tag:theconversation.com,2011:/global/topics/pekerja-65356/articlesPekerja – The Conversation2024-03-13T01:45:53Ztag:theconversation.com,2011:article/2243712024-03-13T01:45:53Z2024-03-13T01:45:53ZRiset: UU Cipta Kerja gagal sejahterakan buruh, hanya untungkan pemodal<p>Sejak disahkan oleh DPR RI dan pemerintah pada 5 Oktober 2020, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Omnibus Law) telah menimbulkan polemik besar di tengah masyarakat. Sempat dinyatakan <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637822490.pdf">inkonstitusional bersyarat</a> oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Presiden Joko “Jokowi” Widodo tetap gigih menerbitkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/234926/perpu-no-2-tahun-2022">Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja</a>.</p>
<p>Belakangan, Perppu tersebut ditetapkan menjadi <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/246523/uu-no-6-tahun-2023">UU Nomor 6 Tahun 2023</a> tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU.</p>
<p>Pemerintah mengklaim telah memperbaiki berbagai <a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19436&menu=2">ketentuan dan substansi</a> yang dianggap menghambat investasi, misalnya terkait penyediaan lapangan kerja dan perkembangan pasar tenaga kerja. </p>
<p>Namun, kelompok pengusaha dan buruh sebagai pihak yang saling berhadapan <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/08/09/buruh-dan-pengusaha-masih-beda-pendapat-soal-uu-cipta-kerja">masih berbeda pendapat soal UU Cipta Kerja</a>. Ini dapat dilihat dari masifnya berbagai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54469444">aksi demonstrasi</a> yang melibatkan buruh dan aktivis gerakan akar rumput di berbagai wilayah di Indonesia.</p>
<p>Kelompok pekerja menilai UU Cipta Kerja masih memuat aturan yang tak berpihak pada mereka, mulai dari sistem pengupahan yang timpang antardaerah, adanya potensi penurunan nilai pesangon dan ketidakjelasan jaminan pekerja memperolehnya, tidak diaturnya persoalan cuti panjang, pengurangan istirahat mingguan, hingga tak adanya batas waktu yang jelas terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).</p>
<p>Sementara itu, pemerintah dan kelompok pengusaha terus mengklaim bahwa UU ini <a href="https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-cipta-kerja-benahi-6-ketentuan-bidang-ketenagakerjaan-lt64ebfaba48078/?page=1">tidak melupakan perlindungan buruh</a> meski tujuannya adalah mendukung investasi.</p>
<p>Kami melakukan <a href="https://journal.widyakarya.ac.id/index.php/jhsp-widyakarya/article/view/2776">tinjauan</a> terkait persepsi masyarakat di media sosial terhadap UU Cipta Kerja dalam kaitannya terhadap kesejahteraan buruh. Tinjauan ini kami lakukan melalui analisis <em>big data</em> di media sosial X (dulunya Twitter).</p>
<p>Tujuan peninjauan ini adalah untuk melihat sejauh mana dampak yang dihasilkan dari proses pembentukan UU Cipta Kerja terhadap pihak-pihak yang terlibat, baik kelompok pengusaha maupun buruh. </p>
<p>Berdasarkan tinjauan kami, mayoritas pengguna X mengungkapkan bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat. Artinya, hingga kini mereka belum berada pada kondisi yang sejahtera.</p>
<h2>Persepsi negatif publik</h2>
<p>Analisis ini kami lakukan dalam rentang waktu 2 November 2020 hingga 13 Mei 2023. Setidaknya ada empat <em>traffic tweet</em> yang teridentifikasi dalam penelitian.</p>
<p>Pertama, tepat sehari setelah UU Cipta Kerja disahkan, mayoritas respons publik cenderung negatif. Hal ini karena UU Cipta Kerja disahkan melalui proses yang tidak partisipatif dan cenderung mengabaikan suara buruh.</p>
<p>Kemudian, sekitar setahun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja, <em>traffic tweet</em> kembali meningkat. Besar kemungkinan ini terjadi karena pada 27 November 2021, MK mengeluarkan <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637822490.pdf">putusan</a> bahwa UU Cipta Kerja <a href="https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XIII-8-II-P3DI-April-2021-2047.pdf">cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat</a>.</p>
<p>Pada 20 Mei 2022, kenaikan <em>traffic tweet</em> kembali terjadi. Selain karena bulan Mei kerap dianggap sebagai bulan perlawanan kaum buruh, di bulan tersebut juga <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/05/24/pintu-revisi-uu-cipta-kerja-terbuka">terbuka pintu revisi UU Cipta Kerja</a>.</p>
<p>Sebelum RUU Pembentukan Perppu disetujui dan disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI, terjadi banyak penolakan dari publik. Penolakan tersebut berkaitan dengan pentingnya pendalaman atas materi RUU dan penguatan partisipasi publik dalam penyusunan UU.</p>
<p>Kenaikan <em>traffic tweet</em> terjadi lagi pada 21 Maret 2023, yakni tepat setelah disetujuinya Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Cipta Kerja. </p>
<p>Selama periode penelitian kami, cuitan yang mendapat <em>engagement</em> tertinggi adalah yang membahas <a href="https://twitter.com/panca66/status/1638127528450854912">kejadian <em>microphone</em> yang mendadak mati</a>, atau dimatikan, saat anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, menyampaikan penolakan atas pengesahan Perppu tersebut. </p>
<p>Adapun <a href="https://twitter.com/lbh_jakarta/status/1313118496910307329">cuitan teramai</a> adalah yang benarasikan protes publik terhadap disahkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020. Mayoritas protes tersebut mengungkapkan bagaimana publik merasa pemerintah bertindak bukan mewakili kehendak rakyat.</p>
<p>Berdasarkan empat momen <em>traffic tweet</em> tersebut, dapat disimpulkan bahwa publik menganggap UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tujuan kesejahteraan buruh dan merasa bahwa buruh masih berada dalam posisi subordinat.</p>
<p>Artinya, UU Cipta Kerja belum bisa dikatakan berdampak positif bagi publik, terutama golongan menengah ke bawah.</p>
<p>Ini sejalan dengan pendapat-pendapat para pakar, bahwa UU Cipta Kerja justru <a href="https://theconversation.com/panel-ahli-proses-penerbitan-perppu-cipta-kerja-menabrak-konstitusi-menunjukkan-karakter-otoritarianisme-pemerintah-197135">merugikan posisi para pekerja</a> dan hanya bertujuan untuk <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">menarik investor semata</a>. </p>
<h2>Era perbudakan modern</h2>
<p>Alih-alih mensejahterakan pekerja, UU Cipta Kerja yang cenderung berpihak pada investor ini justru menciptakan sebuah dampak baru, yaitu <a href="https://www.torrossa.com/en/resources/an/5018754#page=208"><em>modern slavery</em> (perbudakan di era modern)</a>. Ini merupakan praktik sistemik eksploitasi manusia yang melibatkan penindasan, penyalahgunaan, dan pembatasan kebebasan individu demi keuntungan ekonomi. </p>
<p>Korban, dalam hal ini buruh atau pekerja, dipaksa bekerja atau hidup dalam situasi yang terkekang dan sulit keluar dari perangkap. Kondisi tersebut tak ubahnya seperti perbudakan yang terjadi di masa silam. </p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/23416302">Perbudakan</a> telah hadir selama ribuan tahun dan terjadi di semua peradaban hingga hari ini. Ada berbagai variasi bentuk perbudakan, misalnya gaji pekerja yang tidak sesuai dengan waktu bekerja, jaminan kesehatan dan keselamatan yang tidak diberikan, dan bentuk lain sebagai langkah menekan biaya variabel produksi.</p>
<p>Sejak zaman dahulu kala, kesejahteraan buruh masih menjadi barang mewah. Pada <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2023/05/30/060000879/sejarah-gerakan-buruh-pada-masa-kolonial?page=all">masa Hindia Belanda</a>, buruh dipekerjakan tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan, tidak memperoleh upah, dan dituntut target pekerjaan yang tidak masuk akal. </p>
<p>Hari ini, buruh memang tidak mengalami perbudakan paksa, tetapi mereka berada dalam posisi yang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0959680116659816">inferior dan tertindas dalam struktur ekonomi yang kapitalistik</a>.</p>
<p>Langkah pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja yang cenderung pro investasi semakin membuktikan bagaimana rakyat yang bekerja diperas tenaga dan keringatnya. Praktik atas pengabaian hak-hak pekerja inilah yang dapat disebut <em>modern slavery</em>.</p>
<h2>Tidak hanya di Indonesia</h2>
<p>Di seluruh dunia, jumlah pekerja yang menderita akibat kondisi kerja yang tak aman, tak menentu, dan tak dapat diprediksi <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@ed_dialogue/@actrav/documents/meetingdocument/wcms_179787.pdf">sangatlah banyak.</a> Artinya, meskipun bekerja, kelompok buruh umumnya tidak memiliki pekerjaan dan upah yang layak, jaminan masa depan, perlindungan sosial, dan akses terhadap hak mereka.</p>
<p>Di India, misalnya, <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20221207065732-4-394419/ump-cuma-rp-1-juta-negara-asia-ini-bakal-jadi-raksasa-dunia">upah minimum New Delhi adalah sekitar Rp1 juta per bulan</a>, sedangkan di pedesaan angkanya bisa jauh lebih rendah. Sementara <a href="https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-44264175">jam kerjanya panjang</a>, umumnya delapan jam per hari, enam hari per minggu.</p>
<p>Namun, banyak buruh di sana yang juga harus bekerja lembur, sehingga total jam kerja mereka bisa mencapai 10-12 jam per hari. Selain itu, kondisi lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak sehat juga dapat menyebabkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Hal ini semakin diperparah oleh serikat pekerja yang terfragmentasi, sehingga tidak memiliki banyak pengaruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh.</p>
<p>Di banyak negara, termasuk di Indonesia, ada kegagalan dalam memerangi perbudakan dan eksploitasi modern secara efektif melalui sistem <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=4pb-DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=to+tackle+modern+slavery&ots=ZvIGhsjxFw&sig=hK5MJs-wFayZzjroNYRwUS2vQkg&redir_esc=y#v=onepage&q=to%20tackle%20modern%20slavery&f=false">tata kelola ketenagakerjaan yang ada</a>.</p>
<p>Persoalan utama terletak pada lemahnya penegakkan hukum dan penerapan regulasi yang tidak memihak pada buruh. Lemahnya penegakkan hukum memungkinkan setiap perusahaan untuk mengeksploitasi celah yang ada. Sementara regulasi yang tidak memihak buruh hanya akan memenangkan kepentingan kelas pemodal. </p>
<h2>Pentingnya peran serikat pekerja</h2>
<p>Sebagai salah satu langkah solutif, penting bagi para pemangku kebijakan untuk mengoptimalkan peran dari serikat pekerja, karena kelompok-kelompok inilah yang paling memiliki andil dalam mengawal hak-hak buruh.</p>
<p><a href="https://projectmultatuli.org/konsolidasi-kelas-pekerja-partai-buruh-melawan-politik-elitis/">Keberadaan Partai Buruh</a> saat ini, contohnya, bisa menjadi platform perjuangan politik bagi kelas pekerja. Melalui penguatan kesadaran kelas dan hak-hak yang seharusnya mereka miliki, secara bertahap kaum buruh bisa mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224371/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia dan Tim Mahasiswa UGM menerima dana hibah dari Afan Gaffar Award. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Angela Kirana Hartanto menerima dana dari Affan Gafar Awards Departemen Politik dan Pemerintahan UGM</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Aulia Khoiriya menerima dana dari Hibah Afan Gaffar Awards oleh Departemen Politik dan Pemerintahan </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Bijak Anugrah menerima dana dari Hibah Afan Gaffar Award </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Salsabila Khoirunnisa menerima dana dari Affan Gafar Awards Departemen Politik dan Pemerintahan</span></em></p>Analisis big data di sosial media menunjukkan bahwa publik merasa UU Cipta Kerja mengabaikan kesejahteraan buruh, hanya berpihak pada investor.Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Lecturer at the Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2110582023-09-05T10:04:54Z2023-09-05T10:04:54ZBagaimana neoliberalisme dan Islamisme berkaitan dengan kerentanan dan solidaritas pekerja ‘gig’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/545208/original/file-20230829-23-bymrkz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C6000%2C3368&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/male-hands-praying-faith-religion-gods-2207590341">valentrus97/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial #GenerasiRentan yang khusus membahas ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.</em></p>
<hr>
<p>Kebijakan dan ideologi neoliberal, yang mendorong perluasan kekuatan pasar sambil mengurangi peran pemerintah dalam perekonomian, berkembang dan mendominasi secara global sejak akhir 1970an. Hal ini mendorong <a href="https://www.amazon.com.au/Brief-History-Neoliberalism-David-Harvey/dp/0199283273">privatisasi terhadap layanan sosial dasar, seperti kesehatan dan pendidikan</a>, dan <a href="https://www.bloomsbury.com/au/precariat-9781849664561/">semakin fleksibelnya pasar tenaga kerja</a>.</p>
<p>Artinya, semangat individualisme dan wirausaha semakin bertumbuh–bahkan hingga mendorong pekerja untuk menerima praktik eksploitatif.</p>
<p>Di negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam membuka ruang bagi mobilisasi kaum miskin kota di bawah panji-panji Islam. Semangat yang dikobarkan adalah perlawanan terhadap penindasan yang dialami oleh komunitas kaum yang beriman.</p>
<p>Namun demikian, narasi yang membangkitkan sentimen keagamaan semacam itu belum menghasilkan kemauan kolektif yang dapat mendorong <a href="https://www.opendemocracy.net/en/north-africa-west-asia/political-islam-in-neoliberal-times/">perlawanan efektif terhadap neoliberalisme</a>.</p>
<p>Sebaliknya, semangat ke-Islaman malah mendorong penerimaan dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip neoliberal. Beberapa studi terdahulu, misalnya, menunjukkan bahwa nilai-nilai ke-Islaman digunakan oleh <a href="https://www.cornellpress.cornell.edu/book/9780801476785/spiritual-economies/">perusahaan</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00045608.2011.627046">organisasi berbasis agama</a> untuk meningkatkan produktivitas pekerja Muslim kelas menengah.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14672715.2022.2145980?casa_token=5ziLUT40xzgAAAAA%3AEz6QN7QLvCol27R14hWABFTFTnVW4xzvp3O8ofwTg6zj173ve_oUsQq7gIAvpnrvW2f-RRKc2jcGUxE8Zw">Studi kami</a>, yang dilakukan lewat wawancara dengan pengemudi ojek daring, menyelidiki bagaimana seruan Islamis mewarnai respons terhadap meningkatnya kerentanan di Indonesia. Kami menemukan bahwa pertemuan antara ide-ide ke-Islaman dan logika neoliberal justru membuat para pekerja rentan rawan dipolitisasi lewat sentimen keagamaan.</p>
<h2>Terbentuk oleh gagasan</h2>
<p>Fokus penelitian kami adalah pada pembentukan ‘akal sehat’ (<em>common sense</em>) kelompok <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">prekariat</a> perkotaan yang memengaruhi strategi dan taktik mereka dalam menyikapi marjinalisasi sosial-ekonomi. Hal ini dilakukan berdasarkan sumber daya budaya yang tersedia, misalnya berupa pemahaman terhadap agama yang dibentuk dalam konteks sejarah yang spesifik.</p>
<p>Terinspirasi pemikiran filsuf Italia <a href="https://www.amazon.com.au/Selections-Prison-Notebooks-Antonio-Gramsci/dp/071780397X">Antonio Gramsci</a>, kami mendefinisikan akal sehat sebagai seperangkat gagasan yang muncul dari pekerjaan dan kehidupan yang tidak pasti, sekaligus kondisi sosial dan sejarah yang spesifik. </p>
<p>Di Indonesia, hal ini melibatkan konflik masa lalu, utamanya peristiwa G30S/PKI yang diikuti penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta tumbuhnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/186810341103000101">tradisi politik Islam sebagai kritik</a> bagi pemerintahan Orde Baru yang otokratis. </p>
<p>Konsekuensinya, istilah-istilah yang melekat dengan tradisi nasionalis dan Islamis lebih mudah diterima publik daripada yang berkaitan dengan liberalisme (yang fokus pada perlindungan hak dan kebebasan individu), <a href="https://www.britannica.com/topic/social-democracy">sosial demokrasi</a>, atau komunisme yang bertumpu pada gerakan buruh.</p>
<p>Ini termasuk dalam menyikapi kerentanan yang timbul praktik neoliberalisme yang semakin dalam dan luas.</p>
<h2>Ojek sebagai pengusaha mikro</h2>
<p>Kami melakukan wawancara semi-terstruktur pada April 2021 - Oktober 2022 terhadap 25 pekerja rentan yang mencari nafkah sebagai pengemudi ojek berbasis aplikasi di Jabodetabek.</p>
<p>Hasil wawancara kami menunjukkan bahwa pengemudi ojek daring menganggap diri mereka sebagai ‘pengusaha mikro’ dan menerima bahwa kesejahteraan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri. Salah satu pengemudi menyebut bahwa hal ini karena mereka menggunakan modal sendiri (motor) dalam bekerja.</p>
<p>Ditopang oleh klasifikasi pekerja sebagai ‘mitra’ dan bukan karyawan perusahaan transportasi daring, persepsi seperti ini membebaskan negara dan pengusaha dari tanggung jawab yang signifikan, seperti dalam menyediakan perlindungan jika pekerja mengalami kecelakaan atau sakit dan upah yang layak. </p>
<p>Di saat yang sama, digitalisasi proses kerja dalam jasa transportasi daring mempertahankan ilusi bahwa pengemudi memiliki kebebasan atas pekerjaan mereka. Gagasan bahwa pengemudi hanya dapat mengandalkan diri mereka sendiri berkesesuaian dengan prinsip individualisme dalam ideologi neoliberal.</p>
<p>Tertanamnya gagasan ini dalam diri pengemudi transportasi daring diperkuat oleh pengalaman hidup mereka keluar masuk pekerjaan tidak tetap akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan jangka panjang yang stabil dan memberikan jaminan kesejahteraan.</p>
<h2>Islamisme dalam komunitas pengemudi transport daring</h2>
<p>Bagi Gramsci, akal sehat direproduksi melalui praktik keseharian yang dilandasi oleh pemikiran intuitif. Bagi pengemudi ojek daring yang kami wawancarai, reproduksi akal sehat terjadi antara lain lewat organisasi swadaya atau ‘komunitas’ yang dibentuk oleh pengemudi transportasi daring.</p>
<p>Lewat komunitas semacam ini, para pengemudi ojek daring mempraktikkan solidaritas kolektif dengan bahu membahu ketika terjadi kecelakaan serta dalam memberikan informasi soal jalan dan tentang proses kerja digital.</p>
<p>Namun, cara demikian justru cenderung memperkuat individualisme neoliberal di kalangan anggotanya karena mereka percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka sendiri dan hanya bisa berharap sedikit dari negara atau perusahaan.</p>
<p>Komunitas-komunitas tersebut juga menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan, termasuk pengajian, yang memperkuat jati diri mereka sebagai anggota <em>ummah</em> (kelompok orang beriman). Hasil studi kami menunjukkan bahwa pengajian juga sekaligus berperan dalam meneguhkan moralitas pribadi anggotanya dalam bekerja dan menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian. </p>
<p>Ketabahan adalah salah satu tema sentral yang kerap yang dibahas dalam pengajian. Tema ini mempertemukan kerja keras dan tuntutan agama bagi individu untuk bertahan menghadapi semua ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada orang beriman.</p>
<p>Salah satu pengemudi yang kami wawancarai, misalnya, mengatakan bahwa menghadiri kegiatan pengajian komunitas mengingatkannya untuk selalu percaya bahwa Tuhan akan menyambutnya di akhirat dengan ganjaran setimpal. Ini membantunya untuk mengelola rasa cemas ketika harus menghadapi risiko kecelakaan di jalanan setiap harinya.</p>
<p>Dengan cara ini, lagi-lagi organisasi pengemudi ojek daring memberikan wadah bagi perpaduan ajaran moral Islam dan individualisme neoliberal.</p>
<p>Beberapa komunitas pengemudi ojek daring memang telah berhasil mendorong perbaikan kondisi kerja melalui aksi protes. Komunitas semacam ini telah berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran pengemudi ojek daring soal ketidakadilan dalam relasi kerja yang mereka rasakan bersama. </p>
<p>Namun demikian, sedikit sekali dari komunitas semacam ini yang berhasil menanamkan gagasan penting bahwa para pengemudi ojek daring adalah pekerja yang memiliki hak-hak yang spesifik. Sebagian besar pengemudi transportasi daring tetap menganggap diri mereka sebagai wirausahawan mikro.</p>
<h2>Moralitas dan kecenderungan politik</h2>
<p>Aspirasi kewirausahaan mendorong pengemudi ojek daring untuk bekerja sendiri sekuat tenaga mereka sampai mengarah ke eksploitasi diri. Ini karena mereka enggan menuntut pemerintah dan perusahaan untuk mewujudkan kondisi kerja yang lebih layak. </p>
<p>Hanya sedikit sekali pengemudi ojek daring–biasanya yang mengaitkan diri mereka dengan gerakan buruh–yang berpendirian bahwa mereka harus diakui secara hukum sebagai pekerja yang dijamin hak-haknya oleh undang-undang.</p>
<p>Namun demikian, penelitian kami menunjukkan bahwa meskipun beberapa pengemudi ojek daring sudah terhubung dengan–dan bahkan menjadi anggota–serikat pekerja, mereka enggan ketika harus memosisikan diri secara konfrontatif dengan negara dan pengusaha. Mereka cenderung tunduk pada gagasan bahwa pemerintah dan mereka yang kuat secara ekonomi bertugas menjaga yang lemah.</p>
<p>Akibatnya, meskipun komunitas pengemudi transportasi daring dapat membantu anggotanya mengatasi kesulitan bekerja, mereka belum memiliki strategi perlawanan yang kuat. </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/profile/David-Bourchier/publication/289697083_Illiberal_Democracy_in_Indonesia_The_Ideology_of_the_Family_State/links/5c3ff87e299bf12be3cda67f/Illiberal-Democracy-in-Indonesia-The-Ideology-of-the-Family-State.pdf">Gagasan yang kental pada era Orde Baru</a> turut dilanggengkan. Sebagai contoh, permusuhan terhadap liberalisme politik dan komunisme mengilhami sikap memusuhi sistem hubungan kerja yang konfliktual, misalnya lewat pengajuan tuntutan hak pekerja.</p>
<p>Justru, yang terbangun di kalangan pengemudi transportasi daring adalah solidaritas berbasis moralitas, dipupuk melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong. Para pengemudi melihat kegiatan seperti itu tidak ada kaitannya dengan politik.</p>
<p>Namun demikian, kegiatan semacam itu menguatkan sentimen keagamaan dan membuka pintu bagi mobilisasi politik berbasis umat oleh para elit yang bersaing dalam perebutan sumber daya ekonomi dan politik. Mobilisasi semacam ini telah dilakukan beberapa kali sejak reformasi di Indonesia, biasanya selama periode pemilihan umum.</p>
<p>Komunitas pengemudi transportasi daring, melalui kegiatan sosial-keagamaan dan gotong royong yang mereka jalankan, berpotensi membuka jalan bagi kelompok prekariat perkotaan untuk menjalin hubungan dengan para aktivis partai dan organisasi Islam. Ini misalnya terjadi dalam <a href="https://www.researchgate.net/publication/329971745_The_'Floating'_Ummah_in_the_Fall_of_'Ahok'_in_Indonesia">mobilisasi massa yang menyudutkan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama</a> dengan tuduhan menista agama Islam.</p>
<p>Hubungan kelompok prekariat dengan aktivis partai atau organisasi Islam yang terjadi dalam mobilisasi politik semacam ini cenderung bersifat <em>ad-hoc</em> dan sesaat, tidak membantu perjuangan kelompok prekariat mencapai kesejahteraan yang lebih baik.</p>
<p>Alih-alih mendorong konsolidasi agenda perlawanan dan menguatkan posisi tawar mereka dalam bernegosiasi dengan kepentingan negara dan pengusaha, sentimen keagamaan kelompok prekariat malah memosisikan mereka sebagai objek yang dimanfaatkan elit dalam mobilisasi politik berbasis identitas agama.</p>
<hr>
<p><em>Tulisan ini dikembangkan dari artikel berjudul ‘<a href="https://www.iias.asia/the-newsletter/article/how-neoliberalism-and-islamism-shape-precarity-gig-workers">How Neoliberalism and Islamism Shape the Precarity of Gig Workers</a>’ yang diterbitkan oleh <a href="https://www.iias.asia/">International Institute for Asian Studies, the Netherlands</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211058/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Agama menjadi pegangan pekerja rentan di tengah terpaan eksploitasi, di antaranya melalui komunitas satu profesi. Sayangnya, penerapannya belum bisa mendorong kondisi kerja yang lebih layakDiatyka Widya Permata Yasih, Lecturer, Department of Sociology, Universitas IndonesiaVedi Hadiz, Professor of Asian Studies, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2110562023-08-23T08:04:47Z2023-08-23T08:04:47ZDari ojek hingga penerjemah: berapa banyak pekerja ekonomi gig di Indonesia dan bagaimana karakteristik mereka?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544130/original/file-20230823-17-gtnh3i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C18%2C6016%2C3989&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bekasi-indonesia-april-4-2023-traffic-2290540273">Donny Hery/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Transformasi global dan masifnya penggunaan internet melahirkan fenomena ekonomi gig dan menyuburkan pertumbuhan pekerja prekariat–mereka yang bekerja tanpa atau dengan kontrak fleksibel, dalam kondisi ketidakpastian, dan kerap dikaitkan dengan upah rendah dan minimnya perlindungan. Artikel ini merupakan bagian dari serial <strong>#GenerasiRentan</strong> yang khusus membahas mengenai ekonomi gig dan pekerja prekariat di Indonesia.</em> </p>
<hr>
<p>Istilah ekonomi <em>gig</em> atau <a href="https://www.investopedia.com/terms/g/gig-economy.asp"><em>gig economy</em></a> bukanlah hal yang asing hari-hari ini. Ekonomi <em>gig</em> merupakan pekerjaan berbasis tugas jangka pendek yang dimediasi oleh platform digital. Keberadaan platform digital sebagai mediator dan durasi kerja yang sangat pendek inilah yang membedakan karakteristik pekerja <em>gig</em> dengan pekerja prekariat lain seperti pekerja kontrak ataupun pekerja alih daya (<em>outsourcing</em>). </p>
<p>Di Indonesia, ekonomi <em>gig</em> mulai ramai diperbincangkan sejak kehadiran platform pengemudi ojek daring Gojek pada 2015. Bahkan, ekonomi <em>gig</em> dipandang sebagai “<a href="https://smeru.or.id/id/file/6101/download?token=9Aqcz55y">jenis pekerjaan masa depan</a>” karena menawarkan fleksibilitas dan semangat wirausaha “<a href="https://nonprofitquarterly.org/real-ubers-boss-tagline/"><em>to be your own boss</em></a>”.</p>
<p>Meski demikian, hingga kini belum ada data aktual yang dapat dirujuk untuk menggambarkan besarnya ekosistem ekonomi <em>gig</em> di Indonesia–suatu langkah yang penting untuk mengembangkan dan meregulasi sektor potensial tersebut sekaligus memastikan hak dan perlindungan pekerja. </p>
<p>Apalagi, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0170840616686129">ada pandangan</a> bahwa ekonomi <em>gig</em> merupakan kelanjutan dari <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10708-017-9793-8">praktik eksploitasi neoliberalisme</a>–merujuk pada pemilik modal yang mengendalikan para pekerja secara tidak langsung dengan memanfaatkan <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kerancuan istilah “kemitraan”</a>.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4349942">Studi kami</a> berusaha memetakan tipologi pekerja dan platform ekonomi <em>gig</em> dengan menggunakan data mikro survei angkatan kerja nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik. Kami mengestimasi bahwa angkatan kerja Indonesia yang menjadikan aktivitas <em>gig</em> sebagai pekerjaan utamanya adalah sebesar 430 ribu hingga 2,3 juta orang atau sekitar 0,3-1,7% dari total angkatan kerja. </p>
<h2>Tipologi umum ekonomi gig</h2>
<p>Istilah ekonomi <em>gig</em> <a href="https://www.thedailybeast.com/the-gig-economy">pertama kali populer di Amerika Serikat (AS)</a> pascaresesi besar 2008–saat pekerjaan yang ada didominasi oleh proyek-proyek jangka pendek dan para pekerjanya direkrut secara nontradisional dengan kontrak alternatif dan bayaran berbasis hasil. <a href="https://www.researchgate.net/publication/276191257_Workers_without_employers_Shadow_corporations_and_the_rise_of_the_gig_economy">Istilah ‘<em>gig</em>’ sendiri diadopsi dari konsep musisi amatir</a> yang melakukan konser ‘<em>gig</em>’ dari satu kafe ke kafe lainnya–identik dengan mereka yang bekerja tanpa adanya kantor dan pemberi kerja yang permanen.</p>
<p>Jika dilihat dari prosesnya, ekonomi <em>gig</em> sebenarnya hanyalah bentuk lain dari skema alih daya. Bedanya, peran perusahaan alih daya digantikan oleh platform sebagai perantara. </p>
<p>Secara tipologi, ekonomi <em>gig</em> dapat dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, berbasis <em>online</em>. Dalam jenis ini, seluruh pekerjaan disampaikan tanpa melalui interaksi tatap muka atau bisa disebut sebagai <em>crowdwork</em>. </p>
<p>Beberapa contoh platform <em>crowdwork</em> yang banyak digunakan oleh pekerja <em>gig</em> <em>online</em> di Indonesia, misalnya Upwork (AS), Freelancer (Australia), dan Fiverr (Israel). Di Asia Tenggara sendiri, belakangan muncul platform <em>crowdwork</em> yang cukup ternama, seperti Fastwork (Thailand), Projects.co.id (Indonesia), dan Sribulancer (Indonesia). </p>
<p>Kategori kedua adalah gig berbasis lokasi (<em>location-based gig</em>) yang pekerjaannya harus diselesaikan melalui interaksi tatap muka. Model yang paling umum dalam kategori ini adalah penyedia layanan transportasi (<em>ride-hailing)</em>, yang didominasi oleh Uber (AS), Didi (Cina), atau Lyft (AS). Model bisnis lainnya yang juga marak adalah jasa pengantaran makanan (Deliveroo, Justeat, UberEat) dan jasa kurir (Maxim, Lalamove). </p>
<p>Menariknya, platform yang mendominasi ekonomi <em>gig</em> Indonesia seperti Gojek, Grab, dan belakangan ini Shopee adalah platform yang mengombinasikan beragam layanan sekaligus, atau biasa disebut sebagai <em>superapp</em>. </p>
<h2>Berapa jumlah pekerja gig di Indonesia?</h2>
<p>Meski berkembang pesat, pemerintah masih gagap mengestimasi jumlah populasi pekerja <em>gig</em> ekonomi. Padahal, penting untuk mengetahui jumlah maupun tipologi dari pekerja <em>gig</em> agar dapat mencari kebijakan-kebijakan yang tepat. </p>
<p>Meski data Sakernas belum bisa secara sempurna memperkirakan jumlah pekerja <em>gig</em> di Indonesia, kita dapat menggunakan survei tersebut untuk melakukan perhitungan secara kasar.</p>
<p>Berangkat dari studi-studi sebelumnya yang pernah dilakukan di <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0019793918820008">AS</a>, <a href="https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/handle/JRC112157">Eropa</a> dan <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/687553/The_characteristics_of_those_in_the_gig_economy.pdf">Inggris</a>, kami melakukan riset menggunakan data Sakernas 2019 untuk mengestimasi jumlah pekerja <em>gig</em> di Indonesia. Alasannya, Sakernas mulai mengikutsertakan pertanyaan mengenai apakah pekerja menggunakan internet pada pekerjaan utama–termasuk pemanfaatannya untuk komunikasi, promosi, atau transaksi–pada 2018 dan pertanyaan tambahan mengenai apakah proses penjualan barang/jasa dilakukan melalui situs web/aplikasi <em>marketplace</em> pada 2019. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dihilangkan pada 2020. </p>
<p>Kami menggunakan dua pendekatan untuk melakukan pengukuran. </p>
<p>Pertama, terbatas hanya untuk pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang menggunakan internet dan yang proses penjualan barang/jasanya dilakukan melalui situs web/aplikasi <em>marketplace</em>. Dengan pendekatan ini, kami memperkirakan terdapat 430 ribu orang pekerja <em>gig</em> di Indonesia yang bekerja penuh waktu. </p>
<p>Meskipun pendekatan ini sangat jelas menggambarkan karakteristik pekerja <em>gig</em>, kekurangan muncul dari ambiguitas pertanyaan survei yang bisa menghasilkan angka di bawah kondisi sebenarnya (<em>under-estimation</em>). Seorang pengemudi ojek <em>online</em>, misalnya, belum tentu mendefinisikan aplikasi Gojek yang dipakainya sebagai aplikasi <em>marketplace</em>.</p>
<p>Pendekatan kedua mendefinisikan pekerja <em>gig</em> secara lebih umum, yakni sebagai pekerja yang berusaha sendiri di sektor jasa yang memanfaatkan medium internet pada pekerjaannya. Dengan pendekatan ini terdapat 2,3 juta pekerja <em>gig</em> di Indonesia pada 2019 yang bekerja penuh waktu. Rinciannya, 1,2 juta pekerja berkecimpung di sektor transportasi dan sisanya di sektor jasa lainnya.</p>
<p>Pendekatan ini menggambarkan lebih banyak opsi platform dalam ekosistem ekonomi <em>gig</em> dan tidak menghasilkan ambiguitas dalam pertanyaan survei. Kekurangannya, definisi ini juga mengikutsertakan pengemudi ojek yang menggunakan aplikasi media sosial untuk mendapatkan konsumen tanpa melalui perantara platform, sehingga angka yang dihasilkan bisa saja di atas kenyataan di lapangan (<em>over-estimation</em>). </p>
<p>Berangkat dari dua pendekatan di atas, terdapat 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja di sektor <em>gig</em> sebagai mata pencaharian utama, atau setara dengan 0,3-1,7% dari total angkatan kerja di Indonesia pada 2019. </p>
<h2>Karakteristik pekerja gig Indonesia</h2>
<p>Data Sakernas juga membantu mengidentifikasi karakteristik pekerja <em>gig</em>, misalnya terkait jam kerja, gender, dan latar belakang pendidikan. </p>
<p>Kami menemukan bahwa pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi memiliki jam kerja yang tinggi hingga mencapai 57 jam per pekan. Hal ini sejalan dengan banyak riset yang menggambarkan kondisi pekerjaan pengemudi ojek daring dan kurir yang terpaksa <a href="https://kumparan.com/ideas-riset/68-pengemudi-ojek-daring-bekerja-hingga-16-jam-perhari-dan-nyaris-tanpa-libur-2108r48X2Kh">bekerja dalam waktu sangat panjang</a> untuk mencapai target dan bonus harian.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/14805897/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/14805897/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/14805897" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Dari sisi gender, pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi didominasi oleh laki-laki (97,6%). Sementara, rasio gender pekerja <em>gig</em> di sektor jasa lainnya mirip dengan pekerja formal, dengan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 36,4%. </p>
<p>Selain itu, riset kami juga mengonfirmasi bahwa ekonomi <em>gig</em> adalah fenomena urban. Sebanyak 88% pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi dan 80,7% di sektor jasa lainnya tinggal di perkotaan. </p>
<p>Fenomena ekonomi <em>gig</em> juga menunjukkan dominasi Pulau Jawa dan ibu kota. Sebanyak 1,7 juta (74%) pekerja <em>gig</em> berada di pulau terpadat di dunia ini. Lebih lanjut, 480 ribu (39%) pekerja <em>gig</em> di sektor transportasi terkonsentrasi di aglomerasi Jakarta (Jabodetabek).</p>
<p>Selain Jabodetabek, konsentrasi pekerja <em>gig</em> sektor transportasi (jumlah pekerja per 100.000 orang penduduk dewasa) paling tinggi berada di ibu kota provinsi seperti di Manado, Bandar Lampung, dan Denpasar. Ini sejalan dengan ukuran pasar dan konsumen di tingkat lokal yang dilayani oleh jasa transportasi berbasis <em>gig</em> seperti ojek daring dan kurir barang maupun makanan.</p>
<p>Di sektor jasa lainnya yang bekerja secara daring, pekerja <em>gig</em> terdistribusi juga di kota-kota tier kedua yang ukuran populasinya lebih kecil. Mereka biasanya bisa ditemukan di kota yang identik dengan kota kreativitas, pariwisata, dan pendidikan seperti Denpasar, Malang, dan Yogyakarta. Dengan catatan bahwa pekerja di sektor ini bekerja secara daring, tidak sekadar fokus pada pasar lokal, kota-kota tersebut menjadi pilihan utama para pekerja <em>gig</em> terdidik berketerampilan tinggi yang identik dengan pekerja kreatif ini.</p>
