi bersama-sama.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, birokrat juga perlu menyadari bahwa mereka tidak sendirian dan perlu mengorganisir diri mereka. </p>
<p>Dengan jumlah jutaan pegawai, ASN memiliki modal sosial yang besar. </p>
<p>ASN perlu mengenali modal sosial ini untuk selanjutnya memobilisasi diri untuk memeriksa kembali logika rezim NPM yang ada. </p>
<p>Alih-alih bersaing satu sama lain, birokrat seharusnya berkolaborasi untuk menggugat, bukan justru ikut mereproduksi, ketidakadilan-ketidakadilan yang mereka hadapi. </p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/141779/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di tengah wabah, birokrat di Indonesia semakin terjepit di bawah sistem yang ketat, mengeksploitasi, dan mendiskriminasi. Saatnya birokrat bersikap kritis dan melawan ketidakadilan.Kanti Pertiwi, Lecturer, Universitas IndonesiaMutia Rizal, Kandidiat Doktor Ilmu Administrasi Publik UGM, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1380022020-06-15T09:25:25Z2020-06-15T09:25:25ZRamai-ramai korupsi: persekongkolan legislatif dan eksekutif<p>Dua dekade telah berlalu sejak Reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim militer Presiden Soeharto yang korup. Namun hingga kini nyaris tidak terjadi perubahan yang mendasar – jika tidak ingin mengatakan kemunduran – dalam agenda pemberantasan korupsi. </p>
<p>Walaupun secara umum ada peningkatan capaian pemberantasan korupsi seperti tergambar lewat <a href="https://riset.ti.or.id/corruption-perceptions-index-2016/"><em>Corruption Perception Index</em></a> maupun <a href="https://www.theglobaleconomy.com/Indonesia/wb_corruption/"><em>Control of Corruption</em></a>, di berbagai level pemerintahan korupsi beramai-ramai tetap terjadi. </p>
<p>Satu contoh menonjol adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/03/01/12394131/bertambah-dua-tersangka-ini-daftar-mereka-yang-terjerat-kasus-e-ktp?page=all">korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk eletronik (E-KTP)</a> yang melibatkan pengusaha, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat tinggi pemerintahan.</p>
<p>Skandal-skandal itu menunjukkan bagaimana institusi demokrasi seperti DPR, DPRD, dan partai politik yang didirikan untuk membantu memberantas korupsi sebagai salah satu pilar reformasi tahun 1999 telah menjelma menjadi episenter korupsi itu sendiri dengan modus dan besaran yang semakin mengkhawatirkan. </p>
<p>Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperingatkan titik-titik <a href="https://nasional.tempo.co/read/1344286/kpk-temukan-empat-titik-rawan-korupsi-bansos-covid-19">rawan korupsi</a> dalam penyaluran bantuan sosial terkait wabah COVID-19. Salah satu titik rawan adalah perubahan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).</p>
<p>Penyusunan atau perubahan anggaran - baik lewat undang-undang (UU) di tingkat nasional (APBN) maupun lewat peraturan daerah di tingkat daerah (APBD) - mensyaratkan adanya persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif.</p>
<p>Dalam <a href="https://doi.org/10.1080/13572334.2020.1738688">penelitian</a> saya mengenai dampak institusi politik pada korupsi, saya mengamati kasus-kasus korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBN/APBD. Saya melacak kasus korupsi politik yang menonjol antara 1999 dan 2019. </p>
<p>Kasus-kasus ini antara lain kasus <a href="https://nasional.tempo.co/read/848109/korupsi-hambalang-siapa-saja-penerima-dana-haram-hambalang">korupsi Wisma Altet</a>, dan kasus korupsi pengadaan <a href="https://www.tempo.co/tag/kasus-e-ktp">E-KTP</a> di tingkat nasional dan di level daerah (Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jambi, dan Kota Malang).</p>
<p>Riset saya menunjukkan bahwa korupsi beramai-ramai pada masa Reformasi disebabkan oleh akibat adanya celah dalam kelembagaan demokrasi yang memberikan aktor ruang “demokratis” untuk melakukan korupsi. </p>
<p>Penyederhanaan konfigurasi politik adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/korupsi-sebabkan-2-krisis-ekonomi-di-indonesia-kapan-bangsa-ini-mau-belajar-103523">Korupsi sebabkan 2 krisis ekonomi di Indonesia: kapan bangsa ini mau belajar?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Veto sebagai alat transaksi</h2>
<p>Saya melakukan riset dengan mengacu pada teori <a href="https://doi.org/10.1017/S0007123400007225"><em>veto player</em></a>. <em>Veto player</em> adalah aktor yang memiliki kekuasaan atau otoritas untuk menyetujui atau menolak sebuah agenda kebijakan. </p>
<p>Konfigurasi pemegang veto mempengaruhi lamanya proses pembuatan kebijakan maupun komitmen sebuah rezim untuk mempertahankan kebijakan yang sudah diambil.</p>
<p>Dalam pengaturan kelembagaan yang terpusat (pemegang veto sedikit) seperti pada masa Orde Baru, pemerintah dapat mengambil kebijakan secara cepat. </p>
<p>Pada masa reformasi, dengan sistem multipartai yang ekstrem (9-10 partai efektif di parlemen tingkat nasional, sedikit lebih rendah di tingkat daerah), kekuasaan menjadi terfragmentasi karena pemegang veto menjadi banyak. Situasi seperti ini menyumbang pada kemampuan rezim untuk mempertahankan sebuah kebijakan dalam jangka panjang. </p>
<p>Dalam kasus penyusunan atau perubahan APBN/APBD, kehadiran banyak pemegang veto berimplikasi pada lamanya proses penyusunan dan keharusan bernegosiasi sebelum sebuah keputusan bisa diambil. </p>
<p>Pengaturan kelembagaan yang berangkat dari <em>checks and balances</em> justru menimbulkan kerumitan dalam proses kebijakan karena sebagian besar atau semua pemegang veto harus sepakat agar APBN/APBD bisa disetujui. </p>
<p>Keharusan adanya kesepakatan bersama menjadi perangkap (<em>joint-decision trap</em>) dengan kemungkinan jalan buntu (<em>deadlock</em>).</p>
<p>Untuk menghindari kebuntuan sekaligus agar untuk mengesahkan dokumen anggaran tepat waktu, pihak eksekutif tidak punya pilihan kecuali meminta dukungan parlemen. </p>
<p>Ini kemudian di(salah)gunakan oleh parlemen untuk meminta “uang ketok palu”. Inilah yang terjadi dalam kasus Wisma Atlet, E-KTP dan berbagai kasus korupsi besar di daerah. Dalam kasus-kasus tersebut, miliaran rupiah mengalir ke sejumlah pejabat tinggi dan anggota parlemen.</p>
<p>Tegasnya, kasus korupsi berjemaah dalam penyusunan dan perubahan APBN/APBD dapat “dipahami” sebagai upaya lembaga eksekutif untuk menghindari proses yang panjang atau mencegah kebuntuan (<em>deadlock</em>).</p>
<p>Kehadiran banyak pemegang veto menjadikan APBN/APBD sebagai kumpulan berbagai kepentingan atau keinginan dalam bentuk “pembagian jatah proyek”. </p>
<p>Pada titik yang paling ekstrem, ruang kolusi antara aktor eksekutif dan legislatif tercipta untuk menggerogoti keuangan negara sebagaimana nampak dalam kasus Wisma Altet dan E-KTP. </p>
<p>Kasus-kasus yang saya teliti menunjukkan beberapa gejala yang sama. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, korupsi tidak pernah berdiri sendiri tetapi dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. </p>
<p>Secara spesifik, lembaga eksekutif (melalui kementerian atau dinas) dan legislatif (melalui fraksi dan komisi) telah menjelma menjadi pusat korupsi. </p>
<p>Indonesia kini sedang menghadapi varian korupsi yang jauh lebih berbahaya: “korupsi demokratis”, yaitu korupsi yang lahir justru lewat proses dan institusi demokratis.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, korupsi lahir sebagai bentuk transaksi untuk mengatasi tuntutan untuk mengambil kebijakan secara cepat serta berhadapan dengan kepentingan yang berbeda. </p>
<p>Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen telah diubah menjadi instrumen efektif untuk memojokkan dan memaksa eksekutif untuk bertransaksi. </p>
<p>Dalam sistem politik yang ditandai oleh biaya politik mahal, maka transaksi menjadi rumus utama agar sebuah sistem politik bisa bekerja; persis pada titik itulah korupsi terjadi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tidak-mengatur-pengawasan-dan-pelaporan-penggunaan-anggaran-perppu-keuangan-covid-19-buka-celah-korupsi-137614">Tidak mengatur pengawasan dan pelaporan penggunaan anggaran, Perppu keuangan COVID-19 buka celah korupsi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Salah satu agenda pemberantasan korupsi pada level makro adalah mengembalikan keseimbangan yang ideal antara konsentrasi dan fragmentasi kekuasaan. </p>
<p>Upaya ini bisa dilakukan dengan memperjelas hak veto masing-masing lembaga, yaitu memperjelas apa yang dimaksud sebagai “persetujuan bersama” dalam UUD 1945. </p>
<p>Perlu diperjelas apakah “persetujuan bersama” berarti hak veto dibagi sama rata (50/50) antara eksekutif dan legislatif - dalam kasus ini berarti presiden hanya perlu mendapatkan satu suara parlemen untuk meloloskan UU.</p>
<p>Selama ini, sebuah UU hanya bisa disahkan jika disetujui oleh presiden, ditambah mayoritas suara parlemen. </p>
<p>Atau upaya lain lewat penyederhanaan susunan politik parlemen ke sistem multi-partai efektif, misalnya membatasi hanya 3-5 partai di parlemen. </p>
<p>Jika hal-hal itu tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek, maka pilihannya jatuh pada kontrol publik melalui berbagai media. </p>
<p>Bila perlu, kontrol publik ditetapkan secara formal, sebagai bagian integral dari mekanisme demokrasi. Sebuah UU misalnya hanya bisa disahkan jika sudah lolos uji publik. </p>
