tag:theconversation.com,2011:/global/topics/kecerdasan-buatan-42800/articlesKecerdasan buatan – The Conversation2024-02-05T04:13:29Ztag:theconversation.com,2011:article/2226152024-02-05T04:13:29Z2024-02-05T04:13:29ZThe Conversation Indonesia luncurkan microsite berbasis AI, ‘YTTA.ai’<p><a href="#english_version"><em>Please click here to read this blog post in English.</em></a></p>
<p><em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) meluncurkan <em>microsite</em> [YTTA.ai], sebuah proyek eksperimen dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em> atau AI) untuk membantu pemilih muda mengambil keputusan pada tanggal 14 Februari nanti. </p>
<p>Kami mengambil nama YTTA.ai dari istilah populer yang sering anak muda pakai yaitu <em>Yang Tahu-Tahu Aja</em>, mengingat target utama kami adalah generasi muda. </p>
<p>Melalui YTTA.ai, kami memanfaatkan AI untuk meringkas informasi penting terkait pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) dari artikel-artikel yang terbit di laman TCID.</p>
<p>YTTA.ai menggunakan teknologi generatif AI, seperti ChatGPT, DALL·E and Murf.ai untuk membantu target pembaca muda yang akan memberikan suaranya pada pemilu Februari 2024.</p>
<p>Kami juga menggunakan teknologi AI untuk meringkas artikel dan menjawab pertanyaan pembaca secara interaktif.</p>
<p>YTTA. ai merupakan proyek yang kami kembangkan bersama dengan <em>The Conversation Internasional</em> sebagai bagian dari kompetisi <a href="https://generative-ai-newsroom.com/rising-to-the-challenge-applying-generative-ai-in-newsrooms-283d5bb3de53"><em>AI Journalism Challenge</em></a> yang diadakan oleh <em>Open Society Foundations</em> (OSF) tahun lalu. </p>
<p>Dari sekitar 300 proposal, proyek <em>The Conversation</em> terpilih untuk menjadi satu dari 12 media yang ditantang untuk mengembangkan penggunaan AI generatif dalam pembuatan proyek jurnalisme yang berkualitas. Pemenang terpilih mendapatkan dana sebesar US$5000 (sekitar Rp78 juta).</p>
<p>Pemimpin Redaksi dan Direktur Konten <em>The Conversation Indonesia</em>, Ika Krismantari; Data Analis <em>The Conversation Indonesia</em>, Moh Alfarizqy; Kepala <em>Audience Insight</em> global, Khalil A. Cassimally; Rohan Mitchell, pengembang IT senior; dan Stephen Khan, editor global, terlibat dalam pengembangan proyek ini.</p>
<p>Dari 12 peserta, kami terpilih menjadi finalis. Dengan 4 finalis lainnya, kami mempresentasikan hasil akhir proyek ini di <a href="https://www.splicemedia.com/beta-2023">Splice Beta</a>, ajang pertemuan media-media baru seluruh dunia, di Chiang Mai, Thailand, November lalu. </p>
<p>Meskipun tidak terpilih sebagai pemenang, kami memutuskan tetap meluncurkan YTTA.ai karena proyek ini sejalan dengan misi kami dalam memperkaya perdebatan publik dan mendorong proses pengambilan kebijakan berbasis bukti. </p>
<p>Sejak awal berdiri lebih dari 10 tahun yang lalu, _The Conversation _selalu berinovasi dengan teknologi terbaru untuk mendukung misi kami.</p>
<p>Oleh karena itu, <em>The Conversation Indonesia</em> didukung oleh <em>The Conversation Internasional</em> meluncurkan YTTA.ai dan memilih topik pemilu mengingat pentingnya informasi bagi pemilih muda yang jumlahnya mencapai hampir 60% dari pemilih yang terdaftar. </p>
<p>Pengguna <em>microsite</em> juga bisa mengirim pertanyaan-pertanyaan terkait pemilu dan pilpres secara interaktif lewat tautan ini: <a href="https://ytta.ai/#ask">https://ytta.ai/#ask</a> </p>
<hr>
<h2><a id="english_version">The Conversation Indonesia launches AI-based microsite, YTTA.ai</a></h2>
<p><em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) has launched a microsite [YTTA.ai], an experimental project using artificial intelligence (AI) technology to help young voters make decisions on the February 14th election. </p>
<p>We took the name YTTA.ai from a popular term that young Indonesians often use, <em>Yang Tahu-Tahu Aja</em>, loosely translated for those who know, considering that the main target is the younger generation. </p>
<p>Through YTTA.ai, we utilise AI to summarise important information related to the general and presidential elections from articles published on TCID’s website.</p>
<p>YTTA.ai uses generative AI technologies, such as ChatGPT, DALL-E and Murf.ai, to help target young readers who will vote in the February 2024 election.</p>
<p>We also use AI technology to summarise articles and answer reader questions interactively.</p>
<p>YTTA.ai is a project we developed together with <em>The Conversation International</em> as part of the <a href="https://generative-ai-newsroom.com/rising-to-the-challenge-applying-generative-ai-in-newsrooms-283d5bb3de53">AI Journalism Challenge</a> competition organised by the <em>Open Society Foundations</em> (OSF) last year. </p>
<p>From around 300 proposals, <em>The Conversation</em>‘s project was chosen among 12 media organisations worldwide to develop the use of generative AI in creating quality journalism projects. The winner will receive US$5000 in funding.</p>
<p><em>The Conversation Indonesia</em>’s Editor-in-Chief and Content Director, Ika Krismantari; <em>The Conversation Indonesia</em>’s Data Analyst, Moh Alfarizqy; Global Head of Audience Insight, Khalil A. Cassimally; Rohan Mitchell, senior IT developer; and Stephen Khan, global editor, were involved in the development of the project.</p>
<p>From 12 projects, we were chosen as one of five finalists. Together with other finalists, we presented the final project at <a href="https://www.splicemedia.com/beta-2023">Splice Beta</a>, a global gathering of new media, in Chiang Mai, Thailand, last November.</p>
<p>We decided to launch YTTA.ai, despite not being selected as a winner, because the project aligns with our mission to enrich public debate and encourage evidence-based policy-making. </p>
<p>Since its establishment over ten years ago, <em>The Conversation</em> has constantly innovated with the latest technology to support our mission. <em>The Conversation Indonesia</em> supported by <em>The Conversation International</em> launched YTTA.ai and chose the topic of elections, given the importance of information for young voters, who make up almost 60% of registered voters. </p>
<p>Users of the <em>microsite</em> can send questions related to the election and presidential election interactively via this link: <a href="https://ytta.ai/#ask">https://ytta.ai/#ask</a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222615/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
The Conversation Indonesia (TCID) meluncurkan YTTA.ai, sebuah proyek eksperimen dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorMoh Alfarizqy, Data Analyst, The Conversation IndonesiaRahma Sekar Andini, EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2187372024-01-09T03:16:55Z2024-01-09T03:16:55Z‘Deepfake’ begitu banyak di internet: bagaimana strategi bedakan fakta dari fiksi ciptaan AI<p>Pembuatan gambar atau video, termasuk elemen audio, dengan perangkat komputer yang dikenal dengan teknologi media sintetis (media tiruan) dalam perfilman, telah lama menjadi komponen inti dalam menciptakan dunia sinematografi yang menawan. </p>
<p>Kita bisa melihat hasilnya dalam film-film terkenal termasuk seri <a href="https://www.imdb.com/title/tt0499549/">Avatar</a> dan <a href="https://www.jurassicworld.com">Jurassic Park</a>. </p>
<p>Teknologi ini bukan fenomena baru. Sejak debutnya dalam film “<a href="https://littlebitsofgaming.com/2022/09/09/what-was-the-first-released-film-to-use-cgi/">Vertigo</a>” pada 1958, media sintetis telah berkembang signifikan. Ini terbukti dengan penerapannya secara penuh dalam “<a href="https://www.wired.com/1995/12/toy-story/">Toy Story</a>” pada 1995.</p>
<p>Penerapan media sintetis di dunia perfilman tidak berbahaya. Ketika ditujukan untuk audiens dengan usia yang tepat dan hiburan, media ini menambah dimensi baru pada pengalaman menonton film. </p>
<p>Namun, kini, dengan kemajuan algoritme <a href="https://www.techtarget.com/searchenterpriseai/definition/generative-AI">AI generatif</a>, kemampuan untuk menghasilkan media sintetis tidak lagi dimonopoli oleh profesional film dan pengeditan video. Orang awam pun bisa mengakses teknologi ini untuk menghasilkan konten yang kompleks dengan cepat, mudah, dan berbiaya murah. </p>
<p>Salah satu masalahnya adalah media sintetis versi AI yang disalahgunakan bisa menimbulkan konsekuensi serius. Misalnya, ketika digunakan untuk menciptakan “<a href="https://www.businessinsider.com/guides/tech/what-is-deepfake"><em>deepfake</em></a>,” yaitu konten media sintetis yang dibuat dengan tujuan menyesatkan atau melakukan kejahatan. Kita perlu meningkatkan kapasitas dan regulasi untuk mengurangi dampak negatif ini.</p>
<h2>Dampak negatif <em>deepfake</em></h2>
<p>Ada banyak model AI generatif yang digunakan untuk membuat media sintesis. Model yang paling sering digunakan adalah tiga model berikut “<a href="https://www.oracle.com/sg/artificial-intelligence/generative-ai/what-is-generative-ai/">(1) Encoders/Decoders” dan “(2) Generative Adversarial Networks” (GAN</a>). </p>
<p>Kedua model ini memungkinkan penciptaan gambar atau video yang sangat realistis, dari pertukaran wajah hingga kreasi video binatang yang terlihat berbicara. </p>
<p>Lalu model ketiga, “<a href="https://www.adcreative.ai/post/generative-ai-and-style-transfer?utm_source=google&utm_medium=cpc&utm_campaign=19569174900&utm_term=&campaignid=19569174900&adgroupid=143674240765&keyword=&device=c&gad_source=1&gclid=CjwKCAiAsIGrBhAAEiwAEzMlCzsYls9ZyOCIabOwGAxTLvdywtbFR4gWH-IVFj5LXLKwwlfpRDy9dxoC3O4QAvD_BwE">Style Transfer</a>” yang menawarkan kapabilitas untuk menyisipkan nuansa artistik ke dalam foto atau video, mengonversi gambar biasa menjadi karya seni yang estetis.</p>
<p>AI telah membuka jalan bagi inovasi dalam media sintetis, meskipun terkadang menciptakan konten yang begitu nyata sehingga sulit dibedakan apakah audio atau video yang dihasilkan palsu atau asli.</p>
<p><em>Deepfake</em> ini bisa berupa audio dan video yang sebenarnya palsu tapi tampak nyata, ditambah lagi dengan narasi-narasi yang sensitif dan memanipulasi psikologi manusia.</p>
<p>Contoh nyata dari dampak negatif ini terjadi pada 2022, ketika <a href="https://www.bbc.com/news/technology-60780142">video <em>deepfake</em> Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky</a>, beredar luas. Ketika ia terlihat mengajak warga Ukraina menyerah kepada Rusia. Kejadian serupa terjadi pada 2023 dengan tersebarnya <a href="https://www.politico.eu/article/fake-vladimir-putin-announces-russia-under-attack-ukraine-war/">video <em>deepfake</em> Presiden Rusia Vladimir Putin</a> yang mengklaim Rusia akan diserang oleh Ukraina. </p>
<p>Di Slovakia, <a href="https://www.wired.co.uk/article/slovakia-election-deepfakes">audio <em>deepfake</em> jurnalis Denník N, Monika Tódová</a> digunakan untuk mendiskreditkan media dengan menyebarluaskan percakapan palsu tentang manipulasi pemilihan umum pada 2023.</p>
<p>Sayangnya audio ini menyebar luas di media sosial pada saat masa tenang, dan pihak yang berwenang di Slowakia tidak bisa membantahnya. Akibatnya terjadi <a href="https://incidentdatabase.ai/cite/573/">keresahan publik dan pesta demokrasi di Slowakia ternodai</a>. </p>
<p>Tiga insiden di atas menunjukkan bagaimana <em>deepfake</em> dapat memicu kepanikan dan kebingungan di tengah situasi yang sudah tegang.</p>
<p>Dampak <em>deepfake</em> tidak hanya terbatas pada ranah sosial dan politik; kejahatan finansial juga menjadi arena yang rawan. Ini terjadi pada 2019, ketika seorang <a href="https://www.forbes.com/sites/jessedamiani/2019/09/03/a-voice-deepfake-was-used-to-scam-a-ceo-out-of-243000/?sh=2aac4e822416">eksekutif perusahaan energi di Inggris</a> tertipu oleh audio <em>deepfake</em> yang menirukan suara salah satu atasannya. Penipuan ini menyebabkan kerugian finansial yang signifikan, setara Rp3,7 miliar. </p>
<p>Kejadian ini memperlihatkan bagaimana teknologi yang canggih bisa disalahgunakan untuk menipu dan mengakibatkan kerugian material yang besar. Dengan demikian <a href="https://news.bloomberglaw.com/us-law-week/reputation-management-and-the-growing-threat-of-deepfakes"><em>deepfake</em> punya dampak yang sangat merugikan</a>, mulai dari privasi, fitnah, pelanggaran hak cipta, kerugian keuangan, hingga keresahan sosial. </p>
<h2>Langkah strategis memitigasi dampak ‘deepfake’</h2>
<p>Untuk menghadapi tantangan yang disebabkan oleh <em>deepfake</em>, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan. </p>
<p>Pertama, <a href="https://www.theguardian.com/technology/2020/jan/13/what-are-deepfakes-and-how-can-you-spot-them">kita perlu memahami ciri-ciri dan elemen <em>deepfake</em></a>, seperti ketidakkonsistenan dalam gambar, video atau audio. Hal ini mencakup inkonsistensi pada ekspresi wajah, arah tatapan yang tidak sesuai, pergerakan rambut yang tidak alami, perspektif wajah yang salah, pencahayaan dan bayangan yang tidak realistis, serta kurangnya ekspresi mikro wajah. Elemen-elemen ini bisa mengindikasikan <em>deepfake</em>. Salah satu contoh yang terkenal adalah <em>deepfake</em> gambar <a href="https://news.berkeley.edu/2019/06/18/researchers-use-facial-quirks-to-unmask-deepfakes">mantan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama</a>. Selain itu, kita juga harus kritis dengan narasi-narasi yang bisa memanipulasi psikologi kita ketika melihat <em>deepfake</em> tersebut. </p>
<p>Kedua, solusi teknologi seperti algoritme AI yang dirancang untuk mendeteksi <em>deepfake</em> mampu mengidentifikasi ketidakkonsistenan ini secara otomatis. Selain bisa digunakan untuk menghasilkan <em>deepfake</em>, AI juga bisa digunakan untuk menandai atau memfilter <em>deepfake</em>. </p>
<p>Ada beberapa repositori <em>big</em> data yang bisa diakses secara publik untuk melatih algoritme AI supaya bisa mendeteksi audio dan video <em>deepfake</em>, di antaranya <a href="https://www.kaggle.com/c/deepfake-detection-challenge">Deepfake Detection Challenge</a>, dan <a href="https://github.com/yuezunli/celeb-deepfakeforensics">Celeb-DF</a>. Para ilmuwan dan perusahaan-perusahaan teknologi multinasional saling bekerja sama untuk mengembangkan algoritme AI pendeteksi <em>deepfake</em> ini.</p>
<p>Ketiga, melibatkan langkah-langkah hukum dan kebijakan, termasuk pengembangan peraturan yang memadai dan kerja sama internasional untuk mengatasi penyebaran <em>deepfake</em> secara global.</p>
<p><a href="https://www.europarl.europa.eu/thinktank/en/document/EPRS_STU(2021)690039">EU Research Report</a>, misalnya, mengidentifikasi lima dimensi regulasi untuk memerangi <em>deepfake</em>: teknologi, penciptaan, sirkulasi, target, dan audiens. </p>
<p>Dimensi teknologi menyoroti AI sebagai dasar dari <em>deepfake</em>, dengan regulasi yang diterapkan oleh Komisi Eropa. Dimensi “penciptaan” menekankan pada pelaku dan alat yang digunakan untuk membuat <em>deepfake</em>. </p>
<p>Aspek “sirkulasi” merujuk pada penyebaran <em>deepfake</em> melalui platform dan kanal tertentu. Aspek “target” fokus pada korban <em>deepfake</em>, sementara dimensi “audiens” fokus kepada pendidikan publik untuk mengenali dan memahami bahaya <em>deepfake</em>.</p>
<p>Pelajaran lainnya bisa diambil dari <a href="https://www.reuters.com/technology/chinas-rules-deepfakes-take-effect-jan-10-2022-12-12/">Badan Keamanan Siber Cina</a> yang telah menetapkan peraturan pada Januari 2023 untuk mengatur <em>deepfake</em>. </p>
<p>Tujuan peraturan ini untuk mengekang penyalahgunaan <em>deepfake</em> dengan mewajibkan persetujuan (<em>consent</em>), memverifikasi identitas pengguna model AI yang digunakan untuk membuat media sintetis. Selain itu, juga untuk memerangi disinformasi, memastikan kepatuhan hukum, dan mewajibkan konten untuk ditandai sebagai media sintetis guna menjaga kepercayaan publik terhadap informasi digital, dan mencegah penipuan.</p>
<p>Keempat, <a href="https://www.academicgates.com/news/story/fostering-media-literacy-in-the-age-of-deepfakes/10419">peningkatan kesadaran publik dan pendidikan</a> adalah kunci untuk mempersenjatai masyarakat dengan pengetahuan untuk membedakan antara konten asli dan palsu. Meningkatkan kesadaran tentang bahaya konten manipulatif dapat membuat masyarakat menjadi konsumen informasi yang lebih kritis melalui lokakarya, kampanye media, dan kurikulum pendidikan. </p>
<p>Pada tataran global, beberapa platform menyediakan pendidikan publik untuk mengenali dan menghindari bahaya <em>deepfake</em>, di antaranya, <a href="https://deepfakes.virtuality.mit.edu">MIT Media Literacy</a>, <a href="https://www.poynter.org/mediawise/">Digital Media Literacy for All</a>, <a href="https://www.washingtonpost.com/graphics/2019/politics/fact-checker/manipulated-video-guide/">The Washington Post Fact Checker Guide to Manipulated Videos</a>, <a href="https://edition.cnn.com/interactive/2019/01/business/pentagons-race-against-deepfakes/">CNN Deepfake Explained</a>, dan <a href="https://www.spotdeepfakes.org/en-US">Microsoft Spotting Deepfake</a>.</p>
<p>Di Indonesia sudah ada inisiatif serupa, seperti panel ahli cek fakta Pemilu 2024 yang dikelola oleh <a href="https://theconversation.com/id">The Conversation Indonesia</a>, dan <a href="https://cekfakta.com/">Cek Fakta</a>. </p>
<p>Terakhir, pentingnya platform repositori media yang dipercaya dan mekanisme autentikasi, misalnya seperti <a href="https://realitydefender.com/">Reality Defender</a>, dan <a href="https://contentauthenticity.org/">Content Authenticity Initiative</a>. Platform ini memainkan peran krusial dalam menjaga integritas informasi dengan menyediakan sumber yang terverifikasi dan dapat diandalkan. Ini juga termasuk penggunaan <em>watermark</em> digital dan teknologi lain untuk memastikan keaslian konten. </p>
<p>Melalui implementasi langkah-langkah strategis ini, kita bisa meminimalkan penyebaran <em>deepfake</em> yang meresahkan publik, melindungi integritas diskursus publik dan kebenaran informasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218737/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arif Perdana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meningkatkan kesadaran tentang bahaya konten manipulatif dapat membuat masyarakat menjadi konsumen informasi yang lebih kritis melalui lokakarya, kampanye media, dan kurikulum pendidikan.Arif Perdana, Associate Professor Digital Strategy and Data Science, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2137532023-10-04T06:38:28Z2023-10-04T06:38:28Z4 potensi yang dimiliki AI untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia<p>Kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau <em>artificial intelligence</em> (AI) membuat ekosistem pendidikan global sibuk memanfaatkan AI. Artikel <a href="https://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-12251763/amp/Harvard-announces-teach-students-using-artificial-intelligence-instructor-semester.html">“<em>Harvard Announces it Will Teach Students Using an Artificial Intelligence Instructor Next Semester</em>”</a> memberitakan bahwa tim pengajar dari kursus pemrograman dasar di Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS) tengah melakukan eksperimen pengajaran oleh asisten berbasis <em>Chat Generative Pre-training Transformer</em> (chatGPT), yaitu sistem kecerdasan buatan yang cara kerjanya menggunakan format percakapan. </p>
<p>Walau terlihat begitu menjanjikan, kita masih dapat menemukan penyalahgunaan AI untuk hal-hal yang tak diinginkan di dunia pendidikan. Misalnya saja dalam kasus seorang mahasiswa yang mengerjakan tugas akademik dalam bentuk esai dengan <a href="https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/01/27/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi-harus-bersikap/">bantuan Open AI</a>.</p>
<p>Namun, kita tidak bisa serta merta menolak kehadiran AI. Sebab saat ini, AI menawarkan potensi yang tak dapat diberikan oleh teknologi sebelumnya. Bahkan, di tahun 2019, dalam program bertajuk <a href="https://en.unesco.org/sites/default/files/mlw2019-programme.pdf"><em>Mobile Learning Week</em></a>, UNESCO menyatakan bahwa AI memiliki potensi untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, yakni <a href="https://data.unicef.org/sdgs/goal-4-quality-education/">pendidikan berkualitas</a>.</p>
<h2>Bagaimana dengan Indonesia?</h2>
<p>Di Indonesia sendiri, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, dirumuskan dengan maksud untuk <a href="https://indonesia.un.org/id/sdgs/4/key-activities">menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua</a>.</p>
<p>Terkait hal ini, AI memiliki potensi yang dapat mempercepat tercapainya tujuan tersebut, yaitu:</p>
<p><strong>1. Potensi adaptasi</strong></p>
<p>AI memiliki potensi besar untuk menciptakan <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/01/gunakan-teknologi-pendidikan-sesuai-kebutuhan-pembelajaran">pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan</a> setiap siswa di Indonesia. Sistem <a href="https://www.researchgate.net/publication/358199658_WHICH_IS_BETTER_CONVENTIONAL_EDUCATION_OR_DISTANCE_EDUCATION">pendidikan konvensional</a> sering melihat kecerdasan anak-anak dengan sudut pandang yang seragam. Contohnya, semua siswa diharapkan untuk menguasai mata pelajaran yang sama dengan tuntutan nilai minimum tertentu.</p>
<p>Pendekatan ini sering diterapkan karena lembaga pendidikan menghadapi kendala dalam memberikan evaluasi yang personal dan inklusif kepada setiap siswa. Dengan kehadiran AI, kita dapat melihat munculnya pendidikan yang lebih modern dan berfokus pada inklusivitas.</p>
<p>AI memungkinkan kita untuk mengembangkan metode pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan individu siswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh <a href="https://www.researchgate.net/publication/337552114_Klasifikasi_Kecerdasan_Majemuk_pada_Anak_Berdasarkan_Posting_Aktivitas_di_Media_Sosial_Menggunakan_SentiStrength_dan_Spearman's_Rank_Correlation_Coefficient">(Baihaqi Siregar, dosen Universitas Sumatra Utara, Indonesia, dan rekan-rekannya tahun 2019)</a>, AI dapat membantu kita dalam mengidentifikasi kecerdasan majemuk pada anak-anak berdasarkan aktivitas mereka di media sosial.</p>
<p><strong>2. Potensi ruang dan akses</strong></p>
<p>Salah satu masalah yang masih umum terjadi di Indonesia adalah mengenai <a href="https://bappenas.go.id/index.php/berita/tingkatkan-pemerataan-pendidikan-berkualitas-di-indonesia-3Sabe">pemerataan kualitas pendidikan</a>. Hal itu terjadi lantaran, pemerintah kesulitan dalam menjangkau siswa yang berada di daerah terpencil. </p>
<p>AI memungkinkan pengembangan <em>platform e-learning</em> yang dapat diakses oleh siapa saja, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Melalui <em>platform e-learning</em> ini, siswa di <a href="https://www.researchgate.net/publication/342798594_PERKEMBANGAN_E-LEARNING_SEBAGAI_INOVASI_PEMBELAJARAN_DI_ERA_DIGITAL">berbagai daerah di Indonesia dapat mengakses beragam materi pembelajaran berkualitas tanpa terbatas oleh lokasi geografis</a>.</p>
<p>Hal ini tidak hanya membantu dalam memeratakan akses pendidikan di seluruh negeri, sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, tetapi juga membuka peluang baru bagi pendidikan jarak jauh, pelatihan <em>online</em>, dan berbagai sumber pembelajaran yang dapat diakses secara global. Namun, tentu saja, hal ini membutuhkan komitmen dari pemerintah untuk menggalakkan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/26/ini-provinsi-dengan-infrastruktur-dan-ekosistem-digital-terbaik-2022">pembangunan infrastruktur digital yang merata</a>di seluruh wilayah Indonesia.</p>
<p><strong>3. Potensi ketersediaan guru</strong></p>
<p>Banyak daerah di Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan <a href="https://mediaindonesia.com/opini/200182/mengkritisi-kualitas-guru">guru yang berkualitas</a>. Dalam konteks ini, kehadiran AI dapat memainkan peran sebagai <a href="http://conference.ut.ac.id/index.php/prosidingsenmaster/article/view/726">guru virtual</a>.</p>
<p>Dengan AI, siswa dapat memperoleh pengajaran yang berkualitas di manapun ia berada. Hal ini tentu saja dapat membantu siswa yang memiliki keterbatasan akses secara geografis untuk tetap mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus menghadiri sekolah secara fisik.</p>
<p><strong>4. Potensi mengurangi beban kerja guru</strong></p>
<p>Ekosistem pendidikan di Indonesia kerap menggunakan rasio perbandingan antara guru dan siswa. Rasio 1:40, misalnya, berarti 1 guru akan mendampingi 40 siswa di kelas. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa guru tersebut mendampingi tidak hanya 40 anak. Terutama di daerah-daerah yang jumlah gurunya sedikit. Sehingga, beban kerja guru menjadi berlipat ganda semisal dalam hal evaluasi hasil pembelajaran.</p>
<p>Dalam konteks ini, AI dapat digunakan untuk <a href="https://blog.classpoint.io/id/bagaimana-ai-digunakan-dalam-pendidikan-10-cara-anda-juga-bisa/">menilai pekerjaan dan tugas siswa secara otomatis </a>. Dengan kehadiran AI, <a href="https://smodin.io/id/blog/how-to-grade-assignments-with-ai/">guru dapat menghemat waktu dalam proses penilaian dan memberikan umpan balik dengan cepat dan tidak memihak kepada siswa</a>. Sehingga, guru memiliki lebih banyak waktu untuk memberikan bimbingan individual kepada siswa yang membutuhkan pendampingan ekstra.</p>
<p>Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa AI memang memiliki berbagai potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kemajuan AI begitu mengagumkan, AI pada akhirnya hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Artinya, penggunaan AI tetap harus berada di dalam koridor yang benar dan di bawah kendali penuh penggunanya untuk mencegah kesalahan dan peluang kejahatan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213753/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogie Pranowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan AI dalam dunia pendidikan masih menimbulkan pro dan kontra. Tapi sebenarnya, AI memiliki potensi untuk mempercepat tercapainya pendidikan berkualitas. Mengapa?Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2111102023-09-24T04:04:46Z2023-09-24T04:04:46ZAI Jesus: representasi Yesus di era kecerdasan buatan yang bersedia menjawab berbagai pertanyaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/549778/original/file-20230922-21-pii3vd.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=478%2C271%2C1733%2C1142&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Di saluran Twitch AI Jesus, chatbot Yesus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar masalah personal dan spiritual.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.twitch.tv/ask_jesus">Twitch user ask_jesus</a></span></figcaption></figure><p>Yesus kerap direpresentasikan dengan berbagai cara: <a href="https://global.oup.com/academic/product/jesus-9780195124743?cc=us&lang=en&">dari seorang nabi</a> yang mengingatkan para pengikutnya tentang akhir dunia yang akan segera tiba, hingga seorang <a href="https://www.harpercollins.com/products/jesus-john-dominic-crossan?variant=32130275213346">filsuf yang merefleksikan</a> tentang hakikat kehidupan.</p>
<p>Namun, belum ada yang menyebut Yesus sebagai seorang ahli internet–setidaknya sampai saat ini.</p>
<p>Dalam peran terbarunya sebagai “AI Jesus”, Yesus berdiri, dengan agak canggung, sebagai seorang laki-laki kulit putih, mengenakan jubah coklat-putih bertudung, tersedia 24/7 untuk menjawab setiap dan semua pertanyaan di kanal Twitch-nya, “<a href="https://www.twitch.tv/ask_jesus">ask_jesus</a>” (tanya Yesus).</p>
<iframe src="https://player.twitch.tv/?channel=ask_jesus&parent=theconversation.com&muted=true" width="100%" height="350px"></iframe>
<p>Pertanyaan yang diajukan kepada <em>chatbot</em> Yesus ini berkisar dari yang serius, seperti tentang makna hidup, hingga memintanya melucu. </p>
<p>Meskipun ada banyak pertanyaan-pertanyaan individual yang menarik untuk dibahas, sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=NgRTC7MAAAAJ&hl=en">seorang ahli agama Kristen awal dan perbandingan agama</a>, saya berpendapat bahwa representasi Yesus sebagai “AI Yesus” menunjukkan adanya perubahan menarik terhadap gambaran tokoh spiritual di era AI.</p>
<h2>Menafsirkan ulang Yesus</h2>
<p>Banyak ahli yang telah menggambarkan bagaimana Yesus telah ditafsirkan ulang selama berabad-abad. </p>
<p>Sebagai contoh, ahli agama <a href="https://www.stephenprothero.com/">Stephen Prothero</a> mengemukakan bahwa di Amerika pada abad ke-19, <a href="https://us.macmillan.com/books/9781466806054/americanjesus">Yesus digambarkan sebagai sosok yang berani dan tangguh</a>, mencerminkan maskulinitas kulit putih pada masa itu. Prothero berpendapat bahwa Yesus yang pada dasarnya damai dianggap bertentangan dengan norma-norma gender ini, sehingga kehebatan fisik Yesus lebih ditonjolkan.</p>
<p>Sebaliknya, cendekiawan <a href="https://www.birmingham.ac.uk/staff/profiles/tr/sugirtharajah-rs.aspx">R.S. Sugirtharajah</a>, pada sekitar waktu yang sama di India, menggambarkan <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674051133">Yesus sebagai seorang mistikus Hindu atau guru</a> oleh para teolog India seperti Ponnambalam Ramanathan. Ini bertujuan untuk membuat Yesus lebih mudah dipahami oleh orang Kristen India dan untuk menunjukkan bagaimana ajaran-ajaran rohaninya dapat diadopsi dengan baik oleh umat Hindu. </p>
<p>Representasi ketiga tentang Yesus terefleksi dalam karya <a href="https://utsnyc.edu/james-cone/">teolog James Cone</a>. Cone menggambarkan Yesus sebagai orang kulit hitam dengan maksud <a href="https://orbisbooks.com/products/a-black-theology-of-liberation-50th-anniversary-edition">untuk menyoroti penindasan yang dialaminya sebagai korban kekerasan politik</a>. Dia juga menunjukkan bagaimana “Kristus Kulit Hitam” menawarkan harapan akan pembebasan, kesetaraan, dan keadilan bagi orang-orang yang tertindas saat ini.</p>
<p>Intinya dari representasi ini bukanlah soal salah satu lebih akurat daripada yang lain, melainkan bahwa Yesus secara konsisten ditafsirkan ulang untuk menyesuaikan dengan norma dan kebutuhan setiap konteks yang baru.</p>
<p>AI Jesus yang melibatkan individu secara <em>online</em> dalam bentuk <em>chatbot</em> menjadi pola reinterpretasi terbaru, dibuat untuk menyesuaikan gambaran Yesus dengan zaman sekarang. Di saluran Twitch AI Jesus, pengguna secara konsisten memperlakukan <em>chatbot</em> Yesus sebagai yang memiliki otoritas dalam masalah pribadi dan spiritual.</p>
<p>Sebagai contoh, seorang pengguna baru-baru ini meminta saran kepada AI Jesus tentang cara terbaik untuk tetap termotivasi saat berolahraga. Sementara itu, pengguna lain ingin tahu mengapa Tuhan mengizinkan perang. </p>
<h2>Cara kerja AI Jesus</h2>
<p>AI Jesus merupakan salah satu contoh teknologi terbaru dalam bidang spiritualitas AI yang tengah berkembang. Para peneliti di bidang spiritualitas AI mempelajari bagaimana spiritualitas manusia dibentuk oleh meningkatnya pengaruh kecerdasan buatan, serta bagaimana AI dapat membantu orang memahami bagaimana manusia membentuk kepercayaan sejak awal. </p>
<p>Misalnya, dalam <a href="https://doi.org/10.9781/ijimai.2021.08.003">artikel tahun 2021 tentang AI dan kepercayaan agama</a>, para ilmuwan–<a href="https://www.uni-bamberg.de/en/aise/team/vestrucci/">Andrea Vestrucci</a>, <a href="https://www.iit.comillas.edu/personas/slumbreras">Sara Lumbreras</a>,dan <a href="https://scholar.google.com/citations?user=KJj_I3EAAAAJ&hl=en">Lluis Oviedo</a>–menjelaskan bagaimana sistem AI dapat dirancang untuk menghasilkan pernyataan terkait kepercayaan agama, seperti–secara hipotesis–“kemungkinan besar Tuhan Katolik tidak mendukung hukuman mati.”</p>
<p>Seiring berjalannya waktu, sistem tersebut dapat merevisi dan mengalibrasi ulang pernyataan-pernyataan ini berdasarkan informasi baru. Sebagai contoh, jika sistem AI terpapar data baru yang menantang keyakinannya, maka secara otomatis sistem tersebut akan menyesuaikan pernyataan-pernyataan di masa depan berdasarkan informasi baru tersebut.</p>
<p>AI Jesus bekerja sangat mirip dengan sistem kecerdasan buatan semacam ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, di antaranya, seputar agama.</p>
<p>Sebagai contoh, selain mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan perang dan penderitaan, AI Jesus juga menjawab pertanyaan tentang mengapa merasakan kehadiran Tuhan itu sulit. Pertanyaan lainnya: apakah dosa melakukan suatu tindakan yang menyebabkan kerusakan tetapi dilakukan dengan niat baik, dan bagaimana menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang sulit.</p>
