tag:theconversation.com,2011:/es/topics/sekolah-53775/articlessekolah – The Conversation2024-02-16T10:56:29Ztag:theconversation.com,2011:article/2226272024-02-16T10:56:29Z2024-02-16T10:56:29ZMeski tujuannya baik, pelaksanaan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ciptakan masalah baru<p>Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau seleksi masuk sekolah baru adalah <a href="https://ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/view/51552/pdf">serangkaian proses yang harus ditempuh oleh calon peserta didik (CPD) untuk dapat diterima di sekolah yang diinginkan</a>. Sistem ini diadakan karena keterbatasan kuota yang tersedia di setiap sekolah. </p>
<p>Saat ini, Indonesia menggunakan 3 sistem selain jalur prestasi, yaitu jalur zonasi, jalur usia, dan jalur afirmasi.</p>
<p>Dengan adanya jalur zonasi, sekolah-sekolah negeri wajib mengalokasikan, minimal, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/163569/permendikbud-no-44-tahun-2019">50% dari total kuotanya</a> untuk CPD yang bertempat tinggal dalam radius zona terdekat dengan lokasi sekolah. Artinya, semakin dekat jarak antara tempat tinggal CPD ke sekolah tujuan, semakin besar pula peluang ia diterima di sekolah tersebut.</p>
<p>Jalur usia merupakan lapis berikutnya setelah zonasi. Kompetisinya berdasarkan pada usia saat masuk atau siapa yang lebih tua. Dengan demikian, CPD yang lahir pada bulan Januari memiliki potensi diterima jauh lebih besar dibandingkan dengan CPD yang lahir pada bulan Desember pada tahun kelahiran yang sama.</p>
<p>Sementara itu, jalur afirmasi merupakan jalur khusus bagi CPD yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas dengan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/163569/permendikbud-no-44-tahun-2019">minimal kuota 15%</a>. Mereka wajib menunjukkan bukti keikutsertaan dalam program penanganan keluarga tidak mampu, seperti Program Indonesia Pintar <a href="https://pip.kemdikbud.go.id/home_v1">(PIP)</a>, Program Keluarga Harapan <a href="https://kemensos.go.id/program-keluarga-harapan-pkh">(PKH)</a>, Kartu Keluarga Sejahtera <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5352845/kks-adalah-program-pemerintah-untuk-menyalurkan-bansos-simak-cara-mendapatkannya">(KKS)</a>, dan/atau Kartu Jakarta Pintar <a href="https://www1.bankdki.co.id/images/SOSIALISASI%20KARTU%20JAKARTA%20PINTAR%202015%20NETT.pdf">(KJP)</a>. </p>
<p>Meski sudah diterapkan sejak tahun 2017, PPDB nonprestasi masih memunculkan permasalahan. Sistem yang berorientasi pada pemerataan pendidikan dan peniadaan favoritisme sekolah ini dianggap justru menciptakan masalah-masalah baru.</p>
<p>Apa saja permasalahan tersebut?</p>
<p><strong>1. Hilangnya standar adil seleksi berdasarkan kemampuan</strong></p>
<p>Sebelum tahun 2017, basis yang digunakan adalah sistem kompetisi berdasarkan prestasi (<em>merit system</em>). Sistem ini dapat berupa tes masuk tertulis atau berdasarkan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).</p>
<p>Dengan sistem PPDB yang baru, pemerintah tengah berusaha memenuhi hak seluruh CPD, terlepas dari skor nilainya, untuk dapat bersekolah di sekolah-sekolah yang selama ini dianggap bagus atau favorit.</p>
<p>Namun, dari perspektif CPD yang berprestasi, peluang mereka hanya sekitar 10-30% dari total kuota. Kecilnya peluang tersebut disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak bisa mereka kendalikan <a href="https://core.ac.uk/download/525792736.pdf">(<em>uncontrolled factors</em>)</a>, seperti tempat tinggal, usia, dan juga kondisi ekonomi keluarga. </p>
<p>Artinya, CPD yang sebenarnya bisa diterima jika menggunakan sistem prestasi harus mencari sekolah lain karena kalah dari CPD lain yang jarak rumah ke sekolahnya lebih dekat, lebih tua, atau kemampuan ekonominya lebih tidak menguntungkan. Alih-alih berusaha menghindari diskriminasi, diskriminasi tersebut hanya berpindah subjek.</p>
<p>Padahal, berdasarkan Pasal 13 ayat 2 <a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/cescr.pdf"><em>International Covenant on Economic, Social, dan Cultural Rights</em> (ICESCR)</a>, perjanjian multilateral yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB, yang telah diratifikasi melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/40256/uu-no-11-tahun-2005">Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005</a> tentang Pengesahan ICESCR, basis <em>merit</em> merupakan sistem yang adil untuk diterapkan. Sebab, kapasitas akademik berada pada kontrol masing-masing anak.</p>
<p><strong>2. Kesenjangan kemampuan dan kesulitan beradaptasi</strong></p>
<p>Implikasi lainnya, sistem PPDB nonprestasi dapat menyebabkan siswa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, tidak siap untuk saling berkompetisi karena kesenjangan kualitas akademik yang ada.</p>
<p>Beberapa guru maupun siswa mengaku kesulitan beradaptasi dengan sistem PPDB nonprestasi karena tidak siap dengan konsekuensinya. Misalnya, siswa yang masuk melalui jalur nonprestasi kesulitan untuk mengimbangi kecepatan belajar siswa jalur prestasi karena terdapat kesenjangan kemampuan akademik yang signifikan. </p>
<p>Salah satu guru mengungkapkan, “Ada beberapa anak-anak yang masuk dengan jalur afirmasi dengan nilai UAN di bawah 25 (total nilai adalah 40). Mereka mengalami kesulitan dalam berpacu dengan teman-temannya yang lain. Beberapa anak tersebut (kemudian) memutuskan untuk keluar dari sekolah.”</p>
<p>Di sisi lain, guru-guru juga “kaget” ketika berhadapan dengan kualitas siswa yang berbeda dari sebelumnya. Dengan adanya PPDB nonprestasi, guru-guru yang sudah terbiasa mengajar anak-anak terpilih, diminta beradaptasi dengan gap kemampuan akademik yang signifikan antara satu siswa dan siswa yang lainnya. Sementara, belum tentu guru-guru tersebut mampu menyesuaikan metode pengajarannya untuk mengatasi gap tersebut.</p>
<p><strong>3. Penurunan kualitas sekolah</strong> </p>
<p>Karena seleksi masuk tidak lagi didasarkan pada kualitas akademik tetapi pada basis-basis nonprestasi, penurunan kualitas sekolah yang awalnya unggulan menjadi tidak terelakkan. Sekolah-sekolah yang berada di zona dengan banyak CPD berkemampuan akademik rendah terbukti mengalami penurunan peringkat.</p>
<p>Seorang guru di sekolah unggulan di wilayah DKI Jakarta mengungkapkan, “Beda sekali sekarang kualitas (akademik) anak-anak yang masuk dibandingkan dengan sebelum jalur zonasi diterapkan. Secara jumlah, siswa-siswi yang pintar tidak begitu banyak. Di satu sisi, mereka tidak memiliki banyak tandem kompetisi sehingga persaingannya stagnan. Di sisi lain, siswa-siswi jalur nonprestasi juga tidak dapat mengejar ketertinggalan kemampuan mereka.”</p>
<p>Menurut para CPD berprestasi, sekolah seharusnya menjadi tempat berkompetisi berdasarkan kualitas akademik. Mereka memandang bahwa intervensi pemerintah justru menghilangkan semangat kompetisi tersebut. </p>
<p><strong>4. Peningkatan ketidakdisiplinan</strong> </p>
<p>Berdasarkan wawancara dan <a href="https://ejournal.undip.ac.id/index.php/lawreform/article/view/51552/pdf">observasi</a> yang penulis lakukan terhadap guru dan siswa di beberapa sekolah menengah negeri di DKI Jakarta, dalam rentang waktu dari 2019-2023, mereka berpandangan bahwa salah satu implikasi dari sistem PPDB nonprestasi adalah meningkatnya ketidakdisiplinan.</p>
<p>Seorang guru menjelaskan, “Saat ini, jumlah anak-anak yang telat datang sekolah jauh lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Kebanyakan karena mereka ternyata harus <em>narik</em> (ojek) dulu di pagi hari … Dari dahulu sebenarnya memang sudah ada anak-anak yang membawa pengaruh buruk kenakalan remaja, seperti <em>ngerokok</em>, <em>nongkrong</em>, bolos, berantem, ke anak-anak lainnya, tetapi saat ini kecenderungannya menjadi lebih banyak.”</p>
<p>Penjelasan tersebut juga dikonfirmasi oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan di salah satu sekolah yang diobservasi. Menurutnya, CPD nonprestasi cenderung memiliki perilaku yang tidak disiplin secara akademik. Mereka lebih banyak bermain-main sehingga kemampuan akademiknya tidak begitu baik.</p>
<p><strong>5. Pengakalan hukum</strong></p>
<p>Bersekolah di sekolah-sekolah favorit dianggap memiliki keuntungan-keuntungan, di antaranya: (1) kuota jalur undangan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri; (2) kultur belajar yang relatif lebih baik dibandingkan sekolah-sekolah nonfavorit; dan (3) kualitas pengajar yang relatif lebih baik karena efek dari poin ke-2.</p>
<p>Adanya aturan PPDB nonprestasi membuat beberapa orang mengambil langkah ekstrem untuk tetap bisa bersekolah di sekolah favorit. Semisal dengan <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/07/07/15115841/kecurangan-ppdb-sistem-zonasi-di-jember-skd-palsu-rampas-hak-anak?page=all">pemalsuan kartu keluarga</a> agar bisa diterima di sekolah tertentu dari jalur zonasi.</p>
<p>Menyelesaikan isu pendidikan di Indonesia adalah hal yang kompleks. Suatu kebijakan tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa melihat variabel-variabel yang terhubung secara sistematis. PPDB saat ini hanya bisa berfungsi maksimal jika kualitas infrastrukturnya, seperti kualitas guru, sekolah, dan inputnya, merata. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, hasil yang diharapkan justru bisa kontraproduktif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222627/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhamad Dzadit Taqwa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Diterapkan sejak 2017, PPDB nonprestasi masih memunculkan banyak permasalahan. Apa saja permasalahan tersebut?Muhamad Dzadit Taqwa, Dosen Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2138222023-09-19T07:29:09Z2023-09-19T07:29:09ZApa itu jurusan ‘Liberal Arts’? Berikut penjelasan ahli<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/548823/original/file-20230914-29-irzrgz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1599%2C1200&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Cicero mendefinisikan 'liberal arts' dalam buku yang ditulisnya tentang retorika (seni berpidato) di republik.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/cicero-royalty-free-image/157165581?adppopup=true">ra-photos/E+ via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Istilah “liberal arts” merupakan salah satu istilah dalam wacana publik tentang pendidikan tinggi yang paling banyak disalahpahami saat ini.</p>
<p>Seorang pakar pendidikan tinggi <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/01/25/liberal-education-advocates-discuss-ways-reclaim-conversations-about-academe">pernah berkata</a>, mencantumkan kata “liberal” dan “seni” bersama-sama merupakan “<a href="https://www.gallup.com/education/231746/higher-education-drop-term-liberal-arts.aspx">bencana pencitraan merek</a>” – salah kaprah ini melemahkan dukungan publik terhadap jurusan <em>liberal arts</em>. Tak heran jika di Indonesia, jurusan ini tidak populer dan hanya ditawarkan oleh sedikit perguruan tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/belajar-dari-amerika-kurikulum-lintas-disiplin-bisa-dongkrak-kualitas-universitas-dan-sarjana-indonesia-120346">Belajar dari Amerika, kurikulum lintas disiplin bisa dongkrak kualitas universitas dan sarjana Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Untuk menguraikan arti dan asal usul istilah tersebut, <em>The Conversation</em> menghubungi <a href="https://scholar.google.com/citations?user=PAm7pfgAAAAJ&hl=en&oi=ao">Blaine Greteman</a>, seorang profesor bahasa Inggris dari <em>University of Iowa</em> di Amerika Serikat (AS), yang mempelajari bagaimana istilah itu muncul.</p>
<h2>Apa sebenarnya <em>liberal arts</em>?</h2>
<p>Berbeda dengan arti harfiahnya, “liberal” dalam frasa “liberal arts” tidak ada hubungannya dengan liberalisme politik. Dan yang dimaksud dengan “arts” atau “seni” sebenarnya bukanlah tentang seni sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, seperti seni lukis, tari dan sejenisnya.</p>
<p>Kata “liberal” dalam “liberal arts” berasal dari bahasa Latin “<a href="http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0059%3Aentry%3Dliberalis1">liberalis,</a>” artinya “gratis”. Sementara “seni” berasal dari bahasa Latin “ars”, yang berarti “pengetahuan” atau “keterampilan”. Kata “artefak” memiliki akar kata yang sama: sesuatu yang dibuat oleh keterampilan atau pengetahuan manusia. Sehingga, “liberal arts”, dalam pengertian ini, adalah pendidikan yang membekali seseorang untuk hidup sebagai warga negara yang bebas.</p>
<p>Itulah yang dimaksud oleh Cicero, negarawan dan filsuf Romawi, ketika ia menjadi orang pertama yang merujuk pada pendidikan “liberal arts” 2.000 tahun yang lalu. Cicero melakukan ini dalam “<a href="https://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A2008.01.0683%3Abook%3D1%3Asection%3D35"><em>De Inventione</em></a>,” sebuah buku pedoman tentang retorika atau seni berpidato yang ditulis sekitar tahun 90 SM. Cicero menyusun buku tersebut saat masih muda dengan mempertimbangkan peran berbicara di depan umum dalam kehidupan sebuah republik.</p>
<p>Dalam karyanya yang lebih baru dan lebih komprehensif, “<a href="http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.02.0120%3Abook%3D1%3Asection%3D17"><em>De Oratore</em></a>,” Cicero menjelaskan bahwa pendidikan <em>liberal arts</em> akan membekali siswa dengan pemahaman mendalam tentang emosi manusia, keterampilan dalam ekspresi sastra dan “pengetahuan komprehensif tentang berbagai hal,” atau <em>scientia memahamienda rerum plurimarum</em> Ini adalah “pendidikan yang cocok untuk orang bebas,” atau <em>eruditio libero digna</em>.</p>
<p>Kita sangat mudah untuk terjebak pada apa yang sebenarnya dimaksud dengan pendidikan komprehensif atau universal bagi Cicero atau para pengikutnya di zaman Renaisans. Namun “liberal arts” bagi Cicero tidak berarti suatu mata pelajaran, seperti “seni” atau “Bahasa Inggris”, melainkan berarti pendidikan umum yang luas.</p>
<p>Secara klasik, pemahaman ini berasal dari sistem pendidikan Romawi kuno hingga tahun 1800-an, ketika bangsa Victoria mulai mereformasi pendidikan sebagai pelatihan praktis bagi banyak orang. Siswa akan mempelajari <em>trivium</em> – tata bahasa, logika, dan retorika – sebelum melanjutkan ke <em>quadrivium</em> – aritmatika, geometri, astronomi, dan musik. Namun jika terpaku pada lukisan, balet, atau sejarah yang sesuai dengan skema ini, maka hal ini tidak tepat sasaran.</p>
<p><em>Liberal arts</em> sebenarnya berarti pendidikan yang luas dan tidak hanya bersifat kejuruan, yang memberikan Anda kemampuan untuk menggunakan kebebasan memilih sebagai warga negara dan pemikir. Kursus filsafat atau sejarah akan meningkatkan keterampilan komunikasi siswa dengan cara yang pada akhirnya akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan. Namun, tujuan inti dari kelas ini adalah untuk mempelajari pelajaran yang lebih dalam tentang diri atau masa lalu. Hal ini sangat berbeda dengan cara mata kuliah teknik elektro mengembangkan keterampilan yang akan digunakan siswa dalam karir merancang sirkuit.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Author, sociologist, historian and civil rights activist W.E.B. Du Bois poses for a portrait in a study room." src="https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sejarawan W.E.B. Du Bois menganjurkan seni liberal dalam bukunya tahun 1903 ‘The Souls of Black Folk.’</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/author-sociologist-historian-and-civil-rights-activist-w-e-news-photo/538843974?adppopup=true">David Attie/Michael Ochs Archives via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengapa penting belajar ‘liberal arts’?</h2>
<p>Kebebasan sejati, menurut saya, adalah kemampuan untuk memilih dengan bijak antara argumen dan teori tentang bagaimana dunia bekerja dan memahami bagaimana bahasa dapat memanipulasi atau mengangkat derajat kita. Inilah sebabnya penyair dan revolusioner Inggris abad ke-17 John Milton memfokuskan <a href="https://milton.host.dartmouth.edu/reading_room/areopagitica/text.html">teks dasar anti-sensor, <em>Areopagitica</em>,</a> pada nilai masyarakat sipil dari <em>liberal arts</em>. “Beri saya kebebasan untuk mengetahui, mengucapkan dan berpendapat dengan bebas sesuai hati nurani, di atas semua kebebasan,” tulis Milton.</p>
<p>Salah satu pembelaan terbesar terhadap <em>liberal arts</em> di Amerika ditulis hanya 37 tahun setelah perang saudara AS oleh W.E.B. Du Bois. <a href="https://www.gutenberg.org/files/408/408-h/408-h.htm"><em>The Souls of Black Folk</em></a> mungkin paling dikenal saat ini sebagai karya sosiologi yang inovatif.</p>
<p>Du Bois juga menegaskan bahwa tanpa akses terhadap pendidikan <em>liberal arts</em> yang lengkap dan komprehensif, orang kulit hitam Amerika tidak akan pernah benar-benar bebas. Saat ditanya, “Haruskah kita mengajari mereka perdagangan atau melatih mereka dalam <em>liberal arts</em>?” Du Bois menjawab, “<a href="https://www.gutenberg.org/files/408/408-h/408-h.htm">Keduanya</a>.” Namun, ia menegaskan bahwa <em>liberal arts</em> harus selalu menjadi landasan, karena “untuk menjadi manusia, kita harus memiliki cita-cita, tujuan hidup yang luas, murni dan menginspirasi, bukan mencari uang kotor, bukan apel emas.”</p>
<p>Dia khawatir bahwa penekanan Booker T. Washington yang “terlalu sempit” pada pendidikan kejuruan mungkin akan mengorbankan pendidikan yang lebih luas dalam seni kebebasan. Sementara itu, Washington <a href="https://www.theatlantic.com/magazine/archive/1903/10/the-fruits-of-industrial-training/531030/">merasa</a> bahwa inspirasi, cita-cita, dan “bahasa mati” adalah kurang penting dibandingkan mempelajari “bagaimana menerapkan pengetahuan kimia untuk memperkaya tanah, atau memasak, atau peternakan sapi perah.”</p>
<h2>Apakah ‘liberal arts’ adalah suatu kemewahan?</h2>
<p>Perdebatan serupa juga terjadi saat ini di tempat-tempat seperti <em>West Virginia University</em>. Pimpinan pemerintah dan universitas di negara bagian tersebut <a href="https://abcnews.go.com/US/wireStory/west-virginia-university-crisis-looms-gop-leaders-focus-102910130">mengumumkan pada Agustus 2023</a> bahwa mereka berencana untuk menghentikan 32 program, termasuk seluruh departemen bahasa, sastra, dan linguistik dunia.</p>
<p>Banyak dosen dan mahasiswa yang protes karena merasa bahwa langkah ini mengorbankan pendidikan kewarganegaraan yang luas dan menyamakan pendidikan perguruan tinggi dengan pelatihan kerja.</p>
<p>Sementara gubernur, rektor universitas, dan badan legislatif berpendapat bahwa penawaran universitas <a href="https://wvrecord.com/stories/649159606-tarr-west-virginia-doesn-t-need-any-guidance-from-the-aft">“harus menyelaraskan jurusan dengan karier masa depan.</a>. Pendapat ini kini juga makin jamak ditemukan di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/link-and-match-program-kampus-merdeka-tidak-tepat-untuk-perguruan-tinggi-211935">'Link and match' program Kampus Merdeka tidak tepat untuk perguruan tinggi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Eric Tarr dari Partai Republik, ketua keuangan Senat negara bagian di Virginia barat, AS, bahkan menjelaskan dalam sebuah opini yang ditulis untuk <em>West Virginia Record</em> bahwa tujuan dari keputusan anggaran adalah untuk "memberikan gelar yang mengarah pada lapangan kerja.” Dengan kata lain, melatih para pekerja untuk bekerja, dibandingkan mendidik masyarakat mengenai apa yang Du Bois dan Cicero sebut sebagai “pengetahuan tentang kebebasan.”</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213822/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Blaine Greteman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Istilah ‘liberal arts’, mungkin terdengar seperti ungkapan yang bernuansa politis. Seorang ahli literatur menjelaskan mengapa hal itu salah dan melihat lebih dekat asal usul dan maknanya.Blaine Greteman, Professor and Chair of English, University of IowaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069962023-07-26T06:40:03Z2023-07-26T06:40:03ZKurikulum Merdeka beri ruang bagi murid untuk bereksplorasi–tapi jangan jadikan ini alasan untuk guru lepas tangan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/539215/original/file-20230725-23-kjdcs1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/blur-kids-teacher-classroom-background-usage-438910567">Macpanama/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam Kurikulum Merdeka yang tengah digalakkan pemerintah, salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk memenuhi <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/capaian-pembelajaran#filter-cp">capaian belajar (CP)</a> adalah proses <a href="https://pusmendik.kemdikbud.go.id/pdf/file-99#:%7E:text=yang%20dimaksud%20dengan%3A-,1.,untuk%20mencapai%20standar%20kompetensi%20lulusan.">pembelajaran aktif</a> atau pembelajaran yang berorientasi pada murid.</p>
<p>Di dalamnya, misalnya, ada sejumlah metode pengajaran yang mengedepankan interaksi sosial, seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/2331186X.2019.1674067">pembelajaran kooperatif</a>. Bentuk paling sederhananya adalah murid-murid bekerja dalam kelompok dan masing-masing memiliki tanggung jawab. </p>
<p>Ada juga metode <a href="https://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1809&=&context=ijpbl&=&sei-redir=1&referer=https%253A%252F%252Fscholar.google.com%252Fscholar%253Fstart%253D10%2526q%253Dhow%252Bproject-based%252Blearning%252Bsolves%252Bworld%252Bproblem%2526hl%253Den%2526as_sdt%253D0%252C5%2526as_ylo%253D2019#search=%22how%20project-based%20learning%20solves%20world%20problem%22">pembelajaran berbasis projek</a> yang mendorong murid menjalankan projek untuk memecahkan persoalan di dunia nyata. </p>
<p>Menurut riset, metode-metode pembelajaran aktif tersebut memang berpotensi memberi sejumlah manfaat bagi murid. Ini termasuk <a href="http://dx.doi.org/10.18823/asiatefl.2018.15.1.1.1">interaksi sosial</a> yang lebih baik dengan rekan sejawat, pengasahan keterampilan seperti <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.3102/00028312221129247?casa_token=V9leD2QnClMAAAAA:oCy19v-F_Po-2GMtXgwO10u3--krUsBnhfOD0kbyKS_nsYomOlzii3T3SkMQUtEAfQ-n7Y7JMz4">refleksi ataupun kolaborasi</a>, dan <a href="http://1stmakerspace.com.s3.amazonaws.com/Resources/PBL-Lit-Review_Jan14.2014.pdf#">pemecahan masalah</a>.</p>
<p>Meski demikian, kami mengkhawatirkan pendekatan pembelajaran aktif ini–tanpa panduan yang tepat–berpotensi mengesampingkan keterlibatan guru sehingga mengancam penguasaan materi dasar yang merupakan <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">salah satu tujuan utama Kurikulum Merdeka</a>.</p>
<p>Dengan kata lain, pembelajaran aktif dalam Kurikulum Merdeka boleh saja memberikan ruang bagi murid untuk bereksplorasi. Namun, jangan sampai ini jadi alasan untuk membolehkan guru serta merta lepas tangan.</p>
<h2>Pentingnya penguasaan materi dasar terlebih dahulu</h2>
<p>Salah satu <a href="https://pusatinformasi.guru.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/6824331505561-Latar-Belakang-Kurikulum-Merdeka">karakteristik utama Kurikulum Merdeka</a> adalah fokusnya pada “materi esensial.”</p>
<p><a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/pada-masa-pandemi-guru-harus-pandai-memilih-pembelajaran-dan-penilaian-yang-esensial">Materi esensial</a> adalah materi yang diperlukan untuk menguasai mata pelajaran (mapel) di setiap jenjang secara berkelanjutan. Dalam Matematika, ini seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian untuk meyelesaikan persoalan. </p>
<p>Contoh lainnya, pengetahuan tentang dasar-dasar garis, warna, tekstur, dan komposisi untuk mengerjakan projek melukis dalam pelajaran Seni Budaya.</p>
<p>Menurut <a href="http://www.bobpearlman.org/BestPractices/PBL_Research.pdf#">John W. Thomas</a>, peneliti pendidikan dari University of California-Berkeley di Amerika Serikat (AS), pembelajaran berbasis projek tidak boleh luput untuk mendorong murid berinteraksi dengan konsep-konsep kunci tiap mapel dan juga terlibat dalam pembentukan pengetahuan mereka. </p>
<p>Sayangnya, analisis kami pada berbagai <a href="https://gtk.kemdikbud.go.id/read-news/mengenal-konsep-projectbased-learning">dokumen pengenalan</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bEt4Eidism0&t=57s">contoh pelaksanaan</a>, dan <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/11316/1/01._Buku_Pegangan_Pembelajaran_HOTS_2018-2.pdf">panduan</a> pembelajaran berbasis projek yang disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi belum memuat aspek-aspek di atas. Guru juga belum diarahkan untuk melibatkannya dalam kegiatan-kegiatan projek tersebut.</p>
<p>Dalam pembelajaran tematik tingkat SD, panduan pembelajaran berbasis projek masih terlalu menekankan “pengetahuan prosedural” (tentang “bagaimana”, contoh: langkah-langkah menanam kangkung agar tumbuh subur). Panduan ini mengesampingkan “pengetahuan proposisional” (tentang “apa”, contoh: proses fotosintesis dan manfaatnya bagi tumbuhan).</p>
<p>Jika murid tidak memiliki pengetahuan proposisional tentang fotosintesis, misalnya, mereka berisiko kesulitan memahami peran tanaman sebagai penyerap karbon dioksida dan kedudukannya dalam ekosistem. Apabila itu terjadi, mereka akan kesusahan memahami konsep lain yang lebih besar: dampak penggundulan hutan terhadap perubahan iklim. Ini justru menghilangkan makna dari projek yang mereka garap.</p>
<p>Ibarat pengetahuan proposisional sebagai sebuah tangga, kehilangan beberapa anak tangga saja bisa membuat mereka gagal mencapai tingkat pemahaman konsep yang lebih tinggi, luas, ataupun baru.</p>
<h2>Guru sekadar jadi fasilitator</h2>
<p>“Kami, guru, adalah fasilitator pembelajaran.”</p>
<p>Kalimat ini biasanya disampaikan guru ketika diminta menceritakan tentang peran mereka di kelas.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, dalam materi <em>recount text</em> (menceritakan kembali), seorang guru bahasa Inggris meminta murid-muridnya untuk membuat projek pengalaman liburan. Alih-alih mengajarkan terlebih dahulu tentang kata kerja lampau sebagai fitur penting dalam teks tersebut, sang guru meminta murid-muridnya mempelajari contoh-contoh teks sejenis saja di internet secara mandiri, tanpa mendiskusikan hasil eksplorasi.</p>
<p>Walhasil, kita seperti melihat anak-anak tangga yang bertebaran, belum disusun, bahkan tidak lengkap. </p>
<p><a href="https://berajournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/pdfdirect/10.1002/berj.3301?casa_token=oAfJZyMvXrAAAAAA:Rv4U1K2Pu2-tLdg-1u4WjqGcOjmJGQKV-WRoShOjRrAaSunX6Nee4r_sPUxrqokgext4u8kwOCX-FQ">Elizabeth Rata</a> dari University of Auckland di Selandia Baru menggambarkan hal ini sebagai bentuk “<em>facilitation teaching</em>”. Artinya, apapun yang dibawa murid (baik jawaban, pendapat, atau pengalaman) dianggap baik dan valid oleh guru. </p>
<p>Efek <em>facilitation teaching</em> memang bisa membuat murid merasa “diterima dan berkontribusi”. Namun, ini mengorbankan sebuah agenda penting di kelas: interaksi intensif mereka dengan konsep dan pengetahuan beserta urutan dan logikanya. Interaksi ini mustahil berlangsung tanpa adanya pengajaran.</p>
<p>Hasil analisis kami menimbulkan kekhawatiran: penerapan pembelajaran berbasis projek saat ini masih mengarah pada sekadar memfasilitasi. Sebab, murid tidak berinteraksi dengan materi dasar yang harusnya jadi fokus penguasaan.</p>
<h2>Peran tradisional guru masih relevan</h2>
<p>Sebagaimana yang dikatakan Paul A. Kirschner dari Open University di Belanda beserta koleganya dalam buku <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781003228165/teaching-happens-paul-kirschner-carl-hendrick-jim-heal"><em>How Teaching Happens</em></a> (2022): “Jika semua yang harus diajarkan ke murid dilakukan dengan cara yang <em>real-world</em>, lalu apa makna sekolah?” </p>
<p>Sebuah konsep tidak selalu bisa dipelajari melalui konteks keseharian (sosial budaya) atau didapatkan melalui pengalaman maupun projek.</p>
<p>Penguasaan murid atas pengetahuan dasar, yang biasanya abstrak, akan membantu mereka melihat aplikasi konsep dalam berbagai konteks di dunia nyata. Guru berperan besar dalam proses ini. Tugas guru adalah mendesain kegiatan yang membantu murid melihat keterkaitan ini, utamanya lewat pengajaran instruksional.</p>
<p>Jika pemahaman pengetahuan dasar ingin dicapai melalui projek, ada banyak jalan untuk melakukannya. Salah satunya melalui “<a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/53450220/Inductive_Teaching-libre.pdf?1497034180=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DAn_Inductive_Approach_to_English_Grammar.pdf&Expires=1690256093&Signature=PUWMkbFb5a-jtno84Efy9I3Dr0uuXh7u8NUqxGdwDTAxbGhB8Fhc4NmBlW51v2Yj3snM5dmdLdB7UXzgedi4aqNzhcEnOp-cUX3D5U9-NF9EKVB98tNO2GuePJ9UveNyG9otA4JzQ9Fu-BXIBDuHpsC7A5ajtM6yS%7EoBzsmNL64lQJFA-V0gGwF6wh6LjxzcdELQBfn6aM1qQU7aq5D%7EkXBsE9BydgWXFn0V-vZEkaKxwor0h7eyYw49TmWpbev88TE0nMNNbTpuIcDMnEyEQZpJeDgomSE0ehRVvPx8yW%7EFFWUBEboEwpcyJ4Y93RtEJedwYo%7EOGud9nBGteBeghg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA"><em>inductive learning</em></a>” sebelum projek berlangsung. Kegiatan pembelajarannya meliputi: eksplorasi contoh-contoh baik yang dipilih guru, memformulasikan <em>rules</em> atau konsep (pengetahuan proposisional) dengan panduan guru, menguji atau mencoba aplikasinya (pengetahuan prosedural), mendapat umpan balik dari guru, merevisi <em>rules</em> atau konsep agar makin kukuh, dan mendapat konfirmasi dari guru.</p>
<p>Tanpa proses ini, pengetahuan berisiko tersampaikan melalui cara yang ambigu atau projek berjalan sekadar “coba-coba” saja. </p>
<p>Sayangnya, panduan yang tersedia tidak melibatkan kegiatan-kegiatan serupa sebagai bagian dari pembelajaran berbasis projek dan tidak menggarisbawahi peran guru dalam prosesnya. Tanpa hal ini, bisa terwujud kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar. </p>
<h2>Bukan membatalkan pembelajaran berbasis projek, tapi meyempurnakannya</h2>
<p>Kemdikbudristek memang tengah bergairah menggaungkan pembelajaran aktif. Oleh karena itu, tuntutan kami agar guru menyisipkan pengajaran instruksional barangkali akan dipandang beberapa pihak sebagai anjuran untuk “kembali pada pembelajaran yang berpusat pada guru”. Bisa juga, mereka akan melihat pembelajaran berbasis projek menjadi kurang berorientasi pada murid. </p>
<p>Namun, solusi yang kami tawarkan bukan <a href="https://theconversation.com/mempertanyakan-student-centered-learning-mengapa-memusatkan-pembelajaran-pada-siswa-tidak-selalu-efektif-205589">menunda penerapannya</a> tetapi memastikan bahwa panduan yang digunakan itu berbasis riset dan praktik baik.</p>
<p>Harapannya, pengajaran instruksional menjadi bagian penting <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ762325">dalam prosesnya</a>. Ini penting agar murid menguasai materi esensial yang diperlukan supaya <a href="https://naerjournal.ua.es/article/view/v6n2-8">projek yang mereka jalani jadi lebih bermakna</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan dalih “memfasilitasi” pembelajaran berbasis projek, ada kekhawatiran bahwa banyak guru menggunakan Kurikulum Merdeka untuk kemudian lari dari tanggung jawab mengajar.Puji Astuti, Associate Professor of ELT Methodology, Universitas Negeri SemarangTeguh Kasprabowo, Assistant Professor of Creative Writing, Universitas Stikubank SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2095272023-07-24T02:41:58Z2023-07-24T02:41:58Z‘Single parents’ sering jadi kambing hitam dalam pendidikan anak: perlunya dukungan bagi mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538852/original/file-20230723-40270-leb9kd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/one-single-line-drawing-young-happy-2201066787">Simple Line/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam percakapan sehari-hari ataupun di media sosial, kita sering dibanjiri berbagai informasi seputar <em>parenting</em> (pengasuhan anak). Dalam hal ini, <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5099372/6-artis-ini-pernah-dikritik-netizen-soal-pola-asuh-anak-jadi-sorotan">gaya pengasuhan orang tua</a>, terutama oleh ibu, sering jadi sorotan warganet – seolah hanya ada standar tunggal dalam pengasuhan anak yang harus diikuti untuk menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00309230.2016.1240209">orang tua yang baik, ideal, atau teladan</a>. </p>
<p>Namun, narasi terkait pengasuhan anak lebih menekankan pada <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3713/kemenpppa-dorong-inisiasi-penyusunan-rencana-aksi-daerah-dalam-pengasuhan-berbasis-hak-anak/zlsis/l1240554.html/fiqez/q441637.html">peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak</a> dan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3305/pembagian-peran-pengasuhan-ciptakan-keluarga-berkualitas/rftvn/a1368840.html">keluarga tradisional yang “utuh”</a>.</p>
<p>Saat ini, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal (<em>single parent</em>). </p>
<h2>Mengkambinghitamkan orang tua yang bercerai</h2>
<p>Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/8/2/64">faktor risiko utama</a> atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.</p>
<p>Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap dikaitkan sebagai <a href="https://bestrongintl.org/programs/how-does-single-parenting-affect-education/">dampak dari perceraian orang tua</a>. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami <a href="https://www.educationnext.org/one-parent-students-leave-school-earlier/">kendala akademis dan putus sekolah lebih awal</a>.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1813049116">studi</a> menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru, mayoritas <a href="https://ifstudies.org/blog/for-getting-kids-through-college-single-parent-families-are-not-all-the-same">anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan</a> higga perguruan tinggi. Selain itu, <a href="https://phys.org/news/2019-03-divorce-effect-children-constant.html">perbedaan performa akademik siswa tidak begitu terlihat</a> antara siswa dari keluarga yang berpisah ataupun tidak. </p>