<p>Selama ini, masyarakat hanya berhak <a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">memberikan masukan</a> secara lisan dan/atau tertulis dalam suatu penyusunan UU secara lisan dan tertulis melalui rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan seminar, lokakarya, atau diskusi. </p>
<p>Kehadiran kontrol publik akan memberikan tekanan agar para pemegang veto lebih bertanggung jawab dalam membuat berbagai kebijakan.</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138002/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gabriel Lele menerima dana dari Universitas Gadjah Mada</span></em></p>Sistem politik pasca Reformasi membuka celah lebih lebar untuk korupsi, melalui kesepakatan antara pemerintah dan parlemen.Gabriel Lele, Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1392182020-06-10T02:49:43Z2020-06-10T02:49:43ZRiset: diskriminasi dalam beragama di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/340307/original/file-20200608-176538-1sdol80.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=40%2C313%2C1028%2C451&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/personal-group-puzzle-series-chain-5226775/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak perubahan yang terjadi setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan era Reformasi dimulai: sebagian positif, sebagian negatif. </p>
<p>Menurut <a href="https://nasional.tempo.co/read/1090996/20-tahun-reformasi-perlindungan-untuk-kebebasan-beragama-mundur/full&view=ok">beberapa</a> <a href="https://theconversation.com/refleksi-2019-awan-gelap-untuk-ham-di-indonesia-128625">laporan</a>, kebebasan beragama di era Reformasi lebih buruk dari era Soeharto.</p>
<p>Tapi apa benar demikian? <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00074918.2019.1661354">Riset</a> <a href="http://nathanael.id/publications/">saya</a> yang baru-baru ini dipublikasikan di Bulletin of Indonesian Economic Studies mencoba menjawab hal ini.</p>
<p>Ada dua pertanyaan utama dalam riset itu. Pertama, bagaimana kebebasan beragama Indonesia dibandingkan negara mayoritas Muslim lain? Kedua, bagaimana kebebasan beragama Indonesia sekarang dibandingkan era Soeharto?</p>
<p>Analisis yang saya lakukan menemukan bahwa tingkat diskriminasi oleh negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Analisis saya juga menunjukkan bahwa kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama, yaitu pembentukan produk hukum yang mengatur kehidupan beragama, dan memperparah diskriminasi sosial terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Sementara, berakhirnya kekuasaan Soeharto tidak berdampak pada diskriminasi yang dilakukan negara terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/demi-indonesia-yang-damai-kata-kafir-memang-sebaiknya-dihapus-113193">Demi Indonesia yang damai, kata kafir memang sebaiknya dihapus</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Analisis yang dilakukan</h2>
<p>Dalam riset, saya menggunakan data dari Religion and State (RAS) Project Round 3 yang dilakukan oleh Jonathan Fox, profesor agama dan politik di Bar-Ilan University, Israel.</p>
<p>Data ini bisa diunduh secara bebas di <a href="http://thearda.com/ras">thearda.com/ras</a>. Analisis saya mencakup 183 negara dari tahun 1990 sampai 2014.</p>
<p>Ada banyak indikator kebebasan beragama di data ini. Saya fokus pada tiga indikator: diskriminasi negara (<em>state discrimination</em>), legislasi agama (<em>religious legislation</em>), dan diskriminasi sosial (<em>societal discrimination</em>).</p>
<p>Diskriminasi negara terwujud dalam peraturan legal formal yang mendiskriminasi agama minoritas. Indikator yang digunakan antara lain ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang kegiatan ibadah agama minoritas, atau ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas. Total ada 36 indikator diskriminasi negara yang saya analisis.</p>
<p>Legislasi agama mengacu pada produk hukum yang tidak secara spesifik menyasar agama minoritas, tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Contoh indikator tentang legislasi agama adalah ada tidaknya aturan tentang penodaan agama, ada tidak aturan tentang pakaian perempuan, atau ada tidaknya aturan tentang homoseksualitas. Total ada 52 indikator untuk legislasi agama yang saya analisis.</p>
<p>Terakhir, diskriminasi sosial mengukur bagaimana masyarakat itu sendiri mendiskriminasi agama minoritas. Fokus indikator ini adalah pada pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat, bukan negara atau aparat pemerintah. </p>
<p>Contoh indikator ini misalnya ada tidaknya perusakan tempat ibadah oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) atau ada tidaknya pelarangan ibadah oleh ormas. Total ada 27 indikator diskriminasi sosial yang saya analisis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jakarta-dan-yogyakarta-demokratis-tapi-intoleran-mengapa-ini-bisa-terjadi-di-indonesia-116576">Jakarta dan Yogyakarta demokratis tapi intoleran: Mengapa ini bisa terjadi di Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Indonesia dibandingkan negara muslim lain</h2>
<p>Pada tiga grafik berikut, saya menampilkan hasil analisis. Pada setiap grafik, sumbu horizontal x menampilkan tahun dan sumbu vertikal y menampilkan nilai atau skor di masing-masing dimensi yang disebutkan di atas.</p>
<p>Di tiap grafik, garis tebal tidak putus-putus menunjukkan angka Indonesia, garis tebal putus-putus menunjukkan angka rata-rata negara Muslim, dan setiap garis tipis mewakili satu negara Muslim.</p>
<p>Dari tiga grafik ini terlihat jelas tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia lebih tinggi dibanding banyak negara Muslim. </p>
<p>Di dunia Islam, kita salah satu yang paling membatasi kelompok agama minoritas.</p>
<p>Mengingat betapa sering elit dan masyarakat kita <a href="https://kemlu.go.id/berlin/id/news/256/indonesia-jadi-inspirasi-toleransi-beragama-dan-multikulturalisme-bagi-jerman">mengaku</a> <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4029055/jk-indonesia-jadi-contoh-toleransi-beragama-bagi-dunia">toleran</a>, barangkali sudah saatnya kita berhenti mengaku toleran dan mulai belajar untuk benar-benar bersikap toleran.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337433/original/file-20200525-106823-7x7xm0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337434/original/file-20200525-106828-1y5shjt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337435/original/file-20200525-106815-1v1zv2k.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Era Reformasi vs Orde Baru</h2>
<p>Apakah kebebasan beragama sekarang lebih buruk dibanding era Soeharto? Apakah reformasi memperburuk kebebasan beragama? </p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan ini saya menggunakan teknik <a href="https://economics.mit.edu/files/11859">Synthetic Control Method</a>. Metode ini membandingkan Indonesia sekarang dengan “Indonesia” sintetik atau imajiner yang masih diperintah Soeharto.</p>
<p>Indonesia sintetik ini dibuat dengan menggabungkan negara-negara lain berdasarkan kriteria tertentu seperti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, persentase populasi urban, tingkat keragaman agama, dan tingkat demokrasi.</p>
<p>Saya membandingkan Indonesia aktual atau Indonesia yang sebenarnya dengan Indonesia sintetik (Indonesia yang tidak mengalami kejatuhan Soeharto). Perbedaan antara keduanya ada pada perkiraan efek kejatuhan Soeharto terhadap kebebasan beragama.</p>
<p>Terkait diskriminasi negara, tidak ada beda antara Indonesia aktual dengan Indonesia sintetik. Kebebasan beragama di Indonesia sekarang tidak berbeda dengan situasi jika Soeharto masih berkuasa. </p>
<p>Legislasi agama dan diskriminasi sosial justru meningkat jauh. Kejatuhan Soeharto memperburuk dua hal ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337437/original/file-20200525-106842-1o0l9j0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi negara aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337439/original/file-20200525-106832-d85zko.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Legislasi agama aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337438/original/file-20200525-106862-1rpcfv8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Diskriminasi sosial aktual vs sintetik.</span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-balik-imbauan-mui-soal-salam-lintas-agama-ada-ancaman-terhadap-multikulturalisme-indonesia-126950">Di balik imbauan MUI soal salam lintas agama, ada ancaman terhadap multikulturalisme Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Prioritas advokasi</h2>
<p>Ada dua kesimpulan dari analisis ini.</p>
<p>Pertama, tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia ternyata salah satu yang tertinggi di dunia Islam. </p>
<p>Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua pihak. Bila tidak dibenahi, keadaan ini hanya akan memburuk.</p>
<p>Kedua, kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama dan diskriminasi sosial, tapi tidak memiliki efek terhadap diskriminasi negara. </p>
<p>Banyak kemungkinan kenapa legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk sementara diskriminasi negara tidak banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran ormas radikal.</p>
