Maraknya misinformasi tentang ODGJ saat Pemilu dapat berakibat pada hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam memilih. Apa saja jenis misinformasi ini?
Dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil untuk melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024.
TCID bekerja sama dengan Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), meluncurkan kolaborasi Panel Ahli Cek Fakta untuk menangkal dis/misinformasi menjelang Pemilu 2024.
Aktivitas cek fakta masih terpusat di media sosial, padahal misinformasi juga cepat menyebar melalui aplikasi perpesanan seperti Whatsapp. Notifikasi push yang dipersonalisasi dapat membantu.
Pada Pemilu 2024, fenomena penyebaran disinformasi kemungkinan besar akan terjadi lagi. Seluruh pihak berpotensi terpapar maupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan.
Secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Ini bisa mendorong mereka untuk ikut mendukung dan menyebar informasi itu.
Kita sering menganggap misinformasi bisa mengarahkan pada keyakinan yang salah, dan kemudian menyebabkan perilaku antisosial. Sejauh ini hanya ada sedikit bukti yang mendukung argumentasi tersebut.
Riset kami menemukan bahwa meski Gen Z di Indonesia cenderung percaya pada sumber kredibel, mereka masih kesulitan mendeteksi hoaks yang beredar di media sosial.
Membangun budaya rasionalitas di kampus bisa membantu menegakkan asas penalaran dan kebenaran ilmiah, sekaligus mengurangi hoaks - bahkan yang rawan disebarkan oleh seorang profesor.
Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.
Bersama dengan Gunadi, peneliti genetika di Universitas Gadjah Mada, kami membongkar berbagai pertanyaan dan mitos tentang COVID-19 yang sudah terlebih dulu kami himpun melalui Instagram dan Twitter.
Laporan Microsoft Digital Civility Index 2021 bulan lalu mengatakan warganet Indonesia “tidak sopan”. Penyebab utamanya adalah tingkah laku berinternet dari orang dewasa (usia 18-74).
Sebagai ruang publik baru, media sosial memiliki data penting bukan saja untuk penelitian ilmiah, tapi juga agar peneliti dapat terlibat mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat.