tag:theconversation.com,2011:/es/topics/virus-corona-81533/articlesVirus corona – The Conversation2023-08-22T05:37:04Ztag:theconversation.com,2011:article/2037562023-08-22T05:37:04Z2023-08-22T05:37:04Z3 dari 5 ahli sepakat menonton film porno berdampak buruk bagi kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/520693/original/file-20230413-16-bubclr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">bahaya nonton</span> </figcaption></figure><p>Jujur saja: selama masa karantina wilayah akibat virus corona, sulit untuk menolak daya tarik menonton tayangan porno di internet. Tingkat menonton film porno <a href="https://theconversation.com/denied-intimacy-in-iso-aussies-go-online-for-adult-content-so-whats-hot-in-each-major-city-138122">meroket di Australia</a> pada masa isolasi.</p>
<p>Tapi pernahkah kamu bertanya-tanya apa efek mengonsumsi konten dewasa terhadap kesehatan?</p>
<p>Kami bertanya kepada lima ahli apakah menonton film porno buruk bagi kesehatan kita.</p>
<h2>Tiga dari lima ahli mengatakan ya</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="dampak buruk menonton film porno" src="https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=99&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=99&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=99&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=125&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=125&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/345928/original/file-20200707-27837-n0addf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=125&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kekhawatiran utama mereka adalah tentang dampaknya dalam menciptakan ekspektasi yang tidak realistis, berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, dan potensi kecanduan.</p>
<p>Tetapi beberapa menyarankan memberikan pendidikan dapat membantu mengimbangi beberapa kemungkinan bahaya ini, dan pornografi dapat memainkan peran positif bagi kaum muda LGBTIQ+.</p>
<p><em><strong>Berikut ini adalah tanggapan rinci dari para ahli:</strong></em></p>
<p><iframe id="tc-infographic-917" class="tc-infographic" height="400px" src="https://cdn.theconversation.com/infographics/917/885a3d468731caf62ef6e5d915898629a722c7cb/site/index.html" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang dan Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203756/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Beberapa ahli mengkhawatirkan terciptanya ekspektasi yang tidak realistis yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender dan potensi kecanduan. Yang lain mengatakan bahwa pendidikan dapat membantu mengimbangi bahaya-bahaya ini.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorLiam Petterson, Deputy Politics Editor, The Conversation AustraliaDemetrius Tama, Editorial InternRahma Sekar Andini, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1979962023-01-19T04:12:50Z2023-01-19T04:12:50ZFAQ terkait COVID-19 subvarian XBB.1.5: Apa itu? Di mana banyak ditemukan? Apa bedanya dengan Omicron? Apakah sebabkan sakit serius? Bagaimana lindungi diri? Kenapa dinamai ‘Kraken’?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505085/original/file-20230118-16-xv3dio.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">XBB.1.5 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan kemungkinan akan menjadi subvarian COVID-19 dominan berikutnya.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><iframe style="width: 100%; height: 100px; border: none; position: relative; z-index: 1;" allowtransparency="" allow="clipboard-read; clipboard-write" src="https://narrations.ad-auris.com/widget/the-conversation-canada/faq-on-covid-19-subvariant-xbb-1-5--what-is-it-where-is-it-prevalent-how-does-it-differ-from-omicron-does-it-cause-serious-illness-how-can-i-protect-myself-why-is-it-nicknamed--kraken-" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Meski ada banyak upaya kesehatan masyarakat intensif untuk menghentikan pandemi COVID-19, munculnya subvarian XBB.1.5 SARS-CoV-2 yang sangat mudah menular, sangat kebal obat, dan sangat kebal terhadap sistem kekebalan tubuh membuat komunitas global cemas. </p>
<p>Berikut ini hal-hal yang disering ditanyakan (<em>frequently asked question</em>, FAQ) terkait XBB.1.5.</p>
<h2>Apa itu XBB.1.5?</h2>
<p>Dalam konvensi penamaan untuk silsilah SARS-CoV-2, <a href="https://virological.org/t/pango-lineage-nomenclature-provisional-rules-for-%20naming-recombinant-lineages/657">awalan “X” menunjukkan silsilah yang muncul melalui rekombinasi (penggabungan) genetik</a> antara dua atau lebih subvarian.</p>
<p>Silsilah XBB muncul setelah <a href="https://www.who.int/news/item/27-10-2022-tag-ve-statement-on-omicron-sublineages-bq.1-and-xbb">koinfeksi (infeksi bersamaan) alamiah inang manusia dengan dua subvarian Omicron, yaitu BA.2.10.1 dan BA.2.75</a>. Itu <a href="https://doi.org/10.1007/s12291-022-01109-w">pertama kali diidentifikasi oleh otoritas kesehatan masyarakat di India</a> pada musim panas 2022. XBB.1.5 adalah keturunan langsung, atau lebih tepatnya, “cucu kelima” dari subvarian XBB asli.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Diagram of the genetic lineage of a COVID-19 subvariant" src="https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=355&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=355&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=355&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=446&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=446&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/504369/original/file-20230113-24-li24wl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=446&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Silsilah genetik dari subvarian COVID-19 XBB.1.5.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Sameer Elsayed)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Apa perbedaan XBB.1.5 dengan Omicron?</h2>
<p>XBB.1.5 adalah salah satu dari banyak subvarian Omicron yang diwaspadai, yang muncul di kancah pandemi global sejak awal <a href="https://www.who.int/news-room/feature-stories%20/detail/satu%20tahun-sejak-kemunculan-of-omicron">gelombang Omicron pertama pada November 2021</a>. Berbeda dengan turunan lain dari varian Omicron asli (dikenal sebagai B.1.1.529), XBB.1.5 adalah subvarian mosaik yang <a href="https://doi.org/10.1007/s12291%20-022-01109-w">akarnya bisa ditelusuri ke dua garis keturunan subvarian Omicron</a>.</p>
<p>Di antara subvarian Omicron SARS-CoV-2 hingga kini, XBB.1.5 bisa dibilang paling kaya secara genetik dan <a href="https://www.scientificamerican.com/article/why-covids-xbb-1-5-kraken-variant-is-so-contagious/">paling menular</a>.</p>
<h2>Di mana XBB.1.5 banyak menyebar?</h2>
<p><a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/11jan2023_xbb15_rapid_risk_assessment.pdf">Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a>, XBB.1.5 beredar di setidaknya 38 negara, dengan prevalensi tertinggi di Amerika Serikat, yang <a href="https://covid.cdc.gov/covid-data-tracker/#variant-proportions">menyumbang sekitar 43% kasus COVID-19 secara nasional</a>. Di AS, terdapat variasi geografis yang luas dalam proporsi kasus yang disebabkan oleh XBB.1.5, mulai dari <a href="https://www.beckershospitalreview.com/public%20-health/xbb-1-5-prevalence-by-region.html">7% di Midwest hingga lebih dari 70% di New England</a>.</p>
<p>XBB.1.5 juga telah dilaporkan secara resmi oleh lembaga pemerintah di <a href="https://www.health.nsw.gov.au/Infectious/covid-19/Documents/weekly-covid-overview-20230107.pdf">Australia</a>, <a href="https://www.publichealthontario.ca/-/media/documents/ncov/epi/covid-19-sars-cov2-whole-genome-sequencing-epi-summary.pdf">Kanada</a>, <a href="https://www.ecdc.europa.eu/en/news-events/update-sars-cov-2-variants-ecdc-assessment-xbb15-sub-lineage">Uni Eropa</a>, <a href="https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/news/20230112_36/">Jepang</a>, <a href="https://www.kuna.net.kw/ArticleDetails.aspx?id=3077268&Language=en">Kuwait</a>, <a href="https://tass.com/world/1561313">Rusia</a>, <a href="https://cov-spectrum.org/explore/Singapore/AllSamples/Past6M/variants?nextcladePangoLineage=xbb.1.5*&">Singapura</a>, <a href="https://www.nicd.ac.za/covid-19-update-xbb-1-5-variant/">Afrika Selatan</a>, dan <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system%20/uploads/attachment_data/file/1128554/variant-technical-briefing-49-11-january-2023.pdf">Inggris Raya</a>. <a href="https://outbreak.info/situation-reports?xmin=2022-07-13&xmax=2023-01-13&loc&pango=XBB.1&selected">Data pengawasan <em>real-time</em></a> mengungkapkan bahwa XBB.1.5 menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan kemungkinan akan menjadi subvarian dominan berikutnya.</p>
<p>XBB.1.5 juga telah dideteksi dalam sistem air limbah kota di <a href="https://health.hawaii.gov/coronavirusdisease2019/files/2023/01/Wastewater-Report-01-03-23.pdf">Amerika Serikat</a>, <a href="https://thl.fi/en/web/thlfi-en/-/monitoring-wastewater-for-coronavirus-xbb-sublineage-of-omicron-variant-found-in-wastewater-follow-up-results%20-coming-in-january?redirect=%2Ffi%2Fajankohtaista%2Ftiedotteet-ja-uutiset%2Fkaikki-uutiset">Eropa</a> dan tempat lainnya.</p>
<h2>Seberapa besar kemungkinan XBB.1.5 menyebabkan penyakit serius?</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="Illustration of five coronaviruses of different colours in a line" src="https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=217&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=217&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=217&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=272&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=272&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/504766/original/file-20230116-12-o1ah4n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=272&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Silsilah XBB muncul setelah infeksi bersamaan secara alamiah inang manusia dengan dua subvarian Omicron, yaitu BA.2.10.1 dan BA.2.75.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Data tentang kemampuan XBB.1.5 untuk menyebabkan penyakit serius masih terbatas. Namun, menurut <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/11jan2023_xbb15_rapid_risk_assessment.pdf">Organisasi Kesehatan Dunia</a> (WHO), XBB.1.5 tidak memiliki mutasi spesifik yang membuatnya lebih berbahaya daripada subvarian nenek moyangnya.</p>
<p>Meskipun demikian, XBB.1.5 dianggap sama-sama mampu menyebabkan penyakit serius pada lansia dan orang dengan gangguan kekebalan dibandingkan dengan subvarian Omicron yang menjadi perhatian sebelumnya.</p>
<h2>Apakah vaksin mRNA saat ini efektif melawan XBB.1.5?</h2>
<p>XBB.1.5 dan XBB.1 adalah subvarian Omicron dengan <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/11jan2023_xbb15_rapid_risk_assessment.pdf">kemampuan menghindari kekebalan tubuh terbesar</a>. Oleh karena itu, salah satu isu paling kontroversial seputar XBB.1.5 berkaitan dengan tingkat perlindungan yang diberikan oleh vaksin mRNA yang tersedia saat ini, termasuk formulasi penguat (<em>booster</em>) bivalen terbaru.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1038/s41591-022-02162-x">Para peneliti dari University of Texas</a> menunjukkan bahwa vaksin penguat mRNA generasi pertama dan bivalen yang mengandung BA.5 menghasilkan respons antibodi penawar yang lemah terhadap XBB. 1.5. Sebuah laporan (belum ditinjau oleh rekan sejawat) dari para peneliti di <a href="https://doi.org/10.1101/2022.12.17.22283625">Cleveland Clinic</a> menemukan bahwa vaksin bivalen hanya menunjukkan keefektifan rendah (30%) pada orang non-lansia yang sehat ketika varian-varian dalam vaksin itu cocok dengan yang beredar di masyarakat.</p>
<p>Selain itu, beberapa ahli percaya pemberian penguat (<em>booster</em>) bivalen untuk pencegahan penyakit COVID-19 pada individu muda yang sehat <a href="http://doi.org/10.1056/NEJMp2215780">tidak dibenarkan secara medis</a> atau <a href="https://doi.org/10.1136/jme-2022-108449">tak hemat biaya</a>.</p>
<p>Sebaliknya, <a href="http://doi.org/10.1056/NEJMc2214293">pakar kesehatan masyarakat dari Atlanta, Georgia dan Stanford, California</a> melaporkan bahwa meski aktivitas antibodi penawar dari vaksin penguat bivalen terhadap XBB.1.5 adalah 12 hingga 26 kali lebih kecil dari aktivitas antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 tipe liar (asli), vaksin bivalen masih berkinerja lebih baik daripada vaksin monovalen terhadap XBB.1.5.</p>
<p>Namun, <a href="https://doi.org/10.1016/j.cell.2022.12.018">peneliti dari Universitas Columbia</a> di New York menemukan bahwa tingkat antibodi penawar setelah penguatan bivalen adalah 155 kali lipat lebih rendah terhadap XBB.1.5 dibandingkan ke level terhadap virus tipe liar setelah penguatan monovalen.</p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa baik vaksin penguat monovalen maupun bivalen tidak dapat diandalkan untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap XBB.1.5.</p>
<h2>Bagaimana cara melindungi diri Anda dari XBB.1.5?</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="A blue sign reading 'wearing a mask is recommended,' in French and English" src="https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=427&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=427&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=427&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/504744/original/file-20230116-18-xo2zgu.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kewaspadaan pengendalian infeksi standar termasuk masker dalam ruangan, jarak sosial, dan sering mencuci tangan adalah tindakan efektif mencegah XBB.1.5 dan subvarian lain yang diwaspadai.</span>
<span class="attribution"><span class="source">THE CANADIAN PRESS/Graham Hughes</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Evolusi cepat SARS-CoV-2 terus menimbulkan tantangan bagi pengelolaan penyakit COVID-19 menggunakan agen pencegahan dan terapeutik yang tersedia. Sebagai catatan, semua antibodi monoklonal yang tersedia saat ini menargetkan protein S SARS-CoV-2 <a href="https://doi.org/10.1016/j.cell.2022.12.018">dianggap tidak efektif melawan XBB.1.5</a>.</p>
<p>Obat antivirus seperti remdesivir dan Paxlovid dapat dipertimbangkan untuk pengobatan pasien terinfeksi yang memenuhi syarat yang berisiko tinggi berkembang menjadi penyakit parah.</p>
<p>Kewaspadaan pengendalian infeksi standar termasuk masker dalam ruangan, jarak sosial, dan sering mencuci tangan adalah tindakan efektif yang dapat digunakan untuk perlindungan pribadi dan populasi terhadap XBB.1.5 dan subvarian lain yang diwaspadai.</p>
<p>Meski penguat (<em>booster</em>) bivalen dapat dipertimbangkan untuk lansia, gangguan sistem imun, dan individu yang menghindari risiko lainnya, keefektifannya dalam mencegah penyakit COVID-19 akibat XBB.1.5 masih belum pasti.</p>
<h2>Mengapa XBB.1.5 dijuluki ‘Kraken’?</h2>
<p><a href="https://www.mountainviewtoday.ca/amp/lifestyle-news/kraken-subvariant-name-beats-alphabet-soup-moniker-for-xbb15-biologist%20-6351664">Beberapa ilmuwan telah membuat nama panggilan yang diakui secara tidak resmi untuk XBB.1.5</a> dan subvarian SARS-CoV-2 lainnya yang diwaspadai, dengan alasan bahwa mereka lebih mudah diingat daripada penunjukan alfanumerik generik.</p>
<p><a href="https://news.uoguelph.ca/2023/01/biologist-makes-headlines-on-new-covid-subvariant/">Label ‘Kraken’ untuk XBB.1.5 saat ini sedang digemari</a> di situs media sosial dan outlet berita, dan julukan ‘Gryphon’ dan ‘Hippogryph’ telah digunakan untuk menunjukkan masing-masing subvarian leluhur XBB dan XBB.1. <a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/kraken">Kraken</a> mengacu pada monster laut atau cumi-cumi raksasa dari mitologi Skandinavia, Gryphon (atau <a href="https://www.merriam-webster.com/%20kamus/griffin">Griffin</a>) mengacu pada makhluk legendaris yang merupakan hibrida dari seekor elang dan singa, sedangkan Hippogryph (atau <a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/hippogriff">Hippogriff</a>) adalah hewan fiktif hibrida dari seekor Gryphon dan kuda.</p>
<p>Terlepas dari kegunaan potensial mereka sebagai alat bantu ingatan, penggunaan nama panggilan atau akronim dalam diskusi ilmiah formal harus dihindari.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sameer Elsayed tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>XBB.1.5 dianggap sama-sama mampu menyebabkan penyakit serius pada lansia dan orang dengan gangguan kekebalan dibandingkan dengan subvarian Omicron yang menjadi perhatian sebelumnya.Sameer Elsayed, Professor of Medicine, Pathology & Laboratory Medicine, and Epidemiology & Biostatistics, Western UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1971362023-01-09T07:27:55Z2023-01-09T07:27:55ZCOVID: apa yang kita ketahui tentang varian baru omicron BF.7<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/503582/original/file-20230109-24-tns99s.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Kateryna Kon/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Sejak varian COVID omicron muncul pada akhir 2021, ia telah berkembang pesat menjadi beberapa <a href="https://twitter.com/dfocosi/status/1588528270542508034">subvarian</a>. Satu subvarian, BF.7, baru-baru ini diidentifikasi sebagai varian utama yang menyebar <a href="https://www.globaltimes.cn/page/202211/1280588.shtml">di Beijing</a>, dan berkontribusi terhadap lonjakan infeksi COVID yang lebih luas di Cina.</p>
<p>Namun, seperti apa varian baru ini, dan haruskah kita khawatir? Meski <a href="https://www.globaltimes.cn/page/202211/1280588.shtml">laporan dari Cina</a> tentang karakteristik varian ini sedang menjadi perhatian, tampaknya varian ini tidak tumbuh terlalu banyak di tempat lain di dunia. Inilah yang kita ketahui.</p>
<p>BF.7, kependekan dari BA.5.2.1.7, adalah turunan dari varian omicron BA.5.</p>
<p>Laporan dari Cina menunjukkan BF.7 memiliki <a href="https://www.globaltimes.cn/page/202211/1280588.shtml">kemampuan infeksi terkuat</a> dari subvarian omicron di negara tersebut, lebih cepat menular daripada varian lain. BF.7 memiliki masa inkubasi yang lebih pendek, dan dengan kapasitas yang lebih besar untuk menginfeksi orang yang pernah terinfeksi COVID sebelumnya, atau telah divaksinasi, atau keduanya.</p>
<p>Singkatnya, BF.7 diyakini memiliki R0, atau nomor reproduksi dasar, <a href="https://www.chinadaily.com.cn/a/202211/29/WS63855959a31057c47eba1912.html">dari 10 hingga 18,6</a> . Artinya, satu orang yang terinfeksi akan menularkan virus ke rata-rata 10 hingga 18,6 orang lainnya. Penelitian telah menunjukkan omicron memiliki <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8992231/">rata-rata R0 5,08</a>.</p>
<p>Tingkat penularan BF.7 yang tinggi, berasal dari risiko penyebaran tersembunyi karena <a href="https://www.globaltimes.cn/page/202211/1280588.shtml">banyaknya pengidap yang asimtomatik alias tanpa gejala</a>. Ini juga menyebabkan Cina kewalahan mengendalikan epidemi Covid-19.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/china-could-face-a-catastrophic-covid-surge-as-it-lifts-restrictions-heres-how-it-might-play-out-195525">China could face a catastrophic COVID surge as it lifts restrictions – here’s how it might play out</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.globaltimes.cn/page/202211/1280588.shtml">Gejala</a> infeksi BF.7 mirip dengan subvarian omicron lainnya, terutama gejala pernapasan atas. Pasien mungkin mengalami demam, batuk, sakit tenggorokan, pilek dan kelelahan, di antara gejala lainnya. Sebagian kecil orang juga dapat mengalami gejala gastrointestinal seperti muntah dan diare.</p>
<p>BF.7 mungkin menyebabkan penyakit yang lebih serius pada orang dengan sistem kekebalan yang lebih lemah.</p>
<h2>Mutasi BF.7</h2>
<p>Seiring berkembangnya omicron, kita telah melihat munculnya subvarian baru yang lebih mampu <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/35731894/">melepaskan diri dari kekebalan</a> berkat vaksinasi atau infeksi sebelumnya. BF.7 tidak berbeda dari subvarian sebelumnya.</p>
<p>BF.7 membawa suatu mutasi spesifik, <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1115070/Technical-Briefing-46-7October2022.pdf">R346T</a>, dalam protein S SARS-CoV-2 (protein di permukaan virus yang memungkinkannya menempel dan menginfeksi sel kita). Mutasi ini, yang juga kita lihat di “induk” BF.7 <a href="https://www.thelancet.com/journals/laninf/article/PIIS1473-3099(22)00693-4/fulltext">varian BA.5</a>, telah dikaitkan dengan peningkatan kapasitas virus untuk melepaskan diri dari antibodi penawar yang dihasilkan oleh vaksin atau infeksi sebelumnya.</p>
<p>Sebuah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36476380/">penelitian terbaru</a> meneliti netralisasi BF.7 dalam serum (komponen darah yang seharusnya mengandung antibodi) dari petugas kesehatan yang divaksinasi tiga kali, juga pasien yang terinfeksi selama gelombang pandemi BA.1 dan BA.5 omicron. BF.7 resisten terhadap netralisasi, sebagian didorong oleh mutasi R346T.</p>
<h2>BF.7 di seluruh dunia</h2>
<p>BF.7 telah terdeteksi di beberapa negara lain di seluruh dunia termasuk <a href="https://www.cnbctv18.com/india/omicron-sub-variant-bf7-detected-in-india-all-you-need-%20to-know-14955801.htm">India</a>, <a href="https://covid.cdc.gov/covid-data-tracker/#variant-proportions">Amerika Serikat</a>, Inggris Raya, dan <a href="https://www.mirror.co.uk/news/health/new-covid-variant-bf7-symptoms-28062861">beberapa negara Eropa</a> seperti Belgia, Jerman, Prancis, dan <a href="https://www.coronaheadsup.com/news/bf-7%20-sekarang-varian-paling-umum-di-denmark/">Denmark</a>.</p>
<p>Terlepas dari karakteristik penghindaran kekebalan BF.7, dan tanda-tanda mengkhawatirkan tentang pertumbuhannya di Cina, varian tersebut tampaknya tetap stabil di tempat lain. Misalnya, di AS diperkirakan mencapai <a href="https://covid.cdc.gov/covid-data-tracker/#variant-proportions">5,7% infeksi</a> hingga 10 Desember, turun dari 6,6% minggu sebelumnya.</p>
<p>Sementara Badan Keamanan Kesehatan Inggris, dalam <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/%20system/uploads/attachment_data/file/1115070/Technical-Briefing-46-7October2022.pdf">suatu <em>briefing</em> teknis</a> yang diterbitkan pada Oktober lalu, mengidentifikasi BF.7 sebagai salah satu varian yang paling mengkhawatirkan dalam hal data pertumbuhan dan netralisasi (karena menyumbang lebih dari 7% kasus pada saat itu). Sementara <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1120304/technical-briefing-48-25-november-2022-final.pdf"><em>briefing</em> terbaru</a> mengatakan derajat kegawatan BF.7 menurun karena berkurangnya insiden dan tingkat pertumbuhan yang rendah di Inggris.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/xbb-and-bq-1-what-we-know-about-these-two-omicron-cousins-193591">XBB and BQ.1: what we know about these two omicron 'cousins'</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kita tidak tahu persis mengapa situasinya terlihat berbeda di Cina. R0 BF.7 yang tinggi mungkin sebagian disebabkan oleh <a href="https://theconversation.com/china-could-face-a-catastrophic-covid-surge-as-it-lifts-restrictions-heres%20-how-it-might-play-out-195525">tingkat kekebalan yang rendah</a> pada populasi Cina dari infeksi sebelumnya, dan kemungkinan vaksinasi juga. </p>
<p>Kita seharusnya, tentu saja, berhati-hati tentang data dari Cina karena ini didasarkan pada laporan, bukan bukti yang ditinjau oleh rekan sejawat.</p>
<h2>Virus yang berkembang</h2>
<p>Sejak munculnya SARS-CoV-2 tiga tahun lalu, virus ini <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0960982220308472">terus berevolusi</a>, memperoleh mutasi genetik lebih cepat dari yang diperkirakan.</p>
<p>Kemunculan BF.7 dan varian baru lainnya sedang menjadi perhatian. Tapi vaksinasi masih merupakan senjata terbaik yang kita miliki untuk melawan COVID. Persetujuan regulator obat Inggris baru-baru ini untuk <a href="https://www.gov.uk/government/news/first-bivalent-covid-19-booster-vaccine-approved-by-uk-medicines-regulator">penguat (<em>booster</em>) bivalen</a>, yang menargetkan omicron bersama dengan strain asli SARS-CoV-2, sangat menjanjikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197136/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Manal Mohammed tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sejak munculnya SARS-CoV-2 tiga tahun lalu, virus ini terus berevolusi memperoleh mutasi genetik lebih cepat dari yang diperkirakan.Manal Mohammed, Senior Lecturer, Medical Microbiology, University of WestminsterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1953212022-11-30T09:54:27Z2022-11-30T09:54:27ZHampir tiga tahun pandemi: perkembangan mutakhir pencarian obat mujarab COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/498145/original/file-20221130-12-mepdzy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Para peneliti terus mencari obat antivirus yang ampuh, harganya murah dan mudah diakses oleh masyakarat.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/syringe-and-pills-on-blue-background-3786156/">Anna Shvets/Pexel</a></span></figcaption></figure><p>Hampir tiga tahun <a href="https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019">pandemi COVID-19</a> menorehkan sejarah penting perjuangan manusia melawan penyakit yang diakibatkan virus. Virus penyebab COVID, SARS-CoV-2, menjadi anggota keluarga virus corona terkini yang menginfeksi manusia. </p>
<p>Dunia telah memulai hidup berdampingan dengan COVID-19 walau <a href="https://ourworldindata.org/covid-cases">lonjakan kasus masih bermunculan</a> akibat varian virus baru. Keberhasilan spektakuler dalam pengembangan vaksin telah menjadi bukti suksesnya penerapan ilmu biomedis dalam pencegahan penyakit. </p>
<p>Namun, di sisi pengobatan, hingga saat ini belum ada obat antivirus spesifik COVID-19 yang tersedia walau beberapa obat telah mendapat <a href="https://www.fda.gov/emergency-preparedness-and-response/mcm-legal-regulatory-and-policy-framework/emergency-use-authorization#coviddrugs">izin penggunaan darurat</a> (<em>emergency use authorization</em>, EUA) dan menunjukkan hasil menjanjikan.</p>
<p>Sejak awal pertempuran melawan COVID-19, upaya penemuan obat bergantung pada alih guna berbagai obat dan pengembangan antibodi klon tunggal (monoklonal). Keduanya dipilih untuk secara cepat mendapatkan obat yang kala itu begitu dibutuhkan. </p>
<p>Alih guna obat berarti pada mulanya kandidat obat telah diteliti dan digunakan untuk penyakit infeksi lain. Pengembangan obat COVID-19 terus berlangsung untuk memperoleh obat ampuh yang aman.</p>
<p>Obat yang dicari adalah obat yang dapat diberikan pada awal gejala penyakit, dalam bentuk sediaan yang mudah diberikan, relatif murah, dan dapat diakses semua kalangan. Suatu kondisi ideal jika obat tersebut dapat memiliki spektrum luas untuk melawan beberapa jenis virus sekaligus. Hal ini penting untuk kesiapan terhadap pandemi masa depan.</p>
<p>Bagaimana sejauh ini pengembangan obat untuk orang-orang yang terkena COVID?</p>
<h2>Tiga jenis obat yang dikembangkan</h2>
<p>Sampai saat ini setidaknya ada tiga strategi pengembangan obat antivirus untuk COVID-19: (1) pengembangan obat jenis aksi langsung terhadap virus (<em>directly acting antiviral</em>), (2) obat menarget pejamu manusia (<em>host-targeting antiviral</em>), dan (3) obat jenis pengatur respons imun (<em>immunomodulator</em>). </p>
<p>Fokus <strong>pertama</strong> pengembangan obat jenis aksi langsung adalah obat yang menghambat enzim protease (enzim pemecah protein) dan polymerase (enzim pemicu perbanyakan materi genetik virus RNA, <em>RNA-dependent RNA polymerase</em>/RdRp) virus. </p>
<p>Sementara fokus <strong>kedua</strong> ada pada penggunaan antibodi klon tunggal yang bekerja menetralisasi dan menarget protein Spike (S) (atau domain RBD) dari SARS-CoV-2, sehingga virus tidak bisa memasuki sel manusia. Antibodi klon tunggal secara spesifik berikatan dengan protein S sehingga virus kehilangan kemampuan menginfeksi sel manusia.</p>
<p>Beberapa obat jenis aksi langsung telah memperoleh izin penggunaan darurat. Dari jenis obat penghambat protease, nirmatrelvir yang dikombinasikan dengan ritonavir (nama dagang <a href="https://www.pfizer.com/news/press-release/press-release-detail/pfizers-novel-covid-19-oral-antiviral-treatment-candidate">Paxlovid</a> dari Pfizer) merupakan obat penghambat enzim main protease (Mpro) yang vital bagi virus untuk bisa memperbanyak diri dalam sel manusia. </p>
<p>Obat penghambat enzim RdRp di antaranya remdesivir (<a href="https://www.gilead.com/news-and-press/press-room/press-releases/2022/1/fda-approves-veklury-remdesivir-for-the-treatment-of-nonhospitalized-patients-at-high-risk-for-covid19-disease-progression">Veklury</a>, Gilead Biosciences) dan molnupiravir (<a href="https://www.merck.com/news/merck-and-ridgeback-biotherapeutics-provide-update-on-new-clinical-and-non-clinical-studies-of-lagevrio-molnupiravir/">Lagevrio</a>, Merck). </p>
<p>Mekanisme unik dari molnupiravir adalah dengan memasukkan mutasi basa nukleotida pada proses perbanyakan RNA, sehingga menimbulkan kesalahan proses fatal pada duplikasi RNA dan menghambat perbanyakan virus. </p>
<p>Beberapa antibodi klon tunggal yang telah disetujui untuk penggunaan darurat di antaranya bebtelovimab. Obat ini terdiri dari kombinasi tixagevimab dan cilgavimab (<a href="https://www.astrazeneca.com/media-centre/medical-releases/evusheld-long-acting-antibody-combination-retains-neutralising-activity-against-omicron-variants-including-ba2-in-new-independent-studies.html">Evusheld</a>, AstraZeneca), sotrovimab (<a href="https://www.gsk.com/en-gb/media/press-releases/xevudy-sotrovimab-granted-marketing-authorisation-by-the-european-commission-for-the-early-treatment-of-covid-19/">Xevudy</a>, GlaxoSmithKline dan Vir Biotechnology), dan kombinasi casirivimab dan imdevimab (<a href="https://investor.regeneron.com/news-releases/news-release-details/new-regen-covtm-casirivimab-and-imdevimab-data-show-supportive">REGEN-COV</a>, Regeneron dan Roche). </p>
<p>Dari jenis pengatur respons imun, jenis <strong>ketiga</strong>, hasil menjanjikan telah ditunjukkan beberapa obat, di antaranya penghambat enzim janus kinase baricitinib (<a href="https://investor.lilly.com/news-releases/news-release-details/fda-approves-lilly-and-incytes-olumiantr-baricitinib-treatment">Olumiant</a>, Eli Lilly) dan penghambat interleukin-6 tocilizumab (<a href="https://www.gene.com/media/press-releases/14948/2022-04-03/us-fda-grants-priority-review-to-genente">Actemra</a>, Genentech-Roche). </p>
<h2>Keterbatasan dan tantangan</h2>
<p>Tantangan yang dihadapi oleh obat jenis aksi langsung adalah kondisi virus yang selalu bermutasi dan dapat memicu resistensi obat. Obat dapat kehilangan efektivitasnya terhadap varian baru SARS-CoV-2, seperti telah ditunjukkan dengan adanya laporan awal <a href="https://www.nature.com/articles/s41467-022-29104-y">resistensi obat remdesivir</a>. </p>
<p>Penggunaan antibodi dibatasi <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamanetworkopen/fullarticle/2791451">kendala harga</a> yang masih relatif mahal (sekitar <a href="https://www.newsweek.com/fact-check-regeneron-regen-cov-covid-monoclonal-antibody-cost-1637526">US$ 2.100 (Rp 33 juta)</a> per dosis), ketersediaan yang terbatas, dan pemberian yang melalui suntikan sehingga harus diberikan di fasilitas kesehatan.</p>