<p>Ormas radikal memperburuk tingkat diskriminasi sosial lewat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11562-013-0288-1">aksi-aksi persekusi mereka</a>. Ormas-ormas ini juga mempengaruhi kebijakan publik lewat kemampuan mereka memberikan <a href="https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-sharia-law/DE8D25BFEFFD473EC882311D8023626F">tekanan kepada partai dan politisi</a>.</p>
<p>Ormas, dengan massa mereka yang tidak sedikit, dapat menjanjikan pasokan suara dalam pemilihan umum kepada politikus yang mendengar aspirasi mereka. </p>
<p>Di saat yang sama, mereka juga dapat memberikan ancaman elektoral kepada politisi yang mengabaikan keinginan mereka atau malah terang-terangan berseberangan dengan mereka.</p>
<p>Dari kesimpulan ini, kita bisa mengetahui apa yang harus diprioritaskan dalam advokasi kebebasan beragama di Indonesia. </p>
<p>Advokasi kita perlu fokus kepada legislasi agama dan diskriminasi sosial; fokus kepada bagaimana ormas radikal dan konservatif mempersekusi agama minoritas dan memanfaatkan massa untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan intoleran.</p>
<p>Studi ini juga menunjukkan kegunaan pengkodean yang sistematis dalam penelitian kebebasan beragama. Misalnya, peneliti Indonesia bisa menggunakan pengkodean RAS Project untuk mengukur dan membandingkan kebebasan beragama di provinsi-provinsi di Indonesia. </p>
<p>Provinsi mana yang paling restriktif dan provinsi mana yang intoleran? Informasi demikian pada akhirnya akan membantu kita membuat skala prioritas dalam advokasi kebebasan beragama.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/139218/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nathanael Gratias Sumaktoyo menerima dana dari the Indonesia Project, the Australian National University.</span></em></p>Diskriminasi beragama Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia Islam. Tingkat legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk pasca-Soeharto.Nathanael Gratias Sumaktoyo, Postdoctoral Research Fellow, University of Notre DameLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1380032020-05-21T02:29:34Z2020-05-21T02:29:34ZMenilik ulang stereotip terhadap orang keturunan Cina dua dekade setelah Reformasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/335010/original/file-20200514-77239-1tqahdc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/photos/play-figures-green-blue-play-wood-4541727/">Pixabay.com</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini terbit sebagai bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati 22 tahun Reformasi di Indonesia</em></p>
<hr>
<p>Masyarakat keturunan Cina yang sudah hidup berabad-abad di Indonesia mendapat stereotip dari masa ke masa, dari rezim ke rezim - sebagian hilang, sebagian tetap, sebagian berubah.</p>
<p>Stereotip adalah keyakinan tentang karakteristik sekelompok orang berdasarkan asumsi-asumsi yang dibuat tanpa memperhatikan kondisi sebenarnya. Memberikan stereotip pada kelompok masyarakat tertentu biasa terjadi dalam kehidupan suatu bangsa.</p>
<p>Akibat kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan pemukiman berdasarkan etnis dan kelas ekonomi, komunitas keturunan Cina dipandang sebagai kelompok <a href="https://tirto.id/wijkenstelsel-passenstelsel-mula-stigma-eksklusif-orang-tionghoa-euU6">eksklusif</a>.</p>
<p>Pada masa Orde Baru, ada <a href="https://kumparan.com/potongan-nostalgia/diskriminasi-etnis-tionghoa-dari-orde-lama-sampai-orde-baru/full">stereotip</a> masyarakat keturunan Cina masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhur sehingga rasa nasionalisme mereka diragukan. </p>
<p>Pemerintah Soeharto mengeluarkan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap mereka. Misalnya, <a href="https://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/19670000_INPRES-14-1967-agama-kepercayaan-dan-adat-china.pdf">melarang</a> kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina.</p>
<p>Setelah Orde Baru jatuh, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan khususnya pada orang keturunan Cina di era Reformasi. Presiden Abdurrachman “Gus Dur” Wahid misalnya <a href="http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppres_6_2000.pdf">mencabut</a> aturan diskriminatif Orde Baru sehingga komunitas ini bebas menjalankan kepercayaan dan budayanya.</p>
<p>Saya bersama <a href="https://expert.ubd.edu.bn/changyau.hoon">Chang-Yau Hoon</a>, peneliti dari University of Brunei Darussalam, melakukan <a href="https://doi.org/10.1080/0967828X.2020.1729664">studi kualitatif</a>, dengan melakukan wawancara mendalam kepada orang keturunan Cina dan orang yang bukan keturunan Cina, untuk mencari tahu perubahan apa saja yang terjadi dalam stereotip terhadap orang keturunan Cina setelah Order Baru jatuh dan selama era Reformasi. </p>
<p>Studi kami menemukan bahwa stereotip lama tentang orang keturunan Cina masih berlanjut, tapi ada perubahan sikap berkat reformasi dan keterbukaan pada budaya dan identitas Cina pasca-1998.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1067&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1067&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1067&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1340&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1340&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/336316/original/file-20200520-152298-1ngmn5n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1340&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Stereotip pasca 1998</h2>
<p>Ada tiga penelitian menarik tentang stereotip terhadap orang keturunan Cina yang dikerjakan pasca 1998 dan sebelum penelitian kami. </p>
<p><a href="https://www.routledge.com/Chinese-Indonesians-Reassessed-History-Religion-and-Belonging/Sai-Hoon/p/book/9781138815612">Hoon</a>, yang melakukan penelitian di Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan tidak lama setelah 1998, menemukan bahwa dualisme bahwa orang keturunan Cina adalah penindas dan pribumi adalah korban masih sangat kental; sentimen anti-Cina masih terasa di kalangan masyarakat ketika itu. </p>
<p>Sebuah studi pada 2016 kemudian <a href="https://www.iseas.edu.sg/wp-content/uploads/pdfs/ISEAS_Perspective_2016_32.pdf">mengemukakan</a> bahwa di mata orang pribumi, prasangka buruk ini menurun selama era Reformasi. </p>
<p>Namun studi itu juga mencatat adanya kecenderungan orang-orang keturunan Cina menunjukkan keterikatan mereka pada Republik Rakyat Cina yang ekonominya sedang berkembang pesat. Pengusaha Mochtar Riady, misalnya, <a href="https://entrepreneur.bisnis.com/read/20150928/88/476577/entrepreneur-tionghoa-jangan-sekadar-kongkow">mengundang</a> pengusaha Cina untuk berinvestasi di Indonesia pada World Chinese Enterpreneurs Convention di Bali pada 2015. </p>
<p>Pada 2017, sebuah <a href="https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2017_73.pdf">survei yang cukup ambisius</a> yang melibatkan 1.620 responden dari seluruh Indonesia dilakukan. </p>
<p>Salah satu temuan survei yang menarik adalah ada lebih banyak responden yang setuju pada pandangan bahwa orang keturunan Cina tergolong eksklusif, hanya mementingkan kelompoknya sendiri, rakus, dan setia pada negeri leluhur.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/22-tahun-setelah-kerusuhan-anti-cina-mei-1998-riset-ungkap-prasangka-dan-trauma-masih-ada-138962">22 tahun setelah kerusuhan anti-Cina Mei 1998, riset ungkap prasangka dan trauma masih ada</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Temuan kami</h2>
<p>Kami mewawancarai 15 responden keturunan Cina dan 15 responden bukan keturunan Cina di Surabaya, Jawa Timur. Kami melatih dua pewawancara bukan keturunan Cina untuk mewawancarai responden bukan keturunan Cina dan dua pewawancara keturunan Cina untuk mewawancarai responden keturunan Cina.</p>
<p>Responden dipilih dari kaum muda yang masih aktif bekerja atau kuliah, dan cukup berpendidikan. </p>
<p>Pengumpulan data dilakukan pada 2016-2017 ketika Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menjadi sorotan publik dalam <a href="https://www.nytimes.com/2017/04/19/world/asia/jakarta-election-ahok-anies-baswedan-indonesia.html">pemilihan gubernur (pilgub) Jakarta</a>. </p>
<p>Surabaya kami anggap lebih baik ketimbang Jakarta yang dekat dengan pusat kampanye pilgub. Masyarakat Surabaya diharapkan lebih netral ketimbang masyarakat Jakarta yang dekat dengan <a href="https://ink.library.smu.edu.sg/soss_research/2965/">sentimen anti-Cina</a> ketika itu.</p>
<p>Eksklusivitas, nasionalisme, dan keterlibatan orang keturunan Cina dalam politik di Indonesia adalah tiga isu pokok yang dikemukakan responden kami.</p>
<p>Terkait <strong>eksklusivitas</strong>, responden kami – yang rata-rata masuk dalam golongan masyarakat ekonomi menengah-bawah – mengaku bertetangga dengan orang dari berbagai etnis, termasuk keturunan Cina.</p>
<p>Responden kami mengatakan bahwa walau mereka jarang <em>ngobrol</em> kecuali jika penting, mereka masih bertemu pada acara-acara bersama seperti acara PKK dan acara hari Kemerdekaan atau hari raya Idul Fitri.</p>
<p>Pada masa kolonial Belanda, tempat tinggal orang keturunan Cina sering dipisahkan dari masyarakat lokal. Pada awal Abad ke-20, pemerintah kolonial mengubah kebijakan wilayah tempat tinggal bukan berdasarkan perbedaan etnis, tapi berdasarkan status sosial ekonomi. Hal ini nampaknya berpengaruh hingga sekarang. </p>
