tag:theconversation.com,2011:/global/topics/ibu-bekerja-52852/articlesibu bekerja – The Conversation2019-08-22T02:53:07Ztag:theconversation.com,2011:article/1220482019-08-22T02:53:07Z2019-08-22T02:53:07ZRiset buktikan perempuan tidak lebih baik dalam ‘multitasking’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288577/original/file-20190819-123720-14tt5xm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Hasil penelitian tidak mendukung mitos yang menyebut perempuan adalah pekerja tugas ganda hebat.
</span> <span class="attribution"><span class="source">From shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan (<em>multitasking</em>)<a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0140371">biasanya selalu dipersepsikan</a> sebagai keunggulan perempuan. Seorang perempuan, khususnya yang sudah memiliki anak, akan sering berkutat dengan pekerjaan dan urusan rumah tangga—menyiapkan makan siang anak-anak, membereskan pekerjaan rumah, dan bersosialisasi dengan orang lain.</p>
<p>Namun studi terbaru yang terbit di jurnal ilmiah <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0220150"><em>PLOS One</em></a>, menunjukkan bahwa perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki dalam urusan melakukan tugas berbeda dalam waktu yang bersamaan.</p>
<p>Studi ini menguji apakah perempuan lebih baik dalam beralih dari satu tugas ke tugas lainnya dan mengerjakan banyak tugas secara bersamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa kerja otak para perempuan tidak lebih efisien dalam kedua kegiatan ini dibandingkan dengan laki-laki. </p>
<p>Menggunakan data yang kuat untuk menentang mitos semacam ini menjadi penting, mengingat perempuan terus dibombardir dengan pekerjaan, keluarga, dan tugas-tugas rumah tangga.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-perempuan-berjilbab-berisiko-kurang-vitamin-d-riset-tunjukkan-ada-banyak-penyebabnya-120347">Apakah perempuan berjilbab berisiko kurang vitamin D? Riset tunjukkan ada banyak penyebabnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tidak ada yang baik dalam tugas ganda</h2>
<p><em>Multitasking</em> adalah kegiatan melakukan beberapa tugas berbeda dalam waktu yang singkat. Dibandingkan dengan menyelesaikan beberapa tugas secara berurutan, tugas ganda membutuhkan peralihan perhatian secara cepat dan acap dari satu tugas ke tugas lainnya, dan meningkatkan tuntutan kognitif.</p>
<p>Studi ini didasari oleh <a href="https://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=95256794">suatu penelitian yang telah ada</a>. Hasilnya adalah otak manusia tidak dapat mengatur beberapa aktivitas sekaligus. Khususnya untuk dua tugas yang serupa, keduanya akan bersaing untuk menggunakan bagian otak yang sama, sehingga melaksanakan tugas ganda menjadi lebih sulit.</p>
<p>Namun, otak manusia pandai dalam <a href="https://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=95256794">beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain</a> secara cepat, sehingga membuat orang berpikir seolah sedang melakukan tugas ganda. Meskipun sebenarnya otak kita mengerjakan satu aktivitas dalam satu waktu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pilih-karier-atau-keluarga-riset-tunjukkan-perempuan-di-jakarta-tidak-leluasa-memilih-keduanya-120663">Pilih karier atau keluarga? Riset tunjukkan perempuan di Jakarta tidak leluasa memilih keduanya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam studi baru ini, peneliti asal Jerman membandingkan kemampuan 48 laki-laki dan 48 perempuan dalam seberapa baik mereka mengidentifikasi huruf dan angka. Dalam beberapa percobaan, para partisipan diminta untuk memperhatikan dua tugas sekaligus (disebut tugas ganda yang dilakukan bersamaan), sedangkan yang lainnya diminta untuk mengalihkan perhatiannya dari satu tugas ke tugas lain (disebut tugas ganda yang dilakukan terpisah). </p>
<p>Para peneliti mengukur waktu reaksi dan ketepatan percobaan tugas ganda terhadap kondisi terkontrol (melakukan hanya satu tugas). Mereka menemukan bahwa tugas ganda pada dasarnya mempengaruhi kecepatan dan ketepatan dalam menyelesaikan tugas, baik perempuan maupun laki-laki. Tidak ada perbedaan di antara keduanya. </p>
<h2>Tugas-tugas domestik</h2>
<p>Saya dan kolega saya baru-baru ini memecahkan mitos yang serupa - <a href="https://theconversation.com/men-do-see-the-mess-they-just-arent-judged-for-it-the-way-women-are-118728">bahwa perempuan lebih baik dalam melihat keadaan yang berantakan</a> dibandingkan laki-laki. Kami menemukan bahwa perempuan dan laki-laki <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0049124119852395">sama-sama dapat menilai seberapa berantakan suatu ruangan</a>. Alasan mengapa laki-laki lebih jarang membersihkan berantakan dibandingkan perempuan mungkin terletak pada fakta bahwa perempuan memiliki penilaian lebih tinggi terhadap kebersihan, daripada “ketidakpedulian laki-laki akan kebersihan”. </p>
<p>Sebuah data baru-baru ini menunjukkan bahwa laki-laki Australia menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerjakan pekerjaan domestik dibandingkan sebelumnya. Meski demikian, perempuan masih melakukan <a href="https://melbourneinstitute.unimelb.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/3127664/HILDA-Statistical-Report-2019.pdf">sebagian besar pekerjaan rumah</a>.</p>
<p>Perempuan Australia yang bekerja telah melihat bagaimana total waktu mereka meningkat dari waktu ke waktu untuk pekerjaan dan urusan keluarga. Istri yang bekerja menghabiskan empat jam lebih banyak terhadap kegiatan-kegiatan ini dibandingkan para suami yang bekerja.</p>
<hr>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=461&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=461&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=461&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=579&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=579&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/287971/original/file-20190814-136190-1ak9iaq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=579&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">HILDA/The Conversation</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>Ini berarti para ibu yang bekerja melakukan semuanya mulai dari merencanakan rencana pesta ulang tahun, mengantar ke penitipan anak, dan kursus balet di atas pekerjaan reguler mereka. </p>
<h2>Konsekuensi dari mitos</h2>
<p>Jika otak perempuan terganggu dengan tugas ganda, mengapa kita tetap meminta mereka untuk melakukan ini? Dan, yang lebih penting, apa saja konsekuensinya?</p>
<p>Studi kami baru-baru ini menunjukkan bahwa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/jomf.12531">para istri lebih banyak tertekan</a> dan memiliki kondisi kesehatan mental yang lebih buruk dibandingkan para suami. Kami menemukan bahwa kelahiran seorang anak meningkatkan laporan orang tua mengenai perasaan tergesa-gesa atau terdesak waktu. Hal ini dirasakan dua kali lebih besar oleh sang ibu dibandingkan para ayah. Anak kedua akan menggandakan tekanan waktu untuk para ibu, sebagai konsekuensinya, <a href="https://theconversation.com/having-a-second-child-worsens-parents-mental-health-new-research-107806">menyebabkan penurunan kesehatan mental mereka</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-terbaik-dan-murah-jaga-kesehatan-anak-ajak-mereka-bermain-di-luar-rumah-119833">Cara terbaik dan murah jaga kesehatan anak: ajak mereka bermain di luar rumah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Perempuan juga <a href="https://aifs.gov.au/sites/default/files/jb(4).pdf">cenderung untuk berhenti dari pekerjaannya</a> ketika anaknya lahir dan tuntutan keluarga menjadi intens. Mereka menopang beban mental yang lebih besar untuk mengatur kebutuhan keluarga – menyediakan kaus kaki bersih, antar-jemput anak sekolah, membeli <em><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Vegemite">vegemite</a></em> (makanan khas Australia) untuk makan siang. </p>
<p>Semua pekerjaan ini membuat perempuan Australia <a href="https://www.abc.net.au/news/health/2017-09-14/the-mental-load-and-what-to-do-about-it/8942032">mengorbankan</a> waktu untuk mengejar karir, kenaikan jabatan, dan lainnya. </p>