<p>Dari segi upah, distribusi pendapatan di antara sesama pekerja <em>gig</em> transportasi–misalnya antara sesama pengemudi ojek daring–tidak berbeda jauh. Sebaliknya, pendapatan per bulan pekerja <em>gig</em> di sektor jasa lainnya cukup timpang.</p>
<p>Sebagai ilustrasi, pekerja <em>gig</em> di sektor jasa perusahaan bisa memiliki rata-rata pendapatan Rp4,9 juta per bulan, sementara di sektor pendidikan hanya sebesar Rp2,3 juta per bulan. </p>
<p>Dari rata-rata usia, pekerja <em>gig</em> umumnya lebih muda daripada pekerja informal lainnya. Ini karena biasanya seorang pekerja gig dituntut untuk melek teknologi dan bisa menggunakan aplikasi digital melalui perangkat komputer elektronik mereka. </p>
<h2>Masa depan ekonomi gig Indonesia</h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Pekerja gig di Indonesia." src="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=186&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/544125/original/file-20230823-5557-w3v8mn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=233&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pekerja <em>gig</em> tak melulu berada di sektor transportasi <em>online</em>. Mulai dari pendidik hingga penulis lepas, kian banyak pekerja memanfaatkan platform untuk menjajakan jasa mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Daren Woodward/shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Besaran persentase pekerja <em>gig</em> di Indonesia berdasarkan penelitian kami tidak jauh berbeda dengan estimasi pekerja <em>gig</em> penuh waktu di <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0019793918820008">AS</a>, <a href="https://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/handle/JRC112157">Eropa</a>, dan <a href="https://www.thersa.org/globalassets/pdfs/reports/rsa_good-gigs-fairer-gig-economy-report.pdf">Inggris</a> yang berkisar di antara 0,5-5% dari angkatan kerja.</p>
<p>Bedanya, di negara-negara tersebut, ekonomi <em>gig</em> sudah diregulasi dengan jauh lebih serius. Di inggris misalnya, platform tidak bisa lagi mengategorikan orang yang bekerja di platformnya sebagai mitra. Pekerja <em>gig</em> kini <a href="https://www.cnbc.com/2021/03/18/uber-is-reclassifying-uk-drivers-as-workers-heres-what-happens-next.html">diklasifikasikan sebagai pekerja</a> yang punya hak upah minimum, hak istirahat, dan jaminan pensiun. </p>
<p>Uni Eropa kini sedang dalam proses membuat aturan yang komprehensif dan protektif tentang <a href="https://www.consilium.europa.eu/en/policies/platform-work-eu/"><em>platform work</em></a>. Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja dan hak-hak sosial orang yang bekerja dalam ekonomi <em>gig</em> di wilayah eropa. </p>
<p>Di Indonesia, hingga saat ini masih terdapat <a href="https://theconversation.com/disebut-mitra-tapi-tak-ada-payung-hukumnya-pekerja-gig-economy-tidak-terproteksi-190464">kekosongan hukum terkait ekonomi <em>gig</em></a>. Keengganan pemerintah untuk meregulasi ekonomi <em>gig</em> tidak seharusnya dibiarkan berlarut-larut, karena pekerjaan dengan model ini kemungkinan akan terus berkembang dan berlipat ganda.</p>
<p>Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memiliki basis data yang jelas soal jumlah, sebaran, dan karakteristik pekerja <em>gig</em> secara nasional.</p>
<p>Penting bagi pemerintah untuk mengukur jumlah pekerja ekonomi <em>gig</em> secara independen tanpa melibatkan para perusahaan penyedia platform. Ini karena data pekerja <em>gig</em> yang terintegrasi dengan survei tenaga kerja akan bermanfaat untuk analisis perbandingan antara pekerja gig dengan pekerja dan angkatan kerja secara keseluruhan. </p>
<p>Dengan memiliki data yang akurat soal ekonomi <em>gig</em>, pemerintah diharapkan akan bisa membuat kebijakan yang ideal untuk masa depan ekonomi <em>gig</em> yang berkelanjutan dan lebih berkeadilan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211056/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski ekonomi gig tengah pesat berkembang, Indonesia belum memiliki basis data yang menggambarkan besaran dan sebaran pekerjanya. Sebuah riset berusaha memberikan ilustrasi dan menjembatani kekosongan ini.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Media Wahyudi Askar, Phd candidate, University of ManchesterMuhammad Yorga Permana, Lecturer in School of Business and Management ITB and PhD Student in Economic Geography, London School of Economics and Political ScienceLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069982023-06-16T15:59:01Z2023-06-16T15:59:01ZSurvei: beban kerja mahasiswa magang setara pekerja penuh waktu, tapi mayoritas tak diupah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/532352/original/file-20230616-27-dvoif8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C137%2C5732%2C3603&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/asian-women-stressed-out-work-she-613178555">Torwaistudio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Praktik magang, apalagi yang tak berbayar, menimbulkan polemik terkait hak dan kewajiban pemagang dalam relasi kerja di Indonesia.</p>
<p>Pemagangan, yang secara umum diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/145067/permenaker-no-6-tahun-2020">Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020</a>, sering dianggap sebagai sarana praktik sebelum memasuki dunia kerja, memperoleh jejaring profesional, hingga pengembangan kapasitas individu.</p>
<p>Sayangnya, meski para pemagang dipekerjakan penuh waktu layaknya pekerja, Pemernaker tersebut tak mengamanatkan kompensasi berupa upah dan hanya berupa uang saku yang meliputi “biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan” yang layak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/eksploitasi-pekerja-magang-di-start-up-bisa-terjadi-karena-aturan-hukum-yang-ketinggalan-zaman-157353">Eksploitasi pekerja magang di start-up bisa terjadi karena aturan hukum yang ketinggalan zaman</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Yang lebih parah lagi justru adalah peserta magang akademik, utamanya yang melibatkan pelajar dan mahasiswa.</p>
<p>Relasi kerja yang diatur dalam Permenaker di atas, sebenarnya merujuk pada “percantrikan” (<a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_711612.pdf"><em>apprenticeship</em></a>), yakni pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke posisi jabatan tertentu. Sedangkan, magang yang melibatkan pelajar dan mahasiswa bukan bertujuan untuk itu, melainkan untuk tujuan pembelajaran (<em>internship</em>) – dan kegiatan ini belum memiliki payung hukum yang formal di Indonesia.</p>
<p>Akibatnya, meski juga kerap dipekerjakan secara penuh waktu, pemagang akademik bahkan tak mendapat hak uang saku sama sekali.</p>
<p>Hasil sementara dalam penelitian saya (belum dipublikasikan) memberi gambaran bagaimana alih-alih mengasah kompetensi pemagang, praktik magang akademik justru menempatkan mereka dalam posisi yang rentan di tempat kerja. Banyak dari mereka bekerja penuh waktu tanpa upah dan hak kerja layak.</p>
<p>Studi ini melibatkan 215 responden pekerja magang selama menjadi pelajar atau mahasiswa.</p>
<p>Berdasarkan jenjang pendidikan mereka ketika magang, sebanyak 88% merupakan mahasiswa sedangkan 12% berjenjang sekolah menengah. Di antara mahasiswa, sebanyak 66% dari rumpun ilmu sosial dan humaniora sedangkan 34% dari rumpun ilmu sains dan teknologi.</p>
<p>Instansi magang mereka berada di sektor lembaga publik (44%), swasta (41%), dan sebanyak 15% lainnya tersebar di sektor lain seperti Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D), sektor pendidikan, dan nonprofit.</p>
<h2>Lemahnya pemagang akademik dalam hierarki kerja</h2>
<p>Akibat absennya regulasi, banyak pemberi kerja di Indonesia menyamakan beban kerja pemagang akademik setara dengan pekerja formal.</p>
<p>Misalnya, mayoritas pemberi kerja sering menerapkan durasi kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu sesuai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan</a>. Padahal, regulasi ketenagakerjaan berlaku hanya jika ada hubungan pekerja dan pemberi kerja secara formal, bukan dalam konteks magang akademik.</p>
<p>Tak hanya itu, para pemagang dibebankan mekanisme target, kewajiban, kontrol, serta sanksi yang diberlakukan selayaknya pekerja penuh waktu.</p>
<p>Namun, berbeda dengan pekerja, pengelompokan pemagang akademik sebagai orang yang masih belajar atau mencari pengalaman juga membuat mereka rentan <a href="https://www.versobooks.com/en-gb/products/2191-intern-nation">ditekan dalam “kultur kepatuhan”</a> terhadap atasan dan instansi.</p>
<p>Seluruh dinamika tersebut membuat pekerja magang akademik justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja – tanpa timbal balik yang setara buat mereka.</p>
<p>Hasil survei, misalnya, menunjukkan bahwa 53% responden pemagang menyatakan mereka seringkali bekerja di luar jam kerja hingga terpaksa membawa pekerjaan ke rumah karena beban kerja yang tinggi. Target yang harus mereka selesaikan juga setara dengan pekerja.</p>
<p>Ini bisa berupa penanganan keluhan pelanggan, rapat, membuat laporan, menginput data, atau observasi yang menyebabkan pemagang bekerja lembur.</p>
<p>Bahkan, beberapa menyatakan pernah bekerja lembur sampai dini hari, dan 3% responden bekerja lebih dari 8 jam per hari untuk menyelesaikan target.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tak hanya itu, para responden kami juga melaporkan berbagai tekanan kerja akibat beberapa hal lainnya, termasuk:</p>
<ul>
<li>hambatan teknis yang meliputi miskomunikasi, alat dan instrumen kerja yang tidak berfungsi, dan pendelegasian tugas yang buruk,</li>
<li>fasilitas pembelajaran yang tidak sesuai ekspektasi mulai dari minimnya ruang untuk berpendapat hingga mentor yang kurang handal dan responsif, serta</li>
<li>diskriminasi karena status mereka sebagai pemagang yang posisinya dianggap rendah.</li>
</ul>
<p>Selain itu, sebanyak 72,6% responden menyatakan tidak memiliki kesempatan untuk memilih minat pekerjaan dan kompetensi yang mereka inginkan saat magang. </p>
<p>Pemagang justru hanya bisa menerima beban kerja yang diberikan oleh tempat magang, bahkan oleh oknum pekerja yang melimpahkan beban kerja penuh waktu mereka pada pemagang.</p>
<h2>Mayoritas tak diupah dan tanggung ongkos sendiri</h2>
<p>Meski sering menanggung beban dan target kerja yang sama dengan pekerja penuh waktu, kekosongan hukum dan kerangka kerja pemagang akademik sebagai “pembelajar” membuat mereka <a href="https://www.versobooks.com/en-gb/products/2191-intern-nation">tidak punya jaminan hak-hak kerja yang layak dan adil</a>.</p>
<p>Banyak dari mereka harus mengandalkan “kebaikan hati” pemberi kerja untuk memberikan upah. Misalnya, hanya 23,72% responden pemagang akademik menyatakan menerima upah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di antara mereka, mayoritas yang dibayar oleh perusahaan hanya berkisar Rp 1-2 juta.</p>
<p>Sedangkan, bagi mereka yang melaksanakan program magang pemerintah, seperti lewat <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB)</a> dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mayoritas dibayar sebesar Rp 2-2,9 juta.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ongkos produksi yang harus ditanggung oleh pemagang akademik pun menjadi salah satu persoalan besar. Sebanyak 65,58% responden menyatakan tidak diberikan kompensasi ongkos transportasi dan uang makan.</p>
<p>Bagi mereka yang menerima, besarannya per bulan mayoritas hanya berkisar Rp 200-400 ribu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Padahal, banyak pemagang harus menanggung ongkos transportasi dan uang makan sebesar Rp 400-720 ribu per bulan. Banyak dari mereka membayar bahan bakar kendaraan dan banyak pula yang menggunakan moda transportasi umum untuk pulang dan pergi magang. </p>
<h2>Pemangkasan biaya produksi</h2>
<p>Relasi kerja magang akademik juga menunjukkan adanya fenomena penggeseran risiko kerja dan ongkos produksi dari perusahaan ke pemagang.</p>
<p>Pada sektor swasta atau profit, ada banyak kasus juga ketika kompensasi justru diberikan oleh negara, misalnya program <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)</a> yang disebutkan sebelumnya. </p>
<p>Sebagai gambaran, lewat skema magang akademik seperti pada program <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">MBKM</a>, ada kisaran <a href="https://pusatinformasi.mitrakm.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/5724207738393-Ketentuan-Pendanaan-Program-Magang-Angkatan-2">Rp 55,9-78,3 miliar anggaran yang seharusnya menjadi ongkos pengupahan dari 216 perusahaan “mitra”</a> yang justru ditanggung oleh pemerintah.</p>
<p>Padahal, skema ini mempermudah perusahaan melihat dan menguji talenta, kecocokan, dan kualifikasi profesional spesifik dari pegawai – dengan <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/38122753.pdf">biaya rendah</a> atau bahkan <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/media/5b3b5de3ed915d33c7d58e52/Internships.pdf">tanpa ongkos rekrutmen</a>.</p>
<p>Di satu sisi, program ini pada kenyataannya memang memfasilitasi program magang yang lebih layak pada pekerja magang.</p>
<p>Di sisi lain, mekanisme ini menunjukkan adanya penyimpangan amanat regulasi kewajiban hak atas upah layak dalam relasi kerja yang <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">idealnya dibebankan pada pemberi kerja</a>.</p>
<p>Selain itu, karena adanya batasan kuota, tidak semua pendaftar program magang yang diupah pemerintah, dapat diterima. </p>
<h2>Mendorong program magang layak</h2>
<p>Dalam praktiknya, alih-alih ditempatkan sebagai pembelajar, mayoritas pemagang akademik justru terjebak dalam sistem sukarelawan (<em>volunteer</em>) yang hanya mengandalkan kebaikan hati pemberi kerja untuk sekadar mendapatkan kompensasi atas ongkos produksi.</p>
<p>Dengan skema ini, posisi tawar pemagang – apalagi pemagang akademik – yang secara politik lebih lemah menyebabkan mereka sering kali harus pasrah dengan mekanisme kerja yang rentan. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/eksploitasi-pekerja-magang-di-start-up-bisa-terjadi-karena-aturan-hukum-yang-ketinggalan-zaman-157353">Pemerintah perlu melakukan intervensi</a> untuk menutup celah regulasi yang ada terkait pemagangan, baik akademik dan nonakademik. Harus ada kerangka hak dan kewajiban yang adil, beserta mekanisme pendisiplinan untuk pemberi kerja, agar tidak ada lagi praktik magang yang tidak layak.</p>
<p>Menegaskan kelayakan upah atau uang saku juga dapat mencegah praktik ketidakadilan karena timpangnya ongkos produksi yang dibebankan pada pemagang. Batasan minimum ini perlu dikaji – misalnya menggunakan survei kelayakan upah dan survei pengeluaran ongkos kerja oleh pemagang di setiap daerah.</p>
<p>Jika merefleksikan magang dalam kultur akademik, penting untuk menjamin regulasi yang menempatkan pemagang sebagai pihak otonom agar dapat memilih kompetensi yang mereka ingin dalami selama magang. Target dan beban kerja ditentukan berdasarkan kesepakatan yang demokratis antara pemagang, pemerintah yang menaungi relasi kerja, dan pemberi kerja dengan memperhatikan hak-hak kerja layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206998/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anindya Dessi Wulansari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dinamika relasi kerja di Indonesia membuat pekerja magang justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja – tanpa timbal balik yang setara buat mereka.Anindya Dessi Wulansari, Research Fellow at Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) and Lecturer, Universitas Tidar MagelangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2063262023-05-26T09:24:32Z2023-05-26T09:24:32ZPerubahan budaya korporasi butuh kaum muda yang melakukan reformasi jangka panjang – bukan revolusi semalam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/528559/original/file-20230526-19-snkhng.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kaum muda bisa jadi memandang bahwa revolusi itu lebih menarik ketimbang reformasi. Namun, para pemimpin masa depan perlu terbuka dengan realitas bahwa perubahan yang bermakna dan tahan lama itu terjadi secara inkremental dan perlahan-lahan.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Banyak institusi kapitalis saat ini <a href="https://utorontopress.com/9781487508425/connected-capitalism/">menuai dampak buruk</a> akibat <a href="https://www.economist.com/graphic-detail/2016/05/05/comparing-crony-capitalism-around-the-world">politik kroni</a>, <a href="https://theconversation.com/food-giants-reap-enormous-profits-during-times-of-crisis-184223">keserakahan</a>, dan pola <a href="https://www.vox.com/the-big-idea/2016/10/3/13141852/short-term-capitalism-clinton-economics">pikir jangka pendek</a>. Tapi, berbicara kapitalisme tak hanya tentang bobroknya saja, atau dampak negatif yang terjadi karena tindakan kelompok elit yang serakah.</p>
<p>Merombak kapitalisme dimulai dengan reformasi, yang berarti memberlakukan perubahan-perubahan di dalam struktur yang ada.</p>
<p>Menariknya, kelompok terkini yang memasuki angkatan kerja, yakni Gen Z, punya <a href="https://iea.org.uk/publications/left-turn-aheadsurveying-attitudes-of-young-people-towards-capitalism-and-socialism/">tingkat kepercayaan yang rendah</a> terhadap sistem korporasi. Mereka enggan “bermain” di sistem yang aturan mainnya sulit mereka percayai.</p>
<p>Meski riset tentang Gen Z belum banyak, kita tahu bahwa Gen Z <a href="https://www.ceeol.com/search/article-detail?id=531928">tampak tidak terlalu melibatkan diri</a> secara sosial (<em>civil engagement</em>) dan enggan bekerja sama dalam tim.</p>