<p>Responden kami banyak menyorot soal sekolah; menurut mereka orang keturunan Cina lebih banyak belajar di sekolah dan universitas swasta–utamanya swasta Kristen dan Katolik.</p>
<p>Pada jaman kolonial, dalam hal pendidikan, orang keturunan Cina umumnya terbagi dua: yang berorientasi pada pendidikan Belanda dan yang berorientasi pada pendidikan Cina. Kelompok keturunan Cina kelas menengah bawah biasanya menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah Melayu biasa. </p>
<p>Pandangan soal hierarki kualitas institusi pendidikan ini sepertinya juga berlanjut hingga sekarang.</p>
<p>Dalam hal <strong>nasionalisme</strong>, rata-rata anak muda keturunan Cina lebih merasa dirinya orang Indonesia ketimbang orang Cina. </p>
<p>Orangtua merekalah yang, misalnya, masih mengingatkan anaknya untuk mencari pacar orang keturunan Cina karena masih merasa bahwa etnis Cina lebih baik.</p>
<p>Cara pandang membeda-bedakan etnis mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik ini – yang juga terbentuk pada jaman kolonial – belum sama sekali hilang.</p>
<p>Beberapa responden bukan keturunan Cina pun masih ada yang merasa bahwa orang keturunan Cina itu lebih baik dan pekerja keras. </p>
<p>Namun, dalam wawancara yang kami lakukan, kami mencatat ada ketidaknyamanan untuk membandingkan etnis mana lebih baik atau lebih jelek. Responden nampak ragu-ragu untuk menjawab dari satu sisi saja.</p>
<p>Nasionalisme adalah elemen stereotip yang paling sering disorot tentang orang keturunan Cina; misalnya, anggapan mereka tidak berminat menjadi tentara atau malas ikut upacara hari Kemerdekaan.</p>
<p>Namun dari responden keturunan Cina diketahui bahwa perasaan keterikatan mereka pada segala yang berbau Cina sesungguhnya hampir tidak terasa lagi. </p>
<p>Nama, bahasa, dan cara hidup sehari-hari membuat mereka merasa sebagai orang Indonesia.</p>
<p>Bahasa Mandarin pun lebih banyak dipelajari oleh responden yang bukan keturunan Cina. Reponden belajar Mandarin bukan karena dia punya darah keturunan Cina, tapi semata karena keperluan bisnis.</p>
<p>Terkait <strong>keterlibatan dalam berpolitik</strong>, responden kami tidak banyak bicara soal keterlibatan kelompok keturunan Cina dalam politik kecuali soal Ahok.</p>
<p>Tak satupun responden menyebut politikus keturunan Cina, seperti Mari Pangestu, Kwik Kian Gie, Sofyan Tan, dan Alvin Lie. </p>
<p>Keterlibatan dalam berpolitik sebenarnya mudah dilacak di kalangan keturunan Cina selama Reformasi. Selama periode itu, muncul organisasi-organisasi sosial politik yang banyak menyuarakan pemikiran mereka dalam membangun Indonesia.</p>
<p>Pasca kerusuhan 1998, sebagian orang keturunan Cina meninggalkan Indonesia untuk menghindari kekerasan, tapi mereka yang memilih tinggal memahami bahwa diam tidak lagi emas. </p>
<p>Agar bisa terus hidup di Indonesia, mereka harus <a href="https://www.jstor.org/stable/41057053">bersuara dalam politik</a>.</p>
<p>Ini mewujud di antaranya lewat dua organisasi sosial yang dibentuk oleh kelompok keturunan Cina pasca 1998: PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) dan INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa). </p>
<p>Selain mengadakan acara budaya, kedua organisasi ini aktif menumbuhkan kesadaran politik, menyampaikan aspirasi kelompok keturunan Cina, dan mengkampanyekan anti-diskriminasi. </p>
<p>Belasan organisasi serupa <a href="https://www.researchgate.net/publication/268523281_Opportunities_and_challenges_Social_and_political_activism_of_the_Indonesian_Chinese_in_post-Reform_Indonesia">telah berdiri</a> sejak 1998.</p>
<p>Kiprah Ahok–kini juga dikenal dengan inisial BTP–yang terganjal dengan masalah etnis (dan agama) seharusnya tidak menyurutkan masyarakat keturunan Cina untuk terus berjuang dalam membangun Indonesia. </p>
<p>Mengutip kata-kata <a href="https://books.google.com/books/about/Ada_aku_di_antara_Tionghoa_dan_Indonesia.html?id=t6_AuQEACAAJ">Yenny Wahid</a> yang menghimbau agar menyudahi masalah perbedaan etnis yang telah memecah belah bangsa: Marilah kita bersama-sama bekerja untuk kemajuan bangsa Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138003/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Esther Kuntjara tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Stereotip lama tentang orang keturunan Cina masih berlanjut, tapi ada perubahan sikap pasca-1998.Esther Kuntjara, Professor Emerita di bidang Linguistik dan Budaya di Fakultas Sastra, Universitas Kristen PetraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1345582020-03-27T05:13:20Z2020-03-27T05:13:20ZDua cara agar putusan Mahkamah Konstitusi selalu dipatuhi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/323133/original/file-20200326-168899-6s8xk5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=429%2C423%2C3121%2C2256&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Bagus Indahono/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Akhir Januari lalu, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/28/12490461/banyak-putusan-mk-tak-dipatuhi-anwar-usman-pembangkangan-konstitusi?page=all">Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi sistem peradilan konstitusi karena banyak putusan MK yang tidak dipatuhi. </a></p>
<p><a href="https://mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_101_Laporan%20Penelitian%20Kompetitif%20Trisakti.pdf">Penelitian</a> yang dilakukan lewat kerja sama antara MK dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti menunjukkan bahwa antara 2013 dan 2018, dari total 109 putusan MK, terdapat 24 putusan (22%) yang tidak dipatuhi sama sekali.</p>
<p>Penelitian itu juga menemukan bahwa enam putusan (5.5%) hanya dipatuhi sebagian. Hanya 59 putusan (54.1%) saja yang dipatuhi seluruhnya, serta sisanya 20 putusan belum dapat diidentifikasi dengan jelas.</p>
<p>Untuk memastikan putusan MK dipatuhi ada dua hal yang bisa dilakukan. Sanksi perlu dibuat bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Putusan MK juga perlu diperkuat kedudukannya dalam hierarki perundang-undangan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-peradilan-indonesia-mengabaikan-putusan-mahkamah-konstitusi-107041">Mengapa peradilan Indonesia mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Penetapan sanksi</h2>
<p>Pemerintah perlu menetapkan sanksi bagi subjek putusan yang tidak mematuhi putusan MK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13664/nprt/538/undangundang-nomor-24-tahun-2003#">Undang Undang (UU) No. 24 Tahun 2003</a> tentang MK. Ketentuan tentang sanksi bisa dimasukkan menjadi bagian dari UU MK. </p>
<p>Cara lain untuk menetapkan sanksi bagi yang tidak mematuhi putusan MK adalah dengan membentuk <a href="https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/1032/banyak-penghinaan-pengadilan-hakim-minta-uu-contempt-of-court-segera-disahkan">UU Penghinaan terhadap Peradilan</a> (<em>contempt of court</em>) yang saat ini tidak dimiliki Indonesia. </p>
<p>Saat ini, putusan MK tidak memiliki daya paksa sama sekali. Tidak ada sanksi yang mengancam bila putusan MK tidak dilaksanakan. Ironis, mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat.</p>
<h2>2. Masukkan putusan MK dalam hierarki peraturan perundang-undangan</h2>
<p>Selain penetapan sanksi, putusan MK harus dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merevisi <a href="https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU-12-Tahun-2011.pdf">UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan</a>. </p>
<p>Saat ini, hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: </p>
<ol>
<li>UUD 1945</li>
<li>Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat</li>
<li>UU atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU </li>
<li>Peraturan Pemerintah</li>
<li>Peraturan Presiden</li>
<li>Peraturan Daerah Provinsi</li>
<li>Peraturan Daerah Kabupaten/Kota</li>
</ol>
<p>Dalam pengujian UU, putusan MK merupakan putusan yang lahir akibat adanya UU yang diuji terhadap UUD 1945. Bila UU yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka putusan tersebut akan dibatalkan MK melalui putusannya, dan terhadap putusan MK tersebut sudah tidak tersedia lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Oleh sebab itu, putusan MK seharusnya berada setingkat di atas UU. </p>
<h2>Putusan tidak dilaksanakan</h2>
<p>Tanpa dua hal tersebut keputusan MK sering diabaikan. Ada beberapa contoh menonjol putusan MK yang tidak dilaksanakan.</p>
<p>Salah satunya adalah putusan MK dalam pengujian undang-undang (<em>judicial review</em>) <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53187f2d25845/mk-batalkan-aturan-pk-hanya-sekali/">tentang peninjauan kembali kasus pidana</a>. Pengujian ini diajukan oleh mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar.</p>
<p>Dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013 ini, MK menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan berkali-kali. </p>
<p>Namun, tak lama kemudian Mahkamah Agung (MA) merespons putusan ini dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang bertolak belakang, <a href="https://icjr.or.id/berdasarkan-tiga-putusan-mahkamah-konstitusi-mahkamah-agung-harus-segera-mencabut-sema-no-7-tahun-2014/">yakni SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan peninjauan hanya sekali.
