tag:theconversation.com,2011:/fr/topics/pusat-unggulan-iptek-perguruan-tinggi-inovasi-pelayanan-kefarmasian-unpad-104906/articlesPusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Unpad – The Conversation2022-08-02T03:49:03Ztag:theconversation.com,2011:article/1875382022-08-02T03:49:03Z2022-08-02T03:49:03ZRiset: implementasi teknologi kesehatan digital tidak selalu berdampak positif dalam meningkatkan keberhasilan pengobatan tuberkulosis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477051/original/file-20220802-26-d9vy1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Teknologi kesehatan digital bisa membantu pasien taat minum obat jika sistem kesehatannya dan akses teknologinya disiapkan dengan baik. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/a-doctor-doing-an-online-consultation-8376177/">Tima Miroshnichenko/Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Teknologi kesehatan digital (<em>digital health technology</em>, DHT) kerap digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pasien penyakit tuberkulosis (TB) dalam memimum obat setiap hari. Sebab, salah satu masalah besar dalam pengobatan penyakit TB adalah ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat yang disebabkan <a href="https://tbindonesia.or.id/artikel/tahukah-kalian-tahapan-pengobatan-tbc/">lamanya pengobatan TB</a>. </p>
<p>Ketidakpatuhan yang meluas telah <a href="https://theconversation.com/riset-tuberkulosis-resistan-obat-terus-mengancam-penduduk-indonesia-mengapa-terus-berulang-132278">memperparah penyakit pasien</a> dan juga berdampak pada penularan penyakit ke orang-orang di sekelilingnya. </p>
<p>Lalu, benarkah intervensi teknologi kesehatan digital benar-benar mampu meningkatkan kepatuhan pasien dan kesembuhan secara klinis? Riset terbaru kami, <a href="https://www.jmir.org/2022/2/e33062/">yang menelaah lebih dari 500 artikel riset terpilih dari berbagai negara</a>, menunjukkan bahwa intervensi teknologi kesehatan digital memiliki hasil yang bervariasi dalam meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB. </p>
<h2>Tingginya kasus TB di Indonesia</h2>
<p>TB, penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, adalah salah satu dari <a href="https://www.who.int/publications-detail-redirect/9789240013131">10 penyakit menular paling mematikan</a> di dunia. Penyakit ini bisa mudah menyebar lewat udara melalui batuk atau bersin orang yang terinfeksi TB. </p>
<p>Laporan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) memaparkan sekitar <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021">1,3 juta orang meninggal akibat TB pada 2020.</a> Sementara itu, <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20220322/4239560/tahun-ini-kemenkes-rencanakan-skrining-tbc-besar-besaran/">kasus TB di Indonesia</a> menempati peringkat ketiga setelah India dan Cina dengan jumlah kasus sekitar 824 ribu dan kematian 93 ribu orang per tahun. Angka ini setara dengan 11 kematian per jam. </p>
<p>Banyak negara termasuk <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20220322/4239560/tahun-ini-kemenkes-rencanakan-skrining-tbc-besar-besaran/">Indonesia</a> memiliki upaya untuk mengendalikan infeksi TB dan menghindari penyebaran penyakit lebih luas.</p>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi kesehatan digital tampaknya menjadi alat yang menjanjikan untuk mengatasi masalah ketidakpatuhan dan kegagalan pengobatan TB.</p>
<h2>Pengaruh teknologi kesehatan digital terhadap kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB</h2>
<p>Riset <a href="https://www.jmir.org/2022/2/e33062/">kami secara sistematis mengulas</a> pengaruh intervensi teknologi kesehatan digital dalam meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan pada pasien TB. </p>
<p>Kami mereview secara sistematis artikel penelitian yang terbit di database artikel penelitian internasional di bidang kesehatan, yaitu PubMed dan Cochrane, pada kurun waktu Maret 2002-Januari 2020. </p>
<p>Kami menetapkan indikator kepatuhan pengobatan TB meliputi penyelesaian pengobatan, kepatuhan pengobatan, jumlah dosis yang terlewat, dan pengobatan yang tidak tuntas. Sedangkan indikator keberhasilan pengobatan TB, meliputi angka kesembuhan dan konversi negatif bakteri TB di dahak pasien pada akhir pengobatan.</p>
<p>Review sistematis ini fokus pada intervensi teknologi kesehatan terhadap pasien TB dewasa.</p>
<p>Kami mengidentifikasi beberapa DHT yang telah dikembangkan di berbagai negara untuk meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB. </p>
<p>Teknologi tersebut antara lain, pemantauan pengobatan dengan teknologi video <em>real-time</em> (<em>video directed observed treatment</em>, VDOT) dan <em>non real-time</em> (<em>video observed treatment</em>, VOT); pengingat minum obat melalui panggilan telepon, layanan pesan pendek (SMS), atau kotak obat otomatis; dan teknologi sensor minum obat yang disematkan pada bagian tubuh pasien. </p>
<p>Semua teknologi tersebut membantu tenaga kesehatan untuk dapat memantau pasien minum obat dan melakukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan dan keberhasialan pengobatan pasien TB. </p>
<p>Analisis terhadap hasil studi-studi tersebut menunjukkan bahwa sebagian riset menyatakan teknologi kesehatan digital berdampak positif untuk meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB, namun sebagian studi tidak menunjukkan hasil yang positif. </p>
<p>Sebagai contoh, pada jenis teknologi VDOT dan pengingat minum obat melalui SMS, sebagian studi menunjukkan bahwa teknologi tersebut berdampak signifikan dalam membantu menyelesaikan pengobatan TB. </p>
<p>Sementara itu, studi lainnya menunjukkan hal yang berbeda, yakni teknologi tersebut tidak berdampak secara signifikan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan.</p>
<h2>Perlunya penilaian dan intervensi terhadap kesiapan implementasi teknologi</h2>
<p>Intervensi menggunakan DHT untuk meningkatkan kepatuhan dan keberhasilan pengobatan TB memang menjanjikan. Situasi pandemi COVID-19 semakin menjadikan teknologi tersebut sebagai model intervensi yang ditawarkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan derajat kesehatan masyarakat. </p>
<p>Namun di luar soal teknologi itu sendiri, ada masalah yang juga perlu kita perhatikan. Kesiapan implementasi teknologi tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang, agar teknologi tersebut tidak malah menjadi bumerang dalam pelaksanaannya.</p>
<p>Perlu dipertimbangkan kesiapan penerapan DHT terhadap hal-hal yang menyangkut beberapa aspek, antara lain kesiapan pengguna (tenaga kesehatan dan pasien), infrastruktur digital (peralatan dan jaringan), sistem layanan kesehatan, dukungan kebijakan pemerintah dan biaya. </p>
<p>Selain itu, agar penerapan teknologi digital dapat optimal, pemilihan intervensi dan jenis teknologi digital perlu disesuaikan dengan masalah yang sedang dihadapi. Dalam konteks ketidakpatuhan pengobatan TB, permasalahan ketidakpatuhan pasien TB dapat bervariasi tergantung pada pasien masing-masing.</p>
<p><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-021-12005-y">Studi sebelumnya menunjukkan</a> permasalahan ketidakpatuhan pengobatan TB tidak selalu terkait dengan pengetahuan dan kesadaran pasien untuk selalu minum obat. Terdapat juga masalah-masalah lain seperti, ketidakmampuan dalam mengakses fasilitas kesehatan, adanya stigma, munculnya efek samping obat, dan hilangnya pendapatan harian pasien. </p>
<p>Atas dasar tersebut, pendekatan individual diperlukan dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan TB. Artinya, sebuah intervensi tidak akan selalu cocok dengan seluruh kondisi pasien.</p>
<p>Oleh karena itu, mengidentifikasi permasalahan lokal, menyiapkan infrastruktur teknologi kesehatan, melatih para tenaga kesehatan, membuat sistem yang mudah diakses dan mengedukasi pasien merupakan langkah awal sebelum kita mengimplementasikan teknologi kesehatan digital. </p>
<p>Hal ini perlu dipertimbangkan agar teknologi yang akan diterapkan bukan semata-mata mengikuti tren, namun yang utama adalah dapat memberikan kemudahan dalam penyelesaian masalah yang kita hadapi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187538/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ivan Surya Pradipta menerima dana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi di bawah skema the Southeast Asia–Europe Joint Funding for Research and Innovation 2019 (grant #9/AMD/E1/KP.PTNBH/2020) and the Scientific and Technological Research Council of Turkey ARDEB International (JFS2017; grant #119N553) untuk riset ini.</span></em></p>Intervensi menggunakan teknologi kesehatan digital untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan TB memang menjanjikan. Namun tidak semudah itu.Ivan Surya Pradipta, Peneliti di Departemen Farmakologi & Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1762472022-03-28T04:33:00Z2022-03-28T04:33:00ZStudi di Jawa Barat: pandemi berimbas pada kesehatan mental para tenaga kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/448500/original/file-20220225-23-1o3cen2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tenaga kesehatan menyiapkan ruang isolasi COVID-19 di RSUD Indramayu, Jawa Barat, 22 Februari 2022 untuk mengantisipasi lonjakan kasus varian Omicron.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1645508106">ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/foc</a></span></figcaption></figure><p>Kasus COVID-19 yang begitu <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">banyak dalam dua tahun terakhir</a> mengakibatkan sejumlah tenaga kesehatan harus terus menerus merawat pasien COVID dengan gejala parah di rumah sakit. </p>
<p>Di fasilitas kesehatan, pasien datang dan pergi, baik karena sembuh atau tidak berhasil diselamatkan nyawanya. Sementara, tenaga kesehatan tetap bekerja di sana. </p>
<p>Riset <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8455290/pdf/prbm-14-1437.pdf">yang kami lakukan selama Mei-September 2020 dengan data dari 200 responden di Jawa Barat menunjukkan</a> bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan mental lebih rendah. Para dokter mengalami gejala gangguan stres pasca trauma atau <em>post-traumatic stress disorder</em> (PTSD) yang lebih parah. </p>
<p>Kesehatan mental yang memburuk berhubungan dengan status kesehatan dan kondisi kesehatan keseluruhan yang dirasakan para tenaga kesehatan. Level stres yang tinggi dan masalah kesehatan mental ini bisa menyebabkan berkurangnya kepuasan pada pekerjaan, penurunan kesehatan dan kualitas hidup dalam jangka panjang, dan berisiko menurunkan kualitas pelayanan. </p>
<p>Masalah ini perlu mendapat perhatian serius dari para pengelola fasilitas kesehatan, pemerintah, dan pembuat kebijakan agar keadaannya tidak terus memburuk. Apalagi, pandemi ini belum menunjukkan tanda - tanda akan selesai dalam waktu dekat. </p>
<h2>Sumber kekhawatiran</h2>
<p>Riset meneliti peran kesehatan mental dan kepuasan kerja terhadap kualitas hidup di kalangan tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 di rumah sakit rujukan. Studi dilakukan dengan survei <em>online</em>. Mayoritas dari responden adalah perawat, apoteker, dokter umum, dokter spesialis dan asisten laboratorium. </p>
<p>Ada lima hal yang menjadi kekhawatiran pekerja kesehatan yakni (1) takut penularan dan infeksi virus, (2) dampak COVID pada keluarga, (3) meninggal dan isolasi, (4) keamanan pribadi, dan (5) stigma sosial. Kehawatiran itu masuk akal karena kenyataanya ada peningkatan tekanan pekerjaan semasa pandemi. </p>
<p>Selain itu, banyak pula tenaga kesehatan yang meninggal akibat COVID. Per Oktober 2021, secara global ada <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58990866">sekitar 180 ribu tenaga kesehatan</a> meninggal dunia. Sekitar 2.000 kasus di antaranya dari Indonesia. Itu terjadi saat cakupan vaksinasi di Indonesia masih rendah. </p>
<p>Riset-riset serupa di negara lain juga menunjukkan temuan yang hampir serupa. Studi yang meninjau <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S088915912030845X?via%3Dihub">13 riset</a> dan melibatkan 33,062 responden menunjukkan kelaziman tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan depresi mencapai 23,2 persen dan 22,8 persen. Sekitar 38,9% responden dari lima riset menunjukkan mereka mengalami insomnia. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352289520300515?via%3Dihub">riset di Cina</a> juga menunjukkan insiden gejala stres pasca-trauma (PTSS) di kalangan tenaga kesehatan yang berhadapan pasien COVID mencapai 28,7%. Sedangkan pekerja kesehatan yang tidak merawat pasien COVID yang mengalami hal serupa kurang dari separuhnya, yaitu 13%. Artinya, para tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID memiliki risiko dua kali lipat lebih mengalami stres setelah trauma. </p>
<p>Studi-studi serupa <a href="https://www.mdpi.com/1660-4601/18/8/4361/htm">saat wabah SARS dan MERS</a> menunjukkan sepertiga dari tenaga kesehatan mengalami sindrom kelelahan. Ini sangat mungkin terjadi selama pandemi COVID. </p>
<p>Selain level kelelahan, ada juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0165178120307691?via%3Dihub">masalah kepuasan terkait kerja dan pekerjaan</a> yang menjadi sumber motivasi penting untuk mencegah kelelahan selama wabah. Menjaga kepuasan kerja tetap pada level tinggi di kalangan tenaga kesehatan merupakan hal penting untuk mencapai <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11356-020-08506-9">kualitas tinggi</a> dari layanan medis. </p>
<h2>Perbedaan risiko di tempat kerja</h2>
<p>Di Indonesia, studi ini merupakan riset pertama yang mengeksplorasi kesehatan mental, gejala PTSD, kepuasan kerja, dan kualitas hidup di kalangan tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19.</p>
<p>Dari riset ini, tampak bahwa status kesehatan menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan tempat kerja. Sementara, gejala PTSD berbeda pada dokter umum, dokter spesialis, perawat dan tenaga kesehatan lainnya.</p>
<p>Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan non-rujukan.</p>
<p>Tenaga kesejahatan yang bekerja secara aktif berhubungan pasen COVID mungkin terpapar <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0165032720323892">lebih banyak tekanan fisik</a> dan mental karena beban kerja yang lebih tinggi. Risiko terinfeksi COVID juga tinggi karena tenaga kesehatan berada lebih lama di rumah sakit untuk merawat pasien. </p>
<p>Dokter umum dan dokter spesialis mengalami gejala PTSD yang lebih parah dibandingkan dengan perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Pada saat wabah COVID-19, banyak tenaga kesehatan terinfeksi, yang dapat <a href="https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/2761044">meningkatkan tekanan psikologis</a> rekan-rekan mereka. </p>
<p>Selain <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140673620306449">risiko infeksi</a> tenaga kesehatan mungkin mengalami stres eksistensial dan rasa sakit kehilangan pasien dan rekan kerja. Menyaksikan rekan-rekan yang kehilangan nyawa karena pandemi bisa menjadi pengalaman yang traumatis dan dehumanisasi.</p>
<p>Dari riset ini, kami menemukan masalah kesehatan mental di antara tenaga kesehatan akan meningkatkan kemungkinan berkembangnya gejala PTSD. Lingkungan yang keras, suasana yang menyedihkan, pengalaman melihat kematian, dan tekanan beban kerja selama pandemi dapat mengancam kehidupan dan menimbulkan trauma psikologis tenaga kesehatan. Hal-hal tersebut turut <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352013216300953?via%3Dihub">meningkatkan kerentanan mereka terhadap PTSD</a>. </p>
<p>Masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi sangat berkorelasi dengan gejala PTSD pada tenaga kesehatan <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0241032">yang bekerja langsung dengan pasien COVID-19</a>. Situasi kerja mereka akan terus-menerus menempatkan mereka dalam situasi yang menantang dan penuh tekanan. </p>
<p>Melihat lonjakan jumlah pasien yang terinfeksi, kematian tanpa ampun, dan keadaan yang terisolasi lantaran COVID-19, <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/psychological-medicine/article/ptsd-as-the-second-tsunami-of-the-sarscov2-pandemic/4AE54B1B1A67988C721EF6634D064D62">kurangnya sumber daya manusia serta kendala teknis lainnya</a> berpotensi membuat PTSD di kalangan tenaga kesehatan semakin berkembang.</p>
<p>Walau merasa khawatir, para responden riset di Jawa Barat juga punya sumber kekuatan dan semangat. Di antaranya adalah religiusitas, sistem pendukung sosial yang kuat, tanggung jawab moral profesi, protokol keselamatan dan kesehatan COVID, penerimaan dan perilaku positif menuju masa depan. </p>
<p>Dukungan sosial yang diterima oleh tenaga kesehatan membuat mereka merasa lebih tenang, dimengerti, dan diperhatikan oleh orang-orang terdekatnya.</p>
<p>Hasil ini sejalan dengan <a href="https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-020-02998-y">riset sebelumnya</a> menunjukkan bahwa dukungan sosial berkorelasi negatif dengan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, kesepian, dan masalah tidur selama COVID-19.</p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Riset ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang dapat menurunkan dan meningkatkan kualitas hidup para tenaga kesehatan. Hasil ini bisa digunakan oleh para pengelola fasilitas kesehatan, pemerintah, dan pembuat kebijakan untuk membuat regulasi pengaturan kerja bagi para tenaga kesehatan. Misalnya pengaturan dan pembagian tugas serta mekanisme kerja yang lebih aman, nyaman dan proporsional. </p>
<p>Selain itu, hasil riset ini juga bisa digunakan untuk merancang penyediaan layanan psikologis untuk mengatasi masalah psikologis yang muncul akibat pandemi COVID 19, misal kecemasan, depresi, stres dan lainnya agar tidak berkembang menjadi lebih parah. </p>
<p>Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menjaga kondisi kesehatan mental, kualitas hidup, dan kualitas kerja para tenaga kesehatan. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176247/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aulia Iskandarsyah menerima dana dari COVID-19 Research Grant dari Universitas Padjadjaran untuk riset ini. </span></em></p>Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan COVID-19 memiliki status kesehatan yang lebih rendah dibanding dengan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan lainnya.Aulia Iskandarsyah, Dosen Fakultas Psikologi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1732672021-12-14T03:42:04Z2021-12-14T03:42:04ZMengapa kegagalan pengobatan tuberkulosis banyak terjadi di Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/437146/original/file-20211213-23-1t9hpoo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tenaga kesehatan melakukan rontgen thorax terhadap pasien di RSUD Kota Tangerang, Banten, 25 November 2021. Pemerintah Kota Tangerang menghadirkan layanan rontgen thorax secara gratis untuk deteksi dini tuberculosis (TB) bagi para penyandang diabetes melitus.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1637823910">ANTARA FOTO/Fauzan/YU</a></span></figcaption></figure><p>Tuberkulosis (TB/TBC), penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, masih menjadi ancaman global. Seperti virus penyebab COVID-19, kuman ini dapat disebarkan melalui udara yang berasal dari percikan ludah (<em>droplet</em>) yang terkontaminasi kuman TB. </p>
<p>Mudahnya penyebaran kuman, kompleksitas pengobatan, dan tingginya dampak yang ditimbulkan, menjadikan TB sebagai ancaman serius di banyak negara, termasuk Indonesia.</p>
<p>Data terbaru dari <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan sekitar 1,3 juta orang</a> di dunia meninggal akibat TB. Indonesia tercatat sebagai negara peringkat ketiga dengan kasus TB terbanyak di dunia, dengan jumlah kasus baru sebanyak 824 ribu dan angka kematian 93 ribu pada 2020. </p>
<p>Munculnya <a href="https://theconversation.com/riset-tuberkulosis-resistan-obat-terus-mengancam-penduduk-indonesia-mengapa-terus-berulang-132278">tipe kuman kebal obat</a> atau dikenal sebagai TB resisten obat ganda (TB-ROG) menjadi permasalahan utama dalam pengendalian TB. Pada 2020, sekitar 52 ribu pasien TB-ROG menjalani terapi di Indonesia. Namun, <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021">hanya 47% pasien yang dinyatakan sukses pengobatannya</a>. Tingginya angka kegagalan terapi TB-ROG menyebabkan potensi penyebarannya yang makin masif di Indonesia.</p>
<p>Analisis terhadap sekitar 20 ribu pasien TB di dunia, menunjukkan bahwa pasien TB yang pernah mendapatkan terapi sebelumnya <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30339803/">memiliki risiko 4-12 kali lipat terkena TB-ROG</a> jika dibandingkan dengan pasien yang belum pernah mendapatkan terapi TB sebelumnya. Studi ini menunjukkan bahwa kegagalan pengobatan awal TB merupakan salah satu faktor utama berkembangnya TB-ROG. </p>
<h2>Tiga faktor kegagalan pengobatan</h2>
<p>Studi kami yang baru-baru ini terbit <a href="https://rdcu.be/cCJPd">di <em>BMC Public Health</em> mengungkap permasalahan faktual yang dihadapi para pasien TB di Indonesia</a>. Setidaknya ada tiga permasalahan utama yang menyebabkan kegagalan terapi pasien TB: masalah sosio-demografi dan ekonomi, pengetahuan dan persepsi, dan efek pengobatan TB.</p>
<p>Studi kualitatif dengan teknik wawancara dan diskusi kelompok berhasil mendapatkan informasi dari berbagai sumber informasi, yaitu pasien TB, dokter, perawat, apoteker, aktivis TB, dan pengelola program TB.</p>
<p>Pada aspek sosio-demografi dan ekonomi, kegagalan terapi TB disebabkan beberapa hal. Seperti adanya stigma, kurangnya dukungan keluarga, dan kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan akibat biaya, jarak, dan transportasi. </p>
<p>Stigmatisasi yang melahirkan diskriminasi terhadap pasien TB muncul tidak hanya di masyarakat, tapi juga di lingkungan keluarga dan tenaga Kesehatan. </p>
<p>Pasien TB mengungkapkan pengalamannya dijauhkan dari masyarakat sekitar dan keluarganya karena menderita TB. Selain itu, keengganan tenaga kesehatan untuk memeriksa juga turut dirasakan, karena kekhawatiran tenaga kesehatan akan tertularnya penyakit tersebut. </p>
<p>Rendahnya dukungan keluarga juga disampaikan menjadi kendala dalam pengobatan.