<h2>Tantangan partisipasi orang tua tunggal</h2>
<p>Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi pada pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal, mereka banyak <a href="https://repository.unib.ac.id/8758/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-den.FK.pdf">mengalami kendala</a> untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah. </p>
<p>Orang tua tunggal biasanya tergolong <a href="https://www.heritage.org/marriage-and-family/report/how-broken-families-rob-children-their-chances-future-prosperity">kelompok ekonomi lemah</a> dan rentan masuk dalam <a href="https://www.povertycenter.columbia.edu/nyc-poverty-tracker/2017/single-parent-households">kemiskinan</a>. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial maupun pengasuhan dari mantan pasangan – membuat mereka mengemban <a href="http://anale.steconomiceuoradea.ro/volume/2021/n2/018.pdf">kerentanan yang berlipat</a>. </p>
<p>Selain itu, mereka juga biasanya terkendala kurangnya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953697100831?via%3Dihub">dukungan sosial</a>.</p>
<p>Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, Asisten Rumah Tangga (ART), suster, atau <em>daycare</em> bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.</p>
<p>Sedangkan, masyarakat <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/157891">ekonomi lemah</a> biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.</p>
<p>Wajar jika <a href="https://thekeep.eiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5464&context=theses">orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah</a>, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.</p>
<h2>Stigma terhadap kelompok rentan dalam dunia pendidikan</h2>
<p>Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral – bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua maupun anaknya sebab mereka termasuk kelompok rentan. <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/sites/dc16ec77-en/index.html?itemId=/content/component/dc16ec77-en#chapter-d1e13123">Kerentanan</a> ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; sulitnya orangtua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.</p>
<p>Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal. </p>
<p>Misalnya, pada <a href="https://smeru.or.id/en/node/2181">studi diagnostik</a> bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016, sebagian informan termasuk guru acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan, motivasi belajar siswa yang rendah dianggap dampak ketidakharmonisan keluarga.</p>
<p>Pada studi kualitatif lain bersama <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">program RISE di Kota Yogyakarta</a> pada 2021, sebagian guru mengganggap berbagai permasalahan siswa seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran maupun kurang sopan selama pembelajaran dikarenakan kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.</p>
<p>Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">pandangan negatif yang melekat terhadap kelompok rentan</a>. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan <a href="https://www.educationnext.org/wp-content/uploads/2022/03/ednext_XV_2_duncan.pdf">meningkatkan kesenjangan</a> tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.</p>
<p>Apalagi, angka perceraian di Indonesia <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/kasus-perceraian-di-indonesia-melonjak-lagi-pada-2022-tertinggi-dalam-enam-tahun-terakhir#:%7E:text=Menurut%20laporan%20Statistik%20Indonesia%2C%20jumlah,tertinggi%20dalam%20enam%20tahun%20terakhir.">semakin meningkat</a> selama satu dekade terakhir, dan <a href="https://padang.viva.co.id/ragam-perkara/176-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-afrika">diklaim</a> sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk ke dalam kelompok rentan berpotensi semakin bertambah. </p>
<h2>Dukungan bagi orang tua tunggal</h2>
<p>Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah. </p>
<p>Sebuah <a href="http://www.skicharities.org/schools-support-single-parents/">lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Zimbabwe</a>, misalnya, mendorong pihak sekolah untuk memberikan fleksibilitas waktu terkait pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran terkait struktur keluarga nontradisional sehingga siswa bisa berempati dengan kondisi temannya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, kelompok dukungan seperti <a href="https://validnews.id/kultura/perempuan-perangkul-ibu-ibu-tunggal-indonesia">komunitas orang tua tunggal</a> juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.</p>
<p>Di Kanada, suatu eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (<em><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2458-10-4">support group</a></em>) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.</p>
<h2>Kebijakan berbasis komunitas</h2>
<p>Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah juga dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya adalah program <a href="https://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">Sekolah Keluarga</a> (SK) di Bukittinggi dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/32923">Jam Belajar Masyarakat</a> (JBM) di Yogyakarta.</p>
<p>Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi12NmQvtL_AhUR-DgGHbW5Bi4QFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjptam.org%2Findex.php%2Fjptam%2Farticle%2Fdownload%2F1153%2F1033%2F2310&usg=AOvVaw0ZUI3lGFmQE8qbZr5XPO4f&opi=89978449">peningkatan kualitas pengasuhan orang tua</a> serta <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj6hre7wdL_AhUp8DgGHZ_oCEgQFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjournal.student.uny.ac.id%2Fojs%2Findex.php%2Fpgsd%2Farticle%2Fdownload%2F10365%2F9922&usg=AOvVaw20QO-4Pni_FNwj545CXy4i&opi=89978449">motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua</a> dalam pendidikan anaknya. </p>
<p>Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaat.</p>
<p>Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan bahwa anaknya mengalami kendala akademis pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.</p>
<p>Sementara pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memonitor anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Akibatnya, hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan oleh tetangganya ketika ia harus bekerja.</p>
<p>Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak – terutama dari kelompok rentan – seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi “<em>it takes a village to raise a child</em>” (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).</p>
<p><a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Kolaborasi dan dukungan</a> dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya. </p>
<p>Namun, perlu dicatat bahwa meski dampak dari kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak</a>. Arah kebijakan ke depan perlu lebih <a href="https://plan-international.or.id/id/pentingnya-peran-ayah-dalam-pengasuhan/">mendorong pelibatan ayah</a> baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209527/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Risa Nihayah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Alih-alih menyalahkan orang tua tunggal dan melanggengkan stigma, masyarakat dan pemerintah perlu memberi dukungan khusus bagi mereka untuk memastikan semua anak mendapat pendidikan berkualitas.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2092262023-07-14T06:00:09Z2023-07-14T06:00:09ZMengapa diplomasi pendidikan untuk anak pekerja migran Indonesia di Malaysia penting?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/537457/original/file-20230714-29-ymm8xc.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1024%2C573&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung Community Learning Center (CLC) di Tawau, Sabah.</span> <span class="attribution"><span class="source">Dokumentasi tim Riset Migrasi Pusat Riset Politik BRIN, 2023</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Dinamika hubungan Indonesia dan Malaysia dari waktu ke waktu tidak dapat dilepaskan dari isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah pemberian akses dan layanan pendidikan bagi anak pekerja migran. </p>
<p>Meski muncul dalam <a href="https://setkab.go.id/en/statement-of-president-of-the-republic-of-indonesia-during-joint-press-statement-with-prime-minister-of-malaysia-at-the-seri-perdana-complex-putrajaya-malaysia-june-8-2023/">pernyataan pers Presiden Joko “Jokowi” Widodo</a> saat lawatan ke Malaysia Juni lalu, isu pendidikan ini tidak secara khusus masuk dalam <a href="https://www.antaranews.com/berita/3578016/kunjungan-jokowi-ke-seri-perdana-hasilkan-enam-mou-indonesia-malaysia">nota kesepahaman</a> yang dihasilkan dalam kunjungan tersebut.</p>
<p>Padahal, keseriusan diplomasi pendidikan antara kedua negara diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan optimalisasi upaya pemenuhan akses pendidikan anak PMI.</p>
<p>Mengapa diplomasi pendidikan perlu dan apa saja prioritas isu dalam diplomasi tersebut?</p>
<h2>Pemenuhan komitmen atas hak pendidikan anak pekerja migran</h2>
<p>Diplomasi sering kali berangkat dan didasari oleh upaya negara dalam memenuhi komitmen mereka terhadap perjanjian internasional yang diratifikasinya.</p>
<p>Dalam konteks hak anak, Indonesia dan Malaysia telah meratifikasi <a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child"><em>the United Nations Convention on the Rights of Childs</em> (CRC) tahun 1989</a>. Konvensi ini menyepakati perlindungan hak-hak dasar anak tanpa memandang status dan asal kelompok sosial mereka. CRC mewajibkan seluruh negara memberikan akses terhadap pendidikan sebagai salah satu hak dasar anak.</p>
<p>Di samping itu, kedua negara juga telah berkomitmen untuk memenuhi hak anak melalui <em><a href="https://asean.org/wp-content/uploads/2019/11/4-ASEAN-Declaration-on-the-Rights-of-Children-in-the-Context-of-Migration.pdf">ASEAN Declaration on the Rights of Children in the Context of Migration</a></em> yang Rencana Aksi Regionalnya telah disepakat sejak awal tahun 2022. </p>
<h2>Sekolah bagi anak pekerja migran</h2>
<p>Kesepakatan Indonesia-Malaysia untuk memasukkan aspek pendidikan anak PMI dalam <a href="https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9DQVJBS0ElMjBGRUJSVUFSSS0yMDE4LnBkZg=="><em>Annual Consultation</em> 2006</a> juga patut diapresiasi. Berangkat dari kesepakatan ini, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Kota Kinabalu dan Konsulat RI (KRI) Tawau sebagai perwakilan RI di Negara Bagian Sabah berinisiatif mendirikan <em>Community Learning Center (CLC)</em>. CLC <a href="https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/potret-layanan-pendidikan-clc-sabah-dan-sarawak-2018-2020">diresmikan pada 2010 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta memiliki legalitas formal dari Pemerintah Malaysia sejak 2011</a>. </p>
<p>CLC yang menginduk pada Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) hadir sebagai upaya memperluas jangkauan pendidikan bagi anak-anak PMI di Sabah yang berada di lokasi dengan akses sulit seperti wilayah perkebunan/ladang sawit sehingga tidak bisa bersekolah di SIKK. Upaya tersebut semakin diperkuat dengan mendatangkan guru-guru dari Indonesia yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia.</p>
<p>Meski upaya pemberian layanan pendidikan untuk anak-anak PMI memang masih menghadapi banyak <a href="https://theconversation.com/sulitnya-akses-pendidikan-anak-pekerja-migran-di-malaysia-apa-kendalanya-207496">kendala</a>, kesamaan kepentingan dalam pemenuhan komitmen global Indonesia dan Malaysia membuat kedua negara harusnya dapat seirama dalam mengatasi kendala tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sulitnya-akses-pendidikan-anak-pekerja-migran-di-malaysia-apa-kendalanya-207496">Sulitnya akses pendidikan anak pekerja migran di Malaysia, apa kendalanya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>.</p>
<h2>Manfaat pemenuhan pendidikan anak pekerja migran</h2>
<p>Diplomasi pendidikan bagi anak PMI antara Indonesia dan Malaysia ternyata membawa dampak yang baik bagi pemenuhan kepentingan domestik masing-masing negara. </p>
<p>Bagi Indonesia, penyediaan akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran di Sabah membantu regularisasi (keteraturan) pendataan anak-anak Indonesia yang sebelumnya tidak terdata dan <a href="https://theconversation.com/ruu-kuhp-akan-mengakibatkan-anak-anak-pekerja-migran-indonesia-di-sabah-hidup-tanpa-kewarganegaraan-94077">berisiko menjadi <em>stateless</em></a>. </p>
<p>Dalam jangka panjang, proses regularisasi anak ini juga mendorong orang tua mereka untuk lebih sadar akan pentingnya kelengkapan dokumen administrasi kewarganegaraan. Hal ini akan membantu pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia, mengurangi jumlah pekerja migran tak berdokumen, khususnya di wilayah Sabah dan Serawak. </p>
<p>Bagi Malaysia, penyediaan akses pendidikan bagi anak PMI menghindarkan perusahaan-perusahaan kelapa sawitnya dari <a href="https://sustainable-business.guide/2022/07/26/the-palm-oil-consumer-dilemma-boycott-or-buy/">boikot penjualan hasil perkebunannya</a> di pasar dunia.</p>
<p>Dengan menyediakan akses dan sarana pendidikan, perusahaan dapat memenuhi salah satu prasyarat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (<a href="https://rspo.org/">RSPO</a>) dan Malaysian Palm Oil Certification Council (<a href="https://www.mpocc.org.my/about-mspo">MSPO</a>) yang memastikan industri kelapa sawit dapat berdampak baik bagi lingkungan dan masyarakat secara berkelanjutan. Karenanya, produk dari perusahaan bersertifikasi ini boleh dipasarkan secara meluas. </p>
<p>Selain itu, wawancara kami dengan manajer dari tiga perusahaan perkebunan sawit yang berbeda mengonfirmasi bahwa dengan adanya CLC di ladang, perusahaan memiliki daya tarik yang lebih tinggi dalam merekrut tenaga kerja Indonesia yang dikenal ulet dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja di ladang pun menjadi lebih fokus dan loyal dalam bekerja karena tidak perlu mengkhawatirkan akses dan keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka.</p>
<p>Berbagai manfaat dalam penyediaan akses pendidikan ini patut ditindaklanjuti dengan upaya diplomasi untuk mengoptimalkan pemenuhan pendidikan anak PMI di Malaysia. </p>
<h2>Agenda diplomasi pendidikan</h2>
<p>Ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam diplomasi pendidikan anak PMI antara Indonesia dan Malaysia. </p>
<p>Pertama, kedua negara perlu menyepakati landasan yang menjamin legalitas pendirian CLC di luar wilayah ladang. Selama ini, telah ada beberapa CLC nonladang yang beroperasi dan secara berkala dikunjungi oleh <a href="https://kemlu.go.id/tawau/id/news/203/kri-tawau-fasilitasi-tim-dari-pejabat-pendidikan-malaysia-melakukan-kegiatan-monitoring-dan-evaluasi-terhadap-sejumlah-clc-di-wilayah-kerja">Jabatan Pendidikan Malaysia (JPM)</a>. </p>
<p>Menurut hasil wawancara kami dengan beberapa pengelola CLC nonladang, sejauh ini JPM menganggap fasilitas dan proses pembelajaran di CLC nonladang cukup baik dalam penyelenggaraan pendidikan, namun mereka tetap tidak bisa memberikan izin operasional akibat belum adanya kesepakatan di level negara. </p>
<p>Tidak hanya itu, pemberian landasan hukum bagi CLC nonladang juga penting untuk mengikis kebutuhan akan adanya alternatif pendidikan nonformal lain yang pembelajarannya tidak berstandar kurikulum Indonesia sehingga menyulitkan untuk kelanjutan studi siswa.</p>
<p>Kedua, diplomasi di antara kedua negara perlu menekankan pada pentingnya bantuan dan kemudahan pengiriman guru bina dari pemerintah Indonesia ke Malaysia. Hasil wawancara kami dengan sejumlah responden memperlihatkan bahwa proses perizinan atau visa kerja bagi guru bina yang akan dikirim ke Malaysia cenderung birokratis. </p>
<p>Padahal keberadaan guru bina ini sangat krusial, tidak hanya untuk penataan manajemen dan operasional CLC tapi juga membina dan mendampingi guru pamong (guru yang direkrut lokal) dalam proses pembelajaran. </p>
<p>Ketiga, upaya diplomasi perwakilan Indonesia di Malaysia perlu diperkuat dengan mempromosikan keberadaan CLC secara lebih luas kepada pekerja Indonesia. Penguatan peran perwakilan RI di wilayah-wilayah dengan sebaran CLC yang cukup banyak, seperti di Tawau, diperlukan untuk menjangkau secara lebih luas ke ladang-ladang yang terpencil. Untuk itu, dukungan jumlah personel yang memadai di KJRI dan KRI menjadi syarat penting.</p>
<p>Penguatan diplomasi yang didasarkan prinsip berbagi tanggung jawab di antara kedua negara dalam pemberian akses pendidikan merupakan langkah utama dan paling mendasar. Langkah ini penting sebagai pembuka jalan bagi seluruh pihak untuk bekerja sama menyediakan akses pendidikan bagi seluruh anak-anak PMI di Malaysia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209226/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizka Fiani Prabaningtyas menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Athiqah Nur Alami menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Faudzan Farhana menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tri Nuke Pudjiastuti menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) dalam skema dana Rumah Program Tahun 2023</span></em></p>Keseriusan diplomasi pendidikan antara Indonesia dan Malaysia diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan optimalisasi upaya pemenuhan akses pendidikan anak pekerja migran Indonesia.Rizka Fiani Prabaningtyas, Peneliti dalam bidang Hubungan Internasional dan Isu Migrasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Athiqah Nur Alami, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Faudzan Farhana, Peneliti (researcher), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Tri Nuke Pudjiastuti, Researcher of international migration at Research Canter for Politics (PRP-BRIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2055892023-06-05T09:39:51Z2023-06-05T09:39:51ZMempertanyakan ‘student-centered learning’: mengapa memusatkan pembelajaran pada siswa tidak selalu efektif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/530039/original/file-20230605-23-ptwj4h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teachers-1435670357">(Arief Akbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pada 2022, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merilis <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/luncurkan-kurikulum-merdeka-mendikbudristek-ini-lebih-fleksibel">Kurikulum Merdeka Belajar</a> yang salah satu ciri utamanya adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, atau “<em>student-centered learning</em>”. Pendekatannya, misalnya, adalah dengan <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/kurikulum-prototipe-utamakan-pembelajaran-berbasis-proyek">pembelajaran berbasis projek</a> yang dilakukan para murid.</p>
<p>Model pembelajaran ini digadang memiliki segudang manfaat yang mampu membuat peserta didik menjawab tantangan nyata di tengah kompetisi <a href="https://bbppmpvboe.kemdikbud.go.id/bbppmpvboe/berita/detail/kurikulum-merdeka-dan-pbl-relevan-dengan-tantangan-riil">pasar kerja dan industri</a>.</p>
<p>Benarkah demikian?</p>
<p>Meskipun riset menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis projek terbilang ampuh ketika diterapkan pada tingkat <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1075291">pendidikan tinggi</a>, hal yang sama belum tentu berlaku ketika diterapkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, terutama <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">sekolah dasar (SD)</a>.</p>
<p>Kanada, negara yang langganan peringkat 10 besar pada tes global <em>Program of International Student Assessment</em> (PISA), misalnya, adalah salah satu <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">bukti empiris</a> bagaimana peralihan dari metode klasik ke <em>student-centered learning</em> yang kurang tepat dapat berdampak buruk.</p>
<p>Kajian dari lembaga riset C. D. Howe Institute di Kanada menemukan bahwa seiring penerapan kebijakan pembelajaran yang berpusat pada siswa – pendekatan yang kian populer di Amerika Utara – capaian murid-murid Kanada pada mata pelajaran matematika <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">turun signifikan antara tahun 2003-2012</a>.</p>
<p>Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?</p>
<h2>Kurang ideal untuk pembelajar pemula</h2>
<p>Pada dasarnya, pembelajaran berbasis projek – yang mendorong murid untuk memperdalam dan menyintesis informasi yang mereka dapatkan melalui projek individu atau kelompok – belum tentu efektif membantu murid menguasai konsep baru, ketimbang jika melalui pengarahan guru.</p>
<p>Alasan utamanaya adalah karena pembelajar pemula – umumnya belum memiliki pengetahuan spesifik atas suatu topik, seperti murid SD dan SMP – punya keterampilan pengaturan diri (<em>self-regulation skills</em>), pengetahuan awal (<em>prior knowledge</em>), dan keterampilan bekerja dalam kelompok (<em>group working skills</em>) yang <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">masih terbatas</a>.</p>
<p>Padahal, mereka sangat butuh berbagai keterampilan ini untuk melancarkan proses pembelajaran berbasis projek. Model pembelajaran ini, misalnya, penuh dengan aktivitas mendiskusikan ide, mempertimbangkan alternatif berbeda atau berbagai sudut pandang yang sulit dilakukan pembelajar tingkat awal.</p>
<p>Belum lagi, <a href="https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty">tingginya kesenjangan ekonomi</a> yang terjadi di Indonesia semakin memperparah hal ini.</p>
<p>Berbagai riset menunjukkan bahwa status sosioekonomi orang tua memainkan peranan besar dalam proses pendidikan anak. Anak-anak dari kelompok <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042812040414">privilese ekonomi tinggi</a> akan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibanding teman sebayanya dari kelompok ekonomi berbeda. Sebab, mereka lebih memiliki <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781351018142-3/cultural-reproduction-social-reproduction-pierre-bourdieu">akses</a> ke modal struktural seperti sekolah unggulan, hingga modal kultural dan intelektual seperti akses ke bahan bacaan dan museum.</p>
<p>Kondisi guru pun juga sangat menentukan kesuksesan penerapan model pembelajaran berbasis projek di kelas.</p>
<p>Dengan <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/11/23/nasib-guru-honerer-mereka-bertahan-meski-diupah-murah">himpitan ekonomi</a> yang menjerat para guru di Indonesia, bukan hal yang mengejutkan jika kita mendapati <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/03/04/kualitas-sebagian-guru-masih-rendah-hasil-pendidikan-belum-merata">kompetensi guru</a> di Indonesia terbilang rendah. Riset menunjukkan bahwa ketika guru dibayar rendah, maka <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165176597000700">kualitas pendidikan yang mereka hasilkan cenderung lebih buruk</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, berdasarkan obrolan informal saya dengan guru swasta tingkat SMP di Kota Medan, sekolah bahkan hanya memberikan upah sebesar Rp 22.000 per jam pelajaran, atau dengan beban 24 jam pelajaran, maka upah bulanan yang diperoleh hanya Rp 528.000. Mereka kerap mencari pemasukan alternatif seperti menjadi <a href="https://suar.grid.id/read/201809275/kisah-guru-honorer-yang-nyambi-jadi-ojek-online-untuk-menyambung-hidup-sempat-digaji-rp-50-ribu-per-bulan-di-sekolah?page=all">pengemudi ojol</a>, hingga <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/08/09/06000011/cerita-elivina-guru-bergaji-rp-200.000-berjualan-dan-memikul-kemiri-jalan?page=all">berjualan</a>, sehingga memecah konsentrasi.</p>
<p>Mengingat faktor-faktor di atas, termasuk tingkat usia murid yang belum siap menerapkan pembelajaran berbasis proyek, kesenjangan ekonomi para siswa, dan buruknya ekonomi guru yang berimbas pada kualitas mereka, penerapan pembelajaran berbasis projek harus kita pertanyakan kembali.</p>
<p>Laporan dari C. D. Howe Institute di atas menunjukkan bahwa para murid usia 15 tahun (mulai tingkat SMP) yang menjalani pembelajaran berorientasi murid di berbagai daerah di Kanada justru mengalami penurunan skor matematika – bahkan <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">hingga 26 poin</a> – selama sekitar 2003-2012 pada tes-tes global.</p>
<p>Asosiasi negatif ini secara statistik cukup signifikan, dan konsisten pada <a href="https://data.oecd.org/pisa/mathematics-performance-pisa.htm">banyak negara yang berpartisipasi</a>, bahkan negara-negara yang menjadi langganan top 15 tes PISA, termasuk Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru. Atas dasar tersebut, banyak negara <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/how-teachers-teach-and-students-learn_5jm29kpt0xxx-en">menguatkan pembelajaran yang berpusat pada guru</a> – setidaknya untuk usia SD dan SMP.</p>
<h2>Pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan</h2>
<p>Pembelajaran yang berpusat pada siswa, termasuk yang berbasis projek, memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, kita juga perlu memahami bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru sesungguhnya juga masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu justru lebih baik.</p>
<p>Menurut profesor kepemimpinan pendidikan dari Amerika Serikat (AS), Richard Arends, dalam bukunya “<a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/7117965"><em>Learning to Teach</em></a>” – teks yang kerap jadi bacaan wajib mahasiswa S1 di jurusan pendidikan – tidak ada model pembelajaran yang mutlak lebih baik dibandingkan yang lainnya.</p>
<p>Pembelajaran berbasis projek, yang tergolong sebagai model pembelajaran berpusat pada siswa, tentu saja punya <a href="https://www.opencolleges.edu.au/informed/features/project-based-learning-a-real-world-solution/">kelebihan</a>.</p>
<p>Kelebihan utamanya adalah penerapan masalah yang bersifat dunia nyata, terciptanya kolaborasi dan kerja sama, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Akan tetapi, model ini pun memiliki <a href="https://atutor.ca/pros-and-cons-of-project-based-learning/">kekurangan</a>, seperti pengelolaan waktu dan sumber daya yang kompleks sehingga menjadi tantangan bagi siswa dan guru hingga sulitnya proses evaluasi.</p>
<p>Sebaliknya, model pembelajaran yang berpusat pada guru memang memiliki beberapa kekurangan, seperti keterlibatan siswa yang terkadang terbatas dan kurangnya otonomi siswa.</p>
<p>Namun, di sisi lain, ia punya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/7117965-learning-to-teach">kelebihan</a>, utamanya pengendalian guru terhadap seluruh proses pengajaran yang ideal untuk konteks pembelajar di jenjang-jenjang awal. Guru pemula pun dapat menerapkan model ini dengan cukup mudah dan efisien waktu.</p>
<p>Oleh karena itu, pemilihannya tergantung pada jenjang dan kondisi peserta didik, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, hingga kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran. </p>
<h2>Solusi pendidikan Indonesia bukanlah perombakan total model pembelajaran</h2>
<p>Alih-alih sibuk mengotak-atik model pembelajaran di kelas secara total, menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda dulu penerapan pembelajaran berbasis projek hingga setidaknya jenjang SMA.</p>
<p>Namun, selain itu, ada juga beberapa rekomendasi agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat tercapai.</p>
<p>Yang utama, Indonesia wajib memperbaiki kesejahteraan para gurunya terlebih dahulu.</p>
<p>Negara-negara yang memiliki performa baik pada tes PISA memiliki satu kesamaan – guru di sana merupakan <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/29550728">profesi yang bergengsi dan dibayar mahal</a>. Hal ini berguna untuk menarik talenta-talenta terbaik bangsa untuk mau berkuliah di jurusan pendidikan, dan bersaing secara sehat untuk menjadi guru.</p>
<p>Jika upah guru bahkan <a href="https://www.merdeka.com/jatim/usul-gaji-guru-swasta-2023-naik-jadi-rp500-ribu-bupati-malang-ungkap-ini.html">tidak sampai Rp 600.000,-</a> per bulan, talenta mana yang mau berkecimpung di profesi ini?</p>
<p>Selain itu, pemerataan kesempatan pendidikan dan program pengentasan kemiskinan juga krusial. </p>
<p>Solusi negara tidak bisa hanya selesai pada membuat sekolah menjadi <a href="https://projectmultatuli.org/tumbal-sekolah-gratis-di-jawa-barat-memiskinkan-guru-menyusahkan-orangtua-merugikan-peserta-didik/">berbiaya rendah atau gratis</a>, tetapi juga perlu <a href="https://theconversation.com/berebut-bangku-pendidikan-kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri-206324">memeratakan kualitas sekolah publik</a> hingga memerhatikan keadaan murid ketika mereka berada di luar sekolah.</p>
<p>Faktanya, kemampuan belajar anak Indonesia yang rendah juga disebabkan keseharian mereka yang menghambat pembelajaran di sekolah, misalnya harus turut <a href="https://projectmultatuli.org/underprivileged-gen-z-kampung-kota-jakarta-putus-sekolah-jadi-pekerja-anak-dan-penanggung-hidup-keluarga/">membanting tulang membantu keluarga</a>. </p>
<p>Tentu, visi <em>student-centered learning</em> yang dibawa Kemdikbudristek berangkat dari niat baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun, niat yang tulus dan kebijakan yang efektif adalah dua hal yang berbeda.</p>
<p>Jangan sampai Indonesia bersikap latah – hanya karena melihat sesuatu yang tampak lebih canggih seperti <em>student-centered learning</em>, maka berbondong-bondong untuk meninggalkan apa saja yang dianggap usang, tanpa mempertimbangkan konteks lokal.</p>
<p>Mungkin, kita harus merenungkan ungkapan teoretikus pendidikan Brazil, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/104946">Paulo Freire</a>:</p>
<blockquote>
<p>Kita memiliki metode untuk mendekatkan konten, metode yang mampu membuat kita lebih dekat dengan siswa. Namun, beberapa metode tersebut justru dapat mendorong kita menjadi lebih jauh dari siswa.</p>
</blockquote><img src="https://counter.theconversation.com/content/205589/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Reza Aditia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembelajaran berbasis projek memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi lebih baik.Reza Aditia, Pengajar dan peneliti bidang pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera UtaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2063242023-06-02T13:34:58Z2023-06-02T13:34:58ZBerebut bangku pendidikan: kenapa sekolah swasta tak seharusnya menjadi jawaban dari masalah sekolah negeri<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/529756/original/file-20230602-27-rvxpbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bogor-indonesia-november-24th-2022-children-2231583851">(Benno Putro/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p><em>“Sekolah bukan saja soal ilmu. Orang tua harus cari sekolah yang bisa mendukung jejaring sosial anak-anak!”</em></p>
<p><em>“Untuk SD-SMP, masuk swasta aja supaya anak bisa dapat fondasi yang kuat!”</em></p>
<p><em>“Orang tua jangan lupa nabung, biaya sekolah anak semakin mahal!”</em></p>
<p>Seruan di atas serta <em>tips</em> tentang <a href="https://id.theasianparent.com/tips-merencanakan-biaya-pendidikan-anak">perencanaan keuangan</a> untuk sekolah anak marak muncul di masyarakat, apalagi menjelang tahun ajaran baru sekolah. </p>
<p>Fenomena seperti ini bisa dipahami karena sekolah memang bukan saja tempat belajar, tapi juga tempat di mana <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/reproduction-in-education-society-and-culture/book203162">kelas sosial direproduksi</a>. Sekolah bergengsi menjadi tempat bagi kelompok menengah ke atas untuk <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691156231/privilege">mengamankan posisi kelas sosialnya</a>, sekaligus membedakan posisi mereka dengan keluarga lain yang kondisi ekonominya lebih terbatas. </p>
<p>Akibatnya, pilihan orang tua untuk mengirimkan anaknya ke sekolah swasta bergengsi seakan mengandung unsur moral.</p>
<p>Orang tua, misalnya, mengambil pilihan tersebut untuk memberikan kesempatan yang terbaik untuk anaknya.</p>
<p>Meskipun tidak selalu memiliki kualitas luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah publik, <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2022/10/11/115136771/serba-serbi-perbedaan-sekolah-swasta-dan-negeri?page=all">umumnya sekolah swasta bergengsi</a> punya fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung potensi anak, serta perbandingan jumlah siswa dan guru yang lebih sedikit sehingga pembelajaran bisa lebih efektif.</p>
<p>Selain itu, pilihan orang tua untuk mengirimkan anak ke sekolah swasta bisa jadi juga dilakukan dengan dalih memberikan kesempatan bagi keluarga lain, khususnya dari kelas <a href="https://republika.co.id/berita/qdcnj4291/pengamat-sekolah-negeri-seharusnya-untuk-orang-miskin">menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan di sekolah publik</a> yang lebih terjangkau dibandingkan sekolah swasta bergengsi. Alasan ini bisa dimengerti karena jumlah sekolah negeri memang relatif terbatas, <a href="https://metro.tempo.co/read/1359431/kpai-jumlah-sekolah-negeri-di-dki-jomplang-harus-ditambah">bahkan di kota besar</a>. </p>
<p>Artinya, fenomena mengirimkan anak ke sekolah swasta cenderung menggambarkan <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674063860">pendidikan sebagai barang privat</a>.</p>
<p>Dalam perspektif ini, pendidikan semata-mata adalah investasi keluarga untuk masa depan anaknya. Di sini, mekanisme pasar bekerja – makin sejahtera keluarga, makin besar kemungkinan anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Terbatasnya dan kurang meratanya sekolah yang berkualitas mengharuskan orang tua, bahkan dari sesama kelas menengah ke atas, untuk berkompetisi agar bisa berinvestasi di tempat yang tepat.</p>