</a></p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b6831999b2fc/aturan-pk-berkali-kali-minta-dimaknai-hanya-perkara-pidana/">MA beralasan bahwa peninjauan kembali juga diatur</a> dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.</p>
<p>Seharusnya, setelah adanya putusan tahun 2013 itu, secara <em>mutatis mutandis</em> putusan MK itu membatalkan ketentuan dalam dua UU tersebut. <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4bdfcd4e7c122/pengertian-mutatis-mutandis/"><em>Mutatis mutandis</em></a> dalam hal ini maksudnya adalah putusan MK juga berlaku terhadap ketentuan sama yang disebut dalam dua UU tersebut.</p>
<p>Rancangan UU (RUU) Cipta Kerja yang dibuat pemerintah juga berpotensi melanggar putusan-putusan MK jika disahkan–belum ditambah bahwa <a href="https://theconversation.com/dua-masalah-hukum-dalam-penyusunan-ruu-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-129979">penyusunannya bermasalah</a>.</p>
<p>Sedikitnya ada <a href="https://republika.co.id/berita/q6pxgf428/kode-inisiatif-31-pasal-ruu-omnibus-law-inkonstitusional%20https://mediaindonesia.com/read/detail/294598-31-pasal-di-ruu-ciptaker-dinilai-langgar-konstitusi">31 ketentuan RUU tersebut yang bertentangan dengan putusan MK</a> sebelumnya. </p>
<p>Salah satu yang paling terlihat adalah <a href="https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/ruu-cipta-kerja-awal-langkah-penuh-masalah/">Pasal 166 dalam RUU tersebut yang menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah (perda)</a>. </p>
<p>Ini bertentangan dengan <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5c10dc772303f/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-56-puu-xiv-2016">putusan MK tahun 2016</a> yang menyebutkan bahwa kewenangan membatalkan perda ada pada MA melalui mekanisme <em>judicial review</em>. </p>
<p>Satu contoh lain: <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/05/16375231/kode-inisiatif-ada-31-pasal-inkonstitusional-di-draf-ruu-cipta-kerja?page=2">Pasal 86 RUU Cipta Kerja</a> menyebutkan frasa “perjanjian kerja untuk waktu tertentu” terkait praktik Pekerjaan Waktu Tertentu dan <em>outsourcing</em>.</p>
<p>Padahal MK <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/putusan_27-puu-ix-2011_(ketenagakerjaan)(outsourcing).pdf">pada 2011</a> telah menetapkan agar frasa tersebut dihapus dari dua pasal dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena tidak mengisyaratkan adanya perlindungan hak–hak bagi pekerja/buruh.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sifat putusan MK</h2>
<p>MK adalah lembaga yudisial yang terlahir sebagai anak kandung <a href="https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11768">Reformasi</a> yang <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5aedf271ad4e4/bisakah-menghidupkan-kembali-pasal-yang-pernah-dibatalkan-mk/">putusannya bersifat final dan mengikat (<em>final and binding</em>)</a>. </p>
<p>Artinya, sejak putusan dibacakan oleh hakim konstitusi dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, maka putusan putusan tersebut harus dipatuhi dan mengikat semua orang, serta tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkan putusan tersebut.</p>
<p>Putusan MK tidak dapat dibatalkan bahkan dengan UU baru sekalipun. <a href="https://kolom.tempo.co/read/1308386/masalah-hukum-undang-undang-cipta-kerja/full&view=ok">Bila sebuah norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional mau dihidupkan kembali, caranya hanyalah dengan perubahan konstitusi</a>, yaitu mengubah UUD 1945.</p>
<p>Ini sejalan dengan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi: tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Putusan MK merupakan penafsiran dari konstitusi dalam bentuk putusan yang seharusnya secara hierarki memiliki kedudukan di atas UU.</p>
<p>Bila subjek yang tidak melaksanakan putusan MK diberi sanksi dan putusan MK menempati hierarki yang tinggi dalam perundang-undangan tentu putusan MK akan memiliki daya paksa untuk dijalankan, serta menjadikan putusan MK sebagai putusan yang benar-benar menyelesaikan masalah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134558/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antoni Putra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sanksi perlu dibuat bagi subjek yang tidak melaksanakan putusan MK. Putusan MK juga perlu diperkuat kedudukannya dalam hierarki perundang-undangan.Antoni Putra, Researcher, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1293642020-01-09T08:57:28Z2020-01-09T08:57:28ZKinerja Komnas Perempuan lima tahun terakhir beri harapan pada perjuangan hak perempuan<p>Perjuangan perempuan Indonesia untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan meraih kesetaraan masih panjang dengan adanya penolakan dari gerakan moralis populis terhadap Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, kehadiran Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan terus memberikan harapan. </p>
<p>Saya peneliti Setara Institute dan merupakan bagian dari tim peneliti yang menyusun “<a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Indeks Kinerja Pemajuan HAM periode pemerintahan Jokowi-JK</a>”. Kami melakukan penilaian terhadap kinerja Komnas Perempuan sepanjang lima tahun lalu dan memberi skor di atas rata-rata, 4,7. Skor ini berada pada skala 1 sampai 7 – skor 1 berarti buruk dan 7 berarti baik. </p>
<p>Di tengah <a href="https://www.ifri.org/sites/default/files/atoms/files/sebastian_nubowo_indonesian_islam_2019.pdf">naiknya konservatisme dalam masyarakat</a> yang mempersempit ruang bagi hak kelompok minoritas, Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok di luar heteronormativitas seksual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-112797">Bagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kinerja komnas</h2>
<p>Secara umum, <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-visi-misi-dan-mandat">mandat Komnas Perempuan</a> mencakup penyebarluasan pemahaman, pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan, pemantauan dan pencarian fakta, pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat, dan pengembangan kerja sama regional dan internasional. </p>
<p>Dari mandat tersebut, Komnas Perempuan memiliki keterbatasan dalam memengaruhi pengambilan kebijakan karena hanya dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat bagi pengambil kebijakan. </p>
<p>Namun, kami melihat Komnas Perempuan telah menjalankan mandat yang dimiliki secara taktis dan strategis.</p>
<p>SETARA Institute melakukan penilaian dengan menyisir rekam jejak Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya selama satu periode pertama Jokowi melalui dokumen dan literatur terkait yang diterbitkan Komnas Perempuan maupun lembaga swadaya masyarakat serta pemberitaan media. </p>
<p>Data yang terkumpul dibahas dalam forum diskusi terbatas bersama ahli yang melibatkan aktivis, akademisi, perwakilan institusi HAM nasional, dan perwakilan pemerintah. Dari kedua proses tersebut tim SETARA Institute menentukan nilai menggunakan skala <a href="https://www.britannica.com/topic/Likert-Scale">likert</a> yang mengukur persepsi suatu kondisi.</p>
<h2>Mengampanyekan hak perempuan</h2>
<p>Komnas Perempuan telah melakukan kampanye terkait hak bagi perempuan sebagai bentuk penyebarluasan pemahaman upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. </p>
<p>Sepanjang 2014 hingga 2019, badan ini gencar melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/pages-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan">kampanye 16 Hari Anti Kekerasan</a> dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48048006">kampanye mencegah kekerasan seksual bagi pengguna transportasi <em>online</em></a>.</p>
<p>Selain itu, komnas juga mengeluarkan penyataan sikap kepada publik untuk memberikan pemahaman kepada publik di samping mempertegas sikap Komnas Perempuan terkait suatu isu, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-pernyataan-sikap-komnas-perempuan-hentikan-diskriminasi-yang-akan-memicu-kekerasan-pada-lgbt">pernyataan sikap mengenai penghentian diskriminasi yang dapat memicu kekerasan terhadap LGBT</a>.</p>
<h2>Mengadvokasi kebijakan</h2>
<p>Lembaga ini melakukan advokasi hak bagi perempuan, memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk menyusun dan mengesahkan kerangka hukum dan kebijakan, dengan mendasarkan pada kajian dan penelitian. </p>
<p>Setiap tahun Komnas Perempuan mengeluarkan <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunan">Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan</a> yang menyebutkan daftar peraturan yang bermasalah, termasuk peraturan daerah yang diskriminatif. Data peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi kebijakan.</p>
<p>Komnas juga melakukan pemantauan dan pencarian fakta dengan hasil berupa laporan pemantauan. CATAHU merekam berbagai narasi dan peristiwa dan tindakan kekerasan disertai konteks kekerasan dari hasil pemantauan Komnas Perempuan serta lembaga mitra di tingkat nasional maupun lokal.</p>