<p>Sementara itu, strategi obat yang menarget pejamu manusia masih belum mendapat banyak perhatian walau menawarkan berbagai keunggulan. Obat jenis ini mengubah mekanisme interaksi antara virus dengan sel manusia ketika infeksi terjadi. </p>
<p>Mekanisme aksinya, antara lain, menghambat masuknya virus ke dalam sel manusia. Mekanisme lain adalah mengganggu proses pelipat-gandaan protein virus saat memperbanyak diri. Oleh karena obat ini menarget sel manusia, khasiat obat tidak dipengaruhi oleh terjadinya mutasi pada genetik virus yang dapat menyebabkan resistensi obat. </p>
<p>Dengan demikian, obat jenis ini dapat digunakan untuk berbagai varian virus yang timbul akibat mutasi. Selain itu, obat jenis ini dapat memiliki spektrum luas sehingga potensial digunakan untuk melawan berbagai virus corona maupun virus lainnya. </p>
<h2>Obat yang manjur dan terjangkau</h2>
<p>Salah satu obat menarget pejamu manusia adalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5390498/">UV-4</a> (dikenal juga dengan nama MON-DNJ). Obat ini telah dikembangkan oleh Unit Antiviral Drug Discovery di Universitas Oxford, Inggris. Saya terlibat sebagai salah satu peneliti di unit ini.</p>
<p>MON-DNJ beraksi menghambat enzim glucosidase sehingga menghambat proses pelipatan glikoprotein (komponen pembentuk struktur utama dari virus) di retikulum endoplasma sel manusia. Hambatan ini pada akhirnya mengakibatkan gagalnya pembentukan virus baru. </p>
<p>Obat ini telah diteliti aman dan lolos <a href="https://journals.plos.org/plosntds/article/authors?id=10.1371/journal.pntd.0010636">uji klinis fase 1</a> dan sedang memasuki uji klinis lanjutan. Obat ini telah diteliti memiliki aktivitas antivirus terhadap berbagai virus seperti virus dengue, Zika, influenza, hepatitis, Marburg, dan Ebola. </p>
<p>Hasil <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32985653/">uji awal di laboratorium</a> membuktikan bahwa obat ini efektif menghambat kematian sel akibat infeksi virus SARS-CoV-2 dan mengurangi tingkat perbanyakan virus. </p>
<p>Kolaborasi peneliti dunia, termasuk tim di Universitas Oxford, berupaya mengembangkan obat antivirus oral, berbasis penghambat Mpro untuk melawan COVID-19. </p>
<p>Kolaborasi dengan nama “<a href="https://www.ox.ac.uk/news/2021-09-28-moonshot-initiative-develop-affordable-covid-19-antivirals-gets-funding-boost"><em>Moonshot project</em></a>” ini berbasis urun daya (<em>crowdsourcing</em>) dan berikhtiar menemukan obat COVID-19 spesifik bebas paten sehingga dapat menjamin produksi dalam jumlah besar dan distribusi obat ke seluruh dunia dengan harga terjangkau. </p>
<p>Proses penemuan obat baru untuk COVID-19 masih terus berlangsung. </p>
<p>Kolaborasi dan kerja sama antar institusi dalam format ABG (<em>academic-business-government</em>) akan sangat menunjang pengembangan dan penemuan obat antivirus baru. Kita nantikan obat mujarab untuk COVID-19.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195321/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Benediktus Yohan Arman menerima dana beasiswa dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam program Beasiswa Pendidikan Indonesia yang dibiayai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Yohan juga peneliti di Unit Antiviral Drug Discovery di Universitas Oxford, Inggris. </span></em></p>strategi obat yang menarget pejamu manusia masih belum mendapat banyak perhatian walau menawarkan berbagai keunggulan.Benediktus Yohan Arman, Mahasiswa Doktoral (DPhil) di bidang Biochemistry, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1899762022-09-15T03:25:18Z2022-09-15T03:25:18ZGangguan jantung, masalah baru setelah sembuh dari COVID-19, mengapa dan bagaimana terjadi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/484517/original/file-20220914-549-6nr6ho.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Vaksinasi COVID-19 bisa menurunkan risiko kesakitan saat terinfeksi virus.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1660799710">ANTARA FOTO/Ardiansyah/nym</a></span></figcaption></figure><p>Jumlah orang Indonesia yang sembuh dari infeksi COVID-19 hingga <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">13 September 2022 mencapai sekitar 6,2 juta orang atau 97% dari total yang terkonfirmasi terinfeksi</a>. </p>
<p>Jumlah ini akan terus bertambah karena, walau kasus harian COVID kini menurun, kasus yang aktif masih sekitar 32 ribu atau 0,5%.</p>
<p>Salah satu masalah serius pada sebagian orang yang sembuh adalah mereka masih terus merasakan gejala sakit setelah berbulan-bulan sembuh dari infeksi. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. </p>
<p>Jumlah kasus seperti ini besar. Sebuah <a href="https://pesquisa.bvsalud.org/global-literature-on-novel-coronavirus-2019-ncov/resource/pt/covidwho-1929535">riset di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta pada 2022</a> menyatakan 66,5% dari 385 penyintas COVID di Indonesia masih merasakan gejala meski sudah dinyatakan negatif menurut tes laboratorium. </p>
<p>Satu riset yang terbit di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34308300/">The Lancet</a> menguatkan bahwa lebih dari 91% dari 3.762 penyintas masih merasakan gejala COVID selama 7 bulan lamanya. </p>
<p>Gejala sisa yang menetap hingga <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34192289/">lebih dari 3-4 bulan</a> setelah terinfeksi ini dikenal sebagai gejala “<em>Long COVID,” “Chronic COVID Syndrome,” “Long-Haul COVID,” “Post-Acute Sequelae of SARS-CoV-2 infection”,</em> dan “<em>Post-Acute COVID-19 Syndrome</em> (PACS)”. </p>
<h2>Risiko masalah jantung naik</h2>
<p>Gejala COVID berlarut-larut itu ternyata juga meningkatkan risiko masalah jantung dan pembuluh darah. </p>
<p>Sebuah studi yang terbit di <a href="https://www.nature.com/articles/s41591-022-01689-3">Nature Medicine</a> dengan sampel lebih dari 150.000 orang yang pernah terinfeksi COVID menyebutkan setelah satu tahun pulih dari infeksi, para penyintas memiliki peningkatan risiko berbagai masalah jantung dan pembuluh darah. </p>
<p>Masalah itu, di antaranya, gangguan irama jantung, radang otot jantung (miokarditis), radang selaput jantung (perikarditis), gangguan pembekuan darah, stroke, <a href="https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/infark-miokard-akut">infark miokard (serangan jantung)</a>, dan gagal jantung. </p>
<p>Informasi yang cukup mencengangkan adalah peningkatkan risiko ini terlihat jelas bahkan pada penyintas yang tidak dirawat di rumah sakit karena hanya bergejala ringan. </p>
<h2>Gangguan pada jantung</h2>
<p>Ada banyak dugaan bagaimana COVID dapat menyebabkan gangguan pada jantung. </p>
<p><a href="https://www.medicalnewstoday.com/articles/how-does-covid-19-affect-the-heart#A-variety-of-heart-issues">Richard C. Becker</a>, kepala dokter di Heart, Lung and Vascular Institute University of Cincinnati Amerika Serikat mengatakan komunitas medis di sana tahu betul bahwa infeksi SARS-CoV-2 selama fase awal dapat menyebabkan radang otot jantung; radang selaput jantung; dan serangan jantung. </p>
<p>Masalah ini terjadi akibat adanya respons imun berlebihan saat infeksi (badai sitokin), rendahnya kadar oksigen dalam darah, terbentuknya bekuan darah di pembuluh koroner, atau kegagalan jantung dalam menjalankan fungsinya. </p>
<p>Dengan demikian, menurut Becker, gangguan jantung ini muncul sebagai efek tidak langsung dari radang yang terjadi di seluruh tubuh akibat virus COVID.</p>
<p><a href="https://virologyj.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12985-022-01833-y">Analisis lain</a> mengungkapkan bahwa kerusakan jantung adalah efek langsung dari masuknya virus ke jantung.</p>
<p>Virus SARS-CoV-2 hanya bisa masuk ke tubuh atau menginfeksi organ jika dalam organ tersebut terdapat reseptor ACE-2. Ibaratnya, virus SARS-CoV-2 adalah tamu, maka untuk masuk ke dalam rumah, ia tidak bisa masuk jika tidak ada among tamunya, yaitu orang yang akan menyambut dan mempersilakan tamunya masuk ke rumah. Nah, “among tamu” ini adalah reseptor ACE-2. </p>
<p>Tempat virus melekat ini ditemukan pada berbagai organ di dalam tubuh, salah satunya di jantung. </p>
<p>Reseptor ACE-2 ditemukan di jantung, endotelium, kardiomiosit, dan <a href="https://www.ahajournals.org/action/showCitFormats?doi=10.1161%2FCIR.0000000000001064">jaringan <em>adiposa epicardial</em> (selaput jantung)</a>. Temuan virus dalam sel endotel jantung menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat menyebabkan kerusakan langsung pada struktur jantung sehingga dapat menyebabkan kerusakan fungsi jantung. </p>
<p>Dugaan ini semakin diperkuat dengan analisis <em>post-mortem</em> pada 17 pasien yang meninggal karena infeksi COVID. <a href="https://ccforum.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13054-020-03218-5">Materi genetik (RNA virus SARS-CoV-2)</a> ditemukan di jantung 82% pasien yang meninggal tersebut.</p>
<h2>Waspadai nyeri dada</h2>
<p>Keluhan nyeri dada yang menetap setelah sembuh dari COVID-19 bisa jadi merupakan tanda gangguan pada jantung.</p>
<p>Keluhan tidak nyaman di dada adalah salah satu gejala sisa yang banyak dialami oleh para penyintas COVID. Keluhan ini dapat berupa nyeri tajam di area dada, sensasi <em>burning</em> (terbakar) pada area dada, maupun sensasi dada tertekan seperti ditimpa batu besar.</p>
<p>Dalam studi survei online internasional yang dilakukan pada 2021 dengan responden 3.762 penyintas, gejala nyeri dada <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34308300/">ditemukan pada sekitar 53%</a> dari 86% penyintas selama 7 bulan dari infeksi. </p>
<p>Angka yang lebih kecil namun lebih umum dijumpai dalam penelitian menyebutkan bahwa nyeri dada dialami oleh sekitar 22% penyintas yang mengalami <em>long COVID</em>. Jika disederhanakan, ada 1 dari 5 orang yang mengalami rasa nyeri atau tidak nyaman <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2768351">pada dada setelah sembuh dari COVID</a>. </p>
<p>Di luar layanan kesehatan, keluhan nyeri dada bisa diketahui dari tren pencarian kata kunci di Google Trends. </p>
<p>Sebuah ringkasan penelitian <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7525246/">di American Heart Journal</a> menyebutkan bahwa meningkatnya pencarian informasi dengan kata kunci “<em>chest pain</em>” atau nyeri dada di meta-data Google Trends sangat berkorelasi dengan jumlah kasus COVID-19 di Amerika Serikat. </p>
<p>Lonjakan ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa selama pandemi, ada banyak masyarakat yang merasakan nyeri dada. Mereka berupaya mencari solusi nyeri dadanya di internet yang nasibnya sampai sekarang tidak diketahui pasti. </p>
<h2>Radang selaput jantung</h2>
<p>Infeksi COVID dapat mengaktifkan respons imun tubuh. Respons imun ini akan berusaha mengenali virus dan membersihkannya dari tubuh. </p>
<p>Namun, pada sebagian orang, sistem imun merespons secara berlebihan sehingga malah memicu kerusakan organ tubuh sendiri meski virus sudah hilang dari tubuh. Fenomena ini dikenal dengan badai sitokin. </p>
<p>Banyak pasien yang kritis dan berakhir meninggal bukan karena serangan virusnya, namun karena respons imun tubuh yang berlebihan selama terinfeksi. Respons imun berlebihan ini menyebabkan peradangan pada organ, termasuk pada jantung. </p>
<p>Salah satu jenis peradangan yang paling sering dijumpai pada jantung saat dan setelah seseorang terinfeksi COVID adalah radang selaput jantung. </p>
<p>Peradangan ini dapat diketahui dari berbagai macam pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, darah, aktivitas listrik jantung, <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamacardiology/fullarticle/2768916">struktur dan fungsi jantung</a>.</p>
<h2>Lalu bagaimana?</h2>
<p>Dampak <em>long COVID</em> bagi jantung saat ini sudah menjadi perhatian serius di berbagai negara. Para tenaga kesehatan pun semakin dilatih untuk mengenali gangguan jantung setelah terinfeksi COVID, termasuk radang selaput jantung.</p>
<p>Kebijakan klaim BPJS Kesehatan perlu mengakomodasi masalah ini untuk para penyintas yang mengalami <em>long COVID</em>. Ini penting agar para dokter dan tenaga kesehatan dapat melakukan pemeriksaan lebih lengkap (melalui echocardiography atau MRI) untuk menegakkan diagnosis dan mengobati secepat mungkin. </p>
<p><em>Long COVID</em> dan berbagai efek peradangan terhadap jantung, termasuk radang selaput jantung, perlu menjadi salah satu perhatian bagi para dokter ketika menemui pasien penyintas COVID dengan gejala nyeri dada kronis. </p>
<p>Bagi orang yang telah sembuh dari infeksi COVID-19 menurut tes lab, tapi mengalami nyeri dada terus menerus, segeralah berkonsultasi dengan dokter. Berobatlah selagi bisa!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189976/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rosita Handayani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagi orang yang telah sembuh dari infeksi COVID-19 menurut tes lab, tapi mengalami nyeri dada terus menerus, segeralah berkonsultasi dengan dokter. Berobatlah selagi bisa!Rosita Handayani, Lecturer in Pharmaceutical Sciences, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1885262022-08-12T02:24:04Z2022-08-12T02:24:04ZPakar Menjawab: mengapa kasus COVID-19 di Indonesia naik-turun, bagaimana prediksi penularan ke depan?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/478668/original/file-20220811-26-y8fi5a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Vaksinator menyuntikkan vaksin COVID-19 booster kedua kepada dokter (kiri) di RS Mata Cicendo, Bandung, Jawa Barat, 2 Agustus 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1659429918">ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj</a></span></figcaption></figure><p>Kasus harian COVID-19 di Indonesia naik-turun bak <em>roller coaster</em> seiring dengan naiknya mobilitas penduduk saat liburan panjang, mutasi virus, dan longgarnya implementasi protokol kesehatan, terutama pemakaian masker di ruang publik.</p>
<p>Setelah mencapai angka kasus harian di bawah 200 kasus pada pertengahan 23 Mei lalu, hanya dalam hitungan beberapa pekan kini kasus telah mencapai lebih dari 6.000 kasus pada <a href="https://news.detik.com/berita/d-6225224/data-lengkap-sebaran-6276-kasus-corona-ri-9-agustus">9 Agustus</a>. Angka ini kemungkinan akan terus menanjak.</p>
<p>Dalam dua tahun terakhir, kasus COVID-19 mencapai puncaknya <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">pada 15 Juli 2021 dengan 56 ribu kasus</a> dan 16 Februari 2022 dengan 64 ribu kasus sehari. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=294&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=294&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=294&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=370&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=370&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/478658/original/file-20220811-19-afloh.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=370&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kasus harian COVID-19 di Indonesia sejak Maret 2021 hingga saat ini.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">COVID19.GO.ID</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.kemkes.go.id/article/view/22072800004/vaksinasi-covid-19-booster-ke-2-bagi-sdm-kesehatan-diberikan-besok-jumat-29-7-.html">Mulai akhir Juli lalu</a>, Kementerian Kesehatan memperkuat pertahanan tenaga kesehatan melalui vaksin COVID-19 <em>booster</em> kedua atau dosis keempat, yang menyasar 1,9 juta tenaga kesehatan. </p>
<p>Pertanyaannya, mengapa kasus naik turun ini berulang dan bagaimana dampak kenaikan itu terhadap risiko kesakitan dan kematian pada orang-orang positif COVID-19? Bagaimana pula prediksi model penularan virus ini dan antisipasinya?</p>
<p>Secara umum, penyebaran penyakit menular disebabkan oleh interaksi <a href="https://perpus.unigo.ac.id/index.php?p=show_detail&id=3061&keywords=">segitiga epidemiologi</a> yang cukup dikenal dalam studi kesehatan masyarakat: agen (virus), inang, dan lingkungan. Untuk menjelaskan ketiga faktor itu dalam konteks naik turun kasus COVID-19, kami bertanya kepada Teguh Haryo Sasongko, peneliti kesehatan dari International Medical University (Malaysia) dan penulis The Cochrane Collaboration. </p>
<h2>Kasus naik setelah libur panjang: interaksi tiga variabel</h2>
<p><strong>Faktor lingkungan</strong> merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam mendorong penyebaran COVID-19. Lingkungan dalam konteks ini merupakan lingkungan sosial yang mempengaruhi manusia dan memungkinkan virus menyebar dari satu inang (orang) ke inang lainnya. </p>
<p>Virus penyebab COVID-19 menyebar melalui tetesan cairan (<em>droplet</em>) mulut dan hidung, lalu masuk ke saluran pernapasan. Kebijakan pembatasan atau pelonggaran gerakan penduduk, termasuk implementasi protokol kesehatan, merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran virus di masyarakat.</p>
<p>Teguh Haryo Sasongko menunjukkan kasus puncak pada Juli 2021 dan Februari 2022 adalah sekitar dua bulan setelah liburan panjang Idul Fitri pada 2021 (Mei) dan liburan panjang akhir tahun 2022 (Desember 2021). “Pergerakan orang dalam jumlah jutaan dan serentak karena merayakan Idul Fitri dan liburan panjang itu jelas satu faktor lingkungan yang menyumbangkan kenaikan kasus,” kata dia. </p>
<p>Ketika orang-orang bertemu, mereka berbicara satu sama lain, makan bersama, atau berkumpul, dan membuat risiko penularan virus tinggi.</p>
<p>Kebijakan <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/04/113300123/5-alasan-pemerintah-terbitkan-larangan-mudik-lebaran-mei-2021?page=all">pembatasan mobilitas</a> pada saat itu tidak efektif. Kenyataannya, orang tetap mudik. </p>
<p>Hal serupa terjadi pada Mei 2022 lalu, saat liburan Idul Fitri. Saat itu pemerintah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61250012">mempersilakan penduduk mudik, lepas masker di luar ruangan</a> dan dua bulan berikutnya kasus juga mulai naik. Pada <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">3 Mei 2022</a>, ada 395 kasus, lalu naik jadi 1000 kasus pada 25 Juni 2022 dan terus menanjak. </p>
<p>Variabel berikutnya adalah <strong>kemampuan virus menyebar</strong>. Level penyebaran virus merupakan hasil mutasi virus untuk terus bertahan hidup. </p>
<p>Dalam kasus Juli 2021, kasus begitu tinggi karena <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/12/28/09235191/kaleidoskop-2021-varian-delta-yang-menggila-pelajaran-penting-di-bulan-juli?page=all">varian Delta</a>, yang juga menyebabkan kasus tinggi <a href="https://theconversation.com/after-indias-brutal-coronavirus-wave-two-thirds-of-population-has-been-exposed-to-sars-cov2-165050">di India saat itu</a>. Kala itu ledakan kasus di negeri ini dimulai dari <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2021/06/15/133100223/varian-delta-yang-menyebar-di-kudus-disebut-super-strain-ini-penjelasan?page=all">Kudus di Jawa Tengah setelah Idul Fitri</a> dan kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. </p>
<p>Teguh berkata dalam kenaikan kasus Februari 2022, “varian Omicron merupakan jenis virus yang lebih menular tapi dengan daya mematikan yang lebih rendah dibanding Delta”. Kali ini, yang menjadi “tertuduh” menaikkan virus sejak Juni 2022 adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/06/27/10545391/kemenkes-388-kasus-covid-19-akibat-omicron-ba4-dan-ba5-di-indonesia">sub-varian Omicron BA.4 dan BA.5</a>. </p>
<p>Menurut Teguh, ada perbedaan besar dalam hal kesakitan dan kematian antara ledakan kasus pada Juli 2021 dan Februari 2022. Pada Juli 2021, angka kesakitan tinggi sehingga rumah sakit kewalahan. Angka kematian juga tinggi. Hal ini terjadi karena saat itu level vaksinasi dosis pertama <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">di bawah 20% dan dosis kedua di bawah 10%</a>. </p>
<p>“Saat itu (Juli 2021) kita ingat tiap hari ada kawan kita yang meninggal dan kamar rumah sakit sulit diperoleh,” katanya. “Pada Februari 2022, kematian relatif kecil dan rumah sakit relatif tidak kewalahan.” </p>
<p>Vaksinasi massal menaikkan kekebalan penduduk, dengan demikian mengurangi risiko kesakitan dan kematian pada kelompok berisiko terinfeksi seperti yang sebelumnya sudah punya penyakit (komorbid).</p>
<p>Pada Februari 2022, vaksinasi dosis pertama <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">sekitar 90%</a> dan dosis kedua di atas 60%. Ini yang menjelaskan bahwa walau kasusnya mencapai puncak, angka kesakitan dan kematian rendah. Walau kasus harian pada Februari 2022 lebih tinggi dibanding Juli 2021, rumah sakit relatif mampu menangani pasien COVID-19 yang parah. “Jumlah kematian itu tidak mengikuti jumlah kasus yang membesar,” kata Teguh.</p>
<p>Faktor cakupan vaksinasi berkontribusi besar dalam mengurangi kesakitan dan kematian. “Cukup jelas bahwa vaksinasi memiliki pengaruh besar mengurangi angka kesakitan dan kematian. Itu tidak ada yang membantah,” kata Teguh.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/478659/original/file-20220811-24-pgpgkc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kasus kematian pada Juli 2021 jauh lebih tinggi dibanding Februari-Maret 2022.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">COVID19.GO.ID</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Faktor terakhir adalah <strong>faktor inang (manusia yang terinfeksi)</strong>. Faktor ini berkaitan dengan daya tahan tubuh terhadap serangan virus dan menularkannya ke orang lain. Memakai masker menjadi salah satu cara mencegah penularan. </p>
<p>Vaksinasi dan infeksi, bahkan re-infeksi, telah menciptakan antibodi sehingga tubuh lebih kebal terhadap infeksi virus serupa. Dengan merujuk pada teori evolusi virus, Teguh mengatakan virus penyebab COVID-19 telah bermutasi beberapa kali dengan level kemampuan menyebar yang berbeda. Jika virus bermutasi, dia akan mencari bentuk yang aman supaya dia tetap bisa bertahan. Virus bisa bertahan dan cepat menyebar, tanpa membuat inangnya mati. </p>
<p>“Virus itu jadi hidup berdampingan dengan inang. Bisa menyebar, inangnya mengalami seperti terkena flu biasa. Itu akan terus seperti itu. Virus menyebar tapi tidak membunuh inangnya,” ujarnya. Pada saat yang sama, kekebalan tubuh bertahan juga meningkat akibat vaksinasi dan infeksi sebelumnya.</p>
<p>Teguh mencontohkah perbedaan perilaku varian Delta dan Omicron saat masuk dalam tubuh manusia. Varian Delta masuk ke paru-paru sehingga menyebabkan peradangan di paru-paru. Sementara Omicron hanya masuk sampai saluran pernapasan atas, tidak masuk ke paru-paru. “Varian Omicorn BA.4 dan BA.5 juga mengikuti pola Omicron,” ujarnya.</p>
<h2>Prediksi model penularan dan vaksinasi</h2>
<p>Dalam skenario yang masuk akal, menurut Teguh, virus COVID ini nanti kemungkinan besar akan terus hidup seperti virus influenza. Maksudnya, virus akan tetap hidup dengan daya tular tinggi tapi manusia tetap bisa beraktivitas karena virusnya tidak begitu mematikan. “Virus dan manusia bisa hidup berdampingan,” ujarnya. </p>
<p>Dengan demikian, vaksinasi rutin akan tetap dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan. “Seberapa besar populasi yang harus divaksin, itu masih pertanyaan,” ujarnya. </p>
<p>Sementara itu, daya lindung vaksin juga terus menurun seiring dengan waktu dan munculnya varian baru. Untuk soal ini, kita bisa belajar dari vaksin influenza. “Vaksin influenza setiap tahun berubah, tergantung dari varian yang muncul tahun itu. Vaksin COVID juga bisa berubah sesuai dengan varian yang muncul dan teknologinya juga sudah ada,” ujarnya. </p>
<p>Jadi, pemerintah perlu bersiap-siap untuk vaksin rutin COVID untuk mempertahankan kekebalan di masyarakat. Sampai kapan vaksin <em>booster</em> perlu dilakukan rutin dan setiap berapa bulan? Itu yang belum diketahui.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/188526/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Faktor cakupan vaksinasi berkontribusi besar dalam mengurangi kesakitan dan kematian.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1840542022-06-07T03:50:01Z2022-06-07T03:50:01ZRiset: COVID bergejala parah berdampak kognitif yang setara dengan 20 tahun penuaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/467163/original/file-20220606-14-euy44c.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tua</span> <span class="attribution"><span class="source">Hyejin Kang</span></span></figcaption></figure><p>COVID-19 yang parah mengakibatkan gangguan kognitif yang serupa dengan yang dialami antara usia 50 dan 70 tahun dan setara dengan kehilangan sepuluh poin IQ, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/%20S258953702200147X">penelitian kami terbaru menunjukkan</a>. Efeknya masih dapat dideteksi lebih dari enam bulan setelah penyakit akut, dan pemulihan, paling banter, bertahap.</p>
<p>Ada semakin banyak bukti bahwa COVID dapat menyebabkan masalah kesehatan kognitif dan mental yang bertahan lama. Pasien yang pulih melaporkan gejala termasuk kelelahan, “kabut otak (<em>brain fog</em>)”, masalah mengingat kata-kata, gangguan tidur, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD) beberapa bulan setelah infeksi.</p>
<p>Di Inggris, <a href="https://doi.org/10.1101/2021.06.28.21259452">sebuah penelitian menemukan</a> bahwa sekitar satu dari tujuh orang yang disurvei melaporkan memiliki gejala yang mencakup kesulitan kognitif 12 minggu setelah tes COVID positif. <a href="https://www.nature.com/articles/s41586-022-04569-5">Satu studi pencitraan otak baru-baru ini</a> mendapati bahwa COVID ringan dapat menyebabkan otak menyusut. Hanya 15 dari 401 orang dalam penelitian ini yang dirawat di rumah sakit.</p>
<p>Temuan insidental dari proyek sains warga yang besar (<a href="https://www.imperial.ac.uk/news/194706/imperial-researchers-partner-with-bbc-test/">Tes Kecerdasan Inggris Raya</a>) juga menunjukkan bahwa kasus ringan dapat menyebabkan gejala kognitif yang persisten. </p>
<p>Namun, masalah kognitif tampaknya meningkat seiring tingkat keparahan penyakit. Memang, telah ditunjukkan secara independen bahwa antara sepertiga hingga tiga perempat pasien rawat inap melaporkan menderita gejala kognitif tiga sampai enam bulan kemudian.</p>
<p>Besarnya masalah ini, dan mekanisme yang menyebabkannya masih belum jelas. Bahkan sebelum pandemi, diketahui bahwa sepertiga dari orang yang memiliki episode penyakit yang memerlukan ICU menunjukkan defisit kognitif objektif enam bulan setelah masuk.</p>
<p>Gejala ini dianggap sebagai akibat dari respons peradangan yang terkait dengan penyakit kritis. Defisit kognitif yang terlihat pada COVID merupakan fenomena serupa. Apalagi ada bukti bahwa SARS-CoV-2, virus penyebab COVID, dapat menginfeksi sel-sel otak. Kita tidak bisa mengecualikan infeksi virus langsung di otak.</p>
<p>Faktor lain, seperti hipoksia (kadar oksigen rendah dalam darah), mungkin juga berperan. Tidak jelas apakah masalah kesehatan psikologis yang terjadi setelah COVID adalah bagian dari masalah yang sama dengan defisit kognitif objektif, atau mewakili fenomena yang berbeda.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Brain scan" src="https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/461077/original/file-20220503-20-kh9hdw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa orang yang menderita COVID telah mengurangi volume otak.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/mri-magnetic-resonance-image-head-brain-588977774">DedMityay/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Empat puluh enam pasien</h2>
<p>Kami menganalisis data dari 46 mantan pasien COVID. Tujuannya untuk mengkarakterisasi jenis dan besarnya defisit kognitif ini, dan lebih memahami hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit pada fase akut dan masalah kesehatan psikologis pada titik waktu selanjutnya. Seluruh pasien tersebut dirawat di rumah sakit, di bangsal atau ICU, untuk COVID di Rumah Sakit Addenbrooke di Cambridge, Inggris.</p>
<p>Para peserta menjalani tes kognitif terkomputerisasi terperinci – menggunakan platform Cognitron – selama rata-rata enam bulan setelah penyakit akut mereka. Platform penilaian ini dirancang untuk secara tepat mengukur berbagai aspek kemampuan mental seperti memori, perhatian, dan penalaran dan telah digunakan dalam <a href="https://www.imperial.ac.uk/news/194706/imperial-researchers-partner-with-bbc-test/">studi sains warga</a> yang disebutkan di atas.</p>
<p>Kami juga mengukur tingkat kecemasan, depresi, dan PTSD. Data dari peserta penelitian dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sesuai – orang-orang dengan jenis kelamin yang sama, usia, dan faktor demografis lainnya, tapi tidak dirawat di rumah sakit karena COVID.</p>
<p>Para penyintas COVID bereaksi kurang akurat dan lebih lambat dibandingkan kelompok kontrol. Defisit berkurang secara perlahan tapi masih dapat dideteksi hingga sepuluh bulan setelah masuk ke rumah sakit. Efeknya diskalakan dengan tingkat keparahan penyakit akut dan penanda peradangan. Efek-efek ini sangat kuat bagi mereka yang menggunakan ventilator. Namun, efeknya tetap terasa bagi penyintas yang tidak membutuhkannya.</p>
<p>Dengan membandingkan pasien dengan 66.008 anggota masyarakat, kami dapat memperkirakan bahwa besarnya kehilangan kognitif rata-rata setara dengan yang dialami dengan 20 tahun penunaan, antara usia 50 dan 70 tahun. Waktu penuaan tersebut setara dengan kehilangan sepuluh poin IQ.</p>
<p>Para penyintas mendapat nilai yang sangat buruk pada tugas-tugas seperti “penalaran analogis verbal” (menyelesaikan analogi seperti tali adalah untuk sepatu, kancing adalah untuk…). Mereka juga menunjukkan kecepatan pemrosesan yang lebih lambat. Ini sejalan dengan pengamatan pasca-COVID sebelumnya tentang penurunan konsumsi glukosa otak di area otak utama yang bertanggung jawab atas perhatian, pemecahan masalah yang kompleks, dan memori kerja.</p>
<p>Sementara, gejala kesehatan mental yang buruk yang dialami para penyintas COVID – depresi, kecemasan, stres pasca-trauma, motivasi rendah, kelelahan, suasana hati yang buruk, dan gangguan tidur – tidak terkait dengan defisit kognitif objektif. Karena ini berasal dari mekanisme yang berbeda.</p>
<h2>Apa penyebabnya?</h2>
<p>Infeksi virus langsung mungkin terjadi, tapi tidak mungkin menjadi penyebab utama. Defisit kognitif kemungkinan besar terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk oksigen yang tidak memadai atau suplai darah ke otak, penyumbatan pembuluh darah besar atau kecil karena pembekuan, dan perdarahan mikroskopis.</p>
<p>Namun, bukti yang muncul menunjukkan bahwa kerusakan yang disebabkan oleh respons inflamasi tubuh dan sistem kekebalan tubuh menjadi mekanisme penyebab yang paling mungkin terjadi. Bukti dari dokter garis depan mendukung kesimpulan ini adalah: beberapa masalah neurologis menjadi kurang umum sejak meluasnya penggunaan kortikosteroid dan obat lain yang menekan respons inflamasi.</p>
<p>Terlepas dari mekanismenya, temuan kami memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang mendasar. Sekitar <a href="https://www.icnarc.org/our-audit/audits/cmp/reports">40.000 orang</a> telah melalui perawatan intensif dengan COVID di Inggris saja, dan lebih banyak lagi akan dirawat di rumah sakit. </p>
<p>Banyak orang lain mungkin tidak menerima perawatan di rumah sakit meski sakit parah karena tekanan pada perawatan kesehatan selama gelombang puncak pandemi. Ini berarti bahwa ada banyak orang di luar sana yang masih mengalami masalah kognisi berbulan-bulan setelah terinfeksi. Kita sangat perlu melihat apa yang dapat dilakukan untuk membantu orang-orang ini. Studi sekarang sedang dilakukan untuk mengatasi masalah ini.</p>
<p>Namun, ada sesuatu aspek positif dari keadaan yang buruk ini. Jika, seperti yang kami duga, gambaran yang kita lihat pada COVID memang mereplikasi masalah yang lebih luas yang terlihat pada jenis penyakit parah lainnya, ini memberikan kesempatan untuk memahami mekanisme penyebabnya sekaligus mengeksplorasi opsi-opsi perawatannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/184054/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adam Hampshire develops cognitive assessment software for external academic groups. He is funded by the National Institute of Health Research, the Biomedical Research Centre at Imperial College London, and UK Dementia Research Institute Care Research and Technology Centre.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>David Menon receives funding from UKRI, Addenbrooke's Charitable Trust, Brain Research Trust, National Institutes of Health (USA), National Institute for Health Research (UK)</span></em></p>Orang yang selamat dari COVID kurang akurat dan lebih lambat bereaksi daripada kelompok kontrol yang sesuai.Adam Hampshire, Professor in Restorative Neurosciences, Imperial College LondonDavid Menon, Professor, Head of Division of Anaesthesia, University of CambridgeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1839882022-05-30T03:59:50Z2022-05-30T03:59:50ZBelum kena COVID? Bisa jadi Anda hanya sedang beruntung<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/465662/original/file-20220527-15-ae1e7y.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">I Wei Huang/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Kita semua tahu ada orang-orang beruntung yang, entah bagaimana, berhasil menghindari penularan COVID-19. Mungkin Anda salah satunya. </p>
<p>Apakah ini kekuatan super seperti Marvel? Apakah ada alasan ilmiah mengapa seseorang mungkin resisten untuk terinfeksi, padahal virus itu tampaknya ada di mana-mana? Atau apakah itu hanya keberuntungan?</p>
<p>Lebih dari <a href="https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/healthandsocialcare/conditionsanddiseases/articles/coronaviruscovid19latestinsights/infections#infections">60% orang</a> di Inggris Raya telah dites positif COVID setidaknya sekali. Namun, jumlah orang yang benar-benar terinfeksi SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, diperkirakan lebih tinggi. Tingkat yang dihitung dari <a href="https://jamanetwork.com/journals/jamanetworkopen/fullarticle/2787098">infeksi tanpa gejala</a> bervariasi tergantung pada penelitian, meski sebagian besar setuju bahwa ini cukup umum.</p>
<p>Namun, bahkan dengan mempertimbangkan adanya orang yang pernah terkena COVID tapi tidak menyadarinya, kemungkinan masih ada sekelompok orang yang tidak pernah. </p>
<p>Alasan mengapa beberapa orang tampak kebal terhadap COVID adalah satu pertanyaan yang terus ada selama pandemi. Seperti banyak hal dalam sains, (belum) ada satu jawaban sederhana.</p>
<p>Kita bisa mengabaikan teori kekuatan super seperti Marvel. </p>
<p>Namun, sains dan keberuntungan sepertinya memiliki peran untuk dimainkan.</p>
<p>Penjelasan paling sederhana adalah bahwa orang-orang ini tidak pernah bersentuhan dengan virus.</p>
<p>Ini tentu bisa menjadi kasus bagi orang-orang yang telah terlindungi selama pandemi. Orang-orang yang <a href="https://www.bmj.com/content/369/bmj.m1985">berisiko jauh lebih besar</a> penyakit parah, seperti mereka yang memiliki kondisi jantung atau paru-paru kronis, telah mengalami beberapa tahun yang sulit.</p>
<p>Banyak dari mereka terus mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari potensi paparan virus. Bahkan, meski sudah dilengkapi langkah-langkah keamanan tambahan, banyak dari orang-orang ini telah berakhir dengan COVID.</p>
<p>Karena tingginya tingkat penularan komunitas, terutama dengan varian omicron yang sangat menular, sangat tidak mungkin seseorang yang pergi bekerja atau sekolah, bersosialisasi, dan berbelanja tidak berada di dekat seseorang yang terinfeksi virus. Namun, ada orang yang amat rentan terpapar, seperti pekerja rumah sakit atau anggota keluarga dari orang yang memiliki COVID, yang entah bagaimana berhasil menghindari tes positif.</p>
<p>Kita tahu dari beberapa penelitian, vaksin tidak hanya mengurangi risiko penyakit parah, tapi juga dapat mengurangi kemungkinan penularan SARS-CoV-2 di rumah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8262621/">hingga sekitar setengahnya</a>. Jadi tentu saja vaksinasi dapat membantu beberapa kontak dekat agar tidak terinfeksi. </p>
<p>Namun, penting untuk dicatat bahwa penelitian ini dilakukan sebelum munculnya varian omicron. Data yang kami miliki tentang pengaruh vaksinasi terhadap penularan omicron masih terbatas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/four-strange-covid-symptoms-you-might-not-have-heard-about-181217">Four strange COVID symptoms you might not have heard about</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Beberapa teori</h2>
<p>Satu teori tentang mengapa orang-orang tertentu menghindari infeksi adalah bahwa, meski mereka terpapar virus, virus itu gagal membentuk infeksi – bahkan setelah masuk ke saluran pernapasan. Ini mungkin karena kurangnya <a href="https://www.nature.com/articles/s41588-021-01006-7">reseptor yang dibutuhkan</a> untuk SARS-CoV-2 untuk mendapatkan akses ke sel.</p>
<p>Setelah seseorang terinfeksi, para peneliti telah mengidentifikasi bahwa perbedaan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1931312820302365?via%3Dihub">respon imun</a> terhadap SARS-CoV-2 berperan menentukan <a href="https://www.nature.com/articles/s41586-020-2588-y">keparahan gejala</a>. Ada kemungkinan bahwa respons imun yang cepat dan kuat dapat mencegah virus bereplikasi ke tingkat apa pun pada tingkat pertama.</p>
<p>Kemanjuran respons imun kita terhadap infeksi sebagian besar ditentukan oleh usia dan <a href="https://genomemedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13073-018-0568-8">genetik kita</a>. Konon, gaya hidup sehat tertentu membantu. Misalnya, kita tahu bahwa <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16497887/">kekurangan vitamin D</a> dapat meningkatkan risiko infeksi tertentu. Tidak <a href="https://www.nature.com/articles/s42003-021-02825-4">cukup tidur</a> juga dapat berdampak buruk pada kemampuan tubuh kita untuk melawan patogen yang menyerang.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="An illustration of SARS-CoV-2, the coronavirus that causes COVID-19." src="https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/463953/original/file-20220518-19-cupowl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Virus SARS-CoV-2 perlu menempel pada reseptor untuk mendapatkan akses ke sel kita.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/sarscov2-viruses-binding-ace2-receptors-on-1687909009">Kateryna Kon/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para ilmuwan yang mempelajari <a href="https://www.covidhge.com/">penyebab yang mendasari</a> COVID parah telah mengidentifikasi penyebab genetik pada hampir <a href="https://covid19.nih.gov/news-and-stories/decoding-genetics-behind-covid19-infection">20% kasus kritis</a>. Sama seperti genetika yang bisa menjadi salah satu faktor penentu keparahan penyakit, susunan genetik kita juga mungkin memegang kunci ketahanan terhadap infeksi SARS-CoV-2.</p>
<p>Saya meneliti infeksi SARS-CoV-2 pada sel hidung yang berasal dari manusia. Kami menumbuhkan sel-sel ini di piring plastik yang ditambahkan tambahkan virus. Kami lalu menyelidiki bagaimana sel merespons. </p>
<p>Selama penelitian, kami menemukan satu donor yang selnya <a href="https://journals.plos.org/plosone/article/comments?id=10.1371/journal.pone.0266412">tidak dapat terinfeksi</a> dengan SARS-CoV-2.</p>
<p>Kami juga menemukan beberapa mutasi genetik yang sangat menarik, termasuk beberapa yang terlibat dengan respons imun tubuh terhadap infeksi, yang dapat menjelaskan alasannya. Mutasi yang kami identifikasi pada gen yang terlibat dengan penginderaan keberadaan virus sebelumnya telah terbukti memberikan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4001117/">ketahanan terhadap HIV</a> infeksi. </p>
<p>Kendati begitu, penelitian kami dilakukan pada sejumlah kecil donor. Kami masih hanya meneliti permukaan penelitian tentang kerentanan atau ketahanan genetik terhadap infeksi.</p>
<p>Ada juga kemungkinan bahwa infeksi sebelumnya dengan jenis virus corona lain menyebabkan <a href="https://www.nature.com/articles/s41467-021-27674-x">kekebalan reaktif silang</a>. Di sinilah sistem imun kita mengenali SARS-CoV-2 sebagai virus yang mirip dengan virus yang menyerang baru-baru ini – sehingga memunculkan respons kekebalan. Diketahui, ada <a href="https://theconversation.com/coronaviruses-a-brief-history-135506">tujuh virus corona</a> yang menginfeksi manusia: empat menyebabkan flu biasa, dan masing-masing menyebabkan SARS (sindrom pernapasan akut parah, <em>severe acute respiratory syndrome</em>), MERS (Sindrom pernapasan Timur Tengah, <em>Middle East respiratory syndrome</em>) dan COVID.</p>
<p>Berapa lama kekebalan ini dapat bertahan adalah pertanyaan lain. Sebab, virus corona musiman yang beredar sebelum tahun 2020 dapat <a href="https://www.nature.com/articles/s41591-020-1083-1">menginfeksi ulang</a> orang yang sama setelah 12 bulan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-common-cold-might-protect-you-from-coronavirus-heres-how-158461">The common cold might protect you from coronavirus – here's how</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika Anda berhasil menghindari COVID hingga saat ini, mungkin Anda memang memiliki kekebalan alami terhadap infeksi SARS-CoV-2, atau mungkin Anda hanya beruntung. Bagaimanapun juga, masuk akal untuk terus mengambil tindakan pencegahan terhadap virus ini yang masih sedikit kita ketahui.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183988/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lindsay Broadbent receives funding from The Wellcome Trust.</span></em></p>Satu teori tentang mengapa orang-orang tertentu menghindari infeksi adalah bahwa, meski mereka terpapar virus, virus itu gagal membentuk infeksi bahkan setelah masuk ke saluran udara.Lindsay Broadbent, Research Fellow, School of Medicine, Dentistry and Biomedical Sciences, Queen's University BelfastLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1833832022-05-24T07:38:34Z2022-05-24T07:38:34ZPakar Menjawab: apakah kebijakan bebas masker di luar ruangan tepat saat ini?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/464948/original/file-20220524-20-z7mwhq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pekerja yang mengenakan masker melintas di kawasan Sudirman, Jakarta, 17 Mei 2022. Pakai masker tetap wajib di area padat orang.</span> <span class="attribution"><span class="source"> ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa</span></span></figcaption></figure><p>Dua pekan setelah liburan panjang Idul Fitri, Presiden Joko Widodo pekan lalu <a href="https://news.detik.com/berita/d-6081856/pernyataan-lengkap-jokowi-bolehkan-lepas-masker-di-outdoor.">mengumumkan bahwa</a> masyarakat boleh tidak menggunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan yang tidak padat orang. </p>
<p>Namun, masker tetap wajib dipakai <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20220517171322-4-339601/jokowi-izinkan-warga-lepas-masker-ini-penjelasan-lengkapnya">di ruang tertutup dan transportasi publik.</a> Kelompok rentan seperti orang lanjut usia, punya komorbid, dan juga yang punya gejala batuk dan pilek tetap tetap harus pakai masker untuk mencegah tertular atau menularkan virus penyebab COVID-19. </p>
<p>Sejak 1 Mei, kasus baru COVID-19 di Indonesia berada di <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">bawah 500 kasus per hari</a> dan <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/belum-endemi-wamenkes-pandemi-covid-19-di-indonesia-masuk-status-terkendali">relatif terkendali</a>. Kematian tetap terjadi setiap hari. Sementara itu, <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">vaksinasi COVID-19 telah mencapai 96% untuk vaksinasi dosis pertama</a>, 80% dosis kedua, dan dosis ketiga 21%.</p>
<p>Dua alasan ini tampaknya yang menjadi pertimbangan utama pemerintah, selain <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/penelitian-dan-pengembangan-kesehatan/20220318/3139545/hasil-sero-survey-866-penduduk-indonesia-memiliki-antibodi-terhadap-covid-19/">86% penduduk</a> telah memiliki antobodi terhadap COVID-19. </p>
<p>Kebijakan serupa <a href="https://www.nytimes.com/2022/04/20/business/dealbook/mask-mandates-airlines.html">diambil beberapa negara seperti Amerika Serikat</a>, <a href="https://www.merdeka.com/dunia/daftar-negara-di-dunia-yang-telah-cabut-aturan-pakai-masker-hot-issue.html">Inggris, Denmark, Uni Emirat Arab, dan lainnya</a>.</p>
<p>Dalam konteks Indonesia, apakah tepat kebijakan “lepas masker” saat ini? Apakah kebijakan ini tidak meningkatkan risiko penularan virus di kalangan kelompok rentan dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61492426">gelombang baru</a> seperti kasus delta 2021 dan omicron beberapa bulan lalu?</p>
<p>Kami bertanya kepada ahli kesehatan masyarakat terkait kebijakan baru tersebut. Ada dua pendapat: satu menyatakan kebijakan bebas masker di luar ruangan tanpa padat orang itu kebijakan yang tepat. Namun, pemerintah harus meningkatkan edukasi ke masyarakat ihwal implementasi kebijakan tersebut dan memantau pelaksanaan kebijakan ini dengan ketat. </p>
<p>Sedangkan pakar lainnya menilai kebijakan ini tergesa-gesa dan sangat berisiko meningkatkan kasus. Sebab, pandemi belum berakhir dan masih banyak orang yang belum divaksin. </p>
<h2>Langkah tepat tapi harus tetap dipantau</h2>
<p>Direktur Pusat Kajian Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Hasanuddin Irwandy mengatakan kebijakan bebas masker di luar ruang tanpa padat orang merupakan langkah yang tepat di tengah upaya untuk mempersiapkan masyarakat kita memasuki masa transisi dari pandemi ke endemi. </p>
<p>Namun, agar tidak menjadi pisau bermata dua, kata dia, maka pemerintah perlu memperhatikan dengan serius implementasinya di masyarakat. “Banyak kebijakan yang baik, namun selalu gagal dalam proses implementasi,” kata Irwandy. Implementasi adalah upaya untuk menerjemahkan kebijakan publik ke dalam berbagai program aksi untuk mencapai tujuan kebijakan. </p>
<p>Salah satu tahapan yang penting dalam proses implementasi adalah <a href="https://www.cdc.gov/policy/polaris/policyprocess/implementation/index.html">edukasi masyarakat </a> yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. </p>
<p>Pemerintah perlu dengan jelas mengkomunikasikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat tentang kapan dan di mana masker dapat dilepas, lokasi mana yang masuk kategori tempat terbuka, hingga kriteria siapa-siapa yang tetap harus menggunakan masker walau berada di tempat terbuka.</p>
<p>Tahapan selanjutnya adalah penegakan. Ini penting agar pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini nantinya akan benar-benar dilaksanakan di masyarakat. “Tidak hanya di atas kertas,” ujarnya. </p>
<p>Terakhir adalah strategi monitoring dan evaluasi untuk memantau efektifitas dari kebijakan ini. Hal ini penting mengingat pertumbuhan kasus COVID-19 sangat dinamis sehingga nantinya apakah kebijakan masker ini akan semakin dilonggarkan atau justru diperketat. “Kita harapkan benar-benar lahir dari hasil evaluasi kebijakan sebelumnya, ” kata Irwandy.</p>
<p>Irwandy melihat semakin terkendalinya pandemi membuat pemerintah mengizinkan masyarakat untuk tidak menggunakan masker lagi saat melakukan kegiatan di luar ruangan yang tidak padat orang. Memang kasus COVID-19 saat ini di Indonesia telah <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">menurun</a>. Walau sempat terjadi penambahan kasus pasca Idul Fitri, tapi peningkatan tersebut dianggap masih terkendali. Tren angka kesakitan dan kematian beberapa hari setelahnya ditemukan kembali menurun. </p>
<h2>Pemerintah tak perlu tergesa-gesa melepas masker</h2>
<p>Sebaliknya, peneliti biostatistik dan surveilans penyakit Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Iqbal Elyazar, menyatakan kebijakan pemerintah membebaskan masker di luar ruangan saat ini sebagai kebijakan yang tidak tepat. Sebab, kata dia, saat ini status pandemi belum berakhir. “Kematian masih terjadi setiap hari dan penularan masih tinggi,” kata Iqbal.</p>
<p>Dia merujuk sejumlah kasus COVID-19 yang masih tinggi di sejumlah negara seperti <a href="https://www.worldometers.info/coronavirus/">Australia dan Asia Timur</a>. Ini menandakan bahwa pandemi secara global belum berakhir dan penularan masih tinggi. Lalu lintas orang antarnegara kini juga meningkat dan virus mampu bermutasi terus menerus. “Pemerintah tidak perlu tergesa-gesa melepas masker,” ujarnya.</p>
<p>Di Indonesia, dalam lima bulan terakhir, angka kematian per hari berfluktuasi dari angka terkecil dalam hitungan jari hingga angka terbesar di atas 400 kematian. Ini berarti masih banyak orang terinfeksi COVID-19 yang berakhir kematian. </p>
<p>Menurut Iqbal, walau setelah liburan panjang Idul Fitri kasus COVID-19 relatif rendah, bukan berarti kebijakan pelonggaran bisa dilakukan. Karena pada saat yang sama, pelacakan dan pengetesan COVID turun drastis. “<em>Tracing</em> bahkan tidak berjalan lagi,” ujarnya. Anjloknya angka pelacakan ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220314182059-20-771096/luhut-akui-tracing-kasus-covid-turun-perintahkan-pemda-yang-perkuat">bahkan terjadi sejak Maret</a>. </p>
<p>Selain itu, perilaku masyarakat menggunakan masker di luar ruangan sudah terbentuk dengan baik. Walau pemerintah membolehkan penduduk tidak pakai masker, banyak orang tetap memakainya di luar ruangan. Ini menandakan bahwa bagi masyarakat mengenakan masker merupakan alat proteksi yang paling mudah, murah, dan mudah diterima. “Masker ini tidak hanya melindungi dari penularan COVID, tapi juga penyakit pernafasan lainnya,” ujar Iqbal. “Memakai masker juga tidak ada ruginya.”</p>
<p>Memakai masker tetap penting karena tidak semua orang telah divaksin. Kalaupun sudah divaksin, durasi proteksi vaksin juga masih belum diketahui secara pasti karena vaksin Covid-19 masih baru. Vaksinasi merupakan alat untuk memproteksi seseorang dari level parah dan risiko meninggal. “Dalam konteks ini, saat masih banyak orang tidak divaksin, masker tetap merupakan alat intervensi paling efektif dan murah untuk mencegah penularan virus,” kata Iqbal. </p>
<p>Dengan demikian, meski pemerintah membolehkan tidak pakai masker di luar ruangan, lebih baik Anda tetap memakainya untuk memproteksi diri dari risiko penularan COVID.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183383/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Walaupun pemerintah telah membolehkan tidak pakai masker, lebih baik Anda tetap pakai masker di luar ruangan untuk memproteksi diri dari risiko penularan COVID.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1805692022-04-13T05:40:33Z2022-04-13T05:40:33ZPekerja migran Indonesia kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19, bagaimana solusinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/457832/original/file-20220413-18-pse07d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pekerja Migran Indonesia (PMI) menunggu hasil tes pemeriksaan kesehatan dan dokumen perjalanan saat tiba di Terminal 2 Bandara Internasional Juanda Surabaya di Sidoarjo, Jawa Timur, 22 Januari 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.antarafoto.com/peristiwa/v1642851007/kedatangan-pekerja-migran-indonesia-dari-malaysia">ANTARA FOTO/Umarul Faruq/tom</a></span></figcaption></figure><p>Selain mengganggu sistem kesehatan, pandemi COVID-19 juga mengakibatkan para pekerja migran di Indonesia di berbagai negara kehilangan pekerjaan. Baik karena masa kontrak mereka habis, ataupun akibat pembatasan mobilitas sehingga para pekerja tidak bisa balik ke negara tempat kerja maupun gagal berangkat ke negara tujuan lainnya.</p>
<p>Kelesuan ekonomi akibat berbagai pembatasan mobilitas berdampak pada pengurangan tenaga kerja di sektor formal maupun pekerja rumah tangga. Pembatasan <a href="https://www.oecd.org/migration/covid-19-crisis-puts-migration-and-progress-on-integration-at-risk.htm">pintu keluar masuk antarnegara</a> juga menyulitkan pekerja migran masuk ke negara tujuan. </p>
<p>Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) <a href="https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/5f56f23fa8534/pekerja-migran-ikut-memukul-ekonomi-ri-saat-pandemi">menyatakan</a>, sampai Agustus 2020, 176.000 pekerja migran asal Indonesia (PMI) terpaksa pulang ke tanah air. </p>
<p>Bukan hanya persoalan kehilangan pekerjaan, PMI yang masih bekerja, dalam beberapa kasus, juga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan saat terinfeksi COVID dan dipaksa bekerja meski sedang sakit. Ini terjadi di <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-60418516">Hong Hong dan Taiwan</a>.</p>
<p>Berkurangnya jumlah pekerja migran bisa dilihat dari berkurangnya jumlah remitansi masuk ke Indonesia. Penurunannya dari sekitar US$2,9 juta (medio 2019) menjadi US$2,6 juta (awal 2020).</p>
<p>Pertanyaan besarnya: bagaimana mengatasi masalah mantan pekerja migran ini yang pulang ke negeri sendiri? Sebab, pada saat bersamaan, World Employment and Social Outlook (WESO) memperkirakan pada 2022 angka pengangguran secara umum di Indonesia masih berkisar <a href="https://katadata.co.id/maesaroh/berita/61e77393e0513/ilo-ramal-angka-pengangguran-ri-belum-akan-turun-ke-level-pra-pandemi">6,1 juta orang</a>. Angka ini masih lebih tinggi dibandingkan masa sebelum pandemi.</p>
<h2>Perlindungan PMI dan peningkatan kapasitas</h2>
<p>Pemerintah Indonesia dan lembaga advokasi isu pekerja migran, <a href="https://migrantcare.net/?lang=en">Migrant Care,</a> masing-masing mempunyai pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan PMI terdampak pandemi, baik untuk jangka pendek maupun panjang. </p>
<p>Pertama, Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia pada Januari 2021 mengatakan bahwa pemerintah sedang memastikan protokol kesehatan yang berlaku di <a href="https://kemnaker.go.id/news/detail/kemnaker-terbitkan-aturan-soal-negara-tujuan-penempatan-pmi-di-masa-adaptasi-baru">negara tujuan</a>. Pemerintah juga berencana memastikan nota kesepahaman tentang kesempatan dan perlindungan kerja dengan negara tujuan untuk melindungi PMI dari keterlantaran. Sampai saat ini, kasus COVID masih tinggi di beberapa negara tujuan PMI seperti <a href="https://www.worldometers.info/coronavirus/">Korea Selatan, Jepang</a>, dan <a href="https://graphics.reuters.com/world-coronavirus-tracker-and-maps/countries-and-territories/hong-kong/">Hong Kong</a>. </p>
<p>Usul ini memang tepat untuk mencegah PMI menjadi terlantar COVID-19. Namun, bagaimana memastikan aturan ini dipatuhi oleh pemerintah negara tujuan? </p>
<p>Aturan ini sebaiknya berjalan beriringan dengan usul lain yang bersifat jangka menengah seperti penyediaan tempat tinggal untuk PMI yang terdampak COVID-19 ataupun yang menjadi korban kekerasan. </p>
<p>Usul ini justru mulai diadopsi pemerintah Singapura dengan mendirikan dua asrama baru bagi pekerja migran di Kranji, Tuas, Admiralty, Choa Chu Kang, dan Tampines dengan kapasitas total <a href="https://www.channelnewsasia.com/singapore/covid-19-singapore-new-dormitories-foreign-workers-conditions-643771">25.000 tempat tidur</a>. Asrama ini didesain lebih tahan risiko kesehatan publik, termasuk pandemi. </p>
<p>Tempat tinggal sementara yang disediakan oleh negara penerima dan pengirim bagi PMI terdampak COVID dan kasus kekerasan dapat menurunkan risiko PMI yang mengalami kekerasan ataupun terlantar.</p>
<p>Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care <a href="https://ebooks.gramedia.com/id/koran/kompas/15-mar-2022">Wahyu Susilo</a> mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keunggulan kompetitif pekerja migran. Caranya dengan meningkatkan kemampuan PMI dari berkemampuan rendah menjadi menengah atau tinggi.</p>
<p>Penulis melihat bahwa usulan tersebut menjanjikan untuk jangka menengah dan panjang. Di Eropa misalnya, kebutuhan pekerja berkemampuan tinggi “memaksa” Jerman melonggarkan kebijakan imigrasi bagi pekerja <a href="https://www.researchgate.net/publication/4998812_The_Demand_for_High-Skilled_Workers_and_Immigration_Policy">berkemampuan tinggi non-Uni Eropa</a>. </p>
<p>Pekerja berkemampuan tinggi, menurut International Labour Organization (ILO), adalah pekerja <a href="https://www.ilo.org/ilostat-files/Documents/description_OCU_EN.pdf">level 3-4</a> yang membutuhkan teknik khusus atau kemampuan akademik yang <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-hanoi/documents/publication/wcms_428969.pdf">tinggi</a>. Misalnya profesional (guru atau dosen) dan teknisi (<a href="https://www.ilo.org/public/english/bureau/stat/isco/isco88/publ4.htm">insinyur</a>). </p>
<p>Namun, alternatif seperti ini perlu melihat segmentasi pasar tenaga kerja. Sebagai ilustrasi, saat ini <a href="https://kotabumi.imigrasi.go.id/files/kep_dj_binapenta_5527_2021-negara_tujuan_pmi_new_normal.pdf">Kementerian Tenaga Kerja Indonesia</a> hanya menempatkan PMI di 17 negara (Hungaria, Hong Hong, Irak, Arab Saudi, Korea Selatan, Maladewa, Nigeria, Persatuan Emirat Arab, Polandia, Qatar, Rusia, Singapura, Swedia, Swiss, Turki, Zambia, dan Zimbabwe). </p>
<p>PMI yang dikirim ke Turki dan Maladewa berkemampuan dalam industri perhotelan. Sedangkan Hungaria adalah negara tujuan bagi PMI berlatar belakang <a href="https://money.kompas.com/read/2021/01/10/191500626/pekerja-migran-indonesia-hanya-boleh-kerja-di-17-negara-apa-saja-?page=all">kemampuan permesinan.</a></p>
<p>Spesifikasi penawaran tenaga kerja seperti ini sebaiknya dilanjutkan, di samping terus meningkatkan mereka agar menjadi berkemampuan tinggi. Mengapa? Melatih mereka dengan kemampuan <a href="https://siva.kemenperin.go.id/front/news/perbedaan-vokasi-dan-sarjana-mana-yang-lebih-unggul">vokasional di lembaga kursus atau sekolah vokasi</a> agar menjadi pekerja berkemampuan menengah akan memakan waktu lebih sedikit (1-2 tahun) dibanding memaksa PMI untuk menjadi pekerja berkemampuan tinggi seperti menyekolahkan mereka di <a href="https://siva.kemenperin.go.id/front/news/perbedaan-vokasi-dan-sarjana-mana-yang-lebih-unggul">program sarjana yang butuh waktu minimal 3,5 tahun</a>. </p>
<p>Setelahnya, untuk jangka panjang, pemerintah bisa memfasilitasi mereka untuk menempuh <a href="https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/kurikulum/StandarPendidikanTinggi2014Ringkas.pdf">pendidikan tinggi sarjana</a>
agar dapat bersaing di pasar tenaga kerja domestik atau tetap berkompetisi di pasar tenaga kerja luar negeri. Dengan mampu bersaing di pasar tenaga kerja domestik, PMI dapat menjaga keluarga serta berkontribusi pada pembangunan <a href="https://read.oecd-ilibrary.org/development/perspectives-on-global-development-2017/the-development-impact-of-migration-in-origin-countries_persp_glob_dev-2017-11-en#page8">Indonesia</a>.</p>
<p>Alternatif ini juga bisa menjadi salah satu jalan keluar mengurangi angka <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/pengangguran-di-indonesia-paling-banyak-lulusan-smk#:%7E:text=Badan%20Pusat%20Statistik%20(BPS)%20melaporkan,%2C13%25%20pada%20Agustus%202021.">pengangguran lulusan SMK</a>.</p>
<p>Selain masalah pekerja migran yang baru tiba, per Agustus 2021, Indonesia juga menghadapi ledakan pengangguran baru yang mencapai <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20211105131558-4-289282/sejak-covid-orang-ri-yang-nganggur-bertambah-2-juta-orang">2 juta</a> orang akibat pandemi. </p>
<h2>Adakah solusi alternatif?</h2>
<p>Meningkatnya angka pemutusan hubungan PMI turut meningkatkan angka pengangguran Indonesia. Selain menciptakan keunggulan kompetitif dan melatih PMI untuk berkemampuan vokasional, ada tiga alternatif untuk menanggulangi isu ini.</p>
<p>Pertama, pemerintah bisa menambah negara mitra tujuan migran. Indonesia, misalnya, dapat memanfaatkan program Agricultural Visa yang digalakkan oleh pemerintah Australia untuk menyerap tenaga kerja pada <a href="https://theconversation.com/a-global-battle-for-low-skilled-workers-looms-after-covid-australia-needs-to-be-part-of-it-168296">bidang pertanian</a>.</p>
<p>Pemerintah Indonesia bisa melatih PMI berkemampuan rendah untuk menguasai kemampuan pertanian. Sejauh ini, Indonesia belum menempatkan Australia sebagai negara tujuan PMI.</p>
<p>Pemerintah, misalnya, juga dapat melakukan riset pasar tenaga kerja negara non-mitra untuk mengetahui perkiraan jenis tenaga kerja apa yang dibutuhkan <a href="https://ec.europa.eu/eurostat/web/products-eurostat-news/-/DDN-20171024-1">di negara anggota Uni Eropa</a>.</p>
<p>Penyaluran tenaga kerja khusus pada industri di Hungaria dan tenaga kesehatan di Jepang bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah melakukan langkah selanjutnya. Misalnya, pemerintah dapat mengidentifikasi negara Uni Eropa yang membutuhkan tenaga kerja di bidang industri atau kesehatan, kemudian pemerintah <a href="https://bp2mi.go.id/berita-detail/bnp2tki-adakan-perpanjangan-kerjasama-dengan-beberapa-lembaga-terkait-persediaan-pmi-bidang-kesehatan-ke-jepang">melatih PMI</a> berkemampuan rendah untuk menguasai kemampuan pada industri tersebut dan kemampuan pada bidang kesehatan.</p>
<p>Kedua, pemerintah dapat memaksimalkan program Pembangunan Desa Migran Produktif (Desmigratif), selain mengutamakan masuknya remitansi. Pasalnya, remitansi menghasilkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/318496495_Nonlinear_Effects_of_Remittances_on_Per_Capita_GDP_Growth_in_Bangladesh">efek samping</a> seperti ketergantungan pada remitansi, penggunaan remitansi yang salah oleh keluarga migran, dan inflasi. </p>
<p>Sementara itu, Desmigratif yang digalakkan oleh pemerintah juga berpotensi membuka lapangan kerja baru sekaligus memberdayakan keluarga pekerja migran. Program seperti pengembangan UMKM dapat mengalihkan minat PMI dari yang awalnya mencari pekerjaan di luar negeri untuk bekerja mandiri di <a href="https://repository.ummetro.ac.id/files/artikel/2697.pdf">negeri sendiri</a>. </p>
<p>Dengan membuka UMKM, keluarga pekerja migran juga bisa mengurangi angka pengangguran karena adanya penambahan permintaan pekerja dari <a href="https://media.neliti.com/media/publications/180960-ID-none.pdf">UMKM</a>.</p>
<p>Kesuksesan pembangunan <a href="https://infopublik.id/read/229090/tahun-ini-wonosobo-miliki-tiga-desa-desmigratif.html">Desmigratif di Wonosobo Jawa Tengah</a> serta menghubungkannya dengan pelaku penyedia <em>e-commerce</em> menjadi ilustrasi bagaimana <a href="https://ppid.wonosobokab.go.id/postings/detail/1042395/-">seharusnya program</a> ini lebih dioptimalkan.</p>