<p>Selain itu, menurut <a href="https://ethisphere.widen.net/s/rgmldwrwxc/ethisphere-2023-ethical-culture-report-jan2023">studi terkini</a> dari perusahaan nirlaba Ethisphere, Gen Z termasuk salah satu yang paling gencar mengadopsi komitmen-komitmen etis, namun sekaligus yang memiliki kemungkinan paling kecil untuk melaporkan adanya perilaku buruk di tempat kerja. Hampir 39% responden Gen Z memilih tidak melaporkan pelanggaran yang mereka lihat – selisih 11 poin dari kolega Gen X dan Baby Boomer mereka.</p>
<p>Pekerja Gen Z tidak percaya bahwa melaporkan pelanggaran dan perilaku buruk di tempat kerja itu sepadan dengan potensi bahwa mereka bisa mendapatkan perlawanan balik atau bahkan hukuman. Mereka juga ragu bahwa pelanggaran tersebut akan benar-benar ditindak.</p>
<p>Jadi, bagaimana Gen Z bisa menjadi agen reformasi yang efektif di tengah sistem yang tidak mereka percayai?</p>
<h2>Pentingnya kepercayaan</h2>
<p>Studi dari Ethisphere tersebut menemukan bahwa semakin muda seorang pegawai, semakin rendah kepercayaannya terhadap kebijakan korporasi yang dirancang untuk mencegah perlawanan balik ketika ada laporan. Temuan ini pun selaras dengan data yang lebih luas yang menunjukkan bahwa Gen Z memang <a href="https://morningconsult.com/form/gen-z-worldview-tracker/">cenderung tak percaya dengan institusi secara umum</a>.</p>
<p>Kenapa ini penting?</p>
<p>Studi akademik menjelaskan bahwa korporasi didorong oleh <a href="http://www.patriciathornton.com/files/Thornton_AJS_1999.pdf">logika-logika institusi</a> – yakni pola praktik, nilai, dan aturan historis yang dikonstruksikan secara sosial, yang memandu kegiatan sehari-hari dalam lingkungan korporat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A young woman sitting at a desk reading a sheaf of paper" src="https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506687/original/file-20230126-14416-caqvkd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Studi terkini menunjukkan bahwa Gen Z punya kepercayaan yang rendah terhadap sistem korporasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beragam logika institusional ini berkaitan dengan <a href="https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/36441/Imprinting2013.pdf?sequence=1">dampak historis dari lingkungan kerja terdahulu (<em>imprinting</em>)</a>. Proses ini pun melampaui sejarah itu sendiri – dampak dari <em>imprinting</em> organisasi bervariasi seiring waktu, merefleksikan keterikatan antara masa lalu dan masa kini, mengingat ia terus bertahan meski lingkungan sosial berubah.</p>
<p>Organisasi berpatokan pada logika-logika yang telah mengakar ini untuk menunjang citra mereka dan membantu kita memahami lingukungan sosial, serta sebagai panduan kita berperilaku dalam organisasi.</p>
<p>Perlawanan dan kritik terhadap logika institusional yang sudah usang ini, kini telah berujung pada lingkungan yang mampu berubah. Misalnya, ada masanya ketika logika institusional yang dominan, terutama yang terkait tujuan perusahaan, hanya berfokus pada <a href="https://philosophia.uncg.edu/media/phi361-metivier/readings/Friedman-Increase%20Profits.pdf">peningkatan profit</a>.</p>
<p>Akibat perlawanan dan kritik selama beberapa dekade, kini kita menyaksikan adanya logika institusional baru. Tujuan dari korporasi kini telah didefinisikan ulang untuk melibatkan <a href="https://www.researchgate.net/profile/Robert-Phillips-19/publication/337990788_On_the_2019_Business_Roundtable_Statement_on_the_Purpose_of_a_Corporation/links/5fda46c9299bf1408816d7a7/On-the-2019-Business-Roundtable-Statement-on-the-Purpose-of-a-Corporation.pdf">seluruh pemegang kepentingan (<em>stakeholder</em>) – bukan hanya pemegang saham (<em>shareholders</em>)</a> – dari kegiatan korporasi.</p>
<p>Pergeseran dari logika <em>shareholder</em> ke <em>stakeholder</em> ini merepresentasikan perubahan 180 derajat dari pola pikir institusional terdahulu. Cara-cara lama, meski telah mendarah daging, kini menjadi ditantang ketika para pemimpin korporasi dihadapkan dengan <a href="https://doi.org/10.5465/19416520.2011.590299">cara-cara baru</a> untuk menjalani dan melihat berbagai hal.</p>
<h2>Tidak ada jalan pintas untuk transformasi</h2>
<p>Meski kepercayaan-kepercayaan yang terinternalisasi serta kebiasaan-kebiasaan lama kini akhirnya mulai dipertanyakan, perubahannya cukup lambat. Riset terkait teori institusi menunjukkan bahwa konflik antara nilai lama dan baru akan terselesaikan melalui <a href="https://doi.org/10.5465/amr.2014.0405">perubahan-perubahan yang bersifat episodik atau bertahap</a>.</p>
<p>Perubahan semacam ini melibatkan periode-periode ketika organisasi menjadi terbuka bagi orang-orang untuk menerapkan perubahan bermakna, tapi juga diselangi periode-periode stabil ketika tidak ada perubahan yang terjadi.</p>
<p>Bisa dipahami kenapa kaum muda bisa jadi memandang bahwa revolusi itu lebih menarik ketimbang reformasi. Akan tetapi, kita butuh pemimpin masa depan yang terbuka terhadap realitas bahwa perubahan yang bermakna dan tahan lama itu sifatnya inkremental (sedikit demi sedikit). Perlu kesabaran dan komitmen.</p>
<p>Perubahan akan datang, misalnya, dari para milenial yang menuntut para bisnis kapitalis untuk <a href="https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/global/Documents/About-Deloitte/deloitte-2019-millennial-survey.pdf">memprioritaskan produk dan pekerjaan berkualitas</a> di atas profit, dan juga seluruh pekerja yang <a href="https://theconversation.com/management-is-so-passe-its-co-creation-that-workers-are-demanding-171574">menuntut kondisi kerja yang lebih baik</a> dari organisasi mereka.</p>
<p>Apalagi, kini semakin menjamur beragam standar dan produk yang menambah kompleksitas etika bisnis – namun banyak korporasi <a href="https://sloanreview.mit.edu/article/three-ways-companies-are-getting-ethics-wrong/">tak benar-benar menjalaninya dengan sungguh-sungguh</a>. Perubahan juga akan terjadi ketika orang-orang menolak untuk melanggengkannya.</p>
<h2>Merebut kembali kepercayaan kaum muda</h2>
<p>Gen Z benar untuk <a href="https://theconversation.com/how-large-corporations-make-huge-profits-from-hidden-markups-at-the-expense-of-consumers-197274">tidak percaya sistem yang ada</a> saat ini. Penulis dan komentator politik David Frum <a href="https://utorontopress.com/9781487508425/connected-capitalism/">menjelaskan kepada saya beberapa tahun lalu</a>, bahwa “koalisi apapun yang mengupayakan reformasi perlu memperhatikan masalah kaum muda dengan serius.”</p>
<p>Frum mengamati bahwa, selama kelompok elit menggambarkan bahwa “‘kapitalisme’ itu ciri-cirinya adalah standar hidup yang stagnan, hutang pendidikan yang menggunung, biaya perawatan anak yang mahal, hingga ancaman bencana lingkungan,” mereka akan terus mencari alternatif.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A group of young adults sitting and chatting in an office" src="https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506684/original/file-20230126-43817-3jz1on.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Prioritas tertinggi dari rezim kekuasaan dan korporat adalah membangun kembali kepercayaan di antara generasi muda.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain itu, tak hanya Gen Z yang kehilangan rasa kepercayaan. <a href="https://www.pewresearch.org/science/2022/02/15/americans-trust-in-scientists-other-groups-declines/">Survei tahun 2022</a> di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa kepercayaan publik pada pemimpin bisnis dan politikus mencapai titik terendah dalam sejarah. <a href="https://www.hilltimes.com/story/2021/03/15/public-trust-in-government-business-media-erode-following-dramatic-spring-2020-surge-according-to-survey/229151/">Survei di Kanada</a> setahun sebelumnya menyoroti tren yang mirip.</p>
<p>Mungkin, lebih mengkhawatirkan lagi, adalah suatu survei yang menemukan bahwa <a href="https://www.ipsos.com/en-ca/news-polls/only-one-third-of-Canadians-believe-most-people-can-be-trusted">hanya sepertiga orang Kanada yang yakin bahwa sesama warga negara lainnya dapat dipercaya</a>, terlepas dari identitasnya.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/001872679304600907">Kepercayaan (“<em>trust</em>”)</a> telah didefinisikan sebagai “rasa saling percaya bahwa tidak ada pihak dalam suatu hubungan yang akan mengeksploitasi kerentanan pihak lainnya.” Sebaliknya, <a href="https://doi.org/10.1002/smj.4250150912">seberapa suatu pihak dapat dipercaya (“<em>trustworthiness</em>”)</a> bisa dipahami sebagai “sifat layak dipercaya oleh orang lain untuk tidak mengeksploitasi ketiadaan transparansi informasi (<em>adverse selection</em>), risiko moral (<em>moral hazard</em>), keterbatasan kontrak (<em>holdup</em>), atau bentuk kerentanan lainnya dalam transaksi.”</p>
<p>Dalam pemikiran kapitalisme konvensional, <a href="https://www.psychologytoday.com/ca/blog/managing-with-meaning/202203/trustworthiness-is-the-antidote-to-todays-trust-deficit">menjadi pihak yang dapat dipercaya</a> itu biasanya dilakukan jika bisa menghemat biaya. Kita perlu beranjak dari pandangan yang cenderung terlalu sempit ini.</p>
<p>Ketika kaum muda tidak percaya pada sistem, prioritas tertinggi dari rezim kekuasaan dan korporat adalah membangun kembali kepercayaan itu. Upaya untuk bisa dipercaya dan meraih predikat <em>trustworthiness</em> tersebut adalah hal yang akan meyakinkan generasi selanjutnya yang skeptis akan institusi yang ada, untuk bekerja sama dengan kita melakukan reformasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206326/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>David Weitzner menerima dana dari SSHRC Kanada.</span></em></p>Bagaimana Gen Z bisa menjadi agen perubahan yang efektif untuk reformasi ekonomi dalam suatu sistem yang tidak mereka percayai?David Weitzner, Assistant professor, Administrative Studies, York University, CanadaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996032023-03-07T06:17:56Z2023-03-07T06:17:56ZDiskriminasi usia dalam lowongan pekerjaan: bagaimana ‘ageism’ merugikan pekerja, terutama pekerja kontrak dan perempuan<p>Beberapa waktu lalu, “<a href="https://www.instagram.com/corla_2/?hl=en">Bunda Corla</a>”, persona media sosial dengan lebih dari 6 juta pengikut di Instagram, memicu <a href="https://twitter.com/worksfess/status/1582587501255933952">diskusi hangat</a> soal <a href="https://twitter.com/Mozartius1/status/1619567535107772416">pembatasan usia</a> dalam lowongan pekerjaan. Para warganet membandingkan Bunda Corla yang berusia di atas 40 tahun dan masih bisa mendapat pekerjaan formal sebagai karyawan restoran cepat saji di Jerman – tempat ia kini tinggal – dengan kondisi di Indonesia. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1619567535107772416"}"></div></p>
<p>Di Indonesia, kebanyakan lowongan pekerjaan memberikan syarat usia dengan batas maksimal sangat muda, yakni di kisaran 30 tahun atau bahkan 25 tahun. </p>
<p>Akibatnya, orang-orang dengan usia di atas 30 tahun memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam pasar kerja. </p>
<h2>Normalisasi diskriminasi usia di lapangan kerja</h2>
<p>Di banyak negara lain, praktik pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dapat dikategorikan sebagai <a href="https://www.cipd.co.uk/knowledge/fundamentals/emp-law/age-discrimination/factsheet#gref">diskriminasi berbasis usia (<em>ageism</em>)</a>. Ini terjadi ketika seseorang dirugikan secara tidak adil karena alasan, yang tidak dapat dibenarkan secara objektif, terkait dengan usianya. </p>
<p><a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/Issues/OlderPersons/Submissions/ILO.pdf">Berbagai negara</a> telah melarang praktik <em>ageism</em> di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk, dan seringkali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasar pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut.</p>
<p>Masalahnya, di Indonesia, pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Misalnya, kita sangat mudah menemui lowongan pekerjaan – bahkan yang disebarkan <a href="https://twitter.com/hashtag/LokerNaker?src=hashtag_click">Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)</a> lewat tagar #LokerNaker di Twitter – dengan pembatasan usia maksimal bahkan semuda 25 tahun.</p>
<p>Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa pemberi kerja hingga pemerintah pun memaklumkan penggunaan batasan usia dalam lowongan pekerjaan. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1630190763605905408"}"></div></p>
<h2><em>Ageism</em> dan pekerja kontrak</h2>
<p>Normalisasi terhadap diskriminasi berbasis usia secara umum berimbas pada seluruh angkatan kerja. Namun, pekerja-pekerja yang sedari awal berada dalam posisi lebih <a href="https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048">rentan (<em>precarious</em>)</a> – seperti pekerja dengan status kontrak – akan merasakan dampak yang lebih besar. </p>
<p>Pekerja kontrak memiliki keamanan kerja yang sangat rendah. Misalnya, mereka tidak pernah punya jaminan bahwa kontrak pekerjaan mereka akan terus diperpanjang. Kontrak yang habis masa berlakunya akan serta merta menyebabkan pekerja tersebut langsung kehilangan pekerjaan. </p>
<p>Bayangkan ketika pekerja habis masa kontraknya dalam usia yang tidak lagi “muda”, batasan usia dalam lowongan kerja yang beredar akan menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan baru.</p>
<p>Padahal, kondisi pasar kerja Indonesia yang kian fleksibel (atau dalam konteks ini berarti rentan) selepas terbitnya <a href="https://theconversation.com/tiga-dampak-buruk-aturan-kontrak-kerja-sampai-lima-tahun-bagi-karyawan-157482">Undang-Undang (UU) Cipta Kerja</a> menyebabkan pegawai makin mudah dipekerjakan dengan kontrak tidak tetap. </p>
<h2>Pekerja perempuan kena dampak lebih</h2>
<p>Berbagai riset juga menunjukkan bahwa <em>ageism</em> cenderung berimbas <a href="https://medium.com/swlh/gendered-ageism-is-real-and-it-sucks-c96ad5d5d9f0">lebih buruk terhadap pekerja perempuan</a>. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, salah satu alasannya adalah karena banyaknya pekerja perempuan yang <a href="https://theconversation.com/riset-ada-kesenjangan-upah-antar-gender-di-indonesia-terutama-bagi-perempuan-di-bawah-30-tahun-129463">berhenti bekerja sementara waktu</a> saat mereka menikah, hamil, melahirkan, dan kemudian mengurus anak. Ketika para pekerja perempuan tersebut ingin <a href="https://theconversation.com/apa-yang-bisa-dilakukan-perusahaan-untuk-mengurangi-diskriminasi-terhadap-ibu-bekerja-187281">kembali ke pasar kerja</a>, usia mereka telah lewat “batasan usia” yang banyak disyaratkan oleh lowongan pekerjaan. </p>
<p>Ini bisa jadi merupakan salah satu penyebab mengapa <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/09/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-ri-terus-meningkat-dalam-3-tahun-terakhir#:%7E:text=Berdasarkan%20gender%2C%20TPAK%20laki%2Dlaki,TPAK%20perempuan%2053%2C41%25.">Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan</a> di Indonesia masih berada jauh di bawah laki-laki – hanya sebesar 53,41% dibandingkan laki-laki yang sebesar 83,87%.</p>
<p>Bahkan, jika perempuan bisa kembali bekerja sekalipun, mereka seringkali hanya bisa bekerja di sektor informal yang cenderung tidak memiliki batasan usia. Perempuan-perempuan pengemudi ojek <em>online</em> (ojol) yang <a href="https://www.qmul.ac.uk/busman/staff/phd/profiles/nabiyla-risfa-izzati.html">saya wawancarai</a>, misalnya, mengaku bekerja sebagai ojol karena usia mereka sudah tidak memungkinkan untuk mencari pekerjaan “kantoran”. Padahal, usia mereka masih di angka 30-40 tahunan. </p>
<p>Selain itu, bekerja di sektor informal tentu berdampak pada upah dan perlindungan sosial yang lebih sedikit. Akibatnya, banyak <a href="https://money.kompas.com/read/2022/07/29/210000426/angkatan-kerja-perempuan-masih-rendah-menaker--budaya-patriarki-masih-mengakar">pekerja perempuan berada dalam posisi yang lebih rentan</a> secara finansial.</p>
<h2>Pengaturan diskriminasi usia di Indonesia</h2>
<p>Apakah Indonesia memang tidak punya ketentuan mengenai diskriminasi usia? </p>
<p>Dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">UU Ketenagakerjaan tahun 2003</a> memang tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur larangan adanya batas usia. Namun, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa “<em>Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan</em>.” Di sini, tenaga kerja mengacu pada “<em>setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat</em>.”</p>
<p>Secara singkat, sepanjang seseorang masih mampu melakukan pekerjaan, negara seharusnya menjamin kesempatan yang sama untuk mereka dalam memperoleh pekerjaan. </p>
<p>Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi <a href="https://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:C111">Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 111</a> mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, melalui <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45326">Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999</a>. Isi dari konvensi ini secara umum memberikan tanggung jawab bagi negara untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja. </p>
<p>Ini berarti pemerintah tak punya lagi alasan untuk membiarkan <em>ageism</em> di dunia kerja – apalagi mempromosikannya lewat lowongan kerja yang disebarkan institusi negara. Aturan-aturan di atas seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan yang secara konkrit melarang pencantuman pembatasan usia dalam lowongan pekerja tanpa adanya alasan yang jelas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199603/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Praktik ‘ageism’ di tempat kerja telah dilarang di banyak negara. Usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk, dan seringkali tak berkaitan dengan kemampuan kerja.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1976272023-01-24T04:31:40Z2023-01-24T04:31:40ZRiset kami di kota pesisir Makassar tunjukkan SMK bisa jadi kunci mengembangkan kapasitas digital pekerja muda pelabuhan<p>Perekonomian Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2019 sebelum pandemi, pertumbuhan provinsi ini <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/research/connectivity/overview-south-sulawesis-economy/">mencapai 6,9%</a> – lebih tinggi dari rata-rata nasional 5% – dengan pengembangan infrastruktur yang cepat, khususnya di industri maritim.</p>
<p>Seiring bertumbuh, industri wilayah ini pun mengalami digitalisasi. <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/wp-content/uploads/2022/11/YPS5-1-EN-ONLINE.pdf">Studi yang kami lakukan</a> pada tahun ini bersama program riset bilateral Australia-Indonesia Centre (AIC), menemukan adanya celah signifikan dalam hal literasi dan kemampuan digital antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri di Sulawesi Selatan.</p>
<p>Tim kami membuat instrumen yang mengukur kompetensi digital individu lewat sembilan dimensi – termasuk pemikiran komputasional, komunikasi digital, dan kompetensi digital terkait rantai pasok. Kami kemudian melakukan campuran antara wawancara, survei, dan <em>focus-group discussion</em> (FGD) yang melibatkan pekerja muda di pelabuhan, manajemen pelabuhan, serta siswa dan kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).</p>
<p>Kajian ini menemukan bahwa pekerja pelabuhan meraih skor tinggi dalam aspek-aspek seperti identitas dan keamanan digital (4,3 dari 5) dan pengoperasian teknologi secara umum (4,2). Namun, mereka lemah dalam lima dari sembilan indikator, dan juga sangat tertinggal dalam aspek pemikiran komputasional (2,36) dan kompetensi digital terkait rantai pasok (2,34).</p>
<p>Literatur menunjukkan bahwa kedua kompetensi ini penting dalam meningkatkan efektivitas operasi pelabuhan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pekerja di Pelabuhan Makassar lemah dalam banyak indikator kemampuan digital.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Australia-Indonesia Centre)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://comskills.co.uk/wp-content/uploads/2021/11/defining-the-skills-citizens-will-need-in-the-future-world-of-work.pdf">Pemikiran komputasional</a>, misalnya, mempengaruhi sebaik apa operator bisa merencanakan pemuatan dan pembongkaran peti kemas di pelabuhan. Sementara, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2213624X1830350X">kemampuan digital dalam manajemen rantai pasok</a> sangat penting dalam pengoperasian program dan platform logistik.</p>
<p>Riset kami menunjukkan celah kompetensi ini ada karena beberapa alasan. Ini termasuk ketersediaan program pelatihan bagi pekerja muda yang masih terbatas, serta kurikulum sekolah dan guru yang belum berhasil membekali lulusan dengan kompetensi digital yang cukup.</p>
<p>Untuk menjawabnya, kami memandang pendidikan vokasi punya peran besar menutup kekurangan kemampuan digital ini. Kami juga memetakan beberapa peluang untuk memperbaiki tawaran program yang ada saat ini di berbagai SMK dan institusi vokasi lainnya di Makassar.</p>
<p><a href="https://www.ditjenvokasi.id/perencanaan/renstra">Pendidikan vokasi</a> di Indonesia, misalnya, dari SMK hingga politeknik, sebagian bertujuan untuk memajukan kapasitas digital para murid. Struktur kurikulumnya berbasis permintaan pasar kerja saat ini, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri.</p>
<p>Memperbaiki institusi pendidikan vokasi ini – sekaligus menutup celah kompetensi yang ada – bisa membantu pekerja muda untuk benar-benar meraup manfaat dari ekonomi maritim yang tengah berkembang seperti di Makassar.</p>
<h2>Memajukan pendidikan vokasi, menutup celah literasi</h2>
<p>Untuk mengukur seberapa baik program pendidikan yang saat ini ditawarkan sekolah vokasi bisa berkontribusi menutup celah literasi digital di antara pekerja muda di pelabuhan, kami melakukan serangkaian wawancara dan survei dengan 198 murid dan tujuh kepala sekolah di Makassar.</p>
<p>Kami menemukan para siswa SMK ini punya skor yang sedikit lebih rendah dari para pekerja muda pelabuhan dalam kebanyakan aspek. Seperti mereka pula, para siswa ini juga masih lemah dalam aspek pemikiran komputasional (3,2) dan kompetensi digital terkait rantai pasok (2,4).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Murid sekolah vokasi di Makassar meraih skor lebih tinggi dari pekerja pelabuhan dalam hal pemikiran komputasional dan kompetensi digital terkait rantai pasok.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Australia-Indonesia Centre)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi, skor para siswa dalam kedua aspek ini masih lebih tinggi dari para senior mereka di industri pelabuhan. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa sekolah vokasi sudah punya fondasi yang kuat dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dengan sedikit perbaikan – seperti dalam hal kurikulum dan pengajaran – para SMK dan politeknik bisa menjadi mitra ideal bagi industri maritim Makassar untuk pelatihan maupun produksi talenta yang unggul dalam literasi digital.</p>
<p>Meski demikian, kami juga mengidentifikasi adanya keterbatasan pemahaman terkait aplikasi-aplikasi bisnis di antara para siswa. Sekitar 52,5% mendemonstrasikan kompetensi yang rendah dalam memakai perangkat lunak terkait manajemen rantai pasok.</p>
<p>Untuk menutup kekurangan ini, tim kami menyarankan sejumlah ranah perbaikan bagi sekolah vokasi di Makassar:</p>
<p><strong>1. Kembangkan dan desain ulang kurikulum untuk mengembangkan kompetensi digital yang relevan dengan industri</strong></p>
<p>Dalam <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/unduhan/Struktur_SMK_2018.pdf">kurikulum SMK saat ini</a> di Indonesia, topik seperti identitas dan keamanan digital, kompetensi terkait manajemen rantai pasok, serta konsep dan operasi teknologi adalah tiga kemampuan digital utama yang belum dipertimbangkan.</p>
<p>Akibatnya, kurikulum SMK belum selaras dengan kebutuhan industri maritim Makassar.</p>
<p>Sekolah vokasi perlu mempertimbangkan untuk melakukan serangkaian lokakarya pengembangan atau perancangan ulang kurikulum yang melibatkan pemegang kepentingan dari industri, termasuk Pelabuhan Makassar, serta akademisi dan konsultan yang ahli dalam bidang literasi digital.</p>
<p>Kerangka literasi digital yang sudah kami buat pun bisa menjadi panduan dalam pengembangan ulang ini.</p>
<p>SMK lokal juga bisa membangun kemitraan dengan perguruan tinggi unggulan di Indonesia maupun negara tetangga untuk mendukung upaya perbaikan kemampuan digital dan kompetensi manajemen rantai pasok para murid dan pekerja muda.</p>
<p><strong>2. Tingkatkan kompetensi mengajar para guru</strong></p>
<p>Sekolah vokasi di Makassar perlu mengidentifikasi staf pengajar yang belum punya sertifikat kompetensi digital.</p>
<p>Dalam peraturan pendidikan di Indonesia, guru <a href="https://sma.kemdikbud.go.id/direktorat/data/files/Permendikbud%20Nomor%2045%20Tahun%202015%20Tentang%20Perubahan%20Atas%20Permendikbud%20No%2045%20Tahun%202015.pdf">memerlukan sertifikasi tertentu</a> – yang dalam hal ini dikelola Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) – untuk mengajar subjek-subjek seperti teknologi informasi dan komunikasi, manajemen informasi, rekayasa perangkat lunak, rekayasa komputer dan jaringan, dan multimedia.</p>
<p><a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/wp-content/uploads/2022/11/YPS5-1-EN-ONLINE.pdf">Data kami</a>, sayangnya, menunjukkan bahwa lebih dari setengah staf pengajar di dua SMK di Makassar belum tersertifikasi. Proporsi mereka yang tersertifikasi hanya 10% dan 23,6% di masing-masing sekolah tersebut.</p>
<p><strong>3. Perkuat kemitraan antara sekolah vokasi lokal dan dunia industri</strong></p>
<p>Kemdikbudristek telah <a href="https://www.vokasi.kemdikbud.go.id/read/b/inilah-empat-program-kemitraan-dan-penyelarasan-untuk-meningkatkan-potensi-unggul-smk">menetapkan sejumlah kebijakan</a> untuk membangun koneksi yang lebih kuat antara SMK dan industri. Tapi implementasi berbagai kemitraan ini, termasuk yang melibatkan Pelabuhan Makassar, masih minim.</p>
<p>Selain memastikan relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri – termasuk melalui program magang dan penyelarasan kurikulum – kemitraan pendidikan-industri juga bisa secara bersamaan mengemban biaya pendidikan sehingga para siswa lebih siap memasuki dunia kerja.</p>
<p>Kita perlu membangun hubungan yang lebih kuat antara para pemegang kepentingan termasuk, misalnya, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Pelabuhan Makassar, dan para SMK dan politeknik di daerah ini.</p>
<hr>
<p><em>Penelitian ini didanai oleh pemerintah Australia melalui <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org">program PAIR</a> yang difasilitasi oleh Australia-Indonesia Centre (AIC).</em></p>
<p><em>Australia-Indonesia Centre (AIC) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197627/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sherah Kurnia menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Achmad Nizar Hidayanto menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Agus Wicaksana menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Armin Lawi menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dr Rod Dilnutt menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Hafizh Rafizal Adnan menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rizky Utami menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sri Astuti Thamrin menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Helen Brown adalah anggota Dewan Bisnis Australia Indonesia (AIBC). Dia adalah Managing Director Bisnis Asia yang menerima dana pemerintah Australia untuk penelitian investasi asing bekerja sama dengan CIPS Indonesia. Dia bekerja untuk Australia-Indonesia Centre, yang didanai oleh pemerintah Australia.</span></em></p>Memperbaiki sekolah vokasi, sekaligus menutup celah kompetensi digital, bisa membantu pekerja muda untuk benar-benar meraup manfaat dari ekonomi maritim yang tengah berkembang.Sherah Kurnia, Associate Professor at the School of Computing and Information Systems, The University of MelbourneAchmad Nizar Hidayanto, Vice Dean for Resource, Venture, and General Administration, Faculty of Computer Science, Universitas IndonesiaAgus Wicaksana, PhD Candidate in Operations and Supply Chain Management, The University of MelbourneArmin Lawi, Associate Professor (Lektor Kepala) of Computer Science, Universitas HasanuddinDr Rod Dilnutt, Industry Fellow, The University of MelbourneHafizh Rafizal Adnan, PhD Student in Information Systems and Analytics, National University of SingaporeRizky Utami, Lecturer, Universitas HasanuddinSri Astuti Thamrin, Ph.D/ Dosen Universitas Hasanuddin, Universitas HasanuddinLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1857042022-09-06T11:40:54Z2022-09-06T11:40:54ZSurvei: kemampuan bertoleransi dan menghargai keberagaman menjadi prioritas Gen Z dalam dunia kerja<p>Meski masih menyisakan <a href="https://theconversation.com/apa-yang-bisa-dilakukan-perusahaan-untuk-mengurangi-diskriminasi-terhadap-ibu-bekerja-187281">banyak</a> <a href="https://theaseanpost.com/article/indonesian-businesses-need-more-diversity">PR</a>, keberagaman masyarakat Indonesia – termasuk <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/23/gender-biases-run-deep-in-indonesian-companies-survey.html">gender</a>, budaya, agama, dan <a href="https://theconversation.com/syarat-berat-badan-dalam-seleksi-calon-jaksa-diskriminasi-yang-harus-diakhiri-167699">latar belakang lainnya</a> – dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam dunia kerja.</p>
<p>Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan baru bagi berbagai pegawai dan perusahaan.</p>
<p><a href="http://inklusif.bappenas.go.id/data/pilar3">Indeks Perluasan Akses dan Kesempatan</a> keluaran Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang inklusivitas dalam dunia kerja menunjukkan peningkatan nilai nasional dari 4,21 menjadi 7,06 (dari skala 10) selama periode 2011-2021. Berbagai skema industri yang menggagas inklusivitas, seperti <a href="https://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/WCMS_763459/lang--en/index.htm">Indonesia Business and Disability Network (IBDN)</a>, juga mulai bermunculan dan menggandeng banyak perusahaan.</p>
<p>Tuntutan ini pun terefleksi dalam karakter Gen Z (kelahiran sekitar 1996-2012). Dalam tiga tahun ke belakang, kelompok usia ini mulai memasuki dunia kerja yang semakin dinamis dan beragam.</p>
<p>Riset yang kami lakukan (belum dipublikasikan), misalnya, menyebutkan bahwa Gen Z melihat toleransi dan bekerja dengan orang yang berbeda budaya, kondisi, atau latar belakang, sebagai salah dua kompetensi terpenting yang harus dimiliki pekerja. </p>
<p>Temuan ini kami dapatkan dengan mewawancarai 100 responden mahasiswa tingkat akhir dan alumni Gen Z dari Universitas Brawijaya di Malang, Jawa Timur.</p>
<p>Di tengah era ekonomi yang disruptif dan semakin beragam ini, Gen Z <a href="https://theconversation.com/riset-baik-di-dunia-nyata-dan-dunia-maya-anak-muda-indonesia-memiliki-toleransi-beragama-tinggi-151716">lebih peka terhadap berbagai jenis perbedaan</a> latar belakang di tengah masyarakat – dan industri harus lebih sigap menanggapi perubahan ini.</p>
<h2>Harus lebih peka terhadap keberagaman</h2>
<p>Studi yang kami lakukan menawarkan beberapa indikator kompetensi non-teknis (<em>soft skill</em>) kepada 100 responden Gen Z. Kami meminta mereka menentukan mana yang menjadi prioritas.</p>
<p>Hasilnya, ‘toleransi’ dan juga ‘bekerja dengan orang dari berbagai latar belakang’ muncul sebagai dua dari tiga kompetensi yang paling penting.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=406&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/471065/original/file-20220627-14-y0f7jk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=510&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Menghargai keberagaman merupakan aspek prioritas Gen Z dalam dunia kerja.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Responden Gen Z dalam studi kami mengindikasikan bahwa mereka <a href="https://theconversation.com/riset-baik-di-dunia-nyata-dan-dunia-maya-anak-muda-indonesia-memiliki-toleransi-beragama-tinggi-151716">semakin berupaya menerima keberagaman masyarakat</a> demi mewujudkan koeksistensi (hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda-beda) dan lingkungan multikultural di lingkungan kerja.</p>
<p>Mereka menganggap pekerja dan perusahaan harus memiliki pemahaman atas konsep kerendahan hati, menerima keberagaman, terbuka terhadap perbedaan, serta bersikap fleksibel dalam bekerja secara kelompok dengan komposisi pegawai yang beragam.</p>
<p>Menurut mereka, perbedaan yang harus diterima pun bukan hanya dari segi ras maupun agama – namun juga pendidikan, keterbatasan fisik, latar belakang kultural, maupun aspek ideologi lainnya.</p>
<p>Kita melihat bahwa sikap-sikap ini semakin penting di kalangan pegawai maupun calon pegawai Gen Z.</p>
<p>Tapi, pertanyaan lainnya, apakah berbagai tempat kerja di Indonesia sudah siap menyambut semangat akan keberagaman dan inklusivitas tersebut?</p>
<h2>Tantangan dan peluang untuk dunia industri: membangun inklusivitas</h2>
<p>Meski ada tren positif, berbagai laporan dan kajian masih menemukan banyak diskriminasi dalam dunia kerja di Indonesia.</p>
<p>Berdasarkan survei Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada 2020 terhadap 400 perusahaan di Indonesia, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/23/gender-biases-run-deep-in-indonesian-companies-survey.html">80% menyatakan dukungan</a> terhadap kesetaraan gender di dunia profesional. Namun, masih ada <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/08/23/gender-biases-run-deep-in-indonesian-companies-survey.html">banyak hambatan</a> di lapangan: banyak perusahaan belum memberikan pengaturan kerja yang memihak perempuan, apalagi dengan budaya Indonesia yang masih <a href="https://theconversation.com/apa-yang-bisa-dilakukan-perusahaan-untuk-mengurangi-diskriminasi-terhadap-ibu-bekerja-187281">membebankan pekerjaan domestik</a> kepada mereka.</p>
<p>Ini berakibat pada lambatnya kemajuan karir perempuan, rendahnya <a href="https://katadata.co.id/pingitaria/digital/5e9a4e55e32f1/cuma-20-di-level-tengah-mengapa-perempuan-penting-pimpin-perusahaan">proporsi perempuan</a> pada jabatan tinggi perusahaan, hingga <a href="https://theconversation.com/riset-ada-kesenjangan-upah-antar-gender-di-indonesia-terutama-bagi-perempuan-di-bawah-30-tahun-129463">kesenjangan gaji</a> (<em>pay gap</em>).</p>
<p>Di luar gender, beberapa tempat kerja juga masih memegang kebijakan penerimaan pegawai yang cenderung diskriminatif.</p>
<p>Beberapa peraturan rekrutmen di lembaga negara, misalnya, menuntut calon pegawai memiliki <a href="https://theconversation.com/syarat-berat-badan-dalam-seleksi-calon-jaksa-diskriminasi-yang-harus-diakhiri-167699">tinggi badan dan berat badan</a> (<em>Body Mass Index</em> atau BMI) tertentu yang dianggap ‘normal’. Beberapa juga mempertahankan <a href="https://theconversation.com/3-tantangan-partisipasi-kerja-penyandang-difabel-intelektual-156303">kriteria ‘sehat jasmani-rohani’</a> yang cenderung diskriminatif terhadap calon pekerja difabel, ketimbang memberi akomodasi terhadap kelompok tersebut.</p>
<h2>Mengakomodasi Gen Z sekaligus mendukung perusahaan</h2>
<p>Keberhasilan perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam menjawab berbagai tantangan ini bisa jadi akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam menarik dan mempertahankan pegawai Gen Z.</p>