<p>Perspektif perempuan dalam HAM tidak hanya dihadirkan dalam catatan tersebut, namun juga melalui beberapa laporan HAM tematik yang dikeluarkan , seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/reads-berdaulat-dalam-keyakinanberteguh-dalam-bhinneka">Laporan Hasil Pemantauan tentang Perjuangan Perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam Menghadapi Pelembagaan Intoleransi, Kekerasan, dan Diskriminasi Berbasis Agama</a></p>
<p>Hasil pengkajian dan pemantauan menjadi landasan pemberian rekomendasi kepada pemerintah. </p>
<p>Selama lima tahun terakhir, misalnya, Komnas Perempuan bersama aliansi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan <a href="https://kumparan.com/kumparanstyle/komnas-perempuan-desak-pengesahan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-1543061718607335998">mendorong pengesahan rancangan undang-undanga (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)</a> kepada pemerintah. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gerakan-moralis-populis-di-balik-penolakan-ruu-pks-123861">Gerakan moralis populis di balik penolakan RUU PKS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pemberian rekomendasi kerangka hukum juga dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak tidak langsung memantik kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-komnas-perempuan-komnas-perempuan-meminta-pemerintah-untuk-melakukan-revisi-uu-no1-pnps-tahun-1965-dan-bersikap-tegas-pada-tindakan-intoleransi-danatau-tindakan-persekusi-jakarta-25-juli-2018">dorongan revisi Undang-Undang No. 1/Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada 2018</a> sebagai respon terhadap maraknya intoleransi.</p>
<h2>Membangun aliansi</h2>
<p>Komnas melaksanakan beberapa mandat di atas secara strategis dengan memahami bahwa lembaga ini tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam penjaminan hak bagi perempuan sehingga harus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di setiap level, terutama di tingkat nasional. </p>
<p>Komnas Perempuan gencar berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah sebagai otoritas yang memiliki legitimasi membuat kebijakan publik. </p>
<p>Selain itu, <a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Komnas Perempuan memahami bahwa penguatan akar rumput juga diperlukan sehingga institusi ini berjejaring dengan elemen masyarakat sipil dan komunitas korban</a>. Kerja sama yang dilakukan dengan berbagai pemangku kepentingan mencerminkan kesadaran Komnas Perempuan sebagai pihak yang terlibat dan fasilitator.</p>
<p>Komnas Perempuan memiliki posisi yang fleksibel untuk menjalankan strategi di atas. Lembaga ini dapat berdiri di dua kaki, yaitu di kaki pemerintah mengingat pendiriannya didasarkan pada <a href="http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/51515/105726/F1921073708/IDN51515%20IDN.pdf">keputusan presiden</a> dan di kaki masyarakat sipil yang berpartisipasi aktif. </p>
<p>Karakter ini tidak terpisahkan dari <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-komnas-perempuan">aspek historis</a> pendirian Komnas Perempuan yang hadir karena tuntutan masyarakat sipil agar negara menjalankan tanggung jawab menangai persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut muncul ketika pada kerusuhan Mei 1998 banyak perempuan etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.</p>
<h2>Penguatan perjuangan hak perempuan</h2>
<p>Kini <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/273850-komnas-perempuan-tetapkan-15-nama-anggota-periode-2020-2024">15</a> anggota Komnas Perempuan baru <a href="https://twitter.com/KomnasPerempuan/status/1214433832625004544">sudah mulai</a> menjalankan tugas untuk masa jabatan 2020-2024.</p>
<p>Langkah-langkah menghidupkan perempuan dalam ruang publik yang telah dirintis oleh Komnas Perempuan perlu didorong lebih kuat. </p>
<p>Pemerintah sebagai subyek hukum yang bertanggung jawab melakukan pemenuhan hak, termasuk bagi perempuan, seharusnya lebih akomodatif terhadap rekomendasi yang diberikan oleh Komnas Perempuan, seperti segera mengesahkan RUU PKS.</p>
<p>Di sisi lain, masyarakat sipil yang masih memiliki kegamangan jalur perjuangan pemenuhan HAM, termasuk bagi perempuan, dapat bergabung dengan aliansi yang telah dipertemukan dalam jaringan Komnas Perempuan. </p>
<p>Perjuangan penegakan hak, terutama bagi perempuan, merupakan aksi kolektif yang dapat dihidupkan melalui kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat sipil.</p>
<p>Terakhir, Komnas Perempuan yang telah mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu kemudi perjuangan ini – secara kelembagaan maupun individu yang di dalamnya – harus semakin bernas melakukan advokasi. </p>
<p>Pengakomodasian berbagai ragam identitas di dalam tubuh Komnas Perempuan, termasuk pada anggota komisi, dapat menjadi langkah baik untuk menjangkau lebih luas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan dari berbagai identitas dan latar belakang.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129364/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany merupakan peneliti HAM dan perdamaian di SETARA Institute for Democracy and Peace. </span></em></p>Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok marjinal lain.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1274402019-12-03T07:05:37Z2019-12-03T07:05:37ZAnalisis: Penetapan banyak wamen tidak sejalan dengan reformasi birokrasi<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam periode dua pemerintahannya telah menunjuk 12 wakil menteri (wamen), <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/10/26/05440041/resmi-dilantik-jokowi-ini-ulasan-profil-12-wakil-menteri?page=all">empat kali lipat lebih banyak</a> dari jumlah wamen pada periode sebelumnya. Jokowi disebut-sebut akan menambah menambah <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/11/10/kabar-jokowi-tambah-6-wamen-istana-ada-wamendikbud-wakil-panglima">enam wamen</a> lagi.</p>
<p>Banyaknya penunjukan wamen, serta staf khusus dan staf ahli, tidak sejalan dengan reformasi birokrasi yang mendorong penyederhanaan di tubuh lembaga pemerintahan. </p>
<p>Salah satu wujud reformasi birokrasi adalah dengan merampingkan jumlah pegawai dan meningkatkan kompetensi mereka, bukan justru menambah jumlah pegawai. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pilihan-menteri-jokowi-belum-cerminkan-pembenahan-birokrasi-dan-keterwakilan-perempuan-125737">Pilihan menteri Jokowi belum cerminkan pembenahan birokrasi dan keterwakilan perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Alasan politis di balik penunjukkan wamen</h2>
<p><a href="https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20191028/Bagi-bagi-Kursi-Wakil-Menteri/">Menurut Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko</a>, alasan Jokowi menunjuk 12 wamen adalah untuk meningkatkan kapasitas organisasi dan percepatan kerja. </p>
<p>Namun, dari 12 wamen yang diangkat, lima wamen berasal dari partai politik. Hal itu mengisyaratkan pengangkatan wamen merupakan bagian dari upaya Jokowi mengakomodasi permintaan parpol yang mendukung kemenangan dia sebagai presiden. </p>
<p>Dalam kabinet Jokowi saat ini, terdapat <a href="https://www.theindonesianinstitute.com/mencermati-susunan-dan-arah-kinerja-kabinet-baru">16 menteri</a> yang berasal dari partai politik, sementara 18 posisi menteri diisi oleh kalangan profesional non-parpol. </p>
<p>Dalam pemilihan presiden awal tahun ini, Jokowi <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20180810195720-16-28087/inilah-peta-partai-pengusung-capres-cawapres-pemilu-2019">didukung</a> oleh sepuluh partai, yaitu PDIP, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, PSI, Perindo, PKPI, Hanura, dan PBB; sementara lawannya, Prabowo Subianto, didukung Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat.</p>
<p>Kini Gerindra pun sudah masuk koalisi; Prabowo bahkan menjadi salah satu menteri Jokowi.</p>
<p>Dengan jumlah menteri dan wakil menteri sekarang, tetap saja <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4095466/jadi-koalisi-pendukung-saat-pilpres-2019-4-parpol-ini-tak-dapat-kursi-menteri-jokowi">belum semua pendukung</a> Jokowi saat pilpres mendapatkan bagian dalam kekuasaan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-kabinet-indonesia-maju-jokowi-utamakan-stabilitas-politik-di-atas-segalanya-125716">Analisis Kabinet Indonesia Maju: Jokowi utamakan stabilitas politik di atas segalanya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pengeluaran bertambah, efektivitas berpotensi menurun</h2>
<p>Penunjukkan wamen mengakibatkan bertambahnya pengeluaran negara, sementara efektivitas pemerintahan berpotensi menurun. </p>
<p>Semakin gemuknya jumlah pimpinan dalam lembaga pemerintahan akan memperpanjang rantai koordinasi dan eksekusi sebuah kebijakan atau program. Ditambah lagi, adanya jabatan lain misalnya staf ahli dan staf khusus yang dimiliki menteri. </p>