Pada kasus di lapangan, ditemukan anggota keluarga yang justru memberikan saran untuk menghentikan pengobatan, bahkan hingga kejadian perceraian akibat pasangannya menderita TB. </p>
<p>Permasalahan semakin kompleks ketika pasien merasakan kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Hal ini karena jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan khususnya pada masyarakat yang tinggal di pinggiran kota atau pedalaman. Meski biaya obat TB telah ditanggung pemerintah, pasien TB tetap perlu merogoh kocek untuk biaya transportasi. </p>
<p>Pasien TB-ROG, misalnya, butuh waktu tempuh sekitar 3 jam untuk datang berobat di rumah sakit yang menyediakan pelayanan TB-ROG. Permasalahan makin diperparah ketika pasien TB merupakan tulang punggung ekonomi keluarga yang kehilangan pendapatan bulanannya akibat berhenti atau dikeluarkan dari pekerjaannya. Hal ini menyebabkan tingginya angka putus obat pada kelompok pasien ini. </p>
<h2>Masalah pemahaman dan persepsi</h2>
<p>Studi ini juga menunjukkan pemahaman dan persepsi masyarakat yang kurang akurat terkait TB. Pasien TB-ROG mengungkapkan pengalamannya ketika berhenti minum obat sebelum waktunya karena sudah merasa sehat. Hal itu dilakukan karena ketidaktahuannya akan dampak putus obat, yaitu munculnya kuman TB-ROG yang saat ini dialaminya. </p>
<p>Selain itu, persepsi negatif terhadap fasilitas kesehatan publik juga diungkapkan. Partisipan merasa enggan berobat ke puskesmas karena kualitas pelayanan, dokter dan obat yang dirasa belum optimal. </p>
<p>Pasien TB juga menyampaikan persepsi negatif terhadap diri sendiri. <a href="https://theconversation.com/pandemi-ancam-kesembuhan-pasien-tuberkulosis-sebuah-riset-ungkap-strategi-untuk-atasi-ini-157455">Pasien</a> tersebut merasakan vonis TB merupakan akhir dari segalanya dan menganggap penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Hal tersebut berdampak pada rendahnya motivasi untuk menjalani pengobatan.</p>
<p>Pengobatan TB aktif yang relatif lama (6-24 bulan) merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk pasien TB. Tidak hanya rasa bosan yang dirasakan, namun juga munculnya kejadian efek samping pengobatan TB yang dapat mengakibatkan kejadian putus obat. Tidak heran sebagian pasien dan keluarga pasien TB lebih memilih atau menyarankan untuk menghentikan pengobatan akibat kejadian efek samping obat yang didapat pasien TB. </p>
<p>Meski demikian, tidak semua efek samping yang muncul perlu dihentikan obatnya. Dalam kasus tertentu, rasio manfaat pengobatan lebih tinggi dibanding penghentian obat akibat efek samping obat, sehingga pengobatan TB perlu jalan terus.</p>
<h2>Strategi menyukseskan pengobatan</h2>
<p>Permasalahan stigma terhadap pasien TB perlu menjadi perhatian bersama karena dukungan terhadap pasien TB untuk memeriksakan dan menuntaskan pengobatan TB sangat diperlukan. </p>
<p>Karena itu, respons masyarakat mestinya bukan menjauhi pasien TB namun mendukung pasien TB untuk menuntaskan pengobatannya. Semangat gotong royong dan kesadaran akan ancaman TB menjadi modal sosial dalam menekan permasalahan stigma di masyarakat. </p>
<p>Selain itu, tenaga kesehatan perlu dilengkapi fasilitas, ketersediaan sumber daya manusia dan pemahaman yang mencukupi dalam menangani pasien TB. Hal tersebut dapat menghindarkan stigma pasien TB di fasilitas Kesehatan yang timbul akibat minimnya sumber daya manusia, fasilitas pelindung diri dan pemahaman dalam penanganan pasien TB.</p>
<p>Penguatan terhadap ketersediaan konselor TB di Puskesmas dan fasilitas kesehatan primer lainnya juga sangat dibutuhkan. Hal tersebut bermanfaat dalam meningkatkan pengetahuan TB dan aspek-aspek psikologi yang diperlukan pasien TB, sehingga resiliensi pasien TB dalam menuntaskan pengobatan dapat diperkuat.</p>
<p>Keterlibatan seluruh tenaga Kesehatan juga perlu dioptimalkan dalam penanganan TB, khususnya dalam pendampingan dan monitoring pengobatan TB. Pasien TB perlu diberikan akses yang luas dalam mengkomunikasikan permasalahan yang terkait dengan pengobatan, sehingga kejadian putus obat dapat dikurangi.</p>
<p>Studi di <a href="https://doi.org/10.2146/ajhp050543">Turki menunjukkan</a> keterlibatan tenaga kefarmasian dalam pelayanan langsung terhadap edukasi, pendampingan dan monitoring pasien TB dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan TB. Atas dasar tersebut, keterlibatan tenaga kefarmasian dalam pelayanan langsung TB berpotensi meningkatkan kesuksesan terapi TB. </p>
<p>Meski demikian, perlu adanya integrasi, peningkatan kapasitas, ketersedian sumber daya manusia dan petunjuk teknis terhadap keterlibatan tenaga kefarmasian dalam penanganan langsung pasien TB khususnya di fasilitas Kesehatan primer di Indonesia. </p>
<p>Hal yang tidak kalah penting lainnya, pemerintah perlu menyediakan dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota dalam penanganan TB, baik layanan jenis TB sensitif obat maupun kebal obat. Hal tersebut akan meningkatkan aksesibilitas pasien TB dalam mendapatkan pelayanan TB yang cepat dan tepat. </p>
<p>Meski pemerintah telah menggratiskan pengobatan TB, jaminan sosial perlu juga diberikan terhadap biaya non-medis, seperti transportasi untuk berobat dan hilangnya penghasilan bulanan akibat TB. Jaminan sosial tersebut perlu diprioritaskan kepada kelompok ekonomi yang rentan, antara lain masyarakat berpenghasilan rendah dan pasien TB-ROG yang mengalami kesulitan ekonomi akibat hilangnya penghasilan bulanan.</p>
<h2>Perlunya peran dan kesadaran kolektif</h2>
<p>TB dapat disembuhkan dan dikendalikan penyebarannya. Kompleksitas permasalahan pengobatan TB mendorong perlunya kerja sama lintas sektor: pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas kesehatan swasta, tenaga Kesehatan, peneliti dan masyarakat luas.</p>
<p>Langkah-langkah strategis, inovatif dan kolektif perlu dipikirkan bersama dan diorkestrasi oleh pemerintah sebagai pemimpin dalam penanganan TB. Jika tidak, target <a href="http://p2p.kemkes.go.id/5003-2/">eliminasi TB pada 2030</a> di Indonesia hanya akan sebatas jargon yang akan menghiasi buku, artikel dan laman media sosial kita. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173267/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ivan Surya Pradipta menerima dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Republik Indonesia</span></em></p>Studi di Turki menunjukkan keterlibatan tenaga kefarmasian dalam pelayanan langsung terhadap edukasi, pendampingan dan monitoring pasien TB dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan TB.Ivan Surya Pradipta, Peneliti di Departemen Farmakologi & Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1721512021-11-26T03:28:05Z2021-11-26T03:28:05ZJika diterapkan dengan baik, penutupan sekolah dan tempat kerja selama setahun pandemi di Jakarta bisa hemat hingga Rp 480 triliun<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/432565/original/file-20211118-17-oh5zze.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Warga melintas di depan mural COVID-19 di Jakarta, 2 November 2021. Pemerintah Jakarta melonggarkan pembatasan kegiatan masyarakat termasuk di sekolah dan tempat kerja.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1635839115">ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc</a></span></figcaption></figure><p>Sejak pandemi COVID-19 menghantam hampir seluruh dunia, <a href="https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance-publications">Badan Kesehatan Dunia (WHO)</a> merekomendasikan pemerintah menerapkan kebijakan menjaga jarak fisik melalui penutupan sekolah dan tempat kerja untuk mencegah penularan virus corona yang lebih luas. Kedua tempat itu merupakan pusat pertemuan banyak orang selama berjam-jam dengan berbagai aktivitas sehingga menaikkan risiko penularan.</p>
<p>Pertanyaannya: sebenarnya berapa biaya yang bisa dihemat dan kematian yang bisa dicegah dari kebijakan menutup sekolah dan tempat kerja?</p>
<p><a href="https://www.mdpi.com/2306-5729/5/4/98">Riset pemodelan kami</a>, dengan menggunakan data sekunder dan kebijakan pemerintah di provinsi Jakarta per Maret 2020, menunjukkan penutupan sekolah dan tempat kerja selama delapan minggu ketika sedang terjadi puncak gelombang pandemi diperkirakan bisa menghemat hampir US$ 34 miliar atau sekitar Rp 480 triliun dalam setahun, jika diikuti partisipasi tinggi dari masyarakat. Dalam durasi yang sama, dua kebijakan itu bisa mencegah sekitar 250 ribu kematian terkait COVID-19. </p>
<p>Dari studi ini, dalam konteks pengendalian pandemi, memperpanjang durasi penutupan sekolah dan tempat kerja akan meningkatkan penghematan dan jumlah kematian yang bisa dihindari. Walau level <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">vaksinasi di Indonesia kini makin meningkat</a>, kebijakan itu tetap relevan selama pandemi ini belum sepenuhnya bisa dikendalikan baik pada level nasional maupun global. </p>
<h2>Biaya langsung dan tidak langsung</h2>
<p>Salah satu perdebatan dalam kebijakan terkait pencegahan COVID-19 adalah apakah sebaiknya pemerintah fokus pada kesehatan, ekonomi atau kedua-duanya bisa berjalan beriringan. Praktiknya, jika pemerintah hanya fokus pada pemulihan ekonomi, angka kasus makin tinggi dan risiko kematian makin meningkat karena aktivitas ekonomi dan sosial longgar. Sebaliknya, jika pemerintah fokus pada kesehatan, dengan membatasi pergerakan orang, dampak ekonominya juga terasa. </p>
<p>Yang luput adalah perbandingan biaya pandemi dan dampak dari sebuah kebijakan, baik ada intervensi maupun tidak ada intervensi. Riset ini mengisi kekosongan studi terkait hal tersebut.</p>
<p>Secara umum ada ada dua jenis biaya terkait mitigasi pandemi COVID-19. Biaya pertama terkait langsung dengan perawatan kesehatan seperti biaya rawat jalan, perawat rumah sakit <em>non-intensive care unit</em> (non-ICU), dan perawatan di ICU. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi produktivitas yang hilang karena sakit dan kematian akibat COVID-19. </p>
<p>Riset ini memperkirakan biaya dan dampak dari strategi alternatif (penutupan sekolah dan tempat kerja) untuk mitigasi COVID-19 di Jakarta. Kami membandingkan <em>baseline</em> atau keadaan tanpa intervensi apa pun dengan adanya intervensi berupa penutupan total sekolah dan tempat kerja pada skenario selama 2, 4 dan 8 minggu. Dari penutupan beberapa minggu itu kemudian diproyeksikan biayanya dan kematian yang bisa dicegah dalam setahun.</p>
<p>Untuk memperkirakan total biaya pandemi dari semua skenario, kami memperhitungkan biaya perawatan kesehatan, biaya penutupan sekolah, dan produktivitas yang hilang karena penutupan tempat kerja dan sakit. Selain biaya, kematian yang dihindari dianggap sebagai ukuran dampak dari kebijakan. </p>
<p>Parameter yang digunakan untuk menghitung di antaranya upah per hari, periode infeksi, angka reproduksi penularan virus, masa inkubasi virus, tingkat kematian, ongkos perawatan, produktivitas yang hilang saat dirawat dan parameter lain yang relevan. Sejumlah parameter ini mempengaruhi jumlah biaya pandemi dan kematian yang bisa dihindari. </p>
<p>Untuk <em>baseline</em>, biaya rawat jalan per hari adalah US$ 24,2, lalu perawatan di rumah sakit US$ 162,11 per hari dan perawatan di ICU US$ 219,15. Angka ini merujuk pada ongkos serupa pada <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article/view/36111">perawatan pasien tuberkulosis paru</a> di Indonesia.</p>
<p>Pada level <em>baseline</em> atau tanpa penutupan sekolah dan tempat kerja, peneliti berasumsi bahwa wabah ini akan bertambah kasusnya dan kemudian menurun kasusnya secara alamiah setelah semua orang rentan terserang penyakit ini. Angka populasi sekitar <a href="https://jakarta.bps.go.id/dynamictable/2019/09/16/58/jumlah-penduduk-provinsi-dki-jakarta-menurut-kelompok-umur-dan-jenis-kelamin-2018-.html">10,5 juta penduduk Jakarta</a> digunakan untuk mensimulasi dampak dari serangan penyakit ini pada saat sekolah dan tempat kerja ditutup selama 2, 4, dan 8 minggu. </p>
<h2>Penghematan biaya dan kematian lebih sedikit</h2>
<p>Tanpa ada intervensi apa pun, kami memperkirakan jumlah pasien yang dirawat jalan hampir 600 ribu orang, dirawat di rumah sakit sekitar 165 ribu, dirawat di ICU sekitar 335 ribu dan kematian sekitar 328 ribu, selama setahun. </p>
<p>Dengan intervensi penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu, angka pasien rawat jalan sekitar 64 ribu, perawatan di rumah sakit hampir 20 ribu, masuk ICU hampir 42 ribu dan kematian hampir 78 ribu.</p>
<iframe title="Penutupan sekolah dan tempat kerja 8 minggu lebih hemat " aria-label="Split Bars" id="datawrapper-chart-0Qnqv" src="https://datawrapper.dwcdn.net/0Qnqv/3/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="321"></iframe>
<iframe title="Penutupan sekolah dan tempat kerja 8 minggu bisa mencegah kematian lebih banyak" aria-label="Bar Chart" id="datawrapper-chart-POpn3" src="https://datawrapper.dwcdn.net/POpn3/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="241"></iframe>
<p>Sementara itu, dari total biaya mitigasi yang diperlukan terdapat perbedaan signifikan antara ada intervensi penutupan sekolah-tempat kerja dan tanpa intervensi. Tanpa ada intervensi, biaya perawatan mencapai US$ 1,7 miliar dan produktivitas yang hilang sekitar US$ 48 miliar, sehingga totalnya mencapai hampir US$ 50 miliar.</p>
<p>Sebaliknya, saat ada intervensi penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu, total biaya mitigasi pandemi mencapai US$ 16 miliar, selisih hampir 32% dibanding tanpa intervensi. Rinciannya biaya perawatan kesehatan sekitar US$ 210 juta (seperdelapan dari tanpa intervensi), ongkos penutupan sekolah US$ 83 juta, produktivitas yang hilang akibat penutupan tempat kerja US$ 4,4 miliar dan produktivitas yang hilang karena COVID-19 US$ 11 miliar (sekitar seperempat dari tanpa invervensi). Kabar baiknya lainnya, intervensi ini bisa mencegah kematian 250 ribu kasus. </p>