<p>AI Yesus ini juga terus menyesuaikan jawabannya karena <em>chatbot</em> belajar dari masukan para pengguna dari waktu ke waktu. Misalnya, jika ada pertanyaan serupa yang kerap diajukan, AI Jesus akan merujuk pada interaksi sebelumnya dan menyesuaikan jawabannya, dengan mengatakan: “Saya telah menerima pertanyaan tentang makna Alkitab ini sebelumnya… Namun mengingat pertanyaan yang baru saja Anda ajukan, saya ingin menambahkan bahwa….” </p>
<h2>Spiritualitas AI di luar AI Yesus</h2>
<p>Guru <em>chatbot</em> ini menghadapi persaingan yang semakin ketat dari sumber-sumber spiritualitas AI lainnya. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Orang-orang duduk di kedua sisi bangku sementara avatar di layar di depan menyampaikan khotbah." src="https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540011/original/file-20230728-23-x19buz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Para pengunjung dan jemaat saat kebaktian yang diselenggarakan oleh kecerdasan buatan di Gereja Santo Paulus, Bavaria, Jerman.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/june-2023-bavaria-f%C3%BCrth-visitors-and-attendees-during-the-news-photo/1258555344?adppopup=true">Daniel Vogl/picture alliance via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebagai contoh, khotbah dalam <a href="https://apnews.com/article/germany-church-protestants-chatgpt-ai-sermon-651f21c24cfb47e3122e987a7263d348">kebaktian gereja ChatGPT yang diselenggarakan baru-baru ini di Jerman</a> dibawakan oleh <em>chatbot</em> yang menyerupai laki-laki kulit hitam berjanggut. Sementara, ada avatar lain yang memimpin doa dan lagu-lagu penyembahan. </p>
<p>Tradisi agama lain juga mulai memberikan pelajaran spiritual melalui AI. Contohnya di <a href="https://voicebot.ai/2022/01/21/meet-the-ai-monk-virtual-human-sharing-buddhist-teachings-in-thailand/">Thailand</a>, <em>chatbot</em> Buddha bernama Phra Maha AI memiliki <a href="https://www.facebook.com/people/%E0%B8%9E%E0%B8%A3%E0%B8%B0%E0%B8%A1%E0%B8%AB%E0%B8%B2%E0%B9%80%E0%B8%AD%E0%B9%84%E0%B8%AD-AI-MONK/100076595477143/">halaman Facebook-nya sendiri</a> tempat ia berbagi pelajaran spiritual, seperti tentang kehidupan yang tidak kekal. </p>
<p>Seperti AI Jesus, dia digambarkan sebagai manusia yang dengan bebas membagikan kebijaksanaan spiritualnya dan dapat dikirimi pesan di Facebook kapan saja, di mana saja selama ada koneksi internet. </p>
<p>Di Jepang, <em>chatbot</em> Buddhis lainnya, <a href="https://www.asahi.com/ajw/articles/14314273">yang dikenal sebagai “Buddhabot”</a>, kini sedang dalam pengembangan tahap akhir. Diciptakan oleh para peneliti dari Universitas Kyoto, Buddhabot telah mempelajari sutra-sutra Buddhis yang nantinya dapat dikutip oleh publik ketika ditanyai pertanyaan-pertanyaan keagamaan.</p>
<p>Dengan semakin banyaknya akses dan pilihan di dunia daring untuk mencari bimbingan dan nasihat spiritual, sulit untuk mengatakan <em>chatbot</em> agama mana yang akan terbukti paling memuaskan secara spiritual. </p>
<p>Bagaimanapun, tren yang sudah berlangsung ribuan tahun dalam membentuk kembali representasi para pemimpin spiritual untuk memenuhi kebutuhan masa kini sepertinya akan terus berlanjut setelah AI Jesus menjadi kehadiran religius.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211110/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joseph L. Kimmel tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mengenakan jubah cokelat-putih berkerudung, chatbot Yesus tersedia 24/7 untuk menjawab setiap dan semua pertanyaan di saluran Twitch-nya, ‘ask_jesus’.Joseph L. Kimmel, Faculty Member (Theology Department), Part-Time, Boston CollegeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2114252023-09-08T00:11:41Z2023-09-08T00:11:41ZBagaimana sektor pembangunan optimalkan ChatGPT untuk perubahan<p><em>Artikel ini adalah bagian dari serial #KenapaTakutAI?#</em></p>
<p>Kecerdasan buatan atau <em>artifial intelligence</em> (AI) kerap kali lebih banyak dipakai dan dibicarakan untuk urusan <a href="https://theconversation.com/indonesia-bisa-panen-raya-dari-ai-dan-memimpin-di-asia-tenggara-212455">bisnis</a>, <a href="https://theconversation.com/penggunaan-chatgpt-tak-perlu-dilarang-layanan-ai-bisa-mendukung-riset-dan-pendidikan-201686">pendidik</a>, dan <a href="https://theconversation.com/chatgpt-pelajaran-yang-dapat-dipetik-dari-larangan-sementara-chatbot-ai-di-italia-209948">sektor publik atau pemerintah</a>. Masih jarang AI, apalagi <a href="https://generativeai.net"><em>Generative Artificial Intelligence</em> (Gen AI)</a> yang populer sejak akhir tahun lalu, dibahas untuk urusan sektor pembangunan guna mendorong perubahan sosial.</p>
<p>Survei <a href="https://v1.kopernik.info/documents/document/1687835987574_1408.pdf">terbaru Kopernik pada Mei lalu fokus</a> pada pengetahuan dan pengalaman pekerja sektor pembangunan terkait penggunaan aplikasi Gen AI saat ini dan prospek masa depan. </p>
<p>Kami mengumpulkan data dari 121 responden yang bekerja pada sektor pembangunan (sektor sosial) di Indonesia. Dari 121, mereka adalah pekerja lembaga swadaya masyarakat (LSM) (42%), <em>social enterprise</em> (30%), institusi akademis dan lembaga penelitian (17%), lembaga bantuan (7%), dan yayasan filantropi (4%). </p>
<p>Hasilnya menunjukkan 13% responden yang mewakili organisasi mereka sangat familiar dengan Gen AI. Sekitar 46% dari total responden memiliki pengetahuan dasar terkait Gen AI. Di antara mereka yang memiliki pengetahuan dasar dan cukup baik mengenai Gen AI, 36% melaporkan bahwa mereka menggunakannya seringkali atau setiap hari.</p>
<p>Mereka memberdayakan Gen AI seperti ChatGPT untuk riset, pengembangan gagasan, pembuatan konten, perbaikan penulisan, dan penerjemah. Platform Gen AI yang paling populer di kalangan pekerja sektor pembangunan adalah <a href="https://chat.openai.com/auth/login">ChatGPT</a> (55%), diikuti oleh <a href="https://www.bing.com/?/ai">Bing AI</a> (11%). </p>
<h2>Penggunaan Gen AI di sektor pembangunan</h2>
<p>Sejak akhir 2022, teknologi <a href="https://generativeai.net">Gen AI</a> mulai meningkat popularitasnya secara global, termasuk di Indonesia. Dengan hanya menuliskan sebuah perintah singkat dan spesifik, platform Gen AI seperti ChatGPT atau Firefly dapat menghasilkan teks, audio, atau visual yang sesuai dengan perintah yang dimasukkan. </p>
<p>Riset kami menunjukkan walau 67% responden memiliki pandangan positif terhadap Gen AI dan masa depannya, ada 47% responden yang khawatir terhadap potensi isu negatif yang dapat terjadi dari pemanfaatannya. Jenis-jenis kekhawatiran terdiri dari ketergantungan yang berlebihan, perubahan lapangan kerja, keandalan dan ketepatan informasi, karya cipta, privasi dan keamanan, dan lain-lain.</p>
<p>Seorang responden mengatakan, “Orang mengandalkan pemikiran mereka dengan Gen AI, dan Gen AI tidak dimaksudkan untuk tujuan itu. Gen AI adalah alat untuk membantu kita dalam membentuk ide, meningkatkan hasil, dan membantu kita memanfaatkan waktu untuk hal yang lebih penting”. </p>
<p>Selain survei kuantitatif, kami juga menindaklanjuti dengan survei kualitatif terhadap beberapa responden guna menemukan informasi lebih dalam terkait contoh-contoh penggunaan Gen AI di sektor pembangunan Indonesia. </p>
<p>Salah satu temuannya adalah butuh tingkat keahlian yang berbeda-beda dalam memberikan perintah ke Gen AI. Mulai dari pembuatan kerangka e-mail yang mudah, hingga perintah visualisasi data yang membutuhkan keahlian lebih tinggi dalam memasukkan perintah atau <em>prompt</em>. </p>
<p>Carmen Van Zyl, CEO PT Live Better Creatives, sebuah perusahaan sosial misalnya, punya pengalaman menggunakan ChatGPT saat website kantornya rusak. Mereka sedang kekurangan staf IT, lalu mereka “memerintahkan” ChatGPT membuat “petunjuk” bagaimana cara memperbaiki halaman web yang bermasalah. “ChatGPT dengan cepat memberikan beberapa solusi yang langsung kami terapkan dan akhirnya dapat memperbaiki isu website kami”, ujar Carmen. </p>
<p>Mereka dapat memperbaiki web tanpa perlu melibatkan administrator website.</p>
<p>Perusahaan sosial lainnya juga sedang bereksperimen dengan ChatGPT untuk menghasilkan kode pada R Studio, sebuah perangkat lunak statistik, guna membantu visualisasi data. Sementara itu, perusahaan sosial lainnya juga menggunakan ChatGPT untuk membantu UMKM dalam membuat promosi produk untuk Lebaran di media sosial.</p>
<p>Contoh lainnya, sebuah organisasi donor menggunakan Dall-E sebagai bagian dari lokakarya tinjauan masa depan Ibu Kota Indonesia yang baru. Kata kunci yang diperoleh dari diskusi dimasukkan ke dalam Dall-E untuk menghasilkan gambaran dan aspirasi terkait pengembangan ibu kota yang baru dengan bantuan Gen AI.</p>
<h2>Tantangan</h2>
<p>Sebuah riset bertajuk <a href="https://dl.acm.org/doi/pdf/10.1145/3442188.3445922"><em>On the Dangers of Stochastic Parrots: Can Language Models Be Too Big?</em></a> menunjukkan bahwa 93% dari data training ChatGPT menggunakan bahasa Inggris walau <a href="https://www.statista.com/statistics/266808/the-most-spoken-languages-worldwide/">hanya 19% dari populasi dunia</a> yang menggunakannya sebagai bahasa ibu atau bahasa kedua. Akibatnya, hasil kerja ChatGPT berpotensi menunjukkan bias terhadap wilayah yang menggunakan Bahasa Inggris.</p>
<p>Terlebih lagi, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat memanfaatkan Gen AI, seperti akses listrik, akses ke internet, dan perangkat yang memadai seperti ponsel pintar. Dengan demikian, dibutuhkan juga keterampilan untuk dapat menggunakan Gen AI secara efektif. Keterampilan tersebut akan memudahkan pengguna untuk dapat mengidentifikasi platform Gen AI yang sesuai dengan kebutuhan.</p>
<p>Namun, kesenjangan digital antara masyarakat perkotaan dan pedesaan masih jelas terlihat. Adanya gap yang signifikan pada literasi dasar digital dapat mengakibatkan aksesibilitas Gen AI yang tidak merata di Indonesia. </p>
<p>Mereka yang tidak memenuhi persyaratan ini mungkin akan dirugikan sehingga memperburuk kesenjangan digital yang ada.</p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Untuk dapat menguasai keterampilan menggunakan Gen AI, perlu pendekatan penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari yang baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan menggunakan teknologi digital dan meningkatkan literasi dasar digital, baik di perkotaan maupun di pedesaan.</p>
<p>Seiring dengan meningkatnya minat penggunaan Gen AI–termasuk pemerintah Indonesia yang telah menerbitkan <a href="https://ai-innovation.id/server/static/ebook/stranas-ka.pdf">Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia 2020-2045</a> yang merinci penggunaan, manfaat, risiko dan prasyarat menggunakan AI–banyak responden yang menyatakan bahwa Gen AI memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor pembangunan Indonesia. </p>
<p>Sektor pembangunan di Indonesia dapat memanfaatkan sikap proaktif pemerintahan tersebut dengan mulai memberi fokus terhadap cara menanggulangi adanya potensi kesenjangan digital yang dapat terjadi dengan kehadiran Gen AI.</p>
<p>Salah satu caranya adalah dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan penggunaan Gen AI yang lebih inklusif, yang menyasar ke berbagai kalangan di kota-desa, perempuan dan laki-laki. Hal ini sangat dibutuhkan agar perkembangan AI yang begitu cepat dapat membantu berbagai kalangan tanpa meninggalkan siapa pun.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211425/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hafiza Raisya Indrani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau 67% responden memiliki pandangan positif terhadap Gen AI dan masa depannya, ada 47% responden yang khawatir terhadap potensi isu negatif yang dapat terjadi dari penggunaan Gen AI.Hafiza Raisya Indrani, Senior Analyst, Yayasan KopernikLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2124552023-09-07T05:38:31Z2023-09-07T05:38:31ZIndonesia bisa panen raya dari AI dan memimpin di Asia Tenggara<p><em>Artikel ini adalah bagian dari serial #KenapaTakutAI?#</em></p>
<p>Indonesia sedang memiliki peluang besar untuk menjadi navigator pengembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) di Asia Tenggara.</p>
<p>Kesempatan ini dilatarbelakangi oleh keunggulan Indonesia dalam penerapan AI di sektor publik dan sektor bisnis, potensi pasar yang besar bagi investasi pengembangan AI dalam negeri, dan tingginya hasil riset terkait AI.</p>
<p>Teknologi berbasis AI sudah mulai diterapkan di sektor publik di Indonesia, khususnya dalam meningkatkan kecepatan dan kualitas pelayanan publik melalui pendekatan <em>citizen-centric</em>.</p>
<p>Sebagai contoh, inisiatif Jakarta Smart City (<a href="https://smartcity.jakarta.go.id/">JSC</a>) milik Pemerintah DKI Jakarta telah berhasil menjadi pelopor penggunaan teknologi berbasis AI dalam mewujudkan <em>smart governance</em>. Ini inisiatif dalam pelayanan publik terintegrasi hingga penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan berbasis data di Indonesia sejak 2014.</p>
<p>Sementara di sektor bisnis, Indonesia menjadi pasar potensial terbesar dalam penanaman modal untuk pengembangan AI di Asia Tenggara. </p>
<p>Menurut <a href="https://oecd.ai/en/data?selectedArea=investments-in-ai-and-data&selectedVisualization=vc-investments-in-ai-by-country">laporan terbaru dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)</a>, hingga kuartal ketiga (Q3) 2023, Indonesia mencatatkan rata-rata besaran nilai penerimaan pendanaan modal ventura (VC) untuk pengembangan AI terbesar di antara enam negara pengembang AI terdepan di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. </p>
<p>Indonesia berhasil meraup rata-rata besaran investasi sebesar US$23 juta (Rp 351,670 miliar). Angka ini jauh melebihi Filipina ($11 juta), Singapura ($10 juta), Thailand ($6,4 juta), Malaysia ($4 juta), dan Vietnam ($3,9 juta). </p>
<p>Dalam area riset, Indonesia juga menjadi yang terdepan. </p>
<p>Laporan terbaru <a href="https://oecd.ai/en/data?selectedArea=ai-research&selectedVisualization=ai-publications-time-series-by-country">OECD</a>, secara akumulatif, ada 124.251 publikasi saintifik terkait AI yang telah dipublikasikan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia hingga 2022. </p>
<p>Pencapaian ini membuat posisi Indonesia menempati peringkat tertinggi dalam publikasi riset di bidang AI, melampaui pencapaian negara-negara anggota ASEAN lainnya.</p>
<h2>Manfaat penggunaan AI dan tantangan</h2>
<p>Potensi terbesar dari penggunaan AI adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Dalam lingkup regional, negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diprediksi akan mendapatkan keuntungan <a href="https://www.kearney.com/service/digital/article/-/insights/racing-toward-the-future-artificial-intelligence-in-southeast-asia">ekonomi</a> hingga US$950 miliar (Rp14.525 triliun), atau 13%, dari total produk domestik bruto (PDB) kawasan pada 2030. </p>
<p>Dari sebelas negara anggota ASEAN, Indonesia diperkirakan akan mendapat dampak ekonomi paling tinggi, sekitar US$366 miliar (Rp5.596 triliun), diikuti Thailand ($117 miliar), Singapura ($110 miliar), Malaysia ($115 miliar), Vietnam ($109 miliar), dan Filipina ($92 miliar). </p>
<p>Keuntungan ekonomi dari pemanfaatan AI di kawasan <a href="https://www.kearney.com/service/digital/article/-/insights/racing-toward-the-future-artificial-intelligence-in-southeast-asia">didominasi</a> oleh dua sektor utama, yaitu <em>marketing and sales</em> dan <em>supply chain management</em>, dengan persentase penambahan nilai (<em>value added</em>) masing-masing sebesar 50-60% dan 20-25%.</p>
<p>Namun, di samping manfaat tersebut, terdapat beberapa tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam tata kelola AI pada masa depan. </p>
<p>Menurut <a href="https://asiasociety.org/policy-institute/raising-standards-data-ai-southeast-asia">studi Asia Society Policy Institute (2022)</a>, setidaknya terdapat tiga isu krusial yang perlu mendapat perhatian, yaitu inklusivitas, ketahanan siber, dan disrupsi pasar tenaga kerja.</p>
<p>Inklusi berkaitan dengan perlunya mengedepankan pendekatan berbasis masyarakat (<em>citizen-centric approach</em>) dalam merumuskan berbagai kebijakan terkait pengembangan dan penggunaan teknologi berbasis AI ke depan. </p>
<p>Dengan AI yang sangat bergantung pada data publik dari penggunaan aplikasi, layanan, dan utilitas virtual, maka ketahanan siber harus menjadi <a href="https://www.eastasiaforum.org/2022/08/24/asia-pacific-cybercrime-threatens-to-crimp-ai/">prasyarat</a> sebelum melakukan pengembangan lebih lanjut. </p>
<p>Meskipun Indonesia telah mengesahkan <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/229798/uu-no-27-tahun-2022">UU Perlindungan Data Pribadi (PDP)</a>, keberadaan regulasi spesifik tentang keamanan siber masih diperlukan. Ini untuk memperkuat keamanan infrastruktur jaringan informasi dan sumber daya di bidang keamanan siber.</p>
<p>Mengamankan perlindungan data pribadi berstandar tinggi dan mengantisipasi maraknya pengintaian digital (<em>digital surveillance</em>) harus menjadi prioritas negara. Ini sangat penting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan publik terhadap penggunaan teknologi berbasis AI. </p>
<p>Adopsi AI yang eksponensial dan meluas juga menimbulkan disrupsi pada pasar tenaga kerja. Menurut <a href="https://www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/automation-and-the-future-of-work-in-indonesia">prediksi McKinsey (2019), Indonesia</a> akan kehilangan 23 juta pekerjaan pada 2030. Namun, pada periode tahun yang sama akan muncul pula 27-46 juta jenis pekerjaan baru. </p>
<p>Oleh karena itu, kita perlu perencanaan strategi jangka panjang demi menghasilkan dan mempertahankan ketersediaan tenaga kerja berkapabilitas tinggi ke depan.</p>
<p>Sejauh ini, Indonesia sudah memulai langkah konkret dengan adanya 10 agenda prioritas di dalam visi “<a href="https://investindonesia.go.id/en/why-invest/indonesia-economic-update/making-indonesia-4.0-indonesias-strategy-to-enter-the-4th-generation-of-ind">Making Indonesia 4.0</a>” yang digagas oleh Presiden Joko Widodo. </p>
<p>Salah satu inisiatif yang berdampak positif adalah upaya penguatan kerja sama dengan sektor swasta dan universitas dalam menghasilkan talenta berkualitas yang mampu bekerja di industri teknologi tinggi, seperti <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/02/02/bukalapak-itb-launch-ai-cloud-computing-innovation-center.html">the Artificial Intelligence and Cloud Computing Innovation Center</a> dan <a href="https://tokopedia-ai.cs.ui.ac.id/#:%7E:text=As%20a%20result%20of%20partnership%20between%20UI%20and,government%2C%20delivering%20concrete%20AI%20solutions%20for%20real-world%20problems.">Tokopedia AI Center of Excellence</a>. </p>
<h2>Peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023</h2>
<p>Berkaca pada kesuksesan Presidensi G20 yang lalu, Indonesia yang sedang memegang Presidensi ASEAN 2023 harus melanjutkan pengaruhnya untuk menavigasi masa depan tata kelola AI di kawasan. Ini sebagai bagian dari penguatan lingkungan digital di kawasan, sehingga optimalisasi manfaat dan pencegahan potensi risiko dapat dilakukan. </p>
<p>Peranan tersebut dapat diawali dengan merangkul negara-negara lain yang terdepan dalam pengembangan AI di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kita perlu memastikan bahwa pemanfaatan AI dilakukan secara adil bagi masyarakat di kawasan dan potensi risiko dapat dikelola dengan baik. </p>
<p>Pertemuan <a href="https://asean.org/wp-content/uploads/2023/02/Endorsed-3rd-ADGMIN-JMS.pdf">para menteri digital se-ASEAN pada awal tahun ini memang sudah mengakui</a> pentingnya pembuatan pedoman tata kelola dan etika penggunaan AI. Namun, substansi pedoman untuk mencegah potensi risiko dalam pemanfaatan teknologi ini masih belum terlihat secara spesifik. </p>
<p>Untuk itu, beberapa inisiatif konkret dan kolektif lebih lanjut sangat dibutuhkan.</p>
<p>Pertama dan terpenting, Asia Tenggara perlu menyepakati definisi bersama terkait AI beserta berbagai risiko pemanfaatannya. </p>
<p>Dalam hal ini, Indonesia bisa mengusulkan adopsi pendekatan berbasis risiko (<em>risk-based approach</em>) yang diterapkan Uni Eropa dalam mendefinisikan risiko-risiko dalam pemanfaatan AI.</p>
<p>Kedua, Indonesia perlu mendorong pembentukan kerangka peraturan bersama di tingkat regional untuk mengatur tata kelola AI, yang juga melingkupi pengembangan dan pemanfaatannya. </p>
<p>Keberadaan basis hukum ini diperlukan untuk mengatur praktik penggunaan AI yang dianggap berpotensi berdampak negatif bagi pengguna. Praktik-praktik negatif tersebut dapat berupa diskriminasi, pengintaian digital, hingga kebocoran data pribadi. </p>
<p>Keberadaan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (<a href="https://karya.brin.go.id/id/eprint/13918/1/Artikel_Michael_PR%20Elektronika_2020.pdf">Stranas KA</a>) sebagai pedoman pengembangan AI dan beberapa instrumen hukum terkait ekosistem digital, seperti (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37582/uu-no-19-tahun-2016">UU ITE</a>) dan (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/229798/uu-no-27-tahun-2022">UU PDP</a>), bisa menjadi modal Indonesia dalam menginisiasi perumusan kerangka peraturan tata kelola AI di kawasan.</p>
<p>Ketiga, Indonesia perlu menginisiasi perumusan kemitraan komprehensif regional untuk pengembangan AI. Inisiatif ini sangat penting untuk memperkuat semangat kebersamaan antarnegara anggota ASEAN dalam memanfaatkan dan mengembangkan AI secara kolektif. </p>
<p>Beberapa kerja sama yang dilakukan dapat melingkupi pembinaan tenaga kerja berketerampilan tinggi, pembangunan infrastruktur digital, penguatan penelitian, hingga peningkatan investasi. </p>
<p>Begitu besar potensi manfaat dari penggunaan AI untuk kawasan pada masa depan dan Indonesia bisa panen raya nanti. Kepemimpinan Indonesia atas ASEAN tahun ini dapat digunakan untuk memastikan masa depan tata kelola AI di kawasan tidak hanya berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara, tapi juga memastikan keadilan pengembangan antarnegara, dan keamanan terhadap hak-hak digital penggunanya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212455/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Albert Jehoshua Rapha tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Potensi terbesar dari penggunaan AI adalah pada sektor pertumbuhan ekonomi.Albert Jehoshua Rapha, Research Fellow, Pusat Kajian Kebijakan dan Manajemen Pembangunan (PK2MP), Universitas DiponegoroLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2122542023-08-30T03:56:09Z2023-08-30T03:56:09ZAI dan disinformasi: bagaimana kecerdasan buatan dapat memperparah penyebaran hoaks jelang Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544880/original/file-20230827-144986-7jvzq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=26%2C0%2C8959%2C4877&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi robot kecerdasan buatan (AI).</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/android-ai-robot-speaking-international-press-2270550853">Stokkete/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini adalah bagian dari serial #LawanHoaks2024.</em></p>
<p>Fenomena <a href="https://www.cambridge.org/core/books/social-media-and-democracy/misinformation-disinformation-and-online-propaganda/D14406A631AA181839ED896916598500">disinformasi</a>, alias suatu info yang diketahui salah lalu disebarkan dengan sengaja, sebenarnya sudah ada <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=LJGbDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=disinformation+ancient+romance&ots=xq0qY6c1r0&sig=v5AjqIjIHFWQjgknTsmdJl3HfTA&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false">sejak peradaban Romawi Kuno</a>.</p>
<p>Pada tahun 33 Sebelum Masehi (SM), Kaisar Octavianus Augustus, pewaris tahta dari pemimpin diktator Romawi, Gaius Julius Caesar, <a href="https://theconversation.com/the-fake-news-that-sealed-the-fate-of-antony-and-cleopatra-71287">menggunakan disinformasi</a> untuk merusak reputasi saingannya, Mark Antony, dan mendapatkan lebih banyak dukungan dari publik Romawi.</p>
<p>Bedanya, pada era digital ini, penyebaran disinformasi menjadi sangat cepat karena berkembangnya teknologi, diperkuat oleh algoritme kecerdasan digital (<em>artificial intelligence</em>/AI).</p>
<p>Era AI ini telah merevolusi segala lini industri dan kehidupan masyarakat, membawa kemajuan sekaligus tantangan. Salah satu dampak AI yang cukup mengkhawatirkan adalah memperburuk fenomena disinformasi, terutama menjelang tahun politik.</p>
<p>Meski demikian, perlu dipahami bahwa masalah ini bukan semata kesalahan teknologi; akarnya juga ada di psikologi manusia. Ini karena disinformasi terkait erat dengan <a href="https://www.dw.com/en/fact-check-why-do-we-believe-fake-news/a-66102618">bias kognitif</a> (kesalahan dalam berpikir dan menilai secara alam bawah sadar) yang dimiliki oleh manusia.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/s44159-021-00006-y">Penelitian</a> menunjukkan bahwa manusia tertarik pada narasi yang membentuk identitas, menguatkan keyakinan, dan sejalan dengan perspektif sosial dan politik mereka, meskipun narasi tersebut palsu.</p>
<p>Seperti <a href="https://www.google.co.id/books/edition/On_Rumors/BmuYDwAAQBAJ?hl=en&gbpv=0">yang diungkapkan</a> oleh Cass R. Sunstein, profesor hukum dari Harvard Law School di Amerika Serikat (AS), bahwa daya tarik disinformasi terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan emosi manusia, seperti rasa takut dan harapan, dan penyebarannya didorong oleh beragam motivasi, mulai dari kepentingan pribadi hingga niat jahat. </p>
<p>Kondisi penyebaran disinformasi ini punya potensi menjadi lebih marak dan parah, dengan adanya AI yang memiliki kemampuan menciptakan dan mengamplifikasi disinformasi sehingga dapat <a href="https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2021/653635/EXPO_STU(2021)653635_EN.pdf">merusak tatanan demokrasi</a>.</p>
<p>Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu 2024), dampak AI kepada disinformasi ini dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan penyedia informasi seperti media massa, serta memperdalam polarisasi sosial.</p>
<h2>Cara AI memperburuk disinformasi</h2>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap pemilihan global <a href="https://www.theguardian.com/us-news/2023/jul/20/artificial-intelligence-us-elections">dicemari oleh aliran disinformasi</a> yang didukung oleh AI.</p>
<p>Bagaimana cara AI melakukannya?</p>
<p>Ini bisa terjadi karena algoritme AI dirancang untuk <a href="https://knightfoundation.org/wp-content/uploads/2020/12/Jonas-Kaiser_Yale-ISP.pdf">memaksimalkan keterlibatan pengguna</a>, yang kemudian turut mempromosikan konten informasi yang salah.</p>
<p>Oleh karena itu, algoritme memiliki kemampuan mengarahkan individu masuk ke <em>echo chamber</em> alias ruang gema yang sangat mungkin berisi disinformasi. Ruang gema adalah lingkungan di dunia maya yang membuat seseorang hanya menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen atau sesuai dengan pemikiran mereka secara terus menerus.</p>
<p>Pemilihan Presiden AS 2016 menjadi contoh nyata fenomena ini. <a href="https://www.rollingstone.com/feature/anatomy-of-a-fake-news-scandal-125877/">Teori konspirasi daring “PizzaGate”</a>, yang menyatakan ada kegiatan pedofilia di dalam tubuh pemerintah AS, dipropagandakan melalui unggahan yang mengklaim Hillary Clinton menjalankan jaringan seks anak-anak di sebuah gerai pizza Comet Ping Pong di Washington DC.</p>
<p>Tuduhan tak berdasar ini kemudian semakin disebarluaskan oleh <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/00113921211034896">algoritme AI di media sosial</a>, yang pada akhirnya memanipulasi opini publik dan menyebarkan kebingungan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/544892/original/file-20230827-26-5wyt6w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para pendukung teori konspirasi</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/washington-dc-september-5-2020-supporters-1809433153">Phil Pasquini/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dampak disinformasi daring juga terjadi pada pemilu Nigeria 2023. <a href="https://www.aljazeera.com/features/2023/2/15/nigeria-election-triggers-deluge-of-fake-news-on-social-media">Laporan BBC</a> mengungkap politikus membayar <em>influencer</em> untuk menyebarkan disinformasi.</p>
<p>Menjelang 2023, jumlah berita palsu <a href="https://dailypost.ng/2023/07/15/peter-obi-decries-fake-media-reports-targeted-to-discredit-him/">meningkat pesat</a> di media sosial di Nigeria, menargetkan kandidat presiden. <a href="https://www.bbc.com/news/world-africa-64797274">Paradoksnya</a>, media sosial di Nigeria, khususnya Twitter, berperan besar dalam penyebaran berita pemilu yang kredibel tapi sekaligus menjadi sumber utama disinformasi.</p>
<p>Di Indonesia, pada pemilu 2014 dan 2019 <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/06/14/serangan-di-ruang-digital-jadi-ancaman-serius-di-pemilu-2024">ada konten-konten disinformasi</a> berupa teks dan foto yang digunakan untuk memengaruhi sentimen publik. Contohnya foto <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/11/23/15185081/penjelasan-soal-foto-kampanye-pki-dn-aidit-yang-terdapat-pria-mirip-jokowi">laki-laki mirip Jokowi hadir di kampanye D.N. Aidit</a> yang menyebabkan Jokowi dituduh sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).</p>
<p>Beredar pula narasi-narasi palsu dibuat untuk mengangkat dan menghancurkan kandidat-kandidat yang bersaing di pemilihan, menyebabkan ketidakpercayaan dan kebingungan di antara pemilih.</p>
<p>Sebagai contoh, narasi palsu bahwa mantan perwira tinggi militer Prabowo Subianto, yang kini ketua Partai Gerindra sekaligus bakal calon kandidat presiden untuk Pemilu 2024, diberhentikan “secara tidak hormat” dari institusi TNI. Padahal kenyataannya Prabowo <a href="https://news.republika.co.id/berita/n748wk/prabowo-diberhentikan-dengan-hormat">diberhentikan dengan hormat</a>. Keterangan yang diubah hanya perihal hormat dan tidak hormat, tetapi ini akan sangat memengaruhi sentimen publik terhadap Prabowo.</p>
<p>Ada pula <a href="https://pemilu.tempo.co/read/587905/kronologi-survei-palsu-yang-menangkan-prabowo">survey palsu yang muncul jelang Pemilu 2014</a> yang menyatakan Prabowo akan memenangkan pilpres. Lalu pada <a href="https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/3950205/cek-fakta-hoaks-data-tni-menangkan-prabowo-di-pilpres-2019-ini-faktanya">Pemilu 2019</a>, beredar narasi palsu berupa data yang diklaim berasal dari intelijen TNI yang menyebutkan Prabowo telah memenangkan Pilpres.</p>
<p>Menjelang pemilu 2024 ini, apa yang harus kita persiapkan, mengingat teknologi Generative AI sudah berkembang? Ditambah lagi, <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/06/14/serangan-di-ruang-digital-jadi-ancaman-serius-di-pemilu-2024">disinformasi yang menyebar di pemilu 2024</a> nanti tidak hanya teks tetapi juga audio dan video.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/riset-menunjukkan-susahnya-melacak-misinformasi-dan-disinformasi-politik-di-tiktok-173918">Melacak disinformasi</a> di media sosial berbasis video seperti <a href="https://theconversation.com/jelang-pemilu-2024-waspada-peran-tiktok-dalam-penyebaran-ujaran-kebencian-dan-hoaks-203422">TikTok</a> juga menjadi semakin sulit karena menggunakan format audiovisual, bahasa ‘gaul’, dan fitur pencarian yang terbatas. </p>
<h2>Langkah melawan disinformasi</h2>
<p>Ancaman AI semakin diperparah oleh kemampuannya untuk memanipulasi struktur dan presentasi teks. Generative AI seperti ChatGPT, misalnya, bisa membuat konten disinformasi dengan cepat. Algoritme AI lainnya juga bisa membuat foto, video, dan suara artifisial tampak sangat meyakinkan (<a href="https://www.theguardian.com/technology/2020/jan/13/what-are-deepfakes-and-how-can-you-spot-them"><em>deepfake</em></a>).</p>
<p><a href="https://www.technologyreview.com/2023/06/28/1075683/humans-may-be-more-likely-to-believe-disinformation-generated-by-ai/#:%7E:text=Disinformation%20generated%20by%20AI%20may,than%20those%20written%20by%20humans.">Penelitian</a> menunjukkan bahwa orang lebih sulit mendeteksi konten palsu yang dihasilkan AI dibandingkan dengan yang dibuat oleh manusia. Ini karena sifat terstruktur dan ringkas dari konten yang dihasilkan AI, membuatnya lebih mudah dipahami dan meyakinkan.</p>
