tag:theconversation.com,2011:/global/topics/gizi-bayi-55644/articles
gizi bayi – The Conversation
2023-03-03T02:35:40Z
tag:theconversation.com,2011:article/200444
2023-03-03T02:35:40Z
2023-03-03T02:35:40Z
Penurunan ‘stunting’ berjalan lambat di tengah melimpahnya produksi ikan Indonesia: tanya kenapa?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/513095/original/file-20230302-24-deh1mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kader Posyandu mengukur lingkar kepala anak saat kegiatan Bulan Vitamin A dan Penimbangan Serentak untuk memeriksa kesehatan anak di Kelurahan Pajang, Laweyan, Solo, 9 Februari 2023.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1675926607&getcod=dom">ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.</a></span></figcaption></figure><p>Angka anak yang mengalami gangguan pertumbuhan (<em>stunting</em>) di Indonesia, <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230125/3142280/prevalensi-stunting-di-indonesia-turun-ke-216-dari-244/">menurut survei terbaru,</a> turun sedikit dari 24,4% pada 2021 ke 21,6% pada 2022. Angka tersebut masih di atas batas maksimal dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20%.</p>
<p>Tahun depan, pemerintah menargetkan angka <em>stunting</em> tinggal 14%. Ini sebuah target yang ambisius jika kita melihat tren penurunan per tahun hanya sekitar 2-3%.</p>
<p>Tingginya angka <em>stunting</em> itu sebenarnya menyesakkan dada. Sebab, laporan Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2020 menunjukkan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/12/10-negara-penghasil-ikan-laut-terbesar-ri-peringkat-berapa">produksi ikan laut tangkap Indonesia amat besar, sekitar 6,43 juta ton</a>. Angka ini menempati urutan kedua setelah Cina (11,77 juta ton) di tingkat global. </p>
<p>Masalahnya, data 2017 menyatakan <a href="http://www.seafdec.org/documents/2021/10/seasofia22-part3-1.pdf">konsumsi ikan Indonesia hanya 44,7 kg per kapita per tahun, lebih rendah dari Malaysia (57,8 kg per kapita per tahun)</a>. Sementara itu, pada kenyataannya <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2019/02/25/2024/ekspor-ikan-segar-dingin-hasil-tangkap-menurut-negara-tujuan-utama-2012-2021.html">Malaysia adalah negara tujuan utama ekspor ikan (segar) hasil tangkap Idonesia dengan volume terbesar</a> selama 10 tahun terakhir. Sejak 2019, ekspor ikan ke Malaysia mencapai lebih dari 50% total ekspor ikan Indonesia. </p>
<p>Produksi ikan yang melimpah di negeri ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menurunkan angka <em>stunting</em> dengan meningkatkan konsumsi ikan masyarakat. </p>
<h2>Kurang protein hewani</h2>
<p><a href="https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1388/mengenal-apa-itu-stunting"><em>Stunting</em></a> merupakan kondisi anak yang pendek atau sangat pendek berdasarkan tinggi badan menurut usia (TB/U) yang kurang dari standar WHO. </p>
<p>Apabila indeks TB/U berada dalam rentang -2 SD (standar deviasi) sampai +3 SD maka anak tersebut memiliki kondisi normal. Pertumbuhaan anak tergolong tidak normal (<em>stunted</em>) jika indeks TB/U kurang dari -2 SD. Ini terjadi karena asupan nutrisi yang tidak memadai dan infeksi berulang dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). </p>
<p>Misalnya, bayi laki-laki usia 36 bulan memiliki tinggi badan 84 cm, maka berdasarkan <a href="https://www.orami.co.id/magazine/berat-badan-ideal-anak-menurut-who">tabel standar indeks TB/U WHO</a>, anak tersebut memiliki indeks TB/U yaitu -3, yang berarti masuk dalam golongan pendek (<em>stunted</em>).</p>
<p>Salah satu penyebab utama <em>stunting</em> adalah tidak terpenuhinya asupan gizi yang cukup baik pada ibu saat <a href="https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1529/faktor-faktor-penyebab-kejadian-stunting-pada-balita">mengandung janin atau pun pada saat anak usia balita</a>. Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat dipenuhi dari sumber protein nabati serta hewani.</p>
<p>Data <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2018/01/11/1986/rata-rata-harian-konsumsi-protein-per-kapita-dan-konsumsi-kalori-per-kapita-tahun-1990---2022.html">Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022</a> Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat konsumsi protein harian per kapita sebesar 62,21 gram. Tren ini stagnan sejak 2019–bahkan menurun jika dibandingkan pada 2018 yang sempat mencapai 64,64 gram. </p>
<p>Jika kita melihat jenis sumber protein, <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20230121/1542263/protein-hewani-efektif-cegah-anak-alami-stunting/">konsumsi protein hewani Indonesia masih tergolong rendah</a>. Konsumsi ikan per hari per kapita sebesar 9,58 gram, daging 4,79 gram, serta telur dan susu sebesar 3,7 gram.</p>
<h2>Ikan sebagai sumber protein hewani</h2>
<p><a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20230121/1542263/protein-hewani-efektif-cegah-anak-alami-stunting/">Konsumsi pangan dari protein hewani</a> lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi satu jenis pangan hewani. Kebanyakan masyarakat mencukupi kebutuhan protein hewani dari daging, telur, atau susu. Ikan yang juga termasuk sebagai salah satu sumber protein hewani, masih belum familiar untuk seluruh kalangan masyarakat. </p>
<p>Tingkat konsumsi ikan, <a href="https://media.neliti.com/media/publications/283181-tingkat-konsumsi-ikan-di-indonesia-ironi-4d30fa59.pdf">menurut riset</a>, untuk suku Sunda mencapai 7,2% dan suku Bugis 15,9% walau sama-sama tinggal di sekitar Waduk Cirata Cianjur Jawa Barat. Ini berarti suku Bugis dengan latar belakang sejarah sebagai kelompok pelaut memiliki budaya makan ikan yang lebih tinggi. </p>
<p>Selain itu, masih ada anggapan di masyarakat bahwa <a href="https://media.neliti.com/media/publications/283181-tingkat-konsumsi-ikan-di-indonesia-ironi-4d30fa59.pdf">ikan</a> adalah sumber penyebab cacingan, alergi, meningkatkan kolesterol, dan kandungan logam berat.</p>
<p>Padahal, ikan memiliki banyak kandungan protein untuk mencukupi kebutuhan asam amino. Ikan juga kaya akan <a href="https://media.neliti.com/media/publications/283181-tingkat-konsumsi-ikan-di-indonesia-ironi-4d30fa59.pdf">asam lemak omega 3 yang lebih unggul</a> dibanding hewan ternak lain seperti ayam, sapi, dan kambing, vitamin, serta berbagai mineral bermanfaat untuk kesehatan ibu dan perkembangan janin. </p>
<p>Guru besar ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardiansyah <a href="https://m.antaranews.com/amp/berita/3366477/pakar-konsumsi-ikan-yang-cukup-pada-ibu-hamil-bisa-cegah-stunting">menganjurkan agar ibu hamil mengkonsumsi ikan setidaknya 150 gram per hari</a>, minimal 4 kali dalam seminggu untuk mencegah anak lahir <em>stunting</em>.</p>
<p>Data <a href="https://statistik.kkp.go.id/home.php?m=aki&i=209#panel-footer">Angka Konsumsi Ikan (AKI)</a> dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan konsumsi ikan nasional pada 2021 mencapai 55,37 kg per kapita per tahun meningkat dari 54,56 kg pada 2020. </p>
<p>Pada level provinsi, AKI tertinggi pada 2021 dimiliki oleh Provinsi Maluku (77,49 kg), lalu Maluku Utara (75,75 kg), dan selanjutnya Kalimantan Utara (73,94 kg). </p>
<p>Sementara itu, AKI terendah ada di Yogyakarta (34,82 kg), Lampung (36,66 kg), dan Jawa Tengah (36,74 kg). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa konsumsi ikan di Indonesia masih belum merata di semua wilayah. </p>
<p>Beberapa wilayah, khususnya Pulau Jawa masih memilki AKI yang rendah, dengan DKI Jakarta memiliki AKI tertinggi di Pulau Jawa, yakni 48,92 kg.</p>
<p>Sementara itu, produksi <a href="https://statistik.kkp.go.id/home.php?m=prod_ikan_prov&i=2#panel-footer-kpda">ikan laut tertinggi di Indonesia</a> tahun 2021 yaitu Maluku (547,46 ribu ton), Jawa Timur (534,39 ribu ton), dan Sulawesi Selatan (376,12 ribu ton). </p>
<p>Melihat kondisi tersebut, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi ikan laut melimpah seharusnya berbanding lurus dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi pula. </p>
<p>Sayangnya hal itu belum terealisasi sehingga masih ada celah yang harus dibenahi oleh pemerintah, yakni kebutuhan peningkatan konsumsi protein untuk pencegahan <em>stunting</em>, dengan kondisi produksi ikan yang berlimpah tapi konsumsinya masih rendah dan belum merata. </p>
<p>Kendala utama dalam permasalahan tersebut adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan padahal negara kita memiliki potensi produksi ikan yang tinggi.</p>
<h2>Upaya untuk meningkatkan konsumsi ikan</h2>
<p>Pemerintah berusaha meningkatkan konsumsi ikan, salah satunya melalui program <a href="https://kkp.go.id/artikel/8225-faq-tentang-gerakan-memasyarakatkan-makan-ikan-gemarikan">Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan)</a> sejak 2004.</p>
<p>Walau angka konsumsi ikan terus meningkat setiap tahunnya, pemerintah harus berusaha lebih keras agar kenaikannya lebih signifikan. Harapannya, tren ini berimbas pada kenaikan konsumsi protein harian masyarakat. </p>
<p>Pemerintah dapat menggenjot edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi ikan untuk perbaikan kecukupan gizi. </p>
<p>Kita perlu mengemas pesan kampanye lebih persuasif, aktif, kekinian, dan menarik. Misalnya membuat konten digital yang disebarluaskan di berbagai media sosial. </p>
<p>Selain itu, tidak semua daerah memiliki produksi ikan sehingga masyarakat tidak terbiasa untuk mengkonsumsi ikan. Mengingat masa simpan ikan segar tergolong pendek, untuk menjaga kesegarannya tetap terjaga pemerintah perlu melancarkan distribusi produk perikanan yang merata ke seluruh daerah dengan menyediakan infrastruktur pendukung yang memadai. Tujuannya agar harga ikan lebih terjangkau kelompok masyarakat ekonomi bawah. </p>
<p>Upaya selanjutnya yakni memperbanyak jenis makanan olahan ikan. Pemerintah dapat memberikan pelatihan kepada masyarakat, UMKM, atau Unit Pengolahan Ikan (UPI) tentang pengolahan produk ikan yang lebih bervariasi. Selain itu, pemerintah hendaknya dapat meningkatkan standar penjaminan mutu ikan karena kualitas kesegaran ikan akan sangat berpengaruh pada proses pengolahan ikan dan harga jual ekonomis dari ikan.</p>
<p>Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, kenaikan konsumsi ikan tentu akan berkontribusi meningkatkan konsumsi protein harian guna mencegah <em>stunting</em>. Sektor perikanan itu sendiri juga akan menggeliat. </p>
<p>Oleh karena itu, seluruh pihak, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat harus berupaya meningkatkan konsumsi ikan untuk mengakhiri <em>stunting</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200444/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andriana Lisnasari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Ikan memiliki banyak kandungan protein untuk mencukupi kebutuhan asam amino. Ikan juga kaya akan asam lemak omega 3 dan 6, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi kesehatan ibu dan janin.
