tag:theconversation.com,2011:/global/topics/komunikasi-krisis-84540/articleskomunikasi krisis – The Conversation2020-09-23T02:56:25Ztag:theconversation.com,2011:article/1462072020-09-23T02:56:25Z2020-09-23T02:56:25ZTiga cara pemerintah dapat memperbaiki bahasa dan memperkuat pesan terkait COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/359276/original/file-20200922-20-mcpmyx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Aditya Pradana/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo <a href="https://tirto.id/fZ2c">mengungkapkan</a> buruknya cara komunikasi yang dirinya dan para menteri lakukan, terutama terkait penanganan wabah COVID-19.</p>
<p>Banyak pakar dan media - termasuk <a href="https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200820102303-106-537607/ragam-kritik-media-asing-ke-jokowi-tangani-corona">media-media asing</a> - telah berulang kali mengingatkan soal <a href="https://theconversation.com/analisis-pemerintah-masih-bisa-perbaiki-komunikasi-krisis-pandemi-yang-sejauh-ini-gagal-134542">buruknya</a> <a href="https://theconversation.com/akademisi-pemerintah-masih-gunakan-bahasa-langit-dalam-komunikasi-covid-19-134805">komunikasi</a> pemerintah.</p>
<p>April lalu, <a href="http://universityoftheunderground.org/dr-suzanne-wertheim">Suzanne Wertheim</a>, pakar linguistik antropologi asal Amerika Serikat (AS), <a href="https://www.aiga.org/three-linguistic-tips-for-talking-about-covid-19">menjelaskan</a> cara-cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat pesan terkait tanggung jawab individu, tanggung jawab komunitas, dan pencegahan bahaya. </p>
<p>Ia melihat bahasa memiliki posisi yang sangat penting - bahkan kunci— sebagai wahana untuk memerangi pandemi korona.</p>
<p>Wertheim menilai bahwa pesan-pesan terkait virus yang sangat berbahaya dengan proses penularan yang sangat cepat tidak tersampaikan pada khalayak. </p>
<p>Menurut dia, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki bentuk-bentuk pesan ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-pemerintah-masih-bisa-perbaiki-komunikasi-krisis-pandemi-yang-sejauh-ini-gagal-134542">Analisis: Pemerintah masih bisa perbaiki komunikasi krisis pandemi yang sejauh ini gagal</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Mempertegas ungkapan kasus</h2>
<p>Dalam setiap pengumuman resmi mengenai jumlah korban yang positif terkena virus korona, frasa “kasus yang diketahui atau kasus yang terungkap” penting untuk digunakan.</p>
<p>Frasa ini jauh lebih jelas dibandingkan istilah “kasus” saja. </p>
<p>Suzanne mengatakan sekadar menyebut “kasus” semata mereduksi kuantitas kasus sehingga yang dikhawatirkan adalah kesan bahwa virus ini tidak terlalu bahaya. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, penggunaan frasa “kasus” semata ini masih sering kita dengar, seperti misalnya oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dalam menjelaskan<a href="https://news.detik.com/berita/d-5078837/gugus-tugas-risiko-kenaikan-kasus-corona-sekitar-50-daerah-di-ri-rendah"> persebaran wabah</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/akademisi-pemerintah-masih-gunakan-bahasa-langit-dalam-komunikasi-covid-19-134805">Akademisi: pemerintah masih gunakan bahasa langit dalam komunikasi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2. Memperjelas pelaku penyebaran</h2>
<p>Banyak informasi serta tulisan yang beredar terkait virus cenderung mengaburkan subjek penyebaran. </p>
<p>Kalimat seperti “virus menyebar dengan sangat cepat” mudah kita jumpai. Misalnya seperti yang dikatakan oleh Raisa Broto Asmoro, anggota tim komunikasi Gugur Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, “<a href="https://www.inews.id/news/nasional/dokter-reisa-covid-19-cepat-menyebar-karena-kita-tidak-kompak">virus ini menyebar sangat cepat karena kita tidak kompak seperti kata WHO</a>”.</p>