<p>Terakhir, pengembangan program literasi finansial bagi PMI serta keluarganya juga bisa jadi alternatif. Solusi ini yang berhasil dilakukan di Desa Bedali, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tidak hanya mendorong PMI untuk mengelola bisnis, melainkan juga bisa membantu mereka mengatur dana darurat agar bisa <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/aicobpa-19/125946311">mengurangi efek negatif dari PHK</a>.</p>
<p>Mengatasi PHK dan ditelantarkannya PMI akibat pandemi COVID-19 perlu solusi komprehensif. Solusi tersebut diharapkan menjadi pelengkap dari program-program jangka pendek terkait PMI yang kehilangan pekerjaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180569/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yohanes Ivan Adi Kristianto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meningkatnya angka pemutusan hubungan PMI berdampak pula meningkatkan angka pengangguran.Yohanes Ivan Adi Kristianto, Doctoral Student in Political Science, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1808702022-04-08T03:33:42Z2022-04-08T03:33:42ZKesehatan mental di tengah pandemi: bagaimana kecemasan juga mudah menular<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/456835/original/file-20220407-19-eudy4r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tenaga kesehatan menyiapkan vaksin Astra Zeneca saat vaksinasi booster di UPT Puskesmas Cibiru, Bandung 6 April 2022.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/aww</span></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Pandemi COVID-19 yang memasuki tahun ketiga telah memberikan pelajaran berharga bahwa kesehatan mental kita dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis, psikologis dan kebijakan pemerintah. Kebijakan isolasi, karantina, dan pembatasan berkumpul untuk mencegah penularan COVID-19 telah meningkatkan kecemasan yang mempengaruhi kesehatan mental. </p>
<p><a href="https://www.who.int/news/item/02-03-2022-covid-19-pandemic-triggers-25-increase-in-prevalence-of-anxiety-and-depression-worldwide#:%7E:text=Wake%2Dup%20call%20to%20all,mental%20health%20services%20and%20support&text=In%20the%20first%20year%20of,Health%20Organization%20(WHO)%20today.">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> baru-baru ini menyatakan bahwa pada tahun pertama pandemi, angka prevalensi global kecemasan dan depresi meningkat 25%. Fenomena ini hanya puncak gunung es. Cukup jelas bahwa kesehatan fisik mempengaruhi kesehatan mental, begitu juga sebaliknya.</p>
<p>Untuk membedah masalah kesehatan mental, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami berbincang dengan Eva Suryani, psikiater dan dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.</p>
<p>Eva bercerita tentang cara mengukur gejala kesehatan mental dan cara menanganinya, termasuk mengobatinya jika sudah terdeteksi mengalami gangguan kesehatan mental. Menjaga kesehatan mental ini penting bukan hanya karena pandemi belum tahu kapan akan berakhir tapi masalah kesehatan mental akan terjadi juga setelah pandemi. </p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180870/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Cukup jelas bahwa kesehatan fisik mempengaruhi kesehatan mental, begitu juga sebaliknya.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1762472022-03-28T04:33:00Z2022-03-28T04:33:00ZStudi di Jawa Barat: pandemi berimbas pada kesehatan mental para tenaga kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/448500/original/file-20220225-23-1o3cen2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tenaga kesehatan menyiapkan ruang isolasi COVID-19 di RSUD Indramayu, Jawa Barat, 22 Februari 2022 untuk mengantisipasi lonjakan kasus varian Omicron.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1645508106">ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/foc</a></span></figcaption></figure><p>Kasus COVID-19 yang begitu <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">banyak dalam dua tahun terakhir</a> mengakibatkan sejumlah tenaga kesehatan harus terus menerus merawat pasien COVID dengan gejala parah di rumah sakit. </p>
<p>Di fasilitas kesehatan, pasien datang dan pergi, baik karena sembuh atau tidak berhasil diselamatkan nyawanya. Sementara, tenaga kesehatan tetap bekerja di sana. </p>
<p>Riset <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8455290/pdf/prbm-14-1437.pdf">yang kami lakukan selama Mei-September 2020 dengan data dari 200 responden di Jawa Barat menunjukkan</a> bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan mental lebih rendah. Para dokter mengalami gejala gangguan stres pasca trauma atau <em>post-traumatic stress disorder</em> (PTSD) yang lebih parah. </p>
<p>Kesehatan mental yang memburuk berhubungan dengan status kesehatan dan kondisi kesehatan keseluruhan yang dirasakan para tenaga kesehatan. Level stres yang tinggi dan masalah kesehatan mental ini bisa menyebabkan berkurangnya kepuasan pada pekerjaan, penurunan kesehatan dan kualitas hidup dalam jangka panjang, dan berisiko menurunkan kualitas pelayanan. </p>
<p>Masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari para pengelola fasilitas kesehatan, pemerintah, dan pembuat kebijakan agar keadaannya tidak terus memburuk. Apalagi, pandemi ini belum menunjukkan tanda - tanda akan selesai dalam waktu dekat. </p>
<h2>Sumber kekhawatiran</h2>
<p>Riset meneliti peran kesehatan mental dan kepuasan kerja terhadap kualitas hidup di kalangan tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 di rumah sakit rujukan. Studi dilakukan dengan survei <em>online</em>. Mayoritas dari responden adalah perawat, apoteker, dokter umum, dokter spesialis dan asisten laboratorium. </p>
<p>Ada lima hal yang menjadi kekhawatiran pekerja kesehatan yakni (1) takut penularan dan infeksi virus, (2) dampak COVID pada keluarga, (3) meninggal dan isolasi, (4) keamanan pribadi, dan (5) stigma sosial. Kehawatiran itu masuk akal karena kenyataanya ada peningkatan tekanan pekerjaan semasa pandemi. </p>
<p>Selain itu, banyak pula tenaga kesehatan yang meninggal akibat COVID. Per Oktober 2021, secara global ada <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58990866">sekitar 180 ribu tenaga kesehatan</a> meninggal dunia. Sekitar 2.000 kasus di antaranya dari Indonesia. Itu terjadi saat cakupan vaksinasi di Indonesia masih rendah. </p>
<p>Riset-riset serupa di negara lain juga menunjukkan temuan yang hampir serupa. Studi yang meninjau <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S088915912030845X?via%3Dihub">13 riset</a> dan melibatkan 33,062 responden menunjukkan kelaziman tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan depresi mencapai 23,2 persen dan 22,8 persen. Sekitar 38,9% responden dari lima riset menunjukkan mereka mengalami insomnia. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352289520300515?via%3Dihub">riset di Cina</a> juga menunjukkan insiden gejala stres pasca-trauma (PTSS) di kalangan tenaga kesehatan yang berhadapan pasien COVID mencapai 28,7%. Sedangkan pekerja kesehatan yang tidak merawat pasien COVID yang mengalami hal serupa kurang dari separuhnya, yaitu 13%. Artinya, para tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID memiliki risiko dua kali lipat lebih mengalami stres setelah trauma. </p>
<p>Studi-studi serupa <a href="https://www.mdpi.com/1660-4601/18/8/4361/htm">saat wabah SARS dan MERS</a> menunjukkan sepertiga dari tenaga kesehatan mengalami sindrom kelelahan. Ini sangat mungkin terjadi selama pandemi COVID. </p>
<p>Selain level kelelahan, ada juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165178120307691?via%3Dihub">masalah kepuasan terkait kerja dan pekerjaan</a> yang menjadi sumber motivasi penting untuk mencegah kelelahan selama wabah. Menjaga kepuasan kerja tetap pada level tinggi di kalangan tenaga kesehatan merupakan hal penting untuk mencapai <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11356-020-08506-9">kualitas tinggi</a> dari layanan medis. </p>
<h2>Perbedaan risiko di tempat kerja</h2>
<p>Di Indonesia, studi ini merupakan riset pertama yang mengeksplorasi kesehatan mental, gejala PTSD, kepuasan kerja, dan kualitas hidup di kalangan tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19.</p>
<p>Dari riset ini, tampak bahwa status kesehatan menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan tempat kerja. Sementara, gejala PTSD berbeda pada dokter umum, dokter spesialis, perawat dan tenaga kesehatan lainnya.</p>
<p>Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan non-rujukan.</p>
<p>Tenaga kesejahatan yang bekerja secara aktif berhubungan pasen COVID mungkin terpapar <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0165032720323892">lebih banyak tekanan fisik</a> dan mental karena beban kerja yang lebih tinggi. Risiko terinfeksi COVID juga tinggi karena tenaga kesehatan berada lebih lama di rumah sakit untuk merawat pasien. </p>
<p>Dokter umum dan dokter spesialis mengalami gejala PTSD yang lebih parah dibandingkan dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Pada saat wabah COVID-19, banyak tenaga kesehatan terinfeksi, yang dapat <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2761044">meningkatkan tekanan psikologis</a> rekan-rekan mereka. </p>
<p>Selain <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140673620306449">risiko infeksi</a> tenaga kesehatan mungkin mengalami stres eksistensial dan rasa sakit kehilangan pasien dan rekan kerja. Menyaksikan rekan-rekan yang kehilangan nyawa karena pandemi bisa menjadi pengalaman yang traumatis dan dehumanisasi.</p>
<p>Dari riset ini, kami menemukan masalah kesehatan mental di antara tenaga kesehatan akan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gejala PTSD. Lingkungan yang keras, suasana yang menyedihkan, pengalaman melihat kematian, dan tekanan beban kerja selama pandemi dapat mengancam kehidupan dan menimbulkan trauma psikologis tenaga kesehatan. Hal-hal tersebut turut <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352013216300953?via%3Dihub">meningkatkan kerentanan mereka terhadap PTSD</a>. </p>
<p>Masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi sangat berkorelasi dengan gejala PTSD pada tenaga kesehatan <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0241032">yang bekerja langsung dengan pasien COVID-19</a>. Situasi kerja mereka akan terus-menerus menempatkan mereka dalam situasi yang menantang dan penuh tekanan. </p>
<p>Melihat lonjakan jumlah pasien yang terinfeksi, kematian tanpa ampun, dan keadaan yang terisolasi lantaran COVID-19, <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/psychological-medicine/article/ptsd-as-the-second-tsunami-of-the-sarscov2-pandemic/4AE54B1B1A67988C721EF6634D064D62">kurangnya sumber daya manusia serta kendala teknis lainnya</a> berpotensi membuat PTSD di kalangan tenaga kesehatan semakin berkembang.</p>
<p>Walau merasa khawatir, para responden riset di Jawa Barat juga punya sumber kekuatan dan semangat. Di antaranya adalah religiusitas, sistem pendukung sosial yang kuat, tanggung jawab moral profesi, protokol keselamatan dan kesehatan COVID, penerimaan dan perilaku positif menuju masa depan. </p>
<p>Dukungan sosial yang diterima oleh tenaga kesehatan membuat mereka merasa lebih tenang, dimengerti, dan diperhatikan oleh orang-orang terdekatnya.</p>
<p>Hasil ini sejalan dengan <a href="https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-020-02998-y">riset sebelumnya</a> menunjukkan bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, kesepian, dan masalah tidur selama COVID-19.</p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Riset ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang dapat menurunkan dan meningkatkan kualitas hidup para tenaga kesehatan. Hasil ini bisa digunakan oleh para pengelola fasilitas kesehatan, pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk membuat regulasi pengaturan kerja bagi para tenaga kesehatan. Misalnya pengaturan dan pembagian tugas serta mekanisme kerja yang lebih aman, nyaman dan proporsional. </p>
<p>Selain itu, hasil riset ini juga bisa digunakan untuk merancang penyediaan layanan psikologis untuk mengatasi masalah psikologis yang muncul akibat pandemi COVID 19, misal kecemasan, depresi, stres dan lainnya agar tidak berkembang menjadi lebih parah. </p>
<p>Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menjaga kondisi kesehatan mental, kualitas hidup, dan kualitas kerja para tenaga kesehatan. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176247/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aulia Iskandarsyah menerima dana dari COVID-19 Research Grant dari Universitas Padjadjaran untuk riset ini. </span></em></p>Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan lainnya.Aulia Iskandarsyah, Dosen Fakultas Psikologi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1788892022-03-18T05:54:17Z2022-03-18T05:54:17ZPemerintah hapus syarat tes PCR dan antigen untuk perjalanan, apa konsekuensinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/451811/original/file-20220314-23-i5pojw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Calon penumpang pesawat berjalan di depan papan jadwal penerbangan domestik di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 8 Maret 2022.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Fauzan/aww</span></span></figcaption></figure><p>Di tengah penyebaran COVID-19 yang mencapai lebih <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">dari 20.000 kasus harian</a> pekan lalu, pemerintah Indonesia <a href="https://jdih.maritim.go.id/cfind/source/files/surat-edaran/se-ka-satgas-nomor-11-tahun-2022.pdf">menerbitkan kebijakan mulai 8 Maret</a> tidak lagi <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/09/05300051/syarat-lengkap-naik-pesawat-kereta-dan-kapal--tanpa-pcr-antigen-wajib-masker?page=all">mewajibkan tes RT-PCR (<em>real time-polymeraise chain reaction</em>) dan tes antigen COVID-19</a> sebagai syarat perjalanan domestik. Ini berlaku bagi penumpang yang telah dua kali vaksinasi.</p>
<p>Secara medis, skrining melalui tes PCR dan antigen hanya salah satu alat untuk mengendalikan penularan COVID. Instrumen lainnya seperti pemakaian masker, vaksinasi, dan ventilasi di ruangan juga harus tetap diterapkan untuk meminimalkan risiko penularan COVID. </p>
<p>Sayangnya, media-media lebih berfokus pada kebijakan penghapusan PCR dan antigen saja. </p>
<p>Pertanyaan besarnya: apakah kebijakan tersebut tepat diberlakukan saat ini? Apa konsekuensinya, terutama di area yang vaksinasinya masih rendah? </p>
<p>Jawaban atas pertanyaan ini tentu beragam, tergantung sudut pandang yang kita gunakan. Dari sudut kedokteran, COVID-19 dengan berbagai variannya tetap berbahaya dan bisa berdampak mematikan bagi kelompok rentan, komorbid, dan yang belum divaksin. </p>
<h2>PCR dan antigen hanya satu dari sekian alat pengendali</h2>
<p>Keputusan pemerintah mencabut kewajiban PCR dan antigen jelas mempertimbangkan cakupan vaksinasi COVID-19 secara nasional yang telah mencapai <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">sekitar 91% tahap pertama dan 72% dari target</a>. </p>
<p>Walaupun sudah tinggi, sebenarnya masih ada puluhan juta orang di Indonesia yang belum divaksin. Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, misalnya, cakupan vaksinasi tahap dua masih di bawah 60%. Di Papua, cakupan lebih rendah lagi di bawah 50 persen. </p>
<p>Selain itu, kita mudah membaca bahwa alasan ekonomi juga menjadi pertimbangan pemerintah melonggarkan persyaratan tes PCR dan tes antigen. Selain menambah ongkos penumpang, PCR dan antigen telah membuat banyak orang enggan melakukan perjalanan melalui pesawat dan kapal, yang menyebabkan industri transportasi lesu. </p>
<p>Sebenarnya sejak awal situasi penyebaran virus kemungkinan besar tidak terkontrol. Pandemi diklaim masuk ke Indonesia pada <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/11265921/breaking-news-jokowi-umumkan-dua-orang-di-indonesia-positif-corona?page=all">awal Maret 2020.</a> Padahal WHO dan negara-negara tetangga sudah waspada sejak Januari 2020.</p>
<p><a href="https://cdn.who.int/media/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/who-indonesia-situation-report-1.pdf?sfvrsn=6be5b359_0">Dampaknya jelas terlihat bahwa berawal dari laporan dua kasus pada awal Maret 2020, kemudian menyebar ke seluruh provinsi dalam waktu satu bulan hingga mencapai 3.000-an kasus</a>. Pada saat itu pasti terjadi penyebaran masif lewat jalur udara, atau bahkan COVID 19 sudah menyebar sebelum Maret 2020. </p>
<p>Karena itu, penghapusan kewajiban tes PCR dan antigen kemungkinan tidak memiliki konsekuensi baru yang berat bagi masyarakat. Apalagi, pada awal pandemi, pemeriksaan PCR belum merata dan skrining masih dilakukan melalui tes cepat antibodi. </p>
<p>Situasi orang melakukan perjalanan dalam negeri tanpa mengetahui status COVID 19-nya mungkin sudah lama terjadi sebagai konsekuensi ketidakdisiplinan masyarakat kita sendiri. </p>
<p>Nah, kalau situasinya sudah terjadi berbulan-bulan sebelum ini, apa yang perlu dipolemikkan? </p>
<p>Jawabannya: tidak ada. </p>
<p>Yang perlu kita lakukan sekarang adalah memahami isi surat edaran baru tersebut dan melaksanakannya. Pasalnya, banyak pemberitaan hanya memfokuskan pada tidak wajibnya pemeriksaan RT-PCR dan <em>rapid test</em> antigen bagi pelaku perjalanan dalam negeri. </p>
<h2>Isi surat dan konsekuensinya</h2>
<p><a href="https://jdih.maritim.go.id/cfind/source/files/surat-edaran/se-ka-satgas-nomor-11-tahun-2022.pdf">Surat Edaran No.11 Tahun 2022 dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19</a> memuat secara lengkap protokol kesehatan perjalanan dalam negeri. </p>
<p>Surat edaran ini bertujuan mencegah penularan COVID 19 di Indonesia dengan upaya melaksanakan protokol kesehatan secara lengkap dan disiplin. Pencegahan penularan bukan hanya terkait penemuan kasus positif dan pencegahan orang yang positif melakukan perjalanan dalam negeri. </p>
<p>Pemeriksaan PCR maupun rapid antigen hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan surat edaran tersebut. Bahasan mengenai pemeriksaan PCR dan <em>rapid test</em> antigen termaktub dalam butir 3, satu dari tujuh butir protokol kesehatan dalam melakukan perjalanan. </p>
<p>Pemerintah sesungguhnya menyadari bahwa status positif atau negatif bukan satu-satunya penentu tersebarnya COVID 19. Masih ada perilaku lain yang perlu dilakukan oleh pelaku perjalanan dalam menurunkan transmisi COVID 19. </p>
<p>Butir pertama dari nomor 3 protokol kesehatan dalam Surat Edaran No.11/2022 ini justru menyebutkan bahwa tanggung jawab kesehatan beradal pada diri masing-masing. Jadi, sudah seharusnya setiap orang yang mau melakukan perjalanan dalam negeri mengetahui status kesehatan dirinya secara bertanggung jawab. Kesadaran ini berdampak baik untuk diri sendiri maupun bagi orang-orang lain di sekitarnya selama perjalanan. </p>
<p>Poin selanjutnya baru berbicara mengenai tes PCR dan antigen dalam perjalanan. Surat keputusan untuk tidak mewajibkan pemeriksaan PCR maupun antigen hanya diberikan kepada mereka yang sudah dua dosis vaksin COVID-19 atau <em>booster</em> ketiga. </p>
<p>Kondisi sudah divaksin memang tidak menjamin seseorang tidak akan terinfeksi. Berbagai vaksin penyakit lainnya pun – yang sudah lebih lama ada – tidak bisa menjamin seseorang bebas infeksi. </p>
<p>Kalau dikaitkan dengan poin kedua, maka penghapusan kewajiban pemeriksaan PCR atau tes antigen lebih tepat disebut sebagai penghargaan administratif bagi penduduk yang sudah divaksin. Mereka yang sudah divaksin dan tercatat di aplikasi <a href="https://www.pedulilindungi.id/">Pedulilindungi</a>, tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk tes apabila akan melakukan perjalanan dalam negeri. </p>
<h2>Tetap PCR: perjalanan ke perbatasan</h2>
<p>Kondisi ketiga yang tidak membebaskan seseorang dari tes PCR ataupun antigen adalah, perjalanan yang dilakukan ke perbatasan atau pun daerah-daerah jauh menggunakan penerbangan/perjalanan laut dengan kapal perintis. </p>
<p>Penjelasan untuk aturan ini mungkin didasarkan pada perbatasan bisa memiliki risiko penularan yang besar, misalnya perbatasan Singapura dan Malaysia. Daerah perbatasan juga menggambarkan kondisi yang jauh dari akses pelayanan apabila terjadi komplikasi kegawatan pasien COVID-19, terutama daerah-daerah terpencil. </p>
<p>Contoh, daerah yang berbatasan dengan Malaysia adalah di pedalaman Kalimantan, perbatasan Indonesia - Papua Nugini, atau dengan Timor Leste. Daerah lainnya adalah kawasan yang berbatasan dengan laut internasional dan Australia di Provinsi Nusa Tenggara Timur. </p>
<h2>Pengendalian lingkungan harus diperkuat</h2>
<p>Ada banyak data yang menunjukkan bahwa <a href="https://theconversation.com/pandemi-covid-19-pesawat-terbang-cepat-sebarkan-penyakit-orang-yang-tak-divaksinasi-mestinya-tak-boleh-terbang-132982">penyebaran COVID-19 sejak dari Wuhan, Cina, pada awal pandemi</a> sampai ke seluruh dunia didominasi oleh perjalanan udara. </p>
<p>Negara kita sebenarnya sudah diuntungkan dengan kondisi geografis kepulauan, sehingga transmisi virus yang hanya melalui perjalanan udara/laut ke seluruh pelosok Indonesia bisa dibatasi. </p>
<p>Pada dasarnya, pengendalian lingkungan harus menjadi nomor satu dalam pencegahan penyebaran infeksi, apalagi yang menular melalui udara. </p>
<p>Berdasarkan pengalaman pandemi SARS dan juga COVID 19 saat ini, pesawat terbang sudah seharusnya menggunakan <em>high-efficiency particulate air</em> (HEPA) filter. Saringan ini dapat menghalangi masuknya partikel kecil seukuran bakteri atau kurang ke suatu ruangan, sesuai <a href="https://www.icao.int/safety/CAPSCA/PublishingImages/Pages/CART-Guidance/Phase%20II%20CART-HLCD%20and%202nd%20Ed%20TOGD_full.pdf">rekomendasi Organisasi Penerbangan Sipil Dunia (ICAO)</a>. </p>
<p>Pada akhirnya, meski tes PCR dan antigen dihapus, kita mesti tetap menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah risiko tertular virus corona.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178889/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Trevino Pakasi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kondisi sudah divaksinasi memang tidak menjamin seseorang tidak akan terinfeksi, bahkan berbagai vaksin lainnya pun yang sudah lebih lama ada, tidak bisa menjamin bahwa seseorang akan bebas 100%.Trevino Pakasi, Lecturer at Department of Community Medicine Faculty of Medicine, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1791982022-03-16T05:57:33Z2022-03-16T05:57:33ZLong COVID: disabilitas baru yang sulit mendapatkan perlakuan layak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/452143/original/file-20220315-21-1dst86j.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Beberapa pasien COVID-19 mengalami gejala yang melemahkan selama berbulan-bulan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Sharply_Done/E+ via Getty Images</span></span></figcaption></figure><p>Sekitar <a href="https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2021.0830">sepertiga dari penyintas COVID-19</a> akan mengalami kondisi yang dikenal <a href="https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/long-term-effects/index.html">sebagai <em>long</em> atau <em>long-haul</em> COVID-19</a>. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation memperkirakan bahwa <em>long</em> COVID – gejala sisa yang akut dari infeksi SARS-CoV-2 – akan membuat <a href="https://pascdashboard.aapmr.org/">22 juta orang</a> termasuk dalam populasi penyandang disabilitas di Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Saya adalah <a href="https://scholar.google.com/citations?user=U8wbfDgAAAAJ&hl=id&oi=ao">sosiolog dan peneliti</a> yang berfokus pada disabilitas. Saya menyadari adanya tantangan yang menunggu orang-orang disabel (penyandang disabilitas) baru yang hidup dengan <em>long COVID</em>. Pasien COVID dapat merasakan gejala sisa tersebut selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah infeksi. </p>
<p>Dalam kondisi ini, tantangannya adalah bagaimana cara untuk memenuhi syarat pendaftaran <a href="https://www.ssa.gov/benefits/ssi/">Social Security Supplemental Income</a>, program dukungan keuangan kepada penyandang disabilitas yang kurang mampu di AS. </p>
<p>Guna mendapatkan dukungan, pelamar harus menunjukkan bahwa mereka memiliki kondisi yang sangat membatasi kemampuan mereka untuk bekerja. Program ini secara rutin menolak mayoritas pendaftar sebelum pandemi. Selama 2009 - 2018, program ini menolak <a href="https://www.ssa.gov/policy/docs/statcomps/di_asr/2019/di_asr19.pdf">66% pendaftar</a>.</p>
<p>Namun, dampak dari <em>long</em> COVID – sebagai kondisi yang baru ditemukan – sulit diukur. Gejalanya pun sulit dibuktikan, bervariasi dalam jenis, intensitas dan durasi, antar-individu, bahkan pada orang yang sama dari waktu ke waktu. </p>
<h2>Penderitaan penyintas</h2>
<p>Seiring berjalannya waktu, kebanyakan orang akan merasa pulih setelah masa infeksinya terlewati. Namun, beberapa penyintas justru mengalami gejala yang berlanjut atau baru berkembang. <a href="https://doi.org/10.1038/s41598-021-95565-8">Gejala COVID berkepanjangan</a> ini dapat mencakup sesak napas, kelelahan, dan masalah otak (misalnya sulit berkonsentrasi, mengingat, atau membuat keputusan).</p>
<p>Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mendefinisikan disabilitas sebagai “setiap <a href="https://www.cdc.gov/ncbddd/disabilityandhealth/disability.html">kondisi tubuh atau pikiran</a> yang mempersulit penyandangnya untuk melakukan aktivitas tertentu dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.” </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Man at table, face partially obscured by laptop, leaning his forehead into his hand." src="https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/450541/original/file-20220307-85251-hbfhgf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pasien long COVID melaporkan bahwa kelelahan dan kesulitan berpikir membatasi kemampuan mereka untuk bekerja.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/middle-aged-man-sitting-in-the-kitchen-at-the-glass-royalty-free-image/1218624911">Fiordaliso/Moment via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penderita <em>long</em> COVID melaporkan gejala yang berkepanjangan dan <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-020-02598-6">sangat melemahkan</a>. Mereka memberi tahu peneliti bahwa kondisi tersebut <a href="https://doi.org/10.1101/2022.01.1.22269671">menyulitkan mereka menjalani hidup</a> saat pra-sakit. </p>
<p>Beberapa pasien membutuhkan <a href="https://doi.org/10.1186/s12913-020-06001-y">jalur tidur ekstra setelah berdiri</a> atau berjalan jarak pendek. Satu studi menunjukkan <a href="https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2021.30645">defisit kognitif</a>, atau “kabut otak (<em>brainfog</em>)”, pada pasien dengan <em>long</em> COVID. Mereka memiliki kemampuan mengingat yang buruk atau lambat dalam memproses informasi. Masalah-masalah ini, kata mereka kepada peneliti, membatasi kapasitas mereka untuk bekerja.</p>
<p>Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa <a href="https://www.tuc.org.uk/research-analysis/reports/workers-experiences-long-covid">28% pasien <em>long</em> COVID di Inggris tidak bekerja</a> karena alasan kondisinya. Studi lain menunjukkan bahwa <a href="https://doi.org/10.1016/j.eclinm.2021.101019">46% pasien mengurangi jam kerja mereka</a> karena mengalami gejala <em>long</em> COVID. </p>
<h2>Tidak terdefinisi dan tidak tentu</h2>
<p>Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan <a href="https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-Post_COVID-19_condition-Clinical_case_definition-2021.1">definisi <em>long</em> COVID</a>, komunitas medis AS belum mendefinisikannya, terutama bagian “<em>long</em>”. </p>
<p>Dalam sebuah penelitian yang belum ditinjau oleh rekan sejawat, para periset memperkirakan sekitar <a href="https://doi.org/10.1101/2021.11.15.21266377">43% penyintas COVID-19</a> dapat mengalami gejala <em>long</em> COVID-19, yang disebut-sebut berlangsung 28 hari atau lebih. Dalam penelitian lain, setengah dari penyintas COVID-19 melaporkan <a href="https://doi.org/10.1001/jamanetworkopen.2021.28568">gejalanya bertahan lebih dari enam bulan</a>.</p>
<p>Karena gejala <em>long</em> COVID melibatkan sistem yang berbeda dalam tubuh, dan tidak ada cara sederhana untuk mengujinya, <a href="https://www.gao.gov/products/gao-22-105666">diagnosis yang tepat bisa jadi sangat sulit</a>. Ini menambah tantangan lebih untuk memenuhi syarat untuk Social Security Supplemental Income. </p>
<p>The Center on Budget and Policy Priorities, sebuah lembaga penelitian dan kebijakan nonpartisan, sebelumnya mencatat Social Security Supplemental Income <a href="https://www.cbpp.org/ssa-needs-more-funding-to-support-essential-services">kekurangan pendanaan</a> sejak sebelum pandami. Lembaga ini tengah <a href="https://www.cbpp.org/blog/ssa-needs-large-funding-boosts-following-pandemic-years-of-underinvestment">meminta pembiayaan baru</a> untuk mengurusi jumlah penyandang disabilitas yang terus meningkat.</p>
<p>Sulit juga untuk memprediksi pasien COVID-19 mana yang akan terkena <em>long</em> COVID-19, atau memprediksi dampak jangka panjang bagi mereka yang mengalaminya. Kemungkinan penyakit parah yang lebih besar telah ditemukan berkorelasi dengan risiko yang lebih tinggi dari <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1003773"><em>long</em> COVID</a>. </p>
<p>Kerumitan ini bertambah karena <em>long</em> COVID juga dapat muncul dari <a href="https://doi.org/10.1016/j.cell.2022.01.014">kasus yang relatif ringan</a>. </p>
<h2>Tidak bisa diprediksi dan tidak pasti</h2>
<p>Gejala-gejala yang terlihat pada pasien dengan <em>long</em> COVID tampak sangat mirip dengan <a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2005.06.018">gejala penyakit lainnya yang sulit didiagnosis</a> dan kondisi disabel. Salah satu alasannya, berdasarkan riset terbaru, bisa jadi karena <a href="https://doi.org/10.1097/bor.0000000000000776">kesamaan molekuler dan fisiologis</a> antara <em>long</em> COVID dan penyakit seperti <a href="https://www.alodokter.com/multiple-sclerosis">sklerosis ganda</a>, <a href="https://www.alodokter.com/rheumatoid-arthritis">rheumatoid arthritis</a>, dan <a href="https://dx.doi.org/10.1007%2Fs10067-020-05376-x">lupus</a>.</p>
<p><em>Long</em> COVID tampaknya menambah antrean panjang suatu kondisi keluhan yang <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0054074">“tidak terlihat” atau kondisi episodik</a> sehingga tidak segera
didiagnosis sebagai cacat. Selain <em>Long COVID</em>, ada juga <a href="https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/fibromyalgia/symptoms-causes/syc-20354780">fibromyalgia</a>, <a href="https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/penyakit-lyme">penyakit Lyme</a> dan penyakit paru obstruktif kronis.</p>
<p>Orang dengan fibromyalgia, misalnya, sering mengalami <a href="https://www.cdc.gov/me-cfs/symptoms-diagnosis/symptoms.html">gejala serupa</a> COVID yang berkepanjangan, termasuk kelelahan atau kesulitan berpikir. Meski sejarahnya berasal dari abad ke-19, kriteria untuk mendiagnosis fibromyalgia baru ada sejak 1990. </p>