<p>Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan bagaimana fenomena ini bertentangan dengan filosofi <a href="https://theconversation.com/education-is-a-public-good-not-a-private-commodity-31408">pendidikan sebagai barang publik</a>, serta komitmen negara untuk mendorong masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Pendidikan berkualitas perlu kita posisikan sebagai hak yang perlu didorong dan dibiayai sama-sama oleh publik melalui pajak, bukan sekadar tanggung jawab keluarga yang memiliki anak.</p>
<h2>Mengapa pemilihan sekolah itu bias</h2>
<p>Pemilihan sekolah (<em>school choice</em>), kerap dianggap seolah sebagai fenomena yang netral. Meskipun <em>school choice</em> terlihat “membebaskan” di mana keluarga bisa menyekolahkan anaknya, perlu diingat bahwa <a href="https://doi.org/10.1080/0965975940020102">kebebasan ini tidak terdistribusi secara merata</a> ke seluruh keluarga dari kelas ekonomi berbeda. </p>
<p>Untuk bisa benar-benar bebas dalam memilih sekolah anak, orang tua tidak hanya butuh sumber daya finansial, melainkan juga sumber daya kultural.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat <em>school choice</em> cenderung tidak adil.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/yogyakartaindonesia-march-13-2023-during-school-2274138329">(Dheni P Hadi/Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sumber daya finansial membuat orang tua mampu mencukupi kebutuhan anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang baik, misalnya mengirimkan anak ke les tambahan dan bersekolah di institusi bergengsi. Sementara, sumber daya kultural seperti pengetahuan tentang sekolah bergengsi dan sistem seleksi masuk sekolah yang kompleks, meningkatkan kemampuan orang tua untuk ikut berkompetisi mendapatkan sekolah bergengsi untuk anaknya. </p>
<p>Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0305498970230108"><em>school choice</em> cenderung tidak adil</a>.</p>
<p>Di Inggris, misalnya, <a href="https://repec-cepeo.ucl.ac.uk/cepeob/cepeobn3.pdf">studi</a> menunjukkan bahwa anak-anak miskin yang mampu secara akademik pun tetap tidak memilih untuk belajar di sekolah yang lebih bergengsi. Ini bisa karena keterbatasan sumber daya, tapi bisa juga karena <a href="https://doi.org/10.1080/0954896042000267161">perasaan kurang berhak</a> untuk bergabung dengan institusi bergengsi yang didominasi anak-anak dari ekonomi mampu – <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674976894">bahkan jika mereka mendapat bantuan</a>, termasuk bantuan dana.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/pentingnya-menghapus-bias-kelas-dalam-penerimaan-murid-baru-dengan-sistem-zonasi-142151">Kebijakan masuk sekolah tanpa seleksi akademik</a> – seperti dalam sistem zonasi – bisa menekan faktor keluarga dalam pemilihan sekolah anak. Ini kemudian bisa mengurangi peran sekolah sebagai tempat reproduksi kelas sosial.</p>
<p>Sayangnya, di Indonesia, hingga enam tahun implementasinya, kebijakan tersebut lebih fokus meratakan sisi permintaan (murid yang masuk), ketimbang sisi suplai pendidikan (pemerataan kualitas sekolah). Tak heran jika masih banyak pihak yang <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/12/30/masalah-penerimaan-peserta-didik-baru-tak-kunjung-selesai">menanyakan efektivitas kebijakan zonasi</a>.</p>
<h2>Juga merugikan kelompok menengah</h2>
<p>Meskipun terlihat menguntungkan kelas menengah, memposisikan pendidikan sebagai barang privat bisa juga merugikan mereka.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, mengirimkan anak ke sekolah bergengsi <a href="https://id.theasianparent.com/biaya-sd-swasta-di-jakarta">membutuhkan sumber daya finansial</a> yang tidak sedikit.</p>
<p>Keluarga kelas menengah tidak lagi bisa berharap pada <em>single income</em> (satu sumber pendapatan saja) untuk memastikan anak-anak mereka bisa belajar di sekolah berkualitas. Kedua orang tua bekerja bukan lagi jadi pilihan, namun menjadi keharusan di tengah tuntutan kebutuhan sekolah anak.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, tidak seimbangnya jumlah sekolah berkualitas dengan kebutuhan yang ada membuat kompetisi untuk mendapatkan sekolah, yang sebenarnya adalah hak, menjadi semakin sengit dan kompleks.</p>
<p>Tidak jarang, misalnya, orang tua harus mendaftarkan anaknya jauh hari sebelum tahun ajaran baru dimulai. Tentu kondisi ini menguras waktu dan emosi orang tua, <a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">khususnya ibu</a>, yang biasanya mengemban tuntutan yang berat sebelah untuk menjalankan tugas-tugas pendampingan sekolah anak.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, anak-anak kelas menengah juga berpotensi kehilangan manfaat dari pertemanan lintas kelas ekonomi.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.researchgate.net/publication/330092055_Ketimpangan_Mutu_dan_Akses_Pendidikan_di_Indonesia_Potret_Berdasarkan_Survei_PISA_2015">studi</a> menunjukkan bahwa sekolah cenderung memunculkan segregasi siswa dari kelas ekonomi berbeda. Artinya, anak-anak dari ekonomi mampu belajar di tempat berbeda dengan anak-anak dari ekonomi kurang mampu.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.economist.com/graphic-detail/2022/08/11/friendship-across-class-lines-may-boost-social-mobility-and-decrease-poverty">riset</a> di AS menunjukkan bahwa anak-anak dari ekonomi menengah ke bawah mendapatkan manfaat sosial dari pertemanan dengan anak-anak yang secara ekonomi lebih baik dari mereka. Lingkungan sosial yang seperti itu memberikan kesempatan kepada anak-anak miskin untuk memperoleh pengetahuan kultural serta keterampilan demi mendorong mobilitas sosial. </p>
<p>Sebaliknya, belajar di sekolah bergengsi bisa menumbuhkan <a href="https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2021/04/private-schools-are-indefensible/618078/">perasaan lebih berhak</a> dibandingkan kelompok lain. Homogenitas, terutama secara kelas ekonomi, rentan membuat anak menjadi kurang empatik dengan kondisi sekitar, sekaligus percaya dengan <a href="https://theconversation.com/inequality-is-getting-worse-but-fewer-people-than-ever-are-aware-of-it-76642">mitos-mitos meritokrasi</a> – bahwa kesuksesan seolah buah dari bakat dan kerja keras semata.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1664188527851233280"}"></div></p>
<p>Baru-baru ini, misalnya, <a href="https://www.theguardian.com/education/2023/apr/08/going-to-private-school-makes-you-twice-as-likely-to-vote-tory-study-finds">riset</a> di Inggris menunjukkan bahwa alumni sekolah swasta merupakan penyumbang suara untuk partai konservatif yang cenderung menentang kebijakan pemerataan untuk kelompok rentan.</p>
<h2>Menghidupkan kembali sekolah publik</h2>
<p>Pada akhirnya, memposisikan pendidikan sebagai barang privat mengancam keberlangsungan sekolah publik. Terbatasnya kualitas sekolah publik, apalagi jika dibandingkan dengan swasta bergengsi, membuat orang tua kelas menengah tidak lagi tertarik dengan sekolah publik.</p>
<p>Jika kelas menengah angkat kaki dari sekolah publik, ini tak hanya membuat fasilitas publik kehilangan aset kultural yang dimiliki kelas menengah, melainkan juga dukungan masyarakat untuk perbaikan dan perluasan fasilitas publik.</p>
<p>Padahal, ada banyak model bagaimana keluarga lintas kelompok ekonomi bisa bahu membahu mewujudkan inklusivitas jika berada di sekolah yang sama.</p>
<p>Studi di AS menunjukkan kehadiran orang tua kelas menengah di sekolah publik berpotensi <a href="http://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">mendorong keadilan</a> untuk semua siswa. Posisi ekonomi dan sosial mereka yang kuat bisa mendorong advokasi kebijakan sekolah, termasuk untuk anak-anak lain yang orang tuanya punya keterbatasan pengalaman pendidikan. Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta melalui <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">paguyuban orang tua</a> murid di berbagai sekolah.</p>
<p>Tapi, ini juga merupakan tuntutan mendesak bagi negara untuk segera memperluas akses dan kualitas sekolah publik di Indonesia. Tanpanya, pendidikan akan selamanya menjadi “<em>zero-sum game</em>” – di tengah bangku sekolah publik berkualitas yang terbatas, orang tua kaya dan miskin akan dipaksa berebut akses.</p>
<p>Semua orang tua pasti ingin pendidikan terbaik untuk anaknya. Ketika pendidikan masih terbatas dan tidak merata, pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak ke sekolah bergengsi bisa dipahami. Apalagi jika <a href="https://www.theatlantic.com/education/archive/2016/08/a-public-school-paradox/495227/">pemangku kepentingan</a> pun belum tentu percaya pada kualitas pendidikan sekolah publik yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.</p>
<p>Jika yang punya sumber daya bisa lari dari sekolah publik, ke mana anak-anak kurang mampu bisa melarikan diri?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206324/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Fenomena mengirimkan anak ke sekolah swasta cenderung menggambarkan pendidikan seolah sebagai barang privat. Mengapa ini keliru?Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035282023-05-25T09:34:55Z2023-05-25T09:34:55ZBagaimana aksi kolektif orang tua bisa dorong sekolah menghasilkan kebijakan berkualitas untuk semua siswa: belajar dari Yogyakarta<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/528209/original/file-20230525-23-dtwlb9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Di tengah capaian pendidikan Indonesia yang stagnan – <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">bahkan menurun</a> – selama setidaknya dua dekade terakhir, orang tua pun kini dituntut untuk turut membantu sekolah dan pemerintah mendongkrak pembelajaran siswa. Sayangnya, mereka belum dilibatkan secara bermakna dan diberikan ruang untuk menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pendidikan, baik di level nasional, lokal, maupun sekolah.</p>
<p>Salah satu contoh belum lama ini, misalnya, adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230301180755-20-919509/protes-orang-tua-murid-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt">pengabaian protes orangtua</a> dalam perumusan dan pelaksanaan <a href="https://theconversation.com/masuk-kelas-jam-5-pagi-kebijakan-yang-mengabaikan-riset-tentang-jam-tidur-layak-remaja-dan-jadwal-sekolah-yang-ideal-200847">kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi</a> di Nusa Tenggara Timur (NTT). </p>
<p>Sebelumnya, <a href="https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/537441468042883853/implementation-of-school-based-management-in-indonesia">survei Bank Dunia</a> pada 2012 menunjukkan orang tua – melalui komite sekolah – cenderung belum berpengaruh pada berbagai pengambilan keputusan di sekolah. Kami juga menemukan bahwa sekolah dan Dinas Pendidikan merasa lebih berkewajiban <a href="https://riseprogramme.org/publications/power-and-learning-district-heads-bureaucracy-and-education-policies-indonesias">menjalankan tuntutan kepala daerah</a> dibandingkan masukan orang tua.</p>
<p>Hal ini menggambarkan keterlibatan orang tua di Indonesia masih bersifat <em>tokenistic</em> (sekadar formalitas) dan parsial (belum dilibatkan sepenuhnya). </p>
<p>Menariknya, di tengah kondisi tersebut, <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">studi etnografi yang pernah kami lakukan</a> lewat program <em>Research on Improving Systems of Education (RISE)</em> menunjukkan secercah harapan dari Kota Yogyakarta. Pada tiga sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang kami amati – baik yang didominasi murid ekonomi rendah atau yang berperforma akademik tinggi – banyak orang tua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui wadah yang disebut Paguyuban Orang Tua (PO).</p>
<p>Lewat forum ini, orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.</p>
<h2>Potret partisipasi orang tua di Yogyakarta</h2>
<p>Dibandingkan daerah lain di Indonesia, Yogyakarta merupakan daerah yang unggul dalam pendidikan. Hasil asesmen pembelajaran dalam aspek seperti <a href="https://www.liputan6.com/regional/read/5225924/warga-yogyakarta-paling-rajin-membaca-apa-rahasianya">literasi</a>, maupun laporan internasional seperti <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/07/13524501/skor-pisa-melorot-disparitas-dan-mutu-guru-penyebab-utama?page=all">Programme for International Student Assessment (PISA)</a>, menunjukkan Yogyakarta memiliki hasil tertinggi di Indonesia.</p>
<p>Di sini, riset terbatas kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta cenderung terlibat secara kolektif untuk mendorong kebijakan sekolah. </p>
<p>Berbeda dengan keterlibatan individualistik yang cenderung memposisikan orang tua sebagai pengganti guru di rumah, keterlibatan orang tua secara kolektif <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ534901">berorientasi pada kepentingan semua anak</a> pada suatu sekolah, bukan hanya untuk anak-anak yang orang tuanya bisa dan bersedia terlibat. </p>
<p>Keterlibatan kolektif ini terwadahi melalui <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Paguyuban Orang Tua (PO) yang tumbuh secara organik</a> sejak tahun 2000-an. Berbeda dengan komite sekolah yang dibentuk secara formal pada tingkat sekolah dan <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S073805931730367X">pengambilan keputusannya cenderung dipengaruhi kepala sekolah</a>, PO merupakan perkumpulan orangtua atau wali siswa di tiap rombongan belajar (rombel/kelas). Akibatnya, mereka bisa lebih dekat bekerja sama dengan guru dan sekolah. </p>
<p>Melalui PO, orang tua mengorganisasi diri untuk memastikan semua siswa – bukan hanya anaknya – mendapatkan pembelajaran dan layanan pendidikan yang berkualitas. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pertemuan orang tua di salah satu sekolah dasar (SD) di Yogyakarta.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Misalnya, di beberapa SD negeri, kami menemukan PO dari anak-anak kelas atas (kelas 4-6) mendorong sekolah untuk memberikan jam pelajaran tambahan bagi siswa yang membutuhkan atau kesulitan. Tanpa wadah atau aksi kolektif semacam ini, alih-alih mendorong sekolah, orang tua biasanya dipaksa mengeluarkan sumber daya tambahan untuk <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">mengirimkan anaknya les privat</a> di tempat lain.</p>
<p>Selanjutnya, kami juga menemukan beberapa praktik orang tua yang terlibat secara aktif meninjau kualitas guru. Selain ikut berkontribusi memberikan masukan terkait performa guru, misalnya, kami mendapati perwakilan PO yang mengkritisi proses rekrutmen guru baru agar tidak dilakukan secara asal-asalan serta bisa menjaring guru yang kompeten dan kreatif.</p>
<p>Eksperimen yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2016-2018 melalui program <a href="https://www.worldbank.org/in/results/2023/01/10/improving-learning-outcomes-through-social-accountability-and-performance-based-teacher-allowance-payment-in-indonesia">KIAT Guru</a> menunjukkan ketika masyarakat terlibat memonitor kinerja guru, hasil belajar siswa bisa cenderung meningkat secara signifikan.</p>
<p>Di luar kegiatan intrakurikuler, orang tua yang kami temui juga aktif terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler.</p>
<p>Misalnya, bersama dengan guru dan sekolah, PO terlibat untuk merancang kegiatan karyawisata yang mendukung proses pembelajaran. Untuk memastikan semua anak bisa terlibat, PO mengusulkan pembiayaan karyawisata dilakukan melalui mekanisme subsidi silang dengan para orang tua lainnya.</p>
<h2>Memupuk peran kolektif</h2>
<p>Mengapa keterlibatan kolektif muncul di Yogyakarta?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, riset kami menemukan adanya hubungan sosial yang erat dan bersumber dari filsafat Jawa bernama “<em><a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/6501/23-Susatyo%20Yuwono.pdf?sequence=1">handarbeni</a></em>” (rasa memiliki di antara masyarakat).</p>
<p>Budaya kolektivis seperti ini akhirnya menghasilkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1219794.pdf">membuat anak orang lain berhasil seperti anak sendiri</a> – termasuk pada kelompok sosial dan ekonomi rendah. </p>
<p>Untuk meningkatkan minat baca, misalnya, PO memfasilitasi pojok baca di masing-masing kelas. Pada kegiatan ini, anak secara bergantian membawa buku dari rumah agar bisa dibaca bersama teman-temannya.</p>
<p>Orang tua juga tidak enggan berbagi informasi terkait penyediaan buku bacaan tambahan. Menjelang ujian, orangtua biasanya mendaftarkan anak-anak pada lomba atau <em>try-out</em> bersama, dan menggandakan soal-soal latihan untuk dibagikan dengan orang tua lainnya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, keterlibatan kolektif orang tua terjadi karena adanya dukungan pemerintah daerah, berlandaskan moto “<em>Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta</em>” (Segoro Amarto).</p>
<p>Misalnya, <a href="https://jogja.antaranews.com/berita/353472/anggaran-jbm-langsung-masuk-ke-stimulan-rw">Pemda mengalokasikan sejumlah dana</a> untuk melaksanakan program <a href="https://wirobrajankel.jogjakota.go.id/detail/index/21711">Jam Belajar Masyarakat</a>, kerja sama dengan organisasi masyarakat lain, serta kolaborasi pendidikan antarorganisasi – termasuk dengan perpustakaan daerah dan universitas.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, studi kami juga menemukan orang tua di Yogyakarta cenderung memiliki relasi kuasa yang setara dengan pihak sekolah.</p>
<p>Di Kota Yogakarta, adanya jumlah <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/519991580138621024/pdf/Aspiring-Indonesia-Expanding-the-Middle-Class.pdf">kelompok kelas menengah yang cukup besar</a> – meski diiringi kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi pula – membuat para orang tua di sana relatif punya <a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520271425/unequal-childhoods">sumber daya dan kemampuan komunikasi</a> ke sekolah yang lebih baik ketimbang orang tua ekonomi bawah. Kekuatan dan kepentingan bersama ini kemudian membuat mereka bisa mendorong <a href="https://www.jstor.org/stable/43590714">kebijakan pendidikan yang fokus pada kualitas</a>, demi semakin bisa mendukung mobilitas sosial semua anak.</p>
<p>Akibat ketiga faktor di atas pula, temuan kami menunjukkan bahwa jaringan sosial masyarakat di Kota Yogyakarta menjadi tidak terlalu hierarkis. Masyarakat biasa dapat menyuarakan aspirasi dan terlibat secara aktif dalam implementasi kebijakan pendidikan. </p>
<h2>Perlunya partisipasi yang setara dan bermakna</h2>
<p>Meski Yogyakarta menawarkan kisah baik, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.</p>
<p>Seperti yang sudah pernah kami <a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">tulis sebelumnya</a>, partisipasi orang tua masih didominasi oleh ibu. Di antara seluruh kegiatan pertemuan orangtua yang kami amati di Yogyakarta, keterlibatan laki-laki cenderung sangat terbatas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">Mengapa tuntutan bagi orang tua untuk mendampingi anak belajar justru berpotensi mendiskriminasi rumah tangga miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, tugas-tugas advokasi yang kami temukan di Yogyakarta juga masih didominasi orang tua kelas menengah. Dalam banyak kasus, misalnya, bukan tidak mungkin <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">kepentingan kelas menengah berbeda dengan kelas ekonomi bawah</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, pemerintah maupun sekolah perlu memastikan bahwa hal-hal yang diadvokasikan oleh orang tua kelas menengah masih sejalan dengan tujuan pemerintah meningkatkan kualitas dan kesetaraan. </p>
<p>Lepas dari keterbatasan yang ada, keterlibatan orang tua secara kolektif di Yogyakarta berpotensi menjaga kualitas pendidikan.</p>
<p>Sayangnya, apa yang kami temukan di Yogyakarta belum ditemukan di daerah lain. Penelitian lain kami dengan program <a href="https://rise.smeru.or.id/">RISE</a> di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan Kab. Bogor, Jawa Barat menunjukkan model partisipasi orang tua yang berbeda.</p>
<p>Faktor-faktor khas yang mendorong aksi kolektif di Yogyakarta cenderung absen di daerah-daerah tersebut. Apalagi, sekolah di sana juga sering kali hanya melibatkan orang tua demi kepentingan sekolah – misalnya untuk mendukung fasilitas belajar di rumah atau membantu perayaan di sekolah.</p>
<p>Padahal <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1747938X15000032?via%3Dihub">metaanalisis dari berbagai hasil riset</a> menunjukkan keterlibatan semacam itu tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Selain itu, pelibatan orang tua biasanya juga hanya berorientasi pada pergesaran tanggung jawab dari sekolah ke rumah tangga.</p>
<p><a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)</a> tahun 2003 sebenarnya mengatur hak orang tua dalam pendidikan di manapun mereka berada: masyarakat berhak berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan secara perorangan atau kelompok.</p>
<p>Sayangnya, UU ini belum mengatur dorongan bagi pemerintah daerah untuk menjaring aspirasi, dan membagi ruang kepada publik untuk terlibat secara setara dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan baik di tingkat sekolah maupun daerah. Semoga, hal ini dapat diakomodasi dalam Rancangan UU Sisdiknas yang baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203528/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Temuan kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteSenza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2001822023-04-11T08:35:01Z2023-04-11T08:35:01ZRUU Sisdiknas: peluang besar untuk benahi kualitas pendidikan – kita perlu perjuangkan terus sambil membuka lebar diskusi publik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/520193/original/file-20230411-18-kzp4i8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teacher-1435641053">(Shutterstock/Arief Akbar)</a></span></figcaption></figure><p>Pemerintah saat ini sedang merumuskan <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">rancangan</a> untuk memperbarui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43920/uu-no-20-tahun-2003">(UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003</a>.</p>
<p>Selama dua dekade terakhir, UU ini menjadi payung hukum yang mendasari semua kebijakan dan kegiatan pendidikan bagi warga negara Indonesia. Di antaranya adalah pengaturan karir dan kompetensi guru hingga jalur dan jenis institusi pendidikan.</p>
<p>Sayangnya, di bawah payung UU Sisdiknas 2003 ini, mutu pendidikan kita – khususnya hasil belajar murid – berdasarkan ukuran nasional maupun global relatif stagnan alias tidak menunjukkan perbaikan. Bahkan, dalam beberapa indikator, performa murid Indonesia merosot.</p>
<p>Meski <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">alokasi anggaran negara untuk pendidikan</a> meningkat dan berlipat ganda hingga mencapai 20% per tahun – terutama <a href="https://theconversation.com/guru-makin-sejahtera-di-era-desentralisasi-tapi-tidak-berdampak-pada-kualitas-pendidikan-86000">untuk guru</a> – <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0738059321000894">penelitian kami</a> untuk program <a href="https://rise.smeru.or.id/id/tentang-kami"><em>Research on Improving Systems of Education (RISE)</em></a> menemukan capaian numerasi pelajar Indonesia justru relatif memburuk sejak 2000.</p>
<p>Sejak 2013, hasil tes internasional <a href="https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf"><em>Programme for International Student Assessment (PISA)</em></a> juga selalu menempatkan kemampuan membaca, berhitung, dan sains pelajar Indonesia pada peringkat bawah dari hampir 80 negara peserta – bahkan <a href="https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/3341/kemendikbudristek-harap-skor-pisa-indonesia-segera-membaik.html#:%7E:text=%22Hasil%20survei%20PISA%202018%20menempatkan,di%20posisi%2071%2C%22%20pungkasnya.">keenam dari bawah</a> untuk hasil terbaru pada 2018.</p>
<p>Tak hanya siswa, <a href="http://10609215.siap-sekolah.com/2016/01/06/inilah-hasil-uji-kompetensi-guru-ukg-tahun-2015/#.Y66pZHZBzIU">Uji Kompetensi Guru (UKG)</a> yang digelar pemerintah pada 2015 menunjukkan rerata nilai nasional guru sebesar 53,02 – masih di bawah standar minimum yakni 55.</p>
<p>Program RISE Indonesia memetakan Indonesia mengidap beberapa masalah krusial dalam sektor pendidikan, termasuk: (1) penyelarasan <a href="https://rise.smeru.or.id/id/publikasi/systemic-constraints-facing-teacher-professional-development-middle-income-country">pendidikan dan pelatihan guru</a>, (2) sistem <a href="https://rise.smeru.or.id/id/blog/dukungan-pengembangan-karier-bagi-guru-di-indonesia-sangat-lemah-dan-membuat-status-asn-hanya">evaluasi dan karir guru</a>, dan (3) <a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-indonesia-kekurangan-kebijakan-pendidikan-di-daerah-yang-efektif-114937">kewenangan dan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah</a>.</p>
<p>Catatan di atas menjadi indikasi bagaimana kerangka kebijakan pendidikan yang ditawarkan UU Sisdiknas 2003 beserta berbagai aturan turunannya belum mampu mendongkrak hasil belajar murid-murid Indonesia.</p>
<p>Menurut argumen sebagian peneliti, ini salah satunya karena UU Sisdiknas 2003 masih memuat beragam peraturan yang <a href="https://theconversation.com/membedah-tiga-tujuan-utama-ruu-sisdiknas-payung-hukum-baru-yang-akan-merombak-sistem-pendidikan-indonesia-190538">tumpang tindih</a> dengan UU lainnya – seperti UU Guru dan Dosen tahun 2012 – serta memuat pasal-pasal yang <a href="https://theconversation.com/membedah-tiga-tujuan-utama-ruu-sisdiknas-payung-hukum-baru-yang-akan-merombak-sistem-pendidikan-indonesia-190538">terlalu rinci sehingga menjadi kaku</a> ketika ada upaya perubahan. </p>
<p>Menurut mereka, misalnya, hal ini sering membuat upaya transformasi dan inovasi seperti kebijakan-kebijakan <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id">Merdeka Belajar</a> – dari Sekolah Penggerak hingga Kurikulum Merdeka – kerap tersendat kompleksitas hukum pendidikan dan bisa berjalan kurang optimal dalam menunjang capaian murid.</p>
<p>Inilah mengapa menurut kami, RUU Sisdiknas sebenarnya berpotensi menjadi peluang penting bagi Indonesia untuk memecah kebuntuan capaian pendidikannya. Mengingat potensinya yang besar dan luas, perumusannya perlu terus diperjuangkan dengan melibatkan publik dan seluruh pemangku kepentingan baik yang pro maupun kontra.</p>
<h2>Peluang segar memecah kebuntuan</h2>
<p>Salah satu upaya penting yang ingin dilakukan dalam RUU Sisdiknas baru adalah penyelarasan peraturan pendidikan yang ada saat ini.</p>
<p>RUU Sisdiknas yang baru rencananya tak hanya memperbarui UU Sisdiknas 2003, tapi juga akan mengintegrasikan dua UU penting lain dalam pendidikan Indonesia, yakni <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005">UU Guru dan Dosen tahun 2005</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39063/uu-no-12-tahun-2012">UU Pendidikan Tinggi tahun 2012</a>. Ini demi menghilangkan tumpang tindih peraturan yang ada – misalnya standar nasional pendidikan yang <a href="https://theconversation.com/membedah-tiga-tujuan-utama-ruu-sisdiknas-payung-hukum-baru-yang-akan-merombak-sistem-pendidikan-indonesia-190538">kurang sinkron</a> antara UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi.</p>
<p>Selain itu, dalam draf terbarunya, misalnya, <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">RUU Sisdiknas</a> menawarkan <a href="https://theconversation.com/membedah-tiga-tujuan-utama-ruu-sisdiknas-payung-hukum-baru-yang-akan-merombak-sistem-pendidikan-indonesia-190538">beberapa perubahan penting lain</a>. Di antaranya adalah:</p>
<ul>
<li>penyelerasan standar dan nomenklatur satuan pendidikan sehingga mempermudah murid berpindah jalur dan jenis pendidikan (misalnya antara pesantren formal dengan satuan lain),</li>
<li>penyederhanaan aturan administratif terkait pendidik dan tenaga kependidikan demi berfokus pada kompetensi guru sekaligus pengakuan kategori pengajar seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang sebelumnya tak dianggap guru, hingga</li>
<li>perluasan program wajib belajar menjadi 13 tahun dengan menambahkan prasekolah (setara Taman Kanak-Kanak Nol Besar atau TK-B) sebagai jenjang penting yang menguatkan fondasi perkembangan akademik anak.</li>
</ul>
<p>Tentu, sebagai sebuah rancangan, wujud dan substansi RUU Sisdiknas saat ini belum final dan akan terus mengalami penggodokan.</p>
<p>Namun, berbagai perombakan besar ini harapannya pada akhirnya mampu mewujudkan payung hukum pendidikan yang lebih selaras, sederhana, dan terintegrasi, namun fleksibel dan terbuka terhadap inovasi-inovasi kebijakan baru untuk mendongkrak capaian belajar.</p>
<h2>Seruan partisipasi publik</h2>
<p>Meski mendapatkan sejumlah dukungan, RUU Sisdiknas juga menuai kritik dari berbagai pihak.</p>
<p><a href="https://nasional.tempo.co/read/1628061/4-polemik-ruu-sisdiknas-minim-pelibatan-publik">Beberapa isu</a> yang sempat muncul, misalnya, termasuk terbatasnya pelibatan publik, terhapusnya pasal terkait tunjangan profesi guru, kekhawatiran terkait pelemahan keberadaan madrasah, dan penghapusan pasal-pasal penting dalam tiga UU tentang pendidikan sebelumnya.</p>
<p>Namun demikian, kami berpendapat bahwa alih-alih menghentikan RUU Sisdiknas karena kekurangannya selama proses perumusan, RUU ini punya urgensi tinggi terkait situasi darurat pendidikan di Indonesia. Ia perlu terus direvisi, diperkuat, dan disempurnakan dengan mengakomodasi pertimbangan berbagai pihak agar memperoleh rumusan yang terbaik.</p>
<p>Masih ada kesempatan luas bagi segenap pemangku kepentingan untuk berpartisipasi mematangkan rancangannya melalui dialog berbasis argumen rasional dan bukti empiris.</p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/212810/uu-no-13-tahun-2022">UU Nomor 13 Tahun 2022</a> tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mewajibkan pengusul RUU – dalam hal ini Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) – membuka ruang masukan sebagai bentuk pelibatan publik dalam menyusun UU. </p>
<p>Berbagai pihak seperti <a href="https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K10-14-7ee21a8836b8ffdc6ef99594751c1e9c.pdf">Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI)</a>, hingga <a href="https://www.viva.co.id/edukasi/1524577-forum-rektor-ruu-sisdiknas-harus-komprehensif">Forum Rektor Perguruan Tinggi Negeri</a> pun turut menyerukan pentingnya Kemdikbudristek membuka diri seluas-luasnya atas masukan publik terhadap RUU Sisdiknas. </p>
<p>Bahkan, hingga saat ini sudah ada pihak-pihak yang aktif mengajak publik berdiskusi terkait bahasan-bahasan penting yang ada dalam RUU Sisdiknas.</p>
<p>Kanal YouTube bertajuk <a href="https://www.google.com/search?q=tanya+pak+doni+saja&rlz=1C1ONGR_enID1027ID1027&oq=tanya+pak+doni+saja&aqs=chrome..69i57j33i160.7602j0j15&sourceid=chrome&ie=UTF-8">“Tanya Pak Doni Saja”</a>, misalnya, rutin menyampaikan pandangan kritis atas berbagai isu RUU Sisdiknas. Kemdikbudristek harus merespons dengan baik – jangan sampai pembahasan kritis semacam ini dianggap sebagai angin lalu.</p>
<p>Kami juga berpendapat bahwa Kemdikbusristek perlu membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk secara kontinyu membuka pintu partisipasi, saran, dan kritik mengenai RUU Sisdiknas. </p>
<p>Pada awal tahun ini, RUU Sisdiknas ditolak untuk masuk ke dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. </p>
<p>Terlepas apakah akan masuk ke Prolegnas Prioritas tahun 2024 ataupun tidak, Kemdikbudristek harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka serius dalam menggodok RUU penting ini dengan melibatkan publik dan pemangku kepentingan dalam penyusunannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200182/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>RUU Sisdiknas bisa jadi peluang penting membenahi capaian pendidikan Indonesia. Karena dampaknya yang luas, RUU ini perlu terus diperjuangkan dengan melibatkan publik dan pemangku kepentingan.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLuhur Bima, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035042023-04-10T07:42:39Z2023-04-10T07:42:39Z‘Saya memilih jalan lebih jauh’: banyak perempuan muda pertama kali alami pelecehan di jalan saat memakai seragam<p>Apakah kamu ingat saat pertama kali mengalami pelecehan di ruang publik? Apa yang muncul di benak kamu? Apakah kamu ingat saat itu umur berapa, atau kamu sedang apa? Bisa jadi juga, kamu belum pernah mengalami ini. </p>
<p>Di negara seperti Australia, tempat kami mengajar, <a href="https://australiainstitute.org.au/report/everyday-sexism/">sebanyak 87% perempuan muda</a> sudah pernah mengalami pelecehan di tempat umum.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.streetharassmentjustice.com">riset terbaru kami</a> terkait pelecehan di jalanan, kami berbicara dengan 47 perempuan dewasa dan individu LGBTQ+ tentang ingatan paling awal mereka ketika merasa menjadi objek seksual, tidak nyaman, atau tidak aman di jalan. Banyak partisipan mengatakan mereka pertama kali mengalami pelecehan di jalan ketika sedang memakai seragam. Kami mendengar variasi frase seperti “kejadiannya ketika saya memakai seragam sekolah” berulang kali dari para responden.</p>
<p>Bagi banyak orang, <a href="https://theconversation.com/whistling-and-staring-at-women-in-the-street-is-harassment-and-its-got-to-stop-38721">pelecehan di jalan</a> mulai terjadi atau menjadi lebih sering ketika memakai seragam saat tingkat pendidikan menengah atas. Tapi, beberapa partisipan merefleksikan pengalaman ketika mereka bahkan lebih muda lagi, ketika memakai seragam pada jenjang sekolah dasar.</p>