Andriana Lisnasari, Statistisi Ahli Pertama, Badan Pusat Statistik
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/181514
2022-04-25T06:07:23Z
2022-04-25T06:07:23Z
Angka stunting naik di 6 provinsi: tiga strategi untuk menurunkannya hingga level desa
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/459252/original/file-20220422-20-68e7v9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) mengukur berat badan bayi di Posyandu Bougenvile, Pemancar, Depok, Jawa Barat, 6 April 2022. Jawa Barat mengejar target zero stunting pada 2023.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1649217315">ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww</a></span></figcaption></figure><p>Satu dari empat anak Indonesia mengalami masalah gizi buruk berlarut-larut sehingga pertumbuhan tinggi badannya di bawah rata-rata (<em>stunting</em>). </p>
<p>Angka itu merupakan hasil <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)</a> Kementerian Kesehatan terbaru yang menyatakan angka <em>stunting</em> tahun 2021 masih tinggi, 24,4 %. Angka ini memang menurun 3,3 % dibandingkan studi serupa pada 2019, tapi masih jauh dari target pemerintah yang ditetapkan 14 % pada 2024.</p>
<p><em>Stunting</em> masih menjadi masalah serius karena tidak hanya berdampak terhadap perkembangan motorik dan verbal anak, tapi meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan kejadian kesakitan. </p>
<p><em>Stunting</em> dapat juga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel neuron terhambat sehingga anak berisiko mengalami 7% <a href="https://journal.fkm.ui.ac.id/bikfokes/article/view/4647/1177">penurunan perkembangan kognitif</a></p>
<p>Dengan target yang cukup tinggi, penurunan 3-3,5 persen prevalensi <em>stunting</em> per tahun, Indonesia butuh suatu loncatan inovasi mengingat rata-rata penurunan <em>stunting</em> per tahun di Indonesia hanya <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">2,0 % (2013-2021)</a>. </p>
<h2>Kebijakan pemerintah</h2>
<p>Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, pemerintah memang tetap berkomitmen untuk mengatasi masalah <em>stunting</em>.</p>
<p>Untuk mempercepat penurunan angka stunting, pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional (STRANAS) Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) pada 2018. Strategi tersebut menjadi panduan untuk mendorong terjadinya kerja sama antarlembaga untuk memastikan konvergensi seluruh program terkait pencegahan anak kerdil (stunting) untuk periode 2018 hingga 2024. </p>
<p>Di level regulasi, untuk menguatkan intervensi dan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam mempercepat penurunan <em>stunting</em>, pemerintah mengeluarkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/174964/perpres-no-72-tahun-2021">Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan <em>Stunting</em></a>. Tim penurunan stunting melibatkan Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah, didampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditunjuk jadi Ketua Pelaksana. </p>
<p>Sebenarnya, hampir sebagian besar provinsi telah menunjukkan penurunan angka stunting. Kendati demikian, masih terdapat <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">6 provinsi</a> yang menunjukkan kenaikan prevalensi <em>stunting</em>, yakni Papua, Kalimantan Utara, Papua Barat, Banten, Jambi, dan Kepulauan Riau. </p>
<p>Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020">RPJMN</a>), pemerintah telah menetapkan target prevalensi <em>stunting</em> hingga 14 % pada 2024. Target ini diharapkan tercapai agar bonus demografi Indonesia pada 2030 bisa dimanfaatkan secara optimal dengan lahirnya generasi yang produktif.</p>
<p>Kondisi saat ini, masih terdapat 27 provinsi yang memiliki masalah gizi yang bersifat akut-kronis (prevalensi status gizi <em>stunted</em> ≥ 20 % dan <em>wasted</em> ≥ 5 %).</p>
<p>Kondisi <em>stunted</em> atau <em>stunting</em> merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau <a href="http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-diabetes-melitus-dan-gangguan-metabolik/cegah-stunting-dengan-perbaikan-pola-makan-pola-asuh-dan-sanitasi">pendek (kerdil) dari standar usianya.</a></p>
<p>Sementara <em>wasted</em> atau <em>wasting</em> adalah kondisi ketika seorang anak memiliki berat badan rendah tidak sesuai dengan tinggi badan yang seharusnya.</p>
<h2>Perlu fokus pada indikator kunci</h2>
<p>Jika melihat determinan masalah gizi pada <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">Riset Kesehatan Dasar 2018</a> dibandingkan dengan SSGI 2021, masih terdapat beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian lebih.</p>
<p>Contohnya, persentase ibu yang melahirkan anak lahir hidup dalam dua tahun terakhir dan anak lahir yang mendapatkan inisiasi menyusu dini (IMD) kurang dari satu jam setelah dilahirkan mengalami penurunan dari <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">58,2 % pada 2018 menjadi 48,6 % pada 2021</a>. </p>
<p>Padahal, IMD merupakan menjadi langkah awal dan vital untuk keberhasilan proses menyusui secara eksklusif. Saat IMD dilakukan, terjadi sentuhan kulit ke kulit yang sangat bermanfaat karena bayi mendapatkan bakteri baik dari kulit ibu yang berguna untuk kekebalannya.</p>
<p>Selain itu, persentase anak lahir hidup dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga meningkat dari <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">6,2 % menjadi 6,6 %</a>. Kejadian BBLR terkait erat dengan <em>stunting</em> dan menjadi indikator kinerja untuk mengukur capaian dampak jangka menengah dalam upaya pencegahan <em>stunting</em>.</p>
<p>Meski demikian, beberapa determinan masalah gizi dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional tercatat sudah meningkat meski masih berkisar 1-2% (2020 dibanding 2021). </p>
<p>Indikator yang meningkat adalah persentase bayi berusia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan <a href="https://www.bps.go.id/indicator/30/1340/1/persentase-bayi-usia-kurang-dari-6-bulan-yang-mendapatkan-asi-eksklusif-menurut-provinsi.html">ASI eksklusif</a> dan persentase perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan di <a href="https://www.bps.go.id/indicator/30/1352/1/persentase-perempuan-pernah-kawin-berusia-15-49-tahun-yang-proses-melahirkan-terakhirnya-di-fasilitas-kesehatan-menurut-daerah-tempat-tinggal.html">fasilitas kesehatan.</a></p>
<h2>Tugas pemimpin</h2>
<p>Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting dari pemerintah pusat berfokus pada lima pilar yang mengutamakan komitmen, visi, dan komunikasi dari kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah desa; meningkatkan intervensi spesifik dan intervensi sensitif; serta memanfaatkan data, riset dan inovasi. </p>
<p>Masalahnya, program ini berpeluang tajam di hilir namun tumpul di hulu. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa banyak intervensi gizi untuk penurunan <em>stunting</em> di daerah yang <a href="https://stunting.go.id/percepatan-penurunan-stunting-di-daerah-harus-tepat-sasaran/">belum terintegrasi dan konvergen</a>. </p>
<p>Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal.</p>
<p>Pertama, menguatkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang jelas, berjenjang, dan periodik. Di level provinsi, kabupaten dan kota, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus melakukan rapat koordinasi agar kegiatan dari perencanaan sampai pelaksanaan di level tingkat desa dapat dilaksanakan tepat sasaran. </p>
<p>Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sebagai pelaksana pada level daerah dan bupati dan walikota merupakan pemegang peran kunci. </p>
<p>Pemerintah daerah perlu melibatkan kader, bidan, dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam koordinasi ini. Ada 1,2 juta kader di lapangan yang bisa dikerahkan untuk mendampingi keluarga yang yang disasar program <em>anti-stunting.</em> </p>
<p>Karena ada keterlibatan banyak pihak, evaluasi dan pengawasan yang terstruktur dan periodik harus dilakukan. Misalnya setiap 3 atau 6 bulan secara berjenjang oleh BKKBD, bupati, wali kota dan pejabat pada level kabupaten dan kota. </p>
<p>Kedua, memastikan bahwa semua pihak memahami langkah spesifik yang harus dilakukan.</p>
<p>Para kader terpilih yang bersinggungan langsung dengan keluarga sasaran harus mendapatkan informasi yang tepat. Pelatihan khusus dapat diadakan dan para kader harus memenuhi standar tes tertentu. Harapannya, para kader memiliki pengetahuan yang tepat yang bisa disampaikan kembali kepada masyarakat. </p>
<p>Selain itu, dengan luasnya informasi tentang kesehatan ibu dan anak, pelatihan secara berkala perlu dilakukan agar para kader memahami perkembangan informasi terbaru sekaligus mempertajam pemahamannya.</p>
<p>Ketiga, aparat desa harus memahami petunjuk teknis dan berbagi pengalaman terbaik seputar penggunaan Dana Desa.</p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/174964/perpres-no-72-tahun-2021">Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tetang Percepatan Penurunan Stunting</a> memberikan mandat pemerintah desa untuk mempercepat penurunan <em>stunting</em> di tingkat desa. </p>
<p>Dengan sekitar <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/22/berapa-jumlah-desakelurahan-di-indonesia#:%7E:text=10%20Provinsi%20dengan%20Jumlah%20Desa%2FKelurahan%20Terbanyak%20(Jun%202021)&text=Berdasarkan%20data%20Direktorat%20Jenderal%20Kependudukan,34%20provinsi%20di%20seluruh%20Indonesia.">80.000 desa dan kelurahan di Indonesia</a>, harus ada penjelasan secara detail tentang pelaksanaan penggunaan dana desa untuk mengurangi angka <em>stunting.</em></p>
<p>Seluruh aparat desa perlu memahami tahapan yang harus dilakukan hingga ke petunjuk teknis dan contoh praktik terbaik dari desa yang berhasil menurunkan angka <em>stunting</em>. Jika itu diimplementasikan, pengurangan <em>stunting</em> mungkin akan signifikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181514/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Annisa Nurul Ummah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Masih terdapat 6 provinsi yang menunjukkan kenaikan prevalensi stunting, yakni Papua, Kalimantan Utara, Papua Barat, Banten, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Annisa Nurul Ummah, Statistisi Pertama, Badan Pusat Statistik