<p>Fibromyalgia tetap menjadi penyakit kontroversial dengan beberapa perawatan yang diterima. Hal ini mulai berubah ketika pasien <a href="https://doi.org/10.1525/sp.2002.49.3.279">berbagi pengalaman mereka</a> dengan kondisinya. </p>
<p>Namun demikian, orang dengan kondisi seperti ini bisa jadi akan berhadapan dengan dokter, pekerja sosial, dan orang lain yang menganggap <a href="https://doi.org/10.1177/1742395317718035">penyakitnya tidak nyata</a>. Mereka berisiko <a href="https://www.nytimes.com/2021/10/27/us/long-covid-disability-benefits.html">menghadapi hambatan</a> untuk memperoleh dukungan keuangan, perumahan dan perawatan kesehatan yang responsif. </p>
<h2>Ketidakpercayaan dan penolakan</h2>
<p>Meski <a href="https://www.ssa.gov/policy/docs/chartbooks/fast_facts/2021/fast_facts21.pdf">sekitar 8 juta</a> orang Amerika terdaftar sebagai penerima Social Security Supplemental Income, survei menunjukkan pengelola program tersebut <a href="https://www.disabilitysecrets.com/resources/survey-statistics-who-is-most-likely-to-get-approved-for-social-security-disability-%20manfaat.html">masih menyangkal</a> banyak pelamar. Ini terkait dengan kentalnya stereotip bahwa penyandang disabilitas adalah “<a href="https://doi.org/10.1111/lasr.12437">penipu sistem</a>.”</p>
<p>Sebuah studi pada Februari 2021 menunjukkan bahwa sikap negatif terhadap orang disabel yang signifikan justru umum terjadi <a href="https://doi.org/10.1377/hlthaff.2020.01452">di antara penyedia layanan kesehatan</a>. Ini juga mempengaruhi kemampuan pasien <em>long</em> COVID untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.</p>
<p>Berbicara tentang perawatan, penelitian tentang <em>long</em> COVID telah sebenarnya telah menghasilkan <a href="https://dx.doi.org/10.3390%2Fijerph18084350">pedoman pengobatan</a>. Pedoman ini diharapkan dapat membantu orang hidup lebih baik dengan kondisi tersebut. </p>
<p>Perkembangan lainnya yang cukup melegakan adalah, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan dan Divisi Hak Sipil Departemen Kehakiman <a href="https://www.hhs.gov/civil-rights/for-providers/civil-rights-covid19%20/guidance-long-covid-disability/index.html">baru-baru ini mengumumkan</a> bahwa <em>long</em> COVID dapat memenuhi syarat sebagai disabilitas berdasarkan Undang-Undang Penyandang Disabilitas AS.</p>
<p>Artinya, mereka yang menderita <em>long</em> COVID dapat memenuhi syarat untuk <a href="https://acl.gov/covid19/resources-people-experincing-long-covid">sumber daya bersama</a>. Mereka yang masih bekerja bisa mendapatkan <a href="https://www.eeoc.gov/wysk/what-you-should-know-about-covid-19-and-ada-rehabilitation-act-and-other-eeo-laws">perlakuan khusus dalam menjalani pekerjaan mereka</a>, misalnya waktu kerja yang lebih fleksibel dan kerja jarak jauh. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa mereka andalkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/179198/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Laura Mauldin received a Rapid Response to Covid-19 grant from the Social Science Research Council to support research on the pandemic's effects on spousal caregivers and their disabled partners.</span></em></p>Berbicara tentang perawatan, penelitian tentang long COVID telah menghasilkan pedoman pengobatan yang diusulkan, yang menjanjikan untuk membantu orang hidup lebih baik dengan kondisi tersebut.Laura Mauldin, Associate Professor of Women's Gender & Sexuality Studies and Human Development & Family Sciences, University of ConnecticutLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1785332022-03-04T07:22:53Z2022-03-04T07:22:53ZTahun ketiga pandemi COVID-19: mengapa sistem kesehatan kita perlu perubahan besar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/449994/original/file-20220304-8225-f2wqhm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Warga berjalan di dekat mural bertema pencegahan penyebaran COVID-19 di Jakarta, 2 Maret 2022. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1646223015">ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/2Jrx0z8zazwRnuIH7mz0PQ?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Pandemi COVID-19 di Indonesia pekan ini <a href="https://theconversation.com/pandemi-memasuki-tahun-ketiga-mengapa-layanan-telemedicine-harus-mulai-diperkuat-178162">memasuki tahun ketiga</a> dan belum ada tanda bahwa penyebaran pepenyakit global ini akan segera berakhir. Artinya kita tetap perlu menerapkan protokol kesehatan dan terus meningkatkan cakupan vaksinasi.</p>
<p>Dalam dua tahun terakhir, gelombang penularan lebih banyak dipicu varian delta setelah libur panjang <a href="https://theconversation.com/kasus-covid-19-dan-kematian-di-asia-tenggara-meningkat-tajam-apa-penyebabnya-162255">(libur Idul Fitri 2021)</a> dan kini varian omicron sejak pasca libur akhir tahun lalu. Apakah pola seperti ini berulang? Kita belum tahu jawabannya secara pasti karena pola tersebut baru berjalan dua tahun saat cakupan vaksinasi masih rendah. </p>
<p>Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan ada dua kasus positif COVID di negeri ini. Setelah dua tahun, <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">5,6 juta orang telah terinfeksi COVID</a> dan 149 ribu di antaranya meninggal. Di level dunia, lebih dari 430 juta orang telah terinfeksi dan 5,9 juta yang meninggal. Jumlah ini terus meningkat.</p>
<p>Di Indonesia, upaya pengendalian melalui vaksinasi menunjukkan angka menggembirakan, <a href="https://theconversation.com/apakah-vaksinasi-covid-19-di-indonesia-akan-molor-hingga-10-tahun-5-faktor-yang-pengaruhi-cepat-lambat-imunisasi-155127">walau pada tahap awal banyak yang skeptis</a>. Vaksinasi tahap pertama per hari ini telah <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">mencapai 91 persen (190 juta)</a> dari target 208 juta penduduk yang akan divaksin. Vaksin tahap kedua baru 69 persen (144 juta). Dosis ketiga masih di bawah 5 persen (sekitar 10 juta). Varian omicron telah membuat vaksinasi makin relevan karena vaksinasi mampu mengurangi level keparahan pasien yang terinfeksi.</p>
<p>Lalu, belajar dari kegagalan dan keberhasilan pengendalian pandemi, bagaimana strategi memperkuat sistem kesehatan kita agar tahan terhadap serangan pandemi pada masa depan?</p>
<p>Untuk menjawabnya, pada episode podcast SuarAkademai kali ini, kami berbicara dengan Teguh Haryo Sasongko, peneliti The Cochrane Collaboration dan Associate Professor, Royal College of Surgeons in Ireland (RCSI) School of Medicine, Perdana University Malaysia. Dia banyak <a href="https://theconversation.com/profiles/teguh-haryo-sasongko-1031062/articles">menulis artikel COVID-19 selama pandemi</a>. </p>
<p>Teguh menjelaskan dinamika kebijakan selama pandemi antara kesehatan dan ekonomi, implementasi sains dalam kebijakan, dan pentingnya Indonesia bisa segera memproduksi vaksin sendiri, dan desakan untuk memperkuat sistem kesehatan.</p>
<p>Simak lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178533/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Teguh menjelaskan dinamika kebijakan selama pandemi antara kesehatan dan ekonomi, implementasi sains dalam kebijakan, dan pentingnya Indonesia bisa segera memproduksi vaksin sendiri.Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The ConversationLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1781622022-03-02T10:18:34Z2022-03-02T10:18:34ZPandemi memasuki tahun ketiga: mengapa layanan ‘telemedicine’ harus mulai diperkuat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/449453/original/file-20220302-13-cxjbvp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, di Jakarta, 28 Februari 2022, menjadi tempat perawatan pasien terinfeksi virus corona selama pandemi. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1646034010"> ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 di Indonesia telah memasuki <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/02/11265921/breaking-news-jokowi-umumkan-dua-orang-di-indonesia-positif-corona?page=all">tahun ketiga dalam pekan ini</a>. Sulit untuk memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir karena virus terus bermutasi dan masih <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">ada puluhan jutaan orang yang belum divaksin</a>. </p>
<p>Varian <em>omicron</em> yang melanda saat ini <a href="https://theconversation.com/omicron-may-not-be-the-final-variant-but-it-may-be-the-final-variant-of-concern-174094">tidak akan menjadi varian terakhir</a> yang muncul. Namun berita baiknya adalah, beberapa ahli meyakini bahwa jika <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-022-00210-7">dilihat dari polanya</a>, mutasi virus ke depan diprediksi akan menjadi lebih lemah.</p>
<p>Berdasar hal tersebut, memasuki tahun ketiga kita berharap pemerintah untuk mulai fokus dalam menyiapkan berbagai kebijakan dan strategi dengan tujuan lebih jauh ke depan dari sekadar hanya mengendalikan pandemi. </p>
<p>Pemerintah harus mulai memperkuat sistem kesehatan memasuki periode <a href="https://theconversation.com/covid-will-soon-be-endemic-this-doesnt-mean-its-harmless-or-we-give-up-just-that-its-part-of-life-175622">epidemik dan atau endemik</a>, hingga menghadapi <a href="https://ec.europa.eu/research-and-innovation/en/horizon-magazine/qa-future-pandemics-are-inevitable-we-can-reduce-risk">pandemi selanjutnya</a> yang diprediksi bisa lebih berbahaya. </p>
<p>Salah satu paket kebijakan dan strategi yang penting untuk segera dipersiapkan pemerintah untuk memperkuat sistem pelayanan kesehatan kita adalah layanan <em>telemedicine</em>. </p>
<p>Sampai kini layanan medis <em>online</em> ini menghadapi beberapa hambatan. Misalnya adalah kurangnya dukungan legalitas layanan, belum adanya jaminan pembiayaan dari pemerintah, hingga kesiapan rumah sakit yang masih rendah.</p>
<h2>Apa itu telemedicine?</h2>
<p>Menurut <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/138613/permenkes-no-20-tahun-2019">Peraturan Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019</a>, <em>telemedicine</em> adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. </p>
<p>Layanannya meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat. </p>
<p><em>Telemedicine</em> dapat dibagi menjadi <a href="http://clsjournal.ascls.org/content/28/4/256">dua jenis</a>. Pertama, <em>store-and-forward telemedicine</em>, yakni proses dan pertukaran data dilakukan pada saat pengirim dan penerima tidak hadir pada waktu yang sama. Contohnya, pemeriksaan x-ray pasien yang dikirim ke profesional kesehatan melalui email atau aplikasi tertentu seperti <a href="https://temenin.kemkes.go.id/">TEMENIN</a> milik Kementerian Kesehatan. </p>
<p>Kedua, <em>real-time telemedicine</em>, layanan ini terjadi saat profesional kesehatan dan pasien berinteraksi dalam waktu yang sama dan bersifat interaktif. Contohnya layanan konsultasi kesehatan <em>online</em> melalui video.</p>
<h2>COVID-19 dan <em>telemedicine</em></h2>
<p>Pandemi COVID-19 telah membawa perubahan besar pada berbagai kehidupan manusia termasuk cara kita berinteraksi, bersosialisasi, bekerja termasuk dalam mengakses pelayanan kesehatan. </p>
<p>Selama pandemi, kunjungan ke pelayanan kesehatan menurun drastis. Alasannya, masyarakat takut tertular virus, demikian pula para tenaga kesehatan. Karena itu, <em>telemedicine</em> dapat menjadi alternatif bagi pasien untuk tetap dapat mengakses layanan kesehatan selama pandemi. </p>
<p>Ssayangnya, perkembangan layanan <em>telemedicine</em> di fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit tidak berkembang secepat implementasi <em>telemedicine</em> pada berbagai perusahaan <em>startup</em> kesehatan. </p>
<p>Padahal, studi yang dilakukan oleh <a href="https://inventureknowledge.id/wp-content/uploads/2021/01/Marketing-Outlook-2021-Inventure.pdf">Inventure-Alvara</a> pada 2020 menunjukkan bahwa konsumen berharap rumah sakit dapat menyediakan layanan <em>telemedicine</em> pada masa depan. Hal ini karena ekosistem yang sudah terbentuk, fasilitas, keahlian dokter dan layanan rumah sakit sudah teruji dan lebih memberikan nilai keamanan.</p>
<h2>Perlu dukungan legalitas layanan</h2>
<p>Saat ini regulasi pelayanan <em>telemedicine</em> di rumah sakit masih sangat terbatas. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 hanya mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan <em>telemedicine</em> antar fasilitas pelayanan kesehatan, belum mencakup layanan antara pasien dan rumah sakit (dokter). </p>
<p>Pelayanan <em>telemedicine</em> langsung antara pasien dan rumah sakit (dokter) saat ini hanya diizinkan selama masa kedaruratan kesehatan masyarakat atau bencana nasional COVID-19. Regulasi tersebut diatur dalam <a href="https://covid19.hukumonline.com/2020/04/29/surat-edaran-menteri-kesehatan-nomor-hk-02-01-menkes-303-2020-tahun-2020/">surat edaran Menteri Kesehatan</a> dan <a href="http://www.kki.go.id/index.php/sideMenu/perundangan/2/72">Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia</a> yang memberikan kewenangan klinis dan praktik kedokteran melalui <em>telemedicine</em> pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia bagi dokter dan dokter gigi. </p>
<p>Masalahnya, ketika masa kedaruratan pandemi dinyatakan berakhir, akan ada celah kekosongan regulasi layanan <em>telemedicine</em> untuk rumah sakit, profesional kesehatan, serta pasien. </p>
<p>Oleh karena itu, pemerintah harus mulai mempersiapkan dukungan dalam bentuk legalitas kebijakan mulai saat ini.</p>
<h2>JKN-KIS perlu ikut ambil bagian</h2>
<p>Regulasi yang belum jelas – khususnya layanan konsultasi langsung antara pasien dan dokter di rumah sakit – membuat layanan <em>telemedicine</em> hingga saat ini belum masuk tanggungan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). </p>
<p>Kementerian Kesehatan mengharapkan ke depannya layanan <em>telemedicine</em> <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210525172302-92-646848/kemenkes-ingin-telemedicine-ditanggung-bpjs-kesehatan">dapat ditanggung</a> oleh JKN-KIS. Namun, sampai saat ini aturan tersebut masih belum terbit. </p>
<p>Padahal, jika layanan <em>telemedicine</em> dapat ditanggung oleh JKN-KIS, maka hal tersebut akan menjadi faktor pengungkit yang sangat besar bagi pertumbuhan layanan <em>telemedicine</em> di Indonesia. Baik dari sisi penyedia seperti rumah sakit maupun dari sisi pasien selaku pengguna.</p>
<p>Selama masa pandemi, BPJS Kesehatan sebenarnya telah berinovasi dengan aplikasi <a href="https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/15fdb375dd026d982c9b8705e26352a2.pdf">mobile JKN</a>. Melalui aplikasi ini, pelayanan telekonsultasi dapat dilakukan oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) atau puskesmas dengan peserta JKN-KIS. Pembiayaan layanan ini termasuk dalam komponen kapitasi. </p>
<p>Namun penggunaannya masih sangat terbatas dan hanya di layanan FKTP. Upaya pengembangan <em>telemedicine</em> di layanan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) seperti rumah sakit perlu dilakukan. </p>
<p>Saat ini, terkait layanan isolasi mandiri pasien COVID-19, sepertinya pemerintah “<a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/01/28/083000565/cara-dapatkan-layanan-telekonsultasi-dan-paket-obat-gratis-untuk-pasien?page=all">lebih senang</a>” mengembangkan layanan <em>telemedicine</em> dengan beberapa perusahaan <em>startup</em> kesehatan dibanding membantu puskesmas dan rumah sakit untuk mengembangkan layanan <em>telemedicine</em>-nya.</p>
<h2>Kesiapan rumah sakit</h2>
<p>Menurut <a href="https://inventureknowledge.id/wp-content/uploads/2021/01/Marketing-Outlook-2021-Inventure.pdf">survei pemasaran tahun lalu dari Inventure Knowledege</a>, pandemi telah menghasilkan lanskap industri baru yang ditandai dengan empat karakeristik: <em>Hygiene, Low-Touch, Less-Crowd</em>, dan <em>Low-Mobility</em>. </p>
<p>Industri yang sukses pada era pandemi adalah industri yang bisa beradaptasi dengan empat karakteristik tersebut. Itu sebabnya sektor industri digital, misalnya, lebih berkelanjutan pada era pandemi karena bersifat <em>low-touch</em>. </p>
<p>Sementara, industri yang bersifat <em>high-touch</em> dan <em>high-crowd</em> seperti pariwisata dan kesehatan (rumah sakit) mau tak mau harus bertransformasi dan mengadopsi model bisnis yang <em>low-touch</em> dan <em>less-crowd</em> untuk bisa sukses melewati badai krisis pandemi. Pengembangan layanan <em>telemedicine</em> dapat menjadi solusinya. </p>
<p>Masalahnya, kesiapan rumah sakit untuk menerapkan layanan <em>telemedicine</em> masih sangat rendah. Hingga tahun 2020 masih terdapat <a href="https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/07/materi_drandi_web160720.pdf">15%</a> rumah sakit yang belum memiliki dukungan teknologi informasi seperti sistem informasi rumah sakit.</p>
<p>Layanan <em>teleconsultation</em> sebagai bagian dari <em>telemedicine</em> juga saat ini baru dikembangkan oleh <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S240584402102702X#bib43">20%</a> rumah sakit di Indonesia, di antaranya RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan aplikasi <a href="https://siapdok.id/">SiapDok</a>, Siloam Hospital Group dengan aplikasi <a href="https://www.siloamhospitals.com/teleconsultation-step">AIDO</a>, dan RS YARSI dengan aplikasi <a href="https://rsyarsi.co.id/layanan-maudok-telemedicine-berbasis-aplikasi/">MAUDOK</a>.</p>
<p>Pandemi COVID-19 saat ini harusnya dapat menjadi peringatan yang membangunkan industri layanan kesehatan di Indonesia agar lebih responsif terhadap serangan mutasi virus dan pandemi berikutnya yang mungkin terjadi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178162/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irwandy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pandemi COVID-19 telah membawa perubahan besar pada berbagai kehidupan manusia termasuk cara kita berinteraksi, bersosialisasi, bekerja termasuk dalam mengakses pelayanan kesehatan.Irwandy, Associate professor, Universitas HasanuddinLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1643992022-02-24T04:39:03Z2022-02-24T04:39:03ZKasus COVID masih tinggi: bagaimana pandemi menggeser “hospital” ke “home-spital”<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/448027/original/file-20220223-23-1hptkv3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tenda darurat didirikan untuk pasien COVID-19 di Rumah Sakit Undata, Palu, Sulawesi Tengah, 23 Februari 2022 karena ruang yang tersedia tidak mencukupi akibat lonjakan kasus.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1645604124">ANTARA FOTO/Basri Marzuki/hp</a></span></figcaption></figure><p>Lonjakan drastis kasus COVID-19 akibat varian Omicron dalam <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">sebulan terakhir</a> di Indonesia, sempat mencapai hampir 65 ribu kasus pada 16 Februari 2022, menyebabkan angka keterisian rumah sakit (<em>bed occupancy rate</em>) kembali meningkat. </p>
<p>Di Jakarta, keterisian rumah sakit sempat mencapai <a href="https://www.antaranews.com/berita/2706061/bor-di-140-rumah-sakit-rujukan-di-jakarta-naik-menjadi-61-persen">61%</a>, sedangkan di level nasional telah menyentuh angka <a href="https://www.suara.com/health/2022/02/22/223214/kemenkes-angka-keterisian-rumah-sakit-tembus-38-persen">38%</a>. Kini kenaikan kasus merambat di sejumlah kota <a href="https://nasional.tempo.co/read/1563197/menkes-sebut-lonjakan-kasus-covid-19-bergeser-ke-luar-jawa-bali">di luar Jakarta</a>. </p>
<p>Ini suatu kondisi yang dapat dikatakan bahwa “Indonesia sedang tidak baik-baik saja”. Tingginya <em>bed occupancy rate (BOR)</em> di seluruh fasilitas kesehatan mau tidak mau membuat tenaga kesehatan harus memutar otak dan memilah pasien mana yang perlu diprioritaskan untuk mendapat perawatan secara langsung.</p>
<p>Selama lonjakan kasus, rumah sakit (<em>hospital</em>) tidak lagi menjadi satu-satunya tempat untuk merawat pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Rumah-rumah masyarakat juga difungsikan layaknya rumah sakit (<em>home-spital</em>).</p>
<p>Beberapa <a href="https://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/4896">riset</a> di <a href="https://www.jmir.org/2020/11/e20839/">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32568727/">Cina</a> menyimpulkan berobat dari rumah dengan fasilitas <em><a href="https://theconversation.com/tiga-cara-tingkatkan-layanan-kesehatan-via-online-di-indonesia-yang-makin-populer-saat-pandemi-140713">telemedicine</a></em> dapat membantu tenaga medis mengidentifikasi perjalanan penyakit pasien serta menentukan waktu pengobatan yang tepat.</p>
<p>Bagaimana masa depan rumah sakit konvensional?</p>
<h2>“Home-spital” sebagai alternatif</h2>
<p><a href="https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-clinical-2021-1">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> dan <a href="http://farmalkes.kemkes.go.id/unduh/kepmenkes-hk-01-07-menkes-413-2020-pedoman-pencegahan-dan-pengendalian-coronavirus-disease-2019-covid-19/">Kementerian Kesehatan Indonesia</a> telah mengeluarkan <a href="https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-therapeutics-2021.2">klasifikasi</a> pasien COVID-19 berdasarkan berat-ringannya gejala. Mereka merekomendasikan orang tanpa gejala atau yang bergejala ringan melakukan isolasi mandiri di rumah.</p>
<p>Salah satu tujuan terbitnya rekomendasi ini adalah agar fasilitas kesehatan tidak kolaps saat kasus COVID meledak. Berbagai dampak pun muncul akibat diterapkannya kebijakan ini. </p>
<p>Sejak awal pandemi, dan secara khusus saat menghadapi gelombang kedua (Juni-Juli tahun lalu) dan gelombang ketiga saat ini, pemerintah mengimbau masyarakat yang positif COVID-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan agar mengakses bantuan medis dari rumah saja melalui <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/berita-utama/20210705/1338034/kemenkes-fasilitasi-konsultasi-obat-gratis-bagi-pasien-covid-19-di-jakarta-via-fasilitas-telemedicine/">layanan <em>telemedicine</em></a>.</p>
<p>Perlahan tapi pasti, rumah pribadi menjelma sebagai perpanjangan tangan rumah sakit dalam menangani pasien. Beberapa tahun lalu mungkin masih asing bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan di rumah. Namun, saat ini pandangan tersebut telah berubah 180 derajat karena ditunjang dengan pesatnya perkembangan teknologi.</p>
<p>Rangkaian prosedur pengobatan yang dimulai dari pendaftaran, tanya-jawab keluhan, penegakkan diagnosis, hingga pemberian obat maupun vaksin saat ini bisa dilakukan tanpa beranjak <a href="https://covid19.go.id/storage/app/media/Protokol/2020/November/panduan-teknis-pelayanan-rumah-sakit-pada-masa-adaptasi-kebiasaan-baru-19-11-2020.pdf">ke luar rumah</a>. </p>
<p>Beberapa data dasar seperti berat dan tinggi badan, tekanan darah, suhu tubuh, hingga saturasi oksigen dalam darah bahkan dapat diperiksa dan dilaporkan pasien secara mandiri. Kalaupun diperlukan kehadiran sosok profesional, tenaga kesehatan bisa “jemput bola” dengan mengunjungi rumah pasien untuk melakukan beberapa tindakan seperti merawat luka, mengambil sampel darah, memasang infus, serta menyuntikkan obat atau vaksin.</p>
<h2>Pemerintah bekerja sama dengan swasta</h2>
<p>Guna memperlancar kebijakan berobat dari rumah, awal Juli 2021 <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/berita-utama/20210705/1338034/kemenkes-fasilitasi-konsultasi-obat-gratis-bagi-pasien-covid-19-di-jakarta-via-fasilitas-telemedicine/">Kementerian Kesehatan menjalin kerja sama</a> dengan sebelas platform bidang <em>telemedicine</em> untuk melayani pasien isolasi mandiri.</p>
<p>Kerja sama ini juga didukung oleh PT Kimia Farma yang menyediakan beberapa jenis obat gratis dan dapat diantar ke rumah pasien masing-masing. Fleksibilitas menjadi keunggulan utama yang tidak dapat dielakkan sehingga model “home-spital” menjadi semakin banyak dianut oleh masyarakat luas.</p>
<p>Masifnya pola baru berobat dari rumah sejatinya <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/malaysia-orders-covid-19-patients-with-mild-or-no-symptoms-to-be-treated-at-home">tidak hanya terjadi di Indonesia</a>. Negara tetangga seperti <a href="http://covid-19.moh.gov.my/garis-panduan/garis-panduan-kkm/Annex_2m_Guidelines_on_Home_Monitoring_and_Clinical_Protocol_at_Primary_Care_for_Category_1_and_2_Mild_Confirmed_COVID-19_Cases.pdf">Malaysia</a> dan <a href="https://www.bangkokpost.com/thailand/general/2140587/home-isolation-via-tech-meets-standards">Thailand</a>, juga memberlakukan sistem berobat dari rumah bagi pasien COVID-19 yang terkonfirmasi positif tanpa gejala atau bergejala ringan, serta penderita penyakit lain yang kondisinya ringan.</p>
<p>Namun, sangat disayangkan saat gelombang kedua pada pertengahan 2021 lalu banyak penderita COVID-19 bergejala sedang hingga berat yang dirawat di “home-spital”, bukan “hospital”. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57711018">Pasalnya, BOR rumah sakit yang tinggi</a> membuat banyak pasien kritis tertahan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau tenda perawatan darurat karena tidak dapat masuk ke ruang perawatan lebih lanjut.</p>
<p>Tidak sedikit pula yang akhirnya meninggal di rumah.</p>
<h2>“Bom waktu” inkonsistensi kebijakan</h2>
<p>Selama pandemi, tercatat pemerintah telah memberlakukan berbagai cara untuk menekan mobilitas penduduk dan menurunkan rantai penyebaran virus SARS-CoV-2. Hal ini dimulai dari <a href="https://nasional.tempo.co/read/1478808/gonta-ganti-istilah-dari-psbb-ppkm-mikro-ppkm-darurat-apa-bedanya/full&view=ok">pembatasan sosial berskala besar (PSBB)</a>, dua belas periode pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro, PPKM darurat, hingga PPKM berbasis level.</p>
<p>Namun, pergantian istilah hingga perpanjangan berulang-ulang justru memberi kesan bahwa pemerintah bertindak inkonsisten serta kurang sensitif terhadap urgensi situasi COVID-19 di Indonesia.</p>
<p>Banyak ahli <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/02/10/10202041/ppkm-tak-efektif-epidemiolog-pengetatan-tapi-bohongan">menilai</a> bahwa deretan strategi tersebut kurang efektif, karena pada kenyataannya <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/07/01/15234651/epidemiolog-nilai-kebijakan-wfh-di-ppkm-darurat-tidak-efektif">mobilitas masyarakat masih tinggi</a>.</p>
<p>Bahkan, masyarakat bisa jadi akan bingung terkait gonta-ganti istilah tersebut sehingga menjadi kurang patuh terhadap protokol kesehatan. Kondisi yang akhir-akhir ini kita lihat di lapangan pada akhirnya merupakan cerminan dari kebijakan yang tidak konsisten. Penuhnya rumah sakit serta kelangkaan obat tidak dapat dihindarkan lagi. Bukan tidak mungkin kondisi saat gelombang kedua dapat kembali terulang dalam waktu dekat. </p>
<p>Meski sebagian kasus telah dibantu oleh <em>telemedicine</em> sehingga bisa dirawat di rumah, pasien dengan gejala sedang dan berat tetaplah membutuhkan perawatan langsung di rumah sakit.</p>
<h2>Masa depan rumah sakit</h2>
<p>Sudah lebih dari dua tahun dunia dilanda pandemi COVID-19. Lebih dari <a href="https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019?adgroupsurvey=%7Badgroupsurvey%7D&gclid=CjwKCAjwoZWHBhBgEiwAiMN66dCqx6LMbiehog5SowuHpFg1Xf1JmNJvZkkDOlBMY1vBUCurLk8nrxoCvG8QAvD_BwE">empat ratus juta orang</a> telah terdiagnosis positif dan hampir enam juta jiwa meninggal akibat infeksi virus SARS-CoV-2 ini.</p>
<p>Beberapa minggu terakhir, Indonesia sedang mengalami gelombang ketiga pagebluk dengan mencatatkan jumlah kasus terkonfirmasi yang <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">meningkat tajam</a>.</p>
<p>Terlepas dari kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat, pandemi memang telah mengakselerasi pergeseran lokasi pelayanan kesehatan. Apakah konsep “kehadiran” rumah sakit di rumah ini akan terus berlanjut pada masa depan? </p>
<p>Berkaca dari efisiensi dan fleksibilitas yang ditawarkan, bukan tidak mungkin setelah pandemi pun konsep “home-spital” akan terus menjadi tren di masyarakat, meski hanya terbatas untuk kasus-kasus ringan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/164399/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>William William tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berkaca dari efisiensi dan fleksibilitas yang ditawarkan, bukan tidak mungkin setelah pandemi pun konsep “home-spital” akan terus menjadi tren di masyarakat, meski hanya untuk kasus-kasus ringan.William William, Staff Pengajar Departemen Biologi Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744032022-02-22T03:21:01Z2022-02-22T03:21:01ZMempersoalkan sekuritisasi yang berlebihan dalam pengendalian pandemi COVID-19 di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/447495/original/file-20220221-17-14vgh4r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Polisi dan tentara mensosialisasikan vaksinasi COVID-19 pada pelajar di SD Negeri Krincing, Secang, Magelang, Jawa Tengah, 4 Januari 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1641285321">ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.</a></span></figcaption></figure><p>Meski Indonesia tengah menghadapi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220201162952-20-753758/indonesia-resmi-masuk-gelombang-ketiga-covid-19">gelombang ketiga COVID-19</a> akibat varian Omicron, kebijakan penanganan pandemi belum berubah dalam dua tahun terakhir. Salah satu kebijakan yang kontroversial adalah pelibatan lembaga dan aparat militer, kepolisian, dan Badan Intelijen Negara (BIN) dalam pengendalian pandemi.</p>
<p>Riset <a href="https://laporcovid19.org/post/understanding-the-covid-19-pandemic-response-in-indonesia-through-its-domestic-policies">kami menunjukkan</a> hingga kini, sedikitnya ada 16 peraturan darurat yang diterbitkan oleh presiden, menteri, dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yang menugaskan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian, dan BIN pada posisi pengambil kebijakan tingkat tinggi terkait pengendalian COVID-19. Perwakilan TNI Angkatan Darat dan Kepolisian juga menjadi Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19. </p>
<p>Sementara, Kementerian Kesehatan yang juga bagian dari Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) hanya berperan sebagai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151066/perpres-no-108-tahun-2020">“pendukung bagi tim pelaksana”</a>.</p>
<p>Pelibatan institusi keamanan yang berlebihan berisiko melemahkan pendekatan kesehatan masyarakat dan sains yang seharusnya menjadi landasan dasar dalam penanganan krisis kesehatan.</p>
<h2>Tiga alasan sekuritisasi pandemi berbahaya</h2>
<p><a href="https://asiacentre.org/the-securitisation-of-covid-19-health-protocols-policing-the-vulnerable-infringing-their-rights/">Sekuritisasi pandemi</a> merupakan pendekatan pengendalian pandemi yang menitikberatkan pada peran lembaga keamanan seperti kepolisian, militer, dan badan intelijen. </p>
<p>Lembaga keamanan sebenarnya lumrah diturunkan di lapangan untuk mendukung operasional dan memobilisasi penanganan pandemi. Sekuritisasi biasanya dianggap berlebihan jika elit lembaga keamanan sudah berperan dalam pengambilan keputusan terkait krisis kesehatan masyarakat. </p>