<p>Berbagai studi dari Inggris telah menunjukkan bahwa <a href="https://plan-uk.org/street-harassment/its-not-ok">35% anak perempuan</a> yang memakai seragam sekolah pernah dilecehkan secara seksual di ruang publik. Sayangnya, meski sekolah punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari anak muda, dan meski mereka banyak mengalami insiden di jalanan, saat ini masih minim perhatian terhadap pelecehan yang dialami remaja dan anak muda saat memakai seragam.</p>
<p>Temuan dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09540253.2023.2193206">riset baru kami</a> menunjukkan bahwa pelecehan yang terkait dengan pengalaman sekolah adalah isu serius yang selama ini jarang dibahas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/urgensi-memberantas-kekerasan-seksual-di-sekolah-salah-satu-dosa-besar-dunia-pendidikan-181202">Urgensi memberantas kekerasan seksual di sekolah -- salah satu dosa besar dunia pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Di luar gerbang sekolah</h2>
<p>Kita tahu bahwa anak muda mengalami pelecehan <a href="https://researchdirect.westernsydney.edu.au/islandora/object/uws:55181/">seksual</a>, <a href="https://www.glsen.org/sites/default/files/2019-10/GLSEN%202015%20National%20School%20Climate%20Survey%20%28NSCS%29%20-%20Executive%20Summary.pdf">homofobik, maupun transfobik</a> dari rekan sejawat mereka dan bahkan guru ketika di sekolah.</p>
<p>Tapi, para partisipan juga memberi tahu kami terkait pelecehan yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Pelakunya adalah orang asing (biasanya laki-laki dewasa, atau sekelompok laki-laki dewasa), ketika mereka mengenakan seragam dan, oleh karena itu, dengan jelas dikenali sebagai anak sekolahan.</p>
<p>Ini bentuknya beragam, dari <em>catcalling</em> (melontarkan komentar seksual ketika berpapasan), memelototi, bersiul, membuntuti dengan kendaraan, masturbasi di tempat umum atau menggesekkan kemaluan pada korban atau penyintas (biasanya ketika berangkat ke sekolah memakai transportasi umum), hingga serangan seksual dan pemerkosaan.</p>
<p>Salah satu responden tingkat pendidikan menengah atas mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>berjalan dari sekolah ke rumah […] itulah saat paling sering terjadi pelecehan yang saya alami […] Begitu saya berhenti memakai seragam, kejadiannya berkurang. Jadi, ini menjijikkan karena beragam alasan.</p>
</blockquote>
<p>Sebagaimana ungkapan responden lain, pengalaman-pengalaman ini sangat menakutkan tidak hanya karena apa yang sedang terjadi saat itu, tapi juga karena pelaku bisa “tahu kamu sekolah di mana” dengan melihat seragam.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Close-up of a uniform jacket, shirt and tie." src="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Riset di Inggris menemukan 35% anak perempuan pernah mengalami pelecehan saat memakai seragam di tempat umum.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Robin Worrall/Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dianggap ‘seksi’</h2>
<p>Kenapa anak muda – terutama perempuan muda dan anak perempuan – secara rutin sering mengalami pelecehan saat memakai seragam sekolah? Kami menemukan bahwa hal ini didorong secara kebudayaan melalui stigma “anak sekolahan (perempuan) yang seksi” (“<em>sexy school girl</em>”). </p>
<p>Sebagaimana dijelaskan salah satu narasumber:</p>
<blockquote>
<p>ketika kita ke pencarian gambar Google dan mencari “murid laki-laki” (<em>school boy</em>), hasil yang akan keluar adalah gambar anak laki-laki berusia lima tahun, tapi kemudian pencarian “murid perempuan” (<em>school girl</em>) akan menghasilkan foto kostum anak sekolah perempuan yang seksi.</p>
</blockquote>
<p>Para partisipan mendiskusikan pengalaman mereka menjadi sasaran karena dilihat sebagai sosok yang rentan dan (secara paradoks) polos sekaligus objek seksual.</p>
<blockquote>
<p>Ini adalah bagian dari daya tariknya bagi mereka (para pelaku), kepolosan seorang anak sekolah perempuan, dan seorang anak perempuan yang merasa takut dalam situasi itu tampak menggairahkan bagi mereka, dan mereka benar-benar menikmati itu.</p>
</blockquote>
<p>Narasumber lain menceritakan pada kami:</p>
<blockquote>
<p>Saya berubah dari anak yang polos jadi anak yang merasa tidak nyaman dan tidak tahu kenapa saya dijadikan objek seksual – dan saya tidak memahami itu karena saya belum paham makna dari seks yang sebenarnya.</p>
</blockquote>
<p>Karena berusia sangat muda, banyak partisipan seringkali tidak memiliki kerangka atau bahasa untuk memahami pengalaman mereka. Bagi banyak di antara mereka, pengalaman ini merupakan rutinitas yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka begitu saja.</p>
<p>Seringkali, baru setelah bertahun-tahun setelah pengalaman membekas ini, mereka kemudian bisa mengartikulasikannya sebagai pelanggaran seksual dan merefleksikan dampaknya.</p>
<h2>Mencoba menghindari pelecehan</h2>
<p>Sepanjang riset wawancara kami, banyak partisipan mendiskusikan bagaimana mereka mengubah penampilan mereka atau mengubah rute yang mereka tempuh ke sekolah. Mereka kerap fokus pada mengubah perilaku mereka sendiri dan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-right-amount-of-panic">membuat hidup mereka lebih sengsara</a> sebagai upaya menghindari pelecehan lebih lanjut. Misalnya:</p>
<blockquote>
<p>Saya memilih jalan lebih jauh. Saya pergi melewati jalanan utama, menghindari jalan kecil, bahkan ketika jalannya lebih jauh, agar bisa ekstra aman.</p>
</blockquote>
<p>Dalam jangka panjang, para partisipan umumnya mendeskripsikan perasaan tidak aman, senantiasa terjaga, dan cenderung tidak mempercayai laki-laki di ruang publik.</p>
<h2>‘Bagaimana jika ada pedofil di kereta?’: respons sekolah</h2>
<p>Sayangnya, ketika ada laporan, sekolah kerap melanggengkan pandangan bahwa para korban-penyintas adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami.</p>
<p>Berbagai partisipan memberi tahu kami bagaimana mereka kerap diingatkan tentang kebijakan seragam sekolah (misalnya kewajiban terkait panjang rok atau seragam) ketika mereka meminta bantuan dari guru.</p>
<p>Seorang partisipan menceritakan pengalaman ketika guru mereka bertanya:</p>
<blockquote>
<p>Kenapa kamu memakai rok (pendek) seperti ini? Kamu sedang mencoba menarik perhatian siapa? Bagaimana jika ada pedofil di kereta saat pulang dari sekolah dan mereka berpikir “ini hari keburuntunganku”.</p>
</blockquote>
<p>Beberapa yang lainnya tidak mencari bantuan dari guru karena masalah terkait penampilan di sekolah – mereka merasa pasti akan disalahkan atas apa yang terjadi.</p>
<p>Respons semacam ini mengajarkan pada anak muda untuk berpikir bahwa pelecehan di jalanan, dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan berbasis gender, adalah salah mereka. Ini juga memberi tahu mereka bahwa tubuh mereka adalah titik risiko yang perlu dikelola dan dijaga supaya menghindari pelecehan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-pemaksaan-jilbab-bagaimana-iklim-politik-pengaruhi-kebijakan-seragam-sekolah-188087">Kasus pemaksaan jilbab: bagaimana iklim politik pengaruhi kebijakan seragam sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelecehan berseragam tidaklah ‘normal’</h2>
<p>Meski sekolah dan konteks yang berkaitan dengan sekolah sering menjadi tempat terjadinya gangguan (<em>harm</em>) bagi para partisipan kami, sekolah tetap punya peran yang sangat penting. Pelecehan terhadap murid berseragam tak seharusnya dipandang sebagai bagian yang “normal” dalam proses pendewasaan anak.</p>
<p>Ada kebutuhan mendesak untuk menghadirkan suatu kerangka bagi anak muda untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka.</p>
<p>Upaya pendidikan harus menantang ide bahwa pelecehan sebaiknya ditahan-tahan dan dilewati saja sebaik mungkin. Sebaliknya, sekolah harus membantu anak muda memahami bahwa pelecehan adalah bentuk kekerasan, dan menawarkan ruang yang aman dan mendukung untuk bisa berbicara dengan rekan sejawat dan orang dewasa tenang pengalaman mereka. </p>
<p>Ini harusnya dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan seks dan hubungan (<em>relationships</em>) yang sudah ada, dengan <a href="https://www.bodysafetyaustralia.com.au/">cara yang tepat usia</a>.</p>
<p>Yang juga penting, respons terhadap pelecehan tak boleh menyalahkan anak muda itu sendiri. Sudah saatnya praktik-praktik usang, seperti mengukur panjang seragam, tak lagi dilakukan.</p>
<p>Seperti ungkapan salah satu partisipan riset kami, “panjang rok saya tidak mempengaruhi seberapa baik saya belajar”.</p>
<hr>
<p><em>Jika merasa bahwa kamu atau orang yang kamu kenal membutuhkan bantuan, silakan membuka <a href="https://carilayanan.com">portal Cari Layanan</a>.</em></p>
<p><em>Di sana, kalian bisa melakukan pencarian bantuan penanganan kekerasan yang tepat berdasarkan kategori kasus dan layanan yang dibutuhkan, beserta lokasi kantor terdekat dan kontaknya – dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) hingga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203504/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bianca Fileborn menerima pendanaan dari Australian Research Council, ACON, dan Victorian Department of Justice and Community Services. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jess Hardley tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset baru menunjukkan bahwa pelecehan terhadap anak muda ketika memakai seragam sekolah adalah isu serius yang masih jarang mendapat perhatian.Bianca Fileborn, Senior Lecturer in Criminology, The University of MelbourneJess Hardley, Research Assistant in Criminology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2020822023-03-20T02:18:34Z2023-03-20T02:18:34ZTerjebak dalam kebiasaan lama: mengapa guru Indonesia masih kesulitan mengajarkan kemampuan berpikir kritis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/516175/original/file-20230319-7322-vqytnx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kudus-indonesia-october-30-2015-teaching-673443058">(E. S. Nugraha/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terotomasi, <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/fostering-students-creativity-and-critical-thinking_62212c37-en">kemampuan berpikir kritis (<em>critical thinking</em>) menjadi hal yang berharga</a> pada abad ke-21. Kemampuan ini membekali pelajar dengan kapasitas untuk mengkritisi dan memilah begitu banyak informasi di ujung jari, serta menganalisis masalah-masalah kompleks untuk menciptakan solusi unik dan baru.</p>
<p>Di banyak negara, termasuk Indonesia, <em>critical thinking</em> masuk dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum terbaru, misalnya, yakni “<a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/24964/">Kurikulum Merdeka</a>”, secara eksplisit menyatakan kemampuan berpikir kritis sebagai indikator penting bagi para lulusan.</p>
<p>Bahkan, salah satu kebijakan pendidikan paling awal yang secara khusus memandatkan guru untuk memasukkan kemampuan berpikir kritis ke dalam pengajaran <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5025/pp-no-17-tahun-2010">diterbitkan pada 2010</a> – lebih dari satu dekade lalu.</p>
<p>Namun, walaupun ada kebijakan-kebijakan tersebut, <a href="https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ijee/article/view/26673">penelitian kami</a> menemukan bahwa banyak guru di Indonesia masih kesulitan dalam mengajarkan dan membangun kemampuan ini di antara murid.</p>
<p>Meski kesadaran terkait <em>critical thinking</em> itu tinggi, ketika mengajarkannya, guru masih terjebak pada <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-%20guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">kebiasaan lama yang sudah mendarah daging</a> dalam pendidikan di Indonesia. Ini termasuk budaya pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”.</p>
<p>Dalam laporan <a href="https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf">Programme for International Student Assessment (PISA)</a> terbaru pada 2018, pelajar Indonesia mesuk ke dalam <a href="https://www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2018-results.htm">peringkat 10 terbawah dari hampir 80 negara peserta</a>. Mereka meraih nilai yang sangat rendah dalam beberapa indikator <em>critical thinking</em> – terutama literasi dan numerasi.</p>
<h2>Kebiasaan lama yang mendarah daging</h2>
<p>Salah satu penyebab masalah ini terletak pada pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh guru kepada murid di kelas.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">riset kami terhadap kelas-kelas mata pelajaran bahsa Inggris</a> di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), kami menemukan bahwa alih-alih mengajak murid <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781315169378/education-spite-policy-robin-alexander">berpikir dan berefleksi</a>, banyak guru terpaku pada pola mengajar “<em>initiate-respond-evaluate</em>” (inisiasi-respons-evaluasi). Artinya, guru seringkali hanya menguji atau memberikan ulangan lalu memberi tahu jawabannya.</p>
<p>Mentalitas semacam ini masih umum di Indonesia. Guru sejak lama dituntut untuk menyiapkan murid untuk menghadapi ujian-ujian penentu nasib, yang seringkali berbasis pilihan ganda, seperti Ujian Nasional.</p>
<p>Walaupun Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) sudah menghentikan Ujian Nasional – pertama dilakukan pada 1965 – pada tahun 2020, <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjF98Dw9I7vAhUCU30KHYaaDmUQFjAAegQIAhAD&url=https%3A%2F%2Fresearcharchive.vuw.ac.nz%2Fxmlui%2Fbitstream%2Fhandle%2F10063%2F3201%2Fthesis.pdf%3Fsequence%3D2&usg=AOvVaw00awPyyFdCG0iL248o9NJK">dampaknya setelah 55 tahun</a> masih sangat terasa di antara guru.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-desain-ideal-tes-pengganti-un-yang-diusung-menteri-nadiem-akademisi-berpendapat-130059">Bagaimana desain ideal tes pengganti UN yang diusung Menteri Nadiem? Akademisi berpendapat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Misalnya, selain memperkenalkan standar-standar baru terkait <em>critical thinking</em>, pemerintah juga <a href="https://theconversation.com/pisa-inspired-tests-will-replace-indonesias-national-exams-in-2021-how-should-they-be-implemented-129462">memberlakukan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> untuk menggantikan Ujian Nasional. Asesmen ini tidak menentukan kelulusan dan hanya dipakai untuk mengevaluasi capaian belajar murid secara nasional.</p>
<p>Meski demikian, guru <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-%20guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">masih fokus untuk memastikan murid bisa meraih skor tinggi</a> pada standar-standar dan ajang asesmen tersebut. Metode evaluasinya berubah, tapi mentalitas serba ujian tersebut masih bertahan.</p>
<p>Obsesi terhadap skor tinggi dan jawaban yang tepat ini tidak selaras dengan prinsip pengajaran <em>critical thinking</em> yang menuntut murid untuk menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi bagi suatu masalah.</p>
<p><a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">Riset kami</a> juga menemukan bahwa guru kerap melewatkan peluang untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dalam aktivitas kelas. Karena mereka terjebak dalam pola inisiasi-respons-evaluasi, setelah selesai mengevaluasi jawaban murid, guru langsung beralih ke pertanyaan berikutnya ketimbang membiarkan munculnya diskusi lanjutan yang kaya.</p>
<p>Ini juga menjadi disinsentif bagi murid yang sebenarnya ingin bertanya, sehingga mereka malah <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781315169378/education-spite-policy-robin-alexander">diposisikan sebagai penerima ilmu yang pasif</a>. Karena murid sadar bahwa jawaban-jawaban mereka akan dievaluasi, mereka bisa saja merasa kurang nyaman berpartisipasi dalam aktivitas kelas.</p>
<h2>Tak sepenuhnya salah guru</h2>
<p>Meski pemerintah sudah memasukkan <em>critical thinking</em> sebagai tujuan pembelajaran bagi murid, jejak-jejak budaya ujian masih kental dalam kebijakan pendidikan terkini.</p>
<p>Dalam kurikulum saat ini, guru diminta untuk mendesain berbagai pertanyaan untuk membangun kemampuan analitis murid – umumnya dikenal sebagai pertanyaan-pertanyaan “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0034654314551063">Higher Order Thinking Skills</a>” (Kemampuan Berpikir Tingkat Lanjur). Tapi, tujuannya masih berfokus pada menguji ketimbang mengajar.</p>
<p>Pembuat kebijakan di Indonesia tampaknya masih beranggapan bahwa membangun kemampuan berpikir kritis itu hanya berarti mengembangkan pertanyaan-pertanyaan khas ujian dari yang awalnya berbasis penghafalan dasar, menjadi pertanyaan ujian yang sedikit lebih kompleks.</p>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa pemikiran semacam ini umum di antara <a href="https://www.proquest.com/openview/e6b77ae81591916d308524d25d7a7e83/1.pdf?pq-origsite=gscholar&cbl=47978">sistem pendidikan yang berbasis luaran atau hasil</a> (<em>outcome-based education</em>), termasuk Indonesia.</p>
<h2>Membenahi pengajaran <em>critical thinking</em></h2>
<p>Perlu pemahaman yang lebih matang akan <em>critical thinking</em>. Pengajaran harus bisa mendorong murid untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menemukan solusi atas suatu masalah, hingga menjelaskan proses penalaran mereka.</p>
<p>Tapi, untuk mewujudkan ini, pemerintah dan guru perlu menciptakan suasana ruang kelas yang mendukung dan aman. Murid <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0034654314551063">butuh ruang</a> untuk mengekspresikan ide-ide mereka dan menyuarakan pendapat maupun kekhawatiran mereka. Para murid harus terlibat dalam dialog terbuka dan reflektif dengan sesama maupun dengan guru.</p>
<p>Dalam riset kami yang tengah berlangsung, kami berkolaborasi dengan beberapa guru terpilih di Jawa Barat untuk bereksperimen dengan pembelajaran berbasis proyek.</p>
<p>Di salah satu kelas, misalnya, murid mendiskusikan dan merefleksikan isu-isu sosial tertentu untuk mempersiapkan proyek siniar (<em>podcast</em>).</p>
<p>Lewat kerja kelompok dan kerja sesama murid secara aktif, guru membongkar pola tradisional inisiasi-respons-evaluasi, dan kini memposisikan murid – keitmbang mereka sendiri – menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08957347.2013.793190">pusat dari proses pembelajaran</a>.</p>
<p>Para murid secara independen meneliti suatu topik dan mengembangkan <em>podcast</em> mereka sendiri untuk melakukan refleksi kritis atas penyebab dan dampak dari isu sosial tertentu, serta menawarkan solusi mereka yang disertai penjelasan yang mendalam.</p>
<p>Pengajaran tradisional yang berpusat pada guru memang <a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">punya beberapa manfaat</a>, misalnya terkait manajemen ruang kelas yang lebih mudah. Tapi, <em>critical thinking</em> membutuhkan lingkungan belajar yang lebih demokratis dan inklusif. Dengan begini, murid lebih bisa berinteraksi dengan konsep-konsep yang menguji pemikiran.</p>
<p>Pemberhentian Ujian Nasional secara permanen sejak 2020 adalah tonggak penting yang harapannya bisa mulai mengakhiri budaya pengujian dalam sistem pendidikan Indonesia. Sekarang, guru harus mengembangkan strategi-strategi baru untuk membangun kemampuan berpikir kritis para murid.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202082/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketika mengajarkan kemampuan berpikir kritis, guru masih terjebak pada kebiasaan lama yang sudah mendarah daging. Ini termasuk pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”.Maya Defianty, Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Tarbiyah (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaKate Wilson, Adjunct Associate Professor, University of CanberraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2021132023-03-19T17:37:38Z2023-03-19T17:37:38ZDiskalkulia: bagaimana cara mendukung anak yang punya gangguan belajar matematika<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/516193/original/file-20230319-6836-i50sjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/girl-doing-exercise-math-303704459">(Lorena Fernandez/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Penguasaan matematika yang bagus sering dikaitkan dengan <a href="https://www.nationalnumeracy.org.uk/sites/default/files/2021-04/Counting%20on%20the%20Recovery%20(compressed)%20FINAL.pdf">kesuksesan yang lebih besar dalam dunia kerja</a> dan kesehatan yang lebih baik. Tapi sebagian besar di antara kita – <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2013.00516/full">hingga 22%</a> di Inggris, negara tempat kami mengajar – mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Tak hanya itu, sekitar <a href="https://pure.qub.ac.uk/en/publications/the-prevalence-of-specific-learning-disorder-in-mathematics-and-c">6% anak di sekolah dasar</a> di negara tersebut bisa jadi mengidap diskalkulia, suatu gangguan kesulitan belajar matematika.</p>
<p>Dalam perkembangan hidup manusia, <a href="https://www.ucl.ac.uk/ioe/departments-and-centres/departments/psychology-and-human-development/child-development-and-learning-difficulties-lab/awareness-developmental-dyscalculia-and-mathematical-difficulties-toolkit-add">diskalkulia</a> merupakan kondisi ketika seseorang kesulitan dalam <a href="https://www.bdadyslexia.org.uk/dyscalculia">memahami angka</a> yang terjadi secara terus menerus. Ini bisa mempengaruhi siapa saja, terlepas dari usia atau tingkat kemampuan mereka.</p>
<p>Persentase 6% anak-anak mengidap diskalkulia sama dengan satu atau dua anak dalam setiap kelas yang berisi 30 anak. Angka ini kurang lebih setara dengan estimasi anak-anak yang memiliki gangguan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8183124/">disleksia</a> (gangguan dalam perkembangan baca-tulis). Tapi, baik masyarakat maupun guru relatif kurang mengenal diskalkulia. Riset terkait gangguan ini juga tidak sebanyak riset tentang gangguan belajar lainnya.</p>
<p>Anak-anak dengan diskalkulia bisa jadi kesulitan mempelajari kemampuan dan konsep matematika dasar, termasuk pencacahan, penjumlahan, pengurangan, dan perkalian sederhana. Di kemudian hari, mereka juga bisa mengalami kesulitan dalam memahami fakta dan proses matematika tingkat lanjut, termasuk peminjaman dan pembawaan, hingga memahami pecahan dan rasio, misalnya. Diskalkulia tak hanya mempengaruhi anak dalam pelajaran matematika saja: dampaknya bisa terasa dalam berbagai aspek kurikulum.</p>
<p>Kesulitan-kesulitan ini tidak bisa dianggap sebagai sekadar kemampuan di bawah rata-rata, atau dapat dijelaskan oleh gangguan belajar lain. Meski demikian, anak-anak dengan diskalkulia bisa jadi mengalami gangguan belajar lain secara bersamaan, seperti <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3514770/">disleksia dan ADHD</a> (gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas).</p>
<p>Berikut beberapa tips praktis untuk mendukung anak dengan gangguan belajar matematika.</p>
<h2>Gunakan alat peraga</h2>
<p>Anak-anak dengan diskalkulia bisa terbantu dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33845673/">dukungan-gukungan praktis</a> ketika mengerjakan soal penjumlahan dan penghitungan sederhana. Bisa jadi mereka akan sering membutuhkan alat bantu praktis, seperti jari mereka atau sempoa. Mereka juga bisa terbantu dengan alat penghitung (<em>counters</em>) dan manik-manik untuk membuat himpunan atau kelompok, maupun menggunakan garis bilangan untuk menggarap soal.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1588430330671026176"}"></div></p>
<p>Anak-anak yang lebih tua bisa jadi terbantu dengan adanya suatu kertas contekan atau ringkasan (<em>crib sheet</em>). Ini memudahkan mereka mengakses informasi terkait tabel perkalian atau rumus-tumus tertentu. </p>
<p>Metode-metode pengajaran yang inklusif seperti ini bahkan bisa bermanfaat untuk semua murid, tak hanya mereka yang punya gangguan diskalkulia.</p>
<h2>Pecah soalnya menjadi bagian-bagian yang lebih mudah</h2>
<p>Riset menunjukkan bahwa <a href="https://educationendowmentfoundation.org.uk/education-evidence/teaching-learning-toolkit/metacognition-and-self-regulation">metakognisi</a> punya dampak positif terhadap pembelajaran matematika. Metakognisi adalah “berpikir tentang berpikir” – misalnya, memikirkan tentang informasi yang kita tahu dan yang tidak kita tahu, atau kesadaran akan strategi-strategi yang kita punya untuk menyelesaikan persoalan.</p>
<p>Mengajarkan anak strategi untuk mengidentifikasi pada bagian mana mereka bisa memulai memecahkan masalah, dan bagaimana caranya memecah persoalan matematika menjadi bagian yang lebih kecil, bisa jadi langkah awal yang baik. Misalnya, orang tua dan guru bisa mendorong anak untuk memakai lagu dan jembatan keledai untuk membantu mereka mengingat strategi-strategi untuk menyelesaikan persoalan tertentu.</p>
<p>Sebagai gambaran, dalam bahasa Inggris ada jembatan keledai “DRAW” yang membekali murid dengan strategi untuk menyelesaikan soal-soal penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian:</p>
<p>D untuk <em>discover</em>: temukan simbol-simbolnya – para murid menemukan, melingkari, dan menyebutkan nama dari simbol operasi (+, -, x, atau /).</p>
<p>R untuk <em>read</em>: bacalah soalnya – murid kemudian membaca persamaannya.</p>
<p>A untuk <em>answer</em>: para murid menggambarkan palang romawi (<em>tally marks</em>) atau lingkaran untuk menemukan jawabannya, dan tak lupa mengecek hasilnya.</p>
<p>W untuk <em>write</em>: murid menuliskan jawaban untuk soal tersebut.</p>
<h2>Cari tahu mereka paling butuh bantuan dalam hal apa</h2>
<p>Anak-anak dengan kesulitan belajar matematika sering kali terhambat dalam suatu soal, kemudian mudah menyerah.</p>
<p>Guru dan orang tua harus menanyakan pada anak-anak bagian mana yang paling sulit bagi mereka – bahkan <a href="https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/290514/Szucs%2041179%20-%20Main%20Public%20Output%208%20March%202019.pdf?sequence=1&isAllowed=y">anak-anak kecil</a> pun bisa mengkomunikasikan ini – dan kemudian berikan mereka penjelasan sejelas-jelasnya untuk mendukung mereka menguasai bagian sulit tersebut.</p>
<h2>Belajar satu persatu</h2>
<p>Mengingat soal matematika bisa jadi membingungkan bagi anak dengan gangguan belajar matematika, pastikan untuk menggarap soal satu persatu. Ini bisa berarti menutupi soal-soal lain dalam halaman soal tersebut, dan menghilangkan gambar-gambar yang kurang relevan.</p>
<p>Berikan juga timbal balik secara langsung, baik untuk jawaban yang tepat maupun salah. Ini bisa membantu anak belajar dari garapan mereka dan memahami perbedaan antara strategi-strategi pemecahan masalah yang berbeda.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Mother and daughter doing maths and counting on fingers" src="https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/497698/original/file-20221128-4861-j9nre0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Fokus pada satu topik atau soal terlebih dahulu sebelum pindah ke soal yang lain.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/patient-mom-teaching-daughter-schoolwork-home-489146788">Ground Picture/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal lain yang juga bisa membantu adalah memberikan banyak repetisi atau pengulangan, mengajar dengan sesi-sesi yang pendek tapi sering, dan memastikan bahwa murid tahu apa yang harus mereka lakukan jika mereka mengalami kesulitan, seperti bertanya atau meminta bantuan pada orang dewasa.</p>
<h2>Pakai bahasa yang tepat</h2>
<p>Bahasa dan simbol matematika juga bisa membingungkan. Misalnya, angka negatif punya tanda minus, tapi tanda minus juga bisa dipakai sebagai simbol operasi seperti pengurangan. Kita bisa jadi memakai kata “minus” untuk kedanya – misalnya, mengatakan “14 minus minus 9” (14 - -9). Ini bisa jadi sulit untuk dipahami. Pakailah variasi kata-kata, seperti “dikurangi”, “minus”, dan “diambil” untuk menjelaskan konsep yang sama. Dalam hal ini, penting untuk memakai bahasa yang jelas.</p>
<p>Kita pun bisa membantu anak dengan mengembangkan kosakata matematika mereka, sekaligus mengecek pemahaman mereka secara bersamaan.</p>
<h2>Gunakan permainan</h2>
<p>Matematika itu ada di mana-mana di sekitar kita. Apa yang dipelajari di ruang kelas juga berlaku dalam kehidupan sehari-hari. <a href="https://www.nuffieldfoundation.org/project/improving-preschoolers-number-foundations">Riset kami</a> telah menunjukkan bahwa anak-anak yang masih belia akan terbantu dengan permainan matematika kecil-kecilan menggunakan alat dan bahan di sekitar mereka.</p>
<p>Menghitung dan mengoleksi sejumlah benda bisa dilakukan di manapun: di meja makan, di kamar mandi, ataupun ketika sedang berjalan-jalan. <a href="https://www.nuffieldfoundation.org/wp-content/uploads/2022/05/Can-Maths-Apps-Add-Value-to-Young-Childrens-Learning-A-Systematic-Review-and-Content-Analysis_Web_final_v2.pdf">Aplikasi pembelajaran</a> berbasis praktik juga bisa membantu anak menguasai kemampuan matematika dasar.</p>
<h2>Bersikap positif</h2>
<p>Terakhir, penting untuk selalu menanamkan perasaan positif terhadap matematika. Ini bisa jadi termasuk tidak menceritakan kekhawatiran dan perasaan negatif kita sendiri terkait matematika. Justru, kita harus membangun minat terhadap matematika yang dapat membantu anak-anak terus tumbuh dan melampaui kesulitan-kesulitan yang mereka alami.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202113/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jo Van Herwegen menerima pendanaan dari Higher Education Innovation Funding - UKRI.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Elisabeth Herbert dan Laura Outhwaite tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gunakan alat peraga, pecahkan soalnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, dan tetaplah positif.Jo Van Herwegen, Associate Professor in the department of Psychology and Human Development, UCLElisabeth Herbert, Associate Professor, Department of Psychology and Human Development, IOE UCLUCL IOE. Programme Director for MA SpLD dyslexia and Programme route leader for the MA in Special and Inclusive Education Specific Learning Difficulties route, UCLLaura Outhwaite, Senior Research Fellow in the Centre for Education Policy and Equalising Opportunities, UCLLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2015622023-03-10T11:59:06Z2023-03-10T11:59:06ZRibuan pelajar perempuan Iran diduga diracun: ranah baru dalam upaya pembungkaman hak pendidikan perempuan?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/514639/original/file-20230310-763-ak0c82.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Dunia internasional <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64797957">semakin menyoroti</a> bertambahnya jumlah pelajar perempuan di Iran yang jatuh sakit selama beberapa bulan ke belakang, diduga akibat serangan kimia. Meski sumber-sumber menyebutkan angka yang berbeda-beda, per 7 Maret banyak laporan mencatat ada <a href="https://www.forbes.com/sites/ewelinaochab/2023/03/04/suspected-poison-attacks-on-girls-attending-schools-in-iran/?sh=21790691d7b3kb">lebih dari 1.000 kasus</a> keracunan. Ini terjadi di setidaknya 58 sekolah di 10 provinsi Iran.</p>
<p>Kasus-kasus paling awal dilaporkan di Kota Qom pada bulan November lalu. Jumlah kasusnya kemudian semakin bertambah, dengan <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64816750">26 sekolah</a> melaporkan gelombang insiden keracunan hanya dalam seminggu ke belakang.</p>
<p>Para murid mengeluhkan gejala pernapasan, mual, pusing dan rasa lelah. Beberapa dari mereka sampai masuk rumah sakit. Para orang tua pun memutuskan merumahkan dulu anak perempuan mereka demi terhindar dari serangan-serangan ini.</p>
<p>Keresahan publik yang meningkat disertai perhatian dunia internasional membuat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/3/6/iran-supreme-leader-promises-punishment-for-schoolgirl-poisoning">secara publik mengutuk</a> serangan-serangan tersebut sebagai “kejahatan besar yang tidak bisa dimaafkan”. Ia menjanjikan investigasi dan hukuman secepatnya bagi mereka yang bertanggung jawab.</p>
<p>Hal ini menyusul pernyataan yang kontradiktif dari para pejabat pemerintah selama beberapa bulan ke belakang, <a href="https://www.iranintl.com/en/202303063539">penahanan seorang jurnalis</a> pada akhir pekan lalu yang menyelidiki isu tersebut, serta laporan akan <a href="https://edition.cnn.com/2023/03/06/middleeast/hfr-iran-suspected-poisoning-girls-schools-intl/index.html">penggunaan gas air mata</a> untuk membubarkan massa demonstrasi di Tehran pada Hari Minggu yang memprotes rangkaian serangan racun ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1632774287756075011"}"></div></p>
<p>Banyak pihak <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2023/feb/27/iranian-authorities-investigate-the-poisoning-of-schoolgirls-said-to-be-revenge-for-hijab-protests">menganggap serangan-serangan ini</a> sebagai balasan terhadap gelombang protes yang tengah berlangsung di Iran sejak kematian Mahsa Amini pada bulan September. Berbagai pelajar, sebagian besar mahasiswa dan murid perempuan, ada <a href="https://www.iranintl.com/en/202211067462">di garda terdepan</a> dalam rangkaian demonstrasi tersebut.</p>
<p>Hingga 7 Maret, belum ada bukti langsung terkait siapa pelaku di balik insiden-insiden di atas, maupun metode serangannya. Salah satu kesulitan dan tantangan dalam membuktikannya adalah <a href="https://rsf.org/en/country/iran?utm_term=64058ea37afa4589b1bb08585f92b768&utm_campaign=FirstEdition&utm_source=esp&utm_medium=Email&CMP=firstedition_email">sangat terbatasnya kebebasan pers</a> di Iran. <a href="https://www.france24.com/en/asia-pacific/20230307-white-house-urges-un-to-investigate-iran-s-school-girls-poisoning">Dunia internasional</a> pun mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turun tangan melakukan investigasi independen.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/iran-membara-sekali-lagi-perempuan-berada-di-barisan-terdepan-memperjuangkan-perubahan-transformatif-191424">Iran membara: Sekali lagi, perempuan berada di barisan terdepan memperjuangkan perubahan transformatif</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ada beberapa pihak yang <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-64829798">mempertanyakan</a> apakah ini benar-benar serangan kimia. Mereka justru berspekulasi bahwa ini bukti adanya penyakit psikogenik (bersumber dari kondisi psikologis) yang terjadi secara massal.</p>