<p>Menangani bahaya disinformasi dari AI memerlukan pendekatan teknologi dan partisipasi masyarakat. Ironisnya, dari perspektif teknis, AI bisa digunakan untuk menyebarkan disinformasi, tapi juga dapat menjadi alat untuk melawan disinformasi dan mengembalikan kepercayaan.</p>
<p>Salah satu contoh dampak positif AI adalah penggunaan teknik <a href="https://arxiv.org/abs/1811.00770">Pemrosesan Bahasa Alami (NLP)</a> untuk membedakan narasi yang asli dan yang palsu. Inisatif awal sudah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan perusahan <em>start-up</em> <a href="https://blog.prosa.ai/id/kominfo-dan-prosa-luncurkan-chatbot-anti-hoaks/">Prosa.ai</a>. Mereka meluncurkan <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2020/01/chatbot-anti-hoax/"><em>chatbot</em> antihoaks berbasis NLP di Telegram</a>.</p>
<p>Algoritme tersebut tentunya perlu terus dikembangkan dan diperbarui agar tetap akurat dalam menghadapi konten AI yang semakin kompleks.</p>
<p>Pemerintah Indonesia juga bisa belajar dari Uni Eropa yang telah mengoperasikan <a href="https://www.disinfo.eu/about-us/">European Union’s Disinformation Lab</a> dengan menyebarkan berbagai materi yang dibuat melalui bantuan AI guna mendidik masyarakat dalam melawan disinformasi di era digital.</p>
<p>Selain aspek teknologi, komitmen publik dalam melawan disinformasi yang dihasilkan oleh AI juga tak kalah pentingnya. Ini dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun kelompok organisasi sipil dengan melatih literasi digital masyarakat, agar mereka bisa lebih kritis, hati-hati, dan lebih berdaya dalam berinteraksi dengan konten digital.</p>
<h2>Pentingnya cek fakta</h2>
<p>Tindakan berbagi informasi yang bertanggung jawab dan inisiatif verifikasi fakta bisa menjadi benteng melawan penyebaran disinformasi.</p>
<p>Di Indonesia, komunitas dan media arus utama telah memberikan kesempatan bagi individu untuk <a href="https://theconversation.com/hoaks-juga-menyebar-melalui-whatsapp-line-dan-telegram-cek-fakta-jangan-hanya-berkutat-di-media-sosial-212288">memverifikasi fakta</a>. Jurnalis juga semakin didorong untuk <a href="https://www.disinfo.eu/about-us/">melakukan jurnalisme pemeriksaan fakta</a>. Meskipun masih menghadapi kendala sumber daya dan kecepatan, setidaknya ini telah membantu meredam laju penyebaran disinformasi. </p>
<p>Dengan menggabungkan teknologi AI dan partisipasi masyarakat, perjuangan melawan disinformasi bisa menjadi lebih terkoordinasi dan efisien. Kolaborasi antara pengembang AI, ahli, dan pemeriksa fakta menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan dengan tepat dalam melawan disinformasi.</p>
<p>Intinya, meskipun AI sangat berpotensi menjadi alat penyebar disinformasi, teknologi ini juga mampu mendeteksi dan menangkalnya. Ini tergantung sejauh mana kita bijak menggunakannya dan bagaimana terbangun kerja sama sinergis antara upaya meningkatkan literasi media dan keterampilan kritis masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212254/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arif Perdana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi memperparah penciptaan dan penyebaran disinformasi dalam Pemilu 2024, namun dapat pula membantu menangkalnya.Arif Perdana, Associate Professor Digital Strategy and Data Science, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2088702023-08-04T02:27:05Z2023-08-04T02:27:05ZApakah teknologi AI netral atau sarat nilai? Jawabannya akan memengaruhi arah kebijakan AI<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/540957/original/file-20230803-23-a0axli.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C23%2C3882%2C2557&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Christopher Gower/unsplash</span></span></figcaption></figure><p>Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>, AI)) mengundang banyak perdebatan. Kontroversi yang muncul di baliknya, terutama terkait <a href="https://www.unesco.org/en/artificial-intelligence/recommendation-ethics">masalah etika</a>, memunculkan urgensi regulasi dan aturan untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi yang merugikan masyarakat.</p>
<p>Ada dua perspektif yang berbeda terkait arah kebijakan AI. Perspektif pertama menyatakan bahwa teknologi itu netral. Sedangkan yang kedua berpendapat bahwa teknologi itu sarat nilai.</p>
<p>Kedua hal tersebut merupakan bagian dari perdebatan filosofis terkait teknologi yang masih menjadi diskursus akademis hingga <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0162243919900965">kini</a>. </p>
<p>Saat ini, kedua perspektif ini memandu para pembuat kebijakan di berbagai negara untuk mengatasi permasalahan etika, <a href="https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2023/06/02/the-15-biggest-risks-of-artificial-intelligence/?sh=69b6f2fc2706">manajemen risiko</a> dan <a href="https://hyperight.com/what-is-the-impact-of-artificial-intelligence-ai-on-society/">dampak sosial</a> dari pengunaan teknologi AI. </p>
<p>Sebelum itu, mari kita pahami latar belakang dua perspektif ini.</p>
<h2>Netral atau tidak</h2>
<p>Sejak ditemukannya roda hingga perkembangan AI saat ini, teknologi selalu berada di garis depan perubahan manusia. Sedangkan, netralitas adalah posisi yang bebas dari nilai atau pilihan. </p>
<p>Dalam diskursus filsafat teknologi, masalah mengenai apakah teknologi bersifat netral telah menjadi <a href="https://academic.oup.com/book/9706/chapter/156851805">topik perdebatan yang luas dan berkelanjutan </a>.</p>
<p>Apabila kita berbicara tentang teknologi yang netral, <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-94-007-7914-3">kita merujuk pada teknologi yang tidak memiliki kecenderungan atau perbedaan nilai dalam penggunaannya</a>, baik itu untuk tujuan yang baik maupun yang buruk.</p>
<p>Wacana yang menganggap bahwa teknologi itu netral berangkat dari <a href="https://academic.oup.com/book/9706/chapter-abstract/156851805?redirectedFrom=fulltext">teori yang menganggap teknologi itu bebas-nilai</a>. Argumen ini didukung oleh <a href="https://www.tue.nl/en/research/researchers/andreas-spahn">Andreas Spahn</a> - Profesor Etika dan Filsafat dari Eindhoven University of Technology, Belanda; <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_C._Pitt">Joseph C. Pitt</a> - Profesor Filsafat dari Virginia Tech, Amerika Serikat; dan <a href="https://www.martinpeterson.org/">Martin Peterson</a> - Profesor Filsafat dari Texas A&M University, Amerika Serikat. </p>
<p>Dalam konteks teori bebas-nilai, komputer, misalnya bisa dilihat sebagai alat yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan, baik atau buruk, tergantung pada penggunaannya. </p>
<p>Contoh penggunaan positif, komputer dapat digunakan oleh peneliti untuk menganalisis data yang kompleks dan menemukan hal baru yang bisa meningkatkan kesejahteraan manusia. Sebaliknya, komputer juga dapat digunakan secara negatif oleh peretas untuk mencuri informasi dan melakukan kejahatan siber.</p>
<p>Sementara itu, kubu lainnya yang beranggapan bahwa teknologi itu tidak netral percaya bahwa <a href="https://academic.oup.com/book/9706/chapter-abstract/156851805?redirectedFrom=fulltext">teknologi itu sarat-nilai</a> </p>
<p>Teori sarat-nilai menantang asumsi netralitas di atas. Para ilmuwan teori ini meyakini bahwa teknologi adalah produk dari nilai dan asumsi manusia. </p>
<p>Argumen ini didukung oleh ilmuwan seperti <a href="https://www.tudelft.nl/staff/i.r.vandepoel/?cHash=adb8e064e54be1ae1cde97f2cdd534b0">Ibo van de Poel</a> - Profesor Etika dari Delft University of Technology, Belanda; <a href="https://ppverbeek.org/">Peter-Paul Verbeek</a> - Profesor Etika dan Filsafat Sains dan Teknologi dari University of Amsterdam, Belanda; dan <a href="https://ethicsandtechnology.eu/member/kroes_peter/">Peter Kroes</a>, Profesor Filsafat dan Teknologi dari Delft University of Technology, Belanda. </p>
<p>Dalam perspektif ini, komputer, dalam desain dan fungsionalitasnya, sudah mengandung nilai dan asumsi tertentu. </p>
<p>Misalnya, antarmuka pengguna yang <em>user-friendly</em> mengandung asumsi bahwa komputer harus mudah digunakan oleh semua orang. Namun, desain ini mungkin tidak mempertimbangkan kelompok-kelompok tertentu seperti orang-orang dengan disabilitas tertentu yang mungkin menemukan kesulitan dengan antarmuka tersebut. </p>
<p>Untuk kelompok disabilitas, komputer harus dibuat dengan desain yang berbeda. Ini menunjukkan bagaimana nilai dan asumsi tertentu tersemat dalam desain teknologi, dan bagaimana hal ini dapat menciptakan inklusi dan eksklusi sosial.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540974/original/file-20230803-27-rvsblt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Markus Spiske/Unsplash</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dialektika dua perspektif</h2>
<p>Pandangan para ilmuwan sebenarnya tidak selalu berada pada satu titik ekstrim dari dua teori di atas, karena filsafat teknologi adalah bidang yang kompleks dan bernuansa. </p>
<p>Dua Profesor Filsafat Teknologi, <a href="https://www.uni-bamberg.de/philosophie/personen/professoren/prof-dr-christian-illies/">Christian Illies</a> dari University of Bamberg, Jerman dan <a href="https://www.tue.nl/en/research/researchers/anthonie-meijers/">Anthonie Meijers</a> dari Eindhoven University of Technology, Belanda memiliki pandangan yang moderat terhadap teknologi. Di satu sisi, menurut mereka, teknologi adalah alat yang bisa digunakan untuk <a href="https://www.jstor.org/stable/27904134">tujuan baik atau buruk</a>. Namun di lain sisi, mereka berpendapat bahwa kita perlu menyadari implikasi moral dari teknologi agar dapat <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11948-010-9241-3">menggunakannya dengan bertanggung jawab</a>.</p>
<p>Sementara itu, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Langdon_Winner">Langdon Winner</a>, Profesor Teknologi dan Politik dari Rensselaer Polytechnic Institute di Amerika Serikat di artikelnya yang berjudul <a href="https://www.jstor.org/stable/20024652"><em>Do Artifacts Have Politics?</em></a> mengungkapkan gagasannya bahwa artefak teknologi, seperti alat, mesin, dan infrastruktur, bisa membentuk hubungan sosial, struktur kekuasaan, dan proses pengambilan keputusan.</p>
<p>Di lain pihak, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_C._Pitt">Joseph C. Pitt</a>, menekankan pentingnya mengakui nilai-nilai manusia dan bagaimana nilai-nilai tersebut memengaruhi penggunaan teknologi.</p>
<h2>Konteks AI</h2>
<p>Dalam konteks AI, perdebatan mengenai netralitas teknologi menjadi semakin penting. AI - yang mempunyai kemampuan untuk mempelajari pola, data-data masa lalu, dan membuat keputusan - memiliki potensi penggunaan, baik untuk tujuan positif seperti memprediksi cuaca dan membantu penelitian, maupun tujuan negatif seperti manipulasi data dan pelanggaran privasi. </p>
<p>Contohnya, <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20220628173304-185-814660/apa-itu-deepfake-dan-cara-mendeteksinya"> teknologi <em>deepfake</em>, media sintetis</a> yang menggunakan AI, telah merevolusi cara kita memandang realitas di ruang digital. <em>Deepfake</em> adalah teknologi AI yang bisa memanipulasi wajah, suara, atau konten lainnya dari sumber asli dan menghasilkan visual, suara, atau konten baru yang sebenarnya palsu tapi realistis.</p>
<p>Teknologi ini memiliki potensi besar untuk mentransformasi industri seperti hiburan dan pendidikan secara positif. Kita bisa memodifikasi <a href="https://towardsdatascience.com/positive-use-cases-of-deepfakes-49f510056387#:%7E:text=impediments%20since%20birth.-,Education,traditional%20visual%20and%20media%20formats.">konten-konten pendidikan </a> melalui <em>deepfake</em> dengan lebih ciamik dan komprehensif. Dalam hal ini, teknologi <em>deepfake</em>, seperti alat lainnya, tampak netral, dampaknya sepenuhnya tergantung pada bagaimana cara digunakan. </p>
<p><a href="https://www.rand.org/pubs/perspectives/PEA1043-1.html">Namun, kita juga bisa mengeksploitasi <em>deepfake</em></a> untuk menyebarkan disinformasi, memalsukan konten jahat, bahkan meniru individu tertentu untuk kegiatan penipuan dan <a href="https://www.securityweek.com/deepfakes-are-growing-threat-cybersecurity-and-society-europol/">peretasan</a>. Penyalahgunaan ini mencerminkan perbedaan nilai (positif dan negatif) dari mereka yang membuat dan mengendalikan teknologi tersebut, dan menimbulkan pertanyaan tentang netralitasnya.</p>
<p>Dua sisi ini yang ditunjukkan oleh teknologi <em>deepfake</em> mendorong kita untuk menganalisis secara kritis persepsi kita tentang netralitas teknologi. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan ini, memahami potensi teknologi dan juga kerentanannya terhadap penyalahgunaan dari manusia.</p>
<h2>Dampak terhadap kebijakan</h2>
<p>Meski pandangan bahwa teknologi adalah bebas nilai yang bisa digunakan untuk tujuan baik atau buruk memiliki beberapa kebenaran, tapi kita tidak boleh mengabaikan fakta bahwa teknologi juga membawa nilai dan asumsi tertentu. </p>
<p>Oleh karena itu, dalam merancang regulasi, kita perlu lebih kritis dan reflektif terhadap nilai dan asumsi yang mungkin terkandung di dalamnya.</p>
<p>Perspektif <a href="https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/frolch17&div=8&id=&page=">bebas nilai dapat mengarah</a> pada pembuatan regulasi yang berfokus pada standar teknis dan penilaian objektif untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam sistem AI.</p>
<p>Sebaliknya, perspektif <a href="https://michae.lv/value-laden-areas-in-the-ai-act/">sarat-nilai dapat mendorong</a> regulasi yang mengatasi dampak sosial AI. Wacana ini membentuk pengembangan kerangka regulasi AI yang berusaha mendapatkan keseimbangan antara inovasi dan pertimbangan etika, serta memastikan AI melingkupi kepentingan masyarakat secara luas sambil memegang teguh nilai-nilai dan hak asasi manusia.</p>
<p>Penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan etis bukan hanya soal menggunakan teknologi untuk tujuan baik, tapi juga soal mempertanyakan dan memperjuangkan <a href="https://www.forbes.com/sites/forbesbusinesscouncil/2022/11/15/the-importance-of-dei-initiatives-in-tech/?sh=23183f2850cb">nilai dan asumsi yang adil dan inklusif dalam desain dan implementasi teknologi</a>. Dengan cara ini, kita bisa memanfaatkan teknologi untuk kemajuan masyarakat secara umum, bukan hanya untuk kepentingan sekelompok orang atau institusi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208870/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arif Perdana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada dua perspektif yang berbeda terkait arah kebijakan AI. Perspektif pertama menyatakan bahwa teknologi itu netral, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa teknologi itu sarat nilai.Arif Perdana, Associate Professor Digital Strategy and Data Science, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2095292023-07-24T11:19:29Z2023-07-24T11:19:29Z3 tips praktis bagi dosen dan guru untuk merancang soal yang sulit diakali dengan AI dan ChatGPT<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538950/original/file-20230724-27-5zalgn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/concept-online-education-man-use-training-2191051781">Shutter Z/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Maryam, seorang dosen berpengalaman, tengah mengoreksi jawaban tugas esai beberapa mahasiswanya. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh. Meski tidak ada kemiripan karya satu sama lain, setiap jawaban mereka memiliki alur yang terlalu sempurna dan menggunakan bahasa yang terlalu canggih untuk mahasiswa semester awal.</p>
<p>Intuisi Maryam memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres.</p>
<p>Dengan hati-hati, Maryam memutuskan untuk bertemu satu-satu dengan para mahasiswa tersebut untuk lebih memahami pemikiran mereka dan melihat apakah ada sesuatu yang perlu diselidiki.</p>
<p>Maryam mulai mengajukan pertanyaan yang lebih dalam tentang gagasan yang mereka jelaskan dalam esai. Ia ingin mengukur sejauh mana pemahaman mahasiswanya terhadap materi yang diajarkan. Namun, semakin ia bertanya, semakin jelas terasa bahwa jawaban-jawaban ini tidak mungkin berasal dari pemikiran mereka sendiri.</p>
<p>Setelah bertanya lebih dalam, beberapa orang mahasiswa mengaku bahwa mereka menggunakan ChatGPT untuk membantu mengerjakan tugas esai mereka.</p>
<p>Cerita Maryam di atas hanyalah ilustrasi. Namun, kisah tersebut menggambarkan situasi yang akan dihadapi oleh banyak guru dan dosen ketika mengevaluasi pembelajaran siswa setelah kemunculan <a href="https://chat.openai.com/">ChatGPT</a>, program kecerdasan buatan (AI) generatif yang dikeluarkan OpenAI pada akhir tahun lalu.</p>
<p>Dua kolega saya di Center for Education and Learning in Economics and Business (CELEB), Universitas Indonesia (UI), yakni Ledi Trialdi dan Ratih Dyah Kusumastuti, telah menulis <a href="https://feb.ui.ac.id/2023/05/23/tantangan-pendidikan-tinggi-pada-era-digital/"><em>white paper</em></a> atau buku putih (belum melalui telaah sejawat atau <em>peer review</em>) yang membedah dampak AI dan model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT bagi para pengajar. <em>White paper</em> tersebut juga memberikan rekomendasi bagi dunia akademia untuk beradaptasi melalui berbagai inovasi pembelajaran.</p>
<p>Meskipun program AI seperti ChatGPT punya kemampuan untuk menulis <a href="https://theconversation.com/chatgpt-riset-kami-tunjukkan-ai-bisa-membuat-naskah-akademik-selevel-artikel-jurnal-tak-heran-banyak-publikasi-melarangnya-199639">naskah akademik sekelas artikel jurnal</a>, masih terdapat beberapa keterbatasan dan risiko yang masih sulit diatasi – termasuk potensi masalah integritas akademik seperti kasus Maryam. </p>
<p>Tulisan ini bermaksud untuk menindaklanjuti <em>white paper</em> tersebut: bagaimana dosen dan guru kemudian bisa merancang soal yang sulit diakali dengan AI dan ChatGPT?</p>
<h2>1. Gunakan media visual yang kompleks</h2>
<p>Sejauh ini, versi ChatGPT yang terbuka pada publik masih terbatas pada masukan (input) dan luaran (<em>output</em>) berupa teks saja, sehingga belum mampu mengolah selain teks, seperti video atau gambar.</p>
<p>Oleh karena itu, pendidik dapat mengembangkan soal ujian dalam bentuk gambar yang perlu diinterpretasi atau dianalisis oleh siswa.</p>
<p>Walau demikian, saat ini OpenAI tengah menggodok versi ChatGPT terbaru, <a href="https://openai.com/research/gpt-4">yakni GPT4</a>, yang dikabarkan mampu mengolah input gambar. Meski batas kemampuan program tersebut masih jadi bahan kajian, pengajar dan dosen perlu tetap mengikuti perkembangan terbaru supaya bisa terus memperbarui metode pengujian dan asesmen mereka. </p>
<p>Misalnya, soal dapat dirancang untuk meminta peserta didik memberikan jawaban yang juga harus berbentuk gambar seperti <em>mindmap</em> (peta pikiran), <em>flowchart</em> (diagram alir), atau infografik yang kompleks dan butuh analisis yang personal, sehingga harapannya sulit diakali dengan ChatGPT.</p>
<p>Selain meredam potensi kecurangan, rancangan soal yang mengedepankan elemen visual juga bisa punya sejumlah manfaat akademik.</p>
<p>Hal ini, misalnya, tidak hanya mengevaluasi pengetahuan pelajar atau mahasiswa, tapi juga menilai kreatifitas mereka menjawab dalam bentuk non-teks. Soal seperti ini juga dapat menilai <a href="https://theconversation.com/the-top-3-skills-needed-to-do-a-phd-are-skills-employers-want-too-175923">kemampuan visualisasi data</a> sebagai kompetensi komunikatif yang penting dalam karier mereka ke depannya.</p>
<h2>2. Wajibkan peserta didik mencantumkan referensi akademik yang spesifik</h2>
<p>Sejauh ini, AI seperti ChatGPT masih memiliki <a href="https://www.nytimes.com/2023/05/01/business/ai-chatbots-hallucination.html">keterbatasan dalam memunculkan referensi rujukan</a>, apalagi referensi akademik berkualitas dan rujukan yang terkini.</p>
<p>Oleh karena itu, ChatGPT bisa saja menyarankan format referensi yang rapi sesuai dengan standar penulisan American Psychological Association (APA) – tapi bisa jadi gagal mencantumkan satupun referensi kredibel pada jawaban yang dihasilkan. Bahkan, dalam banyak kasus, ChatGPT kedapatan <a href="https://www.nytimes.com/2023/05/01/business/ai-chatbots-hallucination.html">memalsukan sumber referensi </a>yang digunakan dalam jawaban.</p>
<p>Dengan demikian, kalaupun mahasiswa dapat memperoleh jawaban dari suatu soal menggunakan AI, mereka harus bekerja dua kali untuk menemukan dan mencocokkan esai dengan berbagai referensi yang relevan dan kredibel untuk melengkapi esai tersebut.</p>
<p>Memberikan kewajiban bagi peserta didik untuk selalu mencantumkan referensi spesifik pada hasil kerja mereka diharapkan dapat meredam penggunaan AI dalam mengerjakan tugas atau ujian. Bahkan, kelengkapan dan ketepatan penggunaan referensi dapat menjadi tolok ukur hasil pengerjaan yang berkualitas sekaligus indikator bahwa jawaban tersebut kemungkinan tidak dikeluarkan oleh program AI.</p>
<h2>3. Minta peserta didik untuk mengkritisi hasil jawaban AI</h2>
<p>Pengajar dapat menyusun serangkaian pertanyaan terstandar sebagai soal tugas atau ujian, kemudian meminta peserta didik untuk memasukkan pertanyaan atau “<em>prompt</em>” tersebut pada layanan AI. Kemudian, mereka diminta untuk mengkritisi hasil jawaban AI tersebut menggunakan konsep-konsep dan materi yang telah mereka pelajari sebelumnya.</p>
<p>Penilaian ditekankan pada kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dan mengevaluasi kualitas informasi terhadap hasil pembelajaran mereka.</p>
<p>Kemampuan berpikir kritis adalah salah satu aspek pembelajaran yang <a href="https://theconversation.com/how-chatgpt-robs-students-of-motivation-to-write-and-think-for-themselves-197875">dikhawatirkan terancam oleh kemampuan AI</a>. Penggunaan program AI yang tidak bertanggung jawab dan sikap menelan mentah-mentah hasil jawaban berpotensi menghasilkan peserta didik yang tidak mampu berpikir kritis.</p>
<p>Memang <a href="https://theconversation.com/chatgpt-killed-the-student-essay-philosophers-call-bullshit-200195">ada perbedaan pendapat</a> terkait sejauh apa AI seperti ChatGPT mampu meniru kemampuan manusia dalam berpikir kritis. Karena hal ini pula, pengajar dan dosen perlu punya kemampuan yang baik dalam mendesain pertanyaan atau <em>prompt</em> yang tepat dalam perancanaan soal.</p>
<p>Namun, setidaknya, format tugas yang ketiga ini melatih dan meningkatkan kesadaran pelajar dan mahasiswa untuk lebih kritis terhadap jawaban AI dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang dihasilkan.</p>
<p>Pada akhirnya, penggunaan ChatGPT <a href="https://theconversation.com/penggunaan-chatgpt-tak-perlu-dilarang-layanan-ai-bisa-mendukung-riset-dan-pendidikan-201686">tidak perlu dilarang</a>. Hanya saja, penggunaannya perlu diatur lebih lanjut agar dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tanpa mengorbankan integritas akademik dan keadilan dalam proses evaluasi pembelajaran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209529/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Imam Salehudin tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika pelajar dan mahasiswa marak menggunakan ChatGPT untuk menulis esai dan menjawab soal, apa yang bisa dilakukan dosen dan pengajar untuk mengantisipasinya?Imam Salehudin, Assistant professor, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2089402023-07-21T06:32:11Z2023-07-21T06:32:11ZBahaya AI: 4 cara penjahat bisa memakainya untuk menyasar lebih banyak korban<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538171/original/file-20230719-29-wxgp7x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=16%2C24%2C5365%2C3558&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dengan bantuan AI, penjahat bisa membangun profil diri kita sehingga lebih mudah untuk membobol akun-akun pribadi kita.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/ai-artificial-intelligence-concept-763283053">Metamorworks / Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Berbagai peringatan tentang kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em> atau AI) sudah ada di mana-mana saat ini. Ini termasuk <a href="https://www.safe.ai/statement-on-ai-risk">pesan menakutkan</a> tentang potensi AI untuk menyebabkan kepunahan manusia, mengingatkan kita tentang adegan di film Terminator. Rishi Sunak, Perdana Menteri (PM) Inggris – tempat saya saat ini mengajar – bahkan sudah <a href="https://www.gov.uk/government/news/pm-urges-tech-leaders-to-grasp-generational-opportunities-and-challenges-of-ai">mengadakan pertemuan untuk membahas keamanan AI</a>.</p>
<p>Nyatanya, kita sebenarnya telah menggunakan teknologi AI sejak lama – mulai dari algoritme yang digunakan untuk <a href="https://online.york.ac.uk/ai-search-and-recommendation-algorithms/">merekomendasikan produk yang relevan</a> saat berbelanja daring, hingga mobil dengan teknologi yang dapat <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Traffic-sign_recognition">mengenali rambu lalu lintas</a> dan mampu <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/17298814211002974">memosisikan diri di jalur yang benar</a>. AI adalah alat untuk meningkatkan efisiensi, memproses dan menyortir data dalam volume besar, serta melepaskan sebagian beban pengambilan keputusan dari tangan kita.</p>
<p>Meski demikian, alat ini terbuka untuk semua orang, termasuk para penjahat. Dan kita sudah melihat bagaimana penjahat mengadopsi teknologi AI pada masa-masa awal ini – misalnya penggunaan teknologi <em>deepfake</em> (rekayasa citra atau muka manusia) untuk <a href="https://www.bbc.co.uk/news/entertainment-arts-65854112">melakukan pornografi balas dendam (<em>revenge porn</em>)</a>.</p>
<p>Teknologi dapat <a href="https://www.europol.europa.eu/crime-areas-and-statistics/crime-areas/cybercrime">meningkatkan efisiensi aktivitas kriminal</a>. Ini membuka celah bagi pelanggar hukum untuk menyasar lebih banyak orang dan membuat apa yang mereka lakukan lebih sulit dikenali. Mengamati bagaimana penjahat telah beradaptasi dengan, dan mengadopsi, kemajuan teknologi di masa lalu, dapat menjadi petunjuk bagi kita untuk memahami bagaimana mereka mungkin akan memanfaatkan teknologi AI.</p>
<h2>1. Pancingan (<em>phising</em>) yang lebih baik</h2>
<p>Teknologi AI seperti <a href="https://openai.com/blog/chatgpt">ChatGPT</a> dan <a href="https://bard.google.com">Bard</a> milik Google telah membantu aktivitas penulisan, misalnya memungkinkan penulis yang tidak berpengalaman untuk menyusun pesan pemasaran yang efektif. Namun, teknologi ini juga dapat membantu penjahat terlihat lebih dapat dipercaya saat menghubungi calon korban mereka.</p>
<p>Bayangkan semua email <em>spam</em> dan teks <em>phishing</em> (penipuan <em>online</em> untuk mendapatkan informasi data pribadi) yang tulisannya buruk dan mudah dideteksi. Konten tulisan yang masuk akal dan mudah dipercaya adalah kunci untuk dapat memperoleh informasi dari korban.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman holding a smartphone." src="https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/532909/original/file-20230620-15-in15vt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penjahat dapat membuat versi <em>deepfake</em> diri kita, yang kemudian mereka gunakan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga melalui telepon, teks, dan email.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/hands-woman-holding-smartphone-using-online-2062352315">Fizkes / Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Phishing</em> adalah masalah angka: <a href="https://www.securitymagazine.com/articles/90345-more-than-three-billion-fake-emails-are-sent-worldwide-every-day">diperkirakan 3,4 miliar email <em>spam</em></a> dikirim setiap hari. Perhitungan saya sendiri menunjukkan bahwa jika penjahat dapat meningkatkan kualitas pesan mereka sehingga sebanyak 0,000005% saja dari pesan <em>spam</em> tersebut mampu meyakinkan seseorang untuk mengungkapkan informasi, ini akan menghasilkan 6,2 juta korban <em>phishing</em> lebih banyak setiap tahun.</p>
<h2>2. Interaksi otomatis</h2>
<p>Salah satu penggunaan awal teknologi AI adalah untuk mengautomasi interaksi antara pelanggan dan layanan melalui teks, pesan obrolan, dan telepon. Ini memungkinkan respons yang lebih cepat untuk pelanggan sehingga dapat mengoptimalkan efisiensi bisnis. Pihak pertama yang berinteraksi denganmu ketika menghubungi sebuah organisasi kemungkinan besar adalah sistem AI, sebelum kamu berbicara dengan manusia.</p>
<p>Para penjahat bisa saja menggunakan cara yang sama untuk membentuk interaksi otomatis dengan calon korban dalam jumlah besar, <a href="https://www.scmagazine.com/news/emerging-technology/attackers-using-ai-to-enhance-conversational-scams-over-mobile-devices">dalam skala yang mustahil</a> dilakukan hanya oleh manusia. Mereka dapat menyamar sebagai sebuah layanan sah, seperti bank, melalui telepon dan email untuk mendapatkan informasi yang kemudian memungkinkan mereka untuk mencuri uangmu.</p>
<h2>3. <em>Deepfake</em></h2>
<p>AI sangat pintar dalam menghasilkan model matematika yang dapat “dilatih” dengan jumlah data yang besar dari dunia nyata dan menjadikan model tersebut bisa melakukan tugas tertentu dengan lebih baik. Teknologi <em>deepfake</em> dalam video dan audio adalah contohnya. Penampilan <em>deepfake</em> yang disebut <a href="https://blogs.nvidia.com/blog/2022/09/13/metaphysic-ai-avatars-americas-got-talent/">Metaphysic</a> baru-baru mmendemonstrasikan potensi teknologi ini ketika meluncurkan video <a href="https://www.youtube.com/watch?v=mJeE9BNEa-o">Simon Cowell menyanyikan opera dalam acara televisi America’s Got Talent</a>.</p>
<p>Teknologi ini berada di luar jangkauan sebagian besar penjahat, tetapi kemampuan untuk menggunakan AI dalam meniru cara seseorang menanggapi teks, menulis <em>email</em>, merekam catatan suara, atau melakukan panggilan telepon menjadi terbuka lebar dengan hadirnya AI. Begitu pula dengan data untuk melatihnya, yang bisa dikumpulkan dari video di media sosial, misalnya.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/mJeE9BNEa-o?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Penampilan <em>deepfake</em> bernama Metaphysic dalam acara America’s Got Talent.</span></figcaption>
</figure>
<p>Media sosial selalu menjadi ladang bagi para penjahat untuk menggali informasi mengenai target potensial mereka. Saat ini AI berpotensi digunakan untuk membuat versi <em>deepfake</em> dirimu. <em>Deepfake</em> ini dapat disalahgunakan penjahat untuk berinteraksi dengan teman dan keluargamu dan meyakinkan mereka untuk menyerahkan informasi tentang kamu kepada penjahat. Jika mereka memperoleh <a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/3372297.3417892">lebih banyak hal tentang hidupmu</a>, maka mereka akan lebih mudah, misalnya, <a href="https://www.itpro.com/security/34616/the-top-password-cracking-techniques-used-by-hackers">menebak</a> kata sandi atau pin akun-akun pribadimu.</p>
<h2>4. Teknik <em>brute force</em></h2>
<p>Teknik lain yang bisa digunakan oleh penjahat dengan menggunakan AI adalah secara “<em>brute force</em>”. Ini adalah upaya paksa yang dilakukan dengan mencoba berbagai kombinasi karakter dan simbol secara bergiliran untuk melihat apakah ada yang cocok dengan kata sandimu.</p>
<p>Inilah sebabnya membuat kata sandi yang panjang dan rumit cenderung lebih aman; penjahat akan lebih sulit menebaknya jika menggunakan cara ini. Teknik <em>brute force</em> membutuhkan banyak sumber daya, tetapi akan lebih mudah dilakukan jika mereka mengetahui sesuatu tentang target korbannya. Mereka, misalnya, bisa menyusun daftar kata sandi potensial yang diurutkan sesuai prioritas – ini membuat prosesnya lebih efisien. Daftar tersebut dapat dimulai dengan kombinasi yang berkaitan dengan nama anggota keluarga atau hewan peliharaan.</p>
<p>Algoritme yang dilatih dengan datamu dapat digunakan untuk membantu menyusun daftar prioritas ini secara lebih akurat dan bahkan bisa menargetkan banyak orang sekaligus – sehingga sumber daya yang dibutuhkan lebih sedikit. Fitur AI tertentu dapat dikembangkan, sehingga dapat memanen data <em>online</em> dirimu lalu menganalisis semuanya untuk membuat suatu profil.</p>