<p>Implikasinya, krisis kesehatan diperlakukan sebagai ancaman keamanan yang kemudian diselesaikan dengan tindakan represif. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/447496/original/file-20220221-13-1a2ajxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Polisi memeriksa kartu vaksinasi COVID-19 pengendara sepeda motor yang melintas di jalan poros Desa Baliase, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 15 Januari 2022. Petugas memberikan vaksinasi di tempat tersebut jika ada warga yang ditemukan belum divaksin atau vaksinasinya belum lengkap.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1642231510">ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nym</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Setidaknya ada tiga alasan mengapa sekuritisasi pandemi yang berlebihan bisa melemahkan penanganan pandemi di Indonesia. </p>
<p><em>Pertama</em>, pelibatan aparat TNI dan Polri dalam Satuan Gugus Tugas COVID-19 melemahkan peran otoritas kesehatan. Dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134544/keppres-no-7-tahun-2020">Keputusan Presiden No. 7 Tahun 2020</a>, perwakilan dari kedua lembaga tersebut menjadi Wakil Ketua Pelaksana I dan II, termasuk ketua pelaksana yang saat itu masih menjadi anggota militer aktif. Struktur tersebut kemudian diubah melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134757/keppres-no-9-tahun-2020">Keputusan Presiden No. 9/2020</a> yang juga “sama-sama” didominasi oleh perwakilan lembaga keamanan. Dari enam unsur pimpinan pelaksana Satgas COVID-19, empat di antaranya merupakan anggota lembaga keamanan aktif. </p>
<p>Artinya, posisi itu tidak hanya sebatas untuk koordinasi, tapi juga perancangan dan penetapan kebijakan terkait penanganan pandemi. Hal ini berpotensi melemahkan peran otoritas kesehatan yang seharusnya menjadi pemegang kendali. </p>
<p>Meski penanganan COVID-19 sudah dialihkan kepada Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), pendekatan sekuritisasi masih kerap diandalkan dalam penanganan pandemi secara keseluruhan.</p>
<p>Saat posisi perwakilan TNI dan Polri begitu kuat di Tim Pelaksana Gugus Tugas COVID-19, Kementerian Kesehatan hanya berperan sebagai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/151066/perpres-no-108-tahun-2020">pendukung tim pelaksana</a>. Padahal, <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/84uu004.pdf">Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular</a> mengamanatkan bahwa pemegang kendali pada setiap kejadian luar biasa penyakit menular, termasuk pandemi COVID-19 adalah Menteri Kesehatan.</p>
<p><em>Kedua</em>, pendekatan sekuritisasi yang berlebihan menghasilkan berbagai kebijakan kesehatan yang tidak efektif dalam penanganan COVID-19. </p>
<p>Umumnya, negara menempatkan otoritas kesehatan sebagai pemimpin sektor dalam merespons krisis kesehatan. Aparat keamanan dapat berperan sesuai kompetensinya untuk mendukung penanggulangan krisis. </p>
<p>Sedangkan di Indonesia, pemerintah justru memberikan ruang yang berlebihan pada aparat di sektor keamanan. </p>
<p>Pemberian ruang yang berlebihan tidak menjadikan pandemi cepat terselesaikan. Bahkan, beberapa di antaranya cenderung gagal atau tidak cukup efektif dalam penanganan pandemi.</p>
<p>Misalnya, <a href="https://fpk.unair.ac.id/unair-temukan-kombinasi-obat-covid-19-pertama-di-dunia/">inisiasi Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI AD untuk mengembangkan obat COVID</a> bersama <a href="https://theconversation.com/7-persoalan-serius-dalam-uji-klinik-calon-obat-covid-19-dari-riset-unair-bin-dan-tni-ad-145064">Universitas Airlangga</a>. Padahal, kedua lembaga keamanan tersebut tak bergerak di sektor farmasi dan kedokteran klinis. BIN juga diberi kewenangan dalam pengadaan dan penyediaan testing dengan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1390648/hasil-tes-swab-dari-badan-intelijen-negara-diduga-tidak-akurat/full&view=ok">Mobile Lab PCR yang diduga tidak cukup akurat</a>.</p>
<p>Upaya pemeriksaan dan penelusuran kontak erat yang melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) juga bermasalah, karena mekanisme akuntabilitasnya kerap tidak jelas. Mereka juga tidak memiliki keahlian dalam tugas penelusuran kontak erat seperti tenaga kesehatan, sehingga <a href="https://kec-banyuurip.purworejokab.go.id/babinsa-dan-bhabinkamtibmas-banyuurip-menerima-pelatihan-tracer-covid19">perlu dilatih terlebih</a> dulu oleh tenaga kesehatan yang ahli dalam surveilans. </p>
<p>Di samping itu, beberapa anggota TNI dan Polri yang terlibat pengendalian COVID juga melakukan kekerasan. Mereka kerap <a href="https://tirto.id/jangan-asal-melibatkan-tni-polri-untuk-tracing-kasus-covid-19-f9Zm">menjemput paksa pedagang</a> untuk diperiksa, tanpa mempertimbangkan situasi keramaian di pasar.</p>
<p>Pendekatan sekuritisasi lainnya juga dapat dilihat dari penyelenggaraan percepatan vaksinasi massal oleh TNI dan Polri. Presiden Joko Widodo sendiri yang <a href="https://ekon.go.id/publikasi/detail/3317/pemerintah-dorong-vaksinasi-dan-digitalisasi-bagi-pedagang-pasar">menginstruksikan agar TNI dan Polri</a> mendistribusikan vaksin masing-masing 25% sehingga total keduanya 50% dari total alokasi vaksin. Separuh alokasi lainnya didistribusikan melalui Dinas Kesehatan. </p>
<p>Alih-alih ikut mempercepat vaksinasi, kebijakan ini justru menimbulkan persoalan lain terutama dalam proses distribusi vaksin ke daerah.</p>
<p>Misalnya, pada Juli 2021, stok vaksin di Kota Semarang menipis. Sejumlah layanan vaksinasi yang sebelumnya dibuka terpaksa ditutup. Sementara alokasi vaksin dari pemerintah pusat di daerah tersebut hanya sekitar 500.000 dosis per pekan, <a href="https://www.solopos.com/stok-vaksin-menipis-pemkot-semarang-kurangi-pelayanan-vaksinasi-covid-19-1142041#">60-65% di antaranya merupakan jatah TNI-Polri</a>. </p>
<p>Begitu juga dengan stok vaksin di Kota Sukabumi yang sempat habis, sehingga <a href="https://radarsukabumi.com/kota-sukabumi/pemerintah-kota-sukabumi/stok-vaksin-habis-pemkot-sukabumi-kolaborasi-dengan-tni-polri/">perlu mendapat pasokan vaksin dari TNI dan Polri</a>. </p>
<p>Habisnya stok vaksin di sejumlah fasilitas kesehatan yang dekat dengan warga justru mempersulit akses masyarakat terhadap vaksin, apalagi jika <a href="https://nasional.tempo.co/read/1476021/polri-tni-gelar-vaksinasi-covid-19-massal-di-2-100-titik-di-indonesia">vaksin TNI-Polri hanya</a> tersedia di titik-titik tertentu. </p>
<p><em>Ketiga</em>, pelibatan aparat keamanan identik dengan tindakan represif dan menyesakkan ruang sipil. Mereka mempraktikan hukuman fisik dan mengkerdilkan ruang kebebasan sipil.</p>
<p>Praktik pengerahan kekuatan militer dalam penanganan pandemi dilakukan hampir seluruh negara. Namun, pengerahan ini semata-mata untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. </p>
<p><a href="https://www.ohchr.org/Documents/Events/EmergencyMeasures_Covid19.pdf">Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia</a> mensyaratkan, jika negara mengerahkan militer dalam konteks penegakan hukum, maka perlu adanya batasan waktu yang jelas dan terukur. Selain itu, pengerahan militer tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dan tetap berada di bawah tanggung jawab otoritas sipil. </p>
<p>Dalam penegakan protokol kesehatan misalnya, pemerintah kerap mengandalkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/05/26/09381311/jokowi-kerahkan-personel-tni-polri-agar-masyarakat-disiplin-selama-psbb">personel keamanan</a> untuk “mendisiplinkan” masyarakat. Sayangnya, proses pendisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan di lapangan justru diwarnai aksi tindakan represif hingga pemberian hukuman fisik. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://tirto.id/jangan-asal-melibatkan-tni-polri-untuk-tracing-kasus-covid-19-f9Zm">pembubaran massa menggunakan <em>water cannon</em> di Papua pada Mei 2020</a> saat pemeriksaan <a href="https://jubi.co.id/korban-water-cannon-papua-dikebumikan-di-tanah-hitam/"><em>rapid test</em> COVID</a>.</p>
<p>Selain itu, warga yang melanggar protokol kesehatan juga dihukum psikis dengan memaksa mereka untuk <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/09/05/18050231/sanksi-masuk-ke-peti-mati-bagi-pelanggar-protokol-kesehatan-dinilai">tidur di dalam peti mati</a> untuk merasakan ‘seramnya’ meninggal akibat COVID-19. </p>
<p>Catatan kami menunjukkan, penerapan hukuman fisik tidak menjadikan masyarakat taat dengan ketentuan protokol kesehatan. <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/pelibatan-militer-dinilai-tak-jamin-penanganan-covid-19-lebih-efektif">LaporCovid-19 mencatat setidaknya 1.096 pelanggaran</a> protokol kesehatan selama periode Juli 2020-April 2021. Sementara, masyarakat masih kurang memahami seberapa rentan mereka terinfeksi COVID-19, seberapa parah penyakit ini, apa manfaat pencegahan, dan kurangnya petunjuk untuk bertindak. </p>
<p>Hukuman fisik hanya menjadikan masyarakat khawatir terhadap petugas, bukan kepada virus.</p>
<h2>Akhiri sekuritisasi berlebihan</h2>
<p>Pendekatan sekuritisasi yang berlebihan bukan kebijakan yang efektif, malah menghambat penanganan pandemi secara keseluruhan. Selain karena aparat keamanan tidak memiliki keahlian dalam kesehatan masyarakat, mereka juga kerap mengandalkan tindakan yang cenderung represif. </p>
<p>Otoritas kesehatan semestinya memegang kendali penuh terhadap penanganan krisis kesehatan, sementara aparat keamanan dapat dipergunakan sesuai dengan kapasitasnya.</p>
<p>Kondisi ini memungkinkan agar setiap kebijakan yang diambil berlandaskan pada keilmuan dan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat.</p>
<hr>
<p><em>Amanda Tan, Mahasiswa Pascasarjana Monash University di Indonesia dan Program Officer LaporCovid-19; dan Firdaus Ferdiansyah, Mahasiswa Diploma 4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Koordinator Advokasi LaporCovid-19 berkontribusi dalam riset dan penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174403/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irma Hidayana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Otoritas kesehatan semestinya memegang kendali penuh terhadap penanganan krisis kesehatan, sementara aparat keamanan dapat dipergunakan sesuai dengan kapasitasnya.Irma Hidayana, Lecturer in Public Health, St. Lawrence UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1763752022-02-04T03:39:17Z2022-02-04T03:39:17ZMakin merasa tidak nyaman di wilayah berisiko infeksi COVID, makin tinggi jaga jarak dan hindari transportasi publik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/444249/original/file-20220203-21-1yhlglq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Polisi merazia masker di kawasan Cilandak, Jakarta, 3 Februari 2022. Secara individual, pakai masker atau tidak di pengarui oleh perasaan rentan terinfeksi dan keengganan terinfeksi COVID-19.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1643869213">ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc</a></span></figcaption></figure><p>Banyak studi yang membahas dampak COVID-19 terhadap <a href="https://www.who.int/news/item/05-10-2020-covid-19-disrupting-mental-health-services-in-most-countries-who-survey#:%7E:text=Bereavement%2C%20isolation%2C%20loss,outcomes%20and%20even%20death">kondisi psikologis masyarakat</a>. Namun, tidak banyak yang membahas sebaliknya, setidaknya di Indonesia. </p>
<p>Riset kami menelisik dampak <a href="https://cisdi.org/id/open-knowledge-repository/journal-article/the-role-of-behavioural-immune-system-and-belief-in-covid-19-misinformation-on-covid-19-protective-behaviours-in-indonesia/">mekanisme psikologis dan misinformasi</a> terhadap perilaku pencegahan COVID-19. Perilaku tersebut tergambarkan melalui pembelian alat pencegahan COVID-19 (misalnya masker dan <em>hand sanitizer</em>), penggunaan transportasi publik dan daring, serta perilaku menjaga jarak. </p>
<p>Temuan kami menunjukkan, semakin tinggi seseorang merasa ‘jijik’ atau tidak nyaman berada dalam wilayah berisiko tinggi infeksi COVID-19, semakin tinggi kecenderungannya menjaga jarak dan menghindari penggunaan transportasi publik. Namun, penelitian kami menunjukkan tidak ada relasi antara perasaan rentan terinfeksi dan kepatuhan menjaga jarak.</p>
<p>Dalam konteks masyarakat, ini menerangkan warga Jakarta dan sekitarnya – sebagai tempat pengumpulan data – menganggap diri mereka tidak mudah terinfeksi COVID-19. Tapi, mereka terdorong melakukan pencegahan COVID-19 karena merasa tidak nyaman berada di wilayah dengan risiko infeksi tinggi. </p>
<h2>Mekanisme psikologis: sistem imun perilaku</h2>
<p>Mekanisme psikologis sebagai determinan perilaku pencegahan COVID-19 digambarkan dalam <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2020.566237/full#:%7E:text=Behavioral%20immune%20system%20(BIS)%20describes,and%20facilitate%20behavioral%20avoidance%2Fescape."><em>behavioural immune system</em> (BIS)</a> atau sistem imun perilaku. Ini merupakan mekanisme psikologis yang mempengaruhi perilaku individu menghindari kontak dengan pembawa virus. </p>
<p>Studi kami juga berupaya memahami kaitan misinformasi dengan perilaku pencegahan COVID-19. Studi dengan survei daring ini melibatkan 1.306 partisipan di Jakarta dan sekitarnya pada 3-26 Agustus 2020.</p>
<p>Terdapat dua komponen BIS yang mempengaruhi perilaku pencegahan COVID-19. <em>Pertama</em>, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886921003202"><em>perceived infectability</em> (PI)</a> atau perasaan rentan terinfeksi, yakni keyakinan diri sendiri rentan terinfeksi virus karena berbagai faktor. </p>
<p>Kedua, <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32834281/"><em>germ aversion</em> (GA)</a> atau keengganan terinfeksi, yaitu perasaan tidak nyaman ketika seseorang berada di wilayah dengan risiko infeksi tinggi, seperti transportasi umum atau wilayah publik lainnya. </p>
<p>Dalam studi serupa oleh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/02699931.2021.1941783?journalCode=pcem20">Rodrigo Díaz dan Florian Cova dari Swiss (2020)</a>, <em>pathogen disgust</em> (patogen jijik), salah satu variabel psikologis seperti GA, memiliki pengaruh besar terhadap kepatuhan protokol kesehatan. Riset kami menemukan kesimpulan serupa.</p>
<h2>Misinformasi dan perilaku pencegahan</h2>
<p>Kami juga menelusuri kaitan antara misinformasi dengan perilaku pencegahan COVID-19. Kami menggolongkan hoaks, teori konspirasi, hingga penipuan (<em>scam</em>) sebagai misinformasi karena mengaburkan bukti ilmiah terbaru tentang COVID-19. </p>
<p>Kami juga menggolongkan misinformasi dalam tiga tema besar, yaitu pengobatan dan pencegahan COVID-19 yang bersifat non-psikologis, pengobatan dan pencegahan COVID-19 berdasarkan efek psikologis, dan misinformasi dalam bentuk teori konspirasi. </p>
<p>Contoh misinformasi terkait pengobatan dan pencegahan non-psikologis misalnya: konsumsi jahe yang disebut bisa menyembuhkan dan mencegah infeksi COVID-19. Sedangkan misinformasi terkait pengobatan yang berorientasi efek psikologis misalnya: pikiran positif berperan besar mencegah infeksi COVID-19. </p>
<p>Sementara, misinformasi berbentuk teori konspirasi misalnnya: anggapan COVID-19 adalah siasat pemerintah atau pihak tertentu untuk mengendalikan masyarakat.</p>
<p>Pertama, kami menemukan semakin besar seseorang mempercayai misinformasi pengobatan dan pencegahan non-psikologis serta teori konspirasi, semakin ia enggan menjaga jarak. Ini mungkin disebabkan keyakinan yang terlalu kuat terhadap hal yang salah mendorong masyarakat untuk tidak menjaga jarak.</p>
<p>Sementara, kepercayaan terhadap teori konspirasi mungkin berkaitan dengan karakteristik kebijakan pengendalian COVID-19 yang restriktif. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap pemerintah setempat. </p>
<p>Kedua, semakin tinggi keyakinan terhadap pencegahan dan pengobatan psikologis untuk mencegah COVID-19 seperti berpikir positif dan menghindari stres, semakin kecil kecenderungan seseorang membeli alat pencegahan COVID-19, seperti masker dan sabun cuci tangan. </p>
<p>Ini mungkin terjadi lantaran seseorang lebih memilih upaya pencegahan yang lebih ‘murah’ daripada harus membeli alat lain.</p>
<p>Ketiga, keyakinan terhadap misinformasi tidak terkait dengan keengganan seseorang mengakses transportasi publik. Ini mungkin saja karena saat itu sangat jarang ditemui tema misinformasi terkait transportasi publik atau daring.</p>
<p>Kemungkinan lainnya adalah, masih banyak masyarakat yang terpaksa keluar rumah menggunakan transportasi umum. Perlu dicatat bahwa ketika penelitian ini dimulai, kebijakan bekerja dari rumah (<em>work from home</em>) belum lama diterapkan.</p>
<p>Keempat, kami menemukan laki-laki cenderung lebih meyakini teori konspirasi dibandingkan perempuan. Temuan ini senada dengan studi di <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/politics-and-gender/article/gender-differences-in-covid19-conspiracy-theory-beliefs/11E1C0AA1837CFA7E3926F5E9AF30782">Amerika Serikat</a> yang menunjukkan laki-laki cenderung memiliki rasa ketidakberdayaan dan pola pikir konspirasi sehingga cenderung lebih meyakini teori konspirasi.</p>
<h2>Rekomendasi kebijakan</h2>
<p>Dengan merujuk pada hubungan antara sistem imun perilaku dan misinformasi dengan perilaku menjaga jarak, ada beberapa rekomendasi berbasis bukti yang bisa pemerintah pertimbangkan, terutama untuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/01/21/09225911/lebih-dari-2000-kasus-covid-19-sehari-dan-1000-omicron-indonesia-masuki?page=all">menghalau gelombang infeksi varian baru</a>. </p>
<p>Pertama, terapkan unsur keengganan terinfeksi (<em>germ aversion</em>) dalam <a href="https://www.who.int/teams/risk-communication">komunikasi risiko</a> penanganan wabah. Produk dan metode komunikasi publik perlu memicu perasaan tidak nyaman masyarakat ketika melakukan tindakan berisiko, seperti tidak menjaga jarak atau melepas masker. </p>
<p>Produk komunikasi ini juga perlu diterapkan di tempat-tempat padat masyarakat yang bisa memicu interaksi fisik, seperti halte atau stasiun. Selain itu, tidak ada salahnya juga untuk memanfaatkan dan mengaktivasi perasaan enggan terinfeksi melalui media visual. Caranya bisa melalui gambar yang menampilkan kandungan virus atau cairan pembawa virus yang menjijikkan dalam kontak sosial atau tempat berisiko tinggi.</p>
<p>Kedua, strategi penanganan misinformasi perlu disesuaikan dengan memperhatikan keyakinan individu tertentu. Banyaknya jumlah misinformasi yang beredar memicu perilaku masyarakat yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh, keyakinan COVID-19 adalah senjata buatan akan memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan keengganan mengakses vaksin. </p>
<p>Namun, kepercayaan bahwa COVID-19 adalah hoaks dapat mempengaruhi usaha seseorang melakukan upaya pencegahan. Dalam kondisi ini, selain konsisten meluruskan misinformasi, pemerintah juga perlu memilah kelompok masyarakat sebagai <a href="https://www.gatra.com/news-492022-info%20satgas%20covid-19-puluhan-tokoh-masyarakat-dan-seniman-kampanye-prokes.html">kolaborator komunikasi sains</a>, seperti pemuka agama, <em>influencer</em>, atau akademisi. </p>
<p>Kendati muatannya misinformasi berbeda-beda, penelitian kami menunjukkan upaya perlawanan yang efektif terhadap misinformasi turut meningkatkan kepatuhan upaya pencegahan. </p>
<p>Ketiga, <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/politics-and-gender/article/gender-differences-in-covid19-conspiracy-theory-beliefs/11E1C0AA1837CFA7E3926F5E9AF30782">perhatikan aspek gender</a> dalam kampanye anti-misinformasi.</p>
<p>Kami menemukan laki-laki lebih mempercayai teori konspirasi dibandingkan perempuan. Kampanye anti-misinformasi sebaiknya menyesuaikan kondisi tersebut dengan memperhatikan kolaborator komunikasi, medium, hingga perilaku target komunikasi bersangkutan. </p>
<hr>
<p><em>Annas Jiwa Pratama dan Benny Prawira, keduanya peneliti independen, berkontribusi dalam penelitian dan penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176375/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adrianna Bella menerima dana riset dari the Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives
(CISDI) untuk riset ini.</span></em></p>Semakin besar seseorang mempercayai misinformasi pengobatan dan pencegahan non-psikologis serta teori konspirasi, semakin ia enggan menjaga jarakAdrianna Bella, Research Manager, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1751492022-01-31T09:36:25Z2022-01-31T09:36:25ZDua tahun pandemi: layanan informasi COVID-19 pemerintah tidak ramah penyandang disabilitas<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/442967/original/file-20220127-26-m3uwu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Guru Tuna Grahita Sekolah Luar biasa (SLB) mengetik tulisan dengan aplikasi khusus difabel di telepon genggam di SLB Negeri Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 30 November 2021.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1638428106">ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp</a></span></figcaption></figure><p>Penyandang disabilitas merupakan kelompok marjinal yang sangat rentan pada masa pandemi Covid-19. Kelompok ini sangat perlu mendapatkan panduan yang memadai dalam menghadapi wabah. </p>
<p>Pada 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan <a href="https://www.who.int/publications/i/item/WHO-2019-nCoV-Disability-2020-1">panduan mitigasi COVID-19</a> bagi penyandang disabilitas. Dokumen dibuat WHO agar kelompok disabel memahami bagaimana mengakses layanan Kesehatan, termasuk terlibat dalam kebijakan mitigasi COVID-19. </p>
<p>Dengan memanfaatkan panduan tersebut, kami mengukur tingkat pengetahuan informasi untuk melihat sejauh mana tingkat aksesibilitas kelompok disabilitas terkait kanal informasi COVID-19 yang disediakan oleh pemerintah Indonesia. </p>
<p>Hasil riset yang kami tulis laporannnya menunjukkan bahwa informasi seputar COVID-19 sulit diakses oleh penyandang disabilitas.</p>
<h2>Informasi non-inklusif</h2>
<p>Riset kuantitatif yang berlangsung sejak Maret hingga November 2021 melibatkan 259 partisipan penyandang disabilitas di Indonesia. </p>
<p>Peserta adalah laki-laki dan perempuan berusia 30-50 tahun yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Mereka berasal dari beragam jenis disabilitas, seperti disabilitas fisik, visual, tuli, mental, dan intelektual. Latar belakang pendidikan para peserta tersebar: di bawah SMA, lulus SMA, hingga lulus perguruan tinggi. </p>
<p>Kami menyebar kuesioner secara daring untuk mengukur tingkat pengetahuan partisipan terhadap sumber informasi berupa <em>hotline</em> COVID-19 milik pemerintah Indonesia. Kami juga mengecek media daring milik pemerintah seperti situs, publikasi digital, dan media sosial, dengan bantuan beberapa perangkat lunak komputer. </p>
<p>Kami mengajukan pertanyaan: apakah partisipan mengetahui adanya nomor <em>hotline</em> COVID-19 pemerintah pusat, daerah, dan desa dan kelurahan?</p>
<p>Hasilnya, sebanyak 78,4% partisipan tidak mengetahui adanya <em>hotline</em> COVID-19 milik pemerintah pusat dan daerah. Persentase partisipan yang tidak mengetahui adanya hotline di level kelurahan dan desa bahkan lebih tinggi, sebesar 82,2%. </p>
<p>Angka-angka ini mengindikasikan bahwa mayoritas partisipan tidak memahami bagaimana cara mencari pertolongan ketika mengalami gejala COVID-19.</p>
<p>Proses yang kami lakukan berikutnya adalah mengecek sampel kanal digital: enam situs pemerintah, tiga akun media sosial, dan lima publikasi digital. Pengecekan ini dilakukan dengan aplikasi Google Lighthouse, Wave WebAIM, dan pengecekan manual oleh tenaga ahli media disabilitas. </p>
<p>Hasilnya, situs <a href="https://covid19.go.id/">https://covid19.go.id/</a> (kurang aksesibel); <a href="https://infeksiemerging.kemkes.go.id/">https://infeksiemerging.kemkes.go.id/</a> (kurang aksesibel); <a href="http://www.p2ptm.kemkes.go.id/profil-p2ptm/daftar-informasi-publik/covid-19">http://www.p2ptm.kemkes.go.id/profil-p2ptm/daftar-informasi-publik/covid-19</a> (kurang aksesibel); <a href="https://kipi.covid19.go.id/">https://kipi.covid19.go.id/ </a>(tidak aksesibel);<a href="https://www.pedulilindungi.id/"> https://pedulilindungi.id/</a> (kurang aksesibel); dan <a href="https://yankes.kemkes.go.id/app/siranap/">https://yankes.kemkes.go.id/app/siranap/</a> (kurang aksesibel). </p>
<p>Sedangkan tiga media sosial yang kami periksa adalah akun Twitter <a href="https://twitter.com/satgascovid19id">@satgascovid19id</a>; akun Instagram <a href="https://www.instagram.com/satgasperubahanperilaku/?hl=en">@satgasperubahanperilaku</a>; dan Channel Youtube <a href="https://www.youtube.com/channel/UCkYLkpW6H_Ik81sD3LHWpdg">Satgas Perubahan Perilaku</a>. Ketiganya menunjukkan hasil tidak aksesibel.</p>
<p>Sementara publikasi digital yang telah diperiksa adalah <a href="https://covid19.go.id/edukasi/masyarakat-umum/pengendalian-covid-19-dengan-3m-3t-vaksinasi-disiplin-kompak-dan-konsisten-buku-2">Pengendalian COVID-19 dengan 3M, 3T, Vaksinasi, Disiplin, Kompak, dan Konsisten, Buku-2</a>; <a href="https://covid19.go.id/edukasi/masyarakat-umum/pengendalian-covid-19-dengan-3m-3t-vaksinasi-disiplin-kompak-dan-konsisten-buku-2">Pengendalian Covid-19 dengan 3M, 3T Vaksinasi, Disiplin, Kompak, dan Konsisten</a>; <a href="https://covid19.go.id/edukasi/masyarakat-umum/panduan-kesehatan-jiwa-di-masa-pandemi-satgas-penanganan-covid-19">Panduan Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi Satgas Penanganan Covid-19</a>; <a href="https://covid19.go.id/p/protokol/pedoman-perubahan-perilaku-penanganan-covid-19">Pedoman Perubahan Perilaku Penanganan Covid-19</a>; <a href="https://covid19.go.id/p/protokol/pedoman-perubahan-perilaku-penanganan-covid-19-dalam-77-bahasa-daerah">Pedoman Perubahan Perilaku Penanganan Covid-19-dalam 77 Bahasa Daerah</a>. </p>
<p>Semua publikasi di atas masuk dalam kategori kurang aksesibel. </p>
<p>Kategori “kurang aksesibel” apabila hanya ada beberapa unsur aksesibilitas terpenuhi, seperti misalnya situs tidak menyediakan caption pada post video, namun postingan artikel sudah dapat terbaca screen reader. Itu artinya media tersebut telah mudah diakses oleh penyandang disabilitas visual saja. Sedangkan kategori “tidak aksesibel” adalah apabila situs, publikasi digital, maupun media sosial sama sekali tidak dapat diakses oleh disabilitas, misalnya disabilitas visual dan tuli tidak bisa mengakses, karena tidak ada fasilitas yang menunjang hal ini.</p>
<h2>Tak beda jauh antara sebelum dan saat pandemi</h2>
<p>Kondisi aksesibilitas informasi kelompok difabel tidak berbeda secara signifikan, baik sebelum maupun ketika pandemi. </p>
<p>Sebelum pandemi melanda, kelompok difabel sudah mengalami perlakuan <a href="https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/mediainformasi/article/view/2287/1133">diskriminatif</a> dalam pemenuhan hak atas berbagai macam layanan, termasuk akses infomasi kesehatan. Laporan <a href="https://ejournal.kemensos.go.id/index.php/mediainformasi/article/view/2287/1133">Indonesia Corruption Watch (ICW)</a> juga menunjukkan bahwa infomasi terkait bantuan bagi kelompok difabel belum mampu diakses secara optimal. </p>
<p>Hal yang tak jauh berbeda juga tergambarkan melalui kondisi bahwa mayoritas situs <a href="https://theconversation.com/mayoritas-website-pemerintah-dan-universitas-di-indonesia-tidak-ramah-difabel-173159">milik pemerintah Indonesia tidak ramah difabel</a>. </p>
<p>Ketika masuk dalam masa pandemi, penyandang disabilitas mendapatkan <a href="https://reliefweb.int/report/world/covid-19-humanitarian-contexts-no-excuses-leave-persons-disabilities-behind-evidence">hambatan yang lebih buruk</a>, seperti informasi yang tidak aksesibel untuk perlindungan secara mandiri dari COVID.</p>
<p>Belum lagi masalah stigma yang senantiasa menyasar kelompok ini. Akhirnya, mereka semakin sulit menghadapi pandemi. </p>
<p>Padahal, kelompok difabel perlu mendapatkan <a href="https://theconversation.com/penyandang-disabilitas-rentan-dan-luput-dari-mitigasi-covid-19-136761">akses yang mudah</a> dalam hal informasi risiko pandemi. Harapannya, komunitas ini tidak menjadi semakin rentan dan lebih tangguh saat menghadapi pandemi.</p>
<h2>Tingkatkan aksesibilitas informasi pandemi dan libatkan komunitas</h2>
<p>Selama hampir dua tahun pandemi, layanan informasi COVID kurang aksesibel karena hanya mengakomodasi beberapa kebutuhan penyandang disabilitas tertentu saja. Misalnya, konten artikel dalam salah satu situs pemerintah dapat terbaca oleh <em>screen reader</em>, tapi tidak ada <em>caption</em> pada konten video. </p>
<p>Ini berarti situs tersebut masih mengakomodasi disabilitas visual saja, tetapi belum mengakomodasi kebutuhan disabilitas tuli. Dengan kata lain, informasi mitigasi seputar pandemi belum berjalan optimal untuk membentuk komunitas difabel lebih tangguh dalam menghadapi wabah COVID-19. </p>
<p>Tak hanya memberikan kemudahan akses informasi kesehatan, pemangku kepentingan seperti pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dan swasta <a href="https://theconversation.com/mengapa-melibatkan-penyandang-disabilitas-dalam-persiapan-bencana-memiliki-dampak-lebih-baik-167269">perlu mendorong pelibatan aktif kelompok difabel</a> dalam membentuk informasi risiko pandemi yang lebih partisipatif dan inklusif. </p>
<p>Melalui <a href="https://www.google.co.id/books/edition/Handbook_of_Hazards_and_Disaster_Risk_Re/Ko23AwAAQBAJ?hl=en&gbpv=1&printsec=frontcover">pelibatan kelompok difabel</a>, perumusan mitigasi informasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan subjek. Pada akhirnya kelompok penyandang disabilitas dapat menghadapi risiko pandemi secara mandiri. </p>
<p>Hasil riset ini penting untuk menunjukkan seberapa efektif praktik mitigasi informasi COVID-19 berdasarkan pedoman yang disusun oleh WHO. Kami mendorong para pemangku kepentingan untuk memperperbaiki penyediaan informasi risiko oleh sehingga dapat mendorong penyandang disabilitas menjadi lebih tangguh dalam menghadapi pandemi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/175149/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tulisan ini adalah bagian dari riset yang didanai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Brawijaya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Slamet Thohari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meskipun pandemi telah berlangsung selama lebih dari satu tahun, apakah layanan informasi Covid-19 mudah diakses oleh penyandang disailitas di Indonesia?Lutfi Amiruddin, dosen dan peneliti bidang Sosiologi Lingkungan dan Studi Kebencanaan di Prodi S1 Sosiologi, FISIP, UB; staf di PSLD UB, Universitas BrawijayaSlamet Thohari, Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya, Universitas BrawijayaUcca Arawindha, Dosen Sosiologi, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1743382022-01-10T08:52:36Z2022-01-10T08:52:36ZSeberapa efektif vaksin untuk melawan Omicron? Epidemiolog menjawab 6 pertanyaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439790/original/file-20220107-17-xw4h3i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=44%2C0%2C5838%2C3709&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Memahami seberapa besar perlindungan yang ditawarkan vaksin tidak sesederhana kedengarannya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/covid-19-vaccine-royalty-free-image/1287544065?adppopup=true">Andriy Onufriyenko/Moment via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p><em>Pandemi telah membawa banyak istilah dan ide rumit dari epidemiologi ke dalam kehidupan setiap orang. Dua konsep yang sangat rumit adalah <a href="https://theconversation.com/pfizer-vaccine-what-an-efficacy-rate-above-90-really-means-149849">kemanjuran dan efektivitas</a> vaksin. Dua hal itu bukanlah hal yang sama. Dan seiring berjalannya waktu dan muncul varian baru seperti omicron muncul, konsep ini juga berubah. Melissa Hawkins adalah [epidemiolog dan peneliti kesehatan masyarakat] di American University. Dia menjelaskan cara para peneliti menghitung seberapa baik vaksin mencegah penyakit, apa yang mempengaruhi angka-angka ini, dan bagaimana omicron mengubah banyak hal.</em></p>