<p>Hal ini memang pernah terjadi sebelumnya – dalam suatu <a href="https://www.wsj.com/articles/iran-investigates-spate-of-alleged-poison-attacks-against-schoolgirls-d9fcbdf">investigasi dugaan peracunan murid perempuan di Afganistan</a> pada 2012-2016, PBB menyimpulkan bahwa penyebabnya kemungkinan besar adalah penyakit psikogenik massal, setelah mereka gagal menemukan jajak racun atau gas kimia.</p>
<p>Meski demikian, realitasnya adalah zat-zat beracun sangat cepat memudar, terutama nitrogen dioksida. <a href="https://www.wsj.com/articles/iran-investigates-spate-of-alleged-poison-attacks-against-schoolgirls-d9fcbdf5">Salah satu laporan pemerintah</a> di Iran mengindikasikan bahwa zat ini bisa jadi berperan dalam rangkaian insiden yang tengah berlangsung. Ada juga beberapa <a href="https://www.theguardian.com/world/2023/mar/06/what-do-we-know-suspected-poisonings-schoolgirls-iran">laporan saksi mata</a>, meski belum terkonfirmasi, yang melihat adanya objek-objek mencurigakan yang dilemparkan ke halaman-halaman sekolah.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/gW5PDU_niXY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Ancaman global pendidikan perempuan</h2>
<p>Aasan lain mengapa peracunan yang disengaja terhadap para pelajar perempuan Iran ini kredibel adalah karakternya yang senada dengan tren global. Meski pendidikan, termasuk pendidikan perempuan, itu <a href="https://blogs.worldbank.org/arabvoices/iran-education-crises">cukup dihargai</a> di Iran, pelajar perempuan di seluruh dunia seringkali menjadi target serangan.</p>
<p>Suatu <a href="https://protectingeducation.org/publication/it-is-very-painful-to-talk-about-the-impact-of-attacks-on-education-on-women-and-girls/">laporan</a> dari Koalisi Global untuk Perlindungan Pendidikan dari Serangan meninjau serangan-serangan terhadap pendidikan perempuan selama 2014 hingga 2018 di daerah-daerah konflik dan instabilitas. Temuannya, pelajar maupun guru perempuan telah secara langsung menjadi sasaran serangan di setidaknya 18 negara. Ini termasuk Afganistan, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kolombia, Republik Demokratik Kongo, Mesir, India, Irak, Libia, Mali, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Filipina, Sudan Selatan, Suriah, Venezuela, dan Yaman. </p>
<p>Pola dari serangan-serangan yang terjadi cukup luas dan beragam, termasuk <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/9/30/at-least-19-killed-in-kabul-blast-authorities">pengeboman sekolah perempuan</a> dan <a href="https://www.hrw.org/news/2017/10/16/girls-kidnapped-boko-haram-share-their-stories-un">penculikan murid perempuan</a>. Guru maupun pelajar pun telah diserang, baik itu dalam perjalanan menuju sekolah maupun ketika sudah sampai. Ada juga laporan terkait kekerasan seksual dan pernikahan paksa yang melibatkan murid maupun guru perempuan.</p>
<p>Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling terkenal adalah Malala Yousafzai yang ditembak di kepala pada tahun 2012 di Pakistan, karena dianggap “nekat” sekolah. Ada juga bentuk serangan yang tidak langsung, termasuk perombakan atau penutupan sekolah perempuan sehingga pendidikan bagi perempuan menjadi prioritas lebih rendah ketimbang pendidikan laki-laki. Selain itu ada pula ancaman-ancaman untuk membuat perempuan tetap di rumah, serta penerapan dan pemaksaan aturan berpakaian (<em>dress code</em>) yang membatasi perempuan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/513921/original/file-20230307-22-qftdm4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling terkenal adalah penembakan terhadap Malala Yousafzai arena dianggap ‘nekat’ sekolah.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Nelson Antoine/AP/AAP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Serangan terhadap sekolah telah mengingkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Tapi, <a href="https://protectedu.wpengine.com/wp-content/uploads/documents/documents_impact_of_attacks_on_education_nov_2019_exec_summary_lowres_webspreads.pdf">peningkatan serangan ini cukup tajam</a> pada sekolah yang dikhususkan untuk perempuan. Terlalu sering, serangan-serangan ini terjadi dengan impunitas.</p>
<h2>Dampak serangan terhadap pendidikan perempuan</h2>
<p>Bahkan, jika pun peracunan terhadap pelajar perempuan Iran belum menunjukkan bukti adanya dampak kesehatan serius, tetap ada efek psikologis jangka panjang ketika mereka menjadi target serangan sistematis dan berbasis gender, belum lagi konsekuensi fisik jangka panjang yang belum ketahuan.</p>
<p>Di samping dampak langsung terhadap hak setiap orang untuk mendapat pendidikan demi “<a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-economic-social-and-cultural-rights#article-13">perkembangan penuh kepribadian manusia dan […] harkat martabat</a>”, serangan terhadap pendidikan punya efek yang mendalam dan bertahan lama pada para anak perempuan.</p>
<p>Anak perempuan yang hak pendidikannya dirampas menjadi lebih rentan terhadap pernikahan dini atau paksa, biasanya akibat otonomi seksual dan reproduksi yang makin terbatas. Ada juga peningkatan risiko kekerasan domestik dan kemiskinan. Serangan terhadap sekolah juga <a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/HRBodies/CEDAW/Report_attacks_on_girls_Feb2015.pdf">dilaporkan berkaitan</a> dengan meningkatnya kemungkinan mereka dipaksa masuk rekrutmen kelompok bersenjata dan menjadi korban perdagangan manusia atau seksual.</p>
<p>Lebih umum, pelanggaran hak pendidikan, dan diskriminasi gender sistemik berakibat pada anak dan perempuan dewasa punya lebih sedikit peluang untuk berpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan politik, kebudayaan, dan sosial. Hal ini tidak hanya <a href="https://www.unicef.org/education/girls-education">mempengaruhi</a> anak perempuan atau perempuan dewasa secara individu, tapi juga masyarakat secara lebih luas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-iran-indonesia-juga-masih-memanfaatkan-moralitas-untuk-mengontrol-tubuh-perempuan-191742">Tidak hanya Iran, Indonesia juga masih 'memanfaatkan' moralitas untuk mengontrol tubuh perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak ada solusi kilat</h2>
<p>Sayangnya, tidak ada solusi kilat untuk serangan terhadap pendidikan perempuan. Meski investigasi dan penuntutan terhadap para pelaku di Iran adalah langkah penting untuk menjamin akuntabilitas, ini tidak menyasar akar masalah.</p>
<p>Pendidikan perempuan yang kini tengah mengalami gempuran akan selalu jadi bagian dari diskriminasi meluas dan sistemik terhadap perempuan, serta sistem penindasan yang memperkuat perilaku berbasis stereotip terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa.</p>
<p>Tapi, melindungi hak pendidikan mereka harus jadi poin kunci dari segala upaya menuju kesetaraan gender. Serangan-serangan yang mengerikan dan blak-blakan terhadap anak perempuan di sekolah, seperti di Iran, harus jadi lampu kuning perlunya perubahan segera.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201562/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Shireen Daft tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Laporan-laporan terkini terkait peracunan lebih dari 1.000 pelajar perempuan di Iran tampaknya merupakan babak baru dalam upaya pembungkaman hak pendidikan perempuan.Shireen Daft, Lecturer, Macquarie Law School, Macquarie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2008472023-03-02T03:33:42Z2023-03-02T03:33:42ZMasuk kelas jam 5 pagi: kebijakan yang mengabaikan riset tentang jam tidur layak remaja dan jadwal sekolah yang ideal<p>Awal pekan ini, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menuai sorotan atas instruksi mereka untuk mengubah jam masuk sekolah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=kkfRA9gIYCs">menjadi jam 5.00 pagi</a>, terutama bagi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).</p>
<p>Gubernur NTT Viktor Laiskodat menyiratkan di tengah <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/11/30/banyak-siswa-sma-di-daerah-3t-tak-lancar-membaca-dan-berhitung">ketertinggalan sektor pendidikan</a> provinsi tersebut, langkah ini adalah upaya mendongkrak “<a href="https://news.detik.com/berita/d-6593664/masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt-tuai-kritik-ini-awal-mula-arahannya">etos kerja</a>” pelajar, hingga mempersiapkan mereka masuk perguruan tinggi top atau bahkan “<a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230228153740-20-918914/gubernur-ntt-hanya-dua-sma-di-kupang-yang-masuk-jam-5-pagi">menuju Universitas Harvard sekalipun</a>”. </p>
<p>Menurut Dinas Pendidikan NTT, kebijakan ini sudah langsung <a href="https://regional.kompas.com/read/2023/02/28/175737478/kontroversi-siswa-ntt-masuk-sekolah-jam-5-pagi-kadis-pendidikan-sebut-masih?page=all">diuji coba</a> di sepuluh sekolah – meski kemudian direvisi <a href="https://tekno.tempo.co/read/1697343/aturan-siswa-masuk-jam-5-pagi-diprotes-disdik-ntt-cuma-ubah-ke-5-30-pagi">menjadi jam 5.30 pagi</a>. Di antaranya di <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2023/02/28/132500465/alasan-pemprov-ntt-terapkan-masuk-sekolah-pukul-5-pagi">SMAN 1</a> dan <a href="https://www.tribunnews.com/regional/2023/02/28/viral-siswa-sman-6-kota-kupang-sudah-tiba-di-sekolah-pukul-5-pagi-terapkan-kebijakan-gubernur-ntt">SMAN 6 Kupang</a>.</p>
<p>Namun, banyak pihak telah mengkritik kebijakan ini, termasuk akademisi, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/14054591/soal-sekolah-pukul-0500-di-ntt-pimpinan-komisi-x-minta-pemprov-praktikkan">politikus</a>, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1697048/serikat-guru-indonesia-kritik-kebijakan-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt">serikat guru</a>, <a href="https://kupang.tribunnews.com/2023/02/28/ketua-lpa-ntt-tolak-tegas-kebjakan-siswa-masuk-sekolah-jam-5-pagi?page=all">lembaga perlindungan anak</a>, dan bahkan orang tua serta pelajar. Mereka menganggap perumusan kebijakan ini tak hanya minim <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/03/01/15382341/anak-sma-smk-ntt-masuk-pukul-0500-pagi-anggota-dpr-jangan-jadikan-murid">deliberasi dan partisipasi</a> masyarakat, namun juga dibuat secara terburu-buru dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230228194449-20-919055/p2g-soal-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt-ditertawakan-dunia">tanpa kajian akademik</a> yang jelas.</p>
<p>Senada dengan kritik yang beredar, kami berpendapat bahwa konsep masuk sekolah pagi dengan narasi ala pemerintah NTT perlu juga dibangun di atas konsep medis dan pendidikan.</p>
<p>Beberapa pertanyaan mendasar yang perlu mereka jawab, misalnya, adalah bagaimana seharusnya jam sekolah diatur? Apa kata sains terkait jam tidur pelajar dan capaian akademik mereka?</p>
<p>Jika pemerintah NTT gagal mempertimbangkan hal-hal di atas, alih-alih mendongkrak capaian pendidikan, kebijakan ini justru bisa mengancam kesehatan remaja NTT serta kesejahteraan mereka dalam menempuh pendidikan.</p>
<h2>Kebutuhan jam tidur remaja</h2>
<p>Mengingat penetapan jam sekolah adalah domain kebijakan publik, maka hal ini perlu berlandaskan pemahaman terkait kebutuhan anak dan remaja dari berbagai sisi. Berkaca dari literatur yang ada, kami berpandangan bahwa masuk sekolah pada pukul 5 pagi mengancam kesehatan, kebutuhan tidur remaja, serta kemampuan kognitif.</p>
<p>Dalam menimbang kebutuhan tidur, misalnya, penting untuk memahami bahwa setiap manusia memiliki jam biologis, atau biasa disebut dengan “ritme sirkadian” (<em>circadian rythm</em>).</p>
<p>Bukti sistematis ini pun telah diuraikan secara mendalam oleh para pemenang Hadiah Nobel Kedokteran 2017 yakni <a href="https://www.nobelprize.org/uploads/2018/06/advanced-medicineprize2017.pdf">Jeffrey C. Hall, Michael Rosbash, dan Michael W. Young</a>. Riset-riset mereka membuktikan adanya mekanisme biokimia yang mengontrol ritme fisiologis makhluk hidup – kapan mengantuk hingga kapan tubuh terjaga penuh – sesuai stimulus lingkungan dan cahaya.</p>
<p>Matthew Walker, profesor neurosains di University of California, Berkeley di Amerika Serikar (AS) juga mengangkat tentang peran ritme sirkadian ini dalam bukunya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/34466963-why-we-sleep"><em>Why We Sleep: The New Science of Sleep and Dreams</em> (2017)</a> yang membahas alasan ilmiah mengapa tidur itu penting.</p>
<p>Dalam konteks remaja usia SMA, secara biologis mereka tengah memasuki usia pubertas yang dinamis. Kelompok ini memiliki tantangan besar karena harus berjuang keras untuk bangun pada pagi hari. Riset menunjukkan bahwa ketika anak muda mulai pubertas, jam biologis mereka bergeser; mereka biasanya <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17383934/">cenderung tidur lebih larut akibat pergeseran ritme biologis</a>.</p>
<p>Perubahan ritme biologis dan waktu tidur tak teratur ini, ditambah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25444442/">hal-hal yang umum terjadi pada periode remaja</a> – termasuk penggunaan gawai, tuntutan mengerjakan PR, hingga kebutuhan hiburan televisi dan film – menyebabkan waktu tidur mereka kian menipis. Sebagaimana yang diungkap <a href="https://www.thecrimson.com/article/2022/10/17/sleep-study-article/">studi Universitas Harvard di AS</a>, dinamika ini menyulitkan remaja untuk mendapatkan tidur berkualitas dan rutin tiap malam.</p>
<p><a href="https://aasm.org/">American Academy of Sleep Medicine</a> dan <a href="https://www.cdc.gov/">Centers for Disease Control and Prevention (CDC)</a> di AS, misalnya, merekomendasikan remaja berusia 13-18 tahun untuk <a href="https://www.cdc.gov/healthyschools/features/students-sleep.htm">tidur secara teratur 8-10 jam per hari demi kesehatan yang baik</a>. </p>
<p>Remaja yang kurang tidur lebih mungkin mengalami gangguan metabolisme dan berkorelasi dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22530111/">kelebihan berat badan</a>, kesulitan melakukan aktivitas fisik sehari-hari, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/#R4">gejala depresi, keterlibatan dalam perilaku berisiko yang tidak sehat seperti kecanduan alkohol, merokok tembakau, menyalahgunakan obat-obatan terlarang</a>, serta prestasi buruk di sekolah. </p>
<h2>Jadwal sekolah yang ideal</h2>
<p>Secara global, para ahli mengatakan bahwa jam mulai sekolah adalah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18849051/">hal utama yang menentukan pola bangun tidur siswa</a>. Itulah mengapa, misalnya, siswa umumnya tidur lebih lama dengan rerata 1-2 jam pada hari libur – atau dalam konteks penganut agama Islam, punya waktu tidur tambahan selepas salat subuh.</p>
<p>Implikasinya, jam sekolah wajib mempertimbangkan dinamika remaja usia SMA.</p>
<p>Epidemiolog di CDC, Anne Wheaton beserta timnya melakukan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/">analisis sistematis (<em>systematic review</em>) atas 38 penelitian</a> terkait kebijakan jadwal sekolah dan dampaknya pada remaja. Secara umum, ada kesepakatan dari para peneliti bahwa jam sekolah ideal itu mulai lebih telat – misalnya sekitar jam 8.30 atau 9.00 pagi. Hal ini memberikan waktu bagi remaja SMA agar tidur dengan layak dan bahkan punya waktu cukup untuk sarapan pagi, serta melakukan persiapan yang baik untuk sekolah.</p>
<p>Hal di atas juga menjadi alasan banyak negara, dari Australia hingga negara-negara Skandinavia, memulai sekolah SMA pada <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4824552/#R4">jam 8.30 ke atas</a>. Meski di Amerika Serikat sedikit lebih awal – kebanyakan sekolah mulai pukul 8.00 pagi – <a href="https://www.sleepfoundation.org/school-and-sleep/later-school-start-times">Perhimpunan Dokter Anak Amerika</a> secara tegas menyarankan sekolah mulai minimal pukul 8.30 pagi.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnhum.2017.00588/full">Uji coba lain di Inggris</a> yang terstruktur selama periode empat tahun (2010-2014) menemukan bahwa memindahkan waktu masuk sekolah dari standar waktu jam 9.00 ke jam 10 pagi (pulang jam 14.00) menghasilkan kenaikan sebesar 12% dalam capaian akademik siswa.</p>
<p>Secara umum, riset di atas juga menunjukkan bahwa jam masuk sekolah yang lebih siang berkaitan dengan naiknya tingkat kehadiran di sekolah, lebih sedikitnya keterlambatan, lebih sedikit anak yang tertidur di kelas, nilai lebih baik, dan lebih sedikit kecelakaan kendaraan bermotor.</p>
<p>Tapi tak hanya itu, dampak dari jam mulai sekolah yang terlalu pagi, seperti kebijakan baru dari pemerintah NTT, berisiko secara sistematis bukan hanya untuk murid.</p>
<p>Para guru perkotaan yang memiliki keluarga kecil dengan anak usia dini dan usia sekolah tanpa dukungan sosial yang memadai, tidak kalah sengsaranya. Guru-guru dan orang tua akan kehilangan waktu tidur dan mesti bangun lebih awal beberapa jam untuk mempersiapkan anak-anaknya dan keluarganya – ini pun juga <a href="https://theconversation.com/sleeping-longer-than-6-5-hours-a-night-associated-with-cognitive-decline-according-to-research-whats-really-going-on-here-170989">bisa mengancam kesehatan mereka</a> pada masa tua.</p>
<p>Seperti kata pepatah, “<em>the road to hell is paved with good intentions</em>” (“jalan menuju neraka dibangun dengan niat baik”). Meski tujuan pemerintah NTT adalah meningkatkan capaian akademik siswa, kebijakan yang asal dibuat tanpa mempertimbangkan kajian tentang kebutuhan remaja justru akan menjerumuskan mereka dalam ancaman kesehatan dan kemunduran pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200847/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para ahli sepakat bahwa jam masuk sekolah SMA yang ideal minimal pukul 8.30. Bahkan, di Inggris, menggeser waktu masuk sekolah ke jam 10.00 pagi dapat meningkatkan kualitas belajar siswa sebesar 12%.Hermina Manlea, Researcher in Science Education, The University of Western AustraliaJonatan A Lassa, Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1504522023-02-10T04:46:10Z2023-02-10T04:46:10ZLiterasi kesehatan soal HIV di sekolah masih rendah, bagaimana cara meningkatkannya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509363/original/file-20230210-26-mctb6j.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.cdc.gov/stophivtogether/index.html#print">CDC</a></span></figcaption></figure><p>Salah satu cara untuk mencegah penularan HIV/AIDS adalah meningkatkan pemahaman terkait pola penularan dan menghindari faktor risiko penyakit menular ini di kalangan siswa di sekolah.</p>
<p>Ada lebih <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/26/berapa-jumlah-sekolah-di-indonesia-pada-tahun-ajaran-20202021">dari 200 ribu</a> sekolah baik negeri maupun swasta, dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, yang potensial menjadi medium kampanye dan edukasi mencegah HIV. </p>
<p>Masalahnya, <a href="https://journal.fkm.ui.ac.id/epid/article/view/1803">sebuah riset pada 2017 dari Universitas Indonesia</a> menemukan hampir 50% pelajar kurang pengetahuan terkait HIV. Riset ini menggunakan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, dengan sampel sekitar 8.300 remaja usia 15-19 tahun.</p>
<p>Riset lainnya pada 2011, dari data sekitar 14 ribu remaja, juga menunjukkan <a href="https://media.neliti.com/media/publications/105651-ID-pengetahuan-hiv-dan-aids-pada-remaja-di.pd">lebih dari 60% responden memiliki level pengetahuan kurang terkait HIV</a>. Sebuah studi lain melaporkan bahwa <a href="http://lp3m.thamrin.ac.id/upload/jurnal/JURNAL-1519703534.pdf">kurangnya pengetahuan</a> siswa SMA ini potensial terbawa sampai ke <a href="https://media.neliti.com/media/publications-test/21288-hubungan-antara-karakteristik-responden-b04732f2.pdf">usia dewasa saat berkeluarga</a>.</p>
<p>Sebenarnya, kurikulum sekolah di level SMA sudah mengintegrasikan bahasan virus HIV dalam pelajaran biologi untuk meningkatkan pemahaman remaja. Namun, guru perlu memperbanyak dan memperdalam pokok bahasan HIV untuk meningkatkan pemahaman siswa mengenai pencegahan HIV dengan studi kasus yang riil di masyarakat, termasuk menghadirkan pengidap HIV di ruang kelas. Progam pengabdian masyarakat yang kami kerjakan pada 2020 di sekolah di Sidoarjo, Jawa Timur, memberikan gambaran masalah tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/data-bicara-kasus-hiv-di-indonesia-meningkat-dalam-10-tahun-terakhir-bagaimana-cara-mengendalikannya-190000">Data Bicara: kasus HIV di Indonesia meningkat dalam 10 tahun terakhir, bagaimana cara mengendalikannya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Usia produktif rentan penularan HIV</h2>
<p>HIV, <em>Human Immunodeficiency Virus</em>, merupakan virus yang dapat menginfeksi leukosit atau sel darah putih sehingga melemahkan sistem kekebalan tubuh. </p>
<p>Penularan HIV melalui cairan tubuh dari orang yang terinfeksi, misalnya darah, ASI (air susu ibu), semen (sperma) dan cairan vagina. HIV juga dapat ditularkan <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html">dari suami positif HIV lalu ke ibu hamil dan akhirnya ke anak</a>. Berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau air tidak menularkan HIV. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2019.pdf">data profil kesehatan Indonesia 2019</a>, jumlah kasus baru HIV di Indonesia pada 2019 mencapai 50.282 orang. </p>
<p>Dari persebaran usia, kasus HIV terjadi pada usia antara 4-50 tahun. Usia produktif 25-49 tahun paling tinggi di antara usia lainnya (70,4%). Usia ini merupakan usia produktif bekerja, termasuk usia yang sudah matang membangun rumah tangga. Disusul <a href="https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2019.pdf">peringkat kedua</a> adalah <a href="https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%202020%20HIV.pdf">usia 20-24 tahun</a> (15%). Mereka adalah usia produktif untuk kuliah atau mulai bekerja.</p>
<p>Dari sisi wilayah, <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html">data Infodatin (2020)</a> menunjukkan kasus infeksi HIV banyak dilaporkan dari Jawa Timur sebagai posisi teratas, disusul Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan provinsi lainnya.</p>
<p>Temuan lainnya, <a href="https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2019.pdf">dari sekitar 2,3 juta ibu hamil yang diperiksa, sekitar 6.400 (0,27%) di antaranya positif HIV</a>. Dari jumlah itu, provinsi yang paling banyak melaporkan ibu hamil positif HIV adalah Sulawesi Utara (3,06%), Sulawesi Tenggara (1,44%) dan Papua (1,12%). </p>
<p>Fenomena ini masih belum dipahami masyarakat. Artinya tidak semua masyarakat tahu bahwa ada kasus HIV pada ibu hamil. Kejadian ini dapat terjadi karena ibu tertular dari suaminya yang telah positif HIV. </p>
<p>Dalam progam pengabdian masyarakat yang kami lakukan pada 2020 di sekolah di Sidoarjo, Jawa Timur, kami menghadirkan seorang ibu dengan HIV di depan para guru biologi. Sang ibu mengatakan bahwa suaminya yang bekerja sebagai penegak hukum sering pulang malam dari kantor. Setelah dia dites HIV dan dinyatakan positif, barulah dia tahu bahwa suaminya sering bermain seks dengan perempuan lain di luar rumah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/angka-infeksi-hiv-pada-ibu-hamil-naik-bagaimana-kita-bisa-ikut-mencegahnya-140977">Angka infeksi HIV pada ibu hamil naik, bagaimana kita bisa ikut mencegahnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sekolah tempat edukasi HIV/AIDS strategis</h2>
<p><a href="http://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/20607">Laporan pada 2018 dari Universitas Padjadjaran</a> menunjukkan remaja perempuan lebih banyak pernah mendengar tentang HIV/AIDS dibanding remaja laki-laki. Sumber informasi yang banyak mereka ketahui adalah dari guru sekolah, teman, dan internet. Cara mencegah HIV, menurut sebagian besar remaja, adalah membatasi hubungan seksual hanya dengan satu pasangan. Ini artinya mereka telah mengetahui salah satu cara mencegah penularan HIV. </p>
<p>Sekolah bisa berperan besar untuk meningkatkan literasi kesehatan remaja terkait HIV melalui pembelajaran yang lebih aktual dan kontektual.</p>
<p>Kompetensi Dasar yang ditetapkan Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan tahun 2013, misalnya, di <a href="http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/drs-sudarmaji-mpd/03-kompetensi-dasar-sma-2013.pdf">Mata pelajaran Biologi kelas X (kelas 1 SMA)</a> terdapat kompetensi yang berkenaan dengan penyakit HIV-AIDS. Yakni membuat usulan tindakan preventif untuk meminimalkan dampak infeksi virus (HIV, SARS, herpes, hepatitis, influenza, rabies, polio, campak, dan COVID-19) pada manusia dan menjelaskan peran virus dalam rekayasa genetika (kompetensi 4.4). </p>
<p>Wawancara mendalam tim kami dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Sidoarjo terhadap guru-guru biologi menunjukkan bahwa mempelajari HIV/AIDS selama ini sebatas pada mencari informasi di internet. Lalu siswa diminta membuat makalah dan presentasi, atau membuat poster. Ada juga yang lebih mempelajari sains dasar yaitu permainan merangkai potongan gambar siklus HIV dan menjelaskannya. Dari semua itu, semua pembelajaran bersifat teoritis.</p>
<p>Untuk mendapat pengalaman pembelajaran yang berbeda, tim kami di forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Biologi Sidoarjo menghadirkan narasumber seorang ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS (ODHA, orang dengan HIV-AIDS). Para guru mengatakan baru pertama kali ini mereka bertemu dan mendengarkan pengalaman dari ODHA secara langsung (tatap muka). Pertemuan ini membuat mereka terharu dan kagum terhadap perjuangan ODHA untuk bertahan hidup. </p>
<p>Para guru juga mengaku kaget bahwa persepsi ODHA berbadan kurus atau sakit-sakitan adalah salah. Karena narasumber yang mengidap HIV itu tampak seperti orang seperti status gizi normal. Semua peserta menyadari bahwa ternyata tidak semua ODHA tertular karena perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik narkotika secara bergantian, ataupun berganti-ganti pasangan. </p>
<p>Pandangan para guru ini cocok dengan hasil sebuah studi yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS berhubungan dengan <a href="https://journal.fkm.ui.ac.id/epid/article/view/1803">stigma terhadap ODHA</a>. Ini bisa jadi benar, karena anggapan masyarakat bahwa HIV dibawa oleh pekerja seksual komersial (PSK) dan pemakai narkotika. </p>
<p>Konsep penularan HIV dalam rumah tangga hingga ditemukannya kejadian ibu hamil positif HIV masih belum disebarkan kepada siswa yang kelak akan berumah tangga. Edukasi apa yang kita harus lakukan ketika dihadapkan situasi sedang bersama ODHA juga sepertinya belum terjamin merata di semua sekolah.</p>
<p>Penularan HIV bisa diperoleh dari pasangan yang berisiko dan akhirnya berlanjut kepada bayi yang ada di dalam kandungan ibu yang terkena HIV, sehingga bayi bersangkutan <a href="https://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/cdj/article/view/993">menjadi anak dengan HIV/AIDS (ADHA</a>). </p>
<p>Stigma dari masyarakat terhadap ODHA adalah bahwa ODHA terjadi karena perbuatan mereka sendiri. Sehingga terpasang persepsi bahwa penyakit tersebut menjadi sebuah hukuman (kutukan) untuk mereka. Selain itu ada kekhawatiran dan ketakutan akan tertular HIV apabila ODHA duduk di sebelah kita. Pengalaman bertemu langsung dengan ODHA seperti ini tentu tidak semua sekolah mendapatkannya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/stigma-masyarakat-menghambat-pemenuhan-hak-asasi-anak-dengan-hiv-aids-di-indonesia-88413">Stigma masyarakat menghambat pemenuhan hak asasi anak dengan HIV/AIDS di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Agenda ke depan</h2>
<p>Dari pengamatan kami di lapangan itu, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Biologi perlu menyusun poin-poin yang jelas ketika membahas virus HIV dalam pelajaran biologi. </p>
<p>Penguatan materi HIV dari tenaga kesehatan yang berpengalaman perlu disosialisasikan kepada guru secara berkala untuk mengenal aspek virus, penularan, dan gejala sakit. Guru perlu sesekali menghadirkan penderita HIV untuk bercerita di depan siswa di kelas. </p>
<p>Hal yang sangat penting adalah tidak melupakan aspek kemanusiaan ketika berjumpa langsung dengan ODHA karena kelak siswa akan hidup bersama masyarakat serta membangun rumah tangga yang sehat.</p>
<p>Dinas Kesehatan perlu menggandeng Dinas Pendidikan dan sekolah untuk terus mensosialisasikan bahaya HIV.</p>
<p>Pengukuran pengetahuan siswa juga perlu dilakukan secara berkala sebelum kita melepas mereka saat tamat sekolah. Guru biologi juga perlu bekerja sama dengan guru agama untuk mengadakan program religius untuk siswa sebagai upaya untuk mencegah perilaku berisiko terkena HIV.</p>
<p>Upaya ini tidak bisa ditunda-tunda lagi, mengingat populasi siswa yang sangat banyak dan potensi terancam yang tidak kita duga. Jika dibiarkan berjalan seperti biasa, ada kekhawatiran mereka akan salah pergaulan dan berperilaku risiko tinggi HIV/AIDS ketika lulus, hidup bersama masyarakat, dan berumah tangga.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150452/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sekolah bisa berperan besar untuk meningkatkan literasi kesehatan remaja terkait HIV melalui pembelajaran yang lebih aktual dan kontektual.Hebert Adrianto, Dosen Kedokteran Tropis, Universitas CiputraHanna Tabita Hasianna Silitonga, Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas CiputraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1949192022-11-25T02:32:13Z2022-11-25T02:32:13ZIngin perbaiki kualitas pengajaran? Kuncinya amati interaksi guru dan murid langsung di ruang kelas<p>Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim awal tahun ini memaparkan <a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-6011380/nadiem-ungkap-rapor-pendidikan-indonesia-hasil-asesmen-nasional-ini-hasilnya">hasil Asesmen Nasional 2021</a> – sistem evaluasi capaian dan kualitas pembelajaran yang menggantikan Ujian Nasional (UN). Hasilnya, dari 6,5 juta murid kelas 5, 8, dan 11 yang terlibat, separuh berkompetensi literasi kurang dan dua pertiga berkemampuan numerasi rendah.</p>
<p>Asesmen baru ini tentu menawarkan cara baru mengevaluasi capaian murid dan kualitas pengajaran guru di Indonesia dengan meninjau <a href="https://tirto.id/apa-itu-asesmen-nasional-an-arti-waktu-pelaksanaan-macam-tes-f9sn">beragam faktor penting</a>. Ini termasuk pengukuran kompetensi dasar dan karakter siswa hingga survei terkait lingkungan belajar mereka.</p>
<p>Sayangnya, satu hal yang jarang masuk dalam instrumen asesmen seperti ini, meski sangat penting, adalah observasi belajar-mengajar langsung di ruang kelas.</p>
<p>Padahal, <a href="https://econpapers.repec.org/article/eeeecoedu/v_3a30_3ay_3a2011_3ai_3a3_3ap_3a559-574.htm">penelitian di Pakistan</a> menemukan bahwa hasil pengamatan langsung atas proses pengajaran justru lebih penting dalam meningkatkan prestasi murid – bahkan lebih berpengaruh ketimbang karakter dan kualifikasi guru seperti sertifikasi, umur, dan pendidikan mereka.</p>
<p>Seperti apa sistem observasi kelas ini, dan bagaimana pembuat kebijakan bisa menerapkannya untuk meningkatkan kualitas pengajaran di Indonesia?</p>
<h2>Observasi guru dan murid di kelas</h2>
<p>Di dunia pendidikan global, beberapa instrumen telah dikembangkan untuk observasi kelas. Pada awal 2022, misalnya, program Research on Improving Systems of Education (RISE) Internasional <a href="https://riseprogramme.org/publications/identifying-effective-teachers-highlights-four-classroom-observation-tools">menyusun beberapa indikator</a> – termasuk perilaku guru, penggunaan materi dan fasilitas kelas, interaksi dan dukungan emosional, hingga budaya kelas – untuk mengamati guru dan teknik mengajar seperti apa yang efektif.</p>
<p>Para peneliti mengamati faktor-faktor tersebut pada 106 sekolah di Tanzania. </p>
<p>Mereka menemukan bahwa indikator-indikator tersebut bisa menangkap beberapa aspek kualitas pengajaran guru yang dapat berpengaruh pada capaian belajar murid. Hal-hal ini bisa jadi tidak akan tertangkap dalam asesmen biasa yang tidak melibatkan observasi kelas.</p>
<p>Misalnya, studi menemukan bahwa bagi guru dengan penguasaan materi yang sudah baik, mengasah teknik mengajar mereka bisa membuat murid meraih skor ujian tinggi. Namun, bagi mereka yang penguasaannnya rendah, prioritasnya adalah memperbaiki penguasaan materi terlebih dulu serta meningkatkan jam terbang di kelas, sebelum teknik mengajar mereka bisa berdampak pada capaian siswa.</p>
<p>Mengingat pentingnya observasi kelas semacam ini, kami di program <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/tr_cerdasrise_en.pdf">RISE Indonesia</a> menyusun pedoman serupa dengan yang diterapkan di Tanzania, bernama <em>Classroom Observation Tool for Assessing the Dimensions of Teaching Practices</em> (CERDAS).</p>
<p>CERDAS memetakan pola mengajar guru, terutama di tingkat dasar (SD). Desainnya merujuk pada prinsip-prinsip dalam <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/15035/1/08.-Supervisi-dan-PK-Guru_26042019.pdf">alat evaluasi guru nasional</a> dan beberapa <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/215241598376994051/pdf/Identifying-Effective-Teachers-Lessons-from-Four-Classroom-Observation-Tools.pdf">instrumen observasi di negara lain</a>.</p>
<p>Penilaian CERDAS terbagi dalam tiga tahap observasi pembelajaran, yakni saat memperkenalkan materi, inti pelajaran, dan penutup. Pengamatan dilakukan beberapa kali dengan tiap jendela observasi 1-2 jam dengan menanyakan 4 poin penting: 1) sejauh mana guru menerapkan struktur pembelajaran; 2) bagaimana jenis interaksi guru dan murid; 3) seperti apa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru; dan 4) seperti apa suasana kelas yang terjadi. </p>