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/176376
2022-04-11T04:01:52Z
2022-04-11T04:01:52Z
Riset: makanan bayi dan anak di Indonesia kurang beragam. Mengapa bisa begitu dan apa dampaknya?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/456789/original/file-20220407-14-9jalpe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan mengukur tinggi badan bayi di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kedaton, Bandar Lampung, 21 Maret 2022. Promosi makanan beragam pendamping ASI untuk bayi berusia enam bulan di level Posyandu penting untuk mencegah gizi buruk pada anak.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1647844209">ANTARA FOTO/Ardiansyah/nym</a></span></figcaption></figure><p>Makanan pendamping air susu ibu (MPASI) yang sehat dan beragam penting bagi <a href="https://data.unicef.org/topic/nutrition/diets/">pertumbuhan bayi dan anak</a>. Sebaliknya, kurang beragamnya makanan bayi dan anak dapat meningkatkan risiko <a href="https://academic.oup.com/jn/article/137/2/472/4664571?login=false#165117032">kekurangan zat gizi mikro</a> (seperti vitamin B12, vitamin A, kalsium, zat besi, asam folat dan zinc), <a href="https://systematicreviewsjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13643-020-01289-7">anemia</a>, <a href="https://bmcpediatr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12887-019-1897-5">stunting</a>, serta terhambatnya perkembangan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0899900721003324?via%3Dihub">kognitif</a> dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7729803/">motorik anak</a>.</p>
<p>Badan Kesehatan Dunia (WHO) <a href="https://www.who.int/data/nutrition/nlis/info/infant-and-young-child-feeding">merekomendasikan</a> agar setiap bayi berusia enam bulan mulai mengkonsumsi makanan pendamping, di samping ASI hingga usia dua tahun. Untuk memastikan bahwa makanan pendamping air susu ibu yang diberikan berkualitas, maka makanan tersebut perlu diberikan secara beragam.</p>
<p>Masalahnya, pada 2020, hanya <a href="https://data.unicef.org/topic/nutrition/diets/">satu dari tiga anak</a> di dunia yang memenuhi keanekaragaman makanan minimal. Di Indonesia, sebuah penelitian berskala nasional menununjukkan hanya <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">sekitar separuh</a> dari anak-anak usia 6-23 bulan yang mengkonsumsi makanan beraneka ragam pada 2007-2017. </p>
<p>Riset <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">saya pada 2021 dengan sampel 14.990 anak berusia 6-23 bulan di Indonesia menunjukkan</a> keanekaragaman makanan pada bayi dan anak dipengaruhi oleh berbagai faktor di beberapa level, seperti individu, rumah tangga, sistem pelayanan kesehatan, dan komunitas.</p>
<h2>Jenis makanan yang beragam</h2>
<p>Pada 2017, kelompok Penasihat Ahli Teknis tentang pemantauan gizi (TEAM) di bawah naungan WHO mendefinisikan bahwa <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240018389">keanekaragaman makanan minimal</a> pada bayi dan anak adalah konsumsi makanan harian dengan minimal lima dari total delapan kelompok makanan.</p>
<p>Kelompok makanan itu meliputi: (1) padi-padian, akar-akaran dan umbi-umbian; (2) kacang-kacangan; (3) produk susu seperti susu, keju; (4) daging-dagingan seperti daging sapi, unggas, ikan; (5) telur; (6) buah dan sayur kaya vitamin A; (7) buah dan sayur lainnya, dan (8) air susu ibu.</p>
<p>Di Indonesia, pedoman gizi seimbang diatur dalam <a href="http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%2041%20ttg%20Pedoman%20Gizi%20Seimbang.pdf">Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014</a>, termasuk di dalamnya pesan “Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan”. Dalam pedoman tersebut, makanan beragam terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan. </p>
<p>Tidak ada pesan spesifik mengenai keanekaragaman minimal yang harus dikonsumsi oleh bayi dan anak.</p>
<h2>Faktor penyebab</h2>
<p>Salah satu temuan riset saya adalah <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">rata-rata bayi dan anak di Indonesia</a> mengkonsumsi 2-3 jenis kelompok makanan pada usia enam bulan, kemudian meningkat menjadi 4-5 jenis kelompok makanan saat mencapai usia 12 bulan ke atas. </p>
<p>Jika dilihat dari jenis kelompok makanannya, makanan jenis padi-padian, akar-akaran, dan umbi-umbian mendominasi konsumsi makanan harian pada bayi dan anak.</p>
<p>Sebaliknya, konsumsi kacang-kacangan serta buah dan sayuran jenis lainnya adalah kelompok makanan dengan konsumsi terendah. Meski masih tergolong rendah, konsumsi makanan hewani seperti daging-dagingan, telur dan produk susu meningkat dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Pemberian makanan pendamping ASI pada bayi dan anak begitu <a href="https://dx.doi.org/10.1111%2Fmcn.12088">kompleks dan kontekstual</a>. Tidak hanya faktor anak dan ibu, tapi kondisi komunitas dan sosial juga menjadi pilar yang menentukan praktik pemberian makanan pendamping ASI. </p>
<p>Sejalan dengan <a href="https://dx.doi.org/10.1111%2Fmcn.12088">teori tersebut</a>, riset saya <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">menunjukkan</a> keanekaragaman makanan pada bayi dan anak di Indonesia dipengaruhi oleh faktor mikro (individu dan rumah tangga) hingga makro sistem sosial (sistem kesehatan dan komunitas).</p>
<p>Di level individu, konsumsi makanan yang bervariasi pada bayi dan anak <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">cenderung meningkat</a> sejalan dengan meningkatnya usia anak. Hal ini karena anak yang lebih tua lebih siap untuk menerima makanan dengan tekstur dan rasa yang berbeda. </p>
<p>Mereka lebih familiar dengan variasi makanan daripada anak berusia lebih muda yang baru mengenal makanan.</p>
<p>Di level ramah tangga, anak dari ibu dengan tingkat pendidikan yang <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">lebih tinggi cenderung mengkonsumsi makanan lebih beragam</a>. Sebab, ibu yang teredukasi memiliki lebih banyak informasi dan lebih baik dalam hal memahami informasi baru, termasuk informasi gizi. </p>
<p>Meski begitu, pendidikan formal bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi. Pemberian edukasi di level sistem kesehatan dapat dilakukan melalui pelayanan pemeriksaan kehamilan. Ibu yang memiliki <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">riwayat kunjungan kehamilan</a> di fasilitas pelayanan kesehatan terbukti lebih baik dalam memberikan makanan yang beragam pada anaknya.</p>
<p>Selama kunjungan tersebut, tenaga kesehatan dan kader kesehatan berperan dalam memberikan konseling dan edukasi gizi pada ibu.</p>
<p>Anak yang berasal dari keluarga dengan <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">status ekonomi tinggi</a> memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapat makanan bervariasi karena daya beli yang lebih besar untuk memperoleh makanan bervariasi.</p>
<p>Di sisi lain, di level komunitas, anak yang tinggal di <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">daerah pedesaan dan Indonesia bagian timur</a> cenderung makan makanan yang kurang bervariasi. Hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses dan ketersediaan pangan, serta status sosial ekonomi yang lebih rendah. Faktor ini berkaitan dengan ketimpangan pendapatan dan ekonomi.</p>
<p>Dengan demikian, masalah ini bisa diatasi dengan intervensi struktural dan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ibu dan ayah melalui media massa dan promosi kesehatan di level puskesmas dan masyarakat. </p>
<h2>Pentingnya akses terhadap media informasi</h2>
<p>Ibu yang memiliki akses terhadap media informasi memiliki <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">peluang 21% lebih tinggi</a> untuk memberikan anaknya makanan yang beragam dibandingkan dengan ibu yang tidak mengakses media. </p>
<p>Bahkan, akses terhadap media informasi bisa <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">menurunkan kesenjangan variasi makanan antara si kaya dan si miskin</a>. Dengan adanya akses informasi, setiap ibu berpeluang untuk memberikan makanan yang lebih bervariasi pada anaknya, bahkan jika ia berasal dari status sosial ekonomi rendah.</p>
<p>Misalnya, ibu bisa menyiasati jenis makanan yang mahal (seperti daging sapi) dengan bahan makanan lain yang lebih terjangkau (seperti ikan air tawar dan telur). </p>
<p>Di samping itu, ibu bisa membuat menu makanan menjadi lebih bervariasi dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang ada di sekitarnya. </p>
<p>Pengayaan informasi gizi pada ibu bisa diperoleh melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Berbekal kecanggihan teknologi saat ini, ibu dapat mengakses informasi kapan pun dan di mana pun dari ujung jari via ponsel. </p>
<p>Dalam hal peningkatan kualitas makanan pendamping air susu ibu pada anak, <a href="https://doi.org/10.1111/mcn.12603">peran media massa</a> dalam menyampaikan pesan-pesan gizi dan kesehatan telah terbukti. Mekanismenya adalah melalui modifikasi pengetahuan dan sikap secara simultan di komunitas atau lebih dikenal dengan promosi perubahan perilaku dan sosial. </p>
<p>Media massa dapat digunakan menjadi kendaraan yang efektif, terlebih jika dilakukan bersinergi dengan upaya-upaya lain. Misalnya terintegrasi dengan program konseling dan edukasi gizi di fasilitas pelayanan kesehatan dan sejalan dengan konteks sosial budaya yang berlaku di wilayah setempat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176376/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span> </span></em></p>
Jika dilihat dari jenis kelompok makanannya, makanan jenis padi-padian, akar-akaran dan umbi-umbian mendominasi konsumsi makanan harian pada bayi dan anak.