<p>Misalnya, jika kamu sering mengunggah konten di media sosial tentang Taylor Swift, menelusuri unggahanmu secara manual untuk menemukan petunjuk kata sandi akan memerlukan kerja keras. Sementara, AI bisa melakukan ini secara otomatis dengan cepat dan efisien. Semua informasi ini bisa mereka gunakan untuk membuat profil dirimu dan kemudian membuat mereka lebih mudah menebak kata sandi dan pinmu.</p>
<h2>Skeptisisme yang sehat</h2>
<p>Kita tidak perlu takut dengan AI, karena teknologi ini bisa membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Namun, seperti halnya semua teknologi baru, masyarakat perlu beradaptasi dan memahaminya.</p>
<p>Sama halnya dengan <em>smartphone</em>, sekarang kita mungkin menganggapnya remeh, tetapi dulu kita harus menyesuaikan diri untuk menggunakannya dalam hidup kita. <em>Smartphone</em> memberikan banyak bermanfaat, tetapi tetap ada hal-hal yang perlu diwaspadai, seperti jumlah waktu penggunaan layar (<em>screen time</em>) yang baik untuk anak-anak.</p>
<p>Sebagai individu, kita harus proaktif dalam upaya memahami AI dan tidak mudah percaya. Kita harus mengembangkan pendekatan kita sendiri untuk menyikapinya serta memiliki rasa skeptis yang sehat. Kita perlu mempertimbangkan bagaimana kita memverifikasi kebenaran dari apa yang kita baca, dengar, dan lihat.</p>
<p>Tindakan sederhana ini akan membantu kita sebagai masyarakat mendapatkan keuntungan dari penggunaan AI sekaligus memastikan kita dapat melindungi diri dari potensi bahayanya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208940/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Daniel Prince menerima dana dari UKRI melalui PETRAS The National Centre of Excellence for IoT Systems Cyber Security.</span></em></p>AI dapat memberi celah bagi penjahat dunia maya untuk beroperasi dengan lebih mudah dan memakan korban dengan skala yang lebih besar.Daniel Prince, Professor of Cyber Security, Lancaster UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2063252023-05-24T09:41:45Z2023-05-24T09:41:45ZApakah ChatGPT berdampak buruk bagi lingkungan? Ini kata ahli komputer tentang jejak karbon AI generatif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/527959/original/file-20230524-19393-6vocvj.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">AI chatbot dan penghasil gambar diproses oleh ribuan komputer yang ditempatkan di pusat data seperti fasilitas Google di Oregon, AS. (Tony Webster/Wikimedia) CC BY-SA</span> </figcaption></figure><p>Kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>/AI) generatif adalah teknologi mutakhir yang acap dipakai untuk <em>chatbot</em> dan pembuatan gambar. Lantas apa saja dampak AI terhadap Bumi?</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=9xDADY4AAAAJ&hl=en">peneliti AI</a>, saya sering mengkhawatirkan ongkos energi yang dikeluarkan untuk membangun suatu model kecerdasan buatan. Semakin pintar AI, maka semakin banyak energi yang disedot untuk operasionalnya. Bagaimana maraknya kemunculan AI generatif terhadap jejak karbon penggunanya pada masa depan?</p>
<p>“Generatif” adalah istilah untuk kemampuan AI memproduksi data yang kompleks. Lawannya adalah <a href="https://www.unite.ai/generative-vs-discriminative-machine-learning-models/">“AI diskriminatif”</a> yang bekerja dengan opsi-opsi yang sudah ada dan memproduksi keluaran atau keputusan tertentu. Salah satu contohnya adalah bagaimana AI diskriminatif memutuskan untuk menolak atau menerima pengajuan kredit.</p>
<p>Sementara itu, AI generatif dapat membuat keluaran yang lebih kompleks seperti kalimat, paragraf, gambar, atau bahkan video pendek. Teknologi ini sebenarnya telah lama dipakai dalam aplikasi <em>smart speakers</em> untuk menghasilkan respons suara, ataupun fitur <em>autocomplete</em> guna merekomendasikan sebuah pencarian. </p>
<p>Namun, popularitas AI generatif jadi bertambah karena teknologi ini sudah bisa memproduksi <a href="https://theconversation.com/generative-ai-5-essential-reads-about-the-new-era-of-creativity-job-anxiety-misinformation-bias-and-plagiarism-203746">konten berbahasa seperti manusia ataupun foto realistis</a>.</p>
<h2>Menyedot listrik lebih banyak</h2>
<p>Hingga saat ini belum ada angka pasti seputar ongkos energi yang dihabiskan untuk satu model AI. Ongkos ini misalnya energi yang digunakan untuk membuat peralatan komputasi, pembuatan model ataupun penerapannya dalam proses produksi.</p>
<p>Pada 2019, para peneliti menemukan bahwa pembuatan AI generatif bernama BERT yang beroperasi dengan 110 juta parameter <a href="https://doi.org/10.48550/arXiv.1906.02243">menghabiskan energi yang setara dengan sekali perjalanan antarbenua dengan pesawat terbang</a>. Jumlah parameter menentukan ukuran model AI. Semakin besar jumlahnya, maka AI semakin cerdas.</p>
<p>Peneliti memperkirakan proses pembuatan GPT-3 (model AI terbaru hasil pengembangan ChatGPT) yang memiliki 175 miliar parameter, <a href="https://doi.org/10.48550/arXiv.2104.10350">menghabiskan listrik 1.287 megawatt jam yang menghasilkan 552 ton CO2</a>. Emisi itu setara dengan emisi dari 123 mobil berbahan bakar bensin yang hilir mudik selama setahun. </p>
<p>Angka di atas baru berasal dari proses pembuatannya, sebelum digunakan secara massal oleh pengguna.</p>
<p>Walau begitu, ukuran pun bukan satu-satunya tolok ukur emisi karbon dari AI. Model AI <em>open access</em> <a href="https://bigscience.huggingface.co/blog/bloom">BLOOM</a> yang dikembangkan <a href="https://bigscience.notion.site/Introduction-5facbf41a16848d198bda853485e23a0">BigScience project</a> di Prancis, berukuran mirip dengan GPT-3 tapi <a href="https://doi.org/10.48550/arXiv.2211.02001">memiliki jejak karbon jauh lebih rendah</a>. BLOOM hanya menghabiskan listrik 433 megawatt jam dan menghasilkan emisi 30 ton setara CO2. </p>
<p>Google dalam studinya menemukan, penggunaan AI dengan ukuran serupa tapi dilengkapi model perancangan dan prosesor yang lebih efisien, serta ditopang pusat data yang lebih ramah lingkungan, bisa memangkas jejak karbon <a href="https://doi.org/10.48550/arXiv.2104.10350">seratus hingga seribu kali</a>.</p>
<p>Saat sudah diluncurkan, model AI yang lebih besar memang menghabiskan energi lebih banyak. Data terkait jejak karbon dalam satu permintaan AI generatif masih terbatas. Beberapa pihak memperkirakan jumlahnya bisa mencapai <a href="https://www.wired.com/story/the-generative-ai-search-race-has-a-dirty-secret/">4-5 kali lipat lebih tinggi</a> dari satu permintaan di mesin pencari.</p>
<p>Saat <em>chatbot</em> dan pembuat gambar menjadi semakin populer, dan saat Google maupun Microsoft <a href="https://www.nytimes.com/2023/04/16/technology/google-search-engine-ai.html">menerapkan model bahasa AI</a> di mesin pencari mereka, maka setiap hari jumlah pertanyaan yang mereka terima bisa terus bertumbuh secara eksponensial.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="satu ruangan penuh orang mengerjakan suatu komputer" src="https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/524517/original/file-20230504-13354-hc7ki2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">AI chatbots, mesin pencari, dan pembuat gambar dengan cepat menjadi arus utama, menambah jejak karbon AI.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/CabellLibrary/067ff570e6e84672bafd86ae4e975de0/photo">AP Photo/Steve Helber</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Bot AI untuk pencarian</h2>
<p>Beberapa tahun lalu, tak banyak orang di luar lab riset yang menggunakan model seperti BERT dan GPT. Kondisi berubah pada 30 November 2022, ketika OpenAI meluncurkan ChatGPT. </p>
<p>Menurut data terakhir yang tersedia, per Maret 2023 ada <a href="https://www.similarweb.com/blog/insights/ai-news/chatgpt-bing-duckduckgo/">sekitar 1,5 miliar kunjungan ke ChatGPT</a>. Dua bulan kemudian, Microsoft juga memasukkan ChatGPT dalam mesin pencari mereka, Bing, <a href="https://gizmodo.com/bing-ai-chatgpt-microsoft-search-open-public-waitlist-1850401638">sehingga setiap orang bisa menggunakannya</a>. </p>
<p>Jika <em>chatbot</em> sama populernya dengan mesin pencari, ongkos energi dalam operasional AI akan terus bertambah. Bantuan AI juga tak hanya mencakup pencarian, bisa juga penulisan dokumen, pemecahan soal matematika, hingga membuat kampanye pemasaran.</p>
<p>Model AI juga harus selalu diperbarui. Misalnya, ChatGPT hanya dilatih dengan data per 2021. Karena itu model AI ini tidak mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Jejak karbon dalam pembuatan ChatGPT tak termasuk informasi publik, tapi patut diduga angkanya lebih besar dari GPT-3. Nah, pembaruan pengetahuan ChatGPT terus menerus bisa menyedot energi lebih besar lagi.</p>
<p>Ada juga orang yang bertanya ke <em>chatbot</em> untuk memperoleh lebih banyak informasi dibandingkan mesin pencari. Dibandingkan menampilkan halaman yang penuh dengan tautan, kamu akan mendapatkan jawaban langsung seperti saat kamu bertanya ke manusia–dengan asumsi tak ada masalah dengan akurasinya. Cepatnya perolehan informasi dapat menyeimbangkan kenaikan penggunaan energi dari AI dibandingkan mesin pencari.</p>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Masa depan amat susah diprediksi. Namun, model AI generatif yang besar bisa terus ada. Orang-orang juga bisa semakin mengandalkannya untuk memperoleh informasi. </p>
<p>Misalnya, saat ini siswa yang membutuhkan pemecahan soal matematika bisa langsung bertanya ke guru ataupun temannya, ataupun membaca buku teks. Di masa depan, mereka mungkin akan bertanya ke <em>chatbot</em>. Kebutuhan terhadap pengetahuan ahli juga bisa berlaku pada persoalan hukum ataupun kesehatan.</p>
<p>Satu model AI yang besar memang tidak langsung merusak lingkungan. Namun, jika ribuan perusahaan mengembangkan ribuan AI bot untuk beragam tujuan, dan setiap modelnya digunakan oleh jutaan pengguna, maka pemakaian energinya bisa bermasalah. Kita membutuhkan lebih banyak riset agar AI generatif beroperasi lebih efisien. </p>
<p>Pemakaian listrik energi terbarukan juga bisa membuat operasional <a href="https://www.linkedin.com/pulse/here-comes-sun-why-large-language-models-dont-have-cost-paul-walsh/">AI lebih rendah emisi</a> sepertiga puluh ataupun seperempat puluh dibandingkan energi fosil. Caranya dengan penempatan sistem komputasi di lokasi yang memiliki banyak energi bersih, ataupun menjadwalkan operasi pada pagi-sore hari, kala pasokan energi terbarukan lebih banyak.</p>
<p>Akhirulkalam, tekanan sosial memang bisa mendorong perusahaan ataupun lab riset untuk mengumumkan jejak karbon model AI mereka–beberapa sudah melakukannya. Harapannya, pada masa depan, konsumen dapat menggunakan informasi tersebut untuk memilih <em>chatbot</em> yang ramah lingkungan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206325/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kate Saenko sedang cuti dari Boston University untuk bekerja di Meta, Inc. Dia menerima pendanaan dari Meta, Google, DARPA, dan NSF.
</span></em></p>Penggunaan AI generatif, alat penghasil bahasa dan gambar yang luar biasa kuat yang menggemparkan dunia memiliki jejak karbon yang besar. Namun, tidak semua AI sama ‘kotornya’.Kate Saenko, Associate Professor of Computer Science, Boston UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2025192023-05-24T08:49:47Z2023-05-24T08:49:47Z3 cara pejabat universitas bisa memanfaatkan AI untuk meningkatkan manajemen dan layanan kampus<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/527729/original/file-20230523-15-n4m8ko.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/abstract-graduation-cap-form-lines-triangles-1054224182">(Shutterstock/Illus Man)</a></span></figcaption></figure><p>Selama beberapa tahun terakhir, beragam asisten virtual berbentuk <em>chatbot</em> telah bermunculan dan membantu mendampingi mahasiswa dalam proses pendaftaran, persiapan pembelajaran, hingga perkuliahan <a href="https://www.forbes.com/sites/michaeltnietzel/2020/03/12/how-colleges-can-chatbot-their-way-to-better-student-retention/?sh=4692adfa6b34">di beberapa kampus dunia</a>.</p>
<p>Rilisnya model kecerdasan buatan (<a href="https://www.nature.com/news/can-we-open-the-black-box-of-ai-1.20731"><em>artificial intelligence</em></a>, AI) buatan perusahaan OpenAI, yakni ChatGPT, yang viral sejak akhir tahun lalu semakin menggencarkan adopsi ini. Kini, semakin banyak diskusi dan perdebatan tentang penggunaan AI <a href="https://theconversation.com/the-dawn-of-ai-has-come-and-its-implications-for-education-couldnt-be-more-significant-196383">di lingkungan kampus</a> – dari <a href="https://theconversation.com/chatgpt-students-could-use-ai-to-cheat-but-its-a-chance-to-rethink-assessment-altogether-198019">metode asesmen</a>, <a href="https://theconversation.com/chatgpt-our-study-shows-ai-can-produce-academic-papers-good-enough-for-journals-just-as-some-ban-it-197762">publikasi karya ilmiah</a>, hingga pengasahan kemampuan <a href="https://theconversation.com/to-succeed-in-an-ai-world-students-must-learn-the-human-traits-of-writing-152321">penulisan</a> dan <a href="https://theconversation.com/debate-chatgpt-offers-unseen-opportunities-to-sharpen-students-critical-skills-199264">berpikir kritis</a>.</p>
<p>Tapi, tak hanya dalam konteks belajar dan riset, pemanfaatan AI dengan tepat bisa membantu perguruan tinggi meningkatkan pengelolaan sumber daya serta kualitas layanan maupun pembelajaran mahasiswa.</p>
<p>Penggunaan AI di perguruan tinggi pun dapat mengurangi beban administrasi, membantu pengambilan keputusan, hingga meningkatkan efisiensi pengelolaan kampus. </p>
<h2>1. Mendukung layanan akademik untuk mahasiswa</h2>
<p>Sebelumnya, sistem pengelolaan pembelajaran (<em>learning management system</em>, LMS) seperti Moodle dan Google Classroom untuk mahasiswa, ataupun platform kursus daring terbuka massal (<em>Massive Open Online Course</em> MOOCs) untuk pendaftar umum, sudah banyak digunakan oleh perguruan tinggi untuk mengelola data dan materi secara <em>online</em>. </p>
<p>Tapi, <a href="https://www.researchgate.net/publication/265297666_MOOCs_and_Open_Education_Implications_for_Higher_Education">kajian tahun 2013</a> dari lembaga Centre for Educational Technology, Interoperability, and Standards (CETIS) di Inggris menemukan bahwa tingkat penyelesaian (<em>completion rate</em>) kelas-kelas dalam platform-platform daring tersebut cukup rendah karena dinilai kurang interaktif. Di Indonesia, persentasenya bahkan <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9780429398919-8/massive-open-online-courses-tian-belawati">hanya 16%</a>.</p>
<p>Dosen dan tenaga administrasi memiliki keterbatasan waktu dalam mendampingi mahasiswa secara <em>online</em>. Interaksi melalui LMS yang dianggap kurang personal dan “bermakna” ini adalah hal yang coba dikoreksi melalui asisten virtual berbasis AI.</p>
<p><a href="https://www.edsights.io/bethel-university-case">Bethel University</a> di AS mengadopsi <em>chatbot</em> AI bernama “Wilhelm” buatan perusahaan EdSight yang memberikan rekomendasi modul sesuai kebutuhan dan kemampuan mahasiswa. </p>
<p>Wilhelm dipakai untuk mempelajari kendala mahasiswa, seperti masalah kesehatan mental dan emosional mereka, hambatan mereka secara akademik, kekurangan sumber daya, dan seterusnya. Dosen dan staf kemudian membantu mereka dengan layanan yang sesuai agar tidak <em>drop out</em> dan menyelesaikan pendidikan dengan lancar. Setelah satu semester, penggunaan Wilhelm <a href="https://www.forbes.com/sites/michaeltnietzel/2020/03/12/how-colleges-can-chatbot-their-way-to-better-student-retention/?sh=3540cecd6b34">membuat daya retensi mahasiswa untuk tetap melanjutkan kuliah meningkat 4%</a>.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.researchgate.net/publication/358273402_PENGEMBANGAN_PORTAL_PEMBELAJARAN_ONLINE_BERBASIS_ARTIFICIAL_INTELLIGENCE_DALAM_KERANGKA_TEAM-BASED_LEARNING">penelitian tahun 2020</a> dari Binus University di tiga provinsi – DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta – dengan sampel 262 siswa menemukan bahwa portal pembelajaran daring berbasis AI mampu memprediksi gaya belajar dan pola aktivitas mereka dalam menggunakan platform. Data ini kemudian dapat digunakan pendidik untuk meningkatkan rata-rata hasil belajar secara signifikan. </p>
<h2>2. Mengurangi beban administrasi dosen</h2>
<p>AI dapat membantu mengurangi <a href="https://jogja.tribunnews.com/2018/11/12/beban-administrasi-membelenggu-dosen-dan-peneliti">tugas-tugas administrasi yang selama ini memakan banyak waktu dan tenaga dosen</a>. AI dapat mengotomasikan tugas-tugas yang berulang seperti mengisi daftar presensi, membuat berita acara perkuliahan, membuat rencana pembelajaran semester, atau setidaknya membuat proses-proses ini lebih efisien.</p>
<p>Georgia Institute of Technology di AS, misalnya, sejak 2016 telah mengembangkan AI bernama “<a href="https://ic.gatech.edu/news/631545/jill-watson-ai-pioneer-education-turns-4">Jill Watson</a>”. AI ini secara mandiri merespons pertanyaan mahasiswa, mengunggah pengumuman akademik dan nonakademik, hingga penilaian otomatis yang mempersingkat waktu evaluasi beberapa jenis tugas dan ujian.</p>
<p>Jill dalam satu semester <a href="https://singularityhub.com/2016/05/11/ai-teaching-assistant-helped-students-online-and-no-one-knew-the-difference">membantu menjawab 10.000 pesan online dari 300 mahasiswa di satu kelas saja</a>, jumlah yang hampir tidak mungkin ditangani dosen biasa. Berdasarkan wawancara dengan profesor Georgia Tech yang menciptakannya, yakni <a href="https://slate.com/technology/2016/05/a-teaching-assistant-at-georgia-tech-was-actually-an-artificial-intelligence.html">Ashok Goel</a>, bersama <em>The Wall Street Journal</em>, “meskipun jumlah mahasiswa meningkat, namun jumlah pertanyaan yang berbeda tidak terlalu banyak.”</p>
<p>Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi memori AI Jill Watson dengan puluhan ribu pertanyaan (serta jawabannya) berdasarkan pola dari semester-semester sebelumnya. Dengan data-data yang semakin banyak, Jill belajar mengurai konteks pertanyaan mahasiswa dan menjawabnya secara akurat.</p>
<p>AI berpotensi mengurangi beban administratif dosen, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih bermakna yang tidak bisa digantikan oleh AI. Ini termasuk memotivasi dan membantu memecahkan permasalahan pembelajaran mahasiswa di kampus. </p>
<h2>3. Membantu menyediakan informasi cepat untuk pengambilan keputusan</h2>
<p>Untuk perguruan tinggi mana pun, komunikasi yang cepat dan informasi yang lengkap berpengaruh dalam keputusan mahasiswa untuk mendaftar. AI bisa digunakan untuk memberi informasi penting kepada mahasiswa baru hingga memberi rekomendasi pemilihan program studi kepada calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka</p>
<p>Dengan <em>chatbot</em> mereka yang bernama “<a href="https://onigroupglobal.com/case-studies/virtual-assistant-chatbot-ntu/">Ask Lyon</a>”, Nanyang Techonological University (NTU) di Singapura memungkinkan mahasiswa baru untuk mendapatkan informasi atas pertanyaan-pertanyaan umum mengenai kampus, mata kuliah, fasilitas, akomodasi, dan banyak hal lainnya. Ask Lyon melibatkan input mahasiswa dari berbagai latar belakang dalam modelnya sehingga jawabannya sesuai dengan nuansa lokal yang unik di NTU. </p>
<p>Di tingkat manajemen kampus di Indonesia, ada juga masalah pengambilan keputusan yang sering kali masih berdasarkan data yang diambil secara manual – misalnya analisis kebutuhan <a href="https://www.antaranews.com/berita/809676/menristekdikti-minta-kampus-tutup-program-studi-tidak-produktif">pembukaan dan penutupan program studi yang tidak produktif</a>. </p>
<p>Ini punya keterbatasan karena biasanya mengandalkan intuisi, terhambat alur birokrasi yang panjang, pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, berbasis data yang belum diperbarui, rentan menghasilkan kesalahan operasional, belum lagi diperparah dengan adanya pola <a href="https://theconversation.com/kasus-suap-rektor-unila-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-semakin-subur-di-tengah-kapitalisme-akademik-189226">korupsi di dalam kampus</a>. </p>
<p>Perencanaan strategis pendidikan merupakan proses yang memakan waktu dan tenaga, yang melibatkan banyak pertemuan, konsultasi, dan pengulangan. Para pemimpin kampus sering kali <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/mmet-22/125977728">membuat keputusan tanpa bisa mengakses semua informasi</a>.</p>
<p>AI punya potensi besar untuk membantu memberikan pilihan skenario dan hasil berdasarkan data masa lalu dan tren saat ini. Ini termasuk mengidentifikasi perubahan demografi mahasiswa, kemajuan teknologi, perencanaan kepegawaian, hingga permintaan pasar kerja yang terus berkembang.</p>
<h2>Masa depan AI di dunia perguruan tinggi Indonesia</h2>
<p>Universitas Muhammadiyah (UM) Malang, melalui <em>chatbot</em> mereka bernama SAM PRI, tercatat mampu <a href="https://informatika.umm.ac.id/id/berita/gunakan-dan-kembangkan-chatbot-sam-pri-prodi-informatika-umm-mampu-layani-ribuan-mahasiswa-24-jam-setiap-hari.html">melayani ribuan mahasiswa</a> 24 jam setiap harinya. Harapannya, kisah positif transformasi digital semacam ini bisa semakin banyak lagi dengan penerapan AI.</p>
<p>Teknologi <em>chatbot</em>, misalnya, bisa di integrasikan dengan AI untuk memperluas fungsinya tak hanya untuk menjawab pertanyaan, namun juga merekomendasikan program studi, modul pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, hingga mempelajari masalah kesehatan mental baik dosen, staf, ataupun mahasiswa. </p>
<p>Tapi, ambisi transformasi digital di kampus tetap harus berimbang dengan upaya negara untuk menghapus kesenjangan akses internet dan literasi digital di Indonesia. Penggunaan AI di kampus pun harus dibekali dengan keamanan dan privasi data. Pihak kampus harus memastikan bahwa data mahasiswa dan staf aman dari potensi pelanggaran siber.</p>
<p>Bisa jadi ada sejumlah pihak yang menganggap bahwa AI hanyalah teknologi gimik. Namun, dengan penerapan yang tepat, AI terbukti dapat memaksimalkan layanan pendidikan di berbagai negara. </p>
<p>Selamat datang pendidikan tinggi masa depan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202519/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tak hanya dalam konteks belajar dan riset, pemanfaatan AI dengan tepat bisa membantu perguruan tinggi meningkatkan pengelolaan sumber daya serta kualitas layanan kampus.Ayu Anastasya Rachman, PhD Student in International Relations, Diplomacy and Education Political Economy, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2053972023-05-11T11:00:08Z2023-05-11T11:00:08ZChatGPT: bagaimana menggunakan AI sebagai penasihat keuangan virtual<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/525370/original/file-20230510-17-ghb0bb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C17%2C5245%2C3206&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dukungan teknologi bagi investor.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/ai-robot-analysis-future-financial-expert-2264241731">Darunrat Wongsuvan/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Mulai dari <a href="https://tekno.tempo.co/read/1536593/apa-itu-chatbot-begini-cara-kerja-asisten-digital-ini"><em>chatbot</em></a> dan asisten virtual hingga <a href="https://www.ft.com/content/aae4f11a-aa7b-47ce-b9a7-eb39f345dab3">deteksi penipuan</a> dan <a href="https://www.elibrary.imf.org/view/journals/087/2021/024/article-A001-en.xml">manajemen risiko</a>, <a href="https://www.forbes.com/sites/qai/2023/02/24/artificial-intelligence-applications-in-investing/?sh=30aff5c5e216">berbagai area dalam sektor keuangan</a> kini telah menggunakan kecerdasan buatan atau <em>artificial intelligence</em> (AI). </p>
<p>Namun, apa yang bisa dilakukan AI untuk saldo tabunganmu?</p>
<p>Perangkat AI mungkin tampak terlalu rumit atau mahal bagi mereka yang bukan pakarnya, tetapi kemajuan dalam <a href="https://oxsci.org/chatgpt-natural-language-processing/">pemrosesan bahasa alami dan pembelajaran mesin</a> dapat mengubah ChatGPT dan produk serupa menjadi asisten keuangan pribadi virtual. Ini berarti memiliki pakar yang selalu siap membantumu memahami berita dan data keuangan terbaru.</p>
<p>Penting bagi kita untuk terus mengetahui kabar bisnis terkini dan tren pasar keuangan dalam membuat keputusan investasi dan memperoleh keunggulan di pasar. Perusahaan, misalnya, telah menggunakan berbagai perangkat AI untuk melakukan apa yang disebut sebagai praktisi keuangan sebagai “<a href="https://dl.acm.org/doi/10.3115/1118693.1118704">analisis sentimen</a>”. </p>
<p>Ini termasuk menganalisis berita dan laporan keuangan demi mendapatkan gambaran dan prediksi mengenai saham dan jenis investasi lainnya. Contohnya, <a href="https://www.cnbc.com/2019/08/02/this-etf-run-by-a-robot-is-beating-the-marketheres-how-it-works.html">model AI milik bank investasi asal Amerika Serikat, Morgan Stanley</a> menganalisis menganalisis berbagai data – termasuk artikel berita, unggahan media sosial, dan laporan keuangan – untuk mengidentifikasi pola dan memprediksi harga saham.</p>
<p>Para peneliti telah mulai menelusuri perangkat AI seperti ChatGPT. Namun, mengingat masih barunya teknologi ini, banyak penelitian akademis yang masih berada di tahap awal. Sebuah <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4412788">studi</a> pracetak, hasilnya belum melalui tinjauan sejawat, menguji prediksi ChatGPT terhadap kinerja pasar saham berdasarkan analisis sentimen terhadap berbagai pemberitaan. </p>
<p>ChatGPT kemudian menentukan apakah sebuah berita baik, buruk atau tak relevan dengan harga saham suatu perusahaan dan menghitung skornya. Hasilnya, studi menemukan adanya korelasi yang tinggi antara respons ChatGPT dengan pergerakan pasar saham dan menunjukkan kemampuan perangkat tersebut untuk memprediksi arah imbal balik saham.</p>
<p>Perangkat AI juga dapat membantu investor untuk menerjemahkan kebijakan moneter yang baru diumumkan dan menyediakan gambaran mengenai kemungkinan dampak kebijakan tersebut ke pasar keuangan. <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4399406">Studi pracetak lainnya</a>, misalnya, mengevaluasi kemampuan ChatGPT untuk memahami pengaruh pengumuman bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), terhadap pasar saham. </p>
<p>Jika dibandingkan dengan upaya investor profesional untuk melakukan analisis serupa, studi tersebut menemukan bahwa ketika model ChatGPT digunakan dengan baik, perangkat tersebut bisa lebih akurat daripada model pembelajaran mesin lainnya yang digunakan oleh para profesional untuk menganalisis dan memahami “Fedspeak” – pernyataan dari The Fed yang cenderung ambigu demi mengelola harapan investor.</p>
<p>Kebijakan moneter, seperti suku bunga atau program pembelian aset, bisa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1540-6261.1997.tb04816.x?casa_token=nI99tv3YOYQAAAAA%3AAgJsU9RILIeswy6aUdZT38P1ibqjdIXdsKwbtjwxuWEtOcR-U59N-YFSeFCu8MeXCexnE5OugDTsDLvHxQ">berpengaruh besar terhadap pasar keuangan</a>. Oleh karena itu, kemampuan AI untuk memperhitungkan pengaruh <a href="https://www.federalreserve.gov/newsevents/pressreleases.htm">kondisi bank sentral</a> terhadap pasar saham dapat memberikan masukan yang berharga mengenai efek dari perubahan-perubahan kebijakan tersebut. Hal ini dapat membantumu membuat keputusan investasi yang didukung informasi relevan.</p>
<h2>Panduan keuangan yang sesuai kebutuhan individu</h2>
<p>Kemampuan AI untuk <a href="https://www.forbes.com/sites/qai/2023/02/10/can-i-invest-with-openai-can-and-should-openai-pick-my-stock-portfolio/?sh=27cd020e4a82">mengidentifikasi tren pada sektor pasar tertentu</a> juga bisa membantu orang-orang yang membutuhkan panduan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.</p>
<p>Sebagai contoh, perangkat AI dapat digunakan untuk menganalisis data finansial, seperti neraca keuangan atau laporan pemasukan dari perusahaan-perusahaan teknologi. AI dapat memetakan pola yang mungkin saja mengindikasikan adanya peluang atau masalah. Investor juga dapat menyesuaikan portofolionya untuk meningkatkan imbal balik atau sekadar mengurangi paparan terhadap risiko tertentu.</p>
<p>Tak hanya menganalisis tren pasar, AI juga bisa membantu menyusun portofolio investasi yang disesuaikan dengan <a href="https://www.businessinsider.com/ai-in-finance-fintech-chatgpt-generative-tools-credit-suisse-2023-3?r=US&IR=T">tujuan investasi dan toleransi risiko seseorang</a>. Dengan menggunakan informasi yang merujuk pada preferensimu, misalnya situasi keuangan atau pertimbangan risiko, AI dapat merajut portofolio yang mempertimbangkan imbal balik yang kamu harapkan serta risiko yang ingin kamu hindari.</p>
<h2>Asistenmu, tapi bukan satu-satunya pemandumu</h2>
<p>Perangkat AI menunjukkan potensi yang luar biasa sebagai asisten keuangan pribadi, namun <a href="https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2023/03/03/the-top-10-limitations-of-chatgpt/?sh=407872268f35">dengan sejumlah tantangan</a>. </p>
<p>Ada beberapa faktor yang mungkin tidak dapat diperhitungkan oleh perangkat AI, seperti kejadian tak terduga, perubahan kondisi pasar atau perilaku manusia. Perangkat seperti ChatGPT tidak dapat sepenuhnya memahami seluk-beluk bahasa dan percakapan manusia, yang dapat menyebabkan tanggapan yang kurang mendalam dan kurang memberikan gambaran. </p>
<p>Selain itu, perlu ada <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0306452223000799">transparansi yang lebih besar</a> mengenai bagaimana perangkat-perangkat ini membuat keputusan. Investor perlu memahami bagaimana AI memperoleh kesimpulannya dan data apa saja yang digunakan, sebelum mereka menyerahkan keputusan investasinya di tangan para “robot” ini. </p>
<p>Beberapa perusahaan perencanaan keuangan memang menawarkan <a href="https://www.investopedia.com/terms/r/roboadvisor-roboadviser.asp">“robo-advisors”</a> – jasa yang menggunakan algoritma untuk membantu merancang rencana investasi individu – yang juga dapat melakukan hal tersebut. Namun, tentu saja kamu harus membayar jasa penasihat keuangan untuk bisa mengaksesnya.</p>
<p>Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan adalah <a href="https://hbswk.hbs.edu/item/chatgpt-did-big-tech-set-up-the-world-for-ai-bias-disaster">potensi bias</a> dari rekomendasi yang ditawarkan perangkat-perangkat ini. <em>Training data</em> (himpunan data yang yang digunakan untuk membangun model) ChatGPT bisa saja memiliki bias mendasar yang mempengaruhi prediksinya. <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2023/mar/03/fake-news-chatgpt-truth-journalism-disinformation">Akurasi dan keandalan</a> prediksi ChatGPT memerlukan evaluasi yang cermat mengingat adanya laporan bahwa perangkat tersebut memberikan kesalahan informasi berulang. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang perempuan mengamati dan menunjuk bagan keuangan di layar monitor." src="https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/522315/original/file-20230421-20-2qcpbo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">shutterstock.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/business-woman-study-financial-market-calculate-1204727542">GaudiLab/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tak ada satu pun model atau algoritma yang dapat memprediksi pergerakan pasar keuangan dengan ketepatan penuh. Sehingga, perangkat AI seperti ChatGPT sebaiknya hanya digunakan untuk <a href="https://ifamagazine.com/article/supplement-or-substitute-how-do-advisers-view-chatgpt-potential-impact-on-financial-services/">melengkapi pertimbanganmu sendiri, dan bukan untuk menggantikannya</a>.</p>