<p>Dalam <a href="https://riseprogramme.org/sites/default/files/2022-05/Pre-Service%20Teachers%20Selectivity.pdf">salah satu studi RISE Indonesia</a>, misalnya, kami memakai instrumen CERDAS untuk mengevaluasi kinerja 114 kandidat guru dalam program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang mengajar kelas 1-6, ditambah data terkait capaian akademik mereka.</p>
<p>Hasilnya, sepertiga guru dengan nilai seleksi PPG terbaik (nilai tes masuk <em>online</em>, nilai wawancara, dan IPK S1) belum tentu melakukan praktik pengajaran yang baik dalam mendukung pembelajaran. </p>
<p>Kami juga mendapatkan beberapa wawasan menarik. Salah satunya, praktik pengajaran sepertiga guru dengan nilai teratas dan sepertiga guru dengan nilai terbawah, ternyata relatif sama. Kurikulum yang terlampau padat membuat semua guru mempunyai ruang terbatas untuk mengeksplorasi teknik mengajar yang baik – hal penting yang bisa menjadi evaluasi kebijakan pendidikan di Indonesia.</p>
<h2>Observasi kelas sebagai pusat manajemen pengajaran</h2>
<p>Kami merekomendasikan agar sistem observasi kelas menjadi pusat manajemen perbaikan mutu pengajaran di Indonesia. Untuk itu, observasi kelas perlu menjadi kegiatan rutin dan berkala.</p>
<p>Bagaimana teknis pelaksanaan dan pemanfatannya?</p>
<p>Beberapa contoh yang bisa sekolah terapkan, misalnya, adalah memasang CCTV dan perekam suara di beberapa kelas yang menjadi ruang observasi.</p>
<p>Tentu demi transparansi dan privasi, keberadaan dan tujuan pemasangan alat ini harus diketahui semua guru – tapi tanpa memberi tahu mereka kapan observasi akan berlangsung. Tujuannya adalah untuk menghindari <a href="https://www.investopedia.com/terms/h/hawthorne-effect.asp">‘efek Hawthorne’</a>. Guru yang mengetahui bahwa ia sedang diobservasi, justru bisa sengaja mengubah perilakunya dan bertindak tidak alami.</p>
<p>Setelah semua sarana dan prasarana observasi terpasang, kepala sekolah atau tim evaluasi mengobservasi semua guru minimal sebulan sekali.</p>
<p>Segera setelah observasi kelas, kepala sekolah membahas kekuatan dan kelemahan pengajaran bersama guru yang bersangkutan. Dengan itu, sekolah dapat memberikan saran perbaikan, bantuan, atau pelatihan kepada guru.</p>
<p>Di samping itu, setiap bulan sekolah mengadakan pertemuan dengan semua guru untuk mendengar pemaparan dan membahas informasi hasil seluruh observasi. Pertemuan bulanan ini merupakan forum pembelajaran bersama yang bertujuan mendorong guru memperbaiki diri sendiri.</p>
<p>Akumulasi data hasil observasi kelas di berbagai sekolah juga dapat dipakai oleh dinas pendidikan daerah atau tim riset di lembaga penelitian atau universitas untuk memperkuat kebijakan pendidikan berbasis bukti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun bisa memanfaatkan akumulasi data daerah untuk melengkapi informasi hasil Asesmen Nasional.</p>
<p>Tak hanya itu, hasil observasi kelas dapat pula dijadikan materi kuliah calon guru di universitas keguruan (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, atau LPTK) dan peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai bahan persiapan mereka sebelum melakukan latihan praktik mengajar.</p>
<h2>Upaya perbaikan mutu pengajaran perlu gotong royong</h2>
<p>Membangun budaya observasi kelas sebagai bagian kunci dalam manajemen pengajaran adalah kerja besar, yang butuh biaya besar pula.</p>
<p>Namun, dinamika di ruang kelas sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan ‘tempat kejadian perkara’ yang sangat menentukan kualitas pembelajaran.</p>
<p>Kemendikbudristek tentu bertanggung jawab untuk mengawasi dan memperbaiki mutu pengajaran ini. Namun, mereka tidak bisa bekerja sendiri, terlebih setelah Badan Penelitian dan Pengembangannya (Balitbang) terserap ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhir tahun lalu. </p>
<p>Pelaksanaan asesmen observasi kelas secara nasional membutuhkan gotong royong dari kementerian, BRIN, universitas keguruan, hingga dinas pendidikan daerah.</p>
<p>Kemendikbudristek kemudian bisa mengelola hasilnya menjadi bahan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan terkait pembelajaran, guru, dan sekolah. Mengevaluasi data interaksi guru-murid secara rutin dan berkala akan membantu sekolah dan segenap pemangku kepentingan pendidikan memperbaiki capaian edukasi di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dinamika di ruang kelas sangat penting untuk kita pelajari karena merupakan ‘tempat kejadian perkara’ yang sangat menentukan kualitas pembelajaran.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteAsri Yusrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1905382022-09-16T08:52:08Z2022-09-16T08:52:08ZMembedah tiga tujuan utama RUU Sisdiknas: payung hukum baru yang akan merombak sistem pendidikan Indonesia<p>Pada Agustus 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merilis <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Naskah-RUU-Sisdiknas.pdf">Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas)</a>.</p>
<p>RUU Sisdiknas rencananya akan <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/tanya-jawab/">mengintegrasikan dan mencabut tiga UU</a> dalam dunia pendidikan Indonesia – UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (versi sebelumnya), UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Tenaga Kependidikan, serta UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.</p>
<p>Berbeda dari beberapa RUU lain, Kemdikbudristek membuka proses penyusunan RUU Sisdiknas secara komprehensif <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">di laman daring mereka</a>, dan memuat dokumentasi, naskah, ringkasan, serta artikel-artikel terkait.</p>
<p>Namun, seiring upaya publikasi ini, <a href="https://nasional.sindonews.com/read/886083/15/tgb-rektor-ipb-dan-pemred-sindo-bakal-kaji-polemik-ruu-sisdiknas-di-webinar-partai-perindo-besok-1663236567">polemik dari publik</a> pun juga terus bermunculan.</p>
<p>Sebagai seorang peneliti dan analis kebijakan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) di Kemdikbudristek, melalui tulisan ini saya ingin menjelaskan beberapa tantangan besar dunia pendidikan yang ingin diselesaikan oleh RUU Sisdiknas.</p>
<p>Data menunjukkan Indonesia telah <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/RISE_WP_Indonesia%20Got%20Schooled_0.pdf">sukses mencapai tingkat partisipasi sekolah yang tinggi</a> selama 20 tahun terakhir. Misalnya, tingkat partisipasi untuk jenjang pendidikan menengah (SMP dan SMA) naik dari sekitar 42% pada tahun 1995 menjadi <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SE.SEC.NENR?locations=ID">sekitar 79% pada 2018</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">Naik kelas tapi tak belajar: penelitian ungkap 3 capaian buruk terkait pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, meski pemerintah juga sudah banyak mengucurkan anggaran, berbagai indikator – dari <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">riset</a> hingga <a href="https://www.oecd.org/pisa/PISA%202018%20Insights%20and%20Interpretations%20FINAL%20PDF.pdf">laporan global PISA</a> – menunjukkan capaian pendidikan Indonesia belum banyak berubah dan tertinggal dari banyak negara.</p>
<p>RUU Sisdiknas merupakan <a href="https://bsc.cid.harvard.edu/files/bsc/files/pdiatoolkit_ver_1_oct_2018.pdf">upaya dan strategi baru</a> untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang masih rendah tersebut melalui tiga pilar utama: mengurai hambatan birokrasi perundang-undangan, menyederhanakan sistem pendidikan yang kaku, serta membenahi kualitas dan kesejahteraan guru.</p>
<h2>Tiga tujuan utama RUU Sisdiknas</h2>
<p><strong>1. RUU Sisdiknas mendorong adanya keselarasan peraturan perundang-undangan terkait pendidikan</strong></p>
<p>Saat ini, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur oleh tiga UU berbeda, yakni <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43920/uu-no-20-tahun-2003">UU Sisdiknas tahun 2003</a>, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005">UU Guru dan Dosen tahun 2005</a>, serta <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39063/uu-no-12-tahun-2012">UU Pendidikan Tinggi tahun 2012</a>.</p>
<p>Akhirnya, banyak peraturan kini menjadi tidak selaras. Misalnya, standar nasional pendidikan saat ini tumpang tindih antara UU Sisdiknas 2003 dan UU Pendidikan Tinggi 2012.</p>
<p>Beberapa peraturan juga <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Paparan-RUU-Sisdiknas.pdf">terlalu mengunci</a> dan tidak mengikuti perkembangan zaman, mulai dari regulasi kewajiban 24 jam mengajar hingga kategori guru dan satuan pendidikan yang kaku. Beragam aspek ini diatur secara rinci dalam UU, sehingga sangat sulit diubah.</p>
<p>Akibatnya, berbagai upaya transformasi dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan – seperti kebijakan <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id/">Merdeka Belajar</a> – selama ini kerap tersendat dalam labirin perundang-undangan yang kompleks dan penuh batasan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-kurang-dari-kebijakan-merdeka-belajar-menteri-nadiem-perlunya-libatkan-keluarga-dan-pemerintah-daerah-129196">Yang kurang dari kebijakan 'Merdeka Belajar' Menteri Nadiem: perlunya libatkan keluarga dan pemerintah daerah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ruang gerak pemerintah pusat maupun daerah pun menjadi relatif sempit. Mereka terbiasa <a href="https://jurnalsumbar.com/2022/07/hidayat-edaran-disdik-sumbar-berpotensi-langgar-permendikbud-ppdb/">mencari celah</a> dalam peraturan untuk sekadar bisa <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220825150359-20-839073/ombudsman-seleksi-ptn-jalur-mandiri-tak-salah-tapi-kurang-pengawasan">berinovasi</a>. </p>
<p>Proses ini terjadi selama bertahun-tahun, sedemikan sehingga program dan tata aturan pendidikan bisa menjadi sangat <a href="https://riseprogramme.org/publications/system-incoherence-quantifying-alignment-primary-education-curriculum-standards">ruwet dan tidak berkesinambungan</a>.</p>
<p>RUU Sisdiknas harapannya dapat menyederhanakan dan menyelaraskan beragam aspek tersebut dan membuka ruang inovasi dari pemerintah pusat, departemen pendidikan daerah, hingga satuan pendidikan.</p>
<p><strong>2. RUU Sisdiknas bertujuan untuk merumuskan ulang sistem pendidikan agar lebih selaras, fleksibel, mudah dikelola</strong></p>
<p>Saat ini, kerangka jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang ada begitu kaku dan tidak terintegrasi. Ini cenderung mengkotak-kotakkan pendidikan anak berdasarkan karier belajar, dan menyulitkan mereka yang ingin berpindah haluan. </p>
<p>Misalnya, perpindahan dari satuan pendidikan di bawah <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2022/04/24/163348471/ruu-sisdiknas-kasih-tempat-pengakuan-pendidikan-basis-agama?page=all">Kementerian Agama</a> (seperti pesantren) ke satuan pendidikan di bawah Kemdikbudristek (seperti sekolah negeri) saat ini tidak mudah karena standar yang berbeda-beda.</p>
<p>Selain memudahkan skenario <em>multi-entry</em> dan <em>multi-exit</em> (masuk dan keluar sistem pendidikan lewat skema yang bermacam-macam), RUU Sisdiknas juga menyelaraskan masing-masing jalur, jenis, dan jenjang pendidikan tersebut dengan standar yang sesuai.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=313&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=313&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=313&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=393&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=393&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/485044/original/file-20220916-20-7gvyrt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=393&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Penyelarasan standar antara jalur, jenis, dan jenjang pendidikan dalam RUU Sisdiknas.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Paparan-RUU-Sisdiknas.pdf">(Kemdikbudristek, Agustus 2022)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Saat ini, misalnya, pada proses penyetaraan (contohnya dalam pendidikan nonformal seperti <em>homeschooling</em>), orang yang sudah bekerja dan memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang baik, masih wajib mengikuti kelas-kelas rutin secara formalitas untuk mendapatkan <a href="https://tirto.id/kemendikbud-ruu-sisdiknas-beri-fleksibilitas-pendidikan-nonformal-gwfa">ijazah Paket A, B, dan C</a>.</p>
<p>Harapannya, penyelarasan standar di antara berbagai jalur dan jenis pendidikan tersebut dapat memangkas beban-beban semacam itu, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh satuan pendidikan.</p>
<p>Dalam perumusan ulang sistem pendidikan ini, RUU Sisdiknas pun berupaya memperkuat pendidikan dasar karena dianggap krusial dan <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000261614">paling berdampak bagi capaian pendidikan</a>. Oleh karena itu, RUU Sisdiknas mengembangkan konsep ‘<a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220830112014-20-840763/aturan-lengkap-wajib-belajar-13-tahun-di-ruu-sisdiknas">Wajib Belajar 13 Tahun</a>’ dengan mengakui pra-sekolah – kelas 0 atau Taman Kanak-Kanak Nol Besar (TK-B) – sebagai jenjang resmi dalam sistem pendidikan.</p>
<p><strong>3. RUU Sisdiknas adalah upaya mendukung kualitas dan kesejahteraan guru dengan lebih komprehensif</strong></p>
<p>UU Sisdiknas 2003 yang berlaku saat ini tidak mengakui para pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan kesetaraan, dan <a href="https://www.republika.co.id/berita/ri5d1o366/pemberian-tunjangan-untuk-guru-pesantren-dinilai-positif">pesantren formal</a> sebagai guru. Akibatnya, jenjang karir, apresiasi, dan sistem pengembangan keprofesian mereka tidak terstandar dan relatif sulit dibina.</p>
<p>Setelah sekian lama, mereka akan <a href="https://paudpedia.kemdikbud.go.id/kabar-paud/berita/dalam-ruu-sisdiknas-2022-pendidik-paud-dan-kesetaraan-dapat-diakui-sebagai-guru-satuan-pendidikan-formal?do=MTExNi0yMDU1NzUyZjg2MTU=&ix=MTEtYmJkNjQ3YzBhNzFi">mendapatkan pengakuan formal</a> melalui RUU Sisdiknas yang baru.</p>
<p>RUU Sisdiknas juga bertujuan menyederhanakan dan membenahi aturan administratif terkait pendidik dan tenaga kependidikan.</p>
<p>Pendidikan Profesi Guru (PPG), misalnya, selama ini menjadi syarat meningkatkan tunjangan profesi. Hal ini membuat pengembangan guru kerap kali berorientasi finansial ketimbang kompetensi kependidikan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dukungan-pengembangan-karier-bagi-guru-sangat-lemah-dan-membuat-status-asn-hanya-jadi-zona-nyaman-169159">Dukungan pengembangan karier bagi guru sangat lemah dan membuat status ASN hanya jadi "zona nyaman"</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada RUU Sisdiknas yang baru, PPG tak akan lagi memengaruhi tunjangan profesi dan hanya berfungsi sebagai <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Paparan-RUU-Sisdiknas.pdf">prasyarat menjadi guru</a> – layaknya SIM bagi pengendara.</p>
<p>Sementara itu, pemerintah akan menyusun struktur insentif baru yang lebih fokus pada pengembangan karier dan kapasitas keprofesian.</p>
<p>Tentu, transformasi tersebut dilakukan dengan ’<a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Paparan-RUU-Sisdiknas.pdf"><em>grandfather clause</em></a>’ (mempertimbangkan kondisi sebelum RUU terbit) – para guru Aparatur Sipil Negara (ASN) yang belum mendapatkan sertifikasi PPG tapi sudah mengajar, berhak mendapatkan tunjangan fungsional dan penghasilan yang layak.</p>
<h2>RUU yang penting dan butuh partisipasi publik</h2>
<p>Di samping tiga tujuan utama itu, RUU Sisdiknas juga berupaya memperkuat kebijakan di berbagai aspek pendidikan lainnya.</p>
<p>Ini termasuk prioritas pendanaan bagi sekolah negeri dalam penyelenggaraan pendidikan, membuat sertifikasi dosen lebih fleksibel guna mendorong inovasi di sekolah vokasi dan kampus baru, hingga pengaturan ulang sanksi pidana yang mengancam berbagai inisiatif pendidikan tak berizin di wilayah terpencil (3T).</p>
<p>Paparan lengkapnya dapat dilihat di <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/08/2208-Paparan-RUU-Sisdiknas.pdf">laman Kemdikbudristek</a>.</p>
<p>Meski baru mengatur hal-hal umum, dan kebijakan yang lebih rinci akan diatur melalui produk hukum turunan, RUU Sisdiknas adalah beleid yang penting dan membutuhkan partisipasi seluruh publik.</p>
<p>RUU Sisdiknas saat ini masih pada fase <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/tahapan-ruu-sisdiknas/">perencanaan</a>. Artinya, ini adalah saat yang tepat untuk memberikan masukan dan berdiskusi dengan Kemdikbudristek sebelum dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).</p>
<p>Miskonsepsi yang sempat terjadi terkait ‘<a href="https://kemenag.go.id/read/madrasah-hilang-di-ruu-sisdiknas-2022-xmq0m">tidak diakuinya madrasah</a>’ hingga ’<a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/09/05/13041571/tunjangan-profesi-di-ruu-sisdiknas-dihapus-pgri-kesejahteraan-guru-jadi-di">hilangnya tunjangan profesi guru</a>’, misalnya, menjadi masukan penting bagi pemerintah untuk meningkatkan komunikasi publik.</p>
<p>Masyarakat perlu terus mengawal RUU Sisdiknas mengingat pentingnya reformasi ini demi masa depan pendidikan Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengurai-polemik-pendidikan-agama-dalam-sejarah-panjang-uu-sisdiknas-dan-minoritas-penghayat-yang-selalu-terlupakan-190563">Mengurai polemik pendidikan agama dalam sejarah panjang UU Sisdiknas -- dan minoritas penghayat yang selalu terlupakan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/190538/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Goldy Fariz Dharmawan bekerja sebagai Peneliti dan Analis Kebijakan di Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), Kemendikbudristek.
Tulisan ini menggunakan informasi RUU Sisdiknas yang berlaku pada September 2022, serta merupakan tulisan pribadi dan tidak mewakili pendapat atau pandangan dari Kemendikbudristek.
Apabila di kemudian hari terdapat perbedaan antara tulisan dan substansi RUU Sisdiknas yang telah diperbaharui, pembaca diminta untuk merujuk kepada dokumen yang telah diperbarui.</span></em></p>RUU Sisdiknas adalah strategi baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui tiga pilar: mengurai hambatan birokrasi, menyederhanakan sistem pendidikan yang kaku, serta membenahi kualitas guru.Goldy Fariz Dharmawan, Researcher and Policy Analyst, Indonesian Education Standard, Curriculum, and Assessment Agency (BSKAP Kemdikbudristek)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1890752022-08-20T08:10:56Z2022-08-20T08:10:56ZDemi dunia yang aman untuk anak, sekolah perlu ajarkan tentang beragam agama dan cara pandang: berkaca dari Australia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/480075/original/file-20220819-2895-dslylr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Murid bisa memahami agama teman-teman mereka dengan lebih baik jika mendapatkan pendidikan tentang agama-agama dunia dan cara pandang yang beragam.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Sekitar 80% murid sekolah menengah di Australia yang mendapatkan mata pelajaran tentang agama-agama yang beragam, mengaku punya pandangan positif terhadap masyarakat Muslim. Angka ini turun menjadi 70% bagi mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran serupa.</p>
<p><a href="http://sociology.cass.anu.edu.au/research/projects/australia-s-gen-zs">Studi yang kami lakukan</a> secara nasional di Australia pada tahun 2019 terkait Generasi Z (lahir sekitar pertengahan 1990-an hingga akhir 2000-an) menunjukkan bahwa remaja yang terekspos pembelajaran tentang keberagaman agama dan pandangan ternyata lebih toleran terhadap kelompok minoritas agama, termasuk Muslim dan Hindu, dibandingkan mereka yang tidak.</p>
<p>Di Australia, pendidikan keagamaan umum berbeda dengan pengajaran agama.</p>
<p>Pengajaran agama dilakukan oleh guru atau relawan dari komunitas agama dan berfokus pada pengasahan keyakinan dalam suatu agama tertentu. Sementara dalam pendidikan keagamaan umum, guru memberikan pengajaran terkait beragam pandangan dan tradisi keyakinan di dunia, termasuk humanisme atau rasionalisme. </p>
<p>Pendidikan keagamaan umum seperti ini seringkali merupakan mata pelajaran yang khusus di sekolah Katolik atau sekolah keagamaan lain di Australia.</p>
<p>Sekolah negeri biasanya tidak memberikan kesempatan bagi murid untuk mempelajari pandangan dan agama yang beragam, dan hanya menawarkan materi terbatas di beberapa subjek humaniora seperti sejarah.</p>
<p>Mengajarkan anak-anak tentang keberagaman budaya dan pandangan, terutama yang ada dalam lingkungan sosial mereka, bisa membantu meredam prasangka buruk terkait agama yang seringkali kita lihat di media.</p>
<h2>Pendidikan agama dan cara pandang yang beragam</h2>
<p>Pertanyaan tentang agama di sekolah, dan khususnya apakah sebaiknya diajarkan dalam konteks sekolah negeri atau sekuler, adalah topik yang kontroversial tak hanya di Australia <a href="http://nor.theewc.org/Content/Bibliotek/COE-Steering-documents/Recommendations/Signposts-Policy-and-practice-for-teaching-about-religions-and-non-religious-world-views-in-intercultural-education">tapi juga seluruh dunia</a>.</p>
<p>Masih ada perdebatan terkait bagaimana materi keagamaan sebaiknya dimasukkan ke kurikulum, dan apakah pendidikan tentang keberagaman cara pandang bisa berperan mendorong harmoni sosial maupun mencegah ekstremisme berbasis kekerasan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/toleran-di-permukaan-konsep-multikulturalisme-gagal-membangun-relasi-beragama-yang-bermakna-di-indonesia-174410">Toleran di permukaan: konsep multikulturalisme gagal membangun relasi beragama yang bermakna di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada pertengahan 2000-an, sekolah-sekolah negeri yang bersifat sekuler di Australia punya kesempatan yang cenderung terbatas dalam mengajarkan pendidikan keagamaan umum dan cara pandang yang beragam. Sampai tahun 2006, negara bagian Victoria <a href="http://www.legislation.vic.gov.au/Domino/Web_Notes/LDMS/PubStatbook.nsf/51dea49770555ea6ca256da4001b90cd/575C47EA02890DA4CA25717000217213/%24FILE/06-024a.pdf">melarang pendidikan agama </a>, namun mengizinkan relawan untuk memberikan materi agama pada jam sekolah hingga tahun 2015.</p>
<p>Sekolah-sekolah di negara bagian lain seperti New South Wales (NSW), Australia Barat, Wilayah Utara, dan Tasmania masih menawarkan pengajaran agama. Khusus di NSW, murid bisa memilih untuk belajar <a href="https://education.nsw.gov.au/teaching-and-learning/curriculum/learning-across-the-curriculum/religion-and-ethics/about-religion-and-ethics">materi etika</a> ketimbang ilmu agama.</p>
<p><a href="https://www.acara.edu.au/curriculum">Kurikulum nasional di Australia</a> mulai berkembang pada tahun 2000-an. Kini, kurikulum tersebut mengandung materi terbatas terkait keberagaman agama dan cara pandang.</p>
<p>Adaptasi kurikulum baru tersebut di negara bagian Victoria untuk pertama kalinya mengandung dua bagian khusus tentang pembelajaran agama dan cara pandang yang beragam dalam materi <a href="http://victoriancurriculum.vcaa.vic.edu.au/the-humanities/introduction/about-the-humanities">humaniora</a> dan <a href="http://victoriancurriculum.vcaa.vic.edu.au/ethical-capability/introduction/learning-in-ethical-capability">etika</a>. Fokusnya pada beberapa tradisi keyakinan yang paling besar di Australia: Buddhisme, Kekristenan, Hinduisme, Islam, Sikhisme, Judaisme, serta humanisme sekuler dan rasionalisme.</p>
<h2>Riset kami tentang Generasi Z</h2>
<p>Studi yang kami lakukan terkait Generasi Z di Australia berjalan antara tahun 2016 hingga 2018. Riset kami bertujuan untuk mendukung kebijakan pendidikan dengan menginvestigasi bagaimana remaja memahami dunia di sekitar mereka dan juga isu-isu keagamaan. Penelitian ini mengurai pandangan remaja terkait keberagaman agama, spiritual, non-religius, kebudayaan, dan seksual di Australia pada abad ke-21.</p>
<p>Dalam studi kami, ada 11 kelompok di tiga negara bagian dan melibatkan hampir 100 murid pada jenjang kelas 9 dan 10 (usia 15-16 tahun). Selai itu, kami juga melakukan survei telepon yang melibatkan 1.200 orang berusia 13-18 tahun, ditambah 30 wawancara mendalam susulan dengan beberapa dari mereka.</p>
<p>Kami sebelumnya <a href="https://theconversation.com/new-research-shows-australian-teens-have-complex-views-on-religion-and-spirituality-103233">telah menerbitkan temuan riset</a> yang menempatkan remaja Australia ke dalam enam kelompok spiritual, termasuk beragam keyakinan non-religius dan spiritual di antara anak muda Australia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-riset-tentang-keseharian-anak-muda-dalam-memahami-tingkat-konservatisme-di-antara-mereka-132665">Pentingnya riset tentang keseharian anak muda dalam memahami tingkat konservatisme di antara mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan kami juga menunjukkan bahwa remaja Generasi Z menerima keberagaman agama. Lebih dari 90% sepakat bahwa dengan adanya berbagai macam keyakinan, Australia menjadi tempat tinggal yang lebih baik.</p>
<p>Meski demikian, pandangan terhadap minoritas agama cenderung bercampur. Kami menemukan bahwa 74% memegang pandangan positif terhadap Islam, Buddhisme, dan Hinduisme, sementara 21% memegang pandangan moderat atau netral dan sebanyak 5% memiliki pandangan negatif. </p>
<p>Sekitar 85% remaja menganggap bahwa orang dengan keyakinan yang berbeda mengalami diskriminasi akibat agama mereka. Dalam kelompok diskusi terfokus (FGD), beberapa murid dari agama minoritas menyatakan beberapa kekhawatiran terkait antisemitisme (prasangka dan kebencian terhadap pemeluk agama atau tradisi Yahudi) dan kurangnya pemahaman tentang Hinduisme dan Buddhisme, ketimbang agama-agama samawi yang dianut oleh masyarakat Australia.</p>
<iframe title="Australians' (aged 13-18)&nbsp;viewsabout religious groups in Australia (% of type of education received)" aria-label="Long Table" src="https://datawrapper.dwcdn.net/nIizH/2/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="359"></iframe>
<p>Grup pra-survei kami juga mengungkap bahwa remaja Australia punya level literasi keagamaan yang moderat. Meski wawasan mereka cukup luas, pemahaman mereka cenderung dangkal.</p>
<p>Banyak murid bisa dengan mudah mengenali sejumlah gambar terkait penganut Kristen, Muslim, dan Buddha, termasuk Dalai Lama. Tapi hanya satu murid yang tahu apa sebenarnya signifikasi gelar Dalai Lama dan mengapa sosok tersebut sangat penting bagi warga Tibet.</p>
<p>Dalam survei kami, sebanyak 56% murid yang menghadiri sekolah menengah negeri dan 42% yang belajar di sekolah menengah swasta mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan agama yang beragam maupun pengajaran tradisi keyakinan tertentu. Bandingkan hal ini dengan 81% murid di sekolah menengah Katolik yang mendapatkan keduanya.</p>
<p>Data kami menunjukkan bahwa pendidikan keagamaan yang beragam berkorelasi dengan penurunan persepsi negatif terhadap minoritas agama. Murid yang telah mendapatkan pendidikan ini punya pandangan yang paling positif terhadap minoritas agama di Australia. Sebaliknya, mereka yang tidak mendapatkan mata pelajaran ini dua kali lipat lebih mungkin memiliki pandangan yang netral atau negatif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-cara-sistem-pendidikan-indonesia-bisa-berperan-mencegah-radikalisme-dan-ideologi-kekerasan-161282">Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kesimpulan ini masih berlaku, bahkan setelah mempertimbangkan faktor lain seperti usia, gender, tipe sekolah, status ekonomi, dan identitas agama.</p>
<p>Remaja Gen Z yang mendapatkan pendidikan tentang agama yang beragam, secara signifikan beranggapan bahwa materi ini membantu mereka memahami agama orang lain (93%), membantu mereka menjadi lebih toleran (86%). Banyak dari mereka juga beranggapan bahwa mempelajari hal ini adalah hal yang penting (82%).</p>
<p>Di antara mereka yang belum berpartisipasi dalam program-program serupa, sebanyak 69% ingin belajar lebih banyak tentang agama-agama dunia, dan 67% ingin lebih banyak pelajaran tentang beragam cara pandang non-religius.</p>
<p>Kami menyarankan bahwa kurikulum pendidikan sebaiknya memasukkan lebih banyak pembelajaran tentang agama secara beragam dan berbagai cara pandang di dunia, baik di sekolah negeri, keagamaan, maupun institusi independen.</p>
<p>Hal ini akan meningkatkan literasi keagamaan, serta mendorong pemahaman dan rasa hormat lintas iman di antara masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189075/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anna Halafoff menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Andrew Singleton menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Gary D Bouma menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mary Lou Rasmussen menerima pendanaan dari Australian Research Council.</span></em></p>Mengajarkan anak tentang keberagaman agama dan pandangan, terutama yang ada dalam lingkungan sosial mereka, bisa membantu meredam prasangka buruk terkait agama yang seringkali kita lihat di media.Anna Halafoff, Associate Professor in Sociology, Deakin UniversityAndrew Singleton, Professor of Sociology and Social Research, Deakin UniversityGary D Bouma, Emeritus Professor of Sociology, Monash UniversityMary Lou Rasmussen, Professor, School of Sociology, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1879772022-08-16T18:01:38Z2022-08-16T18:01:38ZTNI dan Polisi mengajar murid di sekolah-sekolah Papua: efektif atau menumbuhkan trauma?<p><em>Artikel ini kami terbitkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus</em>.</p>
<hr>
<p>Kasus <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/04/10/053800978/2-guru-tewas-ditembak-3-sekolah-dibakar-dan-1-kepsek-sempat-diculik-kkb-ini?page=all">kematian guru dan juga pembakaran sekolah</a> selama beberapa tahun terakhir di Papua akibat serangan kelompok bersenjata menyebabkan <a href="https://www.metrotvnews.com/play/bmRCy7BA-trauma-serangan-kkb-guru-warga-kiwirok-minta-dievakuasi-ke-jayapura">trauma di antara para guru</a>.</p>
<p>Trauma ini bahkan menyebabkan banyak guru tersebut <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/919323/tak-ada-guru-belasan-ribu-anak-di-intan-jaya-terancam-putus-sekolah">enggan berangkat mengajar</a>. Banyak murid di Papua pun menjadi terancam putus sekolah.</p>
<p>Untuk mengatasinya, pemerintah menerjunkan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/articles/cw0pg56gn8ro">Tentara Nasional Indonesia (TNI)</a> dan juga <a href="https://www.suara.com/news/2022/01/18/183911/operasi-damai-cartenz-tni-polri-beri-pelatihan-bertani-hingga-belajar-mengajar-di-papua">Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)</a> ke sekolah-sekolah untuk mengajar murid dengan mengenakan <a href="https://www.kompas.tv/article/287379/sejumlah-polisi-jadi-guru-dadakan-untuk-anak-anak-di-papua">atribut seragam lengkap dan topi adat</a>. Mereka juga <a href="https://e-kompas.id/viral-senangnya-anak-anak-di-papua-ke-sekolah-naik-truk-polisi-e-kompas-id-nasional/">menjemput anak-anak ke sekolah</a> dengan kendaraan patroli.</p>
<p>Ada yang setuju dan <a href="https://portalnawacita.com/satgas-yonif-126-kc-perkuat-tenaga-pendidik-di-perbatasan-papua/">mengapresiasi kehadiran aparat keamanan</a> di sektor pendidikan, mengingat sulitnya medan di dataran tinggi Papua dan juga rawannya konflik antara kelompok bersenjata.</p>
<p>Namun ada juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan tersebut, misalnya, terlihat dengan kedatangan orang tua ke sekolah yang <a href="https://regional.kompas.com/read/2021/02/20/12591901/polisi-jadi-guru-dadakan-turun-ke-kampung-mengajar-anak-anak-di-papua?page=all">menolak anaknya diajar oleh polisi</a>. Ada juga demo penolakan karena tidak sesuai dengan pendekatan <a href="https://jubi.co.id/disdik-diminta-setop-libatkan-tni-menjadi-guru/">pengajaran yang diterapkan kurikulum pendidikan Indonesia</a>, maupun kritik bahwa kehadiran aparat keamanan di sekolah akan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220120203752-12-749326/sekolah-diduduki-polisi-pelajar-di-yahukimo-papua-gelar-demo">mengganggu aktivitas belajar mengajar</a>.</p>
<p>Pihak gereja pun <a href="https://www.suara.com/news/2021/04/21/144834/gereja-minta-komisi-ham-pbb-investigasi-soal-tni-jadi-guru-di-sekolah-papua">menyatakan ketidaksetujuan</a> karena dianggap dapat memicu rasa trauma pada anak-anak.</p>
<p>Tepatkah kehadiran TNI dan POLRI dalam sektor pendidikan?</p>
<h2>‘Fobia loreng’ dan trauma pada anak-anak</h2>
<p>Di Papua, ada stereotip yang melekat pada aparat keamanan. Peneliti antropologi Sophie Chao menyebutnya sebagai ‘<a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">fobia loreng</a>’. </p>
<p>Fobia ini merujuk pada ketakutan di kalangan orang Papua ketika melihat aparat keamanan, khususnya TNI yang berseragam loreng. Ini terbentuk karena anggapan orang-orang Papua bahwa <a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">aparat keamanan identik dengan kebrutalan dan kekerasan</a>.</p>
<p>Selama ini, misalnya, aparat keamanan <a href="https://theconversation.com/cara-hentikan-konflik-di-papua-stop-kekerasan-122144">diduga kerap melakukan tindakan kekerasan</a> terhadap siapapun yang <a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">dianggap 'makar’</a> terhadap negara <a href="https://www.researchgate.net/publication/301622391_From_'Stone_Age'_to_'Real-Time'_Exploring_Papuan_Temporalities_Mobilities_and_Religiosities_S_Martin_and_J_MunroCanberra_Australian_National_University_Press_2015_xiii_270_pp_ISBN_9781925022421_Print_">tanpa melalui proses pembuktian</a>. Kekerasan ini kerap menuai korban orang asli Papua yang seringkali adalah petani dan penduduk dataran tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-hentikan-konflik-di-papua-stop-kekerasan-122144">Cara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>TNI pun telah mengeluarkan program <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190131203800-20-365559/tni-gelar-operasi-psikologi-di-papua-cegah-fobia-loreng">‘operasi psikologi’ dan ‘operasi teritorial’</a> untuk meredam fobia loreng ini dengan melakukan <a href="https://indonesiabangsaku.com/hadapi-kkb-tni-semua-kita-turuti-asal-jangan-minta-merdeka/">pendekatan psikologis dan membuka komunikasi terbuka</a> dengan masyarakat Papua, serta lebih mendengarkan aspirasi mereka – selama tidak menyerukan kemerdekaan dari Indonesia. Namun, hinga kini penulis belum menemukan penelitian tentang efektivitas program ini. </p>