Bunga A. Paramashanti, Lecturer and researcher at the Department of Nutrition, Faculty of Health Sciences, Universitas Alma Ata
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/165462
2021-08-05T06:51:27Z
2021-08-05T06:51:27Z
Mengapa kita perlu waspadai pemberian makanan pralaktasi pada bayi
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/414500/original/file-20210804-24-6rzyo8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/a-mother-taking-a-selfie-with-her-baby-6849495/">Photo by RODNAE Productions from Pexels</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini untuk memperingati Pekan Menyusui Sedunia, 1-7 Agustus.</em></p>
<p>Walau air susu ibu (ASI) adalah nutrisi terbaik bagi bayi, nyatanya di Indonesia, sekitar 30-40 dari setiap 100 bayi baru lahir masih diberi susu formula atau berbagai makanan yang tidak selayaknya dikonsumsi bayi, seperti madu, bubur nasi, bahkan pisang.</p>
<p>Data tersebut berasal dari <a href="http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf">Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)</a> dan <a href="https://dhsprogram.com/pubs/pdf/FR342/FR342.pdf">Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)</a> terbaru. Makanan atau minuman selain ASI yang diberikan pada bayi dalam <a href="https://dhsprogram.com/pubs/pdf/FR342/FR342.pdf">beberapa hari setelah lahir</a> atau <a href="https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/9789241597494.pdf">sebelum ASI keluar</a> seperti di atas disebut juga makanan pralaktasi. </p>
<p>Jika tidak ada indikasi medis, bayi tidak membutuhkan makanan pralaktasi. Memberikan makanan pralaktasi sembarangan justru berpotensi membawa risiko kesehatan, seperti <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31523040/">infeksi saluran cerna</a> dan <a href="https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/9789241597494.pdf">berkurangnya produksi ASI</a>. </p>
<h2>Kondisi seperti apa yang memicu ibu atau keluarga untuk memberikan makanan pralaktasi pada bayi?</h2>
<p>Di luar alasan medis yang terbilang sangat jarang, ada banyak faktor yang melatarbelakangi pemberian makanan pralaktasi. <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0243097">Riset saya menggunakan data SDKI</a> menunjukkan bahwa praktik pemberian makanan pralaktasi lebih sering terjadi pada ibu-ibu yang tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), melahirkan anak pertama, melahirkan secara sesar, dan tidak punya buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). </p>
<p><a href="https://www.who.int/elena/titles/early_breastfeeding/en/">Pemberian ASI dalam satu jam setelah bayi lahir alias IMD</a> termasuk <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27885658/">kontak kulit ibu dan bayi sangat berperan dalam keberhasilan menyusui</a>. Jika ASI keluar pada jam-jam pertama kelahiran, maka proses menyusui akan lebih mudah ke depannya. </p>
<p>Sebaliknya, jika tidak, ibu akan stres dan stresnya akan semakin mempersulit produksi ASI. Mengedukasi ibu tentang manfaat IMD dan mengupayakan rawat gabung –bayi dan ibu dalam satu ruangan rawat inap – niscaya dapat meminimalisasi pemberian makanan pralaktasi. </p>
<p>Persalinan sesar berisiko membuat IMD terhambat, karena ibu masih dalam masa pemulihan sesudah operasi, dan ASI keluar lebih lambat sehingga menyusui <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21815988/">jadi lebih sulit</a>. Hal ini berujung membuat ibu cemas dan terburu-buru memberikan makanan pralaktasi. Oleh karena itu persalinan spontan (atau yang dikenal awam sebagai ‘normal’) perlu diupayakan semaksimal mungkin.</p>
<p>Pemeriksaan kehamilan sangat penting untuk menghindari komplikasi yang berujung pada kelahiran sesar. Jika kelahiran sesar memang dibutuhkan karena alasan medis, maka ibu perlu mendapat informasi dan pendampingan pascasalin untuk mengurangi kecemasan. </p>
<p>Pemberian makanan pralaktasi kerap berhubungan dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29973298/">kurangnya pengetahuan</a>. Ibu yang baru melahirkan pertama kali biasanya memiliki lebih sedikit pengalaman menyusui, sehingga lebih berpotensi memberikan makanan pralaktasi. </p>
<p>Demikian juga dengan orang tua yang tidak memiliki buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Kemungkinan besar mereka minim kontak dengan tenaga kesehatan selama kehamilan dan kurang <a href="https://libportal.jica.go.jp/library/Archive/Indonesia/242i.pdf">informasi tentang menyusui yang termuat dalam buku tersebut</a>. Buku ini bisa <a href="https://dinkes.surakarta.go.id/apa-yang-baru-dari-buku-kia-revisi-2020-seri-pertama-kesehatan-ibu/#:%7E:text=Buku%20KIA%20dapat%20diperoleh%20pada,lainnya%20milik%20Pemerintah%20atau%20Swasta.">didapatkan</a> oleh ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di dokter kandungan atau bidan di klinik, pondok bersalin desa (polindes), puskesmas atau rumah sakit.</p>
<h2>Risiko makanan pralaktasi</h2>
<p>Tidak hanya di Indonesia, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/mcn.12535">bayi-bayi di banyak negara lain kerap diberikan makanan pralaktasi</a>. Alasan pemberiannya juga bervariasi, antara lain <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19114243/">tradisi atau kepercayaan</a>, arahan <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/NFS-07-2017-0144/full/pdf">orang sekitar</a>, atau kekhawatiran ASI <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29973298/">tidak cukup</a>. </p>
<p>Namun semua ini biasanya didasari oleh kurangnya informasi soal risiko infeksi pada bayi serta pemahaman akan proses menyusui.</p>
<p>Infeksi dapat timbul dari kontaminasi atau penyiapan makanan dan minuman yang tidak higienis. Bahkan beberapa makanan seperti <a href="https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/botulism">madu mengandung bakteri penghasil <em>botulinum toxin</em> (racun) sehingga Badan Kesehatan Dunia (WHO) melarang pemberian madu untuk bayi di bawah satu tahun</a>. </p>
<p>Makanan pralaktasi juga membuat <a href="https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/9789241597494.pdf">bayi merasa kenyang dan enggan menyusu sehingga payudara ibu tidak terstimulasi dengan optimal</a>. Akibatnya, produksi ASI pun semakin berkurang dan siklus ini akan berulang seperti lingkaran setan. </p>
<p>Karena itu, <a href="https://www.who.int/teams/nutrition-and-food-safety/food-and-nutrition-actions-in-health-systems/ten-steps-to-successful-breastfeeding">dalam rekomendasi 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, WHO</a> melarang pemberian makanan pralaktasi tanpa indikasi medis yang jelas.</p>
<h2>Memahami proses laktasi</h2>
<p>Secara umum, ibu, ayah dan keluarga besar perlu memahami bahwa bayi baru lahir tidak memerlukan makanan apa pun selain ASI. Proses keluarnya ASI pun bervariasi antar ibu dan tidak semua langsung keluar pada jam atau bahkan hari pertama kelahiran. </p>
<p>ASI yang tidak keluar sampai tiga hari atau 72 jam pasca persalinan umumnya <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17983996/">masih terbilang wajar</a> sehingga jika bayi sehat dan tidak ada komplikasi lainnya, makanan pralaktasi tidak perlu terburu-buru diberikan. </p>
<p>Ibu dan keluarga perlu berdiskusi dengan dokter atau bidan yang membantu proses persalinan untuk mendapat pemahaman yang benar dan percaya diri bahwa ASI-nya cukup. Itulah pentingnya mencari tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang memahami dan mendukung ASI. </p>
<p>Ibu hamil juga disarankan berkonsultasi dengan konselor laktasi untuk mendukung ibu mempersiapkan diri untuk menyusui. Jika memungkinkan, pasangan atau keluarga ibu ikut diedukasi agar tidak ada lagi informasi menyesatkan dari orang sekitar seputar pemberian makanan bayi.</p>
<p>Menyusui itu alamiah tapi prosesnya tidak selalu mudah. Ibu dan keluarga wajib mempersiapkan kelahiran jauh-jauh hari, minimal saat kehamilan, untuk menghindari pemberian makanan pralaktasi yang tidak perlu. Harapannya, proses menyusui dapat berjalan lancar. </p>
<h2>Kondisi khusus</h2>
<p>Walau jarang, memang ada kondisi-kondisi tertentu bayi secara medis <a href="https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/WHO_NMH_NHD_09.01_eng.pdf">membutuhkan makanan pralaktasi</a>. Misalnya ibu sakit berat atau menerima obat-obatan tertentu sehingga ia betul-betul tidak bisa menyusui bayinya sementara waktu dan tidak ada donor ASI yang aman. </p>
<p>Akan tetapi, perlu diingat bahwa makanan pralaktasi yang diberikan <a href="https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/WHO_NMH_NHD_09.01_eng.pdf">hanya boleh berupa susu formula bayi yang disiapkan sesuai dengan standar kesehatan</a>, bukan makanan lain. </p>
<p>Pada kondisi ini, penting bagi ibu untuk memperoleh informasi yang komprehensif dari tenaga kesehatan, pendampingan menyusui, serta bantuan untuk relaktasi. <a href="https://www.cdc.gov/breastfeeding/breastfeeding-special-circumstances/supporting-families-with-relactation.html">Relaktasi</a> adalah proses kembali menyusui setelah sempat terhenti untuk beberapa saat. </p>
<p>Jika relaktasi berhasil, ibu dapat kembali menyusui secara ekslusif sampai bayi berusia enam bulan. Ibu tidak perlu berkecil hati selama bayi sehat dan mendapat makanan sesuai kebutuhan dan kondisinya.</p>
<p>Jika makanan pralaktasi di luar indikasi medis terlanjur diberikan, maka segera hentikan dan pantau tanda-tanda infeksi pada bayi seperti demam, muntah, dan diare. Periksakan kepada dokter jika ibu dan keluarga merasa khawatir. </p>
<p>Carilah pendampingan menyusui dan bantuan relaktasi oleh dokter, bidan, atau konselor laktasi untuk mendukung keberhasilan menyusui.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165462/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lhuri D. Rahmartani menerima beasiswa dari Jardine Foundation untuk studi doktoral di University Oxford.</span></em></p>
Secara umum, ibu, ayah dan keluarga besar perlu memahami bahwa bayi baru lahir tidak memerlukan makanan apa pun selain ASI.