<p>Jokowi kini juga memiliki 13 <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/22/142951865/daftar-13-staf-khusus-presiden-dari-milenial-politisi-hingga-aktivis?page=all">staf khusus</a> (stafsus) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memiliki <a href="https://news.detik.com/berita/d-4797718/profil-8-stafsus-wapres-maruf-amin-yang-setengahnya-nu">delapan</a> stafsus.</p>
<p>Bertambahnya jumlah wamen secara otomatis menambah beban pengeluaran negara, misalnya dalam bentuk berupa program-program dan gaji yang dianggarkan. </p>
<p>Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Sakti Wahyu Trenggono, misalnya. Ia berencana menambah alokasi anggaran untuk <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/11/08/wakil-menhan-akan-tambah-anggaran-untuk-kembangkan-industri-pertahanan">pengembangan industri pertahanan nasional</a>.</p>
<p>Selain itu, semakin banyak pemimpin di tingkat atas, maka akan semakin banyak variasi program kerja. Dalam hubungannya dengan penambahan wakil menteri, masing-masing wamen mendapat arahan untuk melakukan <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/10/25/ini-tugas-khusus-jokowi-kepada-12-wakil-menteri">tugas tertentu dari presiden</a>.</p>
<p>Padahal dalam Peraturan Presiden (PP) No. 68 Tahun 2019 <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122754/perpres-no-68-tahun-2019">tentang organisasi kementerian negara</a>, tertulis bahwa wamen membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian. Jika seorang wamen mengemban tugas dari presiden, maka posisinya sebagai pembantu menteri menjadi kurang efektif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-mengapa-peran-akademisi-di-kabinet-menjadi-tidak-efektif-sejak-era-reformasi-125657">Riset: mengapa peran akademisi di kabinet menjadi tidak efektif sejak era reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Reformasi birokrasi</h2>
<p>Menurut laporan 2018 Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Indonesia memiliki 4,18 juta PNS. Mantan menteri <a href="https://geotimes.co.id/opini/pengaruh-uu-nomor-5-tahun-2014-terhadap-asn/">PANRB Asman Abnur</a> menulis bahwa aparat sipil negara (ASN) Indonesia masih rendah kompetensinya, dan ini berimplikasi pada timbulnya masalah-masalah lain sehingga kinerja ASN jauh dari harapan dan tidak mampu menjadi pelaksana kebijakan publik yang baik.</p>
<p>Pada 2014 pemerintah mengeluarkan <a href="http://www.jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2014/5TAHUN2014UU.HTM">UU No. 5 tentang Aparatur Sipil Negara</a> dengan tujuan memperbaiki kualitas kinerja ASN. Beberapa aspek yang dimuat sebagai landasan kinerja ASN diantaranya independensi dan netralitas. ASN dilindungi dari kepentingan politis dengan adanya <a href="https://pemerintah.net/uu-asn-aparatur-sipil-negara/">sistem</a> <em>merit protection</em>, yaitu sistem yang menilai ASN dari kemampuan, keahlian, profesionalitas, pengalaman, kinerja/ produktivitas kerja, integritas, kesejahteraan, kualitas pelayanan publik, dan pengawasan dan akuntabilitas.</p>
<p><a href="https://www.kasn.go.id/publikasi/laporan-tahunan/94-laporan-kinerja-tahunan/106-laporan-kinerja-komisi-aparatur-sipil-negara-tahun-2016">Laporan 2018 Komisi Aparatur Sipil Negara</a> menemukan pelanggaran netralitas di kalangan PNS yang cukup tinggi, terutama terkait penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di banyak daerah. KASN menerima 508 laporan kasus pelanggaran netralitas. </p>
<p><a href="https://www.kasn.go.id/publikasi/laporan-tahunan/94-laporan-kinerja-tahunan/106-laporan-kinerja-komisi-aparatur-sipil-negara-tahun-2016">KASN juga menemukan pelanggaran sistem merit</a>, dalam bentuk pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS/ASN yang tidak sesuai mekanisme serta prosedur yang berlaku, terus terjadi sejak 2015. </p>
<p>Penerapan UU terkait kinerja ASN memberikan arahan yang jelas dalam mengefektifkan kinerja ASN. Peningkatan kompetensi menjadi salah satu aspek penting agar ASN yang saat ini menjabat lebih diberdayakan. Selain itu, pemerintahan Jokowi baru-baru ini mengeluarkan <a href="https://kemenkumham.go.id/berita/peraturan-pemerintah-pp-no-30-tahun-2019">(PP) No. 30 Tahun 2019</a> tentang penilaian kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20191118112454-4-115963/siap-siap-jabatan-eselon-iii-v-akan-hilang-mulai-juni-2020">Surat Edaran 393/2019 tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi</a> yang terkait dengan <a href="https://www.reuters.com/article/us-indonesia-economy-idUSKBN1Y20AE">pemangkasan eselon</a>. Sistem penilaian ASN ini diarahkan agar pembinaan ASN dapat lebih sesuai kebutuhan. </p>
<p>Jika mengacu pada UU tentang Aparatur Sipil Negara serta regulasi yang mengatur soal penilaian ASN, maka penambahan SDM termasuk wamen tidak menjadi sebuah urgensi pemerintah. </p>
<h2>Kurang ada niat</h2>
<p>Jika alasan penunjukkan wamen, staf khusus, dan staf ahli adalah kurangnya kompetensi dalam birokrasi Indonesia, maka pemerintah perlu mengidentifikasikan atau memetakan jabatan yang ada lalu meninjau orang-orang yang perlu dimutasi atau diganti. </p>
<p>Pemerintah dapat memperkuat posisi strategis aktor-aktor yang sudah ada. Jika memang kompetensi kurang, maka penambahan dimungkinkan.</p>
<p>Namun, jika memang wamen sangat diperlukan, maka Jokowi perlu memperjelas kembali pembagian tugas dan fungsi mereka. Jangan sampai tambahan berbagai lapis jabatan termasuk wamen akhirnya tidak membuahkan dampak signifikan. </p>
<p>Saat ini pembedaan tugas antara jabatan wamen, staf ahli maupun staf khusus belum rinci. Tak jarang jabatan-jabatan tersebut menimbulkan tumpang tindih fungsi dan pembagian tugas. </p>
<p>Terakhir, Jokowi juga perlu mengedepankan evaluasi kinerja untuk meninjau apakah kinerja para wamen efektif atau tidak. </p>
<p>Lima tahun bukanlah waktu yang panjang mengingat berbagai program dan target yang tertuang dalam <a href="https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202020-2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf">Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional</a>. Jokowi perlu memanfaatkan waktu yang ada ini dengan baik dan mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan elite politik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/127440/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Vunny Wijaya tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Setelah mengangkat 12 wakil menteri, Jokowi disebut akan menambah 6 lagi. Komitmen penyederhanaan birokrasi Jokowi layak dipertanyakan.Vunny Wijaya, Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/972092018-05-25T09:12:16Z2018-05-25T09:12:16ZPendidikan, setelah 20 tahun Reformasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/220405/original/file-20180525-88002-io2sal.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C561&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Internasionalisasi perguruan tinggi bisa sangat baik bila dirancang dan dilaksanakan hati-hati</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Berbagai ulasan peringatan 20 tahun Reformasi menunjukkan lebih banyak yang kecewa ketimbang bersyukur. Beberapa sebab bisa dilacak. </p>
<p>Pertama, banyak yang berharap berlebihan. Reformasi telah disalah-pahami, disamakan dan diharapkan sebagai revolusi. </p>
<p>Kedua, Reformasi 1998 dimaknai pertama-tama dan utama sebagai perubahan politik formal, yakni meliputi perubahan di lembaga kenegaraan dan kebijakan. Nyatanya, tidak sedikit elit politik Orde Baru bergeming dari politik elit pasca Orde Baru.</p>
<p>Ketiga, sejarah sering diabaikan. Harapan muluk yang kandas menjelang perubahan sosial bukan barang baru dalam sejarah bangsa ini. Ini terjadi pada peralihan kekuasaan berdarah dari pemerintahan <a href="https://genosida1965wordpress.wordpress.com/">Sukarno ke Suharto (1966)</a>. Hal yang sama terjadi sebelum dan <a href="https://historia.id/modern/articles/zaman-berdarah-P9jZX">setelah Indonesia merdeka</a> dari penjajahan.</p>
<h2>Dua masalah besar</h2>
<p>Berbeda dari sebagian besar ulasan tentang Reformasi 1998 yang terfokus pada politik elit, catatan ini berbincang mengenai nasib anak didik dan lembaga pendidikan. Pada intinya, tulisan ini merujuk dua masalah utama. </p>
<p>Pertama, sejak didirikan pemerintah kolonial hingga hari ini, lembaga pendidikan formal sekuler belum pernah menikmati otonomi dan belum dikelola secara profesional sesuai kaidah keilmuan. Sejak ada “sekolah”, lembaga pendidikan diperlakukan sebagai kepanjangan birokrasi negara. Parahnya lagi, sejak Orde Baru, nasib pendidikan (seperti nyaris semua organisasi sosial) diintervensi berbagai <a href="https://arielheryanto.wordpress.com/2017/11/07/ideological-baggage-and-orientations-of-the-social-sciences-in-indonesia/">kepentingan politik</a> yang berkuasa. </p>
<p>Kedua, di abad baru ini <a href="https://jatim.antaranews.com/berita/146425/menristek-upayakan-internasionalisasi-perguruan-tinggi">internasionalisasi perguruan tinggi</a> (PT) layak dipertimbangkan serius. Perlu pemerataan kesempatan internasionalisasi bagi mereka yang jauh dari Jakarta. Kedua masalah ini akan saya bahas satu per satu.</p>
<h2>Intervensi politik</h2>