<p>Menurut <a href="https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/pe/Documents/human-capital/2018-Millennial-Survey-Report.pdf">survei tahun 2018 dari Deloitte</a> terhadap hampir 2.000 calon pekerja Gen Z dari berbagai negara – termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, Cina, dan India – sebanyak 69% mengatakan keberagaman mempengaruhi loyalitas mereka terhadap perusahaan.</p>
<p>Di Inggris (UK), <a href="https://newsroom.intel.com/wp-content/uploads/sites/11/2020/08/intel-inclusion-diversity-report.pdf">studi dari Intel</a> juga menemukan 56% Gen Z yang mereka survei menghindari perusahaan yang komposisi pimpinannya tidak beragam.</p>
<p>Tak hanya demi pekerja Gen Z, berbagai <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212567114001786">riset</a> pun membuktikan bahwa meningkatkan keberagaman dapat mendongkrak performa karyawan dan perusahaan.</p>
<p><a href="https://journals.aom.org/doi/10.5465/amj.2019.0468">Studi tahun 2021</a> di AS, misalnya, menemukan bahwa pengurangan kesenjangan keberagaman sebesar 1% saja antara level manajemen maupun staf, dapat meningkatkan produktivitas perusahaan hingga US$ 1.590 (hampir Rp 24 juta) per karyawan per tahun. </p>
<p>Menurut beberapa riset lain, perusahaan yang inklusif terhadap <a href="https://theconversation.com/employers-miss-out-on-talent-by-overlooking-workers-living-with-disabilities-119626">pekerja difabel</a> juga mengalami peningkatan <a href="https://content.iospress.com/articles/journal-of-vocational-rehabilitation/jvr521">laba</a>, <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ828953">loyalitas</a> pegawai, dan penurunan angka pengunduran diri pegawai (<a href="https://theconversation.com/low-staff-turnover-high-loyalty-and-productivity-gains-the-business-benefits-of-hiring-people-with-intellectual-disability-180587"><em>turnover</em></a>).</p>
<p>Dengan adanya inklusivitas, maka inovasi dan ide dari para pekerja akan semakin kaya. Perspektif yang dibawa akan semakin beragam dan akan mendorong perkembangan inovasi.</p>
<p>Membangun keberagaman dan inklusivitas memerlukan kontribusi semua pihak, baik dari sisi pekerja maupun perusahaan.</p>
<p>Pekerja muda, terutama Gen Z, telah menunjukkan indikasi menyambut keberagaman - perusahaan di Indonesia juga harus lebih sigap mengakomodasinya. Ini penting untuk menjamin bahwa setiap orang – apapun latar belakangnya – terpenuhi hak-hak dasarnya sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185704/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Adhi Cahya Fahadayna menerima dana penelitian dari Tanoto Foundation. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Adam Hendra Brata menerima dana penelitian dari Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Agung Sugeng Widodo menerima dana penelitian dari Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Isma Adila menerima dana penelitian dari Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mikchaell Alfanov Pardamean Panjaitan menerima dana penelitian dari Tanoto Foundation.</span></em></p>Di tengah era ekonomi yang disruptif dan semakin beragam ini, Gen Z lebih peka terhadap berbagai jenis perbedaan latar belakang di tengah masyarakat. Industri harus lebih sigap menanggapi perubahan ini.Adhi Cahya Fahadayna, Dosen dan Koordinator Pengembangan Karir, Career Development Center, Universitas BrawijayaAdam Hendra Brata, Dosen dan Koordinator Pusat Data Alumni, Career Development Center, Universitas BrawijayaAgung Sugeng Widodo, Dosen dan Direktur Career Development Center, Universitas BrawijayaIsma Adila, Dosen dan Koordinator Kewirausahaan, Career Development Center, Universitas BrawijayaMikchaell Alfanov Pardamean Panjaitan, Dosen dan Koordinator Kerjasama, Career Development Center, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1858092022-07-15T09:43:31Z2022-07-15T09:43:31ZRiset: Gen Z cukup ‘pede’ dengan keterampilan profesional mereka untuk masuk dunia kerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/474245/original/file-20220715-12-ae4j5h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Pexels/George Pak)</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini kami terbitkan untuk menyambut United Nations (UN) World Youth Skills Day yang jatuh pada tanggal 15 Juli.</em></p>
<hr>
<p>Pada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun ini, <a href="https://money.kompas.com/read/2022/05/26/222224826/105-cpns-mengundurkan-diri-ini-sanksi-yang-akan-diberikan?page=all">Badan Kepegawaian Negara (BKN)</a> mengumumkan bahwa ada sekitar 100 orang yang <a href="https://theconversation.com/pro-kontra-pengunduran-diri-cpns-refleksi-perlunya-perbaikan-sistem-keamanan-kerja-agar-pns-tidak-lagi-jadi-satu-satunya-karir-idaman-mertua-184402">mengundurkan diri</a>. Mayoritas kandidat tersebut berasal dari Generasi Z (lahir sekitar tahun 1996-2012).</p>
<p>Anomali ini menjadi menarik mengingat PNS merupakan ‘pekerjaan impian’ bagi generasi sebelumnya. Tapi, banyak calon pekerja Generasi Z tersebut nampaknya dengan mudah melepaskan peluang mendapatkan ‘pekerjaan impian’ ini. Mengapa?</p>
<p>Bisa jadi, ini berhubungan erat dengan konsep <a href="https://www.researchgate.net/publication/223858759_Self-perceived_employability_Construction_and_initial_validation_of_a_scale_for_university_students"><em>perceived employability</em></a> – yakni <a href="https://doi.org/10.1108/PR-07-2012-0110">seberapa ‘percaya diri’</a> seorang pekerja bisa mempertahankan pekerjaan atau meraih pekerjaan yang lebih baik, berdasarkan <a href="https://www.middletowncityschools.com/media/studentservices/Information_Grade10_WhatAreEmployabilitySkills.pdf">kualifikasi dan keterampilan (<em>skill</em>)</a> yang mereka miliki.</p>
<p>Dalam kasus di atas, ini dapat berarti bahwa Generasi Z merasa nyaman dengan kehilangan kans mendapat ‘pekerjaan impian’ sebagai PNS – yang dalam beberapa tahun terakhir pun banyak dikritik atas <a href="https://theconversation.com/generasi-muda-masih-ingin-jadi-pns-tapi-minat-mereka-terancam-pudar-jika-pemerintah-tidak-segera-berbenah-165906">ketimpangan gaji dan lingkungan kerja yang statis</a> – karena cukup <em>pede</em> meraih karier yang saat ini dianggap lebih prestisius. </p>
<p>Tren ini pun kami amati secara umum pada Generasi Z dalam riset yang kami lakukan (belum dipublikasikan).</p>
<p>Pada 2021, Tim Penelitian Pusat Karier di Universitas Andalas dan Tanoto Foundation melakukan survei daring pada mahasiswa Generasi Z. Kami mendapatkan 1175 responden mahasiswa semester 5-9 dari 23 provinsi di Indonesia.</p>
<p>Para responden Generasi Z dalam survei kami menyatakan kepercayaan diri yang tinggi untuk memasuki dunia kerja, dengan keterampilan profesional yang mereka rasa selaras dengan kebutuhan oleh industri.</p>
<h2>Generasi yang percaya diri</h2>
<p>Riset kami menemukan bahwa 67% responden Generasi Z menganggap keterampilan mereka tergolong tinggi. Hanya 1,5% yang menilai bahwa <em>skill</em> mereka masih rendah.</p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas Generasi Z di Indonesia menilai bahwa dengan kemampuan yang mereka memiliki, mereka kemungkinan besar bisa meraih pekerjaan yang mereka inginkan – bahkan di tengah makin ketatnya persaingan kerja dan disrupsi teknologi.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10621220/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:500px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10621220/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10621220" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Hasil ini mungkin juga dapat menjawab mengapa mereka cukup percaya diri untuk meninggalkan pekerjaan yang mereka nilai kurang sesuai dengan diri mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih pantas.</p>
<p>Generasi Z, misalnya, merupakan kelompok yang cukup rajin bergonta-ganti pekerjaan (<em>job-hopping</em>).</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.forbes.com/sites/lucianapaulise/2021/10/26/why-millennials-and-gen-z-are-leading-the-great-resignation-trend/">kajian dari platform pekerjaan <em>CareerBuilder</em></a>, rerata masa bekerja Generasi Z pada suatu perusahaan adalah 2 tahun 3 bulan, lebih kilat dari generasi terdahulu seperti milenial (2 tahun 9 bulan), Generasi X (5 tahun 2 bulan), dan <em>Baby Boomers</em> (8 tahun 3 bulan).</p>
<p>Dalam riset kami, kepercayaan diri yang tinggi antara Generasi Z terwujud dalam beberapa keyakinan.</p>
<p>Mayoritas responden, misalnya, merasa yakin akan menembus pasar kerja karena punya pengalaman yang cukup relevan dengan bidang pekerjaan (87%) dan memiliki <em>skill</em> yang sesuai dengan kebutuhan industri (80%). Sebagian besar (82%) juga merasa yakin bahwa mereka akan berhasil saat wawancara kerja.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10621396/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:450px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10621396/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10621396" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<h2>Merasa punya keterampilan profesional tinggi dan didukung kampus</h2>
<p>Berdasarkan cerita para responden kami, tingkat kepercayaan diri atau <em>perceived employability</em> mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, ada kecenderungan bahwa responden mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi, kegiatan, dan program kemahasiswaan memiliki <em>perceived employability</em> yang tinggi. Dalam data kami, sebanyak 68% mahasiswa Generasi Z menyatakan aktif dalam kegiatan kampus.</p>
<p>Mereka merasa kegiatan-kegiatan ini dapat memberikan pengalaman dan peningkatan <em>soft skill</em> (keterampilan non-teknis).</p>
<p>Salah satu kegiatan yang banyak diikuti mahasiswa adalah kepanitian pada acara kampus. Sebagai panitia, mahasiswa dituntut mengembangkan dan mengasah keterampilan manajerial, komunikasi, negosiasi, hingga membangun jaringan profesional.</p>
<p>Apalagi, saat ini juga makin banyak kegiatan dan klub kampus yang menawarkan pengalaman yang dekat dengan dunia profesional – dari <a href="https://www.instagram.com/chronicsugm/?hl=en">kompetisi desain produk</a> bagi mahasiswa teknik, hingga <a href="http://bmcc.hukum.ub.ac.id/program-kerja/">klub peradilan semu (<em>moot court</em>)</a> bagi mahasiswa hukum.</p>
<p>Tak hanya di dalam kampus, pengalaman bekerja di luar kampus juga meningkatkan kepercayaan diri para responden.</p>
<p>Banyak dari mereka, misalnya, memiliki kegiatan profesional seperti <em>freelance</em> (bekerja lepas) dan program magang – hal-hal yang tentu menjadi poin plus dalam resume seorang pelamar kerja. Riset kami juga mendapati 11% responden sudah membuka usahanya sendiri.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, kemahiran dalam penguasaan bahasa Inggris juga meningkatkan level kepercayaan diri responden kami untuk memasuki dunia kerja. </p>
<p>Dalam beberapa dekade belakangan, dari <a href="https://theconversation.com/kapan-sebaiknya-anak-indonesia-belajar-bahasa-inggris-99450">Indonesia</a> hingga <a href="https://www.economist.com/books-and-arts/2010/05/27/top-dog">Cina</a>, anak dan siswa semakin gencar mendapatkan pengajaran dan terpapar bahasa Inggris di kelas maupun di media sosial. Hal ini melahirkan generasi yang <a href="http://repository.uinbanten.ac.id/8529/">sangat lihai menggunakan atau bahkan mencampur bahasa Inggris</a> dibanding generasi-generasi sebelumnya.</p>
<p>Ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa bahasa Inggris telah menjadi <em>lingua franca</em> (bahasa umum) – baik bagi masyarakat dunia maupun dunia kerja global. </p>
<p>Semakin mahir bahasa Inggris, semakin besar peluang para lulusan menembus perusahaan papan atas atau korporasi dan lembaga multinasional. Beberapa kajian pun telah menyebutkan bahwa <a href="https://research.newamericaneconomy.org/report/not-lost-in-translation-the-growing-importance-of-foreign-language-skills-in-the-u-s-job-market/">kompetensi multilingual bisa menjadi poin plus pekerja</a> di pasar global.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, keberadaan semacam pusat bantuan karier atau <em>career development center</em> (CDC) di perguruan tinggi juga membuat para responden Generasi Z memiliki <em>perceived employability</em> yang tinggi.</p>
<p>Berbagai program dilaksanakan oleh pusat karier – mulai dari <a href="https://cdc.trisakti.ac.id/news/read/148/closing-exclusive-program-bersama-ikigai-consulting">pelatihan kesiapan kerja</a> dan berwirausaha, pengadaan <a href="https://careercenter.atmajaya.ac.id/event/jobfair/index/microsite">pameran kerja</a>, hingga <a href="https://www.instagram.com/p/Cf3o0c8vCcA/?hl=en">kerjasama rekrutmen</a> dengan perusahaan. Bahkan, beberapa pusat karier sudah menyediakan <a href="http://karir.unand.ac.id/content/view?id=26&t=layanan-konseling">layanan konseling karier</a> bagi mahasiswa dan alumni yang mengalami kebingungan atau hambatan.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CfnSBtrvSdk/?utm_source=ig_web_copy_link","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Beberapa perguruan tinggi sebenarnya sudah memiliki pusat karier sejak lama. Namun, berbeda dengan kegiatan terdahulu yang lebih banyak menyasar calon wisudawan dan alumni sehingga kurang dikenal oleh mahasiswa, banyak pusat karier saat ini mengadakan program dan layanan yang membidik mahasiswa sejak awal masuk kuliah.</p>
<p>Adanya berbagai pusat karier ini membuat mahasiswa memiliki akses informasi yang lebih baik terkait lapangan kerja, <em>link</em> (relasi) kampus yang bisa mempercepat pencarian kerja mereka, serta hal apa saja yang harus mereka persiapkan untuk memasuki dunia kerja nantinya.</p>
<p>Berbagai faktor di atas membantu membekali para responden kami dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Akhirnya, mereka menjadi lebih percaya diri atas <em>employability</em> mereka.</p>
<p>Penting bagai dunia pendidikan tinggi dan aktor terkait untuk terus memfasilitasi mereka dengan peningkatan keterampilan, termasuk yang belum <em>pede</em> akan <em>skill</em> mereka – dari memastikan keberadaan pusat karier hingga memperluas program dan kegiatan profesional di dalam maupun luar kampus.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Meifal Rusli, Rahmi Fahmy, dan Lala Septiyani dari Universitas Andalas juga berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185809/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amatul Firdausa Nasa menerima dana dari Tanoto Foundation untuk pelaksanaan riset ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Meria Susanti menerima dana dari Tanoto Foundation untuk pelaksanaan riset ini. </span></em></p>Para responden Generasi Z dalam survei kami menyatakan kepercayaan diri yang tinggi untuk memasuki dunia kerja, dengan keterampilan profesional yang mereka rasa selaras dengan kebutuhan oleh industri.Amatul Firdausa Nasa, Lecturer in Psychology Department, Faculty of Medicine, Universitas AndalasMeria Susanti, Dosen, Universitas AndalasLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1862032022-07-07T09:20:44Z2022-07-07T09:20:44ZMengapa sekolah perlu memperkenalkan dunia kerja pada anak sedini mungkin?<p>Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan <a href="https://www.unicef-irc.org/research/child-labour/">152 juta anak di dunia</a> terlibat pekerjaan berbahaya dan eksploitatif. Hal ini juga mendorong lahirnya target penghapusan pekerja anak dalam berbagai agenda global, terutama <a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/">Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG</a> (<a href="https://www.un.org/sustainabledevelopment/economic-growth/">poin 8.7</a>).</p>
<p>Meski demikian, berdasarkan hasil <a href="http://smeru.or.id/sites/default/files/publication/eclt_id.pdf">studi kami di SMERU Research Institute</a>, pemerintah sebenarnya telah membedakan konsep ‘pekerja anak’ dan ‘anak yang bekerja’.</p>
<p>Pemerintah menyediakan ruang bagi anak untuk mendalami dunia kerja, tetapi mengharamkan pekerja anak, sebagaimana yang digambarkan ILO di atas. </p>
<p>Anak usia 5–17 tahun boleh berlatih bekerja sepanjang pekerjaannya dalam rangka membantu orang tua, melatih keterampilan baru, atau mendidik anak bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan. Persyaratan lainnya adalah anak harus tetap bersekolah, hanya bekerja pada waktu senggang, dan keselamatan dan kesehatan mereka terjamin.</p>
<p>Saya berpendapat bahwa, dengan memenuhi rambu-rambu di atas secara ketat, sistem pendidikan Indonesia bisa mulai memperkenalkan dunia kerja pada anak sejak dini. Mengapa?</p>
<p>Pada 2021, <a href="https://www.bps.go.id/indicator/28/304/1/angka-partisipasi-murni-a-p-m-.html">data Badan Pusat Statistik (BPS)</a> menunjukkan <a href="https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/568">angka partisipasi murni (APM)</a> di Indonesia – persentase anak yang bersekolah untuk tiap usia jenjang tertentu – mulai menurun pasca level SD.</p>
<p>Anak usia SD (7-12 tahun) yang bersekolah sebesar 97,8%, sementara angkanya menurun menjadi 80,6% untuk SMP (13-15 tahun), dan makin anjlok menjadi 61,7% pada level SMA/K (16-18 tahun).</p>
<p>Artinya, selain 60% anak usia sekolah tidak bersekolah, mereka juga berhenti menempuh pendidikan sebelum mencapai tingkat di mana mereka umumnya diperkenalkan dan dilatih dengan kompetensi dan pengalaman dunia kerja – yakni <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">pendidikan tinggi</a>.</p>
<p>Jumlah <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/19/123946879/jumlah-penduduk-indonesia-2020-berdasarkan-komposisi-usia">penduduk usia SMA yang tidak bersekolah</a> pada tahun 2020, misalnya, setara 14 juta jiwa. Bisa jadi, mereka berujung menjadi pekerja anak. Nasib ini menjadi realitas bagi banyak anak lainnya yang putus sekolah selepas lulus SD dan SMP.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/10564434/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:350px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/10564434/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/10564434" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Namun, akibat level pendidikan mereka yang rendah, ditambah belum dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan industri, mereka umumnya bekerja sebagai pekerja domestik atau buruh kasar dengan upah yang rendah.</p>
<p>Beriringan dengan upaya meredam angka putus sekolah demi mencegah banyaknya pekerja anak ini, sistem pendidikan Indonesia juga bisa mulai memasukkan kompetensi dan pengenalan dunia kerja pada pengajaran di sekolah.</p>
<p>Selain membekali pekerja yang berpendidikan rendah, ini pun bermanfaat bagi seluruh murid dari segi pembelajaran maupun penentuan aspirasi karir.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">beberapa akademisi</a> telah menjelaskan bagaimana kurikulum sekolah di Indonesia masih miskin dalam pengenalan kompetensi semacam ini.</p>
<p>Dalam buku mereka <a href="https://www.pearson.com/us/higher-education/program/Niles-Career-Development-Interventions-with-My-Lab-Counseling-with-Pearson-e-Text-Access-Card-Package-5th-Edition/PGM334442.html"><em>Career Development Interventions</em> (2017)</a>, peneliti pendidikan Spencer Niles dan JoAnne Harris-Bowlsbey mengatakan bahwa meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil adalah layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.</p>
<h2>Mengenalkan kerja melalui sekolah</h2>
<p>Hasil <a href="https://www.educationandemployers.org/wp-content/uploads/2021/03/Starting-early-Building-the-foundations-for-success.pdf">penelitian di beberapa negara maju </a> dalam lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pengenalan berbagai jenis kerja memberi banyak manfaat bagi murid. </p>
<p>Pertama, membantu murid melihat relevansi pelajaran dalam kehidupan. Kedua, meningkatkan mobilitas sosial murid-murid dari level ekonomi rendah. Ketiga, membantu murid untuk tidak mengesampingkan pilihan kerja tertentu tanpa memahami kelebihan dan kekurangannya.</p>
<p>Hasil studi ini juga melaporkan bahwa setelah mengikuti pelajaran terkait karir, 82% dari 9.300 responden murid menyetujui bahwa “<em>Saya sekarang mengerti bagaimana belajar matematika, bahasa Inggris, atau sains bermanfaat dalam banyak jenis pekerjaan</em>”.</p>
<p>Dari 1.200 murid di sekolah dengan anak dari keluarga kurang mampu, 78% mengatakan “<em>Saya sekarang tahu ada banyak pekerjaan yang tersedia ketika saya dewasa</em>”. Selain itu, 74% juga menyatakan “<em>Saya merasa lebih percaya diri dengan apa yang dapat saya lakukan kelak</em>”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">Banyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan di atas mengisyaratkan bahwa pengenalan kerja kepada murid memperkaya kualitas pembelajaran dan memberi pemahaman bermakna bagi masa depan kehidupan karir mereka.</p>
<p>Program <a href="https://myfuture.edu.au">Myfuture</a>, yakni layanan informasi karir tingkat nasional di Australia, menyarankan bahwa dalam mengembangkan pengenalan kerja di sekolah, perlu menimbang antara lain beberapa hal berikut:</p>
<ul>
<li><p>Pastikan guru merasa nyaman. Untuk menjadi pelaku utama program ini, guru membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang memadai dalam membawakan materi dan program terkait karir dan pekerjaan. </p></li>
<li><p>Kaitkan program pengenalan kerja di dalam kurikulum, dan tidak memperlakukannya sebagai sesuatu di luar kurikulum. Pengenalan kerja ini harus bisa memperkaya pembelajaran berbagai mata pelajaran.</p></li>
<li><p>Libatkan komunitas di sekitar sekolah. Diskusikan dengan orang tua, pelaku bisnis, serikat pekerja, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat tentang berbagai ide yang mungkin dapat mereka sumbangkan.</p></li>
<li><p>Mulailah lebih awal. Namun, penting untuk menyesuaikan semua kegiatan dengan tingkat kesiapan murid. Hindari cara “satu pendekatan untuk semua” (<em>one size fits all</em>).</p></li>
</ul>
<p>Program pengenalan kerja pada dasarnya sesuai dengan kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tentang <a href="https://www.youtube.com/watch?v=T2-s6yY9yoI">Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar</a>. Tujuannya adalah memberikan otonomi kepada sekolah, guru, dan bahkan murid.</p>
<p>Profesor pendidikan karir di Inggris, Tristram Hooley menyatakan bahwa karir adalah perjalanan seumur hidup yang <a href="https://myfuture.edu.au/docs/default-source/insights/career-education-in-primary-school.pdf">dimulai jauh lebih awal</a> dari kesadaran banyak orang.</p>
<p>Di masa lalu, kaum muda kerap kali mengenal jalur karir ketika berada di ambang transisi ke dunia kerja. Ini <a href="https://theconversation.com/banyak-pekerja-salah-jurusan-apa-yang-harus-diperbaiki-di-sistem-pendidikan-indonesia-173662">bisa jadi merupakan salah satu alasan</a> mengapa ada banyak sekali mahasiswa dan lulusan kampus di Indonesia yang <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">salah jurusan</a>.</p>
<p>Sudah waktunya kita mempertimbangkan untuk mengenalkan lika-liku kerja melalui sekolah.</p>
<p>Komunitas internasional tentu mengutuk adanya pekerja anak, tetapi nyatanya banyak anak yang terpaksa harus bekerja tanpa persiapan sama sekali. Sembari berupaya mengatasi masalah itu, program pengenalan kerja kepada murid akan membantu mengantar mereka agar kelak berpenghidupan layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/186203/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meremehkan proses pengenalan karir di masa kecil anak itu layaknya tukang kebun mengabaikan kualitas tanah yang akan ia tanami.Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1736622021-12-15T09:32:20Z2021-12-15T09:32:20ZBanyak pekerja salah jurusan: apa yang harus diperbaiki di sistem pendidikan Indonesia?<p>Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel Ekonomi pada 1998, menyatakan bahwa memperluas akses pendidikan bisa membantu menyelesaikan berbagai masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.</p>
<p>Tapi jika pendidikan seseorang tidak selaras dengan pekerjaannya, apakah pendidikan tersebut akan efektif dalam menciptakan dampak sosial?</p>
<p>Pada awal November lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim <a href="https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-5793585/nadiem-ungkap-80-lulusan-tak-bekerja-sesuai-prodi-bagaimana-sisanya">menyatakan</a> hanya ada maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai dengan program studinya. <a href="https://www.viva.co.id/edukasi/1405586-ahli-observasi-anak-87-persen-mahasiswa-salah-jurusan">Survei</a> lain juga menyatakan bahwa hanya 13% mahasiswa merasa mengambil program studi yang tepat.</p>
<p>Statistik ini bahkan lebih rendah dari yang <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3620313/63-orang-indonesia-bekerja-tak-sesuai-jurusan">disampaikan</a> Kementerian Ketenagakerjaan pada 2017 lalu, yang menyatakan hanya 37% angkatan kerja yang bekerja sesuai dengan bidang pendidikannya.</p>
<p>Jika hal ini tidak dibenahi secara sistematis dan serius, negara ini dalam jangka panjang berpotensi terus menghadapi ketidakcocokan bidang keahlian pekerja, atau yang disebut “<em>job-education mismatch</em>.”</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2019.102101">Penelitian tahun 2019 dari Vietnam</a> menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan yang tidak selaras dapat semakin menyulitkan masyarakat di negara berkembang untuk naik kelas secara ekonomi.</p>
<p>Pasalnya, ketidakcocokan ini bisa membuat mereka mendapat penghasilan yang lebih rendah dari pekerja lain.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.14203/JEP.29.1.2021.1-16">Riset terbaru di Indonesia</a> menyebutkan bahwa potensi perbedaan penghasilan ini bisa mencapai lebih dari 5%. Bahkan, <a href="https://doi.org/10.1080/1331677X.2020.1723427">studi di Bosnia-Herzegovina</a> menyebutkan angkanya mencapai 13%-15%.</p>
<p>Apa yang menyebabkan fenomena ini, dan apa yang bisa dilakukan ke depannya?</p>
<h2>Kampus sebagai <em>pit-stop</em></h2>
<p>Sebagai seseorang yang telah mengenyam tiga level pendidikan tinggi, saya berpendapat bahwa kampus, khususnya, dapat dianalogikan sebagai sebuah <em>pit-stop</em> layaknya pada olahraga balapan. Pelajar melakukan persiapan terakhir sebelum mereka menjalani iklim dunia kerja setelah lulus.</p>
<p>Artinya, para calon mahasiswa tidak hanya perlu mempertimbangkan program studi yang ingin diambil, tapi juga apa yang hendak mereka jadikan aspirasi karir setelah lulus dari program studi tersebut.</p>
<p>Banyak orang yang mengalami <em>job-education mismatch</em> justru tidak mempertimbangkan perkembangan pasar ketenagakerjaan atau menggali panggilan jiwa mereka sebelum memilih program studi. Studi menyebutkan mereka biasanya <a href="https://doi.org/10.35542/osf.io/ehskd">baru menyadari ini</a> ketika akan atau sudah lulus.</p>
<p>Dengan kata lain, <em>we put the cart before the horse</em> (memikirkan kereta kuda saat belum memiliki kuda).</p>
<p>Masalahnya, sistem pendidikan kita memang tidak secara sengaja memberi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan wawasan ini sedini mungkin.</p>
<p>Program magang yang bertujuan memberi <a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">kesempatan bagi pelajar untuk mengenal lapangan pekerjaan</a>, misalnya, baru terjadi setelah mereka kuliah (kecuali bagi pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)).</p>
<p>Sementara di level Sekolah Menengah Atas (SMA), para calon mahasiswa sibuk memikirkan berbagai ujian yang harus mereka lalui sebelum mereka bisa menapakkan kakinya di jenjang pendidikan tinggi. Pada akhirnya, mereka minim memikirkan aspirasi karir saat masuk perguruan tinggi. </p>
<p>Proses <a href="https://tesbakatindonesia.com/perbedaan-snmptn-sbmptn-um-dan-umb-pt/">seleksi masuk perguruan tinggi</a> (SNMPTN, SBMPTN, dan UM) pun tidak banyak memberikan evaluasi terkait seberapa selaras program studi yang dipilih dengan minat dan bakat calon mahasiswa. Masih ada banyak universitas yang lebih memprioritaskan jumlah mahasiswa yang berhasil direkrut ketimbang aspek-aspek ini.</p>
<p>Selain itu, beberapa universitas di Indonesia mendorong agar mahasiswa memilih penjurusan bidang sedini mungkin.</p>
<p>Beberapa program studi bahkan sudah sangat spesifik sejak semester awal. Di Universitas Bina Nusantara (BINUS), misalnya, ada program studi <a href="https://binus.ac.id/program/mobile-application-and-technology/"><em>Mobile Application & Technology</em></a> yang tentu jauh lebih spesifik dibandingkan program studi Teknologi Informatika.</p>
<p>Hal tersebut dapat mengurangi fleksibilitas mahasiswa jika ternyata menemukan bahwa mereka berada di program studi yang kurang tepat.</p>
<p>Di negara lain seperti Amerika Serikat (AS), <a href="https://studyinthestates.dhs.gov/2014/10/changing-majors">kesempatan</a> bagi mahasiswa untuk berganti program studi – atau biasanya disebut <a href="https://sc.edu/about/offices_and_divisions/advising/changing_majors/index.php">pergantian <em>major</em> (bidang studi utama)</a> – di tengah proses perkuliahan cenderung lebih terbuka.</p>
<p>National Center for Education Statistics di AS menunjukkan bahwa setidaknya <a href="https://localnews8.com/news/2018/10/12/nces-report-about-80-percent-of-college-students-change-major-at-least-once/">80%</a> peserta didik di negara tersebut pernah mengubah pilihan program studinya.</p>
<h2>Minim layanan konseling karir di sekolah</h2>
<p>Sebenarnya, salah satu resep yang bisa mencegah terjadinya salah jurusan adalah adanya layanan bimbingan dan konseling (BK) yang baik di sekolah.</p>
<p>Selain sebagai pusat pendampingan aspek kesejahteraan siswa, layanan ini juga <a href="https://doi.org/10.24832/jpnk.v17i4.40">berfungsi</a> membantu mereka memilih kegiatan ekstrakurikuler, program studi saat kuliah, dan memantapkan penguasaan karir yang sesuai minat, bakat, ciri kepribadian lainnya.</p>
<p>Namun, melihat statistik <em>job-education mismatch</em> yang begitu timpang, layanan ini sepertinya tidak berjalan dengan maksimal di sistem pendidikan Indonesia.</p>
<p>Berbagai sumber menyebutkan bahwa Indonesia saat ini tidak hanya <a href="https://www.antaranews.com/berita/377371/abkin-tegaskan-indonesia-butuh-129000-guru-bk">kekurangan tenaga BK</a>, namun <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/06/09/125926671/tingkatkan-mutu-pendidikan-dan-layanan-bk-guru-besar-upi-rekomendasikan-2?page=all">kompetensi maupun dukungan sumber daya</a> mereka juga belum ideal untuk menunjang kesejahteraan siswa – termasuk aspirasi karir dan <a href="https://theconversation.com/peran-penting-guru-bk-dalam-mendeteksi-depresi-pada-remaja-102923">kesehatan mental</a>.</p>
<p>Jika kemudian kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh pihak sekolah, maka peserta didik yang membutuhkan layanan ini harus mencari informasi di luar sekolah: para psikolog profesional, konsultan pendidikan, <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/06/21/media-sosial-sumber-informasi-perguruan-tinggi-jurusan-mayoritas-siswa">media sosial</a>, atau terkadang staf dari universitas.</p>
<p>Beberapa sekolah juga dengan terbuka mengundang pihak-pihak tersebut untuk datang dan memberi <a href="https://www.sman7pekanbaru.sch.id/berita/detail/101770/siswa-sman-7-pekanbaru-antusias-mengikuti-sosialisasi-dari-binus-university/">informasi terkait kuliah dan karir</a> bagi para siswa.</p>
<p>Sayangnya, tidak semua peserta didik pun mengerti atau dijelaskan tentang pentingnya layanan tersebut.</p>
<p>Banyak murid lebih banyak mendengar masukan yang berpotensi subjektif seperti pandangan keluarga, saudara, atau teman sebayanya. Mereka bisa juga hanya fokus pada kelebihan kampus, lokasi, biaya perkuliahan, atau informasi lainnya seperti prospek gaji pekerjaan tertentu yang di atas rata-rata.</p>
<p>Informasi di atas tentu membantu pengambilan keputusan. Tapi, para siswa acap kali tidak menyelaraskannya dengan minat, kemampuan, dan kepribadian mereka, sehingga berkontribusi pada pemilihan bidang studi yang kurang tepat.</p>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Membenahi masalah ini butuh kerja sama dari berbagai pihak termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun juga organisasi nirlaba maupun pemerhati pendidikan.</p>
<p>Institusi pendidikan harus mulai menanamkan pengetahuan dan wawasan tentang iklim pasar ketenagakerjaan sedini mungkin. Sekolah juga bisa memberi peluang bagi murid untuk ‘mencicipi’ aspirasi karir tertentu sebelum mereka dihadapkan dengan keputusan memilih jurusan kuliah.</p>
<p>Program magang atau <a href="https://theconversation.com/belajar-di-luar-kampus-ala-kampusmerdeka-progresif-tapi-pr-masih-banyak-131177">pengambilan mata kuliah lintas bidang</a> yang umum berjalan di pendidikan tinggi, misalnya, dapat dibuat lebih sederhana dan dimasukkan dalam kurikulum pada jenjang SMA untuk membantu murid mengenali beragam bidang studi maupun karir yang ada.</p>
<p>Organisasi nirlaba atau filantropi, serta berbagai proyek kolaborasi riset pemerintah dan non-pemerintah yang kerap memberi program intervensi di lingkungan pendidikan, juga harus mulai mempertimbangkan pentingnya layanan konseling karir yang berkualitas di sekolah.</p>
<p>Saat ini, pemerintah Indonesia juga tengah merancang <a href="https://www.mediaeducations.com/2021/12/kurikulum-2022-kurikulum-prototipe.html?m=1">kurikulum baru</a> yang memberi ruang gerak bagi sekolah untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran di sekolah.</p>
<p>Ini merupakan sebuah momen yang tepat bagi perubahan.</p>
<p>Jangan sampai upaya reformasi pendidikan di Indonesia berujung tidak optimal karena kurang mampu menggali potensi peserta didik dan menyebabkan <em>job-education mismatch</em>.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173662/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carter Bing Andika terafiliasi dengan Tanoto Foundation, organisasi filantropi yang berfokus pada peningkatan akses pengetahuan dan pendidikan.</span></em></p>Kementerian Pendidikan menyatakan hanya ada maksimal 20% lulusan perguruan tinggi yang bekerja sesuai program studinya. Apa yang menyebabkan fenomena ini, dan apa yang bisa dilakukan ke depannya?Carter Bing Andika, Doctoral Student, Universitas Pelita Harapan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1683972021-09-22T04:08:42Z2021-09-22T04:08:42ZSisi buruk ‘artificial intelligence’ di balik potensi bisnis besar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/422554/original/file-20210922-19-8owf0n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C359%2C5649%2C3628&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/tin-toy-robot-fallen-while-walking-1991848094">Grenar</a></span></figcaption></figure><p>Semakin banyak pemerintahan di dunia menerima teknologi kecerdasan buat (<em>artificial intelligence</em> atau AI) dengan sangat penuh keyakinan. </p>
<p>Pada 2018, tercatat setidaknya <a href="https://medium.com/politics-ai/an-overview-of-national-ai-strategies-2a70ec6edfd">22 negara</a> di seluruh dunia, dan juga <a href="https://digital-strategy.ec.europa.eu/en/policies/european-approach-artificial-intelligence">Uni Eropa</a>, telah meluncurkan garis besar strategi nasional untuk membuat AI bagian dari pengembangan bisnis, dan banyak negara lain mengumumkan kerangka etis pengembangannya. </p>
<p>Uni Eropa mencatat <a href="https://fra.europa.eu/en/project/2018/artificial-intelligence-big-data-and-fundamental-rights/ai-policy-initiatives">lebih dari 290</a> kebijakan inisiatif AI di negara-negara anggotanya antara 2016 dan 2020.</p>
<p>Yang terbaru adalah Irlandia, yang baru saja mengumumkan strategi nasional AI, “<a href="https://enterprise.gov.ie/en/Publications/National-AI-Strategy.html">AI – Here for Good</a>”. Negara itu ingin menjadi “pemimpin internasional dalam menggunakan AI untuk keuntungan bagi ekonomi dan masyarakat kami, melalui pendekatan yang fokus pada manusia dan beretika dalam pengembangan, adopsi, dan penggunaannya”.</p>
<p>Tujuan tersebut akan dicapai lewat delapan arahan kebijakan, termasuk meningkatkan kepercayaan dan pemahaman pada AI menggunakan “duta besar AI” yang akan menyebarkan pesan ke seluruh Irlandia. Aspek lain adalah untuk mempromosikan penggunaan AI oleh kalangan bisnis dan pemerintahan Irlandia dalam kerangka moral dan etis khusus. </p>
<p>Ada beberapa kekurangan dalam strategi ini, yang juga dialami negara lain (terlepas dari strategi AI yang jelas-jelas buruk, seperti faktor <a href="https://www.news.com.au/travel/travel-updates/travel-stories/how-china-is-building-nightmarish-surveillance-state-with-cameras-checking-emotions-and-tracking-social-credit/news-story/eaac0d161b959cd539dd7aeedf532b44">pengawasan warga oleh negara</a> di Cina).</p>
<h2>Semangat yang cacat</h2>
<p>Strategi-strategi semacam ini memiliki <a href="https://doi.org/10.1080/10438599.2020.1839173">semangat menggebu-gebu dan histeria</a> yang sama terkait AI. Contoh sederhana adalah CEO Alphabent (perusahaan induk Google), Sundar Pichai, yang pada 2016 mengklaim bahwa “AI adalah salah satu hal paling penting yang sedang manusia kerjakan. AI lebih penting dibanding, mungkin, listrik atau api.”</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Picture of Sundar Pichai looking surprised" src="https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=785&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=785&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=785&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=986&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=986&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/411653/original/file-20210716-27-va8nd2.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=986&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sundar Pichai, Ai advocate in chief.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/tin-toy-robot-fallen-while-walking-1991848094">Reuters/Alamy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pichai berkata begitu karena model bisnis perusahaan dia sangat bergantung pada AI dan kepercayaan orang terhadap AI. Strategi Irlandia persis serupa dengan semangat itu dengan klaim bahwa AI akan melipatgandakan pertumbuhan ekonomi negara itu pada 2035. Negara itu tidak menjelaskan pertumbuhan siapa atau pertumbuhan yang bagaimana.</p>
<p>Strategi itu mempromosikan beragam aplikasi berbasis AI yang berguna - misalnya memperbaiki infrastruktur sepeda di Dublin, menyediakan alat-alat dalam bahasa Irlandia, menghemat energi, dan membuat hidup lebih mudah bagi penderita dementia - tapi sulit untuk memahami bagaimana ini semua dapat melipatgandakan pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Patut dicatat, AI sangat penting hanya bagi segelintir perusahaan <a href="https://global.oup.com/academic/product/digital-dominance-9780190845124?cc=nl&lang=en&">platform digital</a> seperti Google, Apple, Facebook, Amazon and Alibaba - bisa disingkat GAFAA. </p>
<p>Mereka menikmati <a href="https://www.nber.org/papers/w28285">keuntungan sangat besar</a> sebagai pelaku utama karena saat ini AI membutuhkan data sangat banyak. Semakin banyak orang menggunakan platform mereka, laba yang bisa diperoleh dari data <a href="https://www.peterfisk.com/2020/02/metcalfes-law-explains-how-the-value-of-networks-grow-exponentially-there-are-5-types-of-network-effects/#:%7E:text=%E2%80%9CMetcalfe's%20Law%E2%80%9D%20says%20that%20a,of%20nodes%20in%20the%20network.&text=For%20example%2C%20if%20a%20network,10%C3%9710%3D100">meningkat drastis</a>.</p>
<p>Ini memberikan keuntungan bagi perusahaan-perusahaan yang mampu bergerak terlebih dulu dan berhasil untuk memonopoli dan mencegah perusahaan lain ikut menikmati. Perusahaan platform digital mengganggu bisnis yang ada dengan <a href="https://www.amazon.com/Platform-Revolution-Networked-Markets-Transforming/dp/0393249131">menghancurkan</a> perusahaan lain. </p>
<p>Contohnya adalah Google - yang pada dasarnya adalah mesin pencari web - mengganggu model bisnis <a href="https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2019-02-12/google-keeps-eating-the-newspaper-industry">surat kabar</a> yang bergantung pada iklan, atau Apple yang menjual <a href="https://www.cnbc.com/2020/02/06/apple-watch-outsold-the-entire-swiss-watch-industry-in-2019.html">lebih banyak jam tangan</a> dibanding industri jam Swiss yang telah berusia ratusan tahun.</p>
<p>Platform-platform ini juga menekan munculnya perusahaan baru, misalnya dengan <a href="https://www.titlemax.com/discovery-center/lifestyle/everything-facebook-owns-mergers-and-acquisitions-from-the-past-15-years/">membeli</a> semua <a href="https://www.nber.org/system/files/working_papers/w27146/w27146.pdf">perusahaan baru yang berpotensi menjadi pesaing</a>. Praktik ini mematikan inovasi. </p>
<p>Dan kini, para wirausahawan semakin “harus” berkompetisi lewat platform-platform ini - misalnya Amazon Markteplace. Mereka dapat menjadi korban perilaku buruk misalnya ulasan produk palsu oleh pesaing; peraturan penyedia platform yang tidak jelas dan tidak terduga; dan perubahan algoritme mendadak yang berdampak bagi bisnis mereka, misalnya membuat mereka sulit terlihat oleh calon pembeli. Ada juga fenomena <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S004016251731452X">wirausahawan digital yang hanya mampu menghasilkan laba yang cukup untuk bertahan hidup saja</a>.</p>
<p>Lanskap (anti) kompetisi yang sangat berbeda ini - kerap disebut <a href="https://www.economist.com/business/2016/05/21/the-emporium-strikes-back">kapitalisme platform</a> - menjadi <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.2202/1446-9022.1240/html">masalah besar</a> bagi para pembuat kebijakan dan otoritas.</p>
<p>Uni Eropa belum lama ini menyetujui undang-undang (UU) Pasar Digital (<a href="https://ec.europa.eu/info/strategy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-markets-act-ensuring-fair-and-open-digital-markets_en">Digital Markets Act</a> atau DMA) dan UU Jasa Digital (<a href="https://ec.europa.eu/info/strategy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-services-act-ensuring-safe-and-accountable-online-environment_en">Digital Services Act</a> atau DSA) yang berusaha mencegah penindasan yang sedang berlangsung dan berpotensi terjadi di dalam platform digital besar berbasis AI.</p>
<p>Jika AI dan otomatisasi memang suatu kekuatan yang penting, maka seharusnya kita sudah mengalami peningkatan produktivitas dan pengangguran secara besar-besaran. Nyatanya, yang kita lihat adalah pertumbuhan produktivitas yang stagnan - misalnya pertumbuhan di Inggris tercatat yang <a href="https://www.bankofengland.co.uk/-/media/boe/files/speech/2018/the-fall-in-productivity-growth-causes-and-implications">terendah</a> dalam 200 tahun terakhir - dan tingkat <a href="https://www.npr.org/2018/10/05/654417887/u-s-unemployment-rate-drops-to-3-7-percent-lowest-in-nearly-50-years?t=1626273539772">pengangguran terendah</a> di negara-negara Barat dalam beberapa dekade terakhir.</p>
<p>Strategi AI Irlandia mengacuhkan masalah-masalah yang ada terkait kapitalisme platform. Di seluruh dokumen strategi itu, nama Google hanya muncul sekali, Amazon dan Facebook tidak sama sekali. Dokumen itu tidak menyebut platform digital, kapitalisme platform, DMA, DSA, atau <a href="https://www.cnbc.com/2020/12/18/google-antitrust-cases-in-us-and-europe-overview.html">gugatan Uni Eropa terhadap Google</a>.</p>
<p>Strategi AI Irlandia seharus menjelaskan dengan rinci bagaimana dan kapan AI akan menghasilkan keuntungan ekonomi yang disebut - dan siapa yang akan menikmati keuntungan itu. Strategi itu juga perlu menjelaskan visi yang memastikan negara itu tidak menderita karena GAFAA atau sekadar menjadi kaki tangan mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mark-zuckerberg-ingin-mengubah-facebook-menjadi-perusahaan-metaverse-apa-itu-166984">Mark Zuckerberg ingin mengubah Facebook menjadi 'perusahaan metaverse' – apa itu?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelaku bisnis tidak menggunakannya</h2>
<p>Strategi itu juga berasumsi bahwa kurangnya kepercayaan pada AI adalah karena orang-orang tidak memahami teknologi. Maka jalannya keluarnya bagi mereka adalah mengajari orang sains data dan menunjuk duta besar AI.</p>
<p>Bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya: semakin orang memahami AI, mereka semakin tidak percaya.</p>
<p>Ini tentu hal yang baik. Di Amerika Serikat (AS), yang memiliki pemahaman AI cukup maju, penggunaan AI justru terhitung kecil. <a href="https://www.nber.org/papers/w28290">Sensus terbaru</a> di AS pada lebih dari 800.000 perusahaan menemukan hanya 2,9% yang menggunakan <em>machine learning</em> sejak 2018. Survei <a href="https://op.europa.eu/en/publication-detail/-/publication/f089bbae-f0b0-11ea-991b-01aa75ed71a1">Komisi Eropa</a> pada 2020 juga menunjukkan tingkat penggunaan yang sama rendahnya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Businessman thumb up, robot thumb down" src="https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/411654/original/file-20210716-27-2cu6gk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pada kenyataannya, sebagian besar pelaku bisnis tidak menggunakan AI.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/businessperson-robot-showing-thumb-down-sign-792862534">Andrey_Popov</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Banyak<a href="https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2019/03/27/artificial-intelligence-in-automotive-industry-surprisingly-slow-uptake-and-missed-opportunities/#47e4e4d27707"> survei lain</a> menunjukkan temuan serupa. Pelaku bisnis tidak menggunakan AI, bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena tidak masuk dalam hitungan bisnis mereka. AI terlalu mahal, dengan hasil tidak signifikan, dan <a href="https://arxiv.org/pdf/1906.02243.pdf">berdampak besar</a> pada lingkungan - ini bahkan belum mempertimbangkan faktor dominasi pemain besar.</p>
<p>Strategi “AI - Here for Good” milik Irlandia, seperti banyak strategi negara-negara lain, seakan yakin pada adanya mukjizat. Ini termasuk membolehkan akses untuk sejumlah besar data relevan bagi semua perusahaan namun tetap melindungi privasi pengguna, dan mengubah Irlandia menjadi tempat uji coba model-model <em>deep-learning</em> dan pusat-pusat data sambil tetap mengurangi emisi CO₂. Strategi ini tidak mengakui adanya dampak buruk.</p>
<p>Pesan yang tersirat adalah Irlandia mampu memetik buah-buah ajaib dari semak-semak penuh duri, asal yakin pada AI dan mematuhi arahan etis. Ini adalah upaya yang akan sepenuhnya didukung oleh <a href="https://www.wsj.com/articles/looking-forward-to-the-end-of-humanity-11592625661">_transhumanists</a>_, GAFAA, and para pelaku monopoli ekonomi digital lainnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168397/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wim Naudé tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak negara mengira bahwa algoritma adalah jalan baru menuju sejahtera.Wim Naudé, Professor of Economics, University College CorkLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1653342021-07-30T08:47:56Z2021-07-30T08:47:56Z‘Kerja dari Bali’: 5 cara undang pekerja dari negara lain untuk datang ke Bali<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/413926/original/file-20210730-19-1w4souw.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Fikri Yusuf/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Pemerintah Indonesia belum lama ini mengumumkan rencana memindahkan ribuan aparat sipil negara (ASN) untuk <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-57220419">bekerja dari Bali</a> untuk membantu <a href="https://kemenparekraf.go.id/berita/Siaran-Pers-%3A-Work-From-Bali-akan-Diluncurkan-Mulai-Juli-2021-Secara-Bertahap">pemulihan ekonomi</a> di pulau wisata itu.</p>
<p>Jika pemerintah berhasil memvaksin seluruh warga Bali, maka rencana ini cukup masuk akal.</p>
<p>Hotel dan restoran berjuang setengah mati untuk tetap hidup. Tingkat hunian hotel tercatat rata-rata hanya <a href="https://www.bps.go.id/indicator/16/122/1/tingkat-penghunian-kamar-pada-hotel-bintang.html">10%</a> pada empat bulan pertama 2021 - hanya sepertiga dari rata-rata national.</p>
<p>Antara Januari dan Mei tahun ini, kedatangan wisatawan asing langsung ke Bali tercatat hanya <a href="https://www.bps.go.id/indicator/16/1150/1/jumlah-kunjungan-wisatawan-mancanegara-per-bulan-ke-indonesia-menurut-pintu-masuk-2017---sekarang.html">34 orang</a>; bandingkan dengan angka 2,3 juta orang pada periode yang sama 2019. Jumlah wisatawan domestik turun dari 1,8 juta pada 2019 menjadi 570.000.</p>
<p>Selain mendatangkan ASN berlaptop ke Pulau Dewata, pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan juga untuk membuka Bali ke dunia dan menjadikannya “Pulau Zoom”.</p>
<h2>Memanfaatkan tren bekerja jarak jauh di dunia</h2>
<p>Pandemi selama satu tahun lebih telah mengubah cara pandang kita pada pekerjaan.</p>
<p>Survei <a href="https://www.linkedin.com/pulse/how-pandemic-changed-us-our-fastest-rising-priority-job-george-anders/">LinkedIn Workforce Confidence</a> menemukan bahwa setengah (50%) responden mengatakan bahwa jam kerja atau tempat kerja yang fleksibel semakin penting bagi mereka.</p>
<p>Perusahaan mulai beradaptasi dengan kenyataan baru ini. Perusahaan teknologi besar seperti Facebook dan Twitter telah menerapkan bekerja jarak jauh untuk jangka panjang.</p>
<p>Tren bekerja jarak jauh akibat COVID-19 ini mendorong berjamurnya “Kota Zoom”.</p>
<p>Kota-kota Zoom di Amerika Serikat adalah fenomena ketika pusat-pusat wilayah mengalami peningkatan pekerja jarak jauh menggunakan alat-alat pertemuan via internet seperti Zoom.</p>
<p>Beberapa tempat mengambil keuntungan dari fenomena ini, seperti Bali. Bali memiliki fasilitas dan lokasi strategis untuk mengambil keuntungan dari berubahnya dunia kerja.</p>
<p>Pada 2019, Bali memiliki hampir 5.000 “digital nomads” (orang-orang yang seorang yang bekerja secara digital dari tempat mana pun yang mereka pilih mandiri), <a href="https://www.statista.com/statistics/1103499/southeast-asia-number-of-digital-nomads-by-city/">tertinggi di Asia Tenggara</a>. Kota-kota lain seperti Yogyakarta juga tertarik untuk menangkap pasar digital nomad ini.</p>
<p>Bahkan beberapa pencipta <em>hit</em> musik terbesar dunia - seperti M-Phazes (yang memproduseri Eminem, Kimbra), Detal Goodrem, dan Trey Campbell (Dua Lipa, Bebe Rexha) - menghabiskan waktu di Bali untuk merekam album atau lagu <em>hit</em>.</p>
<h2>Lima rekomendasi</h2>
<p>Untuk menarik pekerja jarak jaruh dari seluruh dunia ke Bali, kami menawarkan lima usulan yang mungkin bisa diterapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.</p>
<p><strong>Pertama, targetkan untuk memvaksin seluruh penduduk Pulau Bali.</strong></p>
<p>Distribusi vaksin COVID-19 sedang berjalan.</p>
<p>Pada Juli, sekitar 2,8 juta penduduk Bali di atas 18 tahun - lebih dari 60% penduduk pulau itu - diperkirakan sudah divaksin.</p>
<p>Target ini semakin penting karena Indonesia saat ini mengalami <a href="https://graphics.reuters.com/world-coronavirus-tracker-and-maps/countries-and-territories/indonesia/">peningkatan jumlah kasus paling pesat</a> dalam sejarah pandemi.</p>
<p><strong>Kedua, memperluas cakupan internet ke seluruh Pulau Bali.</strong></p>
<p>Kecepatan, kapasitas, dan keandalan sambungan internet penting bagi performa kerja.</p>
<p>Menurut perusahaan pemasaran <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210225085756-185-610623/internet-thailand-paling-cepat-indonesia-kalah-dari-malaysia">We Are Social</a>, kecepatan rata-rata sambungan internet lewat kabel di Indonesia adalah 23.32 Mps, jauh dibawah rata-rata global 96.43 Mps.</p>
<p>Kecepatan internet di jaringan mobile 17.26 Mbps, masih di bawah rata-rata global 42.70 Mbps.</p>
<p>Sebagai bandingan, Thailand memiliki kecepatan internet kabel 308.35 Mbps dan internet mobile 51.75 Mbps.</p>
<p><strong>Ketiga, memperbolehkan visa jangka lebih panjang tanpa pembaharuan 30 hari.</strong></p>
<p>Kewajiban untuk keluar dan masuk lagi ke Indonesia setiap 30 hari untuk memperbaharui visa turis sangatlah merepotkan dan mahal.</p>
<p>Pekerja jarak jauh dan pemberi kerja tidak akan tertarik membayar biaya terbang keluar-masuk Indonesia setiap bulan akibat batasan visa. Adanya biaya ini juga mengurangi pengeluaran harian yang mereka lakukan di dalam ekonomi Indonesia.</p>
<p>Pada Oktober tahun lalu, pemerintah Indonesia memperkenalkan <a href="https://www.imigrasi.go.id/uploads/covid/regulasi/13-06-09-Permenkumham_No_26_Tahun_2020.pdf">kebijakan baru</a> yang memperbolehkan pensiunan untuk tinggal di Indonesia dalam kategori baru tinggal sementara (pemegang KITAS). Kebijakan ini perlu diperluas juga untuk mencakup pekerja jarak jauh.</p>
<p>Indonesia telah memiliki aturan rinci yang memperbolehkan pekerja asing dengan jaminan perusahaan lokal. Pengunjung yang menjamin dirinya sendiri seperti halnya para digital nomad tentu tidak termasuk di situ dan harus menggunakan visa turis yang tidak sesuai dengan tujuan mereka.</p>
<p><strong>Keempat, memperkenalkan insentif dan layanan khusus.</strong></p>
<p>Di AS, wilayah-wilayah seperti Northwest Arkansas dan Tucson, Arizona, telah berinvestasi untuk menarik pekerja jarah jauh dari kota-kota AS lain dan dari seluruh dunia.</p>
<p>