Lhuri D. Rahmartani, PhD student at Nuffield Department of Population Health, University of Oxford
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/142679
2020-08-19T04:22:09Z
2020-08-19T04:22:09Z
Riset di Kota Palu: suami, mertua dan ibu kandung hambat keberhasilan ibu menyusui
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/352129/original/file-20200811-18-1julddn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tidak adanya dukungan sosial yang didapatkan ibu selama menyusui menjadi dorongan terbesar ibu gagal memberikan ASI.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/id-id/foto/anak-balita-baru-lahir-bayi-2721581/">Lisa Fotios/Pexels.com</a></span></figcaption></figure><p>Teknologi komunikasi dan platform media sosial yang dapat membantu ibu meningkatkan pengetahuan dasar seputar air susu ibu dan menyusui, tampaknya tidak signifikan dalam membantu kelancaran dan keberhasilan ibu menyusui bayinya.</p>
<p>Riset terbaru saya, tentang penyebab kegagalan menyusui bayi di Kota Palu Sulawesi Tengah, menunjukkan hal itu. Riset (sedang dalam proses publikasi) dengan responden 400 ibu menemukan fakta bahwa minimnya pengetahuan seputar ASI dan menyusui bukan menjadi faktor pertama dan terbanyak kegagalan tersebut. </p>
<p>Sebaliknya, suami, mertua dan orang tua ibu justru menjadi faktor penghambat terbesar untuk keberhasilan ibu menyusui bayinya. Minimnya dukungan sosial yang bersumber dari keluarga inti merupakan faktor pertama yang mempengaruhi kegagalan ibu menyusui.</p>
<p>Temuan data di Kota Palu ini berbeda dari hasil penelitian pakar ASI terkait proses menyusui di negara miskin dan berkembang selama hampir satu dasawarsa terakhir. <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24828026/">Sebuah riset pada 2014 bahwa menyatakan</a> di Zimbabwe hambatan utama gagalnya menyusui di negara tersebut adalah minimnya pengetahuan ibu tentang ASI dan proses menyusui.</p>
<p>Sebuah riset lainnya <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23178062/">pada 2013 di Amerika Serikat menyatakan</a> kurangnya informasi mengenai manfaat ASI dan cara memberikan ASI yang tepat mempengaruhi keputusan ibu untuk berhenti memberikan ASI. </p>
<h2>Melek ASI tapi gagal menyusui, kok bisa?</h2>
<p>Sebagai konselor menyusui, saya kerap menemukan kenyataan di lapangan. Dalam riset saya, umumnya para ibu muda yang bermukim di Kota Palu dan gagal menyusui adalah ibu yang memiliki pengetahuan seputar ASI cukup baik. </p>
<p>Banyak informasi yang telah diperoleh ibu, sejak dari awal kehamilan hingga dalam proses kelahiran terkait manfaat ASI untuk bayi dan ibu sendiri. </p>
<p>Dalam riset di Palu, keberadaan fasilitas dan tenaga kesehatan baik posyandu, Puskesmas hingga rumah sakit, serta bidan dan dokter yang mulai melek ASI juga turut serta menyumbangkan informasi dan pengetahuan kepada ibu. </p>
<p>Ada juga kontribusi para konselor seperti saya. Sejak Desember 2016, misalnya, saya mempromosikan pentingnya ASI melalui kuliah WhatsApp dengan peserta lebih dari 20 ibu muda. Saya juga sering diundang untuk mengisi materi diskusi tentang ASI dan menyusui di Institut Ibu Profesional Cabang Sulawesi Tengah dan Ikatan Ibu Muda Dosen IAIN Palu, serta Organisasi Perempuan Wanita Islam Al Khairat Sulawesi Tengah.</p>
<p>Platform media sosial juga turut serta berperan sebagai sumber informasi untuk meningkatnya pengetahuan ibu terkait ASI dan proses menyusui.</p>
<p>Lalu, mengapa para ibu di Palu gagal menyusui walau pengetahuan mereka tentang ASI lebih dari cukup? Dari hasil wawancara dan pengamatan yang saya lakukan, tidak adanya dukungan sosial yang didapatkan ibu selama menyusui menjadi dorongan terbesar ibu gagal dalam memberikan ASI.</p>
<p>Suami, mertua, dan orang tua justru tidak menjadi mata rantai yang meningkatkan dan menjaga keinginan ibu menyusui bayinya. Tiga orang penting di lingkungan ibu tersebut, secara sikap tidak mau mendukung keberhasilan ibu muda dalam menyusui. </p>
<p>Misalnya, saat ibu berusaha mandiri untuk mengatasi masalah menyusui dengan anak karena terjadi <a href="https://www.alodokter.com/mastitis-kendala-para-ibu-menyusui">peradangan pada jaringan payudara</a> atau anak menolak menyusu, mertua atau orang tua akan merasa tersinggung jika tidak dilibatkan dalam penyelesaian masalah tersebut. Keputusan ibu dalam menyelesaikan masalah tersebut berdasar dari respons negatif yang muncul dari orangtua kandung dan mertua, seperti orang tua dan mertua yang memberikan label ibu manja, atau memberi jalan pintas berupa saran untuk memberi susu formula saja. </p>
<p>Mereka melabeli ibu muda ini dengan label negatif seperti “sok tahu, sok paham dan keras kepala”. </p>
<p>Setali tiga uang dengan ibu kandung dan mertua, secara umum suami juga memilih tidak terlibat dalam proses menyusui. Apalagi saat terjadi konflik terkait menyusui antara istrinya dengan mertua atau orang tua kandungnya. Pola komunikasi yang buruk ini menghambat keberhasilan ibu muda menyusui bayinya. </p>
<p>Para orang tua sang ibu, baik mertua atau ibu kandung mengharapkan ibu muda ini mencari dukungan untuk berhasil menyusui. Seorang responden menyatakan bahwa dirinya harus proaktif belajar tentang kehamilan dan persiapan menyusui kepada orang yang lebih tua darinya, meski orang tua dan mertua tidak paham soal ASI, pentingnya ASI, posisi yang ideal menyusui, manfaat menyusui dan lain sebagainya. </p>
<p>Dalam kacamata ibu muda yang menyusui, sikap yang “seharusnya” seperti ibu proaktif bertanya pada orang tua kandung dan mertua dan mengikuti saran-saran terkait ASI dari orang tua dan mertua, menjadi lampu hijau bagi orang tua dan mertua untuk hadir secara fisik dan mental selama proses hamil hingga mengasuh. </p>
<p>Dari banyak proses menyusui yang penulis temui di lapangan, para mertua dan orang tua kandung menggangap ibu masa kini sebagai pembelajar pasif yang tidak mau menjadikan orang tua atau mertua sebagai pedoman dalam menyusui anak-anaknya. </p>
<p>Menurut orang tua dan mertua, ibu masa kini tidak mau melibatkan 100 persen kehadiran mereka, sehingga label ‘mandiri’, ‘bisa sendiri’ atau ‘tidak usah dibantu karena sudah pintar’ tersematkan dengan kuat pada diri ibu, yang berdampak buruk pada keduanya, baik bagi ibu atau orang tua dan mertua. </p>
<p>Sikap ibu muda yang gamang tentang ASI dan butuh pendampingan, direspons dingin oleh orang tua dan mertua. Kondisi ini pada gilirannya menurunkan keyakinan ibu untuk sukses menyusui dan berujung gagal. </p>
<p>Demikian pula hubungan ibu bayi dan suaminya. </p>
<p>Suami yang seharusnya menjadi pijakan terbesar ibu pada saat hamil dan menyusui, justru berlaku sebaliknya. Bahkan jika bayi menunjukkan ekspresi seperti tangis ketika menyusu, maka tawaran pertama dari suami adalah pemberian susu formula, agar situasi bisa segera kembali tenang dan nyaman.</p>
<p>Data kualitatif menunjukkan bahwa pendampingan yang tidak maksimal dari suami, seperti tidak adanya informasi yang cukup tentang ASI, suami yang merasa bahwa persoalan menyusui bukan wilayah yang harus dicampurinya, menambah goyahnya keyakinan ibu untuk berhasil menyusui. </p>
<h2>Mari dukung ibu menyusui</h2>
<p>Komunikasi dan hubungan yang buruk antara ibu muda, suami, dan orang tua kandung serta mertua, tanpa disadari menjadi suatu budaya yang berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi.</p>
<p>Pada ibu muda, kegagalan menyusui memberikan risiko psikologis yang besar seperti ketidakpercayaan diri sebagai ibu yang berhasil. Sementara pada bayi yang gagal menyusu akan berdampak pada kondisi kesehatan yang juga berisiko besar, seperti <a href="https://www.google.com/search?client=safari&rls=en&q=An+official+position+statement+of+the+Association+of+Women%E2%80%99s+Health,+Obstetric+and+Neonatal+Nurses+Approved+by+the+AWHONN+Board+of+Directors,+November+2014.+AWHONN+2000+L+Street,+NW,+Suite+740,+Washington,+DC+20036,+(800)+673-8499&ie=UTF-8&oe=UTF-8">terpapar obesitas, alergi akut, infeksi pernapasan, dan lain sebagainya</a>.</p>
<p>Karena itu, kita perlu mengajak semua lapisan masyarakat agar lebih peduli pada ibu yang sedang hamil dan menyusui. Caranya dengan memberikan dukungan sosial yang positif, misalnya memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada orang tua, mertua dan suami, tentang apa yang dibutuhkan ibu. </p>
<p>Suami, orang tua, dan mertua juga harus “disasar” program kampanye pentingnya menyusui bayi melalui seminar, diskusi, dan promosi kesehatan di Posyandu, Puskesmas, dan ruang publik. </p>
<p>Kepedulian kita adalah langkah awal untuk menciptakan atmosfer yang sehat di lingkungan ibu, dan juga bentuk lain dari dukungan sosial kita kepada ibu yang sedang menyusui.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/142679/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andi Muthia Sari Handayani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Komunikasi dan hubungan yang buruk antara ibu muda, suami, dan orang tua kandung serta mertua, tanpa disadari menjadi suatu budaya yang berdampak buruk pada kesehatan ibu dan bayi.