<p>Gaya penjajahan Inggris, Perancis, Spanyol agak berbeda dari Belanda. Pada penjajah Inggris, Perancis dan Spanyol ditemukan ada niat merombak masyarakat jajahan menjadi lebih “modern” ala Eropa. Mereka giat menyebarkan agama, kebudayaan dan bahasa dari asal pejajah ke penduduk terjajah. Belanda berbeda. </p>
<p>Di Hindia Belanda, pemerintah kolonial membatasi modernisasi. Hindia Belanda merupakan satu-satunya negeri kolonial besar berusia panjang yang dijalankan tanpa menggunakan bahasa Eropa, tapi bahasa Melayu. </p>
<p>Pendidikan liberal dan kemanusiaan sebagai produk modernitas Eropa diperkenalkan lebih banyak dan lebih awal di beberapa jajahan Eropa lain ketimbang di Hindia Belanda. Di negeri yang kemudian bernama Indonesia, sejak awal sekolah didirikan dengan tujuan utama menyiapkan tenaga pegawai rendahan untuk membantu berputarnya ekonomi dan pemerintahan kolonial. Bukan mendidik warga menjadi cendekia yang berpikir kritis, bekerja mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif.</p>
<p>Setelah merdeka, kondisi Indonesia porak-poranda karena perang dan revolusi sosial. Perang Dingin di tingkat dunia mengganggu stabilitas nasional. Kaum politikus sibuk bertikai tanpa henti, dan berpuncak pada pembantaian 1965.</p>
<p>Baru setelah Orde Baru berkuasa (1966) dan dilanjutkan setelah hingga keruntuhannya (1998), pendidikan mengalami pertumbuhan besar-besaran secara kuantitas. Kesempatan bersekolah bagi anak-anak usia sekolah terbuka luas. Kesenjangan bersekolah antar wilayah, dan antar jenis kelamin dipersempit. </p>
<p>Namun, masalahnya, peningkatan kualitas berjalan sangat lamban. </p>
<p>Dalam kualitas pendidikan, masih ada kesenjangan serius antara Jakarta dan daerah. Jakarta sendiri tertinggal jauh dari negara-negara lain <a href="https://news.idntimes.com/indonesia/rosa-folia/meski-akses-mudah-kualitas-pendidikan-di-indonesia-masih-rendah-1/full">di tingkat global</a>. Bahkan tertinggal parah dibandingkan tetangga <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/03/11/inilah-peringkat-indonesia-di-daftar-20-negara-asia-terbaik-2018">terdekatnya di Asia Tenggara</a>.</p>
<p>Sudah banyak (maka tak perlu dikutip ulang) penelitian terdahulu menggambarkan rendahnya mutu pendidikan dan penelitian Indonesia. Baik tingkat kemampuan siswa sekolah dasar dan menengah maupun karya akademik para sarjana di PT. Padahal rekan-rekannya di negeri bekas jajahan yang lain menempati peringkat tinggi.</p>
<p>Masalahnya bukan karena orang Indonesia kurang cerdas. Sebagian sebabnya, terlalu seringnya intervensi eksternal yang merusak pengelolaan lembaga pendidikan. Pemerintah dan partai-partai politik yang berkuasa dalam pemerintahan ikut campur dalam pengelolaan kurikukum, pengelolaan tenaga pendidik, pimpinan PT, hingga pengangkatan guru-besar.</p>
<p>Sebagian lain karena dasar-dasar pendidikan keilmuan (berbeda dari penataran ketrampilan) sangat lemah dalam tradisi belajar-mengajar di negeri ini sejak masa kolonial. Ini lanjutan dari kebijakan kolonial yang sudah saya sebut di atas: tujuan utama pendidikan bukan menyiapkan cendekia yang berpikir kritis, bekerja mandiri, berwawasan inovatif dan kreatif. Namun, pegawai negeri dan profesional yang siap kerja secara patuh.</p>
<p>Sejak Indonesia merdeka, ideologi telah membelah bangsa ini, juga di lembaga pendidikan. Setelah 1965, ratusan ribu atau jutaan warga akademik kehilangan hak sipilnya dalam bekerja atau belajar di dunia pendidikan karena <a href="https://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3274077/genosida-intelektual-kiri-indonesia-pasca-1965">alasan ideologis</a>.</p>
<p>Setelah lulus SMA, saya mendaftar beberapa PT di kota kelahiran, karena terbatasnya dana keluarga. PT yang pertama menolak karena latar-belakang ras keluarga saya. Yang kedua menerima, tetapi menuntut pembayaran uang masuk lima kali lipat dari angka resmi, lagi-lagi karena latar-belakang ras keluarga saya. Sayangnya, tuntutan mereka jauh dari jangkauan ekonomi keluarga kami. </p>
<p>Menjelang akhir masa Orde Baru, saya lulus studi program studi doktor di Australia. Saya mencari kerja sebagai dosen di beberapa PT, tetapi gagal kali ini karena latar belakang agama. Beberapa sahabat dengan jabatan lumayan tinggi di universitas tersebut menjelaskan bahwa masalahnya bukan saja agama saya tidak sesuai dengan agama mayoritas di lembaga itu. Bahkan kalau pun agama saya sudah sama, jika aliansi organisasi keagamaan saya berbeda dari mereka, proses rekrutmen akan tetap sulit. </p>
<p>Tidak semua pengalaman saya di PT serba pahit. Berikut ini sebagian yang manis.</p>
<h2>Internasionalisasi di daerah</h2>
<p>Pemerintah Indonesia kini mendorong internasionalisasi PT dalam berbagai program. Disediakan <a href="http://www.profesi-unm.com/2018/01/05/anggaran-naik-tiga-kali-lipat-kuota-beasiswa-lpdp-ditambah/">beasiswa berlimpah</a> untuk program studi S2 dan S3 di manca negara. Dorongan publikasi di jurnal internasional, kerjasama penelitian dan pengajaran lintas negara, serta partisipasi dalam seminar internasional juga digenjot. Belakangan, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi <a href="http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/18/04/19/p7fa1c428-kemenristekdikti-anggarkan-rp-300-m-untuk-gaji-dosen-asing">berencana mengundang 200 dosen asing</a> yang akan digaji dengan standar internasional.</p>
<p>Berbagai kebijakan itu sempat menuai debat. </p>
<p>Menurut saya, internasionalisasi bisa sangat baik bila dirancang dan dilaksanakan hati-hati. Tidak cukup mengundang tenaga ahli asing sebagai dosen atau peneliti. <a href="https://tirto.id/mengapa-kita-terus-mencurigai-internasionalisasi-perguruan-tinggi-cH4f">Internasionalisasi juga diperlukan</a> di kalangan mahasiswa, tenaga profesional administrasi, termasuk rektor, dekan atau kepala biro. </p>
<p>Yang tidak kalah penting, internasionalisasi seharusnya tidak terpusat hanya di Jakarta atau segelintir ibu kota propinsi lainnya. Kesempatan yang sama, atau lebih, selayaknya tersedia bagi mereka yang jauh dari Jakarta.</p>
<p>Nilai positif internasionalisasi layak dimaknai secara luas. Tidak semata-mata untuk kenaikan peringkat dalam lomba keunggulan antar universitas. Internasionalisasi membuka kesempatan belajar-mengajar yang istimewa bila melibatkan warga akademik dari berbagai latar belakang di tingkat global.</p>
<p>Saya termasuk satu dari sedikit akademikus yang beruntung. Setelah ditolak di sejumlah universitas saya diterima berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Ini PT kecil, swasta, dan tidak tenar sewaktu saya daftar. Ketika saya lulus dan sempat bekerja sebagai dosen di situ, UKSW menjadi salah satu universitas yang paling menonjol di Asia Tenggara.</p>
<p>Di kampus ini pernah hadir sebagian tokoh intelektual legendaris. Ketika <a href="http://jateng.tribunnews.com/2014/10/06/lebih-dekat-dengan-prof-arief-budiman-di-salatiga">Arief Budiman</a> (salah satu perintis Manifes Kebudayaan dan Golput) mengakhiri 8 tahun perantauannya, ia memilih bekerja di UKSW. Almarhum <a href="https://indoprogress.com/2017/01/obituari-tentang-george-junus-aditjondro/">George Y Aditjondro</a> sempat berkuliah dan mengajar di UKSW. Ia dikenang karena ketekunannya meneliti seluk-beluk harta keluarga Cendana di berbagai penjuru dunia. Almarhum <a href="https://www.readthespirit.com/interfaith-peacemakers/th-sumartana/">Th Sumartana</a> (pendiri Yayasan Dialog Antariman). Salah seorang mantan dosen UKSW, <a href="http://www.kitlv.nl/researchers-klinken/">Gerry van Klinken</a>, kini dikenal sebagai salah satu peneliti paling terkemuka di dunia tentang politik Indonesia.</p>
<p>Lulusan UKSW dari generasi yang lebih muda termasuk <a href="https://tirto.id/m/yosep-stanley-adi-prasetyo-kG">Stanley Prasetyo</a> (mantan Wakil Ketua Komnas HAM, kini Ketua Dewan Pers Nasional), <a href="https://www.hrw.org/about/people/andreas-harsono">Andreas Harsono</a> (salah satu pendiri ISAI, AJI, Yayasan PANTAU dan kini peneliti Human Rights Watch), <a href="https://www.pantau.or.id/?/=d/177">Bre Redana</a> (novelis dan mantan wartawan senior Kompas), dan Danang Widoyoko (mantan Direktur <a href="https://www.antikorupsi.org/">Indonesia Corruption Watch</a>).</p>
<p>Salah satu dari rahasia keberhasilan UKSW adalah dinamika kampus yang melibatkan mahasiswa dan dosen dari Sabang hingga Merauke. Juga dosen dan mahasiswa dari beberapa benua lain. Para dosen asing itu diterima UKSW bukan dalam usaha untuk berlomba peringkat. </p>
<p>Mungkin pengalaman UKSW tidak tunggal atau unik. Kasus UKSW disebut di sini sekedar sebagai ilustrasi. Semoga internasionalisasi serupa bertumbuh di banyak kampus lain.</p>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/97209/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ariel Heryanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di abad baru ini, internasionalisasi perguruan tinggi layak dipertimbangkanAriel Heryanto, Herb Feith Professor for the Study of Indonesia, Deputy Director Monash Asia Institute, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.