<p>Media-media nasional juga kerap menggunakan kalimat sejenis, misalnya dalam judul berita “<a href="https://kompas.id/baca/humaniora/kesehatan/2020/02/28/sars-cov-2-menyebar-sangat-cepat/">SARS-Cov 2 Menyebar Sangat Cepat</a>”.</p>
<p>Menurut mazhab <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9780429436215">linguistik kritis</a> - pendekatan studi bahasa yang menekankan hubungan erat antara struktur bahasa dan struktur sosial - kalimat semacam ini mengerdilkan arti.</p>
<p>Virus penyebab COVID-19 tidak menyebar secara mandiri. Ada medium dan ada subjek yang menjadi perantara aktif sehingga mempercepat penyebaran. </p>
<p>Subjek dalam konteks ini tidak boleh dihilangkan. Manusialah yang menyebarkan virus. </p>
<p>Pesan bahwa manusia memiliki andil yang sangat besar salam menyebarkan virus ini harus tersampaikan dengan baik kepada khalayak. </p>
<p>Kalimat yang cenderung mengaburkan peran manusia dalam mempercepat proses penularan virus ini harus sebisa mungkin dihindari. </p>
<p>Menurut saya, kalimat yang cenderung mengaburkan subjek (manusia) dalam konteks ini juga mengaburkan tanggung jawab sosial yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.</p>
<p>Kebijakan pembatasan sosial yang relatif berjalan <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/04/27/21090531/kesadaran-masyarakat-rendah-psbb-di-kabupaten-bogor-siap-diperpanjang?page=all">tidak mulus</a>, misalnya, salah satunya akibat pengaruh krisis tanggung jawab sosial ini. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-pentingnya-literasi-digital-yang-kritis-di-tengah-gempuran-misinformasi-pandemi-136184">Analisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>3. Memperbanyak kata “kita”</h2>
<p>Dalam perang melawan pandemi ini, <a href="https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/catatan-tentang-aspek-kesehatan-jiwa-dan-psikososial-wabah-covid-19-feb-2020-indonesian.pdf?sfvrsn=ebae5645_2">kejiwaan</a> menjadi persoalan yang sangat penting.</p>
<p>Cara pandang dari perspektif “aku” bagi yang sehat dan “mereka” bagi yang terdampak harus diubah.</p>
<p>Informasi dan berita-berita dengan pilihan diksi “mereka yang terinfeksi virus” harus dihindari. </p>
<p>Sebab, cara pandang tersebut cenderung menggali jurang pemisah antara yang “sehat” dengan yang “sakit”. </p>
<p>Padahal, dalam konteks memerangi pandemi ini, semua manusia adalah “kita”. Sementara “mereka”, dalam arti musuh, adalah virus. </p>
<p>Mentalitas kelompok ini penting untuk ditekankan. Sering kali kita abai terhadap hal-hal yang dianggap sebagai sebuah kelaziman, namun jika ditelaah lebih jauh justru mengandung kejanggalan dan kadar bahaya yang tidak ringan. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-penyebab-masyarakat-tidak-patuh-pada-protokol-covid-19-138311">Analisis: penyebab masyarakat tidak patuh pada protokol COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Problem komunikasi</h2>
<p>Mayoritas masyarakat adalah awam dan mengandalkan informasi yang silih berganti datang. </p>
<p>Selain televisi, kini hadir media sosial yang luar biasa cepat dalam mentransmisikan informasi. </p>
<p>Artinya, berita-berita terkait wabah COVID-19 yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat Indonesia bersumber pada informasi-informasi yang berseliweran di dunia maya. </p>
<p>Jokowi mengandalkan media sosial dalam mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggulangi wabah ini, namun hanya <a href="http://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/39853">setelah wabah telah terlanjur menyebar luas</a>.</p>
<p>Bahkan, tidak lama setelah ia mengumumkan kasus COVID-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, Jokowi justru mengatakan bahwa masyarakat “tidak perlu takut secara berlebihan” lewat akun Instagram. </p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/tv/B9Wg7TGB87P","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Sejak akhir Maret, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berinisiatif mengirimkan pesan pendek yang disebarkan ke seluruh nomor ponsel penduduk Indonesia. </p>
<p>Menurut saya inisiatif itu baik dan positif karena bisa menjadi pengingat yang sangat efektif. </p>
<p>Hanya saja, dalam pesan-pesan tersebut BNPB menggunakan istilah “terkonfirmasi” untuk menyebut orang yang positif terinfeksi COVID-19. </p>
<p>Ini tentu saja — meminjam istilah Wertheim - mereduksi dan mengaburkan pesan akan bahaya virus dan penyakit COVID-19. </p>
<p>Melihat manajemen komunikasi wabah yang masih centang-perenang, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 memiliki pekerjaan rumah mendasar yang harus diselesaikan. </p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146207/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fariz Alnizar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berikut cara-cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat pesan terkait tanggung jawab individu, tanggung jawab komunitas, dan pencegahan bahaya.Fariz Alnizar, Assistance professor at Nahdlatul Ulama University of Indonesia and Ph.D Candidate in Linguistic at Faculty of Cultural Science (FIB) Gadjah Mada University. His research interests include language, power, and religious issues, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1354302020-04-03T09:25:09Z2020-04-03T09:25:09ZSekadar mengingatkan: misinformasi pandemi paling banyak ada di WhatsApp<p>Awal Februari, Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) <a href="https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200202-sitrep-13-ncov-v3.pdf">menyatakan</a> wabah COVID-19 juga menyebabkan “infodemi” (<em>infodemic</em>). </p>
<p>Menurut WHO, infodemi adalah “banjir informasi, baik akurat maupun tidak, yang membuat orang kesulitan menemukan sumber dan panduan tepercaya saat mereka membutuhkannya”. </p>
<p>Infodemi ini yang membuat wabah ini berbeda dari wabah SARS (di tahun 2003), H1N1 (2009), MERS (2012), dan Ebola (2014) –-yang terjadi sebelum misinformasi di media sosial semakin marak. </p>
<p><a href="https://www.liputan6.com/news/read/4170451/menkominfo-sebut-penyebaran-hoaks-virus-corona-terbanyak-lewat-whatsapp">Pemerintah</a> menyatakan bahwa di Indonesia penyebaran hoaks virus SARS-CoV-2 terbanyak melalui WhatsApp. Memang, WhatsApp adalah jejaring sosial paling banyak digunakan di negara ini <a href="https://www.statista.com/statistics/284437/indonesia-social-network-penetration/">setelah YouTube</a>.</p>
<p>WhatsApp mudah digunakan, tanpa iklan, dan tidak memerlukan kapasitas gawai besar; ditambah lagi, pesan di sana tidak bisa dimonitor atau dimoderasi oleh perusahaan WhatsApp (berbeda dengan platform terbuka seperti Facebook atau Twitter). Ini menjadikan WhatsApp <a href="https://abcnews.go.com/Health/coronavirus-misinformation-whatsapp-viral-steps-combat-spread/story?id=69688321">saluran subur bagi misinformasi</a>.</p>
<p>Saya melakukan survei untuk melihat pengalaman warga Indonesia di tengah lautan informasi pandemi dan sejauh mana informasi pemerintah memenuhi harapan mereka.</p>
<p>Survei itu menunjukkan bahwa WhatsApp adalah saluran utama warga dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, baik benar atau hoaks. Sekitar separuh responden juga mengatakan bahwa informasi yang mereka terima sebagian besar hoaks dan merasa pemerintah belum berbuat banyak dalam memberikan informasi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melawan-penyebaran-hoaks-terkait-coronavirus-wuhan-di-asia-tenggara-131444">Melawan penyebaran hoaks terkait coronavirus Wuhan di Asia Tenggara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pengalaman warga menghadapi infodemi</h2>
<p>Saya membuat survei daring, yang tautannya saya bagikan melalui grup WhatsApp dan akun Facebook, Instagram, serta LinkedIn milik saya, yang dibagikan lagi oleh sejumlah orang yang menerimanya (<em>convenience sampling</em>, responden tidak dipilih). Pengumpulan jawaban responden dilakukan pada 28 dan 29 Maret 2020.</p>
<p>Survei sederhana ini terdiri lima pertanyaan, menjangkau 275 responden laki-laki
dan perempuan di 45 kota/kabupaten, mulai dari Medan, Jakarta dan kota-kota di sekitar Ibu Kota, Pontianak, Denpasar, Makassar, hingga Jayapura. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324848/original/file-20200402-74908-1e821z9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324849/original/file-20200402-74895-19ktehl.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324850/original/file-20200402-74904-1yhefg5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324851/original/file-20200402-74858-12nm9x3.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324852/original/file-20200402-74889-1kpsw3a.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jawaban dari responden mengonfirmasi peran dominan WhatsApp dalam pertukaran informasi antarwarga Indonesia masa kini. WhatsApp adalah saluran teratas responden (37,1%) dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi, sekaligus sebagai saluran utama (78,5%) dalam menerima hoaks tentangnya. </p>
<p>Selain itu, persentase hoaks tinggi (sekitar 50%) di dalam saluran favorit responden. Ini memprihatinkan karena bisa dikatakan separuh informasi yang diterima responen terkait pandemi ini menyesatkan. </p>
<p>Sebagian besar responden (lebih dari 60%) merasa informasi dari pemerintah selama ini belum memenuhi harapan mereka. Lebih dari 60% responden juga ingin menerima pasokan informasi dari pemerintah antara 4-12 kali sehari. </p>
<p>Survei ini tidak menanyakan jenis informasi (info terkini jumlah pasien, kondisi fasilitas kesehatan, kebijakan karantina, dsb) maupun jenis format (teks, video, poster, dsb), sehingga masih banyak ruang yang bisa diungkap tentang preferensi warga ini. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/covid-19-memicu-teori-teori-konspirasi-ini-masalah-serius-yang-bisa-bahayakan-nyawa-134451">COVID-19 memicu teori-teori konspirasi. Ini masalah serius yang bisa bahayakan nyawa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pasokan informasi terus-menerus</h2>
<p>Meski tidak bisa dikatakan mewakili warga Indonesia secara umum, survei di atas (dengan <em>margin of error</em> 6%) setidaknya bisa memberikan gambaran tentang pengalaman dan harapan warga saat ini.</p>
<p>Pemerintah sebagai “panglima” dalam <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/27/05345851/menlu-retno-presiden-sebut-ada-2-perang-melawan-covid-19-dan-pelemahan">perang</a> melawan pandemi perlu berupaya ekstra meningkatkan mutu dan jumlah pasokan informasi kepada warganya, terutama melalui WhatsApp. </p>
<p>Warga terbiasa memakai WhatsApp untuk menerima informasi, bukan laman resmi atau televisi. </p>
<p>Pemerintah pusat maupun daerah perlu memproduksi informasi terus-menerus kepada warga, tentang kondisi dan kebijakan terkini yang diambil, karena warga menanti <em>update</em>, apa pun itu. </p>
<p>Imbauan supaya “warga hanya percaya informasi dari sumber resmi saja” tidak cukup, jika jumlah dan jangkauan informasi resmi rendah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-hoaks-rentan-disebar-oleh-orang-yang-tingkat-pendidikan-dan-penghasilannya-rendah-122906">Riset: hoaks rentan disebar oleh orang yang tingkat pendidikan dan penghasilannya rendah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pentingnya format yang sesuai</h2>
<p>Informasi resmi dan benar juga perlu disesuaikan dengan kebiasaan pengguna WhatsApp. </p>
<p>Apakah kebanyakan hoaks di WhatsApp berbentuk video? Tidak. Apa berbentuk dokumen pdf berukuran besar? Tidak, karena banyak orang punya kuota internet terbatas dan malas membaca teks panjang. Sebagian besar hoaks COVID-19 berbentuk <a href="https://www.ft.com/content/34b6df5a-ea4a-471f-8ac9-606580480049">teks</a> dan <em>meme</em> sederhana.</p>
<p>Selain itu, karakteristik pengguna WhatsApp juga perlu dipertimbangkan. Sebuah riset tentang <a href="https://republika.co.id/berita/q7c7ec291/penelitian-perempuan-diamkan-emhoaksem-di-grup-whatsapp">penggunaan WhatsApp oleh perempuan Indonesia</a> pada 2019 menemukan bahwa para perempuan cenderung mendiamkan misinformasi di grup WhatsApp karena enggan berkonflik dengan anggota grup lain.</p>
<p>Ini adalah tantangan, namun bisa dihadapi, misalnya melalui narasi bahwa isu kesehatan ini sangat dekat dengan perempuan dan keluarga untuk mendorong mereka untuk berbagi informasi (yang akurat dan menarik) untuk melawan wabah dan hoaks.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=749&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=749&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=749&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=941&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=941&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/324903/original/file-20200402-74854-1l71csh.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=941&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kampanye cegah corona dalam 42 bahasa daerah yang dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi).</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://japelidi.id/">Japelidi</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Informasi untuk masyarakat yang majemuk juga perlu dikemas dalam banyak bahasa yang beragam pula. Sebuah <a href="https://tirto.id/japelidi-edukasi-warga-cegah-virus-corona-dalam-42-bahasa-daerah-eHzl">kampanye cegah corona</a>, misalnya, dihadirkan dalam 42 bahasa daerah.</p>
<p>Upaya terbaik yang bisa dilakukan pemerintah dan pihak yang peduli adalah memproduksi informasi yang akurat sesering dan semenarik mungkin di saluran yang paling banyak digunakan –saat ini WhatsApp– supaya warga terdorong membaginya lebih jauh. </p>
<p>Dengan begitu, di dalam infodemi, warga lebih banyak berbagi informasi akurat alih-alih hoaks.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/135430/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Engelbertus Wendratama terafiliasi dengan Departemen Ilmu Komunikasi UGM sebagai dosen tamu.
Ia juga pernah menerima dana riset dari WhatsApp dalam program WhatsApp Misinformation and Social Science Research Awards (2019) bersama tim riset prodi Magister Ilmu Komunikasi UGM dan Jogja Media Net. </span></em></p>WhatsApp adalah saluran utama warga dalam menerima segala jenis informasi tentang pandemi –dan sebagian besar hoaks.Engelbertus Wendratama, Peneliti di PR2Media, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1345422020-03-27T03:54:46Z2020-03-27T03:54:46ZAnalisis: Pemerintah masih bisa perbaiki komunikasi krisis pandemi yang sejauh ini gagal<p>Berbagai kalangan baik <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318171241-32-484669/dpr-sebut-jokowi-tak-punya-rencana-jangka-pendek-cegah-corona">politikus</a>, <a href="https://theconversation.com/melibatkan-eijkman-dan-universitas-airlangga-untuk-tes-covid-19-tidak-cukup-ini-solusi-para-ahli-133706">akademisi</a>, dan <a href="https://www.jpnn.com/news/koalisi-masyarakat-sipil-beber-kegagapan-pemerintah-tangani-corona">aktivis sipil</a> mengkritik pemerintah terkait ketidakjelasan penanganan wabah COVID-19 yang kemudian menjadi <a href="https://www.kompas.com/global/read/2020/03/12/001124570/who-umumkan-virus-corona-sebagai-pandemi-global?page=all">pandemi</a>. </p>
<p>Upaya Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan <a href="https://www.kompas.tv/article/69489/jokowi-dan-terawan-umumkan-dua-wni-terinfeksi-virus-corona-berikut-penjelasan-dari-pasien">dua pasien pertama</a> positif COVID-19 awal Maret justru menjadi sasaran kritik karena informasi tidak akurat dan identitas korban yang terungkap. </p>
<p>Klarifikasi yang kemudian diberikan oleh pejabat negara setingkat menteri atau staf khusus presiden ternyata menunjukkan <a href="https://www.antaranews.com/berita/1340998/mpr-minta-pemerintah-perbaiki-komunikasi-publik-terkait-virus-corona">kelemahan koordinasi komunikasi di dalam lembaga eksekutif</a>. Jokowi akhirnya menunjuk <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/10572411/pemerintah-tunjuk-achmad-yurianto-jadi-jubir-resmi-terkait-virus-corona?page=all">seorang juru bicara yang menjadi pintu utama komunikasi resmi pemerintah</a>.</p>
<p>Namun masalah komunikasi tidak membaik, karena sebagian <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/03/13/masyarakat-gerah-tuntut-transparansi-pemerintah-atasi-wabah-corona">publik sudah tidak mempercayai informasi dari pemerintah</a> dan memilih sumber informasi lain dari internet, terutama sosial media, yang justru menambah kesimpangsiuran. </p>
<p>Kebingungan publik ini kemudian <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-01-29/coronavirus-misinformation-is-incubating-all-over-social-media">diperburuk oleh disinformasi dan misinformasi ruang daring (<em>online</em>), terutama media sosial</a>, yang dijadikan sumber pengetahuan publik dalam memahami pandemik.</p>
<p>Saya melihat media massa, terutama televisi, terperangkap dalam isu partisan sebagai corong pemerintah atau oposisi. Siaran berita menjadi bias dan memecah publik ketika informasi terkait virus menjadi ajang debat kusir antar kedua kubu.</p>
<p>Ujungnya, ketika pemerintah mengumumkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/03/14/21353071/tanggapi-who-pemerintah-nyatakan-wabah-corona-sebagai-bencana-nasional">wabah sebagai bencana nasional</a>, sebagian masyarakat tidak tanggap dan <a href="https://www.thejakartapost.com/multimedia/2020/03/20/covid-19-update-jakartans-ignore-social-distancing-to-pray-at-mosque.html">tidak mengindahkan imbauan</a> untuk menjaga jarak aman.</p>
<p>Meskipun komunikasi pemerintah sebelum dan awal wabah buruk, pemerintah masih bisa dan harus memperbaiki komunikasi di tengah krisis saat ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penularan-covid-19-di-indonesia-bisa-tembus-11-71-ribu-akhir-april-jika-tak-ada-intervensi-cepat-129619">Penularan COVID-19 di Indonesia bisa tembus 11-71 ribu akhir April jika tak ada intervensi cepat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Komunikasi publik pada masa krisis</h2>
<p>Pemerintah bisa menggunakan model <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10810730590904571">Crisis and Emergency Risk Communication (CERC)</a> sebagai kerangka komunikasi publik pada keadaan luar biasa. </p>
<p>Di Amerika Serikat, <a href="https://stacks.cdc.gov/view/cdc/22159/cdc_22159_DS1.pdf">Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center of Disease Control and Prevention, CDC)</a> sudah menggunakan model ini sebagai panduan dasar.</p>
<p>Dasar filosofis dari CERC adalah bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi harus secara lengkap memaparkan kondisi krisis yang terjadi dan risiko yang ada agar membantu publik membuat keputusan rasional. Komunikasi menjadi alat agar publik mengadopsi perilaku yang diharapkan untuk mengurangi risiko. </p>
<p>CERC memadukan strategi komunikasi risiko (<em>risk communication</em>) yang umum digunakan sektor pemerintah dalam keadaan darurat dan komunikasi krisis (<em>crisis communication</em>) yang digunakan sektor swasta untuk menghadapi krisis organisasi. </p>
<p>Terdapat beberapa tahapan komunikasi berkelanjutan dalam model CERC: </p>
<ol>
<li>sebelum krisis (<em>pre-crisis</em>), </li>
<li>awal krisis (<em>initial event</em>), </li>
<li>selama krisis (<em>maintenance</em>), </li>
<li>resolusi (<em>resolution</em>), </li>
<li>evaluasi (<em>evaluation</em>). </li>
</ol>
<p>Pada tahap sebelum krisis, pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi. </p>
<p>Tujuan komunikasi pra-krisis ini untuk meningkatkan kepercayaan diri publik dan juga mengajak semua pemangku kepentingan (lembaga pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi sipil) untuk mengkomunikasikan hal yang sama. </p>
<p>Pada tahap ini kunci keberhasilan komunikasi bertumpu pada sinergi dan koordinasi antar komunikator utama. Peran CDC di Amerika Serikat pada saat wabah ebola di tahun 2015 bisa menjadi contoh terbaik. Saat itu <a href="https://www.embopress.org/doi/full/10.15252/embr.201541678">CDC bisa mensinergikan lembaga-lembaga pemerintah dan menjadi otoritas tunggal</a> untuk memberikan informasi kepada publik. </p>
<p>Memasuki fase awal krisis, pemerintah perlu menyediakan informasi melalui satu pintu. Ini memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita. </p>
<p>Pemerintah perlu menyusun pesan yang komprehensif sehingga publik mengerti mengenai krisis yang terjadi, konsekuensi, dan antisipasi aksi berdasarkan data terkini. Ini dimaksudkan agar publik siaga terhadap langkah lanjutan. </p>
<p>Pada fase krisis, pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui. Pemerintah perlu melakukan ini dengan cara memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengkoreksi rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan paska krisis. </p>
<p>Di masa resolusi setelah krisis berakhir, pemerintah perlu tetap melakukan komunikasi untuk menciptakan solidaritas dan memahami krisis yang telah terjadi. </p>
<p>Terakhir, komunikasi tahap evaluasi akan menghasilkan konsensus dan pembelajaran untuk menghadapi kejadian serupa di masa mendatang.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengomunikasikan-covid-19-tanpa-menyulut-anti-cina-di-indonesia-132895">Mengomunikasikan COVID-19 tanpa menyulut anti-Cina di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Komunikasi krisis pemerintah Indonesia</h2>
<p>Indonesia telah mengalami tiga tahap pertama komunikasi krisis ini. </p>
<p>Sebelum krisis tiba di Indonesia, ketika wabah memuncak di Cina awal tahun ini, pemerintah Indonesia terlihat tidak antisipatif terhadap dampak global virus. </p>
<p>Di pertengahan Februari, Jokowi menitikberatkan pendekatan ekonomi untuk menghadapi krisis <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/02/11/18514201/corona-berdampak-pada-pariwisata-jokowi-minta-maskapai-diberi-insentif">dengan memberikan insentif terhadap sektor pariwisata</a>. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyebut bahwa warga Indonesia <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/31/16453681/kementerian-kesehatan-indonesia-siap-hadapi-virus-corona">tidak rentan terhadap wabah ini</a>. </p>
<p>Pemerintah yang kurang tanggap terhadap potensi pandemi, membuat publik tidak memiliki pengetahuan awal terkait bahaya COVID-19. Informasi yang tidak pasti dari media sosial kemudian menjadi panduan utama publik. </p>
<p>Saat kasus pertama diumumkan pada 2 Maret, yang menandai masa awal krisis, <a href="https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/159957/salah-langkah-jokowi-hadapi-wabah-corona">pemerintah terlihat tidak siap</a>. </p>
<p>Publik yang selama ini tidak mendapatkan panduan resmi dari pemerintah menjadi kebingungan sehingga bertindak panik, misalnya dengan memborong sembako, ataupun tidak bereaksi dan tetap melakukan kegiatan harian. </p>