Andi Muthia Sari Handayani, Dosen Psikologi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/131148
2020-03-03T02:40:34Z
2020-03-03T02:40:34Z
Yang perlu Indonesia lakukan untuk mengurangi jumlah anak stunting
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/317524/original/file-20200227-24676-5415a7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pemeriksaan bayi secara rutin merupakan langkah penting untuk memantau kesehatan bayi dan ibunya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/planasia/8163398507/in/album-72157627976670129/">Plan Asia/Flickr</a></span></figcaption></figure><p>Survei <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">terbaru Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan masalah gizi dan tumbuh kembang anak masih menjadi hambatan besar bagi pemerintah Indonesia untuk mendongkrak kualitas sumber daya manusia. </p>
<p>Secara statistik pada September 2019, angka kemiskinan Indonesia menjadi <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/01/15/1743/persentase-penduduk-miskin-september-2019-turun-menjadi-9-22-persen.html">9,22 persen</a>, turun 0,19 persen dibanding Maret 2019. Namun pada akhir Desember lalu BPS merilis <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">prevalensi bayi di bawah lima tahun yang menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) mencapai 27,7 persen pada 2019</a>. Artinya 28 dari 100 balita masih memiliki tinggi badan kurang dari ukuran normal.</p>
<p>Walau angka tersebut turun sekitar tiga persen dibanding tahun sebelumnya, tapi jumlah tersebut tetap tinggi karena <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/292779-angka-stunting-di-indonesia-masih-lebih-tinggi-dari-toleransi-who">WHO menetapkan batas atasnya 20%</a>. </p>
<p>Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan angka stunting turun lebih drastis menjadi <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">19 persen pada 2024</a>. </p>
<p>Selain intervensi langsung untuk meningkatkan status gizi ibu mengandung dan anak, untuk mengatasi stunting, akses pada air bersih, penanggulanan kemiskinan dan ketimpangan gender serta edukasi orang tua mengenai gizi, sangat penting untuk mengurangi prevalensi stunting. </p>
<h2>Beban ganda karena gizi</h2>
<p>Jutaan anak dan remaja Indonesia masih menderita <em>stunting</em> (bertubuh pendek) dan <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/"><em>wasting</em> (bertubuh kurus)</a> karena kurang gizi. Di sisi lain, banyak juga anak Indonesia yang kegemukan karena kelebihan gizi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, menurut UNICEF, hampir 30 dari 100 anak berusia di bawah lima tahun menderita stunting, sedangkan pada tahun yang sama 10 dari 100 anak kekurangan berat badan atau terlalu kurus untuk usia mereka. <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/status-anak-dunia-2019">Seperlima anak usia sekolah dasar kelebihan berat badan atau obesitas</a>. </p>
<p>Kedua masalah ini sama-sama membutuhkan penyelesaian, tapi saat ini pemerintah Indonesia lebih fokus menurunkan angka stunting.</p>
<p><em>Stunting</em> pada balita merupakan <a href="http://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kondisi kurang gizi kronis</a> pada anak berusia 0–59 bulan yang diukur berdasarkan <a href="https://hellosehat.com/parenting/nutrisi-anak/penentuan-status-gizi-anak/">indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)</a>. Anak yang menderita <em>stunting</em> memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (pendek atau sangat pendek). </p>
<p><a href="http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-04/S55589-Maya%20Adiyanti.">Penyebab utama stunting adalah</a> pola asuh gizi yang kurang baik dan sanitasi yang kurang layak. Tim Nusantara Sehat di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, misalnya, menemui bahwa keluarga balita yang mengalami stunting kebanyakan mengalami keadaan tersebut. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli lauk pauk yang bergizi dan tidak memiliki akses air bersih. Hal kecil menyangkut kebersihan juga kurang diperhatikan, seperti kuku anak yang hitam dan kotor dibiarkan saja. Ini menunjukkan kurangnya pengetahuan ibu. </p>
<p>Dampak dari keadaan anak kurang tinggi tidak hanya berpengaruh pada fisik melainkan juga mental dan emosional khususnya pada perkembangan <a href="https://theconversation.com/empat-dampak-stunting-bagi-anak-dan-negara-indonesia-110104">kecerdasan dalam berpikir</a>. Selain itu, dampak jangka panjangnya anak yang kekurangan gizi kronis pada masa pertumbuhan juga dapat <a href="https://theconversation.com/stunted-growth-and-obesity-the-double-burden-of-poor-nutrition-on-our-doorstep-50385">meningkatkan penyakit degeneratif</a> seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke, jantung dan lain-lain. Orang yang mudah sakit menyebabkan produktifitas menurun dan dapat merugikan perekonomian negara. Selain itu, orang tidak produktif dekat dengan kemiskinan. </p>
<p>Masalah serupa juga banyak terjadi di negara lain. <a href="https://www.unicef.org/reports/state-of-worlds-children-2019">Laporan terbaru UNICEF</a> menyatakan sampai saat ini masih terdapat 149 juta balita <a href="https://www.alodokter.com/bayi-lahir-stunting-faktor-penyebab-dan-risiko">stunting</a> dan 50 juta balita <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/wasting-adalah-masalah-gizi-anak/">berbadan kurus</a> di seluruh dunia. </p>
<h2>Intervensi langsung dan tidak langsung</h2>
<p>Balita stunting dapat dicegah sejak masa kandungan. Ibu hamil harus sehat dan tidak mengalami anemia. Ibu hamil dengan anemia memiliki <a href="https://www.halodoc.com/anemia-saat-hamil-tingkatkan-risiko-stunting-pada-anak">risiko melahirkan bayi <em>stunting</em>. </a></p>
<p>Untuk meningkatkan status gizi ibu yang mengandung dan anak sesudah ibu melahirkan, pemerintah telah menjalankan intervensi langsung yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Periode ini merupakan periode emas seorang anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. </p>
<p>Pemerintah melaksanakan intervensi ini melalui program-program <a href="https://cegahstunting.id/program/gizi-spesifik/">pemberian makanan tambahan untuk ibu, konseling gizi selama hamil, pemberian imunisasi, dan kegiatan lainnya</a>. </p>
<p>Meski demikian, hasil <a href="https://www.antaranews.com/berita/764584/hampir-separuh-ibu-hamil-di-indonesia-alami-anemia">Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) BPS</a> menyatakan prevalensi anemia pada ibu hamil pada 2018 mencapai 48,9 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2013 yang 37,1 persen. </p>
<p>Karena status gizi buruk pada ibu mengandung dan anak disebabkan juga oleh faktor infrastruktur–seperti akses pada air bersih-serta faktor sosial-seperti diskriminasi terhadap perempuan-dan kemiskinan, intervensi langsung pada ibu dan anak tidak cukup. </p>
<p>Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan intervensi yang tidak langsung untuk mengatasi stunting. Contoh kegiatan dalam intervensi tidak langsung ini adalah penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan pemberdayaan perempuan.</p>
<p>Tidak hanya bagi ibu hamil dan balita pada 1000 HPK, masyarakat secara umum juga menjadi <a href="https://www.bps.go.id/publication/2019/12/30/9d583b7e2bd81fada82375e0/profil-statistik-kesehatan-2019.html">sasaran dari intervensi tak langsung ini</a>. </p>
<h2>Edukasi calon orang tua</h2>
<p>Upaya pemerintah untuk fokus pada intervensi kesehatan anak dan ibu hamil sudah cukup tepat karena titik dimulainya pembangunan sumber daya manusia (SDM) dimulai dari usaha untuk memastikan keadaan ibu sehat. Para ibu mendapatkan asupan makanan sesuai dengan kebutuhan, tidak mengalami anemia dan penyakit menular melalui cek kehamilan rutin, serta sanitasi yang baik seperti memiliki akses air bersih dan jamban sehat.</p>
<p>Namun, minimnya pengetahuan orang tua mengenai gizi turut <a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/nutrisi">menyebabkan tingginya angka gizi buruk</a>. Pengetahuan tentang kesehatan bayi dan balita, serta pentingnya pemberian gizi yang cukup menjadi modal yang penting. </p>
<p>Oleh karena itu, perlu pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pekarangan rumah untuk dijadikan kebun gizi yang ditanami sayur-sayuran dan buah-buhan, serta petingnya peningkatan kegiatan ibu-ibu PKK dalam pengolahan makanan beragam, bergizi, aman dan seimbang.</p>
<p>Pemerintah bisa memberdayakan para tenaga kesehatan untuk mengedukasi baik calon ibu maupun ayah untuk memastikan ibu dan anak sehat. Dalam RAPBN 2020, Kementerian Kesehatan mendapat alokasi anggaran Rp 132 triliun untuk seluruh fungsi kesehatan. Hal itu membuat Kemenkes menjadi pemilik <a href="https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/sosial/kementerian-kesehatan-fokus-pada-pencegahan-stunting">anggaran terbesar keenam di APBN 2020</a>. Anggaran ini bisa digunakan untuk mendukung optimalisasi edukasi calon orang tua. </p>
<p>Perlu sinergi yang lebih kuat dari masyarakat dan pemerintah ke depan untuk memperkuat sistem pemberian layanan gizi. Organisasi internasional seperti UNICEF juga bisa menjadi partner pemerintah untuk mewujudkan tujuan bersama masyarakat yang lebih sehat dan produktif.</p>
<p><em>Fauziyah Wulandari, anggota Tim Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan yang bertugas di Kabupaten Halmahera Tengah, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/131148/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Annisa Nurul Ummah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Perlu kolaborasi pemerintah dan masyarakat luas untuk mengurangi jumlah anak stunting di Indonesia
Annisa Nurul Ummah, Staf Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/124410
2019-10-02T03:42:27Z
2019-10-02T03:42:27Z
Temuan botol bayi prasejarah menunjukkan bayi diberi susu sapi sejak 5.000 tahun lalu
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/294716/original/file-20190930-185383-1wdbunx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Botol bayi di akhir Zaman Perunggu dari Vösendorf, Austria. </span> <span class="attribution"><span class="source">Enver-Hirsch © Wien Museum, Author provided </span></span></figcaption></figure><p>Bagaimana orang tua merawat anak-anak mereka pada Zaman Batu? Ternyata nenek moyang kita mungkin tidak begitu berbeda dengan ibu dan ayah modern. Bejana dari tanah liat yang ditemukan di Jerman digunakan untuk memberikan air susu ibu dan menyapih anak-anak lebih dari 5.000 tahun yang lalu. Benda ini kemudian umum digunakan di Zaman Perunggu dan Zaman Besi, dan dianggap sebagai botol bayi pertama.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1179/1758571615Z.00000000026?src=recsys&journalCode=ycip20">Analisis terhadap kerangka anak</a> dari periode ini menunjukkan bahwa pemberian makanan kepada bayi dilakukan pada usia sekitar enam bulan dan selesai pada usia dua hingga tiga tahun. Botol-botol ini sering ditemukan di situs pemukiman kuno dan datang dalam berbagai bentuk, tapi selalu sangat kecil dan memiliki cerat, tempat cairan dapat dituangkan atau disusui.</p>