<p>Perempuan juga dituntut melakukan tugas ganda pada malam hari. Anak-anak <a href="https://theconversation.com/why-couples-sleep-better-in-more-gender-equal-societies-98547">cenderung mengganggu</a> tidur ibunya daripada ayahnya. </p>
<p>Meski peran gender kian berubah dan laki-laki semakin memiliki porsi yang besar dalam pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak daripada sebelumnya, kesenjangan gender tetap ada di banyak bidang pekerjaan dan kehidupan berkeluarga. Ini termasuk porsi mengasuh anak, pembagian pekerjaan rumah, kesenjangan upah, dan <a href="https://www.nytimes.com/2019/04/26/upshot/women-long-hours-greedy-professions.html#">konsentrasi perempuan</a> di posisi teratas.</p>
<p>Jadi, mitos tugas ganda ini berarti para ibu diharapkan untuk “melakukan semuanya”. Tetapi tuntutan ini dapat mempengaruhi kesehatan mental perempuan, serta kapasitas mereka untuk unggul di tempat kerja.</p>
<h2>Menentang miskonsepsi</h2>
<p>Pendapat publik tetap menyatakan bahwa perempuan memiliki <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0140371">keunggulan biologis</a> sebagai pekerja tugas ganda yang efisien. Namun, seperti yang ditunjukkan pada studi ini, mitos tersebut tidak didukung oleh sebuah bukti.</p>
<p>Ini berarti perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga tambahan. Dan kita harus melihatnya seperti itu.</p>
<p>Di dalam keluarga, pekerjaan-pekerjaan ini perlu dikategorikan, dibahas, dan kemudian dibagi secara merata. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0891243216649946">Dibandingkan sebelumnya</a>, laki-laki saat ini semakin mempedulikan kesetaraan gender, pembagian kerja yang setara, dan pengasuhan bersama .</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-perempuan-berjilbab-berisiko-kurang-vitamin-d-riset-tunjukkan-ada-banyak-penyebabnya-120347">Apakah perempuan berjilbab berisiko kurang vitamin D? Riset tunjukkan ada banyak penyebabnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Seperti halnya di rumah, kita perlu memecahkan mitos-mitos ini di tempat kerja. Pemikiran bahwa perempuan lebih baik dalam tugas ganda dapat mempengaruhi <a href="https://www.hbs.edu/faculty/Pages/item.aspx?num=10807">alokasi tugas-tugas administratif</a>. </p>
<p>Tugas-tugas seperti mengatur jadwal dan menyusun pertemuan tidak boleh dialokasikan berdasarkan jenis kelamin.</p>
<p>Pada akhirnya, pemerintah perlu memecahkan mitos-mitos ini dalam kebijakan mereka. Anak-anak menambahkan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan bersamaan. Perempuan membutuhkan penitipan anak yang terjangkau, berkualitas tinggi, dan tersedia secara luas.</p>
<p>Laki-laki juga membutuhkan akses menuju pekerjaan yang fleksibel, izin cuti ketika pasangannya melahirkan, dan izin mengasuh anak agar dapat berbagi pekerjaan ini dengan perempuan. Selain itu, dibutuhkan pula perlindungan untuk memastikan mereka tidak dihukum karena mengambil waktu untuk hal ini.</p>
<p>Membantah mitos-mitos yang mengharapkan perempuan menjadi pahlawan super adalah hal yang baik, tapi kita perlu melangkah lebih jauh dan menciptakan kebijakan yang berlandaskan kesetaraan gender.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122048/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Leah Ruppanner receives funding from the Australian Research Council.</span></em></p>Tugas ganda kerap dianggap sebagai keunggulan perempuan. Sebuah studi menunjukkan bahwa kerja otak perempuan tidak lebih efisien dibandingkan laki-laki perihal menjalankan banyak tugas sekaligus.Leah Ruppanner, Associate Professor in Sociology and Co-Director of The Policy Lab, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1206632019-07-24T03:32:46Z2019-07-24T03:32:46ZPilih karier atau keluarga? Riset tunjukkan perempuan di Jakarta tidak leluasa memilih keduanya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/285277/original/file-20190723-110183-u02a61.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C997%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang di Indonesia masih menempatkan urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab utama perempuan dan kepercayaan ini memperbesar beban ibu bekerja. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Bekerja di Jakarta itu berat. Selain jam kerja yang panjang, karyawan juga harus melaju dari dan ke tempat kerja dalam waktu yang cukup lama karena mereka harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta yang <a href="https://www.theguardian.com/cities/2016/nov/23/world-worst-traffic-jakarta-alternative">disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia</a>.</p>