<p>Saat diproyeksikan setahun, penutupan sekolah dan tempat kerja selama 8 minggu berpotensi menurunkan jumlah perawatan pasien di rumah sakit 88% dan kematian 76%. Hasil riset ini senada dengan riset sebelumnya di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22312137/">Kanada</a> bahwa penutupan sekolah dapat menurunkan jumlah kasus pandemi influensa antara 28-52%. Di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18401408/">Prancis</a>, liburan sekolah rutin mampu mencegah 16-18% kasus flu musiman. Hal serupa juga bisa terjadi di <a href="https://journals.plos.org/ploscompbiol/article?id=10.1371/journal.pcbi.1002425">Inggris</a>. </p>
<h2>Kebijakan yang terukur</h2>
<p>Dari riset ini bisa kita ketahui bahwa intervensi non-farmakologi dapat dipertimbangkan oleh pengambil keputusan untuk mengurangi risiko pandemi dari perspektif ekonomi, apalagi saat vaksinasi belum mencapai target minimal dan obatnya masih dalam tahap riset.</p>
<p>Walau kasus harian COVID <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">di Indonesia saat ini relatif rendah</a>, risiko penularan tetap tinggi karena masih <a href="https://vaksin.kemkes.go.id/#/vaccines">ada 35%</a> dari target vaksinasi yang belum menerima vaksin satu dosis pun. Dengan demikian, penutupan tempat kerja dan sekolah tetap relevan diambil dalam skala provinsi, kabupaten atau skala sekolah jika memang ditemukan cukup bukti level penularan virus cukup tinggi. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172151/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Auliya A. Suwantika tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dari riset ini bisa kita ketahui bahwa intervensi non-farmakologi dapat dipertimbangkan oleh pengambil keputusan untuk mengurangi risiko pandemi dari perspektif ekonomi.Auliya A. Suwantika, Lecturer, Faculty of Pharmacy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1637262021-10-12T09:52:50Z2021-10-12T09:52:50ZFaktor DNA juga mempengaruhi tingkat stres kita, bukan cuma akibat beban kerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/425888/original/file-20211012-13-3pzoe3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">DNA juga mempengaruhi daya tahan individu menghadapi tekanan sehari-hari. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-in-front-of-macbook-313690/">Photo by energepic.com from Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Di sebuah kelas, dosen memberikan tugas, praktikum, dan ujian yang sama untuk semua mahasiswa. Walau bebannya tidak berbeda dan kelihatannya standar pada kegiatan perkuliahan, rupanya level stres yang dialami para mahasiswa berbeda-beda. Apa penyebabnya?</p>
<p>Riset eksperimental <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5735991/">saya di Bandung menunjukkan</a> bahwa faktor genetik merupakan salah satu elemen yang mempengaruhi kemampuan seseorang mengelola stres saat menghadapi tekanan sehari-hari.</p>
<p>Dengan penelusuran varian genotipe dari DNA methyltransferase 3A (DNMT3A) atau enzim yang terlibat dalam proses <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/DNA_methylation">metilasi DNA</a> – varian gen yang mengatur respons terhadap rangsangan stres– pada 129 subjek sehat, riset ini menunjukkan ada hubungan DNA dan stres kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Ke depannya, riset model skrining ini dapat dipakai untuk menganalisis dan membantu orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental yang dirasa berkepanjangan. Sampai sejauh ini, riset ini merupakan yang pertama dari topik korelasi antara variasi genotipe dan tekanan psikologis di Indonesia.</p>
<h2>Ini riset pendahuluan</h2>
<p>Riset <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/InfoDatin-Kesehatan-Jiwa.pdf">Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan</a> menunjukkan gangguan depresi, salah satu jenis gangguan jiwa, dapat dialami oleh semua kelompok usia. Pada rentang kelompok usia 14-24 tahun, menurut riset tersebut, gangguan depresi terjadi pada 6,2% dari populasi tersebut. Semakin tua, gangguan depresi meningkat, pada kelompok usia 75 tahun ke atas mencapai 8,9%, usia 65-75 sebesar 8%, dan usia 55-64 sebesar 6,5%. </p>
<p>Riset saya menjadi relevan karena tingginya angka gangguan jiwa di Indonesia. Riset pertama ini merupakan riset eksperimental dengan melibatkan 129 subjek sehat di Bandung pada 2017. Mereka berusia di atas 18 tahun, tanpa riwayat gangguan jiwa, tidak sedang dalam pengobatan antipsikotik atau antidepresan, dan tidak sedang menjalani terapi psikologis. </p>
<p>Peneliti mengambil sampel darah subjek dan menguji sampel tersebut dengan tes PCR untuk melihat pola gen. Dari data itu, peneliti mendapatkan informasi distribusi subjek dengan genotipe CC (normal) sebesar 13,95%, CT (heteromutan) 81,4%, dan TT (homomutan) 4,65%. Variasi genetik berpengaruh nyata terhadap kondisi stres kehidupan sehari-hari pada subjek sehat Indonesia. Karakteristik sebagian besar subjek dengan genotipe CT dan TT diklasifikasikan dalam kondisi stres.</p>
<p>Untuk mencari hubungan varian genetik DNMT3A dan stres kehidupan sehari-hari peneliti menggunakan <a href="https://www.tac.vic.gov.au/files-to-move/media/upload/k10_english.pdf">Skala Distress Psikologis Kessler (K10)</a>. Skala ini sudah dikenal sebagai kuesioner untuk menentukan tingkat stres kehidupan sehari-hari dan biasanya digunakan dalam survei kesehatan tujuan umum. Semua peserta mengisi kuesioner yang memuat 10 pertanyaan.</p>
<p>Frekuensi dalam kuesioner K10 digambarkan dalam 5 poin dengan tanggapan: 1) sangat sering, 2) sering, 3) kadang-kadang, 4) pernah, dan 5) tidak pernah terjadi. Tanggapan ini diberi skor 4-0 dan dijumlahkan untuk menghasilkan rentang skor 0-40. Skor di bawah 20 menunjukkan tidak stres, 20-24 sebagai stres ringan, 25-29 sebagai stres sedang, dan 30 sebagai stres berat.</p>
<p>Berdasarkan kuesioner ini diketahui bahwa sebagian besar subjek (74,4%) kondisinya stres (ringan, sedang, dan berat). Hasil riset ini berbeda dengan penelitian serupa di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24967710/">Belanda</a> yang menunjukkan bahwa pembawa sifat serupa kurang terpengaruh oleh peristiwa stres sehari-hari.</p>
<p>Kejadian gangguan jiwa meningkat pada usia semakin tua berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, namun dalam penelitian ini subjek adalah usia 18 tahun dengan kejadian stres yang cukup tinggi (74%).</p>
<p>Respons terhadap rangsangan stres dapat dipengaruhi oleh pengaruh lingkungan, <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24967710/">kecenderungan genetik</a>, dan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23744967/">mekanisme epigenetik</a>. Epigenetik adalah studi yang mempelajari perubahan karakter individu yang disebabkan adanya modifikasi selain perubahan genetik, misalnya modifikasi molekul asam nukleat, protein histon yang mengemas DNA, sehingga hal itu dapat memengaruhi jumlah protein yang dihasilkan. </p>
<p>Mekanisme epigenetik mengatur ekspresi beberapa gen yang terlibat di dalam <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15220929/">struktur dan fungsional perubahan di otak</a>.</p>
<p>Tingkat <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11735842/">reaktivitas emosional</a> terhadap stres kehidupan sehari-hari bergantung pada individu. Tingkat reaktivitas emosional yang lebih tinggi menunjukkan gejala <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12534438/">gangguan psikologis</a>. </p>
<p>Meski data riset ini berasal dari populasi yang masih sedikit, namun sudah terlihat bahwa kejadian variasi genetik cukup signifikan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stres. Dengan demikian, laporan kejadian gangguan jiwa di Indonesia yang cukup tinggi memang berbasis kejadian variasi genetik.</p>
<h2>Manfaat praktis</h2>
<p>Riset seperti ini bisa dipakai untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. Maksudnya, jika secara genetik seseorang tahu bahwa dia memiliki daya tahan kejiwaan yang tidak begitu kuat, dia bisa mengukur beban pekerjaan yang masih mampu diselesaikan dalam waktu tertentu. </p>
<p>Jika merasa berat dengan sebuah tugas, dia bisa memecah tugas itu menjadi bagian yang lebih kecil-kecil atau lebih sedikit dan menambah waktu penyelesaian. </p>
<p>Saran dari hasil penelitian ini untuk riset yang akan datang adalah menambahkan pasien dengan gangguan psikologis sebagai pembanding dengan subjek sehat. Hal ini juga untuk mengkonfirmasi keterlibatan variasi gen DNMT3A dalam kerentanan stres kehidupan sehari-hari. </p>
<p>Pengetahuan variasi genetik secara individual dapat meningkatkan kesadaran seseorang terhadap pemicu yang dapat menambah stres. Tidak hanya beban pekerjaan, tapi juga pemicu lainnya seperti masalah keluarga. Dengan mengetahui kemampuan diri untuk menghadapi pemicu stres dalam kehidupan sehari-hari, maka hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup kita.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id/">Pusat Keunggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/163726/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Melisa I. Barliana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pasien dengan gangguan psikologis harus dimasukkan sebagai pembanding dengan subyek sehat dalam riset baru. Ini untuk mengkonfirmasi keterlibatan variasi DNMT3A dalam kerentanan stres sehari-hari.Melisa I. Barliana, Dosen Fakultas Farmasi, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1656682021-08-10T05:39:19Z2021-08-10T05:39:19ZRiset di Bandung: lebih dari 80% pasien tidak habiskan obat dan membuangnya ke tempat sampah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/414994/original/file-20210806-23-cgscso.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/close-up-photo-of-assorted-tablets-3873149/">Photo by Polina Tankilevitch from Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Pembuangan obat-obatan yang sudah kedaluwarsa atau tidak terpakai secara sembarangan dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. </p>
<p>Berbeda dengan di negara maju seperti di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19013646/">Swedia</a> dan <a href="https://returnmed.com.au/pharmacists/">Australia</a> yang telah lama memiliki sistem pengembalian obat bekas ke apotek, obat-obatan kedaluwarsa di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kerap kali dibuang langsung ke tempat sampah rumah tangga dan berujung di tempat pembuangan akhir sampah.</p>
<p>Riset <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32760838/">terbaru kami di Bandung, dengan 497 responden, menunjukkan hampir seluruh responden (95%)</a> mempunyai setidaknya satu obat yang tidak terpakai di rumah mereka. Obat-obatan antiinflamasi, vitamin dan suplemen nutrisi, dan antibiotik merupakan jenis yang umum mereka simpan setelah tak digunakan. Mereka umumnya (82%) membuang obat-obat bekas itu di tempat sampah rumah tangga.</p>
<p>Masalah obat bekas ini menjadi serius, karena <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fphar.2021.630434/full">riset kami juga menunjukkan lebih dari separuh (53,1%) responden tidak mengetahui</a> bahwa pembuangan obat yang tidak tepat dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan penduduk. Hal ini terjadi, tampaknya, karena sebagian besar responden (79,5%) belum pernah mendapatkan informasi tentang praktik pembuangan obat yang benar.</p>
<h2>Buang sembarangan dan dampaknya</h2>
<p>Riset terkait manajemen obat bekas atau tak terpakai masih jarang di Indonesia. Karena itu, riset ini merupakan awalan untuk membuka riset lebih luas tentang praktik pembuangan obat-obatan yang tidak terpakai dan kedaluwarsa di kalangan konsumen Indonesia.</p>
<p>Secara global, penggunaan produk farmasi memang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5201063/">meningkat</a>, walau riset menunjukkan sebagian besar obat itu <a href="https://www.researchgate.net/profile/Adeladlew-Netere/publication/347710871_Unused_Medications_Disposal_Practice/links/5fe34c4992851c13feb1fe2e/Unused-Medications-Disposal-Practice.pdf">akhirnya tidak dipakai</a> atau kedaluwarsa.</p>
<p>Peresepan dari dokter yang berlebihan, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1566206/">rendahnya kepatuhan pasien minum obat</a>, perubahan jenis obat dan takaran terapi menyebabkan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16330351/">obat berlebih dan menjadi tidak terpakai</a> dan berakhir di tempat sampah.</p>
<p>Dalam riset ini, kami menemukan sebagian besar responden (sekitar 82%) tidak menghabiskan obat karena kesehatannya membaik, obatnya kedaluwarsa (6,2%) dan resep yang berubah (5%).</p>
<p>Kabar baiknya, mayoritas responden, hampir 78 persen, mengecek tanggal kedaluwarsa obat sebelum membelinya. Artinya mereka menyadari pentingnya keamanan obat dari sisi masa pakai. </p>
<p>Membuang obat di tempat sampah secara langsung bukan monopoli orang Indonesia. Di negara maju seperti <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21168869/">Amerika Serikat, sebuah riset menyatakan kurang dari 1% orang</a> mengembalikan obat tak terpakai di apotik. Di sana, lebih <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17090787/">dari 50% pasien</a> membuang obat ke toilet.</p>