<p>Terkadang mereka mengambil bentuk binatang mitos yang sangat lucu, lengkap dengan kaki dan kepalanya, mungkin dibuat oleh orang tua untuk menghibur anak-anak mereka. Para arkeolog menyatakan bahwa mereka terbiasa memberi makan bayi, tapi mungkin juga memberi makan orang sakit atau orang tua. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu tujuan mereka sebenarnya, atau jenis makanan apa yang mereka miliki.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=140&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=140&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=140&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=176&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=176&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/293894/original/file-20190924-51401-1v83vg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=176&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Bejana dari Zaman Perunggu dan Zaman Besi awal dari Znojmo (Republik Ceko), Harting (Bavaria, Jerman), Franzhausen-Kokoron (Austria), Batina (Kroasia) dan Statzendorf (Austria), 1200-600 SM.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Katharina Rebay-Salisbury</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Cara mengasuh anak sepanjang abad</h2>
<p><a href="https://nature.com/articles/s41586-019-1572-x">Dalam penelitian ini</a>, kami memutuskan untuk menyelidiki objek menggunakan teknik yang disebut analisis residu organik. Kami menemukan tiga bejana di kuburan anak di Eropa dan dua di antaranya dengan kondisi lengkap. Biasanya kami akan menggiling pot yang pecah, tapi kami tidak mungkin melakukannya pada bejana yang sangat kecil dan berharga ini.</p>
<p>Sebagai gantinya, kami melakukan pengeboran yang sangat rumit untuk mendapatkan bubuk keramik yang cukup, dan kemudian memperlakukannya dengan teknik kimia untuk mengekstraksi molekul yang disebut lipid. Lipid ini berasal dari lemak, minyak, dan lilin alam, dan biasanya diserap ke dalam pot selama memasak, atau, dalam hal ini, melalui pemanasan susu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/what-ancient-footprints-can-tell-us-about-what-it-was-like-to-be-a-child-in-prehistoric-times-91584">What ancient footprints can tell us about what it was like to be a child in prehistoric times</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Untungnya, lipid ini bisa bertahan selama ribuan tahun. Kami biasanya menggunakan teknik ini untuk mencari tahu jenis makanan apa yang dimasak di pot kuno mereka. Sepertinya mereka memakan banyak makanan yang kita makan hari ini, termasuk berbagai jenis daging, produk susu, ikan, sayuran dan madu.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=845&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=845&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=845&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1062&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1062&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/293893/original/file-20190924-51414-yuwv1w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1062&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Suasana keluarga prasejarah yang menunjukkan pemberian makan kepada bayi menggunakan botol yang mirip dengan yang kami uji.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Christian Bisig/Archäologie der Schweiz</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa ketiga bejana berisi susu hewan ruminansia, baik sapi, domba atau kambing. Ditemukannya bejana ini di kuburan anak menunjukkan bahwa hewan-hewan ini digunakan untuk memberi susu pada bayi, sebagai makanan tambahan selama penyapihan.</p>
<p>Ini menarik karena susu hewan hanya akan tersedia jika manusia mengubah gaya hidup mereka dan <a href="https://theconversation.com/why-some-humans-developed-a-taste-for-milk-and-some-didnt-56084">menetap dalam komunitas pertanian</a>. Pada saat itu – masa awal bertani - orang pertama kali memelihara sapi, domba, kambing, dan babi. Ini akhirnya mengarah pada “<a href="https://www.semanticscholar.org/paper/The-neolithic-demographic-transition-and-its-Bocquet-Appel-Bar-Yosef/25a36c84878d02df6b0eba8a6b5074555255f74e">transisi demografi Neolitik</a>”, ketika meluasnya penggunaan susu hewan sebagai makanan bayi atau nutrisi tambahan saat menyapih di beberapa bagian dunia, berkontribusi pada meningkatnya angka kelahiran. </p>
<p>Hasilnya, populasi manusia tumbuh secara signifikan, begitu pula luas wilayah pemukiman, yang akhirnya menjadi kota-kota yang kita kenal sekarang. Dengan botol-botol bayi kuno ini, kita terhubung dengan generasi anak pertama yang tumbuh dalam transisi dari kelompok pemburu-peramu ke masyarakat yang berbasis pertanian.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=568&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=568&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=568&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=714&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=714&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/293891/original/file-20190924-51421-n2us8b.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=714&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Seorang bayi zaman modern mencoba replika dari salah satu botol kuno.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Helena Seidl da Fonseca</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penelitian ini memberi kita wawasan yang lebih besar tentang kehidupan ibu dan bayi pada masa lalu dan bagaimana keluarga prasejarah berurusan dengan pemberian makanan dan gizi bayi pada waktu yang sangat berisiko dalam kehidupan bayi. Kematian anak akan tinggi - tidak ada antibiotik pada masa itu - dan memberi makan bayi dengan susu hewan akan memiliki risikonya sendiri. Meskipun kini telah tersedia sumber nutrisi yang baik, hari ini kita tahu bahwa susu yang tidak dipasteurisasi (dipanaskan) membawa risiko kontaminasi dari bakteri dan dapat menularkan penyakit dari hewan.</p>
<p>Seperti semua penelitian, temuan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan baru. Baik orang Yunani kuno maupun Romawi menggunakan bejana yang sangat mirip, dan kita tahu ditemukan juga sejumlah kecil bejana di situs prasejarah di Sudan. Menarik dicari tahu bagaimana anak-anak generasi ini diberi makan dan dibesarkan di tempat lain di dunia. </p>
<p>Temuan ini membahagiakan, karena kita jadi tahu – meski dengan selang waktu yang sangat panjang – bahwa orang-orang ini mencintai dan merawat anak-anak mereka sama seperti yang kita lakukan hari ini.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/124410/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Julie Dunne receives funding from The Leverhulme Trust.</span></em></p>
Meski dalam selang waktu yang sangat panjang, nenek moyang kita mencintai dan merawat anak-anak mereka sama caranya dengan yang kita lakukan hari ini.
Julie Dunne, Postdoctoral Researcher in Archaeology, University of Bristol
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/121049
2019-08-20T06:36:55Z
2019-08-20T06:36:55Z
Strategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288514/original/file-20190819-123736-5xp5wv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sayangilah anak-anak dengan memberikan gizi yang cukup dan memantau perkembangan mereka. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2NjI0MDQxMiwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTAwNjE0MTYzNiIsImsiOiJwaG90by8xMDA2MTQxNjM2L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sImlsVDhHYkUxTGxiUzE2M0gvaG8xWXUyaUR2YyJd%2Fshutterstock_1006141636.jpg&pi=33421636&m=1006141636">Kenkuza/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam lima tahun terakhir, pemerintah meningkatkan <a href="http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/stunting/Penanganan%20Stunting_DJA.pdf">perhatian</a> dan <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">anggaran</a> untuk mempercepat penurunan angka bayi pendek (<em>stunting</em>) melalui penerbitan <a href="https://www.bappenas.go.id/id/profil-bappenas/unit-kerja/deputi-sdm/dit-kgm/contents-direktorat-kesehatan-dan-gizi-masyarakat/gerakan-nasional-percepatan-perbaikan-gizi/">peraturan presiden</a> dan menetapkan <a href="https://cegahstunting.id/wp-content/uploads/2018/04/8.-160-kab-kota-prioritas-desa-2019_FINAL_rev.4-2.pdf">160 kabupaten dan kota prioritas penanggulangan stunting</a>.</p>
<p>Masalahnya, meski <a href="http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-litbangkes/menu-riskesnas/menu-riskesdas">prevalensi bayi stunting di Indonesia pada 2018</a> masih tinggi 30,8% atau sekitar 1 dari 3 anak balita merupakan bayi stunting, tak ada data prevalensi tingkat kecamatan dan desa yang dapat membantu menentukan area prioritas intervensi.</p>
<iframe title="Prevalensi Balita Stunting di Indonesia (%), 2007-2018" aria-label="Column Chart" id="datawrapper-chart-dfniY" src="https://datawrapper.dwcdn.net/dfniY/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important; border: none;" height="400" width="100%"></iframe>
<p>Saat ini informasi prevalensi status gizi anak di bawah lima tahun baru tersedia untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang berasal dari survei Riset Kesehatan Dasar. Padahal, lima tahun lagi <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">pemerintah menargetkan angka stunting bisa diturunkan hingga 19%</a>.</p>
<p>Keterbatasan informasi menjadi kendala pemerintah dalam menentukan sasaran program anti-stunting ke area yang lebih kecil. Informasi akurat terkait wilayah prioritas dan tingkat prevalensi status gizi sangat dibutuhkan untuk membantu pengambil kebijakan dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya lainnya pada sasaran yang tepat.</p>
<p>Melalui kerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), SMERU Research Institute baru-baru ini menyusun <a href="http://www.smeru.or.id/en/content/penyusunan-peta-status-gizi-di-indonesia">Peta Status Gizi untuk 6 kabupaten</a> (<a href="https://www.smeru.or.id/nutmap">peta bisa dilihat di sini</a>) berdasarkan data riset pemerintah dan verifikasi di lapangan. Peta ini menyediakan informasi prevalensi status gizi balita hingga ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. </p>