<p>Walaupun AI dapat memberikan bantuan yang baik dalam membuat keputusan investasi, sangat penting bagimu untuk mempelajari dengan teliti mengenai investasi potensial yang bisa kamu lakukan, memahami dan menetapkan tingkat risiko yang bisa kamu terima, dan melakukan diversifikasi portofoliomu ketika memutuskan untuk berinvestasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205397/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eun Young (EY) Oh tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perangkat AI dapat membantumu mempelajari lebih lanjut tentang berinvestasi saham dan instrumen keuangan lainnya – tetapi ini bukan solusi yang sempurna.Eun Young (EY) Oh, Senior Lecturer in Economics and Finance, University of PortsmouthLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2026022023-03-27T01:16:55Z2023-03-27T01:16:55ZChatGPT membunuh tugas esai murid dan mahasiswa? Para filsuf bilang itu omong kosong<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/517503/original/file-20230326-1735-2ec1nf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bahwa murid dan mahasiswa bisa menggunakan ChatGPT untuk melakukan kecurangan dengan lebih efisien tidak semestinya dijadikan lendasan untuk mengklaim bahwa tugas esai telah "mati".</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Sejak layanan <a href="https://chat.openai.com/">ChatGPT</a> dirilis, <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-022-04397-7">banyak pihak</a> mengkhawatirkan potensi bahwa kecerdasan buatan (AI) bisa mengambil alih banyak hal dalam pendidikan. Kata mereka, misalnya, dosen bisa saja <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/dec/04/ai-bot-chatgpt-stuns-academics-with-essay-writing-skills-and-usability">kehilangan pekerjaan</a> atau bahwa tugas esai <a href="https://www.theatlantic.com/technology/archive/2022/12/chatgpt-ai-writing-college-student-essays/672371/">tidak akan relevan lagi</a> bagi murid atau mahasiswa.</p>
<p>Ini merupakan reaksi yang berlebihan dan kurang tepat. Sifat dari ChatGPT itu sendiri membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya kita uji melalui tugas esai.</p>
<p>Sebagai contoh, ChatGPT beserta berbagai layanan AI lainnya <a href="https://mitpress.mit.edu/9780262035248/giving-a-damn/">tidak bisa menunjukkan kepedulian</a>. Seperti yang diungkapkan filsuf John Haugeland, AI tidak mungkin peduli, karena tidak ada hal yang berarti baginya.</p>
<p>Meski demikian, ChatGPT menghadirkan tantangan maupun peluang yang unik dalam pendidikan dan proses asesmen (evaluasi murid). Beberapa tantangan dan peluang ini mungkin tak secara langsung lahir akibat fitur-fitur ChatGPT, tapi tentu menjadi semakin disorot dengan adanya urgensi baru setelah munculnya layanan AI ini.</p>
<p>Di <a href="https://www.wsj.com/articles/cheating-at-school-is-easier-than-everand-its-rampant-11620828004">luar fungsi-fungsi jalan pintas</a> yang sudah ditawarkan oleh perangkat dan sistem digital lainnya, bahkan sebelum adanya ChatGPT, murid dan dunia pendidikan kemungkinan telah melupakan beberapa kompetensi dan nilai yang seharusnya menjadi tujuan dari tugas esai – yaitu <a href="https://mitpress.mit.edu/9780262043045/the-promise-of-artificial-intelligence/">penilaian (<em>judgement</em>) dan kepedulian murid</a>.</p>
<h2>Sudah ada banyak “jalan pintas”</h2>
<figure class="align-left ">
<img alt="A ghost is seen above the words ghostwriter." src="https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=608&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=608&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=608&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=764&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=764&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511761/original/file-20230222-28-4abfpi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=764&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Akan selalu ada murid-murid yang memakai jalan pintas.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Apakah ini berarti pendidik perlu berhenti sejenak dan memikirkan – bahkan mengubah – beberapa <a href="https://www.pbs.org/newshour/education/some-educators-embrace-chatgpt-as-a-new-teaching-tool">metode</a> <a href="https://www.nytimes.com/2023/01/12/technology/chatgpt-schools-teachers.html">pengajaran dan asesmen</a> yang selama ini digunakan? Tentu saja.</p>
<p>Apakah ChatGPT mengindikasikan <a href="https://www.washingtonpost.com/opinions/2023/02/17/chatgpt-students-end-of-civilization/">matinya pemikiran kritis</a>? Justru sebaliknya.</p>
<p>Pertama, mari kita pertimbangkan keadaan sebelum ChatGPT hadir. Beragam layanan daring terkait peringkasan teks dan analisis kilat yang menawarkan jalan pintas bagi murid yang membuat mereka tak perlu susah payah membaca dan memahami, sudah lama ada.</p>
<p>Layanan joki tugas atau “pabrik esai” (<em>essay mills</em>) sangat mudah ditemui. Seperti <a href="https://www.washingtonpost.com/local/education/another-problem-with-shifting-education-online-a-rise-in-cheating/2020/08/07/1284c9f6-d762-11ea-aff6-220dd3a14741_story.html">laporan dari <em>The Washington Post</em></a> di Amerika Serikat (AS), “tes <em>online</em> juga berdampak pada meningkatnya bisnis bagi perusahaan-perusahaan yang menjual pekerjaan rumah murid maupun jawaban ujian, termasuk Chegg dan Course Hero.”</p>
<p>Akan selalu ada murid-murid yang <a href="https://www.theglobeandmail.com/canada/article-university-students-cheating-exams/">memakai jalan pintas ini</a>. Pendidik dan staf administrasi akan berusaha sebaik mungkin untuk menangkap mereka, tapi akan selalu ada yang lolos.</p>
<h2>Fitur baru ChatGPT</h2>
<p>Meski demikian, fitur yang benar-benar baru dalam ChatGPT adalah tingkat kecepatan dan kemudahan bagi murid untuk mengambil jalan pintas ini dan melewatkan proses membaca, memahami, berpikir, dan menulis.</p>
<p>Sebelumnya, para murid dan mahasiswa harus berselancar di banyak situs atau menyelami berbagai dokumen dalam penyimpanan awan (<em>cloud documents</em>) dan kemudian menyatukan berbagai temuan mereka. Kini, melalui serangkaian baris pertanyaan dan instruksi lewat <em>smartphone</em>, mereka sudah bisa melakukan ini.</p>
<p>Tapi, kenapa tingkat kecepatan dan kemudahan ini yang dikhawatirkan akan jadi hal pembeda yang signifikan? Bahwa murid dan mahasiswa bisa melakukan kecurangan dengan lebih efisien tidak semestinya dijadikan landasan untuk mengklaim bahwa fungsi esai telah “mati”.</p>
<p>Masalah-masalah ini sudah ada lama sebelum kehadiran ChatGPT. Bedanya saja, beragam masalah ini kini menjadi kian sulit untuk kita abaikan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A student seen earnestly working at a laptop." src="https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511809/original/file-20230222-572-qqrv15.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hasrat untuk ‘melompati’ proses membaca, memahami, berpikir, dan menulis yang menantang, sebenarnya sudah ada lama sebelum hadirnya ChatGPT.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Tim Gouw/Unsplash)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Nihil pemahaman: respons khas pembual?</h2>
<p>Bagaimana dengan esai yang dihasilkan ChatGPT?</p>
<p>Ya, ChatGPT seringkali bisa memberikan jawaban meyakinkan untuk instruksi dan pertanyaan esai yang relatif lugas dan mudah, tapi esai-esai ini tidak menunjukkan adanya pemahaman, penilaian, maupun kebenaran. Ketika kami menanyakan ChatGPT untuk menjelaskan dirinya sendiri ke sekelompok mahasiswa filsafat, ia dengan terbuka mengaku bahwa “ia tak memiliki pemahaman apapun terkait dunia, keyakinan, atau nilai moral.”</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/unlike-with-academics-and-reporters-you-cant-check-when-chatgpts-telling-the-truth-198463">Unlike with academics and reporters, you can't check when ChatGPT's telling the truth</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ini membuat beberapa pihak <a href="https://aisnakeoil.substack.com/p/chatgpt-is-a-bullshit-generator-but">berargumen</a> bahwa ChatGPT adalah “pembual” <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691122946/on-bullshit">dalam konteks filosofis</a>: Menurut filsuf Harry Frankfurt, seorang pembohong harus memberikan respons terhadap suatu kebenaran, sementara seorang pembual tak punya kepedulian sedikitpun terhadap kebenaran maupun kebohongan – mereka “sama sekali tak fokus pada fakta.”</p>
<p>Pembual hanya <a href="https://www.newyorker.com/tech/annals-of-technology/chatgpt-is-a-blurry-jpeg-of-the-web">merekayasa jawaban</a> sesuai keinginan, demi memenuhi tujuan mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Screenshot showing a query explain ChatGPT to a group of third-year philosophy students." src="https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=481&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=481&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=481&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/512107/original/file-20230223-20-6g7pvo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">ChatGPT dengan terbuka mengaku tak memiliki pemahaman apapun terkait dunia, keyakinan, atau nilai moral.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Dylan J. White)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Layanan AI tak peduli terhadap apapun yang mereka katakan</h2>
<p>Tapi, penilaian kita terhadap ChatGPT tak semestinya hanya berhenti sampai sini saja. Memang, ChatGPT tak peduli terhadap kebenaran. <a href="https://www.assemblyai.com/blog/how-chatgpt-actually-works/">Bagaimana bisa</a>?</p>
<p>Masalahnya tak sebatas ChatGPT adalah pembual yang tak peduli terhadap kebenaran, tapi lebih tepatnya ia tak peduli terhadap apapun.</p>
<p>Filsuf <a href="https://www.bostonglobe.com/2022/12/20/opinion/chatgpt-taught-me-something-powerful-about-human-collaboration/">Evan Selinger</a> menjelaskan ini dengan baik:</p>
<blockquote>
<p>“OpenAI tidak bisa membuat teknologi yang benar-benar peduli karena ini butuh kesadaran, pengalaman internal, perspektif yang independen, dan emosi. Untuk bisa peduli, kita harus melihat sesuatu dengan perspektif, menunjukkan rasa hormat, tersinggung pada saat yang tepat, dan menawarkan rasa persahabatan dan saling percaya (<em>camaraderie</em>).”</p>
</blockquote>
<p>Inilah kenapa ChatGPT, dengan segala sifatnya, tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya menjadi poin pengujian dari tugas esai. Berbagai “esai” yang ia hasilkan tak peduli terhadap kebenaran, menunjukkan nol pemahaman, dan bahkan tak punya sedikitpun rasa kepedulian terhadap apapun yang ia katakan.</p>
<h2>Taruhan yang nyata</h2>
<p>Apa yang harusnya kita jadikan poin penilaian atau tujuan dari tugas esai? Kemampuan menulis seperti apa yang akan menjadi aset berharga bagi murid dan mahasiswa? Ada banyak jawaban yang masuk akal, dan semuanya akan bervariasi dari satu ruang kelas ke ruang kelas yang lain.</p>
<p>Tapi, secara umum, suatu jawaban yang cukup baik adalah yang disebut oleh filsuf kecerdasan buatan Brian Cantwell Smith sebagai <a href="https://mitpress.mit.edu/9780262043045/the-promise-of-artificial-intelligence/">penilaian (<em>judgement</em>)</a> – suatu bentuk pemikiran yang disengaja, terbuka, melekat pada rasa kepedulian dan tindakan yang bertanggung jawab, serta sesuai dengan konteks.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A student seen writing at a laptop." src="https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/512057/original/file-20230223-18-l65mdv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Untuk peduli terhadap apa yang kita tulis, kita perlu emosi, perspektif yang independen, dan kesadaran akan hal-hal yang sedang dipertaruhkan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penilaian memerlukan sang agen untuk secara normatif menempatkan diri dalam suatu dunia. Dengan kata lain, ia harus peduli terhadap dirinya sendiri dalam kaitannya dengan orang dan benda di sekelilingnya.</p>
<p>Sebagaimana <a href="https://mitpress.mit.edu/9780262043045/the-promise-of-artificial-intelligence/">yang ditulis oleh Cantwell Smith</a>:</p>
<blockquote>
<p>“Hanya dengan komitmen eksistensial, taruhan yang nyata, dan tekad yang penuh semangat untuk menuntut akuntabilitas dari kehadirannya di dunia, suatu sistem (manusia maupun mesin) bisa benar-benar membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, merespons konteks dengan sesuai, dan mengemban tanggung jawab.”</p>
</blockquote>
<p>Artinya, pemahaman dan penilaian menuntut kepedulian dan tidak bersikap “bodo amat”. Para guru dan masyarakat secara umum seharusnya menginginkan agar pemberian tugas-tugas esai merefleksikan hal ini. </p>
<h2>Meningkatkan standar dalam menjadi manusia</h2>
<p>Cantwell Smith bertanya: “apakah mengartikulasikan suatu konsepsi dari penilaian memberikan kita ide mengenai bagaimana kita bisa memanfaatkan kemajuan AI untuk meningkatkan standar kita sebagai manusia?”</p>
<p>Yang telah kita bahas dalam artikel ini mengindikasikan bahwa jawabannya, secara jelas dan lantang, adalah iya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202602/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joshua August (Gus) Skorburg telah menerima pendanaan dari OpenAI.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dylan J. White tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kita seharusnya berharap tugas esai bisa merefleksikan pemahaman, penilaian, dan rasa kepedulian – hal-hal yang melampaui ChatGPT.Dylan J. White, Philosophy PhD Student, University of GuelphJoshua August (Gus) Skorburg, Assistant Professor of Philosophy, University of GuelphLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996392023-02-10T05:33:38Z2023-02-10T05:33:38ZChatGPT: riset kami tunjukkan AI bisa membuat naskah akademik selevel artikel jurnal – tak heran banyak publikasi melarangnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509236/original/file-20230209-26-tpk81g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Beberapa penerbit jurnal ilmiah terbesar di dunia kini telah <a href="https://www.theguardian.com/science/2023/jan/26/science-journals-ban-listing-of-chatgpt-as-co-author-on-papers">melarang atau membatasi</a> para penulisnya untuk memakai ChatGPT, bot percakapan berbasis kecerdasan buatan (AI).</p>
<p>Bot ini memakai informasi dari berbagai sudut internet untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang cukup baik untuk berbagai pertanyaan. Oleh karenanya, para penerbit khawatir bahwa karya yang tidak akurat atau karya hasil plagiasi bisa saja masuk ke dalam laman-laman literatur akademik yang mereka publikasikan.</p>
<p>Beberapa peneliti bahkan mendaftarkan bot ini sebagai rekan penulis (<em>co-author</em>) dalam studi – penerbit merespons ini dengan melarangnya. Tapi kepala editor <em>Science</em>, salah satu jurnal ilmiah ternama di dunia, mengambil satu langkah lebih dan memutuskan untuk mengharamkan penggunaan teks hasil olahan ChatGPT dalam bentuk maupun untuk tujuan apapun dalam naskah-naskah yang diajukan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/major-publishers-are-banning-chatgpt-from-being-listed-as-an-academic-author-whats-the-big-deal-198765">Major publishers are banning ChatGPT from being listed as an academic author. What’s the big deal?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tak heran bahwa penggunaan bot percakapan semacam ini menjadi perhatian banyak publikasi akademik. Riset terbaru kami, yang terbit di <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1544612323000363"><em>Finance Research Letters</em></a>, menunjukkan bahwa ChatGPT mampu menuliskan artikel akademik dalam bidang keuangan yang layak masuk jurnal ilmiah.</p>
<p>Tentu performa bot ini punya kekurangan dalam beberapa aspek. Tapi, tinggal kami tambahkan saja keahlian dan wawasan kami, kemudian program ini sudah bisa melampaui berbagai keterbatasannya di mata para penelaah jurnal.</p>
<p>Meski demikian, kami berpandangan bahwa para penerbit dan peneliti tak serta merta harus menganggap ChatGPT sebagai ancaman. Kami menganggap ChatGPT bisa menjadi alat bantu yang potensial dalam melakukan penelitian – sebutlah asisten elektronik yang murah atau bahkan gratis.</p>
<p>Pemikiran kami begini: jika semudah itu mendapatkan jawaban-jawaban yang bagus dari ChatGPT, mungkin para peneliti tinggal mengambil langkah esktra untuk bisa memakainya demi menghasilkan riset yang luar biasa.</p>
<p>Misalnya, kami pertama menanyakan ChatGPT untuk menghasilkan empat bagian umum dalam studi: ide penelitian, kajian literatur (suatu evaluasi atau reviu dari studi-studi yang sudah dilakukan sebelumnya tentang topik ini), data, dan rekomendasi untuk proses pengujian dan penyelidikan lanjutan. Kami hanya menentukan tema umum dan bahwa hasilnya harus bisa terbit dalam “jurnal keuangan yang bagus”.</p>
<p>Ini adalah versi satu dari penggunaan ChatGPT kami. Untuk versi dua, kami memasukkan hampir 200 abstrak terkait studi-studi relevan yang sudah ada ke dalam jendela ChatGPT. Kami kemudian meminta program untuk mempertimbangkan hal-hal ini saat merancang empat tahap penelitian tersebut.</p>
<p>Kemudian untuk versi tiga, kami menambahkan “keahlian domain” – input dari peneliti dan akademisi. Kami membaca jawaban-jawaban yang dihasilkan oleh bot tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikan. Dengan begitu, kami mengintegrasikan keahlian kami dengan kemampuan ChatGPT.</p>
<p>Hingga akhirnya, kami meminta panel berisi 32 penelaah untuk masing-masing mereviu satu versi bagaimana ChatGPT bisa digunakan untuk menghasilkan studi. Mereka diminta menilai apakah karya-karya tersebut cukup komprehensif, tepat, dan apakah menawarkan kebaruan yang cukup untuk bisa terbit dalam jurnal keuangan yang “bagus”.</p>
<p>Pelajaran utama yang kami ambil adalah bahwa seluruh studi yang kami hasilkan dengan bantuan ChatGPT dianggap layak oleh para penelaah ahli. Ini cukup mencengangkan: suatu bot percakapan dianggap mampu menghasilkan ide-ide riset berkualitas.</p>
<p>Ini tentu memantik banyak <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4304470">pertanyaan fundamental</a> terkait makna dari kreativitas dan kepemilikian ide-ide kreatif – pertanyaan-pertanyaan yang tak ada satu pun bisa menjawab.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Lecture theatre" src="https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">ChatGPT bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/woman-lecturing-students-university-lecture-theatre-478472935">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kelebihan dan kekurangan</h2>
<p>Hasil ini juga menggarisbawahi beberapa potensi kelebihan dan kekurangan dari ChatGPT. Kami menemukan bahwa nilainya bisa berbeda-beda untuk bagian riset yang berbeda. Dalam kasus kami, bagian ide penelitian dan data cenderung meraih skor tinggi. Sementara, skor untuk bagian kajian literatur dan rekomendasi pengujian lebih rendah, meski tetap bisa diterima.</p>
<p>Dugaan kami adalah bahwa ChatGPT unggul dalam mengambil serangkaian teks eksternal lalu menghubungkannya (yang merupakan inti dari ide penelitian), atau mengambil bagian-bagian yang mudah diidentifikasi dalam suatu dokumen lalu membuat beberapa penyesuaian saja (contohnya ringkasan data – segmen teks yang mudah dikenali dalam kebanyakan artikel ilmiah).</p>
<p>Kelemahan dari platform ini terlihat ketika tugasnya lebih kompleks, misalnya ketika ada terlalu banyak tahapan dalam proses konseptual. Kajian literatur dan pengujian bisa dianggap masuk dalam kategori ini. ChatGPT cenderung unggul dalam beberapa tahapan, tapi tidak semua – dan para penelaah pun melihat ini.</p>
<p>Meski demikian, kami mampu mengatasi keterbatasan ini dalam versi penggunaan ChatGPT kami yang paling canggih (versi tiga), ketika kami berkolaborasi dengan bot tersebut untuk menghasilkan rancangan studi yang layak. Seluruh segmen dalam rancangan studi yang kami hasilkan meraih skor tinggi dari penelaah. Ini menunjukkan bahwa peran para peneliti belum mati.</p>
<h2>Dampak etis</h2>
<p>ChatGPT adalah alat. Dalam riset kami, kami menunjukkan bahwa, dengan penanganan hati-hati, ia bisa digunakan untuk menghasilkan rancangan penelitian keuangan yang layak. Bahkan tanpa penanganan lebih, ia masih mampu menghasilkan karya yang masih relatif oke.</p>
<p>Jelas, ini punya implikasi etis bagi penelitian.</p>
<p>Sebelumnya saja, integritas riset telah menjadi <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-02847-8">problem mendesak</a> dalam dunia akademik. Situs seperti <a href="https://retractionwatch.com/">RetractionWatch</a> rutin menyampaikan hasil penelitian yang palsu, hasil plagiasi, atau bahkan benar-benar salah. Apakah ChatGPT bisa memperparah hal ini?</p>
<p>Jawaban singkatnya, bisa jadi. Tapi kita tak bisa mengembalikan susu yang sudah tumpah. Teknologi ini hanya akan menjadi lebih canggih (dan dengan sangat cepat). Bagaimana caranya kita mengakui atau meregulasi peran ChatGPT dalam riset dalam pertanyaan besar yang perlu dijawab di kemudian hari.</p>
<p>Tapi temuan kami juga berguna dalam hal ini – dengan menemukan bahwa versi kolaborasi ChatGPT yang paling superior adalah yang melibatkan keahlian sang peneliti, kami menunjukkan bahwa masukan dari peneliti manusia masih sangat penting dalam menghasilkan riset yang layak.</p>
<p>Untuk saat ini, kami berpandangan bahwa peneliti sebaiknya melihat ChatGPT sebagai asisten, bukan ancaman. Bisa jadi, alat ini berguna bagi kelompok peneliti yang biasanya kesulitan mendapatkan sumber daya finansial untuk menyewa bantuan riset tradisional (manusia) – yaitu para peneliti negara berkembang, mahasiswa pascasarjana, dan peneliti pada awal karir. </p>
<p>Sangat memungkinkan bahwa ChatGPT (maupun program serupa) bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian.</p>
<p>Tapi para peneliti perlu sadar akan banyaknya larangan penggunaan teknologi ini dalam penulisan dan pengajuan naskah akademik. Cukup jelas bahwa ada banyak pandangan berbeda terkait penggunaan teknologi ini, jadi perlu kehati-hatian lebih dalam penggunaannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199639/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa orang beranggapan ChatGPT mengancam dunia pendidikan dan riset, tapi bot ini bisa jadi bermanfaat bagi akademisi dan peneliti.Brian Lucey, Professor of International Finance and Commodities, Trinity College DublinMichael Dowling, Professor of Finance, Dublin City UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1988282023-02-03T02:36:40Z2023-02-03T02:36:40ZGerakan mata dapat membantu kita mengetahui cara membaca pikiran orang<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/507064/original/file-20230130-24-1n930q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mata Anda dapat mengungkapkan lebih banyak hal dari yang Anda pikirkan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/close-face-african-descent-closing-opening-1830481211">True Touch Lifestyle/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dari sebagian besar sejarah manusia, jika ingin mengetahui apa yang terjadi di belakang kita, kita harus menebaknya. Akan tetapi, sejak tahun 1960-an, para ilmuwan telah mempelajari bagaimana gerakan mata dapat membantu membaca pikiran seseorang. Kemampuan untuk menguping lamunan dan monolog internal seseorang secara detail masih menjadi fiksi ilmiah, tetapi penelitian membantu kita mempelajari lebih lanjut tentang hubungan antara mata dan kondisi mental kita.</p>
<p>Baru-baru ini, penelitian di Jerman menunjukkan bahwa <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0277099">pelacakan gerakan mata</a> dapat membantu mendeteksi posisi seseorang dalam proses berpikirnya.</p>
<p>Penelitian semacam ini bukan sekadar keingintahuan umum. Bayangkan jika kamu adalah seorang pilot yang sedang mencoba manuver rumit yang membutuhkan konsentrasi penuh. Sementara itu, kamu melewatkan alarm berkedip yang membutuhkan perhatian. Teknologi hanya akan berguna jika selaras dengan cara manusia berpikir dan berperilaku di dunia nyata.</p>
<p>Kemampuan untuk melacak proses berpikir dapat menghindari kondisi yang mengancam jiwa antara manusia dan komputer. Jika penelitian psikologi tentang pelacakan mata digabungnkan dengan AI (kecerdasan buatan), hasilnya dapat merevolusi antarmuka komputer (<em>computer interface</em>) dan memberi manfaat bagi orang-orang dengan disabilitas belajar.</p>
<p>Pelacakan gerakan mata dimulai pada tahun 1960-an ketika versi pertama teknologi dikembangkan oleh ilmuwan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1068/i0382">Alfred Yarbus</a> yang meneliti isu ini pertama kali. Saat itu, penutup hisap yang tidak nyaman dipasang di mata peserta dan pantulan cahaya menelusuri titik fokus mereka.</p>
<p>Yarbus menemukan bahwa manusia terus-menerus mengalihkan pandangannya untuk berfokus pada berbagai bagian pemandangan di depan. Dengan setiap gerakan mata, bagian pemandangan yang berbeda menjadi fokus tajam, dan bagian lain di ujung pandangan menjadi buram. Kita tidak dapat menerimanya sekaligus.</p>
<p>Sampel pemandangan tidak diambil secara acak. Dalam <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1068/i0382">studi Yarbus yang terkenal pada tahun 1967</a>, dia meminta orang-orang untuk melihat sebuah lukisan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seorang pelayan menunjukkan seorang laki-laki ke arah ruang tamu di mana seorang perempuan yang lebih tua bangkit dari kursinya dan anak-anak duduk di sekitar meja" src="https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=576&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=576&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=576&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=724&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=724&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/503998/original/file-20230111-14-krrmlx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=724&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lukisan ini, <em>They Did Not Expect Him</em>, digunakan dalam studi Yabus.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://en.wikipedia.org/wiki/File:Ilya_Repin_Unexpected_visitors.jpg">Ilya Repin/Wikimedia</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dia kemudian bertanya kepada peserta “Seberapa kaya orang-orang itu” dan “Apa hubungan antara mereka?” Pola gerakan mata yang berbeda muncul sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.</p>
<h2>Membuat kemajuan</h2>
<p>Sejak itu, kamera inframerah dan program komputer membuat pelacakan mata lebih mudah. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukkan bahwa pelacakan mata dapat mengungkapkan pada tahap apa seseorang berpikir. Dalam eksperimen psikologi kognitif, orang-orang sering diminta untuk menemukan objek dalam buku <em>Where’s Wally</em>.</p>
<p>Niat yang dimiliki seseorang <a href="https://www.annualreviews.org/doi/full/10.1146/annurev-vision-091718-015048#_i2">mempengaruhi cara matanya bergerak</a>. Misalnya, jika dia sedang mencari benda berwarna merah, matanya pertama-tama akan berpindah ke semua benda berwarna merah di tempat kejadian. Artinya, gerakan mata seseorang mengungkap isi memori jangka pendeknya.</p>
<p><a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0277099">Studi tahun 2022 di Jerman</a> mengungkapkan bahwa pelacakan mata dapat membedakan antara dua fase berpikir. Mode ambien melibatkan pengambilan informasi, sementara pemrosesan fokus terjadi pada tahap akhir pemecahan masalah.</p>
<p>Dalam mode ambien, mata bergerak cepat dalam jarak jauh untuk melihat impresi samar dari target yang menarik. Ini digunakan untuk orientasi spasial. Kemudian, kita fokus pada informasi untuk jangka waktu yang lebih lama saat memprosesnya lebih dalam.</p>
<p>Sebelumnya, perubahan-perubahan dalam <a href="https://psycnet.apa.org/record/1975-00202-001">pola pandangan telah dipelajari</a> dalam konteks perubahan stimulus visual. Namun, studi di Jerman tersebut adalah salah satu studi pertama yang menemukan bahwa mata kita berubah di antara pola gerakan ini sebagai respons terhadap proses berpikir.</p>
<p>Subyek uji diminta untuk merakit sebuah kubus Rubik sesuai dengan modelnya. Stimulus visual tidak berubah, tetapi gerakan mata peserta menunjukkan bahwa mereka berada dalam mode ambien saat informasi diambil. Pola gerakan mata peserta berubah saat mereka beralih ke bagian tugas yang berbeda, seperti memilih potongan puzzle.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Mata manusia berwarna cokelat dilihat dari dekat" src="https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/503674/original/file-20230109-17100-csu9q6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Setidaknya saat ini relawan penelitian tidak perlu memakai penutup hisap di mata mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/beautiful-close-human-eye-macro-photography-1962443701">Ingaav/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Melihat ke depan</h2>
<p>Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi yang dimaksudkan untuk bekerja sama dengan operator manusia dapat menggunakan pelacakan mata untuk melacak proses pemikiran penggunanya. <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-97457-2_6">Dalam pekerjaan terbaru saya bersama tim</a>, kami merancang sistem yang menghadirkan banyak tampilan berbeda secara paralel di layar komputer.</p>
<p>Dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk menghasilkan panah dan sorotan di layar, program kami melacak gerakan mata orang-orang untuk mengidentifikasi informasi yang dilihat peserta dan memandu mereka ke arah yang seharusnya mereka lihat. Penerapan metode kecerdasan buatan ke data pelacakan mata juga dapat membantu mengetahui jika <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0926580519304066?casa_token=p82hyjHRnq4AAAAA:RvUcD3YZENd24OvfNX-zCthoEC29YBfUHAm3rC3MXJjVb5we5cvg2wLl5k0rcx3fnhaN-Pf7INo">seseorang merasa lelah</a> atau memiliki gangguan belajar seperti <a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/2745555.2746644?casa_token=WH5IKy4NN90AAAAA:xy9gyO78VmFvwvSIAC8mpOfC69S00wfUB6gmIW0bDv8V1tPFSgaUFrIjhnJe6bDuLMw9Qlqw">disleksia</a>. </p>
<p>Gerakan mata juga dapat menjadi petunjuk tentang keadaan emosi seseorang. Sebagai contoh, <a href="https://psycnet.apa.org/record/2005-15801-006">satu studi menemukan</a> bahwa suasana hati yang sedang tidak baik membuat orang lebih sering mengalihkan mata untuk melihat kata-kata negatif seperti “kegagalan.” Sebuah penelitian yang menganalisis <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0272735812001390?casa_token=fnsj6OAfeEQAAAAA:yBAG1ZxQYMPjiJXFxc6NKjT2PmFc0ksOgFBMkEAvg4d1KsRXwUA7yMg3WgV38-P_Sg4Hlg_2L0Q">hasil dari banyak percobaan</a> menemukan bahwa orang-orang yang mengalami depresi menghindari melihat rangsangan positif (seperti wajah bahagia) dan mereka yang memiliki kecemasan terpaku pada tanda-tanda ancaman.</p>
<p>Melacak gerakan mata juga dapat membantu orang-orang belajar dengan memantau di mana mereka terjebak dalam suatu tugas. <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-98438-0_17">Satu studi</a>, yang melibatkan ahli jantung yang belajar untuk membaca elektrokardiogram, menggunakan AI berdasarkan gerakan mata mereka untuk memutuskan apakah mereka memerlukan panduan lebih lanjut.</p>
<p>Di masa depan, kecerdasan buatan mungkin dapat menggabungkan pelacakan mata dengan ukuran lain, seperti detak jantung atau perubahan aktivitas otak, untuk mendapatkan estimasi yang lebih akurat tentang pemikiran seseorang saat memecahkan masalah. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kita ingin komputer mengetahui apa yang kita pikirkan?</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/198828/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Szonya Durant bekerja di Royal Holloway, University of London dan menjadi konsultan untuk Paravizion Ltd. Ia menerima dana dari EPSRC dan US Air Force Office of Scientific Research.</span></em></p>Studi gerakan mata dapat melacak keberadaan seseorang dalam proses berpikirnya.Szonya Durant, Senior Lecturer of Psychology, Royal Holloway University of LondonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1970072022-12-30T08:14:01Z2022-12-30T08:14:01ZBeberapa contoh buktikan bahwa kecerdasan buatan dapat ciptakan sesuatu tanpa bantuan manusia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/502735/original/file-20221229-61491-4d5q1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Sejak awal era komputasi – hampir 200 tahun yang lalu – hingga saat ini, apakah kecerdasan buatan atau <em>artificial intelligence</em> (AI) dapat menciptakan sesuatu masih menjadi pertanyaan. Ahli matematika, Victoria Ada Lovelace menulis apa yang umumnya dianggap sebagai program komputer pertama. Saat melakukannya, ia bertanya-tanya tentang batasan kemampuan komputer.</p>
<p>Sehubungan dengan apa yang dapat disebut sebagai <a href="https://www.britannica.com/technology/Analytical-Engine">tujuan umum pertama</a> dari komputer terprogram, pada tahun 1843, <a href="https://mathshistory.st-andrews.ac.uk/Biographies/Lovelace/quotations/">Lovelace menulis</a>:</p>
<blockquote>
<p>Mesin Analitik tidak memiliki pretensi untuk menghasilkan apapun. Mesin ini dapat melakukan apa pun yang dapat kita perintahkan. Mesin Analitik dapat mengikuti analisis; tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mengantisipasi hubungan analitis atau kebenaran apapun. Perannya adalah untuk membantu kita menyediakan apa yang sudah kita ketahui.</p>
</blockquote>
<p>Pernyataan ini telah menghantui bidang AI sejak saat itu. Seperti yang akan dicatat oleh banyak kritikus, komputer hanya melakukan apa yang diperintahkan manusia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Bagian dari komputer Mesin Analitik yang dirancang oleh Charles Babbage." src="https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=469&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=469&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=469&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=590&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=590&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/499454/original/file-20221207-3710-cus8fz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=590&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ada Lovelace bekerja bersama Charles Babbage, yang mendesain dan membuat segian (seperti yang digambarkan) Mesin Analitik – dianggap sebagai komputer mekanis pertama.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Wikimedia Commons</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Satu abad setelah Lovelace menentang penemuan mesin, Alan Turing, salah satu penemu komputer elektronik, kembali membuka topik ini. Pada tahun 1950, Turing menulis apa yang umumnya dianggap sebagai <a href="https://academic.oup.com/mind/article/LIX/236/433/986238">makalah ilmiah tentang AI</a> pertamanya. Dalam makalah ini, ia mencoba menyangkal Lovelace:</p>
<blockquote>
<p>Siapa yang dapat memastikan bahwa ‘pekerjaan asli’ yang telah dia lakukan bukanlah sekadar pertumbuhan benih yang ditanam dalam dirinya melalui pengajaran, atau hasil dari mengikuti prinsip-prinsip umum yang terkenal. Varian bantahan yang lebih baik mengatakan bahwa sebuah mesin tidak akan pernah ‘mengejutkan kita.’ Pernyataan ini merupakan tantangan yang lebih langsung dan dapat dipenuhi secara langsung. Mesin mengejutkan saya dengan frekuensi tinggi.</p>
</blockquote>
<p>Ini belum berubah. Saat ini, mesin semakin mengejutkan kita. Kita dapat melihat chatbot ChatGPT OpenAI yang baru sebagai contoh. Semakin banyak bukti bahwa AI dapat membantu manusia menciptakan sesuatu. Bahkan, dalam beberapa kasus, AI mungkin dianggap sebagai penemu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-chatgpt-chatbot-is-blowing-people-away-with-its-writing-skills-an-expert-explains-why-its-so-impressive-195908">The ChatGPT chatbot is blowing people away with its writing skills. An expert explains why it's so impressive</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Hal-hal yang telah diciptakan oleh AI</h2>
<p>Pertanyaan apakah mesin dapat menciptakan kini telah mulai dikenakan pajak pengadilan di seluruh dunia. Stephen Thaler, salah satu pendiri Scentient.ai, telah mengajukan permohonan paten untuk dua penemuan di mana jaringan neural (<em>neural network</em>) disebut sebagai satu-satunya penemu.</p>
<p>Aplikasi-aplikasi ini telah ditolak di hampir setiap yurisdiksi, sebagian besar atas dasar hukum bahwa seorang penemu haruslah manusia. Namun, sejauh ini tidak ada kasus hukum yang menguji klaim Thaler bahwa komputer memang satu-satunya penemu.</p>
<p>Dalam sebuah <a href="http://dx.doi.org/10.1038/s42256-022-00582-5">artikel</a> di Nature Machine Intelligence, kami memeriksa klaim Thaler. Meskipun kami mengungkap beberapa alasan teknis mengapa komputer bukan satu-satunya penemu dalam kasus ini, kami juga mencatat sejarah panjang AI yang digunakan untuk membantu orang menciptakan sesuatu – dan dalam beberapa kasus menciptakan dirinya sendiri. Di bawah ini hanyalah beberapa contohnya.</p>
<p><strong>Sirkuit 3D</strong></p>
<p>Pada tahun 1980-an, <a href="https://www.wired.com/2016/03/doug-lenat-artificial-intelligence-common-sense-engine/">sistem Eurisko</a> Douglas Lenat, seorang peneliti AI, (<em>eurisko</em> adalah bahasa Yunani untuk “Saya menemukan”) menemukan sejumlah sirkuit 3D baru. Salah satunya bahkan telah diajukan untuk aplikasi paten Amerika Serikat yang bersifat sementara.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="Antena X-Band dari Satelit ST5 ditemukan dengan pemrograman genetik." src="https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=770&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=770&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=770&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=967&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=967&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/499432/original/file-20221207-3971-r6ds4f.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=967&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Antena X-Band dari Satelit ST5 ditemukan dengan pemrograman genetik, yaitu teknik pemrograman otomatis berbasis AI.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Antena berbentuk aneh</strong></p>
<p>Mulai tahun 1990-an, ilmuwan komputer John Koza menerapkan pemrograman genetik untuk menciptakan beberapa perangkat baru, termasuk beberapa antena radio dengan bentuk cenderung aneh yang menyerupai penjepit kertas bengkok. Salah satu antena ini kemungkinan adalah penemuan AI pertama di luar angkasa, saat <a href="https://www.jpl.nasa.gov/nmp/st5/TECHNOLOGY/antenna.html">terbang</a> dalam pesawat ruang angkasa ST5 NASA.</p>
<p><strong>Sebuah sikat gigi</strong></p>
<p>Meskipun bukanlah <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Build_a_better_mousetrap,_and_the_world_will_beat_a_path_to_your_door">perkembangan pada inovasi yang lebih awal</a>, pada tahun 1998, Sikat Gigi Oral-B CrossAction ditemukan oleh Stephen Thaler dalam <a href="http://www.umsl.edu/%7Esauterv/DSS/creativitymachine_12504.html">sesi brainstorming dengan jaringan neural</a>.</p>
<p><strong>Antibiotik</strong></p>
<p>Baru-baru ini, para peneliti di Massachusetts Institute of Technology, AS menggunakan jaringan neural mendalam untuk <a href="https://news.mit.edu/2020/artificial-intelligence-identifies-new-antibiotic-0220">mengidentifikasi Halicin</a> – senyawa antibiotik baru yang kuat. Halicin dinamai HAL, komputer AI terkenal dalam film karya Arthur C. Clarke’s pada tahun 2001: <em>A Space Odyssey</em>. Banyak perusahaan dengan pendanaan miliaran dolar menggunakan strategi berbasis AI untuk penemuan dan pengembangan obat.</p>
<p>Tampaknya penemuan AI akan tetap ada.</p>
<h2>Namun, apakah AI benar-benar ‘menciptakan’ atau membantu manusia menciptakan?</h2>
<p>Gagasan abstrak di balik bagaimana program AI dapat ditemukan relatif sederhana. Program mengeksplorasi ruang konsep yang telah ditentukan. Ruang biasanya sangat besar, bahkan mungkin tak terbatas. Oleh karena itu, upaya yang cukup besar harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah suatu bagian dari ruang tersebut layak untuk dijelajahi lebih lanjut, serta untuk memastikan konsep baru.</p>
<p>Sebagai contoh, ruang konsep mungkin <em>all the possible ways to bend a straight aerial</em> (<em>semua kemungkinan cara untuk membengkokkan antena lurus</em>). Tantangannya adalah menemukan cara mana yang memiliki sifat elektromagnetik terbaik dari jumlah tak terhingga.</p>
<p>Kami meminta <a href="https://www.ai21.com/blog/announcing-ai21-studio-and-jurassic-1">bot obrolan Jurassic-1</a>, yang terkait dengan ChatGPT, untuk membuat paten sesuai dengan salah satu aplikasi paten Thaler. Inilah yang kami dapatkan:</p>
<blockquote>
<p>Sarung tangan karet PVC, lateks atau silikon, terutama sarung tangan sekali pakai. Penemuan ini menyediakan sarung tangan yang memiliki bagian pencengkeram fleksibel yang dibentuk dari pola fraktal yang berkesinambungan. Bagian pegangan yang fleksibel tersebut cukup kuat dan kaku untuk menjalankan fungsinya.</p>
</blockquote>
<p>Untuk melihat apakah ide ini memang asli, atau setidaknya tidak dipatenkan, kami mencari pangkalan data online <em>United States Patent and Trademark Office</em> (Kantor Paten dan Merek Dagang AS) dan tidak menemukan paten dengan kata “sarung tangan” dan “fraktal.” Oleh karena itu, sarung tangan dengan pola pegangan fraktal yang fleksibel tersebut dapat dipatenkan.</p>
<p>Perlu dicatat bahwa ide ini dihasilkan secara independen oleh komputer, tanpa bantuan atau petunjuk manusia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="sepasang sarung tangan lateks ungu dengan pola fraktal karet bertitik di satu sisi" src="https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=594&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=594&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=594&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=746&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=746&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/499435/original/file-20221207-3544-tqmk5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=746&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Inilah prototipe dari tampilan sarung tangan fraktal seperti yang dibayangkan oleh teks Difusi Stabil untuk generator AI.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Lalu apa langkah selanjutnya?</h2>
<p>Selain mengubah aspek lain dari kehidupan manusia, tampaknya AI akan segera mengubah cara manusia menciptakan sesuatu. Kita perlu memikirkan dengan hati-hati bagaimana sistem inovasi beradaptasi dengan perubahan ini. AI dapat mengurangi waktu dan biaya yang terkait dengan penemuan, sekaligus meningkatkan kedalaman teknis penemuan.</p>
<p>Apakah kita memerlukan bentuk kekayaan intelektual baru untuk melindungi penemuan yang dibuat oleh sistem AI? Atau akankah kantor paten dibanjiri dengan aplikasi paten baru yang ditemukan dengan bantuan (atau oleh) AI?</p>
<p>Kenakan sarung tangan fraktal Anda dan bersiaplah untuk terkejut!</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/artificial-inventors-are-pushing-patent-law-to-its-limits-184047">Artificial 'inventors' are pushing patent law to its limits</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197007/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Toby Walsh menerima dana dari ARC melalui Laureate Fellowship.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Alexandra George tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada Lovelace mengatakan bahwa komputer tidak dapat menciptakan. Namun, seabad kemudian, Alan Turing menunjukkan mesin memiliki kapasitas untuk menghasilkan sesuatu yang mengejutkan dan inovatif.Toby Walsh, Professor of AI at UNSW, Research Group Leader, UNSW SydneyAlexandra George, Associate Professor in Law, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1961492022-12-13T03:42:05Z2022-12-13T03:42:05ZArtemis: mengapa ini mungkin menjadi misi luar angkasa terakhir yang melibatkan manusia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499641/original/file-20221207-27-9nqx18.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sebuah kamera yang dipasang di ujung salah satu sayap susunan surya kapsul Orion menangkap rekaman pesawat ruang angkasa dan Bulan.</span> <span class="attribution"><span class="source">NASA</span></span></figcaption></figure><p>Neil Armstrong <a href="https://theconversation.com/anthill-presents-to-the-moon-and-beyond-119435">mengambil “satu langkah kecil” bersejarahnya</a> di Bulan pada tahun 1969. Hanya tiga tahun kemudian, astronot Apollo terakhir meninggalkan Bulan. Sejak itu, ratusan astronot telah diluncurkan ke luar angkasa terutama ke <a href="https://theconversation.com/international-space-station-how-nasa-plans-to-destroy-it-and-the-dangers-involved-177374">Stasiun Luar Angkasa Internasional</a> yang mengorbit Bumi. Faktanya, tidak ada yang mengambil risiko dengan pergi lebih dari beberapa ratus kilometer dari Bumi.</p>
<p>Namun, program Artemis yang dipimpin Amerika Serikat bertujuan untuk mengembalikan manusia ke Bulan pada dekade ini – dengan <a href="https://theconversation.com/artemis-1-maiden-flight-of-spacecraft-set-to-take-humans-back-to-the-moon-heres-what-needs-to-go-right-189081">Artemis 1</a> yang sedang dalam perjalanan kembali ke Bumi dan mengelilingi Bulan sebagai bagian dari penerbangan uji pertamanya.</p>
<p>Perbedaan paling relevan antara era Apollo dan pertengahan 2020-an adalah adanya peningkatan luar biasa dalam daya komputer dan robotika. Selain itu, persaingan negara adidaya tidak lagi dapat membenarkan pengeluaran besar-besaran pada misi luar angkasa, seperti yang terjadi dalam persaingan Perang Dingin dengan Uni Soviet. Dalam buku terbaru kami, “<a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674257726">The End of Astronauts</a>,” Saya dan <a href="https://www.planetary.org/profiles/donald-goldsmith">Donald Goldsmith</a> berpendapat bahwa perubahan ini melemahkan proyek luar angkasa.</p>
<p>Misi Artemis menggunakan <a href="https://theconversation.com/spacex-vs-nasa-who-will-get-us-to-the-moon-first-heres-how-their-latest-rockets-compare-154199">Sistem Peluncuran Luar Angkasa</a> NASA terbaru, yang merupakan roket paling kuat yang pernah ada, dengan desain yang mirip dengan roket Saturn V yang mengirim sejumlah astronot Apollo ke Bulan. Seperti pendahulunya, penguat Artemis menggabungkan hidrogen cair dan oksigen untuk menciptakan daya angkat yang sangat besar sebelum jatuh ke laut, dan tidak akan pernah digunakan lagi. Oleh karena itu, setiap peluncuran diperkirakan menelan biaya antara US$2 miliar (Rp19 miliar) dan US$4 miliar (Rp76 miliar).</p>
<p>Ini membedakan Artemis dari kompetitornya, yaitu misi “<a href="https://theconversation.com/spacex-starship-prototype-exploded-but-its-still-a-giant-leap-towards-mars-152022">Starship</a>” milik SpaceX yang memungkinkan perusahaan untuk memulihkan dan kembali menggunakan tahap pertama. </p>
<h2>Manfaat robotika</h2>
<p>Kemajuan dalam eksplorasi robot ditunjukkan oleh rangkaian penjelajah di Mars, di mana <a href="https://theconversation.com/mars-perseverance-rover-set-for-nail-biting-landing-heres-the-rocket-science-154886">Perseverance</a>, prospektor terbaru NASA, dapat mengemudi sendiri melalui medan berbatu hanya dengan panduan terbatas dari Bumi. Perbaikan dalam sensor dan kecerdasan buatan (AI) selanjutnya akan memungkinkan robot-robot tersebut untuk mengidentifikasi situs yang sangat menarik dan kemudian mengumpulkan sampel untuk kembali ke Bumi.</p>
<p>Dalam satu atau dua dekade mendatang, penjelajahan robotik di permukaan Mars hampir sepenuhnya dapat dilakukan secara otonom, dengan bantuan minim dari manusia. Demikian pula, proyek rekayasa – seperti impian para astronom untuk membangun teleskop radio besar di sisi jauh Bulan yang bebas dari gangguan Bumi – tidak lagi memerlukan campur tangan manusia. Proyek semacam ini dapat sepenuhnya dikonstruksi oleh robot.</p>
<p>Tidak seperti astronot yang membutuhkan tempat tinggal memadai saat ditugaskan untuk tujuan konstruksi, robot dapat secara permanen menetap di tempat kerja mereka. Selain itu, penggunaan robot juga dapat memangkas biaya dan meningkatkan keamanan jika penambangan tanah bulan dan asteroid untuk bahan-bahan langka telah layak secara ekonomi. </p>
<p>Robot juga dapat menjelajahi Jupiter, Saturnus, dan bulan-bulannya yang sangat beragam dengan hanya memerlukan sedikit biaya tambahan karena tantangan yang dihadapi robot dalam perjalanan yang dilakukan selama beberapa tahun lebih sedikit daripada perjalanan enam bulan ke Mars. Beberapa bulan <a href="https://theconversation.com/nasa-considers-sending-swimming-robots-to-habitable-ocean-worlds-of-the-solar-system-186228">sebenarnya dapat menampung kehidupan</a> di lautan bawah permukaan.</p>
<p>Mengirim manusia ke daerah tersebut bukanlah ide yang baik karena manusia dapat mencemarinya dengan mikroba-mikroba dari Bumi.</p>
<h2>Mengelola risiko</h2>
<p>Para astronot Apollo merupakan pahlawan. Mereka berani menerima risiko tinggi dan mendorong teknologi hingga batasnya. Sebagai perbandingan, perjalanan singkat ke Bulan pada tahun 2020-an, meskipun program Artemis menelan biaya US$90 miliar (Rp1.4 triliun), akan tampak sebagai proyek yang rutin dilakukan.</p>
<p>Membangkitkan antusiasme publik berskala Apollo membutuhkan sesuatu yang lebih ambisius, seperti pendaratan Mars. Namun misi seperti itu, termasuk persediaan dan roket untuk perjalanan pulang pergi, dapat menelan biaya hingga satu triliun dolar bagi NASA. Pengeluaran sebesar ini patut dipertanyakan di tengah krisis iklim dan kemiskinan di Bumi. Harga yang tinggi adalah hasil dari <em>“safety culture”</em> (“budaya keselamatan”) yang dikembangkan oleh NASA dalam beberapa tahun terakhir sebagai tanggapan atas sikap publik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Gambar peluncuran Artemis-1." src="https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=222&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=222&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=222&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=279&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=279&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/496777/original/file-20221122-25-upk150.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=279&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Peluncuran Artemis-1.</span>
<span class="attribution"><span class="source">NASA</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal ini mencerminkan trauma dan penundaan program akibat <a href="https://theconversation.com/thirty-years-on-what-the-challenger-disaster-meant-for-our-race-into-space-53194">Bencana Pesawat Luar Angkasa</a> pada tahun 1986 dan 2003, yang masing-masing menewaskan tujuh warga sipil di dalamnya. Meski demikian, pesawat ulang-alik yang memiliki keseluruhan 135 peluncuran ini memiliki tingkat kegagalan di bawah dua persen. Tidak realistis untuk mengharapkan tingkat kegagalan serendah ini untuk perjalanan kembali ke Mars, mengingat misi tersebut akan berlangsung selama dua tahun penuh.</p>
<p>Astronot juga membutuhkan lebih banyak “pemeliharaan” daripada robot – perjalanan dan operasi permukaan mereka membutuhkan udara, air, makanan, ruang hidup, dan perlindungan terhadap radiasi berbahaya, terutama dari badai matahari.</p>
<p>Sudah cukup besar untuk perjalanan ke Bulan, perbedaan biaya antara perjalanan manusia dan robot akan tumbuh jauh lebih besar untuk perjalanan jangka panjang. Selain memiliki risiko yang jauh lebih besar bagi para astronot, perjalanan ke Mars, yang ratusan kali lebih jauh dari Bulan, juga membuat dukungan darurat jauh lebih tidak memungkinkan. Bahkan orang-orang yang antusias dengan astronot menerima fakta bahwa perjalanan berawak pertama ke Mars masih harus menunggu hingga hampir dua dekade ke depan.</p>
<p>Pasti akan ada para pencari sensasi dan petualang yang bersedia untuk menerima risiko yang jauh lebih tinggi. Di masa lalu, beberapa orang <a href="https://www.forbes.com/sites/jonathanocallaghan/2019/02/11/goodbye-mars-one-the-fake-mission-to-mars-that-fooled-the-world/?sh=2ba08e852af5">bahkan telah mendaftar</a> untuk rencana perjalanan satu arah. </p>
<p>Ini menandakan perbedaan utama antara era Apollo dan saat ini: munculnya sektor teknologi luar angkasa pribadi yang kuat, yang sekarang telah mencakup penerbangan luar angkasa manusia. Perusahaan sektor swasta sekarang bersaing dengan NASA, dengan perjalanan berisiko tinggi dengan harga yang lebih rendah ke Mars, dibiayai oleh miliarder dan sponsor swasta, dan dapat diawaki oleh sukarelawan yang bersedia. Pada akhirnya, publik dapat bersorak untuk para petualang pemberani ini tanpa perlu membayar mereka.</p>
<p>Mengingat bahwa penerbangan luar angkasa manusia di luar orbit rendah kemungkinan besar akan dialihkan sepenuhnya ke misi yang didanai swasta yang siap menerima risiko tinggi, patut dipertanyakan apakah proyek Artemis bernilai miliaran dolar NASA adalah cara yang baik untuk menggunakan uang pemerintah. Artemis pada akhirnya lebih cenderung menjadi misi terakhir NASA, bukan awal dari era Apollo baru.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196149/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Martin Rees tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Misi Artemis-1 sedang dalam perjalanan kembali ke Bumi setelah berhasil menyelesaikan penerbangan perdananya.Martin Rees, Emeritus Professor of Cosmology and Astrophysics, University of CambridgeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1939182022-11-05T11:11:49Z2022-11-05T11:11:49ZApakah sistem kecerdasan buatan benar-benar memiliki bahasa rahasia sendiri?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/493373/original/file-20221103-20-j4cfq5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://giannisdaras.github.io/publications/Discovering_the_Secret_Language_of_Dalle.pdf">Giannis Daras / DALL-E</a></span></figcaption></figure><p>Model kecerdasan buatan atau <em>Artificial Intelligence</em> (AI) generasi baru dapat menghasilkan gambar “kreatif” sesuai permintaan berdasarkan perintah teks. Sistem seperti <a href="https://imagen.research.google/">Imagen</a>, <a href="https://github.com/midjourney/docs">MidJourney</a>, dan <a href="https://openai.com/dall-e-2/">DALL-E 2</a> mulai <a href="https://theconversation.com/robots-are-creating-images-and-telling-jokes-5-things-to-%20tahu-tentang-fondasi-model-dan-generasi-berikutnya-dari-ai-181150">mengubah cara konten kreatif dibuat</a> dengan implikasi untuk hak cipta dan kekayaan intelektual.</p>
<p>Walaupun keluaran dari model-model ini umumnya menarik perhatian, sulit untuk mengetahui secara pasti cara mereka menghasilkan hasilnya. Baru-baru ini, para peneliti di Amerika Serikat membuat klaim menarik bahwa model DALL-E 2 mungkin telah menemukan bahasa rahasianya sendiri untuk berbicara tentang banyak objek.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1531693093040230402"}"></div></p>
<p>Dengan meminta DALL-E 2 untuk membuat gambar yang berisi teks keterangan dan kemudian memasukkan teks (dengan gaya <em>gibberish</em> atau cara bicara merepet) yang dihasilkan kembali ke sistem, para peneliti menyimpulkan bahwa DALL-E 2 menganggap <em>Vicootes</em> berarti “<a href="https://twitter.com/giannis_daras/status/1531693096458592256">sayuran</a>,” sedangkan <em>Wa ch zod rea</em> mengacu pada “<a href="https://twitter.com/giannis_daras/status/1531693104821985280">makhluk laut yang mungkin dimakan paus</a>.”</p>
<p>Klaim-klaim ini memang menarik, dan jika benar, dapat memiliki implikasi keamanan dan interpretasi yang penting untuk model AI besar semacam ini. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi?</p>
<h2>Apakah DALL-E 2 memiliki bahasa rahasia?</h2>
<p>DALL-E 2 mungkin tidak memiliki “bahasa rahasia.” Mungkin lebih akurat untuk mengatakan bahwa DALL-E 2 memiliki <a href="https://twitter.com/rctatman/status/1531727125589508097">kosa kata sendiri</a>. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti.</p>
<p>Pertama-tama, sangat sulit untuk memverifikasi klaim apapun tentang <a href="https://theconversation.com/robots-are-creating-images-and-telling-jokes-5%20-hal-hal-untuk-tahu-tentang-fondasi-model-dan-generasi-berikutnya-dari-ai-181150">DALL-E 2 dan model AI besar lainnya</a> pada tahap ini karena hanya ada sedikit peneliti dan praktisi kreatif yang memiliki akses ke sana. Setiap gambar yang dibagikan secara publik (di Twitter misalnya) sebaiknya tidak sepenuhnya dipercaya karena gambar tersebut telah diseleksi oleh manusia dari antara banyak gambar keluaran yang dihasilkan oleh AI.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/robots-are-creating-images-and-telling-jokes-5-things-to-know-about-foundation-models-and-the-next-generation-of-ai-181150">Robots are creating images and telling jokes. 5 things to know about foundation models and the next generation of AI</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bahkan orang-orang yang memiliki akses hanya dapat menggunakan model ini secara terbatas. Misalnya, pengguna DALL-E 2 dapat membuat atau memodifikasi gambar, tetapi tidak (belum) dapat berinteraksi dengan sistem AI lebih dalam, misalnya dengan memodifikasi kode di balik layar. Ini berarti “<a href="https://theconversation.com/when-self-driving-cars-crash-whos-responsible-courts-and-insurers-need-to-know-whats-inside-the-black-%20box-180334">metode AI yang dapat dijelaskan</a>” untuk memahami cara kerja sistem ini tidak dapat diterapkan. Selain itu, menyelidiki perilaku mereka secara sistematis merupakan sebuah tantangan tersendiri.</p>
<h2>Lalu apa yang terjadi?</h2>
<p>Satu kemungkinan adalah frasa “gibberish” (cara bicara merepet) terkait dengan kata-kata dari bahasa non-Inggris. Misalnya, <em>Apoploe</em>, yang tampaknya membuat gambar burung, mirip dengan bahasa Latin <a href="https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Apodidae&redirect=no"><em>Apodidae</em></a>, yang adalah nama binomial dari keluarga spesies burung.</p>
<p>Ini merupakan penjelasan yang cukup masuk akal. Misalnya, DALL-E 2 dilatih tentang berbagai macam data yang diambil dari internet yang mencakup banyak kata non-Inggris.</p>
<p>Hal serupa pernah terjadi sebelumnya: model AI bahasa alami yang besar secara kebetulan <a href="https://arxiv.org/abs/2108.07732">belajar menulis kode komputer</a> tanpa pelatihan yang disengaja.</p>
<h2>Apakah ini semua tentang token?</h2>
<p>Satu hal yang mendukung teori ini adalah fakta bahwa model bahasa AI tidak membaca teks seperti yang kita lakukan. Sebagai gantinya, mereka memecah teks input menjadi “token” sebelum memprosesnya.</p>
<p><a href="https://towardsdatascience.com/byte-pair-encoding-subword-based-tokenization-algorithm-77828a70bee0">Pendekatan “tokenisasi” yang berbeda</a> memiliki hasil yang juga berbeda. Memperlakukan setiap kata sebagai tanda tampak seperti pendekatan intuitif, tetapi ini menyebabkan masalah ketika tanda yang identik memiliki arti yang berbeda, seperti “<em>match</em>” yang berarti hal yang berbeda ketika kita bermain tenis (pertandingan) dan ketika kita menyalakan api (korek api).</p>
<p>Di sisi lain, memperlakukan setiap karakter sebagai token menghasilkan lebih sedikit kemungkinan token, tetapi masing-masing menyampaikan informasi yang tidak cukup bermakna.</p>
<p>DALL-E 2 (dan model lainnya) menggunakan pendekatan di antara yang disebut <a href="https://www.drdobbs.com/a-new-algorithm-for-data-compression/184402829">byte-pair encoding</a> (BPE) atau pengkodean pasangan byte. Memeriksa representasi BPE untuk beberapa kata yang menunjukkan ini dapat menjadi faktor penting dalam memahami “bahasa rahasia.”</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1532579141542850560"}"></div></p>
<h2>Bukan keseluruhan gambar</h2>
<p>“Bahasa rahasia” juga dapat menjadi contoh dari prinsip “sampah masuk, sampah keluar.” DALL-E 2 tidak dapat mengatakan “Saya tidak tahu apa yang kamu bicarakan.” Akibatnya, itu akan selalu menghasilkan beberapa jenis gambar dari teks input yang diberikan.</p>
<p>Bagaimanapun juga, tidak satu pun dari opsi ini dapat menjadi penjelasan lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi. Misalnya, menghapus karakter individu dari kata-kata <em>gibberish</em> tampaknya <a href="https://twitter.com/AlexGDimakis/status/1532152322863812611">merusak gambar yang dihasilkan dengan cara yang sangat spesifik</a>. Selain itu, tampaknya ini tidak selalu digabungkan untuk menghasilkan <a href="https://twitter.com/raphaelmilliere/status/1531736484671369221">gambar majemuk yang koheren</a> (seperti yang akan terjadi jika benar-benar ada “bahasa” rahasia di balik sistem AI).</p>
<h2>Mengapa ini penting</h2>
<p>Di luar keingintahuan intelektual, kita mungkin bertanya-tanya jika semua ini benar-benar penting.</p>
<p>Jawabannya adalah iya. “Bahasa rahasia” DALL-E adalah contoh “serangan musuh” terhadap sistem pembelajaran mesin: sebuah cara untuk mematahkan perilaku sistem yang dimaksudkan dengan sengaja memilih input yang tidak ditangani dengan baik oleh AI.</p>
<p>Salah satu alasan serangan musuh menjadi mengkhawatirkan adalah karena mereka menantang kepercayaan kita pada model. Jika AI menafsirkan kata-kata <em>gibberish</em> dengan cara yang tidak diinginkan, AI mungkin juga menafsirkan kata-kata yang bermakna dengan cara yang tidak disengaja.</p>
<p>Serangan musuh juga meningkatkan masalah keamanan. DALL-E 2 memfilter teks masukan untuk mencegah pengguna menghasilkan konten yang berbahaya atau kasar, tetapi “bahasa rahasia” dari kata-kata <em>gibberish</em> mungkin memungkinkan pengguna untuk menghindari filter ini.</p>
<p>Penelitian terbaru telah menemukan “<a href="https://www.ericswallace.com/triggers">frasa pemicu</a>” yang bertentangan untuk beberapa model AI bahasa – frasa <em>gibberish</em> pendek seperti “zoning tapping fiennes” yang dapat dengan andal memicu model untuk memuntahkan konten rasis, berbahaya, atau bias. Penelitian ini adalah bagian dari upaya berkelanjutan untuk <a href="https://arxiv.org/abs/2204.06974">memahami dan mengontrol</a> cara sistem pembelajaran mendalam yang kompleks belajar dari data.</p>
<p>Terakhir, fenomena seperti “bahasa rahasia” DALL-E 2 meningkatkan masalah interpretasi. Kami mengharapkan model ini untuk berperilaku seperti yang diharapkan manusia, tetapi melihat keluaran yang terstruktur tersebut sebagai respons terhadap gibberish mengacaukan harapan ini.</p>
<h2>Menyoroti kekhawatiran yang ada</h2>
<p>Anda mungkin ingat keributan pada tahun 2017 atas beberapa bot obrolan Facebook yang “<a href="https://www.bbc.com/news/technology-40790258">menciptakan bahasa mereka sendiri</a>.” Situasi yang terjadi saat ini serupa dengan hasil yang sama-sama mengkhawatirkan – tetapi tidak dalam arti “Skynet akan mengambil alih dunia”.</p>
<p>Sebaliknya, “bahasa rahasia” DALL-E 2 menyoroti kekhawatiran yang ada tentang ketahanan, keamanan, dan kemampuan interpretasi <a href="https://theconversation.com/au/topics/deep-learning-8331">sistem pembelajaran mendalam</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/when-self-driving-cars-crash-whos-responsible-courts-and-insurers-need-to-know-whats-inside-the-black-box-180334">When self-driving cars crash, who's responsible? Courts and insurers need to know what's inside the 'black box'</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kita tidak akan dapat benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi sampai sistem ini tersedia secara lebih luas – dan khususnya, sampai pengguna dari latar belakang budaya non-Inggris yang lebih luas dapat menggunakannya.</p>
<p>Namun, saat ini, jika kamu ingin mencoba membuat beberapa gambar AI Anda sendiri, kamu dapat melihat model lebih kecil yang tersedia secara gratis, yaitu <a href="https://huggingface.co/spaces/dalle-mini%20/dalle-mini">DALL-E mini</a>. Berhati-hatilah dengan kata-kata yang kamu gunakan (baik Bahasa Inggris atau <em>gibberish</em> – ini adalah pilihan Anda).</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/193918/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aaron J. Snoswell tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>‘Vicootes’, ‘wa ch zod rea,’ dan untaian gibberish lainnya tampaknya memiliki arti khusus untuk model kecerdasan buatan yang canggih. Apa yang terjadi di sini?Aaron J. Snoswell, Post-doctoral Research Fellow, Computational Law & AI Accountability, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1299862020-01-20T07:33:37Z2020-01-20T07:33:37ZKini kecerdasan buatan AI dapat membaca emosi manusia, mengapa kita perlu waspada?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/310624/original/file-20200117-118323-1j3yjyx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Teknologi pengenalan emosi, sebuah perkembangan teknologi pengenalan wajah, terus berkembang dengan cepat.</span> <span class="attribution"><span class="source">Steve Jurvetson/flickr, CC BY-SA</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Dalam <a href="https://ainowinstitute.org/reports.html">laporan tahunannya</a>, <em>AI Now Institute</em>, sebuah pusat penelitian interdisipliner yang mempelajari implikasi sosial dari kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>), menyerukan larangan teknologi yang dirancang untuk mengenali emosi manusia dalam kasus-kasus tertentu. </p>