<p>Bagi ibu bekerja, tantangannya semakin berat. </p>
<p>Mereka harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan sarapan bagi keluarganya. Lantas mereka harus menitipkan anak kepada pengasuh atau orang tua mereka untuk kemudian menjejalkan dirinya ke dalam transportasi umum dan menantang kemacetan untuk berangkat bekerja. </p>
<p>Pada akhirnya, perempuan terpaksa harus berhenti bekerja karena tingginya biaya yang harus mereka tanggung, sebuah fakta yang ditemukan dalam <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/events/d2_presentation_4_ariane_utomo.pdf">riset-riset </a>. </p>
<p>Salah satunya dialami oleh seorang responden kami bernama Nila. </p>
<p>Nila adalah ibu muda berusia 29 tahun yang memiliki anak berusia di bawah lima tahun dan tinggal di Depok. Dia memilih berhenti bekerja. </p>
<p>“Saya letih berangkat pagi-pagi dari rumah dan tiba di rumah sudah sangat malam, ditambah saya masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga,” katanya. “Gaji saya hilang begitu saja karena pulang-pergi ke tempat kerja sangat mahal. Saya tidak melihat manfaat hasil kerja saya, lebih baik saya di rumah,” ujarnya memberikan alasan. </p>
<h2>“Biaya bekerja” yang tinggi</h2>
<p>Perempuan berhenti bekerja setelah berkeluarga adalah cerita yang sering ditemukan di Indonesia.</p>
<p>Salah satu alasan mereka adalah mahalnya biaya melaju dari rumah mereka yang umumnya berlokasi di daerah pinggiran Jakarta menuju ke kantor mereka yang berada di tengah kota. </p>
<p>Biaya perjalanan ke tempat kerja di ibu kota cukup besar, terutama bagi keluarga muda kelas menengah yang umumnya memilih tinggal di pinggiran Jakarta karena harga rumah yang terjangkau.</p>
<p>Data <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190326172742-92-380887/tarif-mrt-dan-biaya-selangit-transportasi-publik">Bank Dunia</a> menunjukkan biaya transportasi di Jakarta mencapai 40% dari rata-rata gaji. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan Singapura dan Cina, yang biaya transportasi hanya berkisar masing-masing 3% dan 7% dari rata-rata gaji.</p>
<p>Orang di Indonesia masih menempatkan urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab utama perempuan dan kepercayaan ini memperbesar beban ibu bekerja. Pada akhirnya, mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. </p>
<p>Perempuan memiliki pola bepergian yang kompleks karena peran ganda tersebut. Dalam satu hari, perempuan bisa melakukan beberapa perjalanan, dari mengantar dan menjemput anak ke tempat penitipan anak (TPA) atau sekolah, berbelanja, dan berangkat/pulang bekerja. </p>
<p>Hal ini menandakan perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di perjalanan, terutama bila menggunakan transportasi umum. </p>
<p>Hasil <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/events/d2_presentation_4_ariane_utomo.pdf">riset</a> tentang perempuan yang memiliki anak yang masih kecil di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) menemukan bahwa waktu tempuh untuk bekerja yang panjang menambah biaya bagi perempuan yang ingin terus berkarier. Biaya tersebut diukur dari jumlah waktu di rumah yang yang hilang ketika perempuan bekerja. </p>
<p>Masih kurangnya kebijakan yang mendukung ibu bekerja menjadi salah satu hal yang menyebabkan tingginya biaya tersebut. Contoh kebijakan yang tidak mendukung ibu bekerja adalah pemberian cuti melahirkan yang pendek, kurangnya TPA tepercaya/berkualitas, dan belum adanya skema bekerja dengan waktu yang fleksibel. </p>
<h2>Lokasi tempat tinggal</h2>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF01797112">Sebuah studi</a> menemukan bahwa keluarga muda membeli rumah pertama mereka ketika ingin memiliki anak. </p>