<p>Dengan metode riset yang kredibel dan data yang akurat, peta ini menjawab kebutuhan data kesehatan atau kemiskinan di tingkat desa/kecamatan dengan biaya yang jauh lebih murah. Kami menyajikan data status gizi balita di semua desa (1518 desa) di enam kabupaten terpilih yang masuk dalam daftar kabupaten prioritas yakni Rokan Hulu Provinsi Riau, Lampung Tengah (Lampung), Tasikmalaya (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).<br>
Salah satu temuan kami, program intervensi pemerintah seperti perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak dan program terkait kesehatan lainnya, serta perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perbaikan status gizi anak secara umum di 6 kabupaten tersebut.</p>
<h2>Memandu intervensi yang tepat sasaran</h2>
<p>Jauh sebelum riset menyusun peta status gizi tersebut, lembaga kami berpengalaman menyusun <a href="http://povertymap.smeru.or.id/content/reports">peta kemiskinan</a> yang dibuat tahun 2000, 2010 dan 2015. Peta tersebut memberikan <a href="http://povertymap.smeru.or.id/map3/kabbydesa/3206_kabdesa">informasi tingkat kemiskinan</a> hingga ke tingkat administrasi terkecil yaitu desa/kelurahan. </p>
<p>Peta ini tersedia aksesnya untuk pemerintah dalam rangka penetapan daerah-daerah prioritas pengentasan kemiskinan. Peta tersebut juga dapat memberikan gambaran secara geografis mengenai faktor-faktor kemiskinan antar wilayah dan aspek-aspek penghidupan masyarakat secara multi-dimensional.</p>
<p>Kami mengadopsi metode <em>Small Area Estimation</em> (SAE) dari <a href="https://www.jstor.org/stable/3082050">Chris Elbers, Jean Lanjouw, and Peter Lanjouw (2003) ekonom dari Vrije Universiteit Amsterdam</a> yang populer digunakan untuk mengestimasi tingkat kemiskinan hingga ke satuan wilayah terkecil. </p>
<p>Status gizi yang ditampilkan dalam peta status gizi tersebut meliputi <em>stunting</em> (anak pendek) yang didasarkan pada tinggi badan dan umur, <em>underweight</em> (anak berat kurang) yang didasarkan pada berat badan dan umur, dan <em>wasting</em> (anak kurus) yang didasarkan pada tinggi badan dan berat badan. </p>
<p>Sumber data yang kami gunakan untuk menyusun peta gizi berasal dari <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Data%20Riskesdas%202013.pdf">Riset Kesehatan Dasar 2013 </a> yang memuat informasi hasil ukur berat dan tinggi badan balita secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Lalu data <a href="https://www.bps.go.id/publication/2011/11/22/f0f9b7483c34df5e5ae96be2/statistik-potensi-desa-indonesia-2011.html">Statistik Potensi Desa 2011</a> dan <a href="https://mikrodata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/2">Sensus Penduduk 2010</a> dari Badan Pusat Statistik.</p>
<p>Untuk menyusun peta status gizi, selain memetakan melalui estimasi menggunakan data survei dan sensus, kami juga memverifikasi 18 desa dengan mengukur tinggi dan berat badan semua balita (3.800 anak berumur 0-59 bulan) di semua desa terpilih dan wawancara mendalam dengan informan kunci. </p>
<p>Verifikasi ini untuk mengukur secara langsung status gizi balita di desa, melihat konsistensi model estimasi, dan menangkap perubahan dari faktor-faktor kurun waktu 2013 ke 2019. </p>
<p>Temuan dari studi ini menunjukkan kondisi status gizi di semua desa sampel verifikasi cenderung membaik selama kurun waktu 2013 hingga 2019. Contohnya, berdasarkan estimasi pada desa A di Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu pada 2013 memiliki angka stunting 61%. Sementara pada verifikasi tahun 2019 angka stunting ditemukan hanya sepertiganya (20%) di desa tersebut. Program-program intervensi dari pemerintah seperti perbaikan akses sanitasi dan air layak dan pendidikan orang tua mengubah status gizi di desa, tapi perlu riset lanjutan untuk bisa menunjukkan apa saja program yang paling berhasil.</p>
<p>Temuan ini sejalan dengan perubahan angka stunting di tingkat kabupaten. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan angka stunting di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 59%, lalu riset serupa tahun lalu angkanya turun lebih dari separuhnya, tinggal 27%. </p>
<p>Pola serupa juga ditemukan di semua kabupaten studi. Hal ini menunjukkan konsistensi antara perubahan angka status gizi di tingkat desa dan perubahan angka status gizi di tingkat kabupaten pada 2013-2019. </p>
<h2>Faktor pengubah status gizi</h2>
<p>Karena perbedaan antara tahun estimasi – menggunakan data riset kesehatan dasar tahun 2013 – dan verifikasi lapangan pada tahun ini, kami juga menganalisis faktor perubahan angka status gizi di tingkat desa. Kami menemukan beberapa faktor penghidupan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap perubahan status gizi di desa sampel. </p>
<p>Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu, membaiknya sanitasi layak dan akses rumah tangga terhadap air bersih, naiknya tingkat kesejahteraan rumah tangga, dan perbaikan asupan gizi ibu dan anak baik melalui perubahan pemahaman terkait pola pengasuhan, dan terpapar oleh program-program gizi merupakan faktor-faktor yang mengubah status gizi anak-anak. </p>
<p>Sedangkan desa dengan angka status gizi yang stagnan tarkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang tidak berjalan, ada pernikahan dini, kondisi geografis dan akses ke layanan kesehatan yang sulit, dan potensi kerawanan pangan.</p>
<p>Di desa-desa di Timor Tengah Selatan, misalnya, penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil/stagnan. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi geografis wilayah yang luas dengan penduduk yang tersebar, lalu kondisi alam yang cenderung kering dan jauhnya akses sumber air bersih, kesejahteraan rumah tangga yang rendah, dan pemahaman yang rendah terhadap makanan bergizi dan berimbang. </p>
<h2>Mencegah masa depan buruk</h2>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.12080">Penelitian di berbagai negara berkembang</a> menyatakan stunting memiliki banyak dampak buruk pada masa depan anak-anak. Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.</p>
<p>Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki <a href="https://www.who.int/nutrition/events/2013_ChildhoodStunting_colloquium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf">faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa</a>. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/18242415/">berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan</a>. </p>
<p>Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673607600324">penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika</a>. </p>
<p>Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan akut kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun. </p>
<p>Sampai saat ini, pemerintah Indonesia menurunkan angka stunting dengan dua strategi: intervensi spesifik dan intervensi sensitif.</p>
<p>Di bawah kendali Kementerian Kesehatan, intervensi spesifik ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, dan suplementasi zat gizi mikro (misalnya zat besi, seng, dan vitamin).</p>
<p>Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja. </p>
<p>Karena itu, data prevalensi yang akurat di level terkecil sangat penting agar intervensinya tepat sasaran. <a href="https://www.smeru.or.id/nutmap/">Peta Status Gizi</a> untuk 6 kabupaten baru langkah awal untuk membantu memetakan status gizi untuk seluruh desa dan kecamatan di Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional menurunkan angka bayi dan balita stunting.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121049/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Elza Samantha Elmira memimpin riset penyusunan peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ridho Al Izzati terlibat dalam penyusunan analisis riset peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p>
Anak-anak yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.
Elza Samantha Elmira, Researcher, SMERU Research Institute
Ridho Al Izzati, Junior Researcher, SMERU Research Institute
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/98786
2018-06-25T03:44:45Z
2018-06-25T03:44:45Z
Ancaman stunting di Indonesia dan cara mengatasinya
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/224453/original/file-20180622-26570-crdift.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kisah anak kurang gizi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, September 2016.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/bybmedia/25602479647/in/photolist-F1ppdT-dvYw4w-24AF88E-dvYGhY-dvYyLW-dvT2ox-24AE3ff-dvYz87-dvYAJ9-dvYsV5-23zJhgj-F1pEjp-dvT5Wi-dvYDZ1-dvYuyQ-dvYt69-dvSYSn-SMWmnm-gHrYLW-V3HfEV-21UvyKA-dvTbVz-dvYM5y-F1pHX6-dvTbiV-ei7r3q-GwMLCf-acWERg-F1pVvr-gvnQv7-gvkvXi-gvoJPp-gvmtKP-21UvCUY-gvnp9L-f2JHsw-dvT6NK-F1qavk-gHrnZu-gvnE7R-4i5Wuq-dvSZwa-gvpUPF-24gTJj9-gvmw2x-dvYH7b-VCHYxJ-dvYF8m-gHsa5G-JTHXh7">Reinier van Oorsouw/UNICEF</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/6Irsvm82IMgCVfClDCYdsY" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Satu dari tiga bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia Indonesia terkena stunting alias kekurangan gizi kronis akibat kekurangan asupan gizi sejak dalam kandungan. Di Indonesia ada 9 juta anak yang menderita stunting. Penyebab langsungnya terkait konsumsi makanan dan penyakit, khususnya infeksi.</p>
<p>Stunting bukan hanya perkara kekurangan gizi kronik yang menyebabkan tubuh-tubuh bayi jadi pendek melain soal perkembangan kecerdasan sampai dengan masa depan bangsa. <a href="https://theconversation.com/gizi-buruk-pada-balita-di-ntt-mengapa-sulit-diakhiri-91841">Nusa Tenggar Timur adalah daerah tempat anak-anak paling banyak terkena gizi buruk</a>.</p>
<p>Ahmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengatakan stunting bukan persoalan bencana individu lagi tapi sudah bencana populasi. Karena itu, penanganannnya juga harus melibatkan populasi secara keseluruhan. Akibat stunting kita mengalami kerugian Rp 300 triliun per tahun dan menurunkan PDB sebesar 3%. </p>
<p>Stunting berdampak bukan hanya pada tinggi badan. Gizi buruk menyebabkan kapasitas intelektual terbatas sehingga dalam jangka panjang bisa mengurangi kinerja atau prestasi sekolah belajar seorang anak. Pada gilirannya kelak akan membatasi pilihan-pilihannya dalam hal ekonomi dan produktivitas. Syafiq memberikan strategi mengakhiri stunting yang dimulai dari masa kehamilan. </p>
<p>Edisi ke-14 Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh Hilman Handoni dan narator Malika. Selamat mendengarkan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/98786/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Stunting itu bukan persoalan bencana individu lagi tapi sudah bencana populasi dan penanganannnya juga harus melibatkan populasi secara keseluruhan.
Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The Conversation
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.