<p>Secara khusus, para peneliti mengatakan <a href="https://www.washingtonpost.com/business/2019/07/31/emotion-detection-ai-is-billion-industry-new-research-says-it-cant-do-what-it-claims/">teknologi pengenalan afek</a>, atau biasa disebut juga teknologi pengenalan emosi, tidak boleh digunakan dalam pengambilan keputusan yang “mempengaruhi kehidupan dan akses peluang seseorang”, seperti pengambilan keputusan dalam merekrut seseorang atau penilaian rasa sakit, karena teknologi ini <a href="https://www.bbc.com/news/technology-50761116">tidak cukup akurat</a> dan dapat menyebabkan keputusan yang bias.</p>
<p>Apa sebenarnya teknologi ini, bagian mana saja yang sudah digunakan dan dipasarkan, dan mengapa teknologi ini menimbulkan kekhawatiran?</p>
<h2>Perkembangan teknologi pengenalan wajah</h2>
<p>Para peneliti telah aktif bekerja pada algoritme visi komputer yang dapat menentukan emosi dan niat manusia, begitu pula dengan membuat kesimpulan lainnya, setidaknya selama satu dekade ini. Analisis ekspresi wajah <a href="https://doi.org/10.1109/JPROC.2003.817122">telah ada setidaknya sejak 2003</a>.</p>
<p>Komputer telah mampu memahami emosi <a href="https://mitpress.mit.edu/books/affective-computing">bahkan jauh lebih lama lagi</a>. Teknologi terbaru ini bergantung pada teknik data-sentris yang disebut sebagai “pembelajaran mesin” (<em>machine learning</em>), sebuah algortime yang dapat memproses data untuk “dipelajari” bagaimana membuat keputusan untuk mencapai hasil teknologi pengenalan yang lebih akurat.</p>
<h2>Tantangan dalam membaca emosi</h2>
<p>Para peneliti selalu mencari cara untuk melakukan hal-hal baru dengan mempelajari apa yang telah diteliti sebelumnya. Pengenalan emosi sangat menarik karena, entah bagaimana, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25492258">kita sebagai manusia dapat mencapai hal ini dengan cukup baik bahkan sejak dulu</a>. Namun kemampuan meniru keterampilan manusia dengan menggunakan komputer masih sulit dicapai. </p>
<p>Meskipun sangat mungkin komputer melakukan beberapa hal yang sangat luar biasa dengan gambar, seperti <a href="https://junyanz.github.io/CycleGAN/">menyesuaikan sebuah foto menjadi terlihat seperti digambar oleh seorang seniman terkenal</a> dan bahkan <a href="https://medium.com/@susanne.lundkvist/creating-faces-with-generative-adversarial-networks-gan-12c61f2ae28d">membuat foto wajah realistis</a> (belum lagi membuat foto <a href="https://www.popularmechanics.com/technology/security/a28691128/deepfake-technology/"><em>deepfake</em></a>), kemampuan komputer untuk menyimpulkan sifat manusia seperti emosi dari sebuah foto asli selalu menjadi hal menarik bagi para peneliti.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/9iQiGpSmQ74?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Mengenali emosi orang dengan komputer memiliki potensi untuk sejumlah aplikasi positif, seorang peneliti yang sekarang bekerja di Microsoft menjelaskannya.</span></figcaption>
</figure>
<p>Emosi sangat sulit dibaca karena cenderung bergantung pada konteks. Misalnya, ketika seseorang sedang berkonsentrasi pada sesuatu, <a href="https://www.cl.cam.ac.uk/techreports/UCAM-CL-TR-636.pdf#page=150">mungkin akan tampak sesederhana mereka sedang berpikir</a>. Pengenalan <a href="https://paperswithcode.com/paper/facenet-a-unified-embedding-for-face">wajah telah lama</a> menggunakan pembelajaran mesin, namun mengidentifikasi keadaan emosi seseorang murni berdasarkan dengan melihat wajah seseorang kerap gagal menangkap informasi penting. </p>
<p>Emosi tidak hanya diekspresikan melalui ekspresi seseorang tapi juga diperlihatkan dari keberadaan seseorang dan apa yang sedang ia lakukan. Tanda-tanda kontekstual ini sulit untuk dimasukkan ke dalam algoritme pembelajaran mesin modern. Untuk mengatasi ini, ada upaya aktif yang dilakukan untuk <a href="https://www.darpa.mil/about-us/darpa-perspective-on-ai">meningkatkan teknik kecerdasan buatan yang dapat mempertimbangkan konteks</a>, tidak lagi hanya untuk pengenalan emosi tapi juga digunakan untuk semua jenis aplikasi. </p>
<h2>Membaca emosi pegawai</h2>
<p><a href="https://ainowinstitute.org/AI_Now_2019_Report.pdf#page=50">Laporan yang dirilis oleh <em>AI Now</em></a> menyoroti beberapa cara penerapan kecerdasan buatan pada tenaga kerja dalam mengevaluasi produktivitas pegawai dan bahkan digunakan pada tahap awal seperti tahap wawancara. Menganalisis rekaman wawancara, terutama untuk pencari kerja jarak jauh, <a href="https://techcrunch.com/2019/04/23/the-robot-recruiter-is-coming-vcvs-ai-will-read-your-face-in-a-job-interview/">sudah lama digunakan</a>. </p>
<p>Jika seorang manajer dapat memahami emosi bawahannya dari wawancara hingga tingkat evaluasi produktivitas, pengambilan keputusan terkait masalah ketenagakerjaan lain, seperti kenaikan gaji, promosi, atau penugasan, mungkin dapat dipengaruhi oleh informasi tersebut. Tentu, teknologi ini dapat digunakan untuk cara-cara lainnya.</p>
<h2>Mengapa ada kekhawatiran?</h2>
<p>Jenis-jenis sistem ini hampir selalu memiliki kelemahan dari sisi keadilan, akuntabilitas, transparansi, dan etis (biasa disingkat “FATE”), <a href="https://phys.org/news/2019-01-emotion-reading-tech-racial-bias.html">yang telah tertanam dalam pencocokan pola mereka</a>. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan bahwa algoritme pengenalan wajah menilai <a href="https://theconversation.com/emotion-reading-tech-fails-the-racial-bias-test-108404">wajah orang berkulit hitam lebih marah dibandingkan orang berkulit putih</a>), bahkan ini terjadi ketika mereka tersenyum.</p>
<p><a href="https://www.microsoft.com/en-us/research/group/fate">Banyak kelompok penelitian sedang mencoba mengatasi masalah ini</a> meski tampaknya dengan jelas pada titik ini masalah tidak dapat diselesaikan pada tingkat teknologi. Masalah-masalah tentang FATE dalam kecerdasan buatan akan membutuhkan upaya berkelanjutan dan dilakukan bersama oleh pihak-pihak yang menggunakan teknologi ini untuk sadar akan permasalahan yang ada dan mengatasinya. </p>
<p><a href="https://ainowinstitute.org/AI_Now_2019_Report.pdf#page=20">Seperti yang disoroti laporan <em>AI Now</em></a>, “Meskipun terdapat peningkatan konten etika kecerdasan buatan, prinsip dan pernyataan etika jarang sekali berfokus pada bagaimana etika kecerdasan buatan dapat diterapkan dan apakah bekerja efektif.” </p>
<p>Laporan tersebut mencatat bahwa pernyataan etika kecerdasan buatan sebagian besar mengabaikan pertanyaan bagaimana, di mana, dan siapa yang akan menerapkan pedoman tersebut. Pada kenyataannya, kemungkinan setiap orang harus menyadari jenis bias dan kelemahan yang dimiliki sistem ini, sama seperti dengan bagaimana kita harus menyadari bias kita sendiri dan bias orang lain.</p>
<h2>Masalah mengenai larangan teknologi berlapis</h2>
<p>Keakuratan yang lebih tinggi dan kemudahan dalam pemantauan membawa masalah lain di luar etika. Ada juga sejumlah masalah privasi terkait teknologi umum, mulai dari <a href="https://www.vox.com/recode/2019/10/8/20903536/amazon-ring-doorbell-civil-rights-police-partnerships">menjamurnya kamera yang berfungsi membantu polisi</a> hingga <a href="https://medium.com/luminovo/data-privacy-in-machine-learning-a-technical-deep-dive-f7f0365b1d60">kamera yang berpotensi membuat data sensitif menjadi anonim</a>.</p>
<p>Dengan masalah etika dan privasi ini, reaksi umum yang mungkin adalah dengan menyerukan larangan pada teknik-teknik ini. Tentu saja, menerapkan kecerdasan buatan untuk hasil wawancara atau <a href="https://theconversation.com/why-big-data-analysis-of-police-activity-is-inherently-biased-72640">prosedur penghukuman pidana</a> tampaknya berbahaya jika sistem tersebut bias dan tidak dapat diandalkan. </p>
<p>Namun ada bentuk penerapan yang berguna, misalnya dalam <a href="https://www.theatlantic.com/technology/archive/2019/07/google-partners-lgbt-suicide-prevention-nonprofit/593821/">membantu mengidentifikasi tanda berbahaya untuk mencegah bunuh diri di kalangan remaja</a> dan <a href="http://web.cse.ohio-state.edu/%7Exuan.3/papers/10_perhealth_dtbsx.pdf">dalam mendeteksi pengemudi yang mabuk</a>. Itulah salah satu alasan mengapa, bahkan para peneliti, pembuat aturan, dan warga negara yang peduli akan hal ini, pada umumnya berhenti meminta larangan berlapis atas penggunaan teknologi yang berkaitan dengan kecerdasan buatan. </p>
<h2>Mengkombinasikan kecerdasan buatan dengan penilaian manusia</h2>
<p>Pada akhirnya, perancang teknologi dan masyarakat secara keseluruhan perlu melihat dengan saksama bagaimana informasi dari sistem kecerdasan buatan dilibatkan ke dalam proses pengambilan keputusan. Sistem ini dapat memberikan hasil yang salah sama seperti bentuk kecerdasan lainnya. </p>
<p>Tidak berbeda dengan manusia, <a href="https://www.cv-foundation.org/openaccess/content_cvpr_2015/papers/Nguyen_Deep_Neural_Networks_2015_CVPR_paper.pdf">mereka juga terkenal buruk</a> dalam menilai tingkat kepercayaan mereka sendiri bahkan dalam tugas-tugas sederhana seperti <a href="http://www.doi.org/10.1109/CVPR.2015.7298640">kemampuan mengenali objek</a>. Tentu masih ada tantangan teknis yang signifikan dalam membaca emosi, terutama <a href="https://www.pnas.org/content/pnas/early/2019/02/26/1812250116.full.pdf">dalam mempertimbangkan konteks untuk menyimpulkan emosi</a>. </p>
<p>Jika orang-orang mengandalkan sistem yang tidak akurat dalam membuat keputusan, pengguna sistem akan menjadi jauh lebih buruk. Kita juga tahu bahwa <a href="https://www.oracle.com/corporate/pressrelease/robots-at-work-101519.html">manusia cenderung lebih mempercayai sistem ini ketimbang figur otoritas lainnya</a>. </p>
<p>Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat perlu mempertimbangkan dengan saksama sisi keadilan, akuntabilitas, transparansi, dan etika sistem ini, baik dalam proses perancangan maupun penerapannya di masyarakat. Kita juga harus selalu menempatkan manusia sebagai pembuat keputusan akhir.</p>
<p><em>Rizki Nur Fitriansyah menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129986/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Christoffer Heckman receives funding from the Defense Advanced Research Projects Agency and the National Science Foundation.</span></em></p>Perancang teknologi dan masyarakat perlu melihat dengan saksama bagaimana informasi dari sistem kecerdasan buatan digunakan dalam proses pengambilan keputusan.Christoffer Heckman, Assistant Professor of Computer Science, University of Colorado BoulderLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1295542020-01-16T05:07:59Z2020-01-16T05:07:59ZEkonomi digital turut berperan dalam memperburuk krisis iklim. Ini kata ahli<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/309335/original/file-20200109-80122-19jm61n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1880%2C1252&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pusat data dunia memproduksi jumlah karbon yang sama dengan emisi yang dikeluarkan oleh penerbangan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Pexels)</span></span></figcaption></figure><p>Perkembangan dunia modern membawa keuntungan ekonomi digital pada manusia dalam beberapa dekade terakhir ini. Namun, belum banyak yang mengungkap dampak buruk jejak karbon ekonomi digital. </p>
<p>Contohnya, ponsel pintar kita sangat tergantung dari <a href="https://www.acs.org/content/acs/en/education/resources/highschool/chemmatters/past-issues/archive-2014-2015/smartphones.html">bahan baku yang semakin langka</a>, <a href="https://www.tech-pundit.com/wp-content/uploads/2013/07/Cloud_Begins_With_Coal.pdf">sistem penyimpanan digital, pusat data, kecerdasan buatan, dan uang elektronik</a>, semuanya menghabiskan banyak energi listrik yang berasal dari <a href="https://www.iea.org/geco/electricity/">pembakaran batubara</a>.</p>
<p>Ini tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang, namun harus dipahami apabila ingin mencapai potensi ekonomi digital yang maksimal. </p>
<p>Perkembangan digital ekonomi dan pertumbuhan ekonomi hijau <a href="https://www.pgionline.com/wp-content/uploads/2019/11/PGI-The-Digital-Economy-and-the-Green-Economy-Compatible-Agendas-final..pdf">tidak bisa berjalan bersamaan</a> tanpa ada aksi dengan sistem menyeluruh. Ini justru meningkatkan emisi gas rumah kaca, memperburuk krisis iklim dan mengancam kemanusiaan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-to-make-computers-faster-and-climate-friendly-101229">How to make computers faster and climate friendly</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Belum ada definisi universal dari ekonomi digital, namun secara umum kita bisa memahami kegiatan tersebut sebagai aktivitas ekonomi yang menghasilkan uang dari koneksi daring antar individu, bisnis, gawai, data dan proses, mulai dari <em>online banking</em>, memesan taksi, hingga media sosial. </p>
<p>Kita sering memahami ekonomi digital sebagai <a href="https://doi.org/10.1146/annurev.soc.29.010202.100037">pengetahuan ekonomi</a>, masyarakat informasi, atau <a href="https://future.internetsociety.org/2017/introduction-drivers-of-change-areas-of-impact/drivers-of-change/the-internet-economy/">ekonomi internet</a>.</p>
<p>Bentuk ini sangat bergantung pada data dan sudah banyak memberikan manfaat terhadap masyarakat, contohnya seperti <a href="https://www.thelancet.com/journals/landig/article/PIIS2589-7500(19)30123-2/fulltext">diagnosis medis</a>.</p>
<h2>Batubara masih sumber utama internet</h2>
<p>Teknologi modern – dari tablet, ponsel pintar, televisi, hingga mobil listrik - sangat tergantung kepada <a href="https://www.americangeosciences.org/critical-issues/faq/what-are-rare-earth-elements-and-why-are-they-important">material langka dari Bumi</a>.</p>
<p>Cina merupakan produsen terbesar bahan langka ini di dunia dan mampu memenuhi <a href="https://www.nrcan.gc.ca/our-natural-resources/minerals-mining/minerals-metals-facts/rare-earth-elements-facts/20522">hampir 70% kebutuhan global per tahunnya</a>.</p>
<p>Namun, proses produksi skala untuk ekstraksi logam di Cina menimbulkan masalah lain, yaitu <a href="https://e360.yale.edu/features/china-wrestles-with-the-toxic-aftermath-of-rare-earth-mining">pencemaran air, udara dan tanah dengan logam berat dan material radioaktif</a>. </p>
<p>Sebuah riset tentang penilaian siklus hidup (<em>life-cycle assessment</em>) dari logam langka tersebut menunjukkan bahwa <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fenrg.2014.00045/full">proses ekstraksi jauh dari ramah lingkungan</a>, memakan banyak energi, dan melepaskan emisi radioaktif. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/304151/original/file-20191127-112539-162irh0.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Data pendahuluan (p) tentang produksi logam langka di dunia, dari tahun 1988 hingga 2018.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.nrcan.gc.ca/our-natural-resources/minerals-mining/minerals-metals-facts/rare-earth-elements-facts/20522">(_Natural Resources Canada_, 2019)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.tech-pundit.com/wp-content/uploads/2013/07/Cloud_Begins_With_Coal.pdf">Jasa penyimpanan daring (dan dunia digital) sangat bergantung kepada batubara</a> karena lalu lintas digital membutuhkan infrastruktur fisik yang terdistribusi luas dan mengkonsumsi listrik.</p>
<p>Batubara merupakan sumber utama listrik dunia sekaligus <a href="https://www.usatoday.com/story/news/nation/2019/03/26/climate-change-coal-still-king-global-carbon-emissions-soar/3276401002/">kontributor utama krisis iklim</a>. Cina dan Amerika Serikat merupakan penghasil utama batubara di dunia.</p>
<h2>Boros energi</h2>
<p>Pusat-pusat data dunia yang merupakan gudang informasi <a href="https://www.independent.co.uk/environment/global-warming-data-centres-to-consume-three-times-as-much-energy-in-next-decade-experts-warn-a6830086.html">menghabiskan sekitar 3% dari suplai listrik dunia</a>.</p>
<p>Sebagai perbandingan, konsumsi tersebut lebih besar dari kebutuhan listrik Inggris dan <a href="https://www.theguardian.com/environment/2015/sep/25/server-data-centre-emissions-air-travel-web-google-facebook-greenhouse-gas">menghasilkan 2% dari emisi gas rumah kaca global</a>, kurang lebih sama dengan emisi penerbangan global.</p>
<p>Laporan <em>Greeenpeace</em> Asia Timur dan <em>North China Electric Power University</em> menjelaskan bahwa pusat data di Cina memproduksi <a href="https://secured-static.greenpeace.org/eastasia/PageFiles/299371/Powering%20the%20Cloud%20_%20English%20Briefing.pdf">99 juta ton CO2 di tahun 2018</a>, atau setara dengan jumlah emisi 21 juta mobil yang dikemudikan selama 1 tahun.</p>
<p>Selain emisi gas rumah kaca, kita juga patut khawatir terhadap limbah elektronik. Limbah ini merupakan sisa atau produk samping dari aktivitas pusat data, yang mencakup 2% limbah kering dan 70% limbah beracun di Amerika Serikat.</p>
<p>Secara global, dunia memproduksi kurang lebih 50 juta ton limbah elektronik per tahun, bernilai US$62.5 milliar. Jumlah ini lebih tinggi dari PDB sebagian besar negara di dunia.</p>
<p>Ironisnya, <a href="https://www.unenvironment.org/news-and-stories/press-release/un-report-time-seize-opportunity-tackle-challenge-e-waste">hanya 20 persen dari limbah ini yang didaur ulang</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/304828/original/file-20191202-66982-14irpwd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tambang <em>bitcoin</em>.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://arxiv.org/pdf/1906.02243.pdf">Sebuah penelitian terbaru</a> menemukan bahwa pelatihan model kecerdasan buatan skala besar – dengan cara menyuplai data jumlah besar ke sistem komputer dan bertanya tentang prediksi – bisa melepaskan 284 ton CO2. </p>
<p>Jumlah ini 5 kali lebih besar dari rata-rata emisi mobil Amerika selama masa pakai mereka.</p>
<p>Hasil ini juga menunjukkan bahwa ada masalah jejak karbon dalam pengembangan kecerdasan buatan.</p>
<p>Masalah lain adalah <em>Bitcoin</em> dan jenis uang digital lain, yang sangat bergantung pada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=r43LhSUUGTQ"><em>blockchain</em></a>, atau sebuah jurnal digital tanpa otoritas yang mencatat rekam transaksi antar komputer.</p>
<p>Jumlah energi yang diperlukan untuk memproduksi sebuah <em>Bitcoin</em> bernilai 1 dolar AS bernilai <a href="https://doi.org/10.1038/s41893-018-0152-7">dua kali lebih besar dari energi yang dibutuhkan untuk menambang tambang, emas, dan platinum</a> dengan nilai yang sama.</p>
<p>Sebuah <a href="http://karlodwyer.com/publications/pdf/bitcoin_KJOD_2014.pdf">studi di tahun 2014</a> membuktikan konsumsi energi <em>Bitcoin</em> setara dengan negara Irlandia. </p>
<p>Teknologi <em>blockchain</em> selayaknya <em>Bitcoin</em> sangat mengonsumsi energi. Pengembangan teknologi serupa di masa depan harus bisa <a href="https://plu.mx/a/27i7NaFCNwoDgu_IpFXfLoEhqBfoHvH52iZJ_r9rRnY">memberikan perhatian lebih terhadap aspek lingkungan jika tidak ingin memperparah krisis iklim yang terjadi</a>.</p>
<h2>Pola pikir baru</h2>
<p>Ekonomi digital bertumbuh dengan cepat ketimbang gerakan ekonomi hijau yang menghambat dampak negatif dari kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, kita perlu memiliki pola pikir baru dalam menghadapi isu ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/304829/original/file-20191202-67028-1he2qvu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gambar satelit tambang Bayan Obo di Cina, tanggal 30 Juni 2006. Vegetasi dilambangkan dengan warna merah, tanah rumput dengan cokelat muda, bebatuan berwarna hitam, dan permukaan air dengan warna hijau.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(_NASA Earth Observatory_)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Segala sesuatu berkaitan di dunia ini, sehingga kita pun harus meningkatkan kesadaran tentang situasi ini, mulai dari membangun <a href="https://www.weforum.org/agenda/2019/09/systems-leadership-can-change-the-world-but-what-does-it-mean/">sistem kepemimpinan</a> (yang lintas batas), <a href="https://www.ellenmacarthurfoundation.org/circular-economy/concept">mendorong ekonomi sirkuler</a> (mengurangi ketergantungan terhadap aktivitas ekonomi yang mengonsumsi sumber daya tak terbarukan), melakukan pendekatan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/416909.Eco_Economy">ekonomi yang ramah lingkungan</a>, serta menuntut pembuat kebijakan untuk menjelajah kemungkinan <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/13103046-a-new-synthesis-of-public-administration">kerjasama antar pemerintah dan berbagai institusi sosial lain</a>.</p>
<p>Manusia juga perlu mempertimbangkan penyelesaian masalah kolektif melalui kerja sama antara Negara Utara maupun Negara Selatan. </p>
<p>Kita juga perlu membuat <a href="http://e-space.mmu.ac.uk/622932/">daftar kerusakan akibat alat elektronik, platform digital, dan sistem data</a>, dan menempatkan isu digital ekonomi serta dampak lingkungan yang ditimbulkan ke dalam definisi sosial yang lebih luas. </p>
<p>Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk melanjutkan diskusi ini mungkin dengan mengangkat sebuah pertanyaan: apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai kehidupan manusia yang berkelanjutan?</p>
<p>Jangan tanyakan apa yang ekonomi digital bisa lakukan untuk kita, tapi tanyakanlah apa yang bisa kita lakukan untuk mengembangkan ekonomi digital yang tetap berwawasan lingkungan.</p>
<p><em>Stefanus Agustino Sitor menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p>
<hr>
<p><em>Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di <a href="https://theconversation.com/id/newsletters/sepekan-lingkungan-66">sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129554/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Raynold Wonder Alorse menerima dana dari Public Governance International (PGI) untuk riset ini, dan Social Sciences and Humanities Research Council (SSHRC) of Canada untuk program doktoralnya. Raynold menjabat sebagai Dewan Direktur dan Ketua Komite Advokasi untuk Pusat Komunitas Nepean, Rideau dan Osgoode (NROCRC), sebuah organisasi nirlaba yang memfokuskan pelayanan terhadap populasi rentan di Ottawa, termasuk kaum muda, manula, anak kecil, dan pendatang baru di Kanada. </span></em></p>Ekonomi digital semakin bertumbuh, demikian juga dengan emisi gas rumah kaca, sampah eletronik, dan polusi yang berasal dari industri tersebut.Raynold Wonder Alorse, PhD Candidate in International Relations (International Political Economy of Mining), Queen's University, OntarioLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1202912019-07-17T06:08:22Z2019-07-17T06:08:22ZRobot perlu belajar dari anak-anak agar bisa merawat orang tua mereka pada usia senja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/284041/original/file-20190715-173334-1j3hnhs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4045%2C2054&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak cerdas melawan iCub. iCub mempelajari cara anak bermain.</span> <span class="attribution"><span class="source">Sandy Spence</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><p>Tidak lama lagi, robot mungkin akan berada di rumah untuk merawat orang tua dan membantu mereka hidup mandiri. Untuk melakukannya, mereka harus belajar bagaimana melakukan semua pekerjaan kecil yang mungkin bisa kita lakukan tanpa berpikir. Banyak sistem kecerdasan buatan atau <em>(Artificial Intelligence)</em> (AI) modern dilatih untuk melakukan tugas tertentu dengan menganalisis ribuan gambar dari tindakan yang dilakukan. Meskipun teknik ini membantu menyelesaikan masalah yang semakin kompleks, teknik yang dimaksud masih fokus pada tugas yang sangat spesifik dan untuk melatihnya dibutuhkan banyak waktu dan tenaga.</p>
<p>Jika robot ingin dibuat agar membantu kita merawat orang tua, maka berbagai masalah yang akan ditemui. Selama sehari, robot mungkin diharapkan melakukan segalanya mulai dari membuat secangkir teh hingga mengganti tempat tidur sambil mengajak obrol. Ini semua adalah tugas yang menantang dan akan lebih menantang ketika dilakukan bersamaan. </p>
<p>Kondisi rumah tiap orang berbeda-beda, yang berarti robot harus belajar dengan cepat dan beradaptasi dengan lingkungannya. Misalnya benda-benda yang Anda butuhkan tidak akan selalu ditemukan di tempat yang sama. Robot harus berpikir keras untuk menemukan mereka.</p>
<p>Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah mengembangkan robot yang mampu belajar seumur hidup dan dapat menyimpan pengetahuan berdasarkan pengalaman, dan mencari cara untuk beradaptasi dan menerapkannya pada masalah baru. Setelah belajar membuat secangkir teh, keterampilan yang sama bisa diterapkan untuk membuat kopi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280697/original/file-20190621-61743-17r9tqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Melipat handuk - tidak semudah itu dilakukan bila Anda adalah robot.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/robotic-arm-holds-terry-towels-bar-1286298154?src=2KWq8p8yNaGVkxYt5OLBcw-1-4&studio=1">Tanja Esser/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Agen pembelajaran terbaik yang diketahui para ilmuwan adalah pikiran manusia, yang mampu belajar sepanjang hidupnya. Manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta memecahkan berbagai masalah setiap hari. </p>
<p>Melihat bagaimana manusia belajar dapat membantu mengembangkan robot yang berinteraksi secara alami, hampir seperti kita berinteraksi dengan orang lain.</p>
<h2>Simulasi perkembangan seorang anak</h2>
<p>Pertanyaan pertama yang diajukan ketika mulai membuat model manusia adalah dari mana harus memulainya? <a href="https://theconversation.com/uk/topics/alan-turing-2078">Alan Turing</a>, ahli matematika dan pemikir terkenal tentang kecerdasan buatan <a href="https://academic.oup.com/mind/article/LIX/236/433/986238">pernah berkata</a>:</p>
<blockquote>
<p>Alih-alih mencoba membuat program untuk mensimulasikan pikiran orang dewasa, mengapa tidak mencoba membuat program yang mensimulasikan anak? Jika program ini kemudian diberikan program pendidikan yang tepat, kita akan mendapatkan otak orang dewasa.</p>
</blockquote>
<p>Dia menganalogikan otak anak dengan buku catatan kosong yang dapat diisi melalui pendidikan untuk mengembangkan “sistem” dewasa yang cerdas. Tetapi berapa usia anak manusia yang harus dicoba oleh para ilmuwan untuk dijadikan model dan dipasang pada robot? Jenis pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan robot untuk pengembangan awal?</p>
<p>Bayi yang baru lahir sangat terbatas dalam melakukan dan merasakan berbagai hal. Kekuatan otot di leher bayi tidak cukup untuk menopang kepala dan mereka belum belajar mengendalikan lengan dan anggota badan mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=437&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280699/original/file-20190621-61767-1q9x5h9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=549&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kemampuan bayi yang baru lahir terbatas karena kondisi tubuh mereka, tapi ini membantu mereka fokus pada peningkatan kinerja tugas-tugas kecil secara bertahap.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/new-born-baby-boy-resting-mothers-663728050?src=OzwG6NCaqUhTAnenzgOhGw-1-5&studio=1">KieferPix/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Memulainya ketika manusia berusia nol bulan mungkin terlihat sangat terbatas untuk robot, tapi keterbatasan fisik pada bayi sebenarnya membantunya untuk fokus pada sekelompok kecil masalah, seperti belajar mengkoordinasikan matanya dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Langkah-langkah ini membentuk tahap awal bagi bayi untuk membangun model tubuhnya sendiri, sebelum mencoba memahami dunia yang kompleks di sekitarnya.</p>
<p>Kami memberikan serangkaian keterbatasan kepada robot dengan mengunci berbagai sendi agar tidak dapat digerakkan untuk mensimulasikan tidak adanya kontrol otot. Kami juga menyesuaikan gambar dari penglihatan kamera robot untuk “melihat” dunia layaknya bayi yang baru lahir, yakni dengan memiliki pandangan yang jauh lebih buram daripada orang dewasa. Daripada memberi tahu robot cara bergerak, kita bisa membiarkannya menemukan caranya sendiri. Manfaatnya, saat kalibrasi berubah seiring waktu, atau saat anggota tubuh rusak, robot akan dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut dan terus beroperasi.</p>
<h2>Belajar melalui permainan</h2>
<p>Studi kami menunjukkan bahwa dengan menerapkan batasan-batasan ini pada robot, robot tidak hanya menjadi lebih cepat menyerap pengetahuan dan cepat belajar keterampilan baru, tapi juga pada <a href="https://link.springer.com/article/10.2478/s13230-013-0103-y">lebih akurat dari apa yang dipelajari</a>.</p>
<p>Ketika kita menghilangkan batasannya, misalnya dengan memberikan kemampuan kepada robot untuk lebih bisa mengontrol persendiannya dan meningkatkan penglihatannya, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1059712307082085">robot dapat mengontrol kecepatan pembelajarannya sendiri</a>. Dengan mengangkat batasan ketika robot dalam proses pembelajaran, kita dapat mensimulasikan pertumbuhan otot pada bayi dan memungkinkan robot menjadi dewasa dengan kecepatannya sendiri.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fnbot.2014.00001/full">Kami memodelkan bagaimana seorang bayi belajar</a> dan mensimulasikan 10 bulan pertama pertumbuhan. Ketika robot mempelajari korelasi antara gerakan motorik yang mereka buat dan informasi sensorik yang mereka terima, perilaku stereotip yang diamati pada bayi, seperti ketika anak-anak menatap tangan mereka dengan lama sambil digerakkan, juga terlihat dalam perilaku robot.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/280702/original/file-20190621-61747-1pddboe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anak-anak belajar melalui permainan. Robot bisa belajar dengan cara yang sama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/asian-boy-about-2-year-5-1170468457?src=BeLiJI5uoN1xqGyTiDoWDA-1-9&studio=1">BonNontawat/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika robot belajar untuk mengkoordinasikan tubuhnya sendiri, proses penting berikutnya adalah mulai memahami dunia di sekitarnya. <a href="https://www.frontiersin.org/research-topics/5527/modeling-play-in-early-infant-development#overview">Bermain adalah bagian utama dari pembelajaran anak</a>. Ini membantu mereka menjelajahi lingkungan mereka, menguji berbagai kemungkinan, dan mempelajari hasilnya.</p>
<p>Mungkin berawal dari sesuatu yang sederhana seperti membenturkan sendok ke meja, atau mencoba untuk meletakkan berbagai benda di mulut, tapi perilaku ini dapat berkembang menjadi aktivitas membangun menara balok, mencocokkan bentuk, atau memasukkan benda ke lubang yang benar. Semua kegiatan ini membangun pengalaman yang akan memberikan landasan bagi keterampilan di kemudian hari, seperti menemukan kunci yang tepat untuk dimasukkan ke dalam kunci dan keterampilan motorik halus untuk memasukkan kunci ke dalam lubang kunci kemudian memutarnya.</p>
<p>Ke depannya, membangun teknik-teknik ini dapat memberi robot sarana untuk belajar dan beradaptasi dengan lingkungan dan tantangan kompleks yang diterima manusia dalam kehidupan sehari-hari. Suatu hari nanti, ini bisa berarti adanya pengasuh robot yang menyesuaikan dengan kebutuhan manusia dan mampu memenuhi kebutuhan mereka sebagai manusia lain.</p>
<p><em>Las Asimi Lumban Gaol menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120291/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Patricia Shaw menerima dana dari Engineering and Physical Sciences Research Council. Ia adalah anggota BCS.</span></em></p>Mengajarkan robot untuk merawat kita di usia senja akan menjadi bagian dari permainan anak.Patricia Shaw, Lecturer in Computer Science, Aberystwyth UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1128722019-03-21T05:32:26Z2019-03-21T05:32:26ZBagaimana AI dapat mempelajari bahasa manusia untuk mempermudah hidup kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/264333/original/file-20190318-28471-1v2qevm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C667&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Chatbot sebagai salah satu implementasi aplikasi algoritma mesin pembelajaran.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Di balik kemudahan teknologi digital yang kita gunakan sehari-sehari seperti mesin penerjemahan, <em>e-mail</em>, <em>search engine</em>, dan <em>chatbot</em> (misalnya Siri, Alexa, Google Assistant) ada kompleksitas mesin yang mampu menampilkan data, kata, gambar, dan video dalam hitungan milidetik. Di balik teknologi tersebut, kata, kalimat, dan bahasa menjadi kuncinya. Bagaimana mesin mempelajari linguistik manusia?</p>