<p>Saya memperkirakan bahwa fobia loreng ini pun <a href="https://jubi.co.id/mereka-trauma-dan-takut-melihat-tentara-datang-ke-sekolah-mereka/">diwariskan pada anak-anak</a> di Papua.</p>
<p>Menurut penelitian tahun 2016 di Amerika Serikat (AS), semenjak usia 5 tahun, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221546.2004.11772266">anak-anak itu sudah menyerap stereotip negatif</a> yang melekat pada kelompok lain. Besar kemungkinan, anak-anak di Papua pun akan menginternalisasi ‘fobia loreng’ dari keluarga atau orang-orang sekitar yang pernah menyaksikan atau menjadi korban. </p>
<p>Padahal, teori bioekologis dalam perkembangan manusia yang dikemukakan oleh <a href="https://www.childhelp.org/wp-content/uploads/2015/07/Bronfenbrenner-U.-and-P.-Morris-2006-The-Bioecological-Model-of-Human-Development.pdf">peneliti psikologi Urie Bronfenbrenner dan Pamela Moris</a> menjelaskan bahwa kondisi lingkungan yang rawan konflik menyebabkan trauma pada anak-anak. Ini juga berakibat pada disfungsi perkembangan mereka.</p>
<p><a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1230675.pdf">Sebuah kajian pada tahun 2015</a> juga menyebutkan bahwa trauma berdampak negatif pada perilaku dan pembelajaran siswa.</p>
<p><a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2017/03/Alexander-Boothby-Wessells-Education-and-Protection-of-Children-and-Youth.pdf">Dampak psikososial</a> yang muncul akibat kehilangan sanak saudara maupun kerusakan akibat konflik bersenjata bisa berakibat pada gangguan emosi, perilaku, dan memori anak.</p>
<h2>Memberikan rasa aman pada murid di Papua</h2>
<p>Patut disayangkan bahwa sektor pendidikan menjadi korban dalam konflik di Papua. Sekolah terbakar, guru trauma, dan murid-murid pun takut.</p>
<p>Apabila infrastruktur pendidikan aman, kesejahteraan guru terjamin, dan anak-anak bebas dari rasa takut, maka generasi muda di Papua pun akan lebih <a href="https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/how-yemens-deteriorating-education-sector-may-prolong-conflict">terlibat dalam pembangunan sumber daya manusia</a>. Hal ini juga dapat menjauhkan mereka dari kemungkinan bergabung dalam kelompok bersenjata.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-negara-masih-absen-dalam-pendidikan-di-papua-dari-ketimpangan-guru-hingga-salah-manajemen-beasiswa-175062">Riset: negara masih absen dalam pendidikan di Papua, dari ketimpangan guru hingga salah manajemen beasiswa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Strategi menerjunkan TNI dan POLRI untuk mengajar anak di Papua ini, menurut saya, layaknya menutupi luka yang telah bernanah dengan plester. Luka itu mungkin bisa tertutup, tetapi tidak benar-benar sembuh. Kita perlu membersihkan luka itu sampai ke akarnya agar benar-benar sembuh.</p>
<p>Oleh karena itu, penting sekali bagi <a href="http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2017/03/Alexander-Boothby-Wessells-Education-and-Protection-of-Children-and-Youth.pdf">anak-anak untuk memperoleh rasa aman</a> di dalam sekolah dengan guru-guru yang sudah terlatih untuk mendukung perkembangan anak. Pendidikan harus bersifat netral, tidak mengisi ruang untuk ketegangan konflik.</p>
<p>Menurut saya, pendekatan yang lebih tepat adalah menyediakan guru yang telah mendapatkan <a href="https://www.creducation.net/resources/Training_Teachers_in_Armed_Conflict_Intervention_Supplement.pdf">pelatihan khusus untuk zona rawan konflik</a>. Hal ini akan membantu siswa mengatasi rasa trauma. </p>
<p>Selain itu, Papua juga memerlukan ruang dialog yang inklusif untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan. Dunia pendidikan Indonesia – dan pada akhirnya anak-anak kita – tidak boleh lagi menjadi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187977/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Uning Musthofiyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di tengah konflik berkepanjangan di Papua, tepatkah keputusan pemerintah menerjunkan TNI dan POLRI untuk mengajar di sekolah-sekolah?Uning Musthofiyah, PhD Researcher, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1880872022-08-10T07:55:29Z2022-08-10T07:55:29ZKasus pemaksaan jilbab: bagaimana iklim politik pengaruhi kebijakan seragam sekolah<p>Publik kembali heboh pasca pemberitaan tentang guru sekolah negeri yang diduga memaksa siswi Muslim di Yogyakarta <a href="https://www.suara.com/news/2022/08/01/153129/5-fakta-siswi-sma-negeri-di-bantul-alami-depresi-diduga-usai-dipaksa-pakai-jilbab-di-sekolah">menggunakan jilbab</a> tanpa kehendaknya – bahkan hingga membuat murid tersebut <a href="https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/07/30/064900078/siswi-depresi-karena-diduga-dipaksa-pakai-hijab-ombudsman-di-yogyakarta?page=all">depresi</a>.</p>
<p>Pekan lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY <a href="https://kumparan.com/pandangan-jogja/sultan-hb-x-nonaktifkan-kepala-sekolah-dan-3-guru-terkait-pemaksaan-jilbab-1yb1axaDUmE">menonaktifkan kepala sekolah dan tiga guru</a> yang terlibat kejadian tersebut. </p>
<p><a href="https://www.hrw.org/id/report/2021/03/18/378167">Laporan Human Rights Watch tahun 2021</a> menunjukkan bahwa sejak 1990, ada semakin banyak peraturan <a href="https://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_45_14.pdf">nasional</a> maupun <a href="https://theconversation.com/bagaimana-perda-keagamaan-memberi-ruang-bagi-sekolah-untuk-paksakan-pemakaian-jilbab-dan-mengikis-hak-pelajar-minoritas-154080">daerah</a> yang mengatur standar berpakaian Islami bagi perempuan di lembaga pendidikan – baik untuk siswa, guru, maupun dosen.</p>
<p>Berbagai pihak termasuk <a href="https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/444.1613785203.pdf">Komnas Perempuan</a> mengkritik bahwa peraturan standar berbusana bagi siswi Muslim cenderung bias gender dan misoginis.</p>
<p>Tapi, kita tidak bisa memungkiri bahwa standar busana Islami kerap dianggap sebagai <a href="https://magdalene.co/story/pakaian-panjang-dan-keselamatan-perempuan">simbol kesalehan sosial dan moralitas</a>.</p>
<p>Kontestasi politik di Indonesia, terutama politik Islam, punya andil besar dalam membentuk kebijakan seragam jilbab di sekolah, termasuk membentuk konteks sosial yang mendorong implementasi kebijakan-kebijakan tersebut.</p>
<h2>Kebijakan busana ‘khas Muslimah’ saat ini</h2>
<p>Satu contoh yang menggambarkan pengaruh kontestasi politik terhadap seragam jilbab adalah implementasi <a href="https://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_45_14.pdf">Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 tahun 2014</a>. Regulasi inilah yang saat ini mengatur seragam pelajar sekolah dasar dan menengah (SD hingga SMA) secara nasional.</p>
<p>Pasal 1 ayat 4 pada Permendikbud tersebut menjelaskan:</p>
<blockquote>
<p>Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.</p>
</blockquote>
<p>Saat kita membacanya secara sekilas, nampak tak ada persoalan – tidak ada paksaan bagi siswi Muslim untuk berpakaian seragam ‘khas Muslimah’. </p>
<p>Bahkan, konteks politik dari lahirnya pasal jilbab dalam Permendikbud ini adalah <a href="https://www.republika.co.id/berita/n9xijx/duh-permendikbud-jilbab-belum-efektif-1">mencegah diskriminasi</a> pelajar Muslim berjilbab di sekolah negeri yang berada di daerah minoritas seperti Bali.</p>
<p>Mendikbud kala itu, Muhammad Nuh, juga mengatakan bahwa regulasi ini dibuat untuk <a href="https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2014/06/11/permendikbud-nomor-45-tahun-2014-tentang-pakaian-seragam-sekolah.html">menjamin kebebasan berpakaian siswi Muslim</a>. Permendikbud ini berupaya memberi kesempatan bagi siswi Muslim untuk <a href="https://www.satuharapan.com/read-detail/read/kemdikbud-siswa-sekolah-harus-sesuaikan-seragam-baru">mengekspresikan keagamaannya tanpa paksaan</a> jika ingin maupun tidak ingin mengenakan busana Islami.</p>
<p>Tetapi, menurut laporan Komnas Perempuan dan Human Rights Watch dalam beberapa tahun terakhir, peraturan tersebut justru dipahami secara berbeda oleh sekolah. Sekolah kerap melihat aturan ini sebagai legitimasi untuk mewajibkan pelajar Muslim yang belum berjilbab. </p>
<p>Mengacu dari Permendikbud tersebut, penyeragaman pakaian sekolah bagi pelajar memang bertujuan untuk “memperkuat jati diri bangsa”. Tujuan lainnya adalah menginternalisasi karakter disiplin dan kepatuhan pelajar pada negara.</p>
<p>Semangat di atas kemudian memberi ruang bagi sekolah untuk merinci aturan dan tata tertib yang disesuaikan dengan konteks daerah – dan otomatis kontestasi politik yang tengah dominan. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/tidak-hanya-berdampak-pada-praktik-politik-menguatnya-konservatisme-juga-bisa-menentukan-arah-republik-144424">Kuatnya</a> <a href="https://theconversation.com/menguatnya-konservatisme-memundurkan-reformasi-kebijakan-demi-kesetaraan-perempuan-di-indonesia-144505">pandangan</a> di berbagai daerah bahwa busana Islami merupakan standar moralitas, semakin memicu banyak sekolah untuk mendorong pemakaian jilbab di antara siswi Muslim, <a href="https://www.suara.com/news/2022/08/01/153129/5-fakta-siswi-sma-negeri-di-bantul-alami-depresi-diduga-usai-dipaksa-pakai-jilbab-di-sekolah">seperti yang kita lihat di Yogyakarta</a>, atau bahkan hingga siswi non-Muslim seperti <a href="https://theconversation.com/bagaimana-perda-keagamaan-memberi-ruang-bagi-sekolah-untuk-paksakan-pemakaian-jilbab-dan-mengikis-hak-pelajar-minoritas-154080">yang terjadi di Padang</a> pada Februari 2021 silam.</p>
<p>Bagaimana kita bisa sampai pada titik ini?</p>
<h2>‘Revivalisme’ politik Islam dalam dunia pendidikan</h2>
<p>Penggunaan jilbab sebagai representasi identitas keislaman di lembaga pendidikan Indonesia sangat berkaitan dengan dinamika ‘revivalisme’ atau kebangkitan kembali politik Islam di tatanan global, nasional, dan lokal.</p>
<p><a href="https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=466570">Pada tahun 1965 hingga 1985</a>, relasi pemerintah Orde Baru dengan berbagai kelompok Muslim yang tidak harmonis, ditambah kecurigaan terhadap politik Islam, berdampak pada aturan penggunaan jilbab di sekolah. Peraturan seragam sekolah berupa <a href="https://tamaddunislam.files.wordpress.com/2012/11/sk-052-1982.pdf">SK 052/C/Kep/D.82</a> keluaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, misalnya, melarang penggunaan jilbab di TK, SD, SMP, dan SMA negeri.</p>
<p>Siswi yang berjilbab pada kala itu dicurigai, diintimidasi oleh guru dan bahkan militer, serta dikeluarkan dari sekolah jika masih berjilbab. </p>
<p>Tekanan pemerintah ini kemudian menuai resistensi dan advokasi, terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DII), dan Muhammadiyah.</p>
<p>Utamanya, gaung <a href="https://www.dw.com/id/mengapa-otoritas-iran-paksa-perempuan-berkerudung/a-56017453">Revolusi Iran pada tahun 1979</a> yang berdampak pada kewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan Iran, menjadi titik yang <a href="https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1525/ae.1996.23.4.02a00010">menginspirasi sebagian Muslimah Indonesia</a>.</p>
<p>Jilbab kala itu menjadi simbol anti-Barat, bentuk perlawanan untuk melawan ‘kerusakan moral’, serta resistensi atas dominasi politik, budaya, dan ekonomi Barat. Imaji sebagai bagian dari komunitas Muslim dunia yang memiliki persamaan agama dan nilai, kemudian menjadi dasar gerakan ‘jilbabisasi’ di Indonesia. </p>
<p>Gerakan jilbabisasi di SMP, SMA, dan perguruan tinggi terus berkembang <a href="https://opac.fah.uinjkt.ac.id/index.php?p=show_detail&id=10260">pada tahun 1980-an</a>. Ini tidak terlepas dari gerakan seperti Lembaga Dakwah Masjid Kampus (LDMI) dan PII di Masjid Salman ITB melalui forum studi islam intensif, latihan mujahid dakwah (LMD), dan pelatihan bagi mahasiswa dan pelajar.</p>
<p>Di kampus lain, <a href="https://ugmpress.ugm.ac.id/id/product/budaya/islamisme-ala-kaum-muda-kampus-dinamika-aktivisme-mahasiswa-islam-di-universitas-gadjah-mada-dan-universitas-indonesia-di-era-pasca-soeharto">kehadiran Ikhwanul Muslimin (<em>Muslim Brotherhood</em>) di Indonesia</a> menginspirasi berbagai gerakan politik Islam di masjid kampus seperti Masjid Shalahuddin di UGM, Masjid Raden Fatah di Universitas Brawijaya Malang, Masjid Manarul Ilmi di ITS, Masjid Arif Rahman Hakim di UI, dan Masjid Dzar Al-Gifari di IPB. PII juga mengembangkan strategi dakwah untuk pelajar di berbagai kota melalui Masjid Mujahidin di Bandung, Masjid Al-Azhar Sunda Kelapa, Masjid Syuhada di Yogyakarta, dan lain sebagainya.</p>
<p>Kemudian, selama 1991 hingga 1998, ketegangan antara pemerintah Orde Baru dengan gerakan Muslim mulai membaik. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), misalnya, mendapatkan ruang dalam pemerintahan.</p>
<p>Gerakan masif dari para organisasi Islam berhasil menjembatani kontestasi dengan kelompok sekuler-nasionalis (pemerintah) untuk mengakomodasi penggunaan jilbab di sekolah negeri melalui <a href="https://historia.id/kultur/articles/jilbab-terlarang-di-era-orde-baru-6k4Xn/page/5">SK 100/C/Kep/D 1991</a> tentang seragam sekolah – dan bahkan berujung pada menguatnya implementasi norma-norma keislaman.</p>
<p>Penggunaan jilbab pada era 1990-an semakin marak di sekolah seiring dengan semakin berkembangnya gerakan rohani Islam (Rohis) di sekolah. Penggunaan jilbab pada era ini merupakan simbol transformasi kesalehan, kelahiran kembali (hijrah), dan identitas Muslim.</p>
<p>Akhirnya, memasuki era Reformasi pada 1998, demokratisasi makin memberi ruang pada kebangkitan politik Islam Indonesia dan ekspresi keislaman di ruang publik.</p>
<p>Makna jilbab pada masa pasca Reformasi 1998 pun mengalami pergeseran. Peneliti antropologi agama, Nancy Smith-Hefner, mengemukakan bahwa jilbab <a href="https://www.researchgate.net/publication/231178994_Muslim_Women_and_the_Veil_in_Post-Soeharto_Java">bukan hanya sebagai simbol interpretasi keislaman individu</a>, tetapi juga <a href="https://www.researchgate.net/publication/270990579_Sexual_Politics_in_Indonesia_By_Saskia_Wieringa_Basingstoke_Hants_Palgrave_Macmillan_for_the_Institute_of_Social_Studies_The_Hague_2002_xviii_390_pp_7800_cloth">gaya hidup, tren, serta kontrol</a> dalam berinteraksi dengan lawan jenis.</p>
<h2>Menyisakan polarisasi?</h2>
<p>Dua dekade pasca reformasi hingga sekarang, interpretasi jilbab di lembaga pendidikan masih diwarnai kontestasi. Ini terjadi antara kelompok Islam yang konservatif dan fundamentalis, versus kelompok nasionalis-pluralis dan kelompok Muslim arus utama yaitu Nahdlatul Ulama (NU).</p>
<p>Fenomena pemaksaan jilbab dan resistensinya menunjukkan kohesi sosial yang mulai memudar, terutama akibat polarisasi masyarakat Indonesia yang makin tajam pasca meluasnya demokratisasi dan kebebasan berpendapat.</p>
<p>Pemerintah, masyarakat sipil yang pro nasionalis-pluralis, sekolah, siswa, orang tua, serta organisasi Muslim lain harus membuka ruang dialog. Harapannya, prasangka mengenai seragam khas Muslimah dapat diurai secara demokratis.</p>
<p>Dunia pendidikan harus mampu membuka akses dan kesempatan untuk mengekspresikan pilihan dan kepentingan berbagai kelompok dan kelas dalam masyarakat – termasuk dalam menginterpretasikan pilihan mereka menggunakan jilbab atau tidak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/188087/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sari Oktafiana menerima dana dari VLIR UOS untuk melakukan studi doktoral.</span></em></p>Kontestasi politik di Indonesia, terutama politik Islam, punya andil besar dalam membentuk kebijakan seragam jilbab di sekolah.Sari Oktafiana, PhD Researcher, KU LeuvenLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1877932022-08-04T03:49:05Z2022-08-04T03:49:05ZKenapa anak-anak harus pergi ke sekolah?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/476252/original/file-20220727-25-4gv6bc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Inti dari pendidikan adalah untuk memungkinkan pelajar muda untuk menjadi baik, memberi anggota masyarakat.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/dbrewsterstartribune-com-wednesday_09-03-08_shakopee-a-news-photo/1155667206?adppopup=true">David Brewster/Star Tribune via Getty Images</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Kenapa anak-anak harus pergi ke sekolah?? – Vanessa C., umur 10, Gilbert, Arizona, Amerika Serikat</strong></p>
</blockquote>
<p><a href="https://theconversation.com/id/topics/curious-kids-83797"><img src="https://images.theconversation.com/files/386375/original/file-20210225-21-1xfs1le.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=2" width="100%"></a></p>
<hr>
<p>Anak-anak pergi ke sekolah karena berbagai alasan. Di mana dan kapan tergantung pada usia, lokasi, preferensi orang tua, dan kebijakan setempat. Orang tua mengirim anak-anak mereka ke sekolah untuk mengekspos mereka pada pengalaman yang berbeda dari pengalaman mereka sendiri di rumah dan di komunitas mereka. Sekolah dirancang untuk menyediakan ruang untuk eksplorasi, kesadaran diri, dan hubungan dengan anak-anak lain. Guru mendorong anak-anak untuk memperkuat keterampilan yang mereka miliki dan membantu <a href="https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2008.09.00">mereka untuk mendapatkan keterampilan tambahan</a> saat mereka naik kelas.</p>
<p>Saya telah menghabiskan 20 terakhir <a href="https://www.umassglobal.edu/about-umassglobal/our-people/hawani-negussie">belajar dan bekerja dengan anak - anak </a> dari lahir sampai umur 21 tahun dalam berbagai kondisi. Saya sering berpikir tentang bagaimana menciptakan lingkungan belajar terbaik untuk anak-anak, dimulai dari prasekolah. Bagi saya, itu berarti memastikan bahwa semua anak memiliki kesempatan untuk berada di sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan belajar mereka serta kesejahteraan fisik, sosial dan emosional mereka di semua tahap kehidupan mereka.</p>
<h2>Pendidikan anak usia dini</h2>
<p>Sekitar <a href="https://nces.ed.gov/fastfacts/display.asp?id=516">61% anak berusia 3 hingga 5 tahun</a> di Amerika Serikat terdaftar di beberapa jenis prasekolah. Karena ini adalah <a href="https://www.edutopia.org/article/why-ages-2-7-matter-so-much-brain-development">tahun kritis untuk perkembangan otak</a>, menghadiri <a href="https://learningpolicyinstitute.org/product/building-blocks-high-quality-early-childhood-education-programs">program pembelajaran berkualitas tinggi </a> sangatlah penting.</p>
<p>Apa yang membuat program yang baik untuk anak kecil? Karena anak-anak belajar melalui bermain, penting untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2021.03.005">bermain menjadi fokus sebagian besar aktivitas</a>. Penting juga bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa muda mereka dan <a href="https://www.cde.ca.gov/pd/ee/responsiveteaching.asp">menanggapi kebutuhan setiap anak</a>.</p>
<p>Selama tahap perkembangan yang penting ini, anak-anak juga membentuk <a href="https://illinoisearlylearning.org/ielg/self-concept/">rasa diri</a>. Misalnya, mereka mungkin mulai menganggap diri mereka sebagai kakak laki-laki atau perempuan jika ada anak lain di rumah. Mereka juga mulai terhubung lebih dalam dengan orang lain, belajar mengomunikasikan perasaan mereka, <a href="https://www.naeyc.org/resources/pubs/yc/mar2018/promoting-social-and-emotional-health">berlatih berbagi</a>, dan masih banyak lagi. Ketika sekolah memasukkan identitas anak, norma budaya dan tradisi di dalam kelas, siswa merasakan rasa memiliki dan inklusi. Ini membantu anak-anak membentuk asosiasi yang penting untuk belajar.</p>
<h2>Sekolah Dasar</h2>
<p>Anak-anak yang memasuki taman kanak-kanak pada usia 5 atau 6 tahun dapat memiliki banyak perasaan yang berbeda, termasuk merasa gugup dan gembira <a href="https://doi.org/10.1016/j.ecresq.2021.11.009">untuk pengalaman baru ini</a>. Mungkin anak-anak pernah mendengar orang dewasa mengatakan bahwa memulai taman kanak-kanak adalah awal dari “pembelajaran yang sebenarnya.” Tapi ini tidak terjadi; <a href="https://www.cdc.gov/ncbddd/childdevelopment/early-brain-development.html">anak-anak belajar sejak hari pertama mereka dilahirkan</a>.</p>
<p>Dengan transisi ke taman kanak-kanak, anak-anak mulai melatih keterampilan pribadi dan sosial, seperti mengelola perilaku dan reaksi mereka terhadap sesuatu, pemecahan masalah, dan pemikiran yang logis. Pengalaman awal anak-anak memperluas gagasan mereka tentang bagaimana dunia bekerja. Dan saat mereka dewasa mereka menjadi lebih mampu <a href="https://www.simplypsychology.org/preoperational.html">memahami proses berpikir yang lebih kompleks</a>, seperti proses air berubah menjadi es dan kemudian kembali ke air. Konsep lain yang mungkin mulai mereka jelajahi adalah bagaimana materi mengambil bentuk ruang yang ditempatinya, seperti pasir yang mengisi wadah berbentuk bintang, dan mengapa itu terjadi.</p>
<p>Saat siswa masuk sekolah dasar, keterampilan membaca dan pemahaman mereka meningkat dan mereka dapat menggunakan sumber daya yang berbeda – mulai dari membaca buku atau menonton film dokumenter hingga melakukan perjalanan ke museum – untuk membantu mereka memahami gagasan yang mereka temui di dalam dan di luar kelas. Pendidikan yang diterima siswa di sekolah selanjutnya dibangun di atas pengalaman ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Three middle school students work on an assignment" src="https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/472099/original/file-20220701-5543-lw7mpm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Siswa sekolah menengah mulai menerapkan keterampilan mereka dan mengambil lebih banyak tugas sekolah dan tanggung jawab terkait sekolah, baik di dalam maupun di luar kelas .</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/female-students-studying-from-book-while-sitting-by-royalty-free-image/1214950752">Maskot/Maskot via GettyImages</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sekolah Menengah Pertama</h2>
<p>Selama tahun-tahun Sekolah Menengah Pertama, ketika siswa biasanya berusia antara 10 dan 13 tahun, anak-anak dan orang tua mulai berinteraksi dengan sekolah dengan cara yang berbeda. Guru semakin memberikan lebih banyak tanggung jawab kepada siswa, dan mereka mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan apa yang terjadi di kelas dengan bakat dan kekuatan siswa.</p>
<p>Ketika siswa menjadi semakin mandiri, orang tua sering kali memberikan lebih banyak tanggung jawab terkait sekolah kepada mereka. Siswa merasa mampu dan kompeten ketika <a href="https://www.ascd.org/el/articles/5-ways-teachers-can-bring-out-the-best-in-middle-school-students">lingkungan mereka mendukung siapa mereka</a> dan mendorong mereka untuk menerapkan keterampilan yang ada di semua tingkatan, terutama di sekolah menengah.</p>
<p>Memahami semua tantangan yang dialami anak-anak – seperti menyesuaikan diri, mempertahankan persahabatan, pubertas, dan lainnya – bisa sangat melelahkan. Tetapi sekolah menengah juga menawarkan kesempatan bagi siswa untuk mengasah keterampilan dan bakat mereka. Beberapa sekolah mungkin menawarkan ekstrakurikuler band, teater atau robotik, dan peluang baru lainnya untuk belajar, bermain, dan berkembang di samping pelajaran harian mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A student in a green sweatshirt raises her hand in a classroom full of students" src="https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/472098/original/file-20220701-22-uy08n5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sekolah menengah membantu siswa memahami lebih banyak tentang minat dan hasrat mereka sendiri sementara mereka terus belajar bagaimana berpikir kritis dan berkomunikasi dengan orang lain.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/high-school-student-raising-her-hand-in-class-royalty-free-image/1351983515">Willie B. Thomas/DigitalVision via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sekolah Menegah Atas</h2>
<p>Sekolah Menengah Atas adalah waktu yang menyenangkan bagi sebagian besar siswa karena merupakan gerbang terakhir menuju kedewasaan. Siswa dapat mengambil beban akademik dan ekstrakurikuler yang lebih berat sebagai cara untuk <a href="https://ies.ed.gov/ncee/wwc/PracticeGuide/11">mempersiapkan pendidikan tinggi</a>. Di sekolah menengah, siswa dapat memilih dari berbagai kursus yang mungkin mencakup jurnalisme, biologi, kelas bahasa asing tingkat lanjut, atau sejarah dunia. Pada saat yang sama, siswa dapat mulai mengambil kegiatan khusus seperti menjadi sukarelawan atau perjalanan ke luar negeri yang dapat memaparkan mereka ke bidang yang ingin mereka pelajari jika mereka memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.</p>
<p>Prinsip inti pendidikan adalah memungkinkan siswa untuk menjadi <a href="https://www.pbs.org/education/blog/educating-hearts-and-minds-with-arthur">anggota komunitas yang baik, memberi, dan berkontribusi</a> pada dunia dan komunitas mereka. Meskipun tidak semua siswa memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang bagus karena kondisi yang tidak sama, penting bagi semua anak untuk mendapatkan pendidikan, baik di rumah atau di sekolah baik negeri atau swasta. Sekolah adalah tempat yang terbukti di mana anak-anak memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru yang terus mereka gunakan dan kembangkan selama sisa hidup mereka.</p>
<hr>
<p><em>Apakah kamu punya pertanyaan yang ingin ditanyakan ke ahli? Minta bantuan ke orang tua atau orang yang lebih dewasa untuk mengirim pertanyaanmu pada kami.</em>
<em>Ketika mengirimkan pertanyaan, pastikan kamu sudah memasukkan nama pendek, umur, dan kota tempat tinggal. Kamu bisa:</em></p>
<ul>
<li><p><em>mengirimkan email <a href="mailto:curiouskids@theconversation.com">redaksi@theconversation.com</a></em></p></li>
<li><p><em>tweet ke kami <a href="https://twitter.com/ConversationIDN">@conversationIDN</a> dengan tagar #curiouskids</em></p></li>
<li><p><em>DM melalui Instagram <a href="https://www.instagram.com/conversationIDN/">@conversationIDN</a></em></p></li>
</ul>
<hr>
<p><em>Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187793/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hawani Negussie berafiliasi dengan Pendidikan Anak Usia Dini Ethiopia.</span></em></p>Prinsip inti pendidikan adalah untuk memungkinkan siswa menjadi anggota yang baik, memberi dan berkontribusi pada komunitas mereka dan dunia.Hawani Negussie, Chair and Assistant Professor of Early Childhood Education, UMass Global, University of MassachusettsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1857132022-08-02T00:54:13Z2022-08-02T00:54:13ZBerbagai faktor kultural hambat perempuan jadi kepala sekolah: sekadar regulasi yang ‘netral gender’ tak cukup jadi solusi<p>Studi kami di Cakra Wikara Indonesia (CWI) bersama dengan program INOVASI pada tahun 2021 menunjukkan persentase guru perempuan di jenjang sekolah dasar (SD) <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">mencapai 70%</a> – tapi kepala sekolah perempuan hanya mencapai 45%.</p>
<p>Ketersediaan guru perempuan yang memadai tidak diiringi dengan kehadiran mereka pada posisi kepala sekolah. Bahkan, angka kepala sekolah perempuan terus menurun seiring naik jenjang.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10773847/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:300px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10773847/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10773847" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hal ini selaras dengan <a href="https://cakrawikara.id/publikasi/buku/">kajian-kajian kami sebelumnya</a>. Di ranah publik, ada ketimpangan jumlah pejabat perempuan dibandingkan laki-laki – dari <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/FINAL-Upload_BUKU-BIROKRASI-REPRESENTATIF-2021-Rev_LiteV221.pdf">birokrasi di kementerian</a> hingga <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/Laporan-Riset-CWI_DPP-Parpol-1.pdf">struktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di partai politik</a>.</p>
<p>Di sini, kami mengamati suatu pola yang konsisten: keseimbangan gender cukup baik pada tahap penerimaan atau rekrutmen, namun merosot drastis pada jabatan atau posisi kepemimpinan strategis.</p>
<p>Dalam konteks pendidikan, riset kami bersama INOVASI melihat <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf"><em>barrier</em> atau hambatan yang dialami perempuan</a> saat hendak menjadi kepala SD atau MI (<em>madrasah ibtidaiyah</em>).</p>
<p>Pada proses pemilihan kepala sekolah, misalnya, setiap individu menghadapi tahapan proses seleksi yang mengedepankan kompetensi. Tahapan ini diatur masing-masing dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138182/permendikbud-no-6-tahun-2018">Permendikbud No. 6 Tahun 2018</a> untuk SD dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131306/peraturan-menag-no-58-tahun-2017">Permenag No. 58 Tahun 2017 untuk MI</a>.</p>
<p>Aturan-aturan ini dianggap ‘netral gender’ dan berbasis bakat, kemampuan, dan prestasi calon kepala sekolah.</p>
<p>Tapi, dengan demikian, regulasi tersebut justru menjadi buta terhadap berbagai kondisi kultural yang menghambat guru perempuan di Indonesia.</p>
<h2>Hambatan multidimensi yang dihadapi calon kepala sekolah perempuan</h2>
<p><a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">Studi CWI</a> menunjukkan perempuan menghadapi hambatan multidimensi yang saling berhubungan.</p>
<p>Hambatan utamanya terletak pada budaya. Hal ini bersifat tidak kasat mata dan jauh tersembunyi di ruang privat. Hambatan ini bersumber dari beragam norma gender dan merupakan wujud dari tradisi kultural dan interpretasi agama yang dampaknya nyata bagi perempuan.</p>
<p>Ini muncul sejak ruang lingkup terkecil yaitu keluarga. Misalnya, temuan CWI menunjukkan bahwa guru perempuan yang sudah menikah kerap memerlukan izin suami sebelum dapat berkarir menjadi kepala SD/MI. Mendapatkan izin suami dianggap penting karena berdampak terhadap pemenuhan ekspektasi peran domestik mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/476696/original/file-20220729-17-76trxr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Berbagai faktor kultural menjadi hambatan bagi karir guru perempuan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Husniati Salma)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ekspektasi peran domestik ini pun berdampak pada kurangnya rasa percaya diri guru perempuan terhadap kemampuannya meniti karir sebagai kepala sekolah.</p>
<p>Studi CWI tentang <a href="https://cakrawikara.id/wp-content/uploads/2021/12/FINAL-Upload_BUKU-BIROKRASI-REPRESENTATIF-2021-Rev_LiteV221.pdf">birokrasi</a> representatif juga menunjukkan kecenderungan serupa. Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan enggan mengikuti promosi jabatan karena merasa sangat kesulitan memenuhi tanggung jawabnya di rumah.</p>
<p>Selain itu, ada juga faktor waktu yang berkaitan erat dengan ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan – seperti melahirkan dan mengasuh anak. </p>
<p>Pemenuhan peran tersebut dianggap <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">berpotensi “mengganggu” produktivitas perempuan</a> di sekolah. Peran domestik yang kerap dilekatkan sebagai tanggung jawab utama perempuan, memengaruhi alokasi dan distribusi mereka. Akibatnya, mereka umumnya perlu waktu lebih panjang dalam meniti karir sebagai kepala sekolah.</p>
<h2>Regulasi ‘netral gender’ yang tidak peka</h2>
<p>Berbagai hambatan yang dihadapi guru perempuan tersebut seakan tidak dikenali dalam aturan pemilihan kepala SD/MI.</p>
<p>Sistem seleksi ini mengedepankan kompetensi, sehingga memang sifatnya netral gender. Tapi, ini berarti regulasi tersebut berasumsi bahwa terdapat peluang yang sudah setara antara guru perempuan dan laki-laki untuk menunjukkan capaian terbaik mereka.</p>
<p>Kurangnya prestasi kemudian dinilai sebagai kelemahan kompetensi, dan seakan tidak ada kaitannya dengan norma masyarakat tentang peran gender.</p>
<p>Dalam Permendikbud dan Permenag yang mengatur pemilihan kepala sekolah dan madrasah, ada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138182/permendikbud-no-6-tahun-2018">enam tahapan</a>; pengusulan, seleksi administrasi, seleksi substansi, pendidikan dan pelatihan (diklat), pengangkatan, dan penugasan.</p>
<p>Untuk ranah SD, studi kami menemukan bahwa guru dan kepala sekolah perempuan paling besar merasakan hambatan ini pada tahap pengusulan, diklat, serta penugasan.</p>
<p>Pada tahap pengusulan, misalnya, Permendikbud mengatur bahwa guru mulai dipertimbangkan jadi calon kepala sekolah setelah ditunjuk – biasanya oleh atasan atau guru “senior” – dan tidak bisa mengajukan diri secara otonom.</p>
<p>Ini membuat guru perempuan umumnya kesulitan untuk sewaktu-waktu menerima instruksi menjadi calon kepala sekolah. Ini terutama terjadi ketika guru perempuan sedang hamil atau memiliki anak balita, mempunyai beban pengasuhan anggota keluarga lain, atau tidak mendapatkan izin dari suami.</p>
<p>Selain itu, potensi penugasan di wilayah sulit juga menjadi disinsentif yang signifikan bagi calon kepala sekolah perempuan. Ini kerap jadi pertimbangan utama yang membuat mereka enggan mengikuti seleksi.</p>
<p>Kadang situasi ini disorot sebagai <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">ketidaksiapan perempuan</a> untuk keluar dari zona nyaman atau menghadapi segala situasi.</p>