<h2>1. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh vaksin?</h2>
<p><a href="https://www.cdc.gov/vaccinesafety/ensuringsafety/history/index.html">Vaksin</a> mengaktifkan <a href="https://theconversation.com/how-mrna-vaccines-from-pfizer-and-moderna-work-why-theyre-a-breakthrough-and-why-they-need-to-be-kept-so-cold-150238">sistem kekebalan yang menghasilkan antibodi</a> yang tersisa di tubuh Anda untuk melawan paparan virus. Ketiga vaksin yang saat ini disetujui untuk digunakan di AS – vaksin Pfizer-BioNTech, Moderna, dan Johnson & Johnson – menunjukkan <a href="https://www.cdc.gov/vaccines/covid-19/clinical-considerations/covid-19-vaccines-us.html">keberhasilan yang mengesankan dalam uji klinis</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A medical professional getting a shot." src="https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437637/original/file-20211214-19-kx4h5b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Uji coba klinis digunakan untuk menghitung kemanjuran vaksin tetapi tidak selalu mewakili kondisi dunia nyata.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/VirusOutbreakGeorgiaVaccineTrial/47e7e14cbd864228b79581d3e5bd8c23/photo?Query=vaccine%20trial&mediaType=photo&sortBy=&dateRange=Anytime&totalCount=605&currentItemNo=5">AP Photo/Ben Gray</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>2. Apa perbedaan antara efikasi dan efektivitas vaksin?</h2>
<p>Semua vaksin baru harus menjalani uji klinis. Dalam proses ini, para peneliti menguji vaksin pada ribuan orang untuk memeriksa seberapa baik mereka bekerja dan apakah mereka aman digunakan.</p>
<p><a href="https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson3/section6.html">Efikasi</a> adalah alat ukur dari <a href="https://theconversation.com/pfizer-vaccine-what-an-efficacy-rate-above-90-really-means-149849">bagaimana vaksin bekerja</a> dalam uji coba klinis. Para peneliti merancang uji coba untuk memasukkan dua kelompok masyarakat: mereka yang menerima vaksin dan mereka yang menerima plasebo. Mereka menghitung kemanjuran vaksin dengan membandingkan berapa banyak kasus penyakit yang terjadi pada setiap kelompok, yang divaksinasi versus plasebo.</p>
<p><a href="https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson3/section6.html">Efektivitas</a>, di sisi lain, menjelaskan seberapa baik vaksin bekerja di dunia nyata. Ia diukur dengan cara yang sama, dengan membandingkan penyakit di antara mereka yang telah divaksin dengan mereka yang belum divaksin. </p>
<p>Efikasi dan efektivitas adalah dua konsep yang dekat, tapi keduanya bukanlah hal yang sama. Cara kerja vaksin akan sedikit berbeda dari hasil uji coba setelah jutaan orang divaksinasi.</p>
<p>Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja vaksin di dunia nyata. Varian baru seperti delta dan omicron dapat mengubah banyak hal. Jumlah dan usia orang yang terdaftar dalam uji coba termasuk komponen yang penting. Dan kesehatan mereka yang menerima vaksin juga merupakan komponen penting. </p>
<p><a href="https://doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2021.2497">Serapan vaksin</a> – proporsi populasi yang divaksinasi – juga dapat mempengaruhi efektivitas vaksin. Ketika proporsi populasi yang cukup besar telah divaksinasi, maka kekebalan kelompok atau <em>herd immunity</em> akan berperan. </p>
<p>Vaksin dengan <a href="https://www.cdc.gov/flu/vaccines-work/effectivenessqa.htm">efikasi sedang atau bahkan rendah dapat bekerja dengan sangat baik</a> pada tingkat populasi. Demikian juga, vaksin dengan efikasi tinggi dalam uji klinis, seperti vaksin virus corona, mungkin memiliki <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-021-00728-2">efektivitas yang lebih rendah</a> dan berdampak kecil jika tidak ada pengambilan vaksin yang tinggi dalam populasi.</p>
<p>Memahami perbedaan antara efikasi dan efektivitas adalah penting, karena yang satu menjelaskan pengurangan risiko yang dicapai oleh vaksin dalam kondisi percobaan, sedangkan yang lainnya menjelaskan bagaimana hal ini dapat bervariasi pada berbagai populasi dengan tingkat paparan dan penularan yang berbeda. </p>
<p>Peneliti dapat menghitung keduanya, tapi mereka tidak dapat merancang studi yang akan mengukur keduanya secara bersamaan.</p>
<h2>3. Bagaimana cara mengukur efikasi dan efektivitas?</h2>
<p>Baik <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33301246/">Pfizer</a> maupun <a href="https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/mm695152e1.htm?s_cid%20=mm695152e1_w">Moderna</a> melaporkan bahwa efikasi vaksin mereka mencapai lebih dari 90% efikasi dalam mencegah infeksi COVID-19 yang bergejala. Dengan kata lain, di antara orang-orang yang menerima vaksin dalam uji klinis, risiko terkena COVID-19 berkurang 90% dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima vaksin.</p>
<p>Coba bayangkan bagaimana kegiatan uji coba vaksin dilakukan. Anda mengacak 1.000 orang untuk menerima vaksin dalam satu kelompok. Anda mengacak 1.000 lainnya untuk diberikan plasebo di grup lain. Katakanlah sekitar 2,5% orang dalam kelompok yang divaksinasi terinfeksi COVID-19 dibandingkan dengan 50% pada kelompok yang tidak divaksinasi. Itu berarti vaksin tersebut memiliki kemanjuran 95%. Kami menentukannya karena (50% – 2,5%)/50% = .95. </p>
<p>Jadi, angka 95% menunjukkan penurunan proporsi penyakit di antara kelompok yang divaksinasi. Namun, vaksin dengan kemanjuran 95% tidak berarti 5% orang yang divaksinasi akan terkena COVID-19. Hal ini merefleksikan Anda pada berita yang lebih baik lagi: risiko penyakit Anda berkurang hingga 95%.</p>
<p>Efektivitas vaksin dihitung dengan cara yang sama persis, tapi ia ditentukan melalui <a href="https://dx.doi.org/10.17269%2Fs41997-021-00554-z">studi observasional</a>. Sejak awal, vaksin telah bekerja lebih dari <a href="https://www.statnews.com/2021/03/29/real-world-study-by-cdc-shows-pfizer-and-moderna-vaccines-were-90-effective/">90% efektif</a> dalam mencegah penyakit parah di dunia nyata. Tapi, pada dasarnya, <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-021-03619-8">virus berubah</a>, dan ini dapat mengubah nilai efektivitas tadi. </p>
<p>Misalnya, sebuah penelitian menemukan bahwa ketika varian delta melonjak pada Agustus 2021, vaksin Pfizer terbukti <a href="http://dx.doi.org/10.15585/mmwr.mm7034e3">53% efektif dalam mencegah penyakit parah pada penghuni panti jompo</a> yang telah divaksinasi pada awal 2021. Usia, masalah kesehatan, penurunan kekebalan, dan tekanan baru menurunkan efektivitas pada kasus ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A model of the coronavirus." src="https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437638/original/file-20211214-23-1e9wqqp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Varian baru dari virus corona semuanya sedikit berbeda dari jenis asli yang menjadi dasar vaksin, sehingga kekebalan terhadap varian mungkin berbeda.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Coronavirus._SARS-CoV-2.png#/media/File:Coronavirus._SARS-CoV-2.png">Alexey Solodovnikov, Valeria Arkhipova/WikimediaCommons</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4. Bagaimana dengan varian omicron?</h2>
<p>Data awal tentang omicron dan vaksin <a href="https://www.reuters.com/business/healthcare-pharmaceuticals/pfizer-covid-19-vaccine-partially-protective-against-omicron-bloomberg-news-2021-12-07/">datang dengan cepat</a> dan mengungkapkan efektivitas vaksin yang lebih rendah. Perkiraan terbaik menunjukkan bahwa vaksin bekerja <a href="https://www.medpagetoday.com/special-reports/exclusives/96172">30%-40% efektif untuk mencegah infeksi</a> dan <a href="https://www.reuters.com/business/healthcare-pharmaceuticals/pfizer-vaccine-protecting-against-hospitalisation-during-omicron-wave-study-2021-12-14/">70% efektif untuk mencegah penyakit parah</a>.</p>
<p>Sebuah <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.07.212%2067432v1">riset <em>preprint</em></a> – belum ditinjau secara resmi oleh ilmuwan lain – yang dilakukan di Jerman menemukan bahwa antibodi dalam darah yang dikumpulkan dari orang yang divaksinasi penuh dengan Moderna dan Pfizer menunjukkan <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-021-03672-3">berkurangnya kemanjuran dalam menetralkan varian omicron</a>. </p>
<p>Riset <em>preprint</em> <a href="https://doi.org/10.1101/2021.12.08.21267417">di Afrika Selatan</a> dan <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.10.21267534v1.full">Inggris</a> lainnya menunjukkan penurunan yang signifikan dalam seberapa baik antibodi menargetkan varian omicron. Lebih banyak <a href="https://www.npr.org/sections/goatsandsoda/2021/12/14/1063947940/vaccine-protection-vs-omicron-infection-may-drop-to-30-but-does-cut-severe-disea">terobosan diharapkan</a>, dengan penurunan kemampuan sistem kekebalan untuk mengenali omicron dibandingkan dengan varian lain.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A sign outside of a pharmacy saying vaccines are available for walk-in appointments." src="https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437636/original/file-20211214-15-862uwa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kebanyakan orang di Amerika Serikat sekarang memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin virus corona yang dapat membantu melindungi dari varian omicron.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/VirusOutbreakIllinois/07e30f89e82f47a8a6a575d3c2e8080b/photo?Query=booster%20vaccine%20sign&mediaType=photo&sortBy=&dateRange=Anytime&totalCount=50&currentItemNo=4">AP Photo/Nam Y. Huh</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>5. Apakah vaksin <em>booster</em> meningkatkan kekebalan melawan omicron?</h2>
<p>Data awal memperkuat bahwa <a href="https://theconversation.com/should-i-get-my-covid-vaccine-booster-yes-it-increases-protection-against-covid-including-omicron-172965">dosis ketiga akan membantu meningkatkan</a> respons imun dan perlindungan terhadap omicron, dengan perkiraan <a href="https://www.cnbc.com/2021/12/10/boosters-give-70percent-75percent-protection-against-mild-disease-from-omicron-uk-health-security-agency-says.html">efektivitas 70%-75%</a>.</p>
<p><a href="https://www.pfizer.com/news/press-release/press-release-detail/pfizer-and-biontech-provide-update-omicron-variant">Pfizer telah melaporkan</a> bahwa orang yang telah menerima dua dosis vaksinnya rentan terhadap infeksi dari omicron. Tapi, <a href="https://www.pfizer.com/news/press-release/press-release-detail/pfizer-and-biontech-provide-update-omicron-variant">suntikan ketiga meningkatkan aktivitas antibodi terhadap virus</a>. Temuan ini didasarkan pada percobaan laboratorium menggunakan darah orang yang telah menerima vaksin.</p>
<p>Dosis <em>booster</em> dapat meningkatkan jumlah antibodi dan kemampuan sistem imun seseorang untuk melindungi dari omicron. Namun, tidak seperti AS, sebagian besar <a href="https://ourworldindata.org/covid-vaccinations">dunia tidak memiliki akses</a> ke dosis booster.</p>
<h2>6. Apa maksud dari semua ini?</h2>
<p>Meski efektivitas vaksin terhadap omicron menurun, jelas bahwa vaksin berhasil dan tergolong sebagai <a href="https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6019a5.htm">pencapaian kesehatan masyarakat terbesar</a>. Vaksin memiliki tingkat efektivitas yang bervariasi dan masih berguna. Vaksin flu biasanya bekerja <a href="https://www.cdc.gov/flu/vaccines-work/vaccineeffect.htm">40%-60% efektif</a> dan mencegah penyakit pada jutaan orang dan rawat inap di lebih dari 100.000 orang di AS <a href="https://www.cdc.gov/flu/about/burden-averted/2019-2020.htm">setiap tahun</a>.</p>
<p>Akhirnya, vaksin tidak hanya melindungi mereka yang divaksinasi, tapi juga mereka yang tidak dapat divaksinasi. Orang yang divaksinasi <a href="https://theconversation.com/no-vaccinated-people-are-not-just-as-infectious-as-unvaccinated-people-if-they-get-covid-171302">lebih kecil kemungkinannya untuk menyebarkan</a> COVID-19, yang mengurangi infeksi baru dan menawarkan perlindungan kepada masyarakat secara keseluruhan.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174338/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Melissa Hawkins menerima dana dari USDA/NIFA.</span></em></p>Untuk beberapa alasan, seiring berjalannya waktu, vaksin menjadi kurang efektif. Jadi bagaimana para peneliti menghitung seberapa baik vaksin bekerja?Melissa Hawkins, Professor of Public Health, American UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1743362022-01-07T07:18:11Z2022-01-07T07:18:11ZOmicron mungkin bukan varian terakhir, tapi mungkin ia adalah varian terakhir yang ganas dan mematikan<p>Pertanyaan tentang apakah virus benar-benar hidup masih menjadi kontroversial. Tapi, seperti semua makhluk hidup, virus juga berevolusi.</p>
<p>Fakta ini kian jelas selama pandemi. Pasalnya, <a href="https://www.who.int/en/activities/tracking-SARS-CoV-2-variants/">varian baru yang perlu dikhawatirkan karena penularan cepat dan mematikan (<em>variant of concern</em>)</a> muncul setiap beberapa bulan.</p>
<p>Beberapa varian virus lebih mudah menyebar dari orang ke orang. Akhirnya keberadaan varian itu menjadi dominan karena mengalahkan versi SARS-CoV-2 awal yang lebih lambat; virus penyebab pandemi COVID-19.</p>
<p>Peningkatan kemampuan penyebaran ini berasal dari mutasi pada protein <em>spike</em> (S) – proyeksi berbentuk jamur pada permukaan virus – agar mampu menempel lebih kuat di reseptor ACE2. </p>
<p>ACE2 adalah reseptor di permukaan sel, seperti yang melapisi saluran udara manusia, tempat virus menempel untuk masuk dan bereplikasi.</p>
<p>Mutasi tersebut memungkinkan varian alfa, dan kemudian varian delta, menjadi dominan di seluruh dunia. Para ilmuwan memperkirakan omicron akan menyebabkan hal yang sama.</p>
<p>Namun, virus tidak bisa terus menerus mengganas. Hukum biokimia menjelaskan bahwa virus pada akhirnya akan mengembangkan protein S untuk mengikat ACE2 sekuat mungkin. Dalam kondisi itu, kemampuan SARS-CoV-2 untuk menular pada orang-orang tidak akan dibatasi oleh seberapa baik virus dapat berada di luar sel.</p>
<p>Faktor-faktor lain akan membatasi penyebaran virus. Misalnya terkait kecepatan genom bereplikasi, kecepatan virus untuk memasuki sel melalui protein TMPRSS2, dan jumlah virus yang dapat dilepaskan oleh orang yang terinfeksi. Pada prinsipnya, semua varian ini pada akhirnya akan berkembang ke kinerja terbaik mereka.</p>
<p>Apakah mutasi omicron sudah mencapai puncaknya? Belum ada alasan yang kuat untuk mengasumsikan itu.</p>
<p>Studi “gain-of-function” – untuk melihat mutasi apa yang dibutuhkan SARS-CoV-2 untuk menyebar lebih efisien – telah <a href="https://www.nature.com/articles/s41564-021-00954-4">mengidentifikasi banyak mutasi</a> yang dapat meningkatkan kemampuan protein S untuk mengikat sel manusia yang tidak dimiliki omicron. </p>
<p>Aspek lain dalam siklus hidup virus pun masih bisa berubah. Misalnya replikasi genom sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas.</p>
<p>Mari kita asumsikan sejenak bahwa omicron adalah varian dengan kemampuan menyebar yang sudah mencapai titik maksimum. Mungkin omicron tidak akan berkembang lagi karena dibatasi oleh kemungkinan genetik. Sebagaimana zebra tidak dapat mengembangkan mata di belakang kepala mereka untuk menghindari pemangsa. </p>
<p>Karena itu, masuk akal bila SARS-CoV-2 tidak dapat mencapai titik maksimum mutasinya (secara teori) karena seluruh mutasi tersebut harus terjadi sekaligus. Karena itulah, kemungkinan kemunculan generasi terbarunya sangat kecil.</p>
<p>Bahkan dalam skenario omicron adalah varian terbaik dalam penyebarannnya antarmanusia, varian baru akan tetap muncul untuk melawan sistem kekebalan kita.</p>
<p>Setelah terinfeksi virus, sistem kekebalan kita akan beradaptasi dengan membuat antibodi yang menempel pada virus dan menetralkannya. Antibodi juga memproduksi sel-T pembunuh guna menghancurkan sel yang terinfeksi. </p>
<p>Antibodi adalah potongan protein yang menempel pada bentuk molekul spesifik virus. Sel-T pembunuh mengenali sel yang terinfeksi melalui bentuk molekul juga. Karena itu, SARS-CoV-2 hanya perlu bermutasi sehingga bentuk molekulnya berubah sehingga tak terdeteksi oleh sistem kekebalan.</p>
<p>Inilah sebabnya mengapa omicron berhasil menginfeksi orang yang sebelumnya sudah menciptakan kekebalan pada dirinya, baik oleh vaksin atau oleh infeksi dari varian lain. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/3pFQpiawX80?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Mutasi yang lebih mengikat ACE2 dapat <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.08.21267417v3.full.pdf">mengurangi kemampuan antibodi</a> untuk mengikat virus dan menetralkannya. </p>
<p><a href="https://www.businesswire.com/news/home/20211208005542/en/">Data</a> dari Pfizer memperkirakan bahwa sel-T merespons omicron sebagaimana mereka merespons varian sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa omicron memiliki tingkat kematian yang lebih rendah di Afrika Selatan, tempat <a href="https://ourworldindata.org/coronavirus/country/south-africa">kebanyakan orang memiliki kekebalan</a>.</p>
<p>Yang terpenting bagi umat manusia, infeksi yang pernah terjadi sebelumnya tampaknya melindungi kita dari penyakit parah dan kematian. Virus memang dapat bereplikasi dan kembali menginfeksi. Tapi kita tidak akan sakit parah seperti saat pertama kali terinfeksi.</p>
<h2>Masa depan SARS-CoV-2</h2>
<p>Di sinilah letak kemungkinan terbesar atas virus ini pada masa depan. </p>
<p>Meski omicron berperilaku seperti seorang gamer profesional yang memaksimalkan semua pengalamannya, dia masih bisa dikendalikan dan dibersihkan oleh sistem kekebalan. Mutasi yang meningkatkan kemampuan penyebarannya tidak akan meningkatkan angka kematian secara signifikan. </p>
<p>Virus yang sudah dimaksimalkan hanya akan bermutasi secara acak. Mereka lalu berubah cukup lama untuk menjadi entitas yang tidak dapat dikenali oleh sistem kekebalan, sehingga memungkinkan gelombang infeksi lagi.</p>
<p>Layaknya musim flu, kita mungkin akan memiliki musim COVID di setiap musim dingin. Virus influenza juga dapat memiliki pola mutasi yang serupa dari waktu ke waktu, yang dikenal sebagai “<a href="https://www.cdc.gov/flu/about/viruses/change.htm">penyimpangan antigenik</a>”, yang menyebabkan infeksi ulang. </p>
<p>Virus-viru flu tahunan yang baru tidak selalu lebih ganas dibanding versi, mereka hanya cukup berbeda. Bukti terbaik untuk meraba kemungkinan SARS-CoV-2 ini adalah virus 229E – virus corona penyebab flu biasa – <a href="https://journals.plos.org/plospathogens/article?id=10.1371/journal.ppat.1009453">yang mengalami dinamika senada</a>.</p>
<p>Karena itulah omicron tidak akan menjadi varian terakhir. Omicron hanya merupakan varian terakhir yang cepat menular dan meningkatkan kematian ( <em>variant of concern</em>). </p>
<p>Jika kita beruntung, dan perjalanan pandemi ini sulit diprediksi, maka SARS-CoV-2 akan menjadi <a href="https://theconversation.com/covid-19-will-probably-become-endemic-heres-what-that-means-146435">virus endemik</a> yang perlahan bermutasi seiring waktu.</p>
<p>Ke depannya, penyakit ini bisa jadi sangat ringan karena infeksi pada masa lalu menciptakan kekebalan sehingga mengurangi kemungkinan rawat inap dan kematian. </p>
<p>Kebanyakan orang akan terinfeksi pertama kali ketika masih anak-anak, yang dapat terjadi sebelum atau setelah vaksin. Kemudian gejala infeksi berikutnya akan hampir tidak terlihat. </p>
<p>Bisa jadi nantinya hanya ada sekelompok kecil ilmuwan yang akan melacak perubahan genetik SARS-CoV-2 dari waktu ke waktu. Varian yang menjadi perhatian sebelumnya hanya menjadi - setidaknya sampai virus berikutnya melompati batas spesies.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174336/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ben Krishna tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penyakit ini mungkin sangat ringan karena beberapa infeksi pada masa lalu menciptakan kekebalan yang mengurangi kemungkinan rawat inap dan kematian.Ben Krishna, Postdoctoral Researcher, Immunology and Virology, University of CambridgeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744022022-01-06T10:12:52Z2022-01-06T10:12:52Z5 hal baru terkait Omicron: dari kelabuhi sistem imun hingga PCR bisa gagal deteksi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439601/original/file-20220106-23-j1gs9a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan mengetes PCR di Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten, 5 Januari 2022 untuk mengantisipasi penyebaran Omicron karena kota ini menjadi perlintasan bagi penumpang internasional Bandara Soekarno-Hatta. .</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1641358507">ANTARA FOTO/Fauzan/nym</a></span></figcaption></figure><p>Ledakan kasus COVID-19 di <a href="https://www.france24.com/en/live-news/20220104-new-covid-records-in-us-uk-france-as-omicron-runs-rampant">Amerika Serikat di atas satu juta kasus sehari, Inggris (200 ribu kasus), Prancis (270 ribu kasus) dan Australia (50 ribu kasus)</a> baru-baru ini yang didominasi varian Omicron menunjukkan varian ini memang cepat sekali penularannya.</p>
<p>Hanya dalam hitungan sekitar satu setengah bulan, varian ini telah menyebar lebih dari <a href="https://www.nytimes.com/article/omicron-coronavirus-variant.html">110 negara</a>. Pada 26 November 2021, selang dua hari setelah dilaporkan kasus pertama di Afrika Selatan dan Bostwana, <a href="https://www.who.int/news/item/26-11-2021-classification-of-omicron-(b.1.1.529)-sars-cov-2-variant-of-concern">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Omicron sebagai varian yang harus diwaspadai atau <em>varian of concern</em> (VOC)</a>. </p>
<p>Di Indonesia, dalam hitungan beberapa minggu terakhir, kasus COVID-19 dengan varian <a href="https://www.gisaid.org/">Omicron (B.1.1.529)</a> juga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/01/05/06452021/254-kasus-omicron-masuk-indonesia-ini-sebaran-dan-gejala-yang-dialami-pasien?page=all">meningkat</a>. Jumlah kasus Omicron di negeri ini, per 5 Januari, mencapai <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/vadhia-lidyana-1/duh-kasus-omicron-di-indonesia-naik-lagi-jadi">254 kasus</a>, dengan 15 kasus penularan lokal.</p>
<p>Penyebaran varian baru ini perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan masyarakat. Kita perlu memahami varian ini, setidaknya dalam 5 hal di bawah ini, sehingga kita bisa mengendalikannya. </p>
<h2>1. Mutasi pada varian Omicron dan risiko penularan</h2>
<p>Omicron menarik perhatian peneliti, salah satunya karena jumlah mutasi pada protein S-nya <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-021-03552-w">berjumlah 26-32 mutasi</a>. Sekitar 50% mutasi tersebut berada pada <em>receptor binding domain</em> (RBD) – bagian protein yang berikatan dengan reseptor sel inang – protein S. </p>
<p>Protein S berikatan langsung dengan sel inang manusia melalui RBD-nya <a href="https://doi.org/10.1016/j.omtm.2020.05.013">sehingga SARS-CoV-2 bisa menginfeksi manusia</a>. Beberapa mutasi pada Omicron telah diketahui mempengaruhi <a href="https://www.gisaid.org/references/gisaid-in-the-news/novel-variant-combination-in-spike-receptor-binding-site/">karakteristik SARS-CoV-2 pada varian sebelumnya</a> antara lain K417N (Beta), T478K (Delta), E484K (Beta, Gamma), dan N501Y (Alpha, Beta, Gamma). </p>
<p>Data awal di <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1042688/RA_Technical_Briefing_32_DRAFT_17_December_2021_2021_12_17.pdf">populasi Inggris</a> menunjukkan bahwa penularan Omicron lebih tinggi dibandingkan Delta. </p>
<p>Peningkatan risiko penularan di dalam keluarga 3 kali lebih tinggi pada Omicron dibandingkan Delta. Sedangkan peningkatan risiko kontak erat menjadi kasus COVID-19 adalah <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1042688/RA_Technical_Briefing_32_DRAFT_17_December_2021_2021_12_17.pdf">2 kali lebih tinggi pada Omicron dibandingkan Delta</a>. Studi lain menunjukkan Omicron <a href="http://www.columbia.edu/%7Ejls106/yang_shaman_omicron_sa.pdf">lebih menular 36,5% dibandingkan Delta</a>. </p>
<p>Omicron sudah terbukti mempunyai kemampuan berkembang lebih baik pada sel inang manusia dibandingkan Delta. Omicron menyebar lebih cepat dibandingkan Delta pada negara yang telah terjadi penularan lokal, dengan peningkatan jumlah kasus dua kali (<em>doubling time</em>) <a href="https://www.who.int/publications/m/item/enhancing-readiness-for-omicron-(b.1.1.529)-technical-brief-and-priority-actions-for-member-states">setiap 2-3 hari</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=423&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/439456/original/file-20220105-17-yjkufw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=532&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penumpang di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 29 Desember 2021. Pemerintah melarang warga Indonesia pergi keluar negeri sementara waktu untuk mencegah penyebaran Omicron.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1640773827">ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww.</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>2. Apakah Omicron menyebabkan COVID-19 lebih parah?</h2>
<p>Salah satu dampak Omicron yang menjadi perhatian publik adalah apakah Omicron menyebabkan gejala COVID-19 menjadi lebih parah. </p>
<p>Data pengaruh Omicron terhadap keparahan COVID-19 (hospitalisasi atau perlu perawatan di rumah sakit, kebutuhan oksigen, perawatan di ICU, oksigen atau meninggal) masih sangat terbatas. </p>
<p>Data awal di <a href="https://www.who.int/publications/m/item/enhancing-readiness-for-omicron-(b.1.1.529)-technical-brief-and-priority-actions-for-member-states/">beberapa negara</a> seperti Afrika Selatan, Inggris, Denmark dan Skotlandia menunjukkan bahwa risiko hospitalisasi Omicron lebih rendah dibandingkan Delta. Namun, hospitalisasi akibat Omicron diprediksi akan meningkat sebagai akibat peningkatan signifikan penularannya. </p>
<p>Makin tinggi hospitalisasi akan menjadi beban bagi sistem kesehatan dan akan menyebabkan peningkatan kematian, <a href="https://www.who.int/publications/m/item/enhancing-readiness-for-omicron-(b.1.1.529)-technical-brief-and-priority-actions-for-member-states/">khususnya akibat <em>doubling time</em> Omicron yang pendek</a>. </p>
<p>Kita harus hati-hati menginterpretasikan data hospitalisasi akibat Omicron karena ada jeda waktu antara munculnya COVID-19 dan hospitalisasi. Masih belum jelas apakah penurunan hospitalisasi karena perlindungan imunitas alamiah dan vaksin atau memang karena Omicron menyebabkan penurunan keparahan COVID-19. </p>
<p>Studi di <a href="https://www.med.hku.hk/en/news/press/20211215-omicron-sars-cov-2-infection">Hong Kong dianggap</a> bisa menjelaskan kenapa Omicron memberikan gejala lebih ringan: replikasi Omicron di saluran napas bronkus 70 kali lebih cepat dibandingkan Delta; sedangkan replikasi Omicron di <a href="https://www.med.hku.hk/en/news/press/20211215-omicron-sars-cov-2-infection">paru lebih lambat 10 kali</a> dibandingkan varian awal. </p>
<h2>3. Omicron mengelabui sistem imun</h2>
<p>Salah satu karakteristik varian Omicron adalah kasus reinfeksi (<em>breakthrough infection</em>) pada individu yang telah divaksinasi atau penyintas, <a href="https://www.imperial.ac.uk/media/imperial-college/medicine/mrc-gida/2021-12-16-COVID19-Report-49.pdf">menurut data</a> dari Inggris, Denmark, Israel, dan Afrika Selatan. <a href="https://www.imperial.ac.uk/media/imperial-college/medicine/mrc-gida/2021-12-16-COVID19-Report-49.pdf">Risiko re-infeksi Omicron 5,4 kali lebih tinggi</a> dibandingkan Delta. Risiko reinfeksi pada individu tanpa vaksinasi lebih tinggi dibandingkan risiko reinfeksi individu pasca vaksinasi.</p>
<p>Kejadian reinfeksi pada individu pasca vaksinasi maupun penyintas menunjukkan bahwa Omicron bisa mengelabui sistem imun manusia. </p>
<p>Satu studi menunjukkan adanya penurunan kadar antibodi netralisasi terhadap Omicron pada pasien yang <a href="https://www.nature.com/articles/s41392-021-00852-5.pdf">sebelumnya terinfeksi Delta</a>. Studi juga <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.08.21267417v3">menunjukkan</a> adanya peningkatan ikatan antara Omicron dengan sel reseptor manusia, mengimplikasikan adanya peningkatan daya infeksius Omicron.</p>
<p>Secara umum, <a href="https://sph.hku.hk/en/News-And-Events/Press-Releases/2021/HKUMed-CU-Medicine-joint-study-finds-COVID-19-variant">beberapa studi</a> menunjukkan penurunan kadar antibodi netralisasi terhadap <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.08.21267491v1">Omicron</a> baik pada individu yang sudah vaksinasi maupun penyintas. </p>
<h2>4. Efektivitas vaksin terhadap Omicron</h2>
<p>Studi di <a href="https://khub.net/documents/135939561/430986542/Effectiveness+of+COVID-19+vaccines+against+Omicron+variant+of+concern.pdf/f423c9f4-91cb-0274-c8c5-70e8fad50074">Inggris</a>, <a href="https://www.mynewsdesk.com/za/discovery-holdings-ltd/documents/presentation-deck-omicron-insights-final-14-december-2021-at-08h00-dot-pdf-417949">Afrika Selatan</a> dan <a href="https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2021.12.20.21267966v2">Denmark</a> menunjukkan ada penurunan efektivitas vaksin untuk Omicron terhadap terjadinya infeksi, timbulnya gejala dan hospitalisasi COVID-19 dibandingkan Delta. </p>
<p>Pemberian vaksin dua dosis AstraZeneca tidak memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala akibat Omicron pada 20 minggu pasca dosis kedua. Sedangkan efektivitas vaksin dua dosis Moderna atau Pfizer menurun efektivitasnya menjadi 10% pada 20 minggu pasca dosis kedua.</p>
<p><a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/1044481/Technical-Briefing-31-Dec-2021-Omicron_severity_update.pdf">Efektivitas <em>booster</em> Moderna atau Pfizer</a> juga menurun menjadi 65-75% pada 2-4 minggu pasca <em>booster</em>, 55-70% pada 5-9 minggu pasca booster dan 40-50% pada lebih dari 10 minggu pasca <em>booster</em>. </p>
<p>Dari sejumlah studi bisa kita ketahui bahwa efektivitas vaksin terhadap timbulnya gejala akibat Omicron lebih rendah dibandingkan Delta, dan efektivitas vaksin tersebut akan menurun secara cepat. </p>