<p>Jawabannya adalah <em>artificial intelligence</em> (AI). Teknologi AI merupakan salah satu teknologi masa depan yang dapat mengubah industri bersamaan dengan teknologi “<em>mobile</em>”, “<em>Internet of Things</em>”, dan “<em>cloud</em>”. </p>
<p>Seperti namanya, teknologi AI atau kecerdasan buatan ini mampu membuat komputer dapat bertindak atau mengambil keputusan seperti manusia. Salah satu bagian dari AI adalah bidang <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Natural_language_processing"><em>natural language processing</em> (NLP)</a> atau pemrosesan bahasa alami. Teknologi NLP ini yang memungkinkan komputer dapat memahami dan mensintesis teks yang ditulis dalam bahasa manusia.</p>
<p>Meski istilah NLP belum banyak dikenal masyarakat luas, sebenarnya masyarakat pengguna internet sudah sangat sering menggunakan teknologi NLP ini. Bukan hanya aplikasi <em>chatbot</em> yang memang merupakan salah satu target utama dari teknologi NLP, teknologi NLP terdapat juga dalam berbagai aplikasi yang digunakan sehari-hari. </p>
<p>Salah satu yang sering digunakan adalah <em>search engine</em>, <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/A:1009950525500">seperti Google, Bing atau Yahoo</a>. Jika kita ingin mencari informasi tertentu, kita cukup menuliskan kata kunci di <em>search engine</em> dan dalam hitungan milidetik, <em>search engine</em> akan menampilkan artikel-artikel yang relevan. </p>
<p>Teknologi NLP lainnya yang sering digunakan adalah mesin penerjemahan otomatis (<a href="https://dl.acm.org/citation.cfm?id=5616"><em>machine translation</em></a>), seperti Google <em>translate</em>. Fitur ini sering digunakan baik pada saat membaca atau memahami sebuah teks, atau bahkan pada saat menulis teks dalam bahasa tertentu. Selain <em>chatbot</em>, <em>search engine</em> dan <em>machine translation</em>, teknologi NLP juga sering digunakan dalam penyaring email/<em>short message service</em>(SMS) <em>spam</em>, pengoreksi teks otomatis, pemeriksa plagiarism, dan perekomendasi buku (contohnya pada Amazon).</p>
<h2>Mesin penjawab otomatis dan penelisik sentimen</h2>
<p>Saat ini, di Indonesia, semakin banyak industri yang memahami manfaat dari penggunaan teknologi NLP ini. Dua jenis teknologi NLP yang banyak digunakan industri di Indonesia adalah <em>chatbot</em> dan media monitoring. </p>
<p><a href="https://arxiv.org/abs/1711.01731">Chatbot</a> adalah teknologi NLP yang mampu melayani percakapan dengan pengguna secara otomatis. Sistem ini berusaha memahami masukan dari pengguna baik berupa teks maupun suara, dan kemudian memberikan respons sesuai dengan kalimat masukan pengguna. Banyak industri yang mulai menggunakan <em>chatbot</em> untuk berbagai fungsi sederhana, seperti memberikan informasi terkait perusahaan atau pemesanan layanan perusahaan tersebut. </p>
<p>Media monitoring <a href="https://arxiv.org/abs/1801.07883"><em>analisis sentimen</em></a> adalah aplikasi yang menggunakan teknologi NLP untuk membantu mengambil informasi khusus dari berbagai pendapat yang tersebar di media sosial. Untuk menjadi yang terdepan pada sebuah bisnis, perusahaan memerlukan <em>feedback</em> dari pelanggannya. Saat media sosial belum berkembang, <em>feedback</em> ini diperoleh melalui survei yang diisi pelanggan. </p>
<p>Namun dengan berkembangnya penggunaan media sosial, informasi berupa pendapat pelanggan ini dapat diperoleh melalui media sosial. Kelebihan penggunaan media sosial dibandingkan survei adalah ketepatan pendapat yang bisa berubah dalam rentang waktu tertentu, kesimpulan dapat diperoleh lebih cepat, dan biaya yang lebih murah.</p>
<p>Salah satu teknologi NLP yang banyak digunakan pada aplikasi media monitoring adalah klasifikasi sentimen, teknologi untuk kategorisasi sebuah pendapat pelanggan menjadi positif atau negatif secara otomatis. Dengan klasifikasi sentimen, kita dapat mengetahui jumlah pendapat positif atau negatif terhadap sebuah produk atau layanan perusahaan secara otomatis. Gambar di bawah ini adalah contoh hasil dari klasifikasi sentimen.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=187&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=187&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=187&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=235&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=235&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/261832/original/file-20190304-110137-1bdn3ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=235&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Contoh hasil dari klasifikasi sentimen dengan mesin pembelajaran bahasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author Provided</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Bagaimana mereka bekerja?</h2>
<p>Pada dasarnya, strategi teknik yang sering digunakan dalam membangun teknologi NLP ini dapat dibagi menjadi dua <a href="https://www.amazon.com/Speech-Language-Processing-Daniel-Jurafsky/dp/0131873210">teknik pemrosesan NLP</a>, yaitu (1) strategi berbasis aturan yang secara manual dituliskan oleh manusia (<em>rule based technique</em>) atau (2) strategi berbasis aturan yang secara otomatis diperoleh dari data (<em>statistical based technique</em> atau <em>machine learning based technique</em>). </p>
<p>Teknik pertama digunakan jika aturan-aturan tersebut mudah dituliskan. Dalam aplikasi penyaring <em>SMS spam</em>, misalnya, teknik pertama diimplementasikan oleh teknisi data dengan cara menuliskan kata-kata filter yang digolongkan sebagai <em>spam</em>. Contoh kata penanda <em>spam</em>: (1) selamat Anda mendapatkan, (2) butuh pinjaman?, (3) mari berlangganan dengan… dan lainnya. Dalam konteks ini dibuat aturan bahwa jika sebuah pesan pendek mengandung lebih dari 5 kata penanda <em>spam</em>, maka pesan tersebut dapat dinyatakan sebagai informasi sampah. </p>
<p>Kelemahan dari teknik pertama ini adalah tidak akurat untuk menangani masalah yang kompleks, misalnya pola struktur kalimat yang rumit atau terdapat <em>unknown word</em> (kata yang tidak terdapat pada daftar kata). Hal ini yang mendorong berkembangnya teknik kedua, <em>machine learning based technique</em>. Dalam teknik ini, berbagai aturan (termasuk daftar kata penting) diperoleh secara otomatis melalui data. </p>
<p>Langkah pertama bagi para saintis untuk menggunakan teknik berbasis <em>machine learning</em> adalah membuat data latih. Data latih yang berkualitas merupakan salah satu kunci keberhasilan sebuah aplikasi NLP. Berikut adalah contoh data latih untuk klasifikasi <em>spam</em>: </p>
<blockquote>
<p>“Ini mama, kartu telpon mama hilang, jadi pakai nomor ini. Tolong kirim pulsa ke nomor ini” → ditandai sebagai “SMS spam”.</p>
<p>“Kak, bisa kirim pulsa ke mama, ini udah mau habis, Mama perlu telpon kakak” → ditandai sebagai “SMS bukan spam”.</p>
</blockquote>
<p>Setelah data latih terbangun, selanjutnya saintis menggunakan algoritme <em>machine learning</em> untuk mengambil daftar kata penting dan aturan lainnya dari data latih tersebut secara otomatis. </p>
<p>Berbagai algoritme <em>machine learning</em> tradisional dapat digunakan seperti <a href="http://dataaspirant.com/2017/01/30/how-decision-tree-algorithm-works/"><em>decision tree</em></a>, <a href="http://pyml.sourceforge.net/doc/howto.pdf">SVM</a>, dan <a href="https://arxiv.org/abs/1603.02754">XGBoost</a>. Algoritme tersebut telah dikembangkan para ahli statistik dan ilmu komputer. Selain itu juga digunakan algoritme <em>deep learning</em>, yakni pengembangan dari algoritme <em>neural network</em>. Algoritme <em>deep learning</em> ini telah dibuktikan oleh banyak penelitian memiliki kinerja yang lebih baik daripada menggunakan algoritme <em>machine learning</em> tradisional. </p>
<p>Dalam teknik yang berbasis <em>machine learning</em>, data latih yang berkualitas (data dalam bentuk kata/kalimat) memiliki peran penting dalam membangun model yang akurat. Untuk pendekatan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-540-28650-9_5"><em>unsupervised learning</em></a> (data latih tanpa label), data latih dapat dengan mudah dikumpulkan karena tidak memerlukan pelabelan khusus. Maksudnya, sistem atau peneliti belum sempat melabelkan apakah satu kata/kalimat tersebut <em>spam</em> atau tidak, misalnya dalam kasus <em>SMS spam</em>. </p>
<p>Namun untuk pendekatan <a href="https://dl.acm.org/citation.cfm?id=1566773"><em>supervised learning</em></a> (data latih dengan label) seperti contoh klasifikasi <em>SMS spam</em>, penyiapan data latih yang berkualitas memerlukan upaya khusus. Ketersediaan data latih ini menjadi masalah tersendiri di Indonesia. </p>
<p>Saat ini, para peneliti Indonesia di bidang ilmu komputer mengumpulkan data latih masing-masing. Belum terdapat data latih untuk NLP bahasa Indonesia dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 2016, dibentuk <a href="http://inacl.id/inacl/">Indonesian Association for Computational Linguistics (INACL)</a> atau disebut juga Masyarakat Linguistik Komputasi Indonesia (MALKIN), yang salah satu tujuannya adalah untuk membangun data bahasa Indonesia yang dapat mendorong kemajuan penelitian NLP Indonesia. </p>
<p>Jika berbagai data latih berbahasa Indonesia ini sudah mencukupi, penelitian NLP Indonesia akan maju, mendorong berbagai produk NLP bahasa Indonesia sehingga urusan hidup kita akan makin mudah dilayani oleh mesin-mesin kecerdasan buatan.</p>
<hr>
<p><em>Muhammad Gaffar berkontribusi dalam penulisan artikel ini</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112872/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Purwarianti merupakan anggota INACL (Indonesian Association for Computational Linguistics).</span></em></p>Teknologi yang kita pakai sehari-hari seperti mesin penerjemah, e-mail, search engine, memerlukan teknologi kecerdasan buatan berbasis bahasa, bagaimana teknologi tersebut bekerja?Ayu Purwarianti, Dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1132902019-03-18T09:28:09Z2019-03-18T09:28:09ZAlgoritme bantu pelaku bisnis online untuk tetapkan harga yang tinggi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/263810/original/file-20190314-28499-1qfppaj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C34%2C5760%2C3794&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/portrait-angry-beautiful-young-woman-wearing-1279989073?src=L5O2zW8U5jBNTZG1MHcCcQ-1-27">Dean Drobot/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pernahkah Anda mencari sebuah produk di situs online pada pagi hari dan ketika mencarinya lagi pada malam hari harganya telah berubah? Anda mungkin telah menjadi korban sistem algoritme penjual online.</p>
<p>Secara tradisional ketika menentukan harga suatu produk, penjual mempertimbangkan nilai produk tersebut bagi pembeli dan berapa harga produk lain yang serupa, dan menetapkan apakah pembeli potensial sensitif terhadap perubahan harga. Tetapi di era digital ini, banyak hal telah berubah. Sistem algoritmelah yang menetapkan harga. Parahnya, sistem algoritme ini berkolusi dengan penjual untuk merugikan konsumen.</p>
<p>Awalnya, belanja online disebut-sebut memberikan manfaat bagi konsumen dengan memberikan mereka kesempatan untuk dapat dengan mudah membandingkan harga. Peningkatan persaingan ini akan memaksa penurunan harga seiring dengan meningkatnya jumlah pengecer. Tetapi <a href="https://www.researchgate.net/publication/318596610_Pricing_and_Revenue_Management">sistem penetapan harga manajemen pendapatan</a> memungkinkan pengecer online untuk menggunakan data pasar untuk memprediksi permintaan dan menetapkan harga yang sesuai untuk memaksimalkan keuntungan.</p>
<p>Sistem ini sangat populer di industri perhotelan dan pariwisata, terutama karena hotel memiliki biaya tetap, persediaan yang cepat rusak (makanan yang perlu dimakan sebelum menjadi busuk) dan tingkat permintaan yang berfluktuasi. Dalam kebanyakan kasus, sistem manajemen pendapatan memungkinkan hotel untuk menghitung tarif kamar ideal dengan cepat dan akurat menggunakan algoritme canggih, data kinerja masa lalu, dan data pasar saat ini. Tarif kamar kemudian dapat dengan mudah disesuaikan di mana pun mereka <a href="https://www.revfine.com/important-online-distribution-channels-hotels/">diiklankan</a>.</p>
<p>Sistem manajemen pendapatan ini telah menghasilkan sesuatu yang disebut dengan istilah “<a href="https://link.springer.com/article/10.1057/s41272-018-0147-z">penetapan harga dinamis</a>”. Istilah ini mengacu pada kemampuan penyedia online untuk secara instan mengubah harga barang atau jasa sebagai respons terhadap perubahan dalam penawaran dan permintaan, apakah itu produk yang tidak populer yang memenuhi gudang atau perjalanan dengan taksi online Uber yang tarifnya melonjak ketika larut malam. Oleh karenanya, konsumen saat ini menjadi lebih nyaman dengan gagasan bahwa harga online dapat dan memang seharusnya berfluktuasi, tidak hanya pada waktu penjualan, tetapi beberapa kali dalam satu hari.</p>
<p>Namun, <a href="https://mislove.org/publications/Amazon-WWW.pdf">program penetapan harga algoritmik</a> yang baru menjadi jauh lebih canggih daripada sistem yang lama karena perkembangan kecerdasan buatan. Manusia masih memainkan peran penting dalam sistem yang lama dengan menganalisis data yang dikumpulkan dan membuat keputusan akhir tentang harga. Tetapi sistem penetapan harga algoritmik sebagian besar bekerja sendiri.</p>
<p>Dengan cara yang sama perangkat pintar di rumah seperti misalnya <em>Amazon Echo</em> <a href="https://www.sas.com/en_gb/insights/analytics/machine-learning.html">mempelajari perilaku pengguna mereka</a> dari waktu ke waktu dan mengubah cara mereka beroperasi sesuai dengan penggunanya tersebut, program penetapan harga berdasarkan algoritme belajar melalui pengalaman pasar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=431&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/260418/original/file-20190222-195879-1fgxine.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=541&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Algoritma penetapan harga secara konstan memperhatikan toko online lainnya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/woman-shopping-clothes-online-731340991?src=R8prMHWFwoVBkoL_WEzAJw-1-19">Kaspar Grinvalds/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Algoritme tersebut mempelajari aktivitas toko online untuk mempelajari dinamika ekonomi pasar (bagaimana harga produk ditetapkan, pola konsumsi normal, tingkat penawaran dan permintaan). Tetapi mereka juga dapat secara tidak sengaja “berbicara” dengan program lainnya terus menerus untuk mengawasi penetapan harga dari penjual lain dan mempelajari harga yang pas di <a href="https://cepr.org/active/publications/discussion_papers/dp.php?dpno=13405">pasar</a>.</p>
<p>Algoritme ini tidak diprogram untuk memonitor algoritme lain. Tetapi mereka belajar bahwa cara tersebut adalah hal terbaik yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan mereka dalam memaksimalkan keuntungan. Hal ini menghasilkan <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2591874.36">kolusi harga yang tidak diinginkan</a>, yaitu harga ditetapkan dalam batas yang sangat dekat satu sama lain. Jika satu perusahaan menaikkan harga, sistem pesaing akan segera merespons dengan menaikkan harga mereka, menciptakan pasar yang berkolusi.</p>
<p>Memantau harga pesaing dan bereaksi terhadap perubahan harga adalah aktivitas normal dan legal untuk bisnis. Tetapi sistem penetapan harga algoritmik dapat melakukan hal ini secara berlebihan, menetapkan harga yang lebih tinggi daripada jika mereka berada dalam <a href="https://arxiv.org/pdf/1802.08061.pdf">pasar yang kompetitif</a> karena semuanya beroperasi dengan cara yang sama untuk memaksimalkan keuntungan.</p>
<p>Bagi perusahaan ini mungkin bagus, tetapi bagi konsumen yang harus membayar sama di mana pun mereka pergi, ini menjadi masalah, bahkan jika harga bisa lebih rendah. Pasar yang tidak kompetitif juga menghasilkan lebih sedikit inovasi, <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/443448/Productivity_and_competition_report.pdf">produktivitas yang lebih rendah</a>, dan akhirnya pertumbuhan ekonomi yang lebih sedikit.</p>
<h2>Apa yang dapat kita lakukan?</h2>
<p>Ini menimbulkan pertanyaan yang menarik. Jika para programmer telah (secara tidak sengaja) gagal mencegah kolusi ini terjadi, apa yang harus terjadi? Di sebagian besar negara, kolusi diam-diam (di mana perusahaan tidak berkomunikasi secara langsung satu sama lain) tidak dipandang sebagai kegiatan ilegal.</p>
<p>Namun, perusahaan dan pengembangnya masih dapat dianggap bertanggung jawab terhadap sistem algoritme ini karena sistem ini diprogram oleh manusia. <a href="http://europa.eu/rapid/press-release_IP-17-201_en.htm">Komisi Eropa ( European Comission)</a> telah memperingatkan bahwa meluasnya penggunaan sistem algoritme dalam menetapkan harga di e-commerce dapat menghasilkan harga yang sangat tinggi di seluruh pasar, dan perangkat lunak harus dibangun <a href="https://www.freshfields.com/globalassets/our-thinking/campaigns/digital/mediainternet/pdf/freshfields-digital---pricing-algorithms---the-digital-collusion-scenarios.pdf">untuk mencegah terjadinya kolusi</a>.</p>
<p>Tetapi selama algoritme diprogram untuk memberikan keuntungan sebesar mungkin, dan dapat belajar bagaimana melakukan ini secara mandiri, <em>programmer</em> mungkin tidak dapat mengatasi kolusi ini. Bahkan dengan beberapa pembatasan yang dilakukan, algoritme dapat belajar cara untuk mengatasinya ketika mereka mencari cara baru untuk memenuhi tujuan mereka.</p>
<p>Berusaha mengendalikan lingkungan pasar untuk mencegah pengawasan harga yang dilakukan secara sadar atau transparansi pasar juga akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan dan menciptakan masalah baru. Maka, kita perlu lebih memahami bagaimana mesin bekerja dan kemampuannya sebelum kita membuat peraturan baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/113290/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Graeme McLean tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kecerdasan buatan di balik situs web ritel telah mempelajari strategi terbaik untuk saling menyalin harga satu sama lain–dan mereka ‘berkolusi’ agar harganya tetap tinggi.Graeme McLean, Lecturer in Marketing, University of Strathclyde Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1109962019-02-05T10:26:47Z2019-02-05T10:26:47ZKecerdasan buatan: ini yang perlu Anda ketahui untuk memahami bagaimana mesin digital belajar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/256961/original/file-20190204-193209-x2jaop.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C616&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pembelajaran Mesin</span> <span class="attribution"><span class="source">Lauren T/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Berbagai contoh aplikasi kecerdasan buatan–dari <a href="https://www.ibm.com/watson/">pemenang <em>game</em> Jeopardy</a> dan <a href="https://deepmind.com/research/alphago/">komputer pemenang permainan Go</a> hingga isu <a href="https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/1301/1301.6822.pdf">ras pada penargetan iklan</a>–membuat kita merasa memasuki era kecerdasan buatan yang berkembang dengan pesat. Meski demikian, kehadiran makhluk dengan “otak” elektronik yang betul-betul sadar dan dapat melakukan berbagai pekerjaan kognitif yang rumit dan menggunakan penilaian moral yang adil, untuk saat ini, masih belum ada. </p>
<p>Sayangnya, perkembangan saat ini menciptakan sebuah ketakutan dalam masyarakat mengenai kecerdasan buatan pada masa depan. Gambaran dalam <a href="http://www.hbo.com/westworld">budaya pop baru-baru ini</a> menunjukkan betapa hati-hati serta pesimistiknya kita tentang teknologi. Masalahnya, ketakutan dapat menjatuhkan dan bahkan terkadang, memperluas kebodohan.</p>
<p>Mempelajari cara kecerdasan buatan bekerja adalah cara untuk menangkal kekhawatiran ini. Dan pengetahuan ini akan mendorong keterlibatan dengan kecerdasan buatan yang lebih bertanggung jawab dan tanpa banyak masalah.</p>
<p>Aspek utama dari kecerdasan buatan berakar dari pembelajaran mesin (<em>machine learning</em>), sebuah metode yang canggih dan dapat diakses secara luas. Tapi untuk memahami apa yang dimaksud pembelajaran mesin, pertama-tama kita perlu melihat bagaimana potensinya akan membawa keuntungan yang lebih besar dibanding kerugiannya.</p>
<h2>Data adalah kunci</h2>
<p>Sederhananya, pembelajaran mesin mengacu pada mengajarkan komputer untuk menganalisis data dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu melalui algoritme. Misalnya, untuk <a href="http://yann.lecun.com/exdb/mnist/">mengenali tulisan tangan</a>, algoritme klasifikasi digunakan untuk membedakan huruf berdasarkan tulisan tangan seseorang. Di sisi lain, kumpulan <a href="https://archive.ics.uci.edu/ml/datasets/Housing">data mengenai perumahan</a>, dapat menggunakan algoritme regresi untuk memprediksi secara kuantitatif harga jual properti suatu rumah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=254&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=254&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=254&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=319&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=319&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/157790/original/image-20170222-31164-nb9tpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=319&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Apa yang akan dikatakan mesin terhadap ini?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/jonk/13238807/">Jonathan Khoo/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jadi inti dari pembelajaran mesin adalah data. Hampir setiap perusahaan menghasilkan data dengan cara-caranya sendiri: misalnya riset pasar, dari media sosial, survei, atau dengan sistem yang otomatis. Pembelajaran mesin mencoba menemukan pola dan hubungan yang tersembunyi dari rumitnya kumpulan data yang besar untuk mengembangkan model yang dapat memprediksi suatu perilaku.</p>
<p>Terdapat dua komponen utama data–sampel dan fitur. Komponen pertama adalah data-data tunggal dari setiap kelompok; komponen terakhir adalah karakteristik yang dimiliki oleh kelompok data tersebut.</p>
<p>Mari kita gunakan media sosial sebagai contoh: pengguna adalah sampel dan perilaku penggunaan dapat dikategorikan sebagai fitur. Facebook, misalnya, memasukkan berbagai aktivitas “menyukai (<em>liking</em>)”, yang berbeda untuk setiap pengguna, sebagai fitur penting, yang akan digunakan sebagai target iklan kepada pengguna.</p>
<p>Data pertemanan di Facebook juga dapat digunakan sebagai sampel, sementara koneksi mereka satu sama lain bertindak sebagai fitur, hal ini <a href="https://lostcircles.com/">membentuk suatu jaringan</a> sehingga penyebaran informasi dapat dipelajari.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/155586/original/image-20170206-18261-1fkdy1r.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jaringan pertemanan Facebook saya: setiap titik adalah seorang teman yang mungkin terkoneksi dengan teman-teman lain. Semakin besar titiknya, maka semakin banyak koneksi yang seseorang punya. Warna yang sama menunjukkan lingkaran pertemanan yang sama.</span>
<span class="attribution"><span class="source">https://lostcircles.com/</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di luar media sosial, sistem otomatis yang digunakan dalam proses industri <a href="http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0098135416304033">sebagai alat monitoring</a> mengambil cuplikan dari keseluruhan proses sebagai sampel, dan pengukuran sensor pada waktu tertentu bertindak sebagai fitur. Hal ini memungkinkan sistem untuk mendeteksi anomali dalam proses secara langsung.</p>
<p>Semua teknik yang berbeda ini intinya bergantung bagaimana memberikan data ke mesin dan mengajarkan mesin tersebut untuk mencapai suatu prediksi setelah mereka menganalisis informasi yang diberikan secara strategis. Inilah pembelajaran mesin.</p>
<h2>Kecerdasan manusia sebagai titik awal</h2>
<p>Setiap data dapat dianalisis ke dalam konsep-konsep sederhana ini dan digunakan di berbagai aplikasi pembelajaran mesin, termasuk juga kecerdasan buatan, dengan menggunakan konsep-konsep ini sebagai pijakan dasarnya.</p>
<p>Setelah data dapat dipahami, selanjutnya adalah memutuskan apa yang akan dilakukan dengan informasi tersebut. Salah satu aplikasi pembelajaran mesin yang paling umum dan dapat dipahami adalah metode klasifikasi. Metode tersebut dapat mempelajari bagaimana mengelompokkan data di setiap kelompok yang berbeda berdasarkan data referensi.</p>
<p>Hal ini mirip dengan berbagai keputusan yang kita buat setiap harinya, seperti mengelompokkan produk yang serupa (seperti barang-barang dapur dan produk-produk kecantikan, misalnya), atau memilih film yang bagus untuk ditonton berdasarkan pengalaman sebelumnya. Walau dua contoh ini mungkin tampak tidak ada hubungannya, keduanya bergantung pada konsep dari metode klasifikasi: prediksi didefinisikan sebagai mengelompokkan pada kategori yang tepat.</p>
<p>Ketika melihat suatu botol pelembab kulit, kita biasanya mempertimbangkan daftar fitur-fitur tertentu (misalnya, bentuk botol, atau aroma produk tersebut) untuk memprediksi–secara akurat–bahwa itu adalah produk kecantikan. Strategi yang sama digunakan untuk memilih film dengan melihat fitur-fitur yang ada (misalnya, sutradara, atau aktor) untuk memprediksi apakah film tersebut berada dalam salah satu dari dua kategori: baik atau buruk.</p>
<p>Dengan memahami hubungan antara fitur-fitur yang berbeda yang saling terkait dengan kelompok sampel, kita dapat memperkirakan apakah sebuah film layak ditonton atau, lebih bagus lagi, kita dapat membuat <a href="http://fastml.com/real-time-interactive-movie-recommendation/">sebuah program untuk melakukan hal tersebut</a> untuk kita.</p>
<p>Tapi bukankah untuk dapat menganalisis informasi ini, kita perlu menjadi ahli ilmu data, pakar matematika dan statistik, dengan keterampilan pemrograman yang cukup untuk membuat ahli matematika dan komputer Inggris <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Alan_Turing">Alan Turing</a> dan ahli komputer Amerika Serikat <a href="https://www.nasa.gov/feature/margaret-hamilton-apollo-software-engineer-awarded-presidential-medal-of-freedom">Margaret Hamilton</a> kagum pada kita? Tidak juga. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=360&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=360&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=360&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=452&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=452&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/157788/original/image-20170222-31148-7fxlck.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=452&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kamu tidak harus menjadi Alan Turing untuk menggunakan mesin pembelajaran.</span>
<span class="attribution"><span class="source">CyberHades/Flickr</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Contohnya begini, walau hanya sedikit dari kita yang terlibat kedalam ilmu linguistik dan sastra, kita semua punya pengetahuan yang cukup mengenai bahasa asli kita sehingga kita bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik. Matematika juga begitu; kita menggunakan matematika setiap saat, ketika menghitung perbedaan harga saat membeli sesuatu atau menghitung bahan yang dibutuhkan untuk membuat suatu resep. Dan itu tidak sulit. Begitu juga dengan pembelajaran mesin. Menguasai pembelajaran mesin bukan suatu persyaratan untuk dapat menggunakannya secara sadar dan efektif.</p>
<p>Tentu, terdapat ilmuwan data yang sangat berkualitas dan ahli di luar sana, tapi dengan sedikit usaha, siapapun dapat mempelajari dasar-dasarnya dan meningkatkan peluang bagaimana kita melihat dan menggunakan informasi.</p>
<h2>Algoritme kita tersendiri</h2>
<p>Kembali ke algoritme klasifikasi, mari pikirkan satu contoh yang meniru bagaimana cara kita mengambil keputusan. Karena manusia adalah makhluk sosial, mari kita ambil contoh interaksi sosial. Kesan pertama terhadap seseorang cukup penting. Dan kita semua memiliki perhitungan internal tersendiri untuk mengevaluasi seseorang yang kita temui pertama kali, apakah kita menyukainya atau tidak.</p>
<p>Ada dua hasil yang mungkin: kesan baik atau buruk. Untuk setiap orang, karakteristik yang berbeda (fitur) diperhitungkan (bahkan secara tidak sadar) berdasarkan jumlah pertemuan di masa lalu (sampel). Karakteristik ini bisa berupa apa saja, dimulai dari nada suara hingga tindakan serta sikap secara keseluruhan hingga sopan santun.</p>
<p>Untuk setiap orang baru yang kita temui, perhitungan internal di kepala kita mengevaluasi data masukan tersebut dan menetapkan prediksi. Kita dapat memecah model perhitungan tersebut untuk setiap data masukan, lalu menimbang mereka berdasarkan relevansi hingga sampai pada kesimpulan kita. </p>
<p>Bagi sebagian orang, daya tarik mungkin sangat penting, sedangkan bagi orang lain selera humor yang baik atau menjadi pendengar yang baik lebih penting. Setiap orang akan mengembangkan perhitungan internalnya tersendiri, yang sepenuhnya bergantung pada pengalaman, atau datanya.</p>
<p>Data yang berbeda menghasilkan model perhitungan yang dilatih berbeda, menghasilkan hasil yang berbeda pula. Otak kita mengembangkan suatu mekanisme yang, meski tidak sepenuhnya jelas bagi kita, menetapkan bagaimana kita menimbang faktor-faktor ini. </p>
<p>Yang dilakukan pembelajaran mesin adalah mengembangkan model matematis yang teliti bagi mesin untuk menghitung suatu hasil prediksi, khususnya pada kasus-kasus di mana kita tidak dapat dengan mudah menangani besarnya data. Saat ini, melebihi masa-masa sebelumnya, data yang ada sangat luas dan bertahan dalam waktu yang lama. </p>
<p>Dengan memiliki akses ke program yang secara aktif menggunakan data-data tersebut untuk menyelesaikan masalah praktis, seperti halnya kecerdasan buatan, maka setiap orang harus dan mampu mempelajari serta memanfaatkan hal ini. Kita harus menggunakannya bukan hanya karena untuk menciptakan suatu aplikasi yang bermanfaat, tapi juga untuk menempatkan pembelajaran mesin dan kecerdasan buatan dalam perspektif yang lebih terang dan tidak mengkhawatirkan.</p>
<p>Terdapat beberapa <a href="https://www.r-project.org/">sumber belajar</a> di luar sana untuk mempelajari pembelajaran mesin meski memang membutuhkan beberapa kemampuan pemrograman. Banyak <a href="https://www.r-project.org/">bahasa pemograman populer yang tersedia untuk pembelajaran mesin</a>, <a href="https://medium.com/@ageitgey/machine-learning-is-fun-80ea3ec3c471#.thk5jjz4k">mulai dari tutorial dasar</a> hingga <a href="https://www.coursera.org/learn/machine-learning">kursus lengkap</a>. Hanya butuh waktu sesorean untuk bisa memulai mempelajarinya dan mendapatkan hasil yang jelas.</p>
<p>Semua ini bukan berarti bahwa bagaimana mesin dengan pikiran seperti manusia tidak mengkhawatirkan kita. Tapi dengan mengetahui lebih banyak tentang bagaimana cara berpikir bekerja, maka akan memberi kita kemampuan untuk menjadi agen perubahan yang positif dengan yang membuat kita masih dapat memegang kendali atas kecerdasan buatan, bukan sebaliknya.</p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Muhammad Gaffar.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Matt Escobar menerima dana dari proyek 'Pengembangan pengetahuan aplikasi dengan memanfaatkan big data dalam temuan obat-obatan melalui proses produksi' oleh Core Research for Evolutionary Science and Technology (CREST).</span></em></p>Kecerdasan buatan dikelilingi oleh rasa takut dan misteri karena sangat sedikit yang memahami cara kerjanya. Namun hal itu sebenarnya agak intuitif dan jauh lebih sederhana daripada yang terlihat.Matt Escobar, Former postdoctoral researcher on machine learning applied to chemical engineering and currently science communicator for the National Museum of Emerging Science and Innovation (Miraikan), University of TokyoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.