<p>Di Indonesia, masih banyak yang mempercayai perlunya tempat tinggal untuk membangun keluarga. Membeli rumah dipandang lebih baik dibanding mengontrak rumah. </p>
<p>Namun, pasangan muda umumnya masih berada pada tahap awal meniti karir. Mereka belum memiliki cukup modal untuk membeli rumah yang dekat dengan tempat kerja karena harga properti di tengah kota sangat mahal. </p>
<p><a href="https://theses.ncl.ac.uk/jspui/handle/10443/3795">Riset lain</a> juga menunjukkan kaum pekerja di Jakarta cenderung memilih rumah di daerah pinggiran Jakarta karena harga rumah yang terjangkau dan sesuai dengan tingkat pendapatan mereka. </p>
<p>Tetapi, harga rumah yang terjangkau diimbangi dengan pengeluaran untuk biaya transportasi yang tinggi karena jarak menuju tempat bekerja menjadi cukup jauh. </p>
<p>Kisah Nila memberikan gambaran bagaimana biaya perjalanan dari dan ke tempat kerja lebih membebani perempuan dibandingkan laki-laki. Selain ongkos transportasi, lamanya perjalanan juga mengurangi waktu perempuan untuk bersama anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga. </p>
<h2>Keluarga atau karier</h2>
<p>Meskipun kesenjangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki semakin rendah, tapi perempuan masih terikat pada pembagian peran gender yang masih tradisional. <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/5718179">Masyarakat masih melihat bahwa peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan istri, bukan sebagai perempuan yang bekerja.</a>. </p>
<p>Hal ini ditunjukkan dalam Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Indonesia usia 15 tahun ke atas yang hanya berkisar pada angka <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.CACT.FE.ZS?end=2018&locations=ID&start=2009">50%</a> selama satu dekade terakhir. TPAK Jakarta bahkan lebih rendah dibanding angka nasional, yaitu <a href="https://jakarta.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=NWQ5ODdlOTI4OTQ4NmI0ZTkyMjlkZjQ4&xzmn=aHR0cHM6Ly9qYWthcnRhLmJwcy5nby5pZC9wdWJsaWNhdGlvbi8yMDE4LzA0LzI0LzVkOTg3ZTkyODk0ODZiNGU5MjI5ZGY0OC9rZWFkYWFuLWFuZ2thdGFuLWtlcmphLXByb3ZpbnNpLWRraS1qYWthcnRhLS1hZ3VzdHVzLTIwMTcuaHRtbA%3D%3D&twoadfnoarfeauf=MjAxOS0wNy0xNyAwMDoyMjozNg%3D%3D">48,47%</a> pada 2018. </p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=484&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=484&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/284476/original/file-20190717-147288-so2znd.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=484&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (%) di Indonesia dan Jakarta, 2018.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Sumber: Keadaan Angkatan Kerja Nasional dan DKI Jakarta (BPS, 2018).</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Data juga menunjukkan bahwa partisipasi perempuan di Jakarta cenderung menurun setelah mereka memiliki anak. </p>
<p>Dan bila dibandingkan perempuan Indonesia pada umumnya, perempuan di Jakarta cenderung akan berhenti bekerja setelah mempunyai keluarga. </p>
<p>Sektor formal yang cukup kompetitif mendominasi perekonomian Jakarta. Hal ini membuat perempuan yang telah lama berhenti bekerja mengalami kesulitan untuk kembali ke pasar kerja karena pengalaman kerja yang relatif lebih pendek dibanding mereka yang tidak pernah berhenti bekerja karena mempunyai anak.</p>
<h2>Solusi</h2>
<p><a href="https://surveymeter.org/read/424/how-jakartas-traffic-affects-labor-market-outcomes-for-women-and-people-with-disabilities-results-form-a-baseline-survey-final-report">Sebuah studi</a> pada 2017 menunjukkan bahwa menurunkan biaya transportasi umum bukan solusi utama, tapi akan membantu meningkatkan partisipasi kerja perempuan. </p>
<p>Pembangunan sistem transportasi terintegrasi di Jabodetabek untuk memberikan lebih banyak pilihan moda transportasi akan mengurangi kemacetan sekaligus menghemat waktu perjalanan pelaju. </p>
<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menerbitkan <a href="https://setkab.go.id/wp-content/uploads/2018/08/Perpres-Nomor-55-Tahun-2018.pdf">rencana pembangunan</a> jaringan transportasi urban hingga 2029 di Jabodetabek yang melibatkan berbagai kementerian dan pemerintah pusat dan daerah. </p>