<p>Sejumlah riset di negara berkembang seperti <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26677797/">Cina</a>, <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.1043.7316&rep=rep1&type=pdf">India</a>, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2254398/">Bangladesh</a>, dan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22081380/">Ghana</a> juga berkesimpulan bahwa metode paling umum membuang obat yang tak terpakai adalah membuangnya ke tempat sampah rumah tangga.</p>
<p>Di Indonesia juga sama saja, setidaknya dalam riset ini, tempat sampah rumah tangga merupakan tempat paling umum (82%) untuk melepas obat kedaluwarsa, disusul toilet atau wastafel (5%).</p>
<p>Pembuangan seperti itu akan mencemari lingkungan dan air di sepanjang jalur pembuangan, walau di Indonesia masih minim riset terkait topik ini. </p>
<p><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30029118/">Riset di Vietnam </a> membuktikan bahwa antibiotik yang terkumpul dalam sistem perairan meningkatkan resistensi antibiotik dan meningkatkan kemampuan bakteri dalam menimbulkan penyakit. Pembuangan etinil estradiol, senyawa dalam pil kontrasepsi, menyebabkan gangguan sistem hormon reproduksi pada <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1874167/">populasi kecoak</a>. </p>
<p>Jejak kontaminasi dari obat juga terdeteksi di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/15262161/">fasilitas pengelohan air minum konvensional</a> di Amerika. </p>
<p>Adapun penyimpanan obat-obatan sembarangan di rumah dapat memberi peluang <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16545327/">penyalahgunaan obat dan keracunan yang tidak disengaja</a>, terutama pada anak-anak di bawah lima tahun. </p>
<p>Jika obat kedaluwarsa dan rusak tidak dimusnahkan dengan benar, obat-obat bisa dipakai sebagai <a href="https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo-buang-sampah-obat">campuran jamu, bahan baku baku obat palsu atau tanggal kedaluwarsa diganti dan obat dijual lagi</a> oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat.</p>
<h2>Kebijakan, edukasi dan kampanye</h2>
<p>Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), apotek dan tenaga kesehatan harus meningkatkan kampanye terkait tata cara yang benar mengelola obat bekas agar tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan. Apotek dan fasilitas kesehatan punya peran penting dalam mengarahkan masyarakat mengelola obat-obat bekas dengan aman dan benar. </p>
<p>Karena rendahnya paparan informasi tentang praktik pembuangan obat yang benar di masyarakat, pendidikan atau kampanye tenang bahaya obat yang dibuang sembarangan menjadi penting, menurut mayoritas (96%) responden. </p>
<p>Kurangnya kesadaran akan dampak dari membuang obat secara tidak benar merupakan faktor penyebab yang signifikan dari praktik membuang obat secara sembarangan.</p>
<p>Dalam riset ini terungkap juga bahwa responden yang kurang sadar bahaya buang obat sembarangan cenderung membuang obat yang tidak terpakai ke tempat sampah atau membaginya dengan teman atau kerabat. Padahal, membagikan obat keras tanpa resep dari dokter sangat tidak dianjurkan karena bisa membahayakan tubuh.</p>
<p>Sebenarnya, <a href="https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo-buang-sampah-obat">BPOM telah memiliki kebijakan dan petunjuk cara mengelola obat-obatan</a> kedaluwarsa atau rusak agar tidak melahirkan dampak buruk bagi kesehatan penduduk dan lingkungan. BPOM juga telah <a href="https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo-buang-sampah-obat">mengumumkan 1.000 apotek</a> di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara yang bisa menjadi tempat pengembalian obat bekas. Kita bisa menyerahkan kembali obat kedaluwarsa dan rusak itu ke apotek-apotek tersebut. </p>
<p>Secara teknis, BPOM memberikan <a href="https://www.pom.go.id/new/view/direct/ayo-buang-sampah-obat">panduan cara tepat membuang obat kedaluwarsa dan rusak</a>. Pertama, pisahkan obat-obatan yang kedaluwarsa dan rusak dari obat yang masih baik. Kedua, hilangkan label dari wadah obat. Rusaklah wadah obat jika memungkinkan. Ketiga, keluarkan obat dari kemasan, lalu rusak dan campur obat dengan bahan lain seperti ampas kopi, tanah atau sampah rumah tangga lainnya.</p>
<p>Lalu, untuk antibiotik, jangan membuangnya di saluran air atau tanah yang dekat dengan sumber air. Ini untuk menghindari pencemaran dan resistensi antibiotik. Kita perlu memastikan bahwa bentuk obat telah berubah dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. </p>
<p>Jika cara itu kita lakukan, kita telah ikut mengurangi dampak buruk dari pembuangan obat kedaluwarsa dan rusak. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id/">Pusat Keunggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165668/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sofa D. Alfian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam riset ini terungkap juga bahwa responden yang kurang sadar bahaya buang obat sembarangan cenderung membuang obat yang tidak terpakai ke tempat sampah atau membaginya dengan teman atau kerabat.Sofa D. Alfian, Lecturer, Department of Pharmacology and Clinical Pharmacy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1567682021-06-24T01:32:05Z2021-06-24T01:32:05ZBeda orang, beda strategi: intervensi spesifik pada pasien diabetes bisa tingkatkan kepatuhan minum obat antihipertensi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/389782/original/file-20210316-19-1cfmd52.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/person-holding-black-tube-1001897/">Photo by PhotoMIX Company from Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Hampir <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2020/11/05/100200923/naik-6-2-persen-selama-pandemi-pasien-diabetes-indonesia-peringkat-7-di?page=all">11 juta orang Indonesia menderita diabetes</a>. Trennya cenderung meningkat tiap tahun karena makin besarnya <a href="http://www.p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-diabetes-melitus/page/16/faktor-gaya-hidup-tidak-sehat-yang-menjadi-pemicu-diabetes-tipe-2">pengaruh gaya hidup yang tidak sehat</a> di masyarakat. </p>
<p>Pasien dengan diabetes biasanya disertai dengan beberapa penyakit penyerta seperti hipertensi. Akan tetapi, kepatuhan minum obat antihipertensi di kalangan pasien dengan diabetes cukup rendah. </p>
<p>Riset <a href="https://bpspubs.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/bcp.14610">terbaru kami di Bandung</a> menunjukkan konseling yang dilakukan oleh apoteker yang menyesuaikan masalah individual pasien (<em>tailored intervention</em>) berhasil meningkatkan level kepatuhan pasien diabetes terhadap obat antihipertensi. </p>
<p>Cara ini lebih realistis diterapkan di Indonesia dan negara berkembang karena tidak memerlukan biaya yang mahal dan tidak perlu mengubah sistem kesehatan secara signfikan.</p>
<h2>Pentingnya kepatuhan minum obat</h2>
<p>Dalam riset-riset sejenis <a href="https://doi.org/10.18553/jmcp.2016.22.1.63">baik di negara berkembang maupun negara maju</a>, pasien diabetes memiliki masalah kepatuhan terkait pengobatan penyakit penyerta seperti hipertensi. </p>
<p>Misalnya, mereka lupa minum obat, kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan
mereka, kurang motivasi dalam minum obat, dan masalah teknis lainnya seperti kesulitan pergi ke layanan kesehatan atau sulit mengunyah obat. </p>
<p>Untuk jenis masalah yang beragam itu, umumnya apoteker dan petugas kesehatan menggunakan cara intervensi yang sama seperti pengiriman pesan melalui SMS secara massal untuk mengingatkan pasien atau dengan memberi konseling yang sama (<em>one-size-fits-all counselling</em>) tanpa menggali penyebab ketidakpatuhan pada pasien. </p>
<p>Dalam riset ini, kami menggunakan model intervensi yang berbeda. Apoteker yang kami ajak dalam riset ini juga melakukan skrining mengenai masalah ketidakpatuhan setiap pasien, dan memberikan cara penyelesaian yang spesifik untuk setiap masalah yang teridentifikasi.</p>
<p>Riset ini awalnya melibatkan 201 pasien diabetes dengan hipertensi pada bulan pertama. Apoteker memberikan layanan intervensi per pasien pada bulan pertama. Sampai riset selesai pada bulan ketiga, terdapat 56 pasien pada kelompok kontrol dan 57 orang pada kelompok intervensi.</p>
<p>Pasien yang diacak dalam kelompok intervensi diberikan tindakan yang berbeda-beda, disesuaikan dengan hambatan kepatuhan mereka. Apoteker yang kami ajak dalam riset ini berperan bukan hanya memberikan obat dan memberikan panduan pengobatan secara umum tapi juga mendeteksi masalah yang spesifik dan memberikan solusi. </p>
<p>Misalnya, apabila pasien lupa minum obat, maka apoteker akan menganjurkan pasien untuk menggunakan alarm. Apabila pasien teridentifikasi dengan kurang pengetahuan mengapa dan bagaimana cara minum obat antihipertensi, maka apoteker akan memberikan informasi mengenai bagaimana dan mengapa pasien harus minum obat hipertensi.</p>
<p>Riset ini menunjukkan sekitar 42% di antara pasien lupa minum obat antihipertensi dan 18% pasien memiliki pengetahuan yang kurang. Kurang motivasi dan masalah teknis lainnya bukan merupakan hambatan yang umum dijumpai. </p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia, lupa minum obat dan kurangnya pengetahuan tentang hipertensi merupakan penghalang yang signifikan terhadap kepatuhan mengonsumsi obat antihipertensi pada pasien diabetes tipe 2. </p>
<p>Hal ini harus menjadi perhatian karena rendahnya kepatuhan minum obat akan berdampak langsung pada pasien. Mereka berisiko terkena komplikasi yang dapat berujung pada kematian. </p>
<h2>Ajak pasien menentukan tujuan</h2>
<p>Sejumlah penelitian <a href="https://doi.org/10.4236/ojepi.2017.73018">sebelumnya menunjukkan</a> bahwa kepatuhan minum obat antihipertensi kurang optimal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. </p>
<p>Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pengetahuan mengenai efek kepatuhan minum obat terhadap pengobatan.</p>
<p>Banyak intervensi yang telah dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan ini di negara-negara <a href="https://doi.org/10.1002/14651858.CD000011.pub4">berpenghasilan tinggi</a> seperti melakukan edukasi berkelanjutan pada pasien, manajemen dalam regimen pengobatan, konsultasi apoteker klinis, terapi perilaku kognitif, dan pengingat minum obat. </p>
<p>Namun sebagian besar intervensi tersebut terlalu rumit dan efektivitasnya pun terbatas. Hal ini mencerminkan bahwa banyak intervensi yang tidak didasarkan pada pendekatan terhadap hambatan kepatuhan setiap individu. </p>
<p>Dalam riset ini, kami menggunakan strategi yang tidak memerlukan biaya mahal dengan melibatkan apoteker yang bertugas di puskesmas. Kami merancang model intervensi kepatuhan pengobatan sesuai dengan setiap hambatan yang dihadapi pasien yang tidak patuh. Untuk tujuan ini, apoteker menerima 3 jam pelatihan dari kolega mereka yang senior. </p>
<p>Pada tahap pertama, peneliti mengidentifikasi kepatuhan pribadi pasien dan menyesuaikan strategi dengan hambatan tersebut. Lalu, peneliti melibatkan pasien dalam penetapan tujuan dan menulis tujuan yang telah disepakati di atas brosur khusus setiap pasien.</p>
<p>Pasien di kelompok kontrol menerima penyuluhan apoteker berdasarkan <a href="https://pafi.or.id/media/upload/20210115045710_2.pdf">pedoman pelayanan kefarmasian</a> di puskesmas. Pada setiap kunjungan, mereka mendapatkan informasi tentang jumlah dan dosis obat yang dibagikan. Juga informasi kapan dan bagaimana menggunakan dan menyimpan obat, efek samping dan cara mengatasinya, pentingnya kepatuhan pengobatan, dan memastikan apakah pasien memahami cara minum obat dengan benar.</p>
<p>Dari riset ini temuannya cukup menarik bahwa menyertakan intervensi sederhana seperti ini dalam konseling rutin yang dilakukan oleh apoteker dapat meningkatkan kepatuhan pasien. </p>
<p>Seperti <a href="https://doi.org/10.1016/j.sapharm.2009.01.004">laporan riset sebelumnya</a> meningkatkan pengetahuan pasien tentang hipertensi dan pengobatannya dapat menurunkan kesalahpahaman tentang manfaat dan risiko pengobatan. Hal ini mengarah pada perubahan positif dalam keyakinan pasien tentang obat antihipertensi. </p>
<h2>Biaya murah</h2>
<p>Untuk meningkatkan potensi dampaknya, program intervensi yang melibatkan apoteker ini menggunakan diagnosis ketidakpatuhan dan tindakan intervensi menyesuaikan dengan masalah kepatuhan per pasien.</p>
<p>Intervensi tersebut juga sejalan dengan alur kerja dan sumber daya dalam praktik klinis sehari-hari di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Secara biaya, intervensi ini tidak memerlukan perubahan logistik yang banyak pada sistem perawatan saat ini. </p>
<p>Temuan riset ini menggembirakan, karena ketidakpatuhan dapat diminimalkan dengan intervensi yang relatif sederhana dan berbiaya rendah.</p>
<p>Kita perlu studi lanjutan yang lebih lama yang berfokus pada bagaimana kepatuhan dan keyakinan pasien tentang obat antihipertensi mereka berubah dari waktu ke waktu.</p>
<p>Jadi, untuk meningkatkan kepatuhan berobat pasien diabetes terhadap obat antihipertensi ini langkah sederhananya: dorong pasien untuk menyertakan rutinitas minum obat ke dalam aktivitas sehari-hari mereka, tetapkan rencana tindakan dengan tujuan yang disepakati atau melibatkan anggota keluarga. </p>
<p>Jika itu dilakukan terus menerus, maka minum obat menjadi kebiasan yang mudah dilakukan. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id/">Pusat Keunggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156768/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sofa D. Alfian menerima dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk riset ini pada 2015.
</span></em></p>Kita perlu studi lanjutan yang lebih lama yang berfokus pada bagaimana kepatuhan dan keyakinan pasien tentang obat antihipertensi mereka berubah dari waktu ke waktu.Sofa D. Alfian, Lecturer, Department of Pharmacology and Clinical Pharmacy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1577702021-05-07T07:47:57Z2021-05-07T07:47:57ZIndonesia bisa hemat hingga Rp 1 triliun jika vaksinasi PCV pakai kemasan multi-dosis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/397520/original/file-20210428-23-1e0wspg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=23%2C0%2C3972%2C2666&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang murid menerima vaksin di sekolahnya di Banda Sakti di SDN1 Lhokseumawe, Aceh.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Rahmad/ama.</span></span></figcaption></figure><p>Meski hampir <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm#B2-vaccines-08-00233">300.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap tahun</a> karena penyakit yang disebabkan oleh bakteri pneumokokus, seperti meningitis, bronkitis, pneumonia, dan sinusitis, pemerintah Indonesia belum juga memasukkan vaksin yang mencegah infeksi bakteri pneumokokus yang disebut PCV (<em>Pneumococcus Conjugated Vaccine</em>) ke dalam program imunisasi rutin nasional. </p>
<p>Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengakui bahwa <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm#B34-vaccines-08-00233">PCV adalah salah satu vaksin yang paling mahal</a>. Hal tersebut yang menjadi alasan utama pemerintah belum memasukkan ke dalam program imunisasi nasional. Sementara pemberian vaksin harus diulang pada usia 2, 3, dan 12 bulan.</p>
<p>Untuk mengatasi hal ini, <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm">riset</a> kami merekomendasikan pemberian PCV dalam kemasan multi-dosis yang terbukti lebih ekonomis ketimbang dosis tunggal. </p>
<p>Indonesia saat ini memberikan PCV hanya dalam dosis tunggal. Pemberian multi-dosis rencananya akan dimulai pada 2024 ketika PCV ditargetkan masuk ke dalam program imunisasi nasional. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm">riset kami</a> menghitung bahwa pemerintah bisa menghemat hingga US$70 juta atau sekitar Rp 1 triliun dengan pemberian vaksin dalam kemasan multi-dosis pada program pemberian PCV di Indonesia selama periode 2019-2024. </p>
<p>Dengan penghematan ini, pemerintah bisa menggalakkan pemberian PCV dan memasukkannya dalam program vaksin nasional lebih awal.</p>
<h2>Multi-dosis lebih ekonomis</h2>
<p>Dari studi di beberapa negara di Asia sejak 2009 hingga 2020, kami menghitung elemen biaya vaksinasi PCV dan menemukan bahwa pemberian vaksin PCV kemasan multi-dosis lebih murah dibandingkan dengan dosis tunggal.</p>
<p>Harga PCV di seluruh dunia sangat bervariasi, dari US$3,30 (sekitar Rp 50.000) hingga US$159 per dosis.</p>
<p>Vaksin PCV ada yang dalam bentuk dosis tunggal dan ada yang multi-dosis atau beberapa dosis dalam satu tabung. </p>
<p>Di Indonesia, harga vaksin PCV13 (dosis tunggal) dengan mekanisme pembelian melalui kontrak antara Kementerian Kesehatan dengan produsen vaksin berkisar sekitar Rp 250.000 per dosis. Harga tersebut menjadi jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar bebas yang bisa mencapai Rp 750.000. </p>
<p>Pembelian melalui kontrak antara Kementerian Kesehatan dan produsen vaksin ini diinisiasi pada 2017. </p>
<p>Namun sejak 2021, Indonesia berhak mendapatkan PCV melalui mekanisme <em>advanced market commitment</em> (AMC) yaitu pembelian yang melibatkan UNICEF sebagai operator untuk pendistribusian vaksin dari GAVI. GAVI merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk memastikan distribusi vaksin menjangkau negara-negara yang kurang mampu.</p>
<p>Melalui mekanisme ini, harga vaksin PCV13 (dosis tunggal) berkisar sekitar Rp 47.850 per dosis. Sedangkan vaksin yang sama dalam sediaan multi-dosis melalui mekanisme GAVI harganya hanya US$2,9 (sekitar Rp 39.150). Ada tiga jenis vaksin PCV multi-dosis yang harganya bervariasi, mulai dari US$ 2 hingga US$3,05. </p>
<p>Saat ini, ada lima produk PCV yang dapat diperoleh negara-negara yang difasilitasi oleh GAVI melalui UNICEF Supply Division (SD) pada 2020, termasuk Indonesia. Vaksin ini adalah PCV13 dosis tunggal (satu dosis/tabung) dan multi-dosis (empat dosis/tabung), PCV10 produk A multi-dosis (empat dosis/tabung), PCV10 produk B dosis tunggal (satu dosis/tabung) dan multi-dosis (lima dosis/tabung).</p>
<p>Harga PCV dalam multi-dosis lebih murah daripada dosis tunggal karena produsen dapat menghemat biaya pengemasan dan distribusi.</p>
<p>Dari segi efektivitas, PCV10 dan PCV13 menunjukkan dampak dan efektivitas yang sebanding secara keseluruhan. <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm#B14-vaccines-08-00233">Kedua jenis vaksin ini memiliki profil keamanan yang baik dan tidak menimbulkan efek samping yang serius </a></p>
<p>Hasil riset kami menunjukkan bahwa pengalihan penggunaan PCV dari dosis tunggal ke multi-dosis akan berpotensi menghemat sekitar US$0,4 sampai US$ 1,5 untuk satu kali pemberian. Jika dihitung total, maka penghematan yang diraih bisa mencapai US$70 juta dari 2019 hingga 2024.</p>
<h2>Keuntungan pemberian imunisasi PCV</h2>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7564215/">Riset kami</a> juga membuktikan bahwa pemberian imunisasi PCV kepada anak di bawah satu tahun bisa menghemat biaya perawatan yang harus dikeluarkan negara untuk penyakit yang disebabkan bakteri pneumokokus.</p>
<p>Bakteri pneumokokus pada anak-anak di bawah 5 tahun dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, mulai dari dari meningitis, bronkitis, pneumonia, dan sinusitis yang bisa membebani pemerintah sekitar US$4 juta atau sekitar Rp 58 miliar. Angka ini diambil berdasarkan <a href="https://downloads.hindawi.com/journals/jeph/2021/7494965.pdf">penelitian</a>perkiraan penghematan biaya perawatan akibat penyakit tersebut dalam jangka waktu 6 tahun (2019–2024) dengan pemberian imunisasi PCV. </p>
<p>Jumlah itu setara kira-kira setara dengan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat untuk operasional kesehatan, pembangunan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), obat, dan jaminan persalinan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. </p>
<p>Selama ini, <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/8/2/233/htm#B6-vaccines-08-00233">pemerintah telah mengintensifkan strategi pencegahan dan pengendalian</a> di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit melalui kampanye pemberian ASI eksklusif dalam enam bulan pertama kehidupan dan perbaikan gizi. Juga ada kampanye pencegahan berat badan lahir rendah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia pada anak-anak bawah lima tahun. </p>
<p>Sebenarnya, dibandingkan situasi pada 1990, kematian anak akibat pneumonia kini telah dapat berhasil ditekan hingga 87%. <a href="https://www.kemkes.go.id/article/view/20111500001/pneumonia-pada-anak-bisa-dicegah-dan-diobati.html">Menurut data Kementerian Kesehatan 2020</a>, jumlah kasus pneumonia pada bayi berusia kurang dari satu tahun menurun dari 175.437 pada 2017 menjadi 167.665 pada 2018 dan 153.987 pada 2019. </p>
<p>Jumlah kasus pneumonia pada anak berusia 1-5 tahun pun menurun dalam rentang waktu yang sama, dari 338.201 pada 2017 menjadi 337.666 pada 2018 dan 314.455 pada 2019. </p>
<p>Memberikan vaksin adalah upaya pencegahan lainnya yang dapat mengurangi biaya perawatan yang harus dikeluarkan saat sakit dan mencegah kematian anak-anak akibat bakteri pneumokokus. </p>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157770/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Auliya S. Suwantika menerima dana dari Universitas Padjadjaran untuk riset ini.</span></em></p>Pemerintah bisa menghemat hingga US$70 juta atau sekitar Rp 1 triliun dengan pemberian vaksin PCV kemasan multi-dosis di Indonesia selama periode 2019 dan 2024.Auliya A. Suwantika, Lecturer, Faculty of Pharmacy, Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan KefarmasianLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1574552021-04-01T10:01:58Z2021-04-01T10:01:58ZPandemi ancam kesembuhan pasien tuberkulosis, sebuah riset ungkap strategi untuk atasi ini<p>Indonesia merupakan negara dengan kasus tuberkulosis (TB/TBC) <a href="https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis#:%7E:text=In%202019%2C%20the%2030%20high,Nigeria%2C%20Bangladesh%20and%20South%20Africa.">terbanyak kedua di dunia</a> namun pengendalian penyakit tersebut mengalami berbagai <a href="https://covid19.go.id/p/berita/waspada-tuberculosis-di-tengah-pandemi-ini-perbedaan-dengan-covid-19">hambatan</a> selama pandemi. </p>
<p>Hambatan tersebut di antaranya berkurangnya layanan untuk pasien TB karena banyak tenaga kesehatan yang dikerahkan untuk menangani pasien COVID-19.</p>
<p>Selain itu, keengganan pasien TB pergi ke layanan kesehatan karena khawatir akan tertular COVID-19 juga menjadi hambatan utama lainnya.</p>
<p>Keengganan pasien TB ke rumah sakit tersebut berdampak pada proses pengobatan pasien. Padahal, untuk dapat sembuh, pasien TB yang telah menunjukkan gejala harus menjalani pengobatan yang berkelanjutan mulai dari enam bulan hingga dua tahun, tergantung keparahan penyakitnya. </p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/s41533-020-0179-x">Sebuah riset</a> dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, menunjukkan bahwa alasan pasien TB tidak rutin menjalankan pengobatannya sebenarnya bersifat individual. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan pendekatan secara personal untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat pada pasien TB. </p>
<p>Meski penelitian ini mengolah berbagai data sebelum pandemi, hasil risetnya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini karena permasalahan dan strategi yang digunakan untuk mengatasinya memiliki prinsip yang sama, yaitu penggunaan pendekatan personal.</p>
<h2>Efektivitas terapi personal</h2>
<p>Banyak upaya yang telah dilakukan para peneliti dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kepatuhan bagi pasien TB untuk minum obat, termasuk dengan pendekatan individual sesuai dengan kondisi dan hambatan yang dihadapi tiap pasien. </p>
<p>Riset kami yang menganalisis studi-studi di 12 negara dari tahun 2003 hingga 2018 mencoba mengetahui strategi yang efektif untuk meningkatkan kesadaran pasien TB untuk menuntaskan pengobatan.</p>
<p>Secara total, riset tersebut menganalisis 15.507 subjek dari berbagai negara: Pakistan, Australia, Irak, Cina, Senegal, Afrika Selatan, Timor Leste, Kanada, Amerika Serikat, Spanyol, Hong Kong, and Meksiko.</p>
<p>Studi kami menemukan bahwa strategi intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien TB untuk minum obat hingga tuntas cukup bervariasi.</p>
<p>Mulai dari penyediaan pengingat minum obat, pemberian insentif dalam bentuk <em>voucher</em> makanan dan kebutuhan sehari-hari. Ada juga model pemberian insentif untuk transportasi dan pengobatan, pemberian nutrisi yang cukup, kemudian pemberian paket pengobatan singkat. Ada juga dengan pemberian konsultasi minum obat yang dilakukan oleh tenaga profesional kesehatan maupun kelompok-kelompok masyarakat. </p>
<p>Pendekatan-pendekatan di atas bersifat personal karena berusaha menjawab tantangan yang berbeda di antara pasien TB yang satu dengan yang lainnya ketika ingin menuntaskan pengobatan mereka.</p>
<p>Misalnya strategi pemberian insentif untuk transportasi dan pengobatan bisa efektif bagi para pasien yang mengalami kesulitan mengakses fasilitas kesehatan karena faktor ekonomi dan faktor geografis. </p>
<p>Solusi ini cocok bagi mereka yang tidak memiliki biaya dan kendaraan dan tinggal di daerah terpencil. Pemerintah juga sudah memiliki <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/09/14/14451171/kini-penderita-tbc-masuk-kategori-penerima-pkh?page=all">program</a> berkaitan dengan pemberian bantuan ini. </p>
<p>Pasien yang menderita TB yang kebal obat juga bisa menerimanya karena mereka harus mendatangi secara rutin sentra pelayanan penyakit TB kebal obat yang tidak selalu tersedia di tingkat kabupaten dan kota. </p>
<p>Penanganan TB yang kebal obat memang sangat kompleks. Namun, dengan upaya berkelanjutan, komitmen, dan kolaborasi antara pusat rujukan dan penyedia layanan kesehatan di daerah pedesaan, pasien TB bisa mendapatkan perawatan yang tepat, seperti <a href="https://e-journal.unair.ac.id/JR/article/view/12529">kasus di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur </a>. </p>
<p>Lalu pemberian insentif dalam bentuk <em>voucher</em> makanan bisa ditawarkan kepada pasien TB yang harus kehilangan pekerjaannya setelah didiagnosis menderita TB. Banyak <a href="https://www.stoptbindonesia.org/single-post/pil-pahit-tbc-pemutusan-hubungan-kerja-akibat-tbc">perusahaan yang langsung memberhentikan pekerjanya yang terinfeksi TB</a> karena takut menulari pekerja yang lain. </p>
<p>Untuk mengatasi kendala masa pengobatan yang panjang, solusi yang diberikan bisa berupa membuat sistem pengingat untuk waktu minum obat bagi pasien TB. Strategi ini sudah diterapkan dan teruji efektivitasnya, salah satunya di <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26372470/">Cina</a>.</p>
<p>Teknologi-teknologi baru juga telah dikembangkan untuk melakukan pengawasan terhadap pasien TB. </p>
<p>Teknologi bisa membantu mengirim pesan singkat sebagai pengingat dan informasi obat melalui ponsel; pengawasan rutinitas minum obat oleh tenaga kesehatan melalui menggunakan <em>video call</em> dan sensor minum obat yang disematkan pada kotak obat. </p>
<p>Beberapa negara, seperti Cina, India dan Belarus sudah <a href="https://gh.bmj.com/content/3/5/e001018">menggunakan teknologi digital</a> ini untuk perawatan TB di negara mereka. </p>
<p>Pendekatan teknologi ini sebenarnya cocok untuk menjawab masalah pasien TB selama pandemi. </p>
<h2>Pendekatan personal saat pandemi</h2>
<p>Situasi pandemi yang memaksa orang untuk menjaga jarak dan tidak pergi ke fasilitas umum menyediakan ruang bagi teknologi untuk menjadi solusi.</p>
<p>Teknologi juga bisa menjadi solusi untuk penanganan pasien TB selama pandemi. </p>
<p>Penggunaan teknologi dalam memastikan pasien TB meminum obat merupakan pendekatan yang cukup menjanjikan dalam mengatasi permasalahan pasien TB ketika pandemi.</p>
<p>Teknologi tersebut bisa dalam bentuk aplikasi yang bisa mengawasi konsumsi obat pasien TB. Selain itu, teknologi juga bisa menjadi media komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan tanpa harus melakukan kunjungan ke fasilitas kesehatan. </p>
<p>Sayangnya, penggunaan teknologi seperti ini masih perlu dioptimalkan di Indonesia. Hal tersebut juga yang mendorong tim peneliti di Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran untuk mengembangkan aplikasi digital yang bisa membantu pasien TB menuntaskan pengobatannya dengan menggunakan prinsip pendekatan personal. </p>
<p>Kita semua berharap dengan adanya teknologi, permasalahan ketidakpatuhan penggunaan obat TB bisa diatasi, sehingga target pemerintah Indonesia untuk bebas TB pada 2030 bukan hanya jargon semata. </p>
<p>Hal tersebut akan terwujud ketika seluruh pihak baik peneliti, masyarakat, dan pemerintah dapat bahu-membahu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut bersama-sama.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit berkat kerja sama The Conversation Indonesia dengan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id">Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjajaran</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157455/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ivan Surya Pradipta menerima dana dari lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) Kementrian keuangan republik, Indonesia. </span></em></p>Dengan adanya teknologi, masalah pasien TB yang bersifat personal bisa diatasi dan target pemerintah Indonesia untuk bebas TB pada tahun 2030 bukan hanya jargon semata.Ivan Surya Pradipta, Assistant professor at the departement of Pharmacology and Clinical pharmacy, Faculty of Pharmacy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1553682021-04-01T02:51:00Z2021-04-01T02:51:00ZRiset: pandemi potensial turunkan capaian imunisasi dasar nasional 5-20%<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/388777/original/file-20210310-13-k6mr94.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas memberikan vaksin polio dengan cara diteteskan ke mulut bayi di Posyandu Kuta Alam, Banda Aceh, Aceh, 2 Februari 2021.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1612250402">ANTARA FOTO/Ampelsa/foc.</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 yang telah melanda dunia lebih dari setahun terakhir membuat imunisasi dasar rutin untuk anak usia 12-23 bulan di Indonesia semakin sulit dilaksanakan.</p>
<p>Sebelum pandemi, secara nasional cakupan imunisasi dasar (vaksin hepatitis B, polio, campak, BCG dan pentavalen (DPT-HB-Hib)) untuk anak usia tersebut hanya mencapai 57,9%, jauh dari target <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">93%</a>.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14760584.2020.1800461">Riset pemodelan yang saya dan kolega</a> lakukan menunjukkan pandemi ini berpotensi menurunkan persentase cakupan imunisasi dasar rutin dibandingkan sebelum pandemi. Dalam skenario yang paling moderat, jika cakupan turun 5% saja, maka cakupannya hanya 53,4% untuk seluruh Indonesia. Bila penurunannya sampai 20%, maka cakupan vaksinasi nasional hanya 43%. </p>
<p>Penurunan cakupan imunisasi di <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200512111131-4-157829/jokowi-pusat-covid-19-di-jawa-dengan-kematian-terbanyak">Pulau Jawa, sebagai episentrum pandemi COVID-19 dan </a> populasi <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20210121/15/1346099/berapa-jumlah-penduduk-indonesia-ini-rincian-hasil-sensus-2020">terpadat</a>, lebih tinggi dibandingkan luar Jawa.</p>
<p>Penurunan cakupan vaksinasi ini sangat berbahaya karena akan mengurangi daya kebal di masyarakat dalam upaya mencegah penyebaran berbagai menular di kalangan anak-anak dan orang dewasa. </p>
<p>Tanpa ada perubahan perilaku masyarakat, kebijakan pemerintah pusat dan daerah dan peningkatan pembiayaan, maka sulit cakupan imunisasi itu naik. </p>
<h2>Faktor perilaku masyarakat dan kebijakan</h2>
<p>Di Indonesia, semua anak mendapat layanan imunisasi rutin di fasilitas kesehatan umum secara gratis. Bagi anak yang belum memasuki usia sekolah, imunisasi dilaksanakan di Puskesmas dan Posyandu. Sedangkan anak-anak sekolah, kelas 1, 2 dan 5, menerima vaksin imunisasi campak, difteri, dan tetanus, di sekolah.</p>
<p>Dalam situasi pandemi, penutupan sebagian layanan Posyandu dan pembatasan layanan Puskesmas berpotensi mengurangi cakupan imunisasi rutin untuk anak di bawah 2 tahun. Para orang tua juga khawatir pergi ke pusat layanan kesehatan untuk memvaksin anaknya karena takut terinfeksi COVID-19. </p>
<p>Keraguan <a href="https://theconversation.com/krisis-kepercayaan-penyebab-cakupan-imunisasi-anak-indonesia-menurun-5-tahun-terakhir-107900">terhadap vaksin juga menjadi hambatan</a> yang dapat menurunkan cakupan vaksinasi dasar. </p>
<p>Selain hal itu, keberhasilan imunisasi bergantung juga pada kondisi lokasi setempat. Program imunisasi di kota lebih berhasil karena memiliki layanan dan infrastruktur kesehatan yang lebih baik dibanding desa. </p>
<p>Meski <a href="https://nasional.kompas.com/read/2012/08/23/21232065/%7ENasional">mayoritas penduduk tinggal di daerah perkotaan</a>, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14760584.2020.1800461">63% dari semua anak yang tidak divaksinasi</a> tinggal di daerah pedesaan. Hal ini menimbulkan tantangan khusus, yaitu tantangan geografis, logistik serta prioritas pemerintah daerah. </p>
<p>Dalam sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah kabupaten bertanggung jawab atas biaya operasional fasilitas, insentif tenaga kesehatan, rantai dingin penyimpan vaksin, dan kegiatan pendukung lainnya. Namun pemerintah daerah masih belum menunjukkan komitmen tinggi untuk melakukan perencanaan program imunisasi yang komprehensif serta implementasinya. </p>
<p>Pemerintah daerah seringkali gagal melaksanakan alokasi sumber daya mereka dengan benar dari seluruh anggaran layanan kesehatan. Ini masalah yang sebenarnya telah muncul jauh sebelum pandemi dan tambah berat saat pandemi.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah pusat memiliki kemampuan terbatas untuk mempengaruhi bagaimana sumber daya dialokasikan di tingkat kabupaten.</p>
<p>Berbagai tantangan terkait faktor geografis dan komitmen serta kemampuan pemerintah daerah ini menjadi semakin berat untuk ditangani pada masa pandemi ini. </p>
<h2>Faktor biaya</h2>
<p>Dengan penurunan ekonomi dan transisi negara yang mulai mendanai sendiri program imunisasi sepenuhnya sejak 2019, <a href="http://scholar.google.com/scholar_lookup?hl=en&publication_year=2017&author=M+Coe&author=J+Gergen&author=C+Phily&title=%E2%80%9CIndonesia+country+brief%E2%80%9D+sustainable+immunization+financing+in+Asia+Pacific">Indonesia perlu mencari pendanaan baru untuk menggantikan sekitar 10–15%</a> anggaran program imunisasi yang sebelumnya mendapat sokongan dana dari luar negeri. </p>
<p>Selain menjaga kinerja imunisasi, pemerintah pusat kini berjuang untuk menjamin anggaran imunisasi akibat dampak pandemi. </p>
<p>Perlu digarisbawahi bahwa anggaran imunisasi di Indonesia tidak ditentukan oleh perkiraan kebutuhan dari Kementerian Kesehatan saja, tapi juga memerlukan persetujuan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas agar sesuai dengan kebutuhan sistem pembiayaan kesehatan ke dalam pagu yang ditetapkan Kementerian Keuangan.</p>
<p>Hingga saat ini, Indonesia belum melakukan upaya yang signifikan untuk menciptakan strategi baru yang berpotensi menghasilkan pendapatan negara termasuk untuk mendanai imunisasi.</p>
<p>Pilihan pengenaan pajak atas barang-barang yang merugikan secara sosial, seperti tembakau dan alkohol, untuk mendanai program perawatan kesehatan, termasuk imunisasi, belum optimal. </p>
<p>Keadaan tersebut berpotensi membahayakan keberlanjutan pendanaan program imunisasi di Indonesia. Mengurangi pandemi maupun mempertahankan cakupan dan keberhasilan program imunisasi harus menjadi upaya terpadu untuk mengendalikan penyebaran infeksi dan mengurangi angka serangan penyakit. </p>
<p>Demi pembiayaan jangka menengah dan panjang di tengah ekonomi yang tidak pasti, upaya terpadu ini harus dianggap sebagai investasi untuk masa depan Indonesia, bukan sebagai beban biaya. </p>
<h2>Upaya mempertahankan cakupan imunisasi</h2>
<p>Untuk mempertahankan tingkat imunisasi dalam situasi pandemi ini, pemerintah pusat dan daerah perlu segera membuat program mitigasi untuk memastikan bahwa layanan imunisasi akan tetap dapat diakses sepenuhnya melalui pusat kesehatan. </p>
<p>Selama ini, <a href="https://www.tandfonline.com/servlet/linkout?suffix=cit0009&dbid=128&doi=10.1080%2F14760584.2020.1800461&key=000470658600021">proses pengambilan keputusan</a> terkait vaksinasi bersifat kompleks dan proses ini cenderung lebih rumit dan multidimensi dalam situasi pandemi. </p>
<p>Karena itu, proses pengambilan keputusan harusnya lebih dipermudah karena ini menyangkut kepentingan kesehatan anak-anak.</p>
<p>Di level perubahan perilaku, kampanye yang lebih baik harus dirancang dan diterapkan untuk meningkatkan harapan terkait aksesibilitas vaksin dan intervensi pandemi, seperti penerapan jarak fisik dan higienitas yang baik. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, dalam jangka pendek dan menengah kampanye ini harus diintegrasikan secara memadai dalam sektor masyarakat yang paling tepercaya, yaitu agama dan kesehatan.</p>
<p>Petugas kesehatan harus bekerja sama dengan pemimpin agama untuk menyakinkan orang tua bahwa vaksinasi untuk anak-anak akan meningkatkan kekebalan anak-anak dan orang-orang di sekitarnya. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id/">Pusat Keunggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran.</a></em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/155368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Auliya S. Suwantika menerima dana dari Universitas Padjadjaran untuk riset ini.</span></em></p>Selain menjaga kinerja imunisasi, pemerintah pusat kini berjuang untuk menjamin anggaran imunisasi akibat dampak pandemi.Auliya A. Suwantika, Lecturer, Faculty of Pharmacy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1553692021-03-31T12:47:10Z2021-03-31T12:47:10ZRiset: biaya pengobatan untuk masalah kesehatan jiwa di Indonesia Rp 87 triliun setahun<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/389781/original/file-20210316-21-t1na0k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang-orang terdekat bisa membantu mengatasi masalah kesehatan mental. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/couple-having-a-picnic-5530726/">Photo by Mental Health America (MHA) from Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Satu dari empat orang di seluruh dunia akan <a href="https://www.who.int/whr/2001/media_centre/press_release/en/">terkena masalah kesehatan mental dalam perjalanan hidup mereka.</a> Pandemi COVID-19 telah <a href="https://theconversation.com/stres-di-tengah-new-normal-covid-19-yang-penuh-ketidakpastian-ini-cara-deteksinya-137897">meningkatkan risiko</a> kita terkena masalah kesehatan jiwa.</p>
<p>Pada 2018, menurut data <a href="https://www.who.int/whr/2001/media_centre/press_release/en/">Organisasi Kesehatan Dunia</a>, depresi merupakan kasus terbanyak (300 juta orang) di seluruh dunia. Lalu disusul gangguan kecemasan (200 juta orang), gangguan bipolar (60 juta), serta skizofrenia dan psikosis lainnya (23 juta).</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">Riset Kesehatan Dasar</a> menyatakan gangguan jiwa pada penduduk berusia 15 tahun ke atas naik dari 6% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018. </p>
<p>Dari angka tersebut, 6% adalah depresi, sementara sisanya termasuk gangguan bipolar dan kecemasan. Dengan angka kasus skizofrenia pada usia 15 tahun ke atas mencapai 7 per mil, maka 7 dari 1.000 rumah tangga memiliki anggota dengan skizofrenia atau setara dengan sekitar 470.000 orang.</p>
<p>Masalahnya selain jumlahnya besar biaya pengobatannya tidak murah. </p>
<p>Riset <a href="https://www.dovepress.com/medication-profile-and-treatment-cost-estimation-among-outpatients-wit-peer-reviewed-fulltext-article-NDT">saya dan kolega memperkirakan biaya pengobatan secara nasional untuk keempat jenis gangguan jiwa</a> (skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, dan gangguan kecemasan) di negeri ini mencapai Rp 87,5 triliun (US$ 6,2 miliar) setahun.</p>
<p>Walau saat ini biaya pengobatan untuk gangguan jiwa dapat ditanggung oleh <a href="https://money.kompas.com/read/2019/10/07/063400426/bpjs-kesehatan-tanggung-perawatan-penyakit-kejiwaan?page=all">BPJS Kesehatan</a>, pasien dan keluarga tetap harus menanggung biaya transportasi dan biaya lainnya untuk menuju ke tempat layanan kesehatan. </p>
<p>Untuk mengurangi risiko masalah kesehatan mental, setiap individu, keluarga, masyarakat dan pemerintah perlu meningkatkan deteksi dini gangguan kesehatan mental. Pasien perlu dibantu untuk berobat sampai sampai sembuh.</p>
<h2>Ongkosnya mahal</h2>
<p>Penelitian kami memperkirakan biaya pengobatan yang berdasarkan pada biaya langsung per tahun, dengan anggapan bahwa pasien patuh pada pengobatan. </p>
<p>Biaya langsung mengacu pada biaya yang terkait dengan diagnosis dan pengobatan. Sedangkan hilangnya pendapatan akibat kematian, kecacatan, dan pencarian perawatan, termasuk kerugian produktivitas karena absen kerja atau pensiun dini kerap disebut sebagai biaya tidak langsung.</p>
<p>Dengan menggunakan data dari rumah sakit rujukan nasional di Indonesia pada 2016-2018, riset ini menentukan profil pengobatan dan memperkirakan biaya pengobatan pasien skizofrenia, gangguan bipolar, depresi dan gangguan kecemasan di Indonesia. </p>
<p>Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kompleks yang ditandai dengan perubahan perilaku, pola pikir kacau, delusi, halusinasi, dan disfungsi psikososial. Sedangkan depresi merupakan penyakit mental yang ditandai dengan suasana hati yang menurun, kehilangan minat, perasaan bersalah, nafsu makan menurun, tidur terganggu, dan konsentrasi rendah.</p>
<p>Adapun gangguan bipolar merupakan gangguan <em>mood</em> yang ditandai dengan episode mania atau hipomania yang muncul secara bergantian atau bersamaan dengan episode depresi. Sedangkan gangguan kecemasan melibatkan rasa takut yang berlebihan dan tidak rasional. Gangguan ini dianggap sebagai gangguan kejiwaan yang paling umum, dan ditandai dengan gejala fisik seperti kelelahan.</p>
<p>Dari data riset ini tampak bahwa setiap pasien mengunjungi rumah sakit hanya 2-3 kali setahun. Temuan ini sesuai dengan <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">data Riset Kesehatan Dasar 2018</a> yang melaporkan hanya 9% pasien depresi di Indonesia yang berobat.</p>
<p>Dari sistem informasi rumah sakit, data menunjukkan rata-rata biaya pengobatan per pasien per tahun adalah Rp 3.307.931 (US$ 236) untuk skizofrenia. Lalu Rp 17.978.865 (US$ 1.284) untuk gangguan bipolar, Rp 1.601.850 (US$ 114) untuk depresi, dan Rp 1.190.563 (US$ 85) untuk gangguan kecemasan.</p>
<p>Di antara semua gangguan jiwa, biaya pengobatan gangguan bipolar paling mahal, yaitu Rp 17.978.865 (US$1.284) per pasien. </p>
<p>Dengan asumsi bahwa semua pasien mengikuti perawatan medis dalam 1 tahun, biaya langsung yang tertinggi secara nasional adalah pengobatan gangguan bipolar, mencapai Rp 62,9 triliun (US$ 4,5 miliar). </p>
<p>Biaya pengobatan untuk kondisi depresi juga tinggi, yakni Rp 18,9 triliun (US$ 1,3 miliar). Sedangkan biaya untuk mengatasi gangguan kecemasan dan skizofrenia, masing-masing Rp 4,2 triliun (US$ 297 juta) dan Rp 1,5 triliun (US$ 110 juta). </p>
<p>Dari angka-angka itu, total biaya adalah Rp 87,5 triliun (US$ 6,2 miliar) per tahun.</p>
<h2>Beban Dunia</h2>
<p>Menurut <a href="http://www3.weforum.org/docs/WEF_Harvard_HE_GlobalEconomicBurdenNonCommunicableDiseases_2011.pdf">World Economic Forum pada 2011</a>, beban ekonomi gangguan kejiwaan di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai US$ 6 triliun pada 2030. </p>
<p>Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu penyebab utama dari keseluruhan beban penyakit (<em>burden of disease</em> atau BOD) sedunia. </p>
<p>BOD juga dikenal sebagai biaya penyakit (<em>cost of illness</em> atau COI), mencakup berbagai aspek dampak penyakit pada hasil kesehatan di suatu negara, wilayah tertentu, komunitas, dan bahkan individu. </p>
<p>Sekitar sepertiga dari BOD kesehatan mental menjadi penyebab hilangnya produktivitas, termasuk yang terkait dengan pengangguran, kecacatan, dan kinerja kerja yang rendah. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, kurangnya wawasan mengenai pentingnya penanganan kesehatan jiwa yang berkelanjutan, stigma negatif terhadap pasien, dan biaya yang mahal merupakan masalah yang menyulitkan untuk mengatasi gangguan jiwa. </p>
<p>Pada level individu, faktor-faktor ini juga mempengaruhi kepatuhan pengobatan pasien. Dampaknya, banyak pasien yang tidak patuh terapi sehingga masalahnya berlarut-larut. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mencari pertolongan untuk mengatasi kondisi tersebut. </p>
<p>Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat harus bekerja sama dalam upaya pencegahan dan penguatan pelayanan kesehatan jiwa dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang sifatnya menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.</p>
<h2>Butuh terapi berkelanjutan</h2>
<p>Pengobatan gangguan jiwa membutuhkan terapi berkelanjutan. Pada terapi skizofrenia, obat golongan <a href="https://www.alodokter.com/skizofrenia/pengobatan">antipsikotik</a> adalah pilihan utama. </p>
<p>Selain itu, terapi perilaku kognitif (CBT) adalah salah satu intervensi non-obat pertama yang termasuk dalam pedoman pengobatan untuk skizofrenia. </p>
<p>CBT membantu mengubah pola pikir, perasaan, dan perilaku yang tidak diinginkan, serta dapat mengurangi perilaku tidak teratur yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Untuk gangguan bipolar, pengobatan bertujuan untuk memperbaiki gejala mania atau depresi pada pasien, sehingga memungkinkan tercapainya suasana hati yang stabil (<em>euthymia</em>).</p>
<p>Terapi utama untuk episode mania maupun episode depresi pada gangguan bipolar adalah obat untuk menstabilkan <em>mood</em>, agen antipsikotik, atau kombinasi keduanya. </p>
<p>Sementara itu, depresi biasanya diobati dengan antidepresan, psikoterapi, atau kombinasi keduanya. Bagi pasien gangguan kecemasan, terapi lini pertama yang disarankan adalah antidepresan, dengan tujuan mencegah kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. </p>
<p>Secara keseluruhan, mengingat kasus-kasus gangguan kesehatan jiwa yang semakin meningkat setiap tahun dan biaya yang tinggi, maka pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia harus terlibat untuk mengatasi masalah ini.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit atas kerja sama The Conversation Indonesia dengan <a href="https://risfarklin.unpad.ac.id/">Pusat Unggulan Iptek Perguruan Tinggi Inovasi Pelayanan Kefarmasian Universitas Padjadjaran</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/155369/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Irma Melyani Puspitasari menerima dana dari Kemenristek/BRIN untuk riset ini. </span></em></p>Kurangnya wawasan mengenai pentingnya penanganan kesehatan jiwa yang berkelanjutan, stigma negatif terhadap pasien, dan biaya yang mahal merupakan masalah serius dalam kaitan gangguan jiwa.Irma Melyani Puspitasari, Associate professor, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.