<p>Hal ini ditambah tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, seperti ketika <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/21/covid-19-anies-urged-to-impose-more-aggressive-calculated-lockdown.html">Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengusulkan kebijakan karantina total</a>, namun segera <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200318160059-20-484599/jubir-jokowi-pemerintah-tak-mau-lockdown-demi-efek-kejut">dicegah oleh pemerintah pusat</a>. </p>
<p>Penunjukan <a href="https://www.antaranews.com/berita/1331850/achmad-yurianto-ditunjuk-jadi-juru-bicara-penanganan-covid-19">seorang juru bicara resmi</a> pada 3 Maret dan pembuatan <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-bentuk-gugus-tugas-penanganan-corona">gugus tugas</a> penanganan wabah pada 13 Maret tidak menjadikan komunikasi krisis pemerintah menjadi lebih baik. </p>
<p>Publik yang kebingungan masih tidak menjadikan informasi dari pemerintah sebagai acuan utama. </p>
<p>Ketika pemerintah mengumumkan COVID-19 sebagai <a href="http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20200315/3633379/status-wabah-corona-indonesia-ditetapkan-bencana-nasional/">bencana nasional</a> dengan menekankan pada aspek <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4202560/cegah-covid-19-jokowi-social-distancing-paling-penting-saat-ini"><em>social distancing</em></a> pada 14 Maret, publik tidak mampu mencerna karena mereka tidak dibekali pemahaman awal terutama terkait langkah yang harus diambil. </p>
<p>Masyarakat tidak mengadopsi perilaku yang diharapkan pemerintah. <a href="https://www.tempo.co/abc/5409/alasan-kerumunan-termasuk-acara-keagamaan-sebaiknya-dihindari-saat-wabah-corona">Kerumunan di ruang publik tetap terlihat</a>: di Jakarta sebagian institusi bisnis belum menganggap penting imbauan pemerintah. </p>
<p>Di tengah pandemi yang <a href="https://coronavirus.jhu.edu/map.html">kian memuncak</a> di dunia kegagalan komunikasi pemerintah menjadi nyata. </p>
<p>Saat ini Indonesia memasuki tahapan ketiga dalam model CERC dan ada indikasi wabah meluas. Diperkirakan, total <a href="https://theconversation.com/penularan-covid-19-di-indonesia-bisa-tembus-11-71-ribu-akhir-april-jika-tak-ada-intervensi-cepat-129619">11.000 hingga 71.000 orang</a> akan tertular pada akhir April jika tak ada intervensi cepat. Per 26 Maret 2020, Indonesia mencatat penderita positif 893 orang dengan 78 orang meninggal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/coronavirus-10-alasan-mengapa-anda-tidak-perlu-panik-133531">Coronavirus: 10 alasan mengapa Anda tidak perlu panik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Segera ubah pola komunikasi</h2>
<p>Pemerintah perlu secara cepat mengubah pola komunikasi. </p>
<p>Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi sehingga terjadi sinergi satu pesan komunikasi. Pemerintah perlu menggunakan berbagai saluran media yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mengkomunikasikan pesan tersebut. </p>
<p>Kedua, pemerintah perlu melakukan komunikasi yang terus menerus dan terintegrasi. Tanpa komunikasi krisis yang tepat rakyat tidak akan mengadopsi perilaku yang diharapkan dan tujuan pemerintah untuk menekan penyebaran virus akan tidak tercapai. </p>
<p>Informasi pemerintah harus menjadi dominan di ruang publik, terutama di ranah maya yang menjadi sumber informasi utama saat ini. Kegagapan dalam dua fase awal bisa jadi pembelajaran agar tidak berulang di masa mendatang.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/134542/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Whisnu Triwibowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Komunikasi pemerintah sebelum dan awal krisis wabah buruk, tapi masih bisa dan harus diperbaiki.Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.