<p>Implementasi rencana tersebut akan mengurangi waktu melaju yang pada akhirnya akan membantu perempuan yang bekerja mengatur waktu lebih baik untuk mengurus anak serta rumah tangga. </p>
<p>Kebijakan yang ada saat ini untuk mengurangi kecenderungan perempuan berhenti bekerja fokus pada upaya mengurangi beban terkait mengurus anak, seperti penitipan anak, penerapan skema bekerja fleksibel adalah adanya cuti untuk ayah. </p>
<p>Namun, selama waktu tempuh pulang pergi ke tempat kerja dan biaya melaju masih tinggi, maka kebijakan tersebut tidak akan banyak membantu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120663/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diahhadi Setyonaluri menerima dana hibah penelitian dari Indonesia Project Research Grant - the Australian National University pada tahun 2015 dan Sumitomo Foundation pada tahun 2017 untuk penelitian tentang fenomena perempuan berhenti bekerja di Indonesia. </span></em></p>Perempuan berhenti bekerja setelah berkeluarga adalah cerita yang sering ditemukan di Indonesia.Diahhadi Setyonaluri, Researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/954342018-04-25T10:46:07Z2018-04-25T10:46:07ZIbu bekerja rentan terkena gangguan mental: ini tips untuk menghindarinya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/216126/original/file-20180424-57614-kbzwz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Memburu karir dan gaji setinggi apapun kurang bermakna saat upaya tersebut menyebabkan gangguan kesehatan mental.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/1021123099?src=GlH22VZGzeRqxQYnoVjl_w-1-99&size=medium_jpg">PhuShutter/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Ini adalah artikel keempat bertema perempuan yang ditulis dalam rangka memperingati Hari Kartini yang jatuh pada 21 April.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan yang bekerja menghadapi banyak tantangan karena masyarakat Indonesia masih cenderung konservatif dengan menganggap urusan domestik adalah sepenuhnya domain perempuan. Pandangan ini mendorong perempuan lebih memusatkan perhatiannya pada urusan rumah tangga. </p>
<p>Banyak alasan <a href="http://www.jstor.org/stable/353201">mengapa para perempuan memilih berkarir</a>, di antaranya karena pasangan hanya mampu mencukupi sebagian kebutuhan keluarga atau ingin mencari kesempatan karir yang lebih baik dibandingkan pasangannya. </p>
<p>Dalam keluarga biasanya terjadi pembagian peran kerja. Ayah sebagai pencari nafkah utama dan ibu sebagai penanggung jawab urusan-urusan domestik. Seiring dengan berubahnya struktur relasi gender di masyarakat, tak sulit saat ini kita temukan ibu yang juga bekerja, bahkan menjadi <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/work-employment-and-society/article/working-hard-and-making-do-surviving-in-small-town-america-margaret-k-nelson-and-joan-smith-university-of-california-press-berkeley-1999-x279-pp/E72C7A50B703CFC2BA832762156710E1">pencari nafkah utama</a>. </p>
<p>Menjadi ibu rumah tangga atau ibu bekerja adalah pilihan yang sangat personal dan dipengaruhi situasi yang dihadapi oleh masing-masing keluarga. Oleh karena itu, tak relevan kita memperdebatkan pilihan mana yang lebih baik.</p>
<h2>Beban ganda dan depresi</h2>
<p>Filsuf Jerman <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Josef_Pieper">Josef Pieper</a> menggambarkan kondisi pasca Perang Dunia ke-2 sebagai <em><a href="https://andrewjtaggart.com/2017/07/24/josef-pieper-on-the-waning-of-philosophy-in-the-face-of-total-work/">the age of total work</a></em>, yaitu kondisi manusia sebagai pekerja dan seluruh totalitas pengalaman manusia diarahkan untuk bekerja. Apa pun yang dilakukan manusia, termasuk belajar, mengembangkan diri, bahkan beristirahat, semuanya ditujukan untuk meningkatkan produktivitas. </p>
<p>Bila pandangan ini relevan, berarti perempuan makin tersubordinasi karena mengalami <a href="https://books.google.co.id/books?id=St_6kWcPJS8C&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false"><em>leisure gap (kesenjangan waktu luang)</em></a> dibanding laki-laki karena perempuan harus bekerja di kantor, lalu dia juga bekerja di rumah mengurus anak dan keluarga. </p>
<p>Selain itu, perempuan juga sering dilaporkan menerima banyak <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/344125">ketidakadilan</a> di tempat kerja karena waktu bekerja lebih panjang, tapi memiliki pendapatan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Mereka juga rentan menjadi korban <a href="https://academic.oup.com/sw/article-abstract/28/5/385/1871393">pelecehan</a> di tempat kerja, serta <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/A:1014730102063">sulit mendapatkan jabatan</a> tingkat menengah atau pimpinan di organisasi. </p>
<p>Tak mengagetkan bila <a href="http://vuir.vu.edu.au/1656/">prevalensi depresi dua kali lebih tinggi dialami perempuan</a> daripada laki-laki, dan risiko ini bertambah ketika perempuan menjalani peran ganda. </p>
<h2>Pengalaman perempuan berkarir</h2>
<p>Dina adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjalani peran ganda ini. Ia dibesarkan dalam keluarga yang menganggap bahwa ibu seharusnya lebih banyak terlibat untuk mengasuh anak secara langsung. Suaminya adalah pekerja lepas yang tidak memiliki penghasilan tetap. Keadaan ini membuatnya harus bekerja, sementara suaminya justru lebih sering berada di rumah. </p>
<p>Beberapa kali ia berpikir untuk melepas jabatannya sebagai manajer sumber daya manusia di badan usaha milik negara (BUMN). Tapi ketika ia berpikir ulang, dengan situasinya saat ini, keluar dari pekerjaan bukan pilihan yang bijak. Walau dia tidak selalu mengasuh sendiri anaknya, ia tetap butuh bekerja untuk menjamin pendidikan anaknya dan ia juga merasa lebih bermanfaat ketika ia mampu berkarir dengan baik. </p>
<p>Di sisi lain, ia juga merasa keputusan tersebut tidak mudah dijalani. Terkadang dia merasa lelah karena harus menyelesaikan pekerjaan pada malam hari di rumah dan harus berangkat kerja saat anaknya belum bangun. Keadaan ini terkadang membuatnya tidak bisa fokus baik saat di rumah atau di kantor.</p>
<p>Lain lagi kisah Rara. Dia adalah konsultan sumber daya manusia dan berharap dengan pekerjaan itu, dia akan memiliki kemerdekaan menentukan waktu kerjanya sendiri, sehingga punya cukup waktu untuk mengurus keluarga. Dia memiliki suami yang berpenghasilan cukup dan seorang anak yang cerdas dan sehat. Ia menjalani karirnya dengan senang hati, karena ia mencintai pekerjaannya. </p>
<p>Namun belakangan ia seringkali merasa sakit kepala, mual, dan kelelahan karena kesulitan menangani banyaknya klien yang datang berkonsultasi. Ia seringkali harus membawa begitu banyak pekerjaan ke rumah, mencuri-curi waktu untuk bisa menyelesaikan tugas yang pada awalnya terasa menyenangkan tersebut. Tapi rupanya ketika liburan pun ia masih memikirkan tenggat waktu dari tugas-tugas yang belum diselesaikan. </p>
<h2>Lalu bagaimana jalan tengahnya?</h2>
<p>Pengalaman seperti Dina dan Rara banyak juga dialami oleh ibu bekerja di sekitar kita. Kami percaya ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar ibu bekerja seperti Dina dan Rara tetap sehat mental. Berikut ini cara meningkatkan kesehatan mental bagi ibu yang bekerja:</p>
<p><strong>Tanyakan kepada diri sendiri: apakah saya tetap sehat dan bahagia saat bekerja?</strong>
Sebanyak apa pun yang kita korbankan untuk pekerjaan, sebaiknya kita ingat bahwa kita tidak harus menderita untuk bisa menjalankan pekerjaan itu. Terlebih karena ibu bekerja memiliki tanggung jawab domestik yang membutuhkan energi yang besar juga. Tidak ada salahnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita merasa bahagia ketika bekerja?</p>
<p><strong>Samakah gila kerja dengan waktu bekerja yang panjang?</strong> Gejala <em>workaholic</em> alias gila kerja ditandai dengan perasaan obsesif terhadap pekerjaan. <em>Workaholic</em> pada dasarnya berbeda dengan bekerja dalam waktu yang panjang (<em>working long hours</em>). <a href="https://hbr.org/2018/03/how-being-a-workaholic-differs-from-working-long-hours-and-why-that-mat"><em>Workaholism</em></a> merupakan perasaan obsesif terhadap pekerjaan yang membuat seseorang hanya terfokus pada tugas bahkan ketika mereka sedang tidak bekerja. Seseorang bisa saja bekerja dalam waktu yang lama tanpa harus menjadi <em>workaholic</em>. </p>
<p>Di titik ini, kita harus paham kapan kita harus berhenti terobsesi dengan pekerjaan. Dalam kehidupan ibu bekerja, rasa obsesif yang berlebihan inilah yang akan menimbulkan cemas, tertekan, dan gangguan kesehatan yang juga berdampak pada ketidakmampuan untuk mengelola peran mereka secara optimal.</p>
<p><a href="https://hbr.org/2018/03/how-being-a-workaholic-differs-from-working-long-hours-and-why-that-mat"><em>Workaholism</em></a> diketahui memiliki korelasi yang tinggi terhadap gangguan kecemasan, gangguan tidur, maupun depresi pada tingkat rendah, menengah dan tinggi. Ketika hal ini tidak segera ditangani, akan menimbulkan gangguan kesehatan yang lebih parah.</p>
<p><strong>Paham kapan saatnya berhenti bekerja.</strong> Seseorang dapat menjadi <em>workaholic</em> ketika ia kesulitan mengendalikan pikiran obsesifnya terhadap pekerjaan dan mengabaikan batasan-batasan yang ia miliki. Sebaiknya kita peka pada tanda-tanda yang menunjukkan mulai mendekati batasan itu. </p>
<p>Gangguan-gangguan kesehatan kecil yang berulang dan semakin intens, atau perasaan tidak berharga, suasana hati yang buruk, dan emosi yang tak terkendali bisa jadi adalah petunjuk tubuh dan psikis bahwa kita memerlukan istirahat sejenak dari pekerjaan.</p>
<p><strong>Lakukan hal-hal yang membuat lebih sehat dan bahagia.</strong> Apa yang harus dilakukan ketika Anda merasa terjebak dan tidak lagi bahagia dalam pekerjaan? Mayoritas <em>workaholic</em> akan bertindak defensif ketika mereka diperingatkan oleh orang-orang dekatnya. Salah satu alasan yang sering kali digunakan adalah “Saya mencintai pekerjaan ini”. </p>
<p>Namun perlu dipahami bahwa kesehatan fisik dan psikologis merupakan harta yang sangat berharga, sehingga tidak layak kita menukarnya dengan pekerjaan yang kita miliki saat ini – sebaik apa pun dan sebesar apa pun penghasilannya. </p>
<p>Karena itu, tak ada salahnya kita melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan seperti meditasi, beribadah, berolahraga atau bahkan menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang terdekat, untuk membuat diri kita tetap sehat dan bahagia. Sesekali melakukan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Ix2FVxMMZQk">peregangan</a> di sela-sela waktu bekerja juga akan membantu kita lebih fokus dan bugar.</p>
<p><strong>Jangan lupa bersyukur atas peran-peran yang kita miliki.</strong> Banyak orang merasakan ketidakbahagiaan lebih meningkat bila tidak memiliki pekerjaan. Oleh karenanya, keluar dari pekerjaan bukan solusi terbaik. Rasa syukur bahwa kita masih mampu berkontribusi pada masyarakat dan keluarga bisa membuat kita lebih bahagia.</p>
<p>Meski isu kesehatan mental di tempat kerja mulai mendapat <a href="http://www.who.int/mental_health/world-mental-health-day/2017/en/">perhatian global</a>, nyatanya hal ini belum menjadi perhatian pemerintah dan para pemberi kerja. Ini dibuktikan dengan minimnya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan mental bagi para pekerja. </p>
<p>Kesehatan mental juga <a href="http://www.kesjaor.kemkes.go.id/documents/01_PMK%20No.%2056%20ttg%20Penyelenggaraan%20Pelayanan%20Penyakit%20Akibat%20Kerja.pdf">belum dipertimbangkan pemerintah sebagai penyakit yang menyebabkan disabilitas</a> dalam konteks ketenagakerjaan.</p>
<p>Karena itu, ibu bekerja sebaiknya mulai sadar untuk lebih memperhatikan kondisi kesehatan mentalnya, di tengah tuntutan pekerjaan dan aspirasi keluarga yang mengharuskan dirinya selalu dalam kondisi fisik dan psikologis yang optimal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95434/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Isu kesehatan mental di tempat kerja mulai mendapat perhatian global tapi minim fasilitas pelayanan kesehatan mental bagi para pekerja.Rosatyani Puspita Adiati, Assistant lecturer at Faculty of Psychology, Universitas AirlanggaRizqy Amelia Zein, Assistant lecturer in Social and Personality Psychology, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.