<p>Efektivitas vaksin mencegah hospitalisasi akibat Omicron adalah 52% pasca dosis pertama, 72% 2-24 minggu pasca dosis kedua, 52% lebih dari 25 minggu pasca dosis kedua dan 88% lebih dari 2 minggu pasca <em>booster</em>. </p>
<p>Dengan demikian, efektivitas vaksin mencegah hospitalisasi lebih tinggi dibandingkan mencegah timbulnya gejala akibat Omicron.</p>
<h2>5. Apakah varian Omicron bisa dideteksi oleh PCR?</h2>
<p>Salah satu dari 32 mutasi di protein S pada Omicron adalah delesi asam amino posisi 69-70 – hilangnya asam amino pada posisi 69-70 di protein S virus corona. Hal ini menyebabkan gagalnya PCR mendeteksi SARS-CoV-2 jika <em>kit</em> PCR <em>hanya</em> menggunakan gen S. Fenomena ini dikenal dengan istilah <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34964500/"><em>S-gene target failure</em> (SGTF</a>). </p>
<p>Adanya SGTF ini bisa dijadikan penanda kemungkinan kasus Omicron (<em>probable</em> Omicron) dalam satu pendeteksian. Namun, metode baku penentuan varian Omicron adalah pengurutan seluruh genom (<em>whole genome sequencing</em>), karena fenomena SGTF juga ditemukan pada varian lain Alpha, meski saat ini varian Alpha sangat sedikit dijumpai. </p>
<p>Secara umum, <em>kit</em> PCR yang beredar saat ini bisa mendeteksi Omicron karena <em>kit</em> PCR tersebut menggunakan dua target gen, misalnya kombinasi antar gen S, E, N, atau ORF1ab/RdRp. Jika sebuah <em>kit</em> PCR menggunakan kombinasi gen target, salah satunya gen S, maka fenomena SGTF bisa terjadi pada Omicron (PCR negatif). Namun, <em>kit</em> PCR tersebut masih tetap bisa mendeteksi Omicron karena masih ada satu gen target lainnya yaitu non-gen S (gen E, N, atau ORF1ab/RdRp) sehingga PCR bisa mendeteksi positif.</p>
<p>Memahami masalah Omicron dengan baik akan membantu para pengambil keputusan dan masyarakat untuk membuat keputusan terbaik guna mencegah penyebaran varian ini lebih luas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174402/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gunadi terafiliasi dengan UGM, ALMI dan InaSHG. Gunadi menerima dana dari KEMENDIKBUDRISTEK. </span></em></p>Omicron sudah terbukti mempunyai kemampuan berkembang lebih baik pada sel inang manusia dibandingkan Delta.Gunadi, Head, Genetics Working Group and Internationalisation, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1727842021-12-03T10:05:39Z2021-12-03T10:05:39ZVarian terbaru COVID-19 Omicron: 5 langkah yang harus dihindari, 10 langkah yang harus segera diambil<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/435471/original/file-20211202-25-1hobh4g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Yang tidak boleh dilakukan: larangan bepergian. Pemandangan di bandara Internasional OR Tambo Afrika Selatan setelah larangan penerbangan pertama diumumkan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Phill Magakoe / AFP via Getty Images</span></span></figcaption></figure><p>Pemerintah Afrika Selatan bereaksi <a href="https://www.news24.com/news24/southafrica/news/omicron-variant-south-africa-being-punished-by-international-community-says-dirco-20211127">dengan kemarahan</a> pada <a href="https://www.bbc.com/news/world-59442129">larangan perjalanan</a>, pertama <a href="https://www.gov.uk/foreign-travel-advice/south-africa">dipicu oleh Inggris</a>, yang diberlakukan setelah <a href="https://www.nicd.ac.za/new-covid-19-variant-detected-in-south-africa/">berita</a> bahwa tim pengawasan genomik telah mendeteksi varian baru virus SARS-CoV-2.<a href="https://www.ngs-sa.org/"> Network for Genomics Surveillance di Afrika Selatan</a> telah memantau perubahan pada SARS-CoV-2 sejak pandemi pertama kali melejit. </p>
<p>Varian baru – yang diidentifikasi sebagai B.1.1.529 – telah <a href="https://www.who.int/news/item/26-11-2021-classification-of-omicron-(b.1.1.529)-sars-cov-2-variant-of-concern">dinyatakan sebagai varian yang menjadi kekhawatiran</a> Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan diberi nama Omicron.</p>
<p>Mutasi yang diidentifikasi dalam Omicron memberikan kekhawatiran teoretis bahwa varian ini berpotensi lebih menular daripada varian Delta. Varian ini telah mengurangi sensitivitas terhadap aktivitas antibodi yang tercipta oleh infeksi atau vaksin sebelumnya dibandingkan dengan seberapa baik antibodi dapat menetralkan virus sebelumnya.</p>
<p>Karena tiap vaksin memiliki perbedaan dalam besarnya induksi antibodi penetralisasi, estimasi kapabilitas vaksin untuk dikompromikan dalam mencegah infeksi karena Omicron kemungkinan akan berbeda, seperti yang terjadi pada varian Beta.</p>
<p>Bagaimana pun, karena vaksin juga menginduksi respons sel-T terhadap serangkaian epitop yang beragam, yang tampaknya penting untuk pencegahan COVID parah, maka vaksin tersebut masih mungkin dapat memberikan perlindungan yang sebanding terhadap COVID parah karena Omicron dibandingkan dengan varian lainnya.</p>
<p>Hal yang sama dapat dilihat pada vaksin AstraZeneca. Meskipun ia tidak melindungi dari COVID Beta ringan-hingga-sedang di Afrika Selatan, vaksin ini masih <a href="https://www.clinicaltrialsarena.com/news/astrazeneca-vaxzevria-effective-variants/">menunjukkan perlindungan tingkat tinggi</a> (80% efektif) pada penanganan kasus rawat inap yang disebabkan varian Beta dan Gamma di Kanada.</p>
<p>Menghadapi varian baru ini, ada beberapa langkah yang perlu dihindari pemerintah. Dan beberapa lain harus dilakukan.</p>
<h2>Yang tidak boleh dilakukan</h2>
<p>Pertama, jangan sembarangan memberlakukan pembatasan lebih lanjut, kecuali pada pertemuan di dalam ruangan. Upaya ini tidak berhasil mengurangi infeksi selama 3 gelombang terakhir di Afrika Selatan, <a href="https://businesstech.co.za/news/trending/538856/new-modelling-shows-what-to-expect-from-fourth-covid-19-wave-in-south-africa/">mengingat 60% -80%</a> orang terinfeksi oleh virus berdasarkan sero-survei dan data pemodelan. Paling-paling, pembatasan yang akan merusak ekonomi ini akan berlaku efektif hanya dalam kurun waktu 2-3 minggu setelah infeksi terjadi.</p>
<p>Di Afrika Selatan, hal semacam ini terbilang lumrah – secara umum pada sebagian besar penduduk, kemampuan untuk mematuhi pembatasan tingkat tinggi tidak praktis dan kepatuhan pada peraturan rendah.</p>
<p>Kedua, jangan memberlakukan larangan perjalanan domestik (atau internasional). Terlepas dari upaya ini, virus akan tetap menyebar – seperti yang terjadi pada masa lalu. Sangat naif bagi kita untuk percaya bahwa pemberlakuan larangan perjalanan di beberapa negara akan menghentikan impor varian. Virus ini akan menyebar ke seluruh dunia kecuali Anda berada di negara kepulauan yang menutup akses dengan seluruh dunia.</p>
<p>Tidak adanya laporan varian dari negara yang minim kemampuan dalam mengurutkan DNA virus tidak semerta-merta memberikan arti bahwa jumlah varian nihil. Bila negara-negara lain masih mengizinkan perjalanan dengan negara-negara “daftar merah”, secara langsung atau tidak langsung, varian secara langsung maupun tidak langsung akan tetap berakhir di negara-negara yang memberlakukan larangan perjalanan, meski mungkin dapat sedikit menunda kedatangannya.</p>
<p>Selain itu, pada saat larangan diberlakukan, variannya kemungkinan besar sudah menyebar. Ini sudah terbukti dari kasus Omicron yang dilaporkan oleh seseorang dari <a href="https://ewn.co.za/2021/11/26/new-covid-variant-discovered-in-sa-now-identified-in-belgium">Belgia</a> tanpa hubungan ke kontak seseorang lain dari Afrika Selatan, serta <a href="https://www.aljazeera.com/news/2021/11/27/omicron-variant-covid-southern-africa-travel-restrictions">berbagai kasus di</a> Israel, Inggris dan Jerman.</p>
<p>Semua larangan perjalanan yang diberlakukan oleh beberapa negara dengan negara lain yang ada dalam daftar merah sejatinya hanya menunda serangan yang tak terhindarkan. Akan lebih memungkinkan bila pemerintah mengoptimalkan program penyaringan keluar dan masuk yang ketat untuk mengidentifikasi kasus-kasus potensial dan mewajibkan vaksinasi.</p>
<p>Ketiga, jangan mengumumkan peraturan yang tidak dapat diterapkan atau tidak dapat dilaksanakan dalam konteks lokal. Dan jangan berpura-pura bahwa orang-orang mematuhinya. Hal ini termasuk pelarangan penjualan alkohol, di mana pemerintah tidak dapat secara efektif mengawasi pasar gelap.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/strategi-agar-ilmuwan-tidak-mudah-frustrasi-ketika-terlibat-dalam-proses-kebijakan-publik-156758">Strategi agar ilmuwan tidak mudah frustrasi ketika terlibat dalam proses kebijakan publik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Keempat, jangan menunda dan menyulitkan kebijakan untuk mendorong individu berisiko tinggi. Pemerintah harus menargetkan orang dewasa yang lebih tua dari 65 tahun dengan dosis tambahan vaksin Pfizer setelah mereka mendapatkan dua suntikan. Hal yang sama berlaku untuk kelompok berisiko lain seperti orang dengan transplantasi ginjal, atau orang dengan kanker dan kemoterapi, serta orang dengan kondisi <a href="https://www.alodokter.com/obat-imunosupresif">imunosupresif</a>.</p>
<p>Afrika Selatan dan negara lain tidak boleh mengabaikan panduan Organisasi Kesehatan Dunia yang merekomendasikan dosis penguat pada kelompok berisiko tinggi. Hal yang perlu diprioritaskan untuk saat ini adalah vaksinasi anak kecil, cukup dengan dosis tunggal.</p>
<p>Kelima, hentikan penjualan atau promosi konsep <em>herd immunity</em>. <em>Herd immunity</em> sejatinya tidak akan terwujud dan secara paradoks merusak keyakinan akan vaksin. Vaksin generasi pertama sangat efektif dalam melindungi terhadap COVID-19 kronis, tapi kurang dapat diprediksi dalam melindungi infeksi dan COVID ringan karena berkurangnya antibodi dan mutasi virus yang berkelanjutan. Vaksinasi, bagaimana pun, masih mengurangi penularan secara moderat, yang tetap bernilai tinggi, tetapi tidak mungkin membawa kita pada “herd immunity” dalam waktu dekat - bahkan dalam umur kita.</p>
<p>Sebaliknya kita harus berbicara tentang bagaimana beradaptasi dan belajar untuk hidup dengan virus.</p>
<p>Ada juga daftar hal-hal yang harus dipertimbangkan setelah varian Omicron, terlepas dari apakah itu menggantikan varian Delta (yang masih belum diketahui).</p>
<h2>Yang perlu dilakukan</h2>
<p>Pertama, pastikan fasilitas perawatan kesehatan disiapkan, tidak hanya tertulis di atas kertas – tetapi benar-benar difasilitasi dengan staf, alat pelindung diri, oksigen, dan lain-lain.</p>
<p>Ada 2000 dokter magang dan dokter layanan masyarakat di Afrika Selatan menunggu konfirmasi penempatan mereka pada 2022. Kita tidak boleh menemukan kekurangan persiapan atas fasilitas kesehatan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sembilan-bulan-dan-masih-gagal-apa-yang-salah-dalam-penanggulangan-covid-19-di-indonesia-dan-apa-yang-harus-dilakukan-151215">'Sembilan bulan dan masih gagal': apa yang salah dalam penanggulangan COVID-19 di Indonesia dan apa yang harus dilakukan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Berikan dosis booster J&J atau Pfizer kepada <em>semua</em> orang dewasa yang menerima J&J dosis tunggal. Ini diperlukan untuk meningkatkan perlindungan terhadap COVID kronis. Dosis tunggal vaksin J&J <a href="https://www.dailymaverick.co.za/article/2021-08-06-jj-vaccine-effective-against-delta-in-south-africas-sisonke-trial/">mengurangi kasus rawat inap</a> yang disebabkan oleh varian Delta di Afrika Selatan dengan 62% pada petugas kesehatan. Sedangkan dua dosis vaksin AZ dan mRNA secara umum memiliki perlindungan lebih dari 80%-90% terhadap penyakit parah dari <a href="https://doi.org/10.1038/s41586-021-04120-y">varian Delta</a>.</p>
<p>Studi mengkonfirmasi jadwal dua dosis vaksin Johnson & Johnson lebih unggul dalam melindungi kasus rawat inap daripada dosis tunggal. Dan jika Anda menginginkan perlindungan yang tahan lama, Anda perlu mendaftarkan diri untuk vaksin booster, yang dapat dilakukan dengan dosis lain Johnson & Johnson atau dosis vaksin mRNA.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lanepe/article/PIIS2666-7762(21)00235-0/fulltext">Bukti cukup jelas</a> yang menunjukkan jenis respons imun dari pendekatan heterolog AZ atau JJ oleh vaksin mRNA seperti Pfizer/Biontech menginduksi penetralan yang unggul dan respons imun yang diperantarai sel daripada dua dosis vaksin vektor yang tidak mereplikasi.</p>
<p>Ketiga, menerapkan paspor vaksin sebelum memasuki tempat perkumpulan tertutup, termasuk tempat ibadah dan transportasi umum. Vaksinasi mungkin menjadi pilihan saat ini, namun, pilihan datang dengan konsekuensi. Bahkan jika vaksin hanya mengurangi penularan secara moderat, melebihi dan di atas infeksi yang mereka cegah, sebuah kasus infeksi pada individu yang divaksinasi menimbulkan risiko penularan yang lebih kecil ke orang lain daripada infeksi pada individu yang tidak divaksinasi dan sebelumnya tidak terinfeksi.</p>
<p>Keempat, lanjutkan upaya untuk menjangkau mereka yang tidak divaksinasi dan diimunisasi. Upaya ini harus mencakup penggunaan fasilitas dadakan tempat orang cenderung berkumpul dan program penjangkauan masyarakat lainnya.</p>
<p>Kelima, segera beri vaksin tambahan pada kelompok risiko tinggi yang berusia di atas 65 tahun dan lainnya yang memiliki kondisi imunosupresif. Oleh karena itu, tujuan utama vaksinasi harus ditujukan untuk mengurangi penyakit parah dan kematian. Ini membutuhkan strategi untuk menargetkan siapa yang harus diprioritaskan.</p>
<p>Keenam, mendorong pertanggungjawaban untuk menghindari pemaksaan penggunaan alkohol (di Afrika Selatan) dan pembatasan lainnya untuk menghukum semua orang karena tidak bertanggung jawab pada minoritas.</p>
<p>Ketujuh, pantau ketersediaan tempat tidur di tingkat regional untuk membantu tindakan regional menghindari fasilitas yang berlebihan. Tingkat pembatasan yang lebih tinggi perlu disesuaikan ketika kita mengharapkan fasilitas kesehatan berlebih. Karena rawat inap biasanya tertinggal 2-3 minggu di belakang tingkat infeksi komunitas, mengawasi tingkat kasus dan tingkat rawat inap dapat memprediksi fasilitas dan wilayah yang mungkin terancam.</p>
<p>Upaya ini akan memungkinkan pendekatan yang lebih terfokus pada pemberlakuan pembatasan untuk mengurangi tekanan yang diantisipasi pada fasilitas kesehatan 2-3 minggu sebelumnya. Ini tidak akan mengubah jumlah total rawat inap. Tapi virus akan menyebar dalam jangka waktu yang lebih lama dan membuatnya lebih mudah dikelola.</p>
<p>Kedelapan, belajar untuk hidup dengan virus, dan mengambil pandangan holistik tentang efek langsung dan tidak langsung dari pandemi pada mata pencaharian. Dampak ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan mental, dan kesehatan tidak langsung yang merugikan lainnya dari pendekatan palu godam untuk menangani ancaman pandemi yang sedang berlangsung untuk melampaui efek langsung COVID di Afrika Selatan.</p>
<p>Kesembilan, ikuti sains dan jangan diputarbalikkan untuk kepentingan politik.</p>
<p>Kesepuluh, belajar dari kesalahan masa lalu, dan berani dalam langkah selanjutnya.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172784/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Shabir A. Madhi menerima dana dari SAMRC, BMGF, Novavax, Pfizer dan JJ untuk penelitian yang dilakukan oleh institusi tersebut. Juga, menerima biaya konsultasi dari BMGF.</span></em></p>Dunia perlu belajar untuk hidup dengan virus. Dan pemerintah harus mengikuti sains dan tidak mendistorsinya untuk kepentingan politik.Shabir A. Madhi, Dean Faculty of Health Sciences and Professor of Vaccinology at University of the Witwatersrand; and Director of the SAMRC Vaccines and Infectious Diseases Analytics Research Unit, University of the WitwatersrandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1690362021-10-05T08:31:27Z2021-10-05T08:31:27ZApa itu solidaritas di tengah pandemi? Lebih dari ‘kita menghadapi krisis ini bersama-sama’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/423990/original/file-20210930-18-4nengh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=13%2C410%2C2125%2C1123&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan bertepuk tangan di atas spanduk bertuliskan "semuanya akan baik-baik saja," di Roma. Frasa ini telah muncul di media sosial dan di balkon dan jendela di seluruh Italia saat negara itu menghadapi virus corona.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Roberto Monaldo/LaPresse via AP)</span></span></figcaption></figure><p>Para peneliti medis di seluruh dunia kini terlibat dalam kolaborasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam riset klinis untuk COVID-19. Ketika Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO), mengumumkan inisiatif tersebut pada pertengahan Maret tahun lalu, ia menyebutnya sebagai “<a href="https://www.who.int/dg/speeches/detail/who%20-direktur-jenderal-s-pembukaan-komentar-di-media-briefing-tentang-covid-19----18-maret-2020">uji coba solidaritas</a>.”</p>
<p>Di seluruh dunia, <a href="https://www.weforum.org/agenda/2020/03/covid-19-coronavirus-solidarity-help-pandemic/">ekspresi solidaritas lokal tampaknya menyebar</a> seiring tiap orang memaknainya pada diri mereka sendiri dalam bertindak untuk orang lain yang membutuhkan.</p>
<p>Dari WHO hingga pemimpin pemerintah <a href="https://www.ctvnews.ca/health/coronavirus/you-re-not-alone-in-this-canadians-are-caremongering-through-the-covid-%2019-pandemi-1.4859369">dan aksi warga</a>, <a href="https://www.macleans.ca/news/canada/trudeaus-sunday-coronavirus-update-for-far-too-many-people-home-isnt%20-a-safe-place-to-be-full-transcript/">ekspresi solidaritas</a> yang dilakukan merupakan <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/14%20/opinion/coronavirus-social-distancing.html">respons yang bijak terhadap krisis</a>. Namun, seperti yang disampaikan oleh penulis Amerika Barbara Ehrenreich, para <a href="https://www.newyorker.com/culture/the-new-yorker-interview/barbara-ehrenreich-is-not-an-%20optimis-tapi-dia-memiliki-harapan-untuk-masa%20depan">fasis, fanatik agama, atau negara yang berperang</a> juga bersatu dalam solidaritas untuk memajukan agenda mereka. Beberapa kelompok dapat memobilisasi solidaritas ini <a href="https://www.theguardian.com/politics/2016/dec/08/welcome-age-anger-brexit-trump">untuk tujuan destruktif</a>.</p>
<p>Solidaritas mungkin merupakan kebutuhan dasar manusia, namun makna solidaritas dan apa yang dituntut dari kita kini termasuk sulit dipahami. Dalam penelitian saya, saya mengeksplorasi bagaimana perwujudan solidaritas sangat berkelindan dengan pendidikan. <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9780203113059/chapters/10.4324%2F9780203113059-13">Mengajar untuk solidaritas</a> membutuhkan <a href="https://jps.library.utoronto.ca/index.php/des/article/view/18633">hubungan, niat, dan tindakan yang didasarkan pada komitmen etis dan politik yang eksplisit</a>. Saya tertarik pada bagaimana nilai-nilai yang menopang komitmen ini mendefinisikan perbedaan antara “kita” dan “mereka”.</p>
<p>Dalam keadaan apa pun; pandemi, pemanasan global, ketidaksetaraan pendapatan, rasisme atau kekerasan berbasis gender, solidaritas bergantung pada bagaimana kita bersatu. Hal ini ditentukan oleh bagaimana kita memahami dan memberlakukan tanggung jawab kita dan hubungan dengan satu sama lain.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/327128/original/file-20200410-87635-6gvcb6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Orang-orang berdiri di balkon mereka untuk menunjukkan dukungan sosial secara fisik di tengah wabah virus corona, di Milan, Italia, pada Maret 2020.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Claudio Furlan/LaPresse via AP)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Sama-sama bertanggung jawab atas sebuah utang</h2>
<p>Kata solidaritas memiliki <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-015-9245-1_1">akar dalam hukum Romawi</a> yang menyatukan sekelompok orang — secara menyeluruh — sebagai kelompok yang sama-sama bertanggung jawab atas sebuah utang. Penggunaan konsep itu kemudian digunakan kembali di Revolusi Prancis dan konsep <a href="https://gallica.bnf.fr/ark:/12148/bpt6k454802b/f811.image.texteImage">solidaritas kemanusiaan ideal</a> yang diartikulasikan oleh filsuf dan “<a href="https://www.britannica.com/biography/Pierre-Leroux">Bapak sosialisme</a>,” Pierre Leroux.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagai-berburu-rusa-solidaritas-dan-kerja-sama-akan-menyelamatkan-kita-di-tengah-pandemi-134159">Bagai “berburu rusa”: solidaritas dan kerja sama akan menyelamatkan kita di tengah pandemi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bagi Leroux, solidaritas diperlukan untuk kesejahteraan dan perkembangan manusia. Namun dalam <em><a href="https://www.history.com/this-day-in-history/marx-publishes-manifesto">Manifesto Komunis</a></em> mereka tahun 1848, Karl Marx dan Friedrich Engels mengkonseptualisasikan solidaritas sebagai ekspresi dari pengalaman bersama dan kebutuhan politik khusus kelas buruh.</p>
<p>Solidaritas juga telah menjadi konsep sentral dalam <a href="http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-social-teaching/solidarity.cfm">ajaran sosial Katolik</a> sejak akhir abad ke-19. Ini tampak dalam teologi pembebasan, yakni bahwa <a href="https://think.nd.edu/the-option-for-the-poor-and-christian-theology/">solidaritas dan persekutuan dengan orang miskin adalah komitmen spiritual yang mendasar</a>.</p>
<p>Sejarah singkat ini menggambarkan bahwa solidaritas bergantung pada beberapa gagasan tentang makna “kita” yang lebih mendalam. Dalam buku yang akan saya luncurkan, saya mengeksplorasi tantangan pendidikan yang muncul ketika orang-orang menyerukan solidaritas dalam masyarakat kolonial.</p>
<p>Saya memeriksa apa yang terjadi ketika solidaritas bergantung pada orang lain yang sejajar dengan kita, berpikir seperti kita, dan mempercayai apa yang kita yakini.</p>
<h2>Solidaritas universal</h2>
<p>Filsuf Jerman <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-015-9245-1_1">Kurt Bayertz menunjukkan empat penggunaan konsep solidaritas</a>.</p>
<p>Pertama, solidaritas universal, menunjukkan bahwa semua manusia memiliki kewajiban moral untuk bekerja sama demi kepentingan semua. Ini tersirat setiap kali seseorang mengatakan “<a href="https://www.cbc.ca/news/canada/toronto/we-re-all-in-this-together-the-phrase-uniting%20-toronto-in-long-lonely-battle-melawan-covid-19-1.5508850">kita menghadapi ini bersama-sama</a>.”</p>
<p>Meski menarik, pandangan solidaritas ini mengabaikan perbedaan dan potensi konflik antara kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang berbeda. Ini menunjukkan bagaimana <a href="https://theconversation.com/coronavirus-is-not-the-great-equalizer-race-matters-133867">dampak krisis paralel lurus dengan kelompok masyarakat</a> – dalam kelompok yang berbeda, dampak krisis juga akan berbeda.</p>
<h2>Solidaritas warga</h2>
<p>Inti dari solidaritas sipil adalah bahwa kita tidak perlu memiliki hubungan pribadi dengan orang-orang yang kita bantu dan perjuangkan.</p>
<p>Solidaritas sipil melibatkan komitmen tidak langsung melalui pajak atau <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/16/business/coronavirus-bills-charity.html">kontribusi amal</a>. Mempraktikkan pembatasan fisik (<em>physical distancing</em>) juga merupakan tindakan solidaritas warga.</p>
<p>Kurangnya kepekaan atas <a href="https://democracyeducationjournal.org/home/vol21/iss1/7/">hubungan timbal balik</a> dengan orang-orang yang mendapat manfaat dari solidaritas sipil dapat <a href="https://www.opendemocracy.net/en/beyond-trafficking-and-slavery/italys-fight-against-covid-19-depends-on-continued-solidarity/">melemahkan upaya solidaritas</a> itu sendiri, <a href="https://www%20.theglobeandmail.com/canada/article-federal-local-governments-consider-fines-prison-to-enforce-social/">dan berimbas pada kebutuhan bantuan penegak hukum</a>.</p>
<h2>Solidaritas sosial</h2>
<p>Pemaknaan ketiga Bayertz atas solidaritas sosial mengacu pada bagaimana masyarakat tetap bersatu, dan bagaimana kelompok-kelompok tertentu bertindak bersama sebagai sebuah komunitas untuk melindungi kepentingan mereka.</p>
<p>Editor kontributor majalah <em>Maclean’s</em> Stephen Maher menyampaikan bahwa di Amerika Serikat, <a href="https://www.%20macleans.ca/society/life/escape-from-florida-my-2400-km-drive-back-to-the-sanity-of-canada/">penerimaan para pendukung Donald Trump terhadap respon awal presiden terhadap virus yang meremehkan kemungkinan dampaknya, mencerminkan tingkat solidaritas sosial yang rendah</a>.</p>
<p>Namun pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Pendukung konservatif sayap kanan Trump tidak kekurangan solidaritas sosial. Justru, rasa solidaritas mereka melekat pada komitmen terhadap cita-cita kebebasan dari kebijakan pembatasan sosial dan melindungi sumber daya keuangan dan investasi mereka sebagai cara untuk memastikan kesejahteraan mereka sendiri.</p>
<p>Demikian juga, ada rasa solidaritas yang kuat di kalangan konservatif <a href="https://theconversation.com/coronavirus-trump-and-religious-right-rely-on-faith-%20bukan-sains-134508">kelompok agama yang mengandalkan iman Kristen alih-alih sains untuk melindungi diri mereka sendiri</a>.</p>
<p>Rasa solidaritas sosial yang kuat sangat penting untuk memajukan semua jenis agenda dan nilai politik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/327116/original/file-20200410-40265-o17cqr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Orang-orang menyiapkan tempat untuk tidur di tempat parkir yang berfungsi sebagai kamp darurat bagi para tunawisma pada 30 Maret 2020, di Las Vegas. Tempat penampungan ditutup ketika seorang laki-laki dinyatakan positif COVID-19.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(AP Photo/John Locher)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Solidaritas politik</h2>
<p><a href="http://www.psupress.org/books/titles/978-0-271-03400-3.html">Solidaritas politik</a> erat dengan pada masalah ketidaksetaraan yang terkait dengan kelas, rasisme, seksisme, dan bentuk diskriminasi lainnya. Solidaritas politik biasanya melibatkan satu kelompok yang bertindak untuk mendukung kelompok lain, meski <a href="https://www.dukeupress.edu/feminism-without-borders">kelompok tersebut mungkin tidak terpengaruh oleh ketidakadilan yang terjadi</a>.</p>
<p>Solidaritas politik menimbulkan pertanyaan tentang identifikasi, privilese, dan <a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520301597/solidarity-of-strangers">timbal balik</a>, seperti yang diungkapkan, misalnya, <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2013/aug/14/solidarityisforwhitewomen-hashtag-feminism">melalui tagar #solidarityisforwhitewomen</a>.</p>
<p>Namun konsep solidaritas politik sangat penting untuk mengatasi bagaimana <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/15/world/europe/coronavirus-inequality.html">pandemi memperburuk kesenjangan sosial yang ada</a>. Pengabaian solidaritas politik akan <a href="https://www.theatlantic.com/international/archive/2020/03/coronavirus-covid19-xenophobia-racism/607816/">melemahkan</a> bentuk solidaritas lainnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-tengah-masyarakat-yang-religius-banyak-orang-tua-di-indonesia-mendukung-pendidikan-kesehatan-seksual-di-sekolah-168670">Di tengah masyarakat yang religius, banyak orang tua di Indonesia mendukung pendidikan kesehatan seksual di sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tiga aspek penting dari solidaritas</h2>
<p>Apa pun bentuk yang kita gunakan, kita perlu mengingat tiga aspek solidaritas:</p>
<p><strong>Solidaritas selalu tentang hubungan.</strong> Kita tidak bisa sendirian dalam membentuk solidaritas. Kita bersama siapa saja dalam solidaritas dan apa yang mendefinisikan hubungan itu?</p>
<p><strong>Solidaritas selalu menuntut kita untuk memiliki komitmen yang tinggi.</strong> Apa tujuan dari solidaritas kita dan dari mana komitmen itu berasal?</p>
<p><strong>Solidaritas membutuhkan tindakan yang juga mengubah kita, bahkan mungkin pengorbanan kita.</strong> Apa yang membuat Anda berjuang atau menyerah untuk memastikan kesejahteraan orang lain, apakah mereka berada dalam strata yang sama dengan Anda?</p>
<h2>Menuju bentuk solidaritas yang kreatif</h2>
<p>Sangat penting bagi kita untuk mengakui komitmen etis dan politik yang kita bawa ke dalam gerakan solidaritas. Jika tidak, solidaritas dapat “berlawanan dengan kita”, sebagaimana Barbara Ehrenreich sampaikan.</p>
<p>Misalnya, beberapa solusi, seperti jarak fisik untuk cegah COVID, menjadi <a href="https://www.thespec.com/news/hamilton-region/2020/04/06%20/covid-19-hamilton-police-urged-to-not-ticket-homeless-during-pandemic.html?fbclid=IwAR11s5o12W_Q3V7ikVfPWSeHxtdyoVxWfYN6ld1tLt5xzf2ED_1jnfpEuUM">tidak mungkin dilakukan bagi komunitas yang sudah kekurangan sumber daya, seperti tunawisma</a>. <a href="https://www.international.gc.ca/country-pays/us-eu/relations.aspx?lang=eng">Jika tidak bersekutu</a>, negara-negara seperti Kanada dan AS akan terseret pada konflik karena <a href="https://www.thestar.com/politics/political-opinion/2020/04/06/if-donald-trump-turns-the-covid-19-pandemic-into-a-trade-war-justin-trudeau-knows-just-how-to-fight-it.html">keduanya berusaha untuk memastikan pasokan alat perlindungan</a> untuk para pekerja kesehatan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/327305/original/file-20200411-109282-1c0a22x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seniman Jeff Saint mengerjakan mural mata yang menangis dengan gambar yang melambangkan kota perburuan paus pesisir bersejarah, New Bedford, Mass, yang tercermin pada pupilnya, dikelilingi oleh spora virus corona pada 31 Maret 2020. Dia dan rekan seniman Ryan McFee berharap untuk akhirnya mengganti spora dengan bunga saat virus dikalahkan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Peter Pereira/The Standard-Times via AP)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bersikap terang-terangan terkait komitmen etis dan politik akan menjadi semakin penting karena pemerintah meminta warga untuk mengkompromikan kebebasan pribadi dan kebebasan sipil untuk menahan penyebaran virus.</p>
<p>Kompromi dan sikap global seperti itu menuntut kita untuk <a href="https://jps.library.utoronto.ca/index.php/des/article/view/18633">menganggap solidaritas sebagai sesuatu yang kreatif</a>.</p>
<p>Saat “hembusan krisis membuka perasaan yang ada,” <a href="https://youtu.be/xUP0swVDmtg">dalam kata-kata jurnalis Naomi Klein</a>, kita dipaksa untuk membayangkan cara baru untuk terus bersama satu sama lain. Kita juga memiliki <a href="https://twitter.com/lizar_tristry/status/1246559344000290816?s=20">kesempatan untuk memikirkan kembali nilai dan niat kita</a>, serta kesempatan untuk menceritakan kembali kisah tentang siapa kita, di mana kita berada, dan dengan dan kepada siapa kita berbagi utang.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169036/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rubén A. Gaztambide-Fernández tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kata ‘solidaritas’ bergema di seluruh dunia dalam pandemi COVID-19. Tapi dari mana istilah itu berasal dan apa artinya sebenarnya?Rubén A. Gaztambide-Fernández, Professor of Curriculum & Pedagogy, Ontario Institute for Studies in Education, University of TorontoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.