Masih banyak yang mempertanyakan apakah Perpres Publisher’s Rights akan mampu memenuhi semangat jurnalisme berkualitas. Setidaknya ada tiga catatan kritis terkait penerapannya.
Banyaknya celah hukum ditambah dengan kesenjangan pemahaman tentang perlindungan data pribadi dan maraknya diskriminasi gender online menjadi tantangan besar bagi kebebasan pers saat ini.
Situasi hari ini tentang HAM masa lalu menunjukkan pendeknya memori kolektif publik sekaligus kegagalan media dalam mengkonstruksikan realitas. Akibatnya, isu HAM absen dalam wacana publik
TCID bekerja sama dengan Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), meluncurkan kolaborasi Panel Ahli Cek Fakta untuk menangkal dis/misinformasi menjelang Pemilu 2024.
Jika korban pertama dalam perang adalah kebenaran, maka itu bukanlah kesalahan para jurnalis garis depan yang melakukan pekerjaan berat dalam situasi yang sulit.
Representasi pocong dalam film mencerminkan ketakutan yang ada di masyarakat Indonesia. Sehingga ketika masyarakatnya berubah, representasinya pun ikut berubah.
Kita sering menganggap misinformasi bisa mengarahkan pada keyakinan yang salah, dan kemudian menyebabkan perilaku antisosial. Sejauh ini hanya ada sedikit bukti yang mendukung argumentasi tersebut.
Kekerasan terus dialami jurnalis perempuan, kelompok yang seharunya lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya. Bagaimana mencegahnya?
Kedua kubu menggunakan media dengan cara yang sangat berbeda selama konflik: Zelensky dengan mencari dukungan, Putin dengan membungkam perbedaan berpendapat.
Para jurnalis tidak mendapatkan sarana, akses, serta materi yang cukup atas isu-isu LGBTIQ. Inilah yang membuat hasil pemberitaan dan tulisan mereka cenderung bernada diskriminatif.
Kita perlu mendorong pemerintah segera membuat protokol tertulis tentang perlindungan jurnalis perempuan sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).