<p>Padahal, keengganan tersebut muncul karena pengalaman khas mereka, yaitu ekspektasi pemenuhan peran reproduktif perempuan, kedudukan perempuan yang dianggap lebih rendah dalam relasi keluarga, hingga ekspektasi sosial untuk selalu mendahulukan tanggung jawab domestik.</p>
<p>Tantangan mobilitas fisik seperti ketidakmahiran berkendara motor dan kondisi geografis yang menantang juga berkontribusi membuat beberapa guru perempuan kesulitan memenuhi penugasan sebagai kepala sekolah.</p>
<p>Lain halnya dengan pemilihan kepala MI Negeri (MIN), yang mana merupakan kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) di level provinsi. Sedangkan, untuk pemilihan kepala MI Swasta (MIS) merupakan otoritas pimpinan yayasan.</p>
<p>Dalam konteks pemilihan kepala MIN, diklat merupakan tahapan yang dianggap menyulitkan guru dan kepala MIN perempuan. Ini karena ketidakpastian penetapan lokasi yang kerap jauh dari domisili, dan <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">durasi diklat yang cukup lama</a>. Akibatnya, guru perempuan enggan mengikuti pemilihan kepala MIN karena perlu memperhitungkan waktu yang sesuai dengan kebutuhannya.</p>
<p>Proses pengangkatan kepala MIN juga dipengaruhi subjektivitas Kemenag dan tidak selalu dibarengi dengan ukuran penilaian yang jelas. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan bias terhadap perempuan.</p>
<p>Pemangku kebijakan terkait, misalnya, <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">cenderung memilih kandidat laki-laki</a> walaupun pengalamannya lebih sedikit daripada perempuan karena masih kuatnya pandangan umum bahwa perempuan tidak siap ditugaskan sewaktu-waktu.</p>
<p>Khusus pemilihan kepala MIS, otoritas penuh pemilihan kepala madrasah dipegang oleh pimpinan yayasan.</p>
<p>Studi CWI menemukan perempuan kepala MIS dengan potensi kepemimpinan yang baik, sulit mengembangkan karirnya akibat cara pandang yayasan yang <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2022/05/2021_mengenali-hambatan-multidimensional-perempuan-kepala-sekolah-madrasah_inovasi.pdf">masih skeptis terhadap kepemimpinan perempuan</a>. Dalam konteks ini, mereka bisa saja dianggap “mengancam” tatanan tradisional sebagian MIS yang cenderung patriarkis dan biasanya dipertahankan turun temurun.</p>
<h2>Mendorong seleksi yang berperspektif kesetaraan</h2>
<p>Terbitnya <a href="https://drive.google.com/file/d/1sRLt8Dw16PvsaHw9jTTUBTIwiecJNT6V/view?usp=sharing">Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021</a> tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah yang menggantikan Permendikbud Nomor 6 tahun 2018 hanya menambah sertifikat guru penggerak sebagai prasyarat guru untuk menjadi kepala sekolah.</p>
<p>Lagi-lagi, ini merupakan peraturan netral gender yang tidak memedulikan pengalaman calon kepala sekolah perempuan. </p>
<p>Sejumlah perbaikan sebenarnya dapat terjadi jika ada komitmen meningkatkan partisipasi kepemimpinan perempuan. Salah satunya, mengumumkan kejelasan cakupan wilayah penempatan calon kepala sekolah sejak awal proses pemilihan, yakni pada tahap pengusulan.</p>
<p>Dinas Pendidikan di daerah perlu menerbitkan informasi publik tentang daftar calon kepala sekolah yang dibutuhkan, berikut zonasi wilayah sekolah yang memerlukan kepala sekolah.</p>
<p>Segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan regulasi pemilihan kepala sekolah juga perlu mengenali tantangan mobilitas sebagian besar guru perempuan.</p>
<p>Mereka bisa membuka peluang penempatan calon kepala sekolah perempuan menggunakan sistem zonasi. Artinya, memprioritaskan wilayah yang dekat domisili dan relatif aman bagi calon kepala sekolah perempuan.</p>
<p>Seleksi netral gender memang terdengar sebagai hal yang baik. Tapi, hambatan multidimensi yang dialami perempuan – keterbatasan mobilitas fisik, beban tanggung jawab domestik, hingga alokasi ketersediaan waktu – sangat memengaruhi “kemampuan” mereka memenuhi seleksi tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185713/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Heru Poppy Samosir merupakan peneliti di Cakra Wikara Indonesia. Cakra Wikara Indonesia menerima dana dari INOVASI dalam rangka melakukan riset. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>anna margret LG menerima dana dari INOVASI dalam rangka dukungan riset yang dilakukan Cakra Wikara Indonesia.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mia Novitasari merupakan peneliti di Cakra Wikara Indonesia. Cakra Wikara Indonesia menerima dana dari INOVASI dalam rangka melakukan riset </span></em></p>Seleksi kepala sekolah di Indonesia bersifat ‘netral gender’ dan berbasis kompetensi kandidat. Tapi, dengan demikian, regulasi tersebut justru buta terhadap hambatan khas guru perempuan.Heru Poppy Samosir, Researcher, Cakra Wikara IndonesiaAnna Margret LG, Lecturer in Political Science and Researcher of Gender and Politics, Cakra Wikara IndonesiaMia Novitasari, Research Officer, Cakra Wikara IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1877832022-07-27T11:25:35Z2022-07-27T11:25:35ZYang harus dilakukan jika anak Anda justru adalah pelaku bullying, bukan korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/476290/original/file-20220727-19-boaswc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Pexels/Mikhail Nilov)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Perundungan atau <em>bullying</em> adalah masalah serius. Tapi, yang jarang menjadi topik dalam bahasan atau riset adalah pengalaman orang tua yang anaknya menjadi pelaku <em>bullying</em> dan telah membuat anak lain menderita.</p>
<p>Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan orang tua?</p>
<h2><em>Bullying</em> di sekolah</h2>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, di Australia – tempat para penulis mengajar – muncul berbagai kebijakan untuk merespons kereasahan masyarakat terkait peran penting sekolah dalam mencegah dan menangani insiden <em>bullying</em>.</p>
<p>Berbagai departemen pendidikan, seperti di <a href="http://www.decd.sa.gov.au/mediacentre/pages/decdupdate/49014/">Australia Selatan</a> dan <a href="https://www.det.nsw.edu.au/policies/student_serv/discipline/bullying/PD20100415.shtml">New South Wales</a>, mewajibkan sekolah untuk memiliki kebijakan anti-perundungan. Sekolah wajib menjabarkan mekanisme untuk menangani <em>bullying</em>, dan juga program yang membantu para anak yang menjadi korban.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=373&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82311/original/image-20150519-30575-1valocn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kebijakan anti-perundungan kerap memberi arahan bagi mereka yang menjadi korban, tapi tidak untuk yang menjadi pelaku.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meski demikian, fokus utamanya seringkali pada murid yang menjadi korban <em>bullying</em>, bukan pelakunya. Tentu ini bisa dipahami. Bahkan <a href="http://www.bullyingnoway.gov.au/index.html">program anti-perundungan nasional di Australia</a> tidak memberikan informasi spesifik bagi sekolah terkait bagaimana cara bekerja sama dengan orang tua dari anak yang menjadi pelaku. Padahal, ada <a href="http://www.schoolatoz.nsw.edu.au/wellbeing/behaviour/bullying-advice-for-parents1/what-if-my-child-is-bullying">riset</a> yang mengatakan bahwa ini juga merupakan hal penting.</p>
<p>Studi tersebut juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua untuk mencapai solusi yang sebaik mungkin untuk anak yang menjadi pelaku <em>bullying</em>.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan sekolah?</h2>
<p>Tidak ada orang tua yang ingin mendengar kabar bahwa anak mereka merundung anak lain di sekolah, sehingga perlu pendekatan tertentu. Penting bagi sekolah dan orang tua untuk bersama-sama membicarakan isu apa saja, entah di rumah atau sekolah, yang bisa mendorong mereka melakukan <em>bullying</em>.</p>
<p>Sekolah, bersama orang tua dan murid (jika memungkinkan) harus mengembangkan rencana dan strategi yang jelas untuk menangani perilaku <em>bullying</em>. Strategi tersebut harus menyentuh akar masalah yang dialami oleh murid yang menjadi pelaku. Rencana itu juga harus merincikan berbagai ekspektasi yang diharapkan dari murid tersebut, serta konsekuensi dari segala pilihan – baik yang negatif maupun positif – yang diambil sang anak.</p>
<p>Strategi tersebut juga harus mengandung langkah-langkah yang mendukung sang murid untuk memahami tindakan dan perilaku mereka. Ini bisa termasuk memberikan dukungan tambahan seperti akses ke layanan konseling sekolah.</p>
<p>Terakhir, sekolah perlu menyadari bahwa bisa jadi ada beberapa keluarga yang enggan menghubungi sekolah jika anaknya menjadi pelaku. Para orang tua bisa jadi khawatir bahwa mereka akan dihakimi secara tidak adil atau keras oleh staf pengajar sekolah.</p>
<p>Oleh karena itu, sekolah harus memastikan bahwa dialog seperti ini terjadi di lingkungan yang nyaman dan bisa membuat orang tua (dan anak mereka jika hadir) berbicara dengan terbuka.</p>
<h2>Hubungan anak dan orang tua dalam dinamika <em>bullying</em></h2>
<p>Mencari solusi yang tepat jika anak Anda menjadi pelaku <em>bullying</em> nampaknya lebih sulit ketimbang jika anak Anda menjadi korban.</p>
<p>Reaksi para orang tua bisa jadi sejalan dengan kerangka psikologi <a href="http://psychcentral.com/lib/the-5-stages-of-loss-and-grief/000617">‘Lima Tahap Kesedihan’ (<em>Five Stages of Grief</em>)</a>, utamanya fase penolakan (<em>denial</em>) dan amarah (<em>anger</em>). </p>
<p>Contoh reaksi orang tua pasca mendengar kabar dari kepala sekolah bisa jadi semacam ini:</p>
<blockquote>
<p>Masa’ sih, Pak/Bu? Saya bisa menjamin bahwa anak saya tidak pernah bersikap seperti itu. Saya sangat tersinggung atas tuduhan ini. Saya akan segera mencabut anak saya dari sekolah Anda!</p>
</blockquote>
<p>Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua atau wali mudi, yang biasanya paling dekat dengan anak mereka, justru bisa jadi pihak terakhir yang mengetahui atau menerima kabar seperti ini. Suatu <a href="http://link.springer.com/article/10.1007/s00127-008-0395-0">studi di Finlandia</a> pada tahun 2009 menggambarkannya pada tabel di bawah:</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=110&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82032/original/image-20150518-25437-1d1ov1u.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=138&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anaklah yang paling sering melaporkan insiden <em>bullying</em> (6,6% dan 2,0%), disusul laporan dari guru (2,3% dan 6,6%), baru orang tua murid (1,8% dan 1,0%). (Australian Institute of Family Studies)</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Saran buat orang tua</h2>
<p><a href="https://www.psychology.org.au/publications/tip_sheets/bullying/">Australian Psychological Society</a> menyarankan bahwa orang tua sebaiknya menanyakan anak mereka bagimana perasaan mereka jika berada dalam posisi sebagai korban <em>bullying</em>, lalu memberikan pujian jika mereka berperilaku baik dan penuh hormat terhadap rekan-rekan mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/82312/original/image-20150519-30533-g3z8yb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Banyak orang tua kesulitan menerima bahwa anak mereka merundung anak lain.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Masalah <em>bullying</em> bisa diatasi dengan cara mengganti perilaku negatif dengan stimulus perilaku positif (<em>positive reinforcement</em>). Secara umum, perubahan perilaku secara perlahan bisa terjadi ketika ada pemahaman bahwa sang anak telah berperilaku buruk, dan dialog terbuka semacam itu bisa membantu mereka. </p>
<p>Tentu, layaknya berbagai isu psikologis, disfungsi keluarga yang serius – seperti jika anak terdampak dari pendisiplinan yang keras di rumah – akan mengganggu kemampuan anak untuk memahami efek buruk <em>bullying</em> terhadap orang lain. Pengembangan empati adalah kunci bagi anak untuk memahami dampak buruk dari <em>bullying</em>.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Kebanyakan orang tua akan mengalami campuran rasa kaget, malu, dan ketidakpercayaan tentang kemungkinan bahwa anak mereka adalah pelaku <em>bullying</em>. </p>
<p>Naman, perasaan untuk membela anak Anda dari tuduhan semacam itu tidak berarti bahwa Anda sebagai orang tua bisa serta merta mengabaikan munculnya masalah tersebut. Sebaliknya, Anda juga sebaiknya tidak langsung berasumsi bahwa seluruh komplain tersebut objektif, atau membuat Anda dan sekolah terburu-buru <a href="http://raisingchildren.net.au/articles/bullying_-_your_child_bullying.html">memberikan sanksi</a>. </p>
<p>Anda sebaiknya tetap tenang dan mendiskusikan hal ini secara privat dengan anak. Bahaslah insiden yang terjadi dan gunakan sumber daya dan dukungan sekolah, seperti layanan konseling dan program pengembangan keterampilan sosial murid.</p>
<p>Sekolah juga berperan penting memfasilitasi intervensi yang tepat, sesuai <a href="https://aifs.gov.au/cfca/publications/working-families-whose-child-bullying/supporting-children-who-bully-and-their-families">tingkat keparahan kejadian <em>bullying</em></a> – dari konferensi orang tua yang terstruktur, rujukan ke spesialis konseling, hingga pelibatan aparat penegak hukum jika ada urgensi tertentu terkait keselamatan anak.</p>
<p>Tidak cukup untuk melemparkan semua tanggung jawab kepada orang tua saja. Kejadian yang muncul di lingkungan sekolah juga menuntut partisipasi dari institusi pendidikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187783/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perundungan adalah masalah serius. Tapi, yang jarang menjadi topik dalam bahasan atau riset adalah pengalaman orang tua yang anaknya menjadi pelaku bullying dan telah membuat anak lain menderita.Christopher Boyle, Professor of Inclusion and Educational Psychology, University of AdelaideDr Joanna Anderson, Lecturer in Inclusive Education, University of New EnglandNatalie Swayn, Lecturer, Inclusive Education and Psychology, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1877802022-07-27T11:07:23Z2022-07-27T11:07:23ZLima cara membantu anak Anda ketika menjadi korban ‘bullying’ di sekolah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/476289/original/file-20220727-3609-vjg1lf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Perundungan atau <em>bullying</em> adalah salah satu kekhawatiran terbesar orang tua terhadap keamanan dan kesejahteraan anak mereka – dan ini sering membuat banyak dari kita stres dan pusing.</p>
<p>Suatu studi yang pernah dilakukan oleh <a href="https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/182409/DFE-RR001.pdf">National Centre for Social Research (NatCen)</a> di Inggris menemukan bahwa 47% anak-anak melaporkan bahwa mereka mengalami <em>bullying</em> pada usia 14 tahun. Yang sering menjadi korban adalah minoritas dan kelompok yang termarjinalkan.</p>
<p>Namun, studi itu juga menemukan bahwa anak yang menceritakan pengalaman tersebut ke orang tua mereka lebih mungkin untuk ‘keluar’ dari jeratan <em>bullying</em>. Berikut lima cara penting untuk membantu mereka:</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-tunjukkan-trauma-perundungan-yang-dialami-anak-saat-kecil-terbawa-hingga-dewasa-studi-kasus-di-aceh-147253">Riset tunjukkan trauma perundungan yang dialami anak saat kecil terbawa hingga dewasa: studi kasus di Aceh</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1) Kenali tanda-tanda <em>bullying</em></h2>
<p><a href="https://www.nspcc.org.uk/preventing-abuse/child-abuse-and-neglect/bullying-and-cyberbullying/signs-symptoms-effects/">Tanda-tanda <em>bullying</em></a> termasuk jika anak menunjukkan perubahan perilaku, menjadi lebih tertutup, tidak ingin berangkat ke sekolah, atau bahkan mengalami berbagai komplikasi penyakit.</p>
<p>Jika anak Anda mengungkapkan bahwa mereka menjadi korban <em>bullying</em>, pertama-tama ucapkan terima kasih pada mereka karena sudah berani menceritakannya. Jelaskan pada mereka bahwa hal ini adalah langkah awal yang penting untuk menyelesaikan masalahnya.</p>
<p>Cobalah sebaik mungkin untuk mendengarkan mereka tanpa merasa kesal atau marah. Tetap tenang dan yakinkan mereka bahwa Anda pasti siap membantu. Secara sensitif, tanyakan baik-baik apa yang telah terjadi, seperti apa <em>bullying</em> yang mereka alami, bagaimana perasaan mereka setelah mengalami ini, sehingga Anda bisa menenangkan dan mulai berempati dengan mereka.</p>
<p>Memang, bisa jadi Anda akan merasakan godaan besar untuk langsung bertindak. Namun cobalah untuk memikirkan solusinya bersama-sama dengan anak Anda Tanyakan pada mereka bagaimana cara terbaik agar Anda bisa membantu.</p>
<p>Pengalaman <em>bullying</em> bisa menjatuhkan rasa percaya diri seorang anak. Jadi, yakinkan mereka akan keunggulan yang mereka miliki. Temani mereka melakukan kegiatan apapun yang bisa meredakan keresahan mereka. Selalu ingatkan mereka bahwa Anda akan selalu ada untuk mereka.</p>
<p>Di berbagai negara, ada juga <a href="https://www.childline.org.uk/#:%7E:text=Contacting%20Childline,we're%20here%20for%20you.">sejumlah layanan</a> dan <a href="http://www.bullying.co.uk/advice-for-parents/">platform</a> yang bisa membantu memberikan saran-saran yang tepat bagi orang tua dari korban <em>bullying</em>.</p>
<h2>2) Pahami dinamika <em>bullying</em></h2>
<p><em>Bullying</em> kerap <a href="http://anti-bullyingalliance.org.uk/">didefinisikan</a> sebagai tindakan yang disengaja dan berulang, yang mengandalkan suatu ketimpangan kuasa. Tapi, bahkan jika hanya terjadi sekali, kejadian <em>bullying</em> tetap harus Anda anggap serius – apalagi jika anak Anda memutuskan untuk menceritakannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/137372/original/image-20160912-3766-kkpu9k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Membicarakan suatu kejadian <em>bullying</em> adalah langkah awal yang baik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/pic-362082206/stock-photo-teacher-and-cute-boy-looking-at-each-other-supporting-child.html?src=2EI6dYoLcjC0NRfoxCT3kw-1-0">(Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Berbicaralah pada mereka tentang berbagai bentuk <em>bullying</em>, dan bagaimana wujudnya: bisa saja tak hanya serangan atau ancaman fisik, tapi juga mengejek, mengucilkan, menyebarkan rumor, hingga memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Jelaskan pada anak Anda bahwa ini bisa juga <a href="http://www.bullying.co.uk/cyberbullying/">difasilitasi teknologi dan media sosial</a> (misalnya melalui <em>cyberbullying</em>). Tunjukkan Anda memahami bahwa <em>bullying</em> bisa menyasar berbagai individu dan kelompok dengan intensitas yang berbeda-beda.</p>
<p>Ini bisa membantu mengajarkan anak untuk mengenali dan memahami <em>bullying</em> sekaligus mendemonstrasikan empati pada orang lain.</p>
<p>Kita juga perlu mendorong anak untuk senantiasa melihat di sekitar mereka apakah ada kejadian <em>bullying</em>. Pasalnya, dalam banyak insiden ada saksi mata – misalnya rekan sepermainan mereka – yang enggan melapor karena takut akan jadi korban atau merasa tidak baik untuk “menyebarkan aib”.</p>
<h2>3) Jangan balas dendam</h2>
<p>Dorong mereka untuk tidak <a href="http://theconversation.com/fighting-back-may-stop-some-children-from-being-bullied-44131">balas dendam</a> secara agresif. Keinginan melawan balik adalah hal yang bisa dipahami. Tapi, biasanya hal ini cenderung memperparah keadaan dan bisa menyebabkan anak Anda semakin terluka, diketawai, atau bahkan berujung menjadi pihak yang menerima sanksi.</p>
<p>Kita harus mengutamakan pendekatan yang lebih asertif dalam menangani <em>bullying</em>, ketimbang yang agresif atau bahkan pasif. Ingatkan mereka untuk segera keluar dari situasi <em>bullying</em> sebisa mungkin dan melaporkannya pada orang dewasa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/137375/original/image-20160912-3766-1853zwn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penting untuk tidak memperparah suasana.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/dl2_lim.mhtml?src=I93gpmUT3uz5S1wnVpKu-w-1-12&id=92335573&size=medium_jpg">(Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4) Laporkan</h2>
<p>Jika anak Anda merasa kesulitan menangani <em>bullying</em> bahkan dengan bantuan Anda, segera hubungi pihak sekolah. Namun, pastikan Anda berbicara dengan anak terlebih dahulu. Jelaskan pada mereka bahwa ini adalah langkah yang memang harus diambil.</p>
<p>Anda bisa jadi berkeinginan untuk mengonfrontasi orang tua dari anak yang merundung anak Anda. Namun, hal ini bisa menimbulkan konsekuensi negatif untuk Anda dan anak.</p>
<p>Semua sekolah <a href="https://www.gov.uk/bullying-at-school/the-law">di Inggris</a>, misalnya, wajib secara hukum memiliki kebijakan anti-perundungan yang merincikan bagaimana mekansime pelaporan dan penanganan <em>bullying</em>. Tanyakan pada sekolah bagaimana cara melakukannya.</p>
<p>Dukung dan kawal sekolah selama proses ini berjalan, karena sama-sama punya tujuan untuk menghentikan <em>bullying</em>. Jangan lupa juga untuk melakukan diskusi awal dengan guru anak Anda. Mereka kemungkinan bisa melibatkan kolega-kolega yang lain dalam membantu anak Anda melalui sumber daya sekolah. Bersama-sama, buatlah strategi untuk menangani insiden tersebut, termasuk langkah-langkah selanjutnya.</p>
<p>Setelah anak Anda menceritakan insiden <em>bullying</em>, Anda juga bisa menuliskan dalam buku catatan siapa yang menjadi pelakunya, dan apa yang mereka lakukan atau katakan – serta seberapa sering, kapan, dan di mana kejadian tersebut. Simpan data atau catatan terkait pesan atau SMS, dan juga unggahan atau komentar di media sosial. Tapi tetap beri juga ruang bagi sekolah untuk menyelesaikan masalahnya bersama anak Anda.</p>
<p>Namun, jika Anda merasa sekolah masih belum berusaha dengan maksimal, Anda bisa pertimbangkan untuk melapor kepada kepala sekolah, komite sekolah, pejabat pendidikan setempat, atau, di Inggris ada lembaga <a href="https://www.gov.uk/government/organisations/ofsted">Ofsted</a> yang mengawasi dan mengatur sekolah.</p>
<h2>5) Jangan sampai <em>bullying</em> mengganggu pendidikan anak</h2>
<p>Seburuk apapun situasinya, pastikan anak Anda jangan berhenti bersekolah. Hal ini bisa memperparah situasinya, dan artinya justru anak Anda yang akan melewatkan pendidikan.</p>
<p>Apapun yang Anda lakukan, ingat bahwa respons yang tenang, sistematis, dan gradual adalah langkah yang terbaik untuk menangani <em>bullying</em>.</p>
<p><em>Bullying</em> adalah masalah serius di sekolah dan masyarakat luas. <em>Bullying</em> itu salah, dan kita harus mendukung sekolah untuk mewujudkan lingkungan di mana semua anak merasa aman untuk berkembang dan belajar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187780/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mark Heaton tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perundungan atau bullying adalah salah satu kekhawatiran terbesar orang tua terhadap keamanan dan kesejahteraan anak mereka. Bagaimana cara membantu mereka?Mark Heaton, Principal Lecturer, Sheffield Institute of Education, Sheffield Hallam UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1870962022-07-16T09:09:14Z2022-07-16T09:09:14ZApakah Anda berencana memberi hadiah kepada guru sebagai rasa terima kasih? Pahami beberapa hal ini supaya tetap etis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/474294/original/file-20220715-24-jz52nt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Banyak dari kita kini memberi apresiasi tinggi terhadap kerja keras para guru dan tenaga pengajar di tengah berbagai tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi. Seringkali, kita ingin memberi mereka hadiah untuk menunjukkan apresiasi tersebut, atau sebagai rasa terima kasih sudah mengajar anak kita dengan baik.</p>
<p>Tapi, kado seperti apa yang bisa menunjukkan perasaan ini, namun tidak melanggar batasan etika antara orang tua murid dengan guru?</p>
<h2>Gratifikasi: bagaimana sih aturan pemberian hadiah?</h2>
<p>Beberapa konsep etika penting yang harus Anda pahami saat memberi kado kepada seorang guru adalah apakah hal ini bisa memengaruhi kinerja mereka atau menimbulkan konflik kepentingan – entah itu <a href="https://www.vit.vic.edu.au/__data/assets/pdf_file/0008/104948/Gifts-benefits-and-hospitality-policy.pdf">hanya perasaan saja, benar-benar berpotensi, ataupun memang telah terjadi</a>.</p>
<p>Persepsi publik mengenai pemberian kado tersebut juga penting. Dalam berbagai <a href="https://www.qcaa.qld.edu.au/downloads/about/qcaa_policy_gifts_benefits.pdf">kebijakan etika dan aturan</a>, hal ini bisa dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya, apakah kado ini diberikan secara diam-diam, seperti apa hubungan antara sang pemberi dan penerima kado, serta seberapa besar/mahal atau seberapa sering pemberian ini dilakukan.</p>
<p>Guru memang profesi yang tidak bisa lepas dari <a href="https://cdn.qct.edu.au/pdf/Promotion_TPQ.pdf">persepsi dan opini publik</a> – hampir semua orang pernah merasakan bangku pendidikan, dan oleh karenanya mereka punya opini tentang guru. Namun, kerap kali terjadi paradoks: seseorang bisa sangat apresiatif dalam memandang guru yang mengajar anak-anak mereka, tapi di sisi lain mereka punya pandangan yang berbeda, dan terkadang lebih kritis, tentang profesi pengajar.</p>
<p>Ini berarti bahwa kita sebaiknya mencari hadiah, cendera mata, atau bentuk rasa terima kasih apapun yang tidak mudah disalahartikan sebagai bentuk <a href="https://www.vit.vic.edu.au/professional-responsibilities/conduct-and-ethics">‘sogokan’ untuk mendapat perlakuan tertentu</a>, misalnya agar guru tersebut memberikan nilai bagus untuk anak Anda.</p>
<p>Setiap hadiah dan pemberian dapat berisiko terhadap reputasi seorang guru. Itulah kenapa uang atau benda yang mudah ditukar dengan uang (seperti saham) umumnya dilarang. Orang tua sebaiknya berhati-hati untuk tidak menghadiahi uang pada guru, seperti untuk makan-makan, atau memberikan kado perhiasan yang mahal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/guru-makin-sejahtera-di-era-desentralisasi-tapi-tidak-berdampak-pada-kualitas-pendidikan-86000">Guru makin sejahtera di era desentralisasi, tapi tidak berdampak pada kualitas pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di Australia, negara tempat saya saat ini mengajarkan etika, setiap negara bagian dan wilayah punya kebijakannya masing-masing terkait etika pemberian hadiah dan hibah.</p>
<p>Di negara bagian Tasmania, sebuah kado harus bernilai <a href="https://publicdocumentcentre.education.tas.gov.au/library/Document%20Centre/Gifts-Benefits-and-Hospitality-Policy.pdf">kurang dari A$100</a> (sekitar Rp 1 juta). Para guru pun harus melapor pada kepala departemen mereka dan Kepolisian Tasmania jika ditawari hadiah uang. Di <a href="https://policies.education.nsw.gov.au/policy-library/policies/code-of-conduct-policy/DoE-Gifts-Benefits-Hospitality-procedures-2020.pdf">New South Wales (NSW)</a>, guru harus secara sopan menolak hadiah yang nilainya lebih dari A$50 (sekitar Rp 500 ribu). Jika ingin menerimanya, mereka harus mengajukan izin khusus.</p>
<p>Di Queensland, guru harus mengungkapkan sebagian besar hadiah yang mereka terima melalui sebuah formulir. Hadiah-hadiah tersebut harus disetujui sekolah dan tercatat dalam daftar hibah publik. Hadiah yang melebihi A$150 (sekitar 1,5 juta) juga harus melalui uji evaluasi kepatutan – dan biasanya yang nilainya <a href="https://www.qcaa.qld.edu.au/downloads/about/qcaa_policy_gifts_benefits.pdf">melebihi A$350 (sekitar 3,5 juta)</a> hampir pasti tidak lolos.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Many books." src="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/373731/original/file-20201209-19-11gp69z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"><em>Voucher</em> buku yang tidak bisa diubah jadi uang adalah ide yang bagus untuk hadiah guru.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/many-old-books-book-shop-library-269516258">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kemudian, di <a href="http://det.wa.edu.au/policies/detcms/policy-planning-and-accountability/policies-framework/policies/acceptance-and-provision-of-gifts-policy-and-procedures.en?cat-id=3457081">Australia Barat</a>, seorang guru bisa menerima hadiah kecil yang nilainya kurang dari A$100 (sekitar 1 juta) – seperti coklat, bunga, <em>wine</em> (minuman anggur beralkohol), atau perhiasan sederhana – tanpa perlu mengungkapkannya kepada aparat atau departemen. Hadiah lain seperti barang habis pakai (konser tiker) atau properti (<em>smartphone</em>, komputer) harus mereka ungkapkan, daftarkan, dan kemudian disetujui oleh kepala sekolah atau direktur institusi pendidikan. Hadiah di atas A$1.000 (lebih dari 10 juta) tidak boleh mereka ambil untuk kepentingan pribadi.</p>
<p>Sementara itu, di Victoria, “kado apresiasi” untuk guru yang nilainya kurang dari A$100 (sekitar 1 juta) dari orang tua atau wali murid bisa mereka terima dan <a href="https://www.education.vic.gov.au/Documents/about/department/DET-gifts-benefits-hospitality-policy.pdf">tidak harus dilaporkan</a>.</p>
<h2>Jadi, apa yang bisa saya beri untuk guru?</h2>
<p>Beberapa pertanyaan yang harus Anda tanya kepada diri sendiri sebelum memberikan hadiah adalah:</p>
<ul>
<li><p>Apakah saya yakin bahwa hadiah ini murni bentuk rasa terima kasih dan apresiasi saya terhadap kinerja apik seorang guru yang sudah selesai mengajar (misalnya di akhir semester), dan saya benar-benar tidak punya ekspektasi apapun, seperti pengakuan publik atau balas jasa?</p></li>
<li><p>Apakah hadiah saya berlebihan atau bisa dianggap tidak pantas?</p></li>
<li><p>Apakah hadiah saya bisa ditukar dengan uang?</p></li>
<li><p>Apakah saya punya kebiasaan memberikan hadiah kepada guru tersebut? Jika iya, hitunglah total nilai dari hadiah-hadiah yang telah Anda berikan. Pastikan nilainya tidak berlebihan atau berpotensi memberi tekanan pada guru untuk memberikan perlakuan khusus kepada Anda atau anak Anda.</p></li>
</ul>
<p>Beberapa ide hadiah yang cukup etis adalah:</p>
<ul>
<li><p>Buku favorit Anda, atau suatu <em>voucher</em> buku yang <a href="https://www.fairtrading.nsw.gov.au/buying-products-and-services/ways-to-shop-and-pay/gift-cards-and-vouchers">tidak bisa ditukar dengan uang</a></p></li>
<li><p>Sebuah dasi, syal, atau aksesoris pakaian yang tidak mahal dan sederhana</p></li>
<li><p>Pena terukir (<em>engraved pen</em>), lilin beraroma atau pewangi ruangan, buku agenda, atau barang antik kecil, tentu selama harganya tidak berlebihan</p></li>
<li><p>Memberikan <a href="https://theconversation.com/feeling-pressured-to-buy-christmas-presents-read-this-and-think-twice-before-buying-candles-150174">kado yang Anda dapat dari orang lain (<em>regifting</em>)</a> yang kualitasnya masih baik, membuat kartu ucapan terima kasih bersama anak Anda, atau memberi satu pot kecil tanaman</p></li>
<li><p>Patungan dengan keluarga murid yang lain untuk hadiah yang lebih besar. Di Victoria, misalnya, suatu kado yang bernilai lebih dari A$500 (sekitar Rp 5 juta) bisa disetujui <a href="https://www.education.vic.gov.au/Documents/about/department/DET-gifts-benefits-hospitality-policy.pdf">jika diberikan oleh beberapa murid atau wali mereka secara bersama-sama</a>. Di Australia Barat, guru bisa menerima <a href="http://det.wa.edu.au/policies/detcms/policy-planning-and-accountability/policies-framework/policies/acceptance-and-provision-of-gifts-policy-and-procedures.en?cat-id=3457081">hadiah wisata atau liburan</a> sebagai kado perpisahan dari sekumpulan murid yang akan lulus. Selama guru tersebut memenuhi persyaratan pengungkapan dan disetujui secara internal, mereka bahkan bisa memanfaatkan hadiah tersebut sebagai suatu liburan personal tanpa harus meminta kembali izin cuti perjalanan</p></li>
<li><p>Membuat donasi atas nama guru tersebut. Di NSW, <a href="https://policies.education.nsw.gov.au/policy-library/policies/sponsorship-policy/PD-2005-0295-02-SponsProc.pdf">donasi uang dengan jumlah yang besar</a>, seperti A$1.000 (Rp 10 juta) untuk sumber daya perpustakaan atau perlengkapan taman bermain, adalah praktik yang diterima. Tapi, tentu konsultasikan dulu dengan sekolah Anda tentang proses donasi tersebut</p></li>
<li><p>Jika Anda tahu bahwa guru tersebut punya minat khusus terhadap, misalnya, konservasi lingkungan, kesetaraan akses pendidikan untuk perempuan, atau nasib anak-anak di wilayah konflik, Anda bisa memberi donasi pada lembaga amal atau filantropi yang terpercaya, atas nama mereka</p></li>
</ul>
<p>Beberapa departemen pendidikan di Australia juga <a href="https://www.education.sa.gov.au/webforms/thanked">mengajak murid dan orang tua</a> untuk mengungkapkan terima kasih secara publik pada guru mereka melalui suatu formulir daring.</p>
<p>Perimbangan etika terakhir adalah dari mana asal dari kado tersebut. Maksudnya, apakah hadiah tersebut diproduksi secara etis, dengan upah pekerja yang layak? Apakah bisa didaur ulang atau telagh dibuat secara berkelanjutan? Apakah produsen barang tersebut mendukung industri atau seniman lokal?</p>
<p>Jika Anda berkeinginan untuk menunjukkan apresiasi pada guru anak Anda, langkah terbaik bisa jadi menanyakan saja apa yang mereka perlukan, atau apa yang dibutuhkan sekolah mereka, untuk memastikan bahwa mereka bisa benar-benar menikmatinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187096/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Daniella J. Forster tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada berbagai aturan yang mengatur etika pemberian hadiah pada guru yang mengajar anak Anda. Tapi, ada beberapa prinsip utama yang harus tetap Anda perhatikan.Daniella J. Forster, Senior Lecturer, Educational ethics and philosophies, University of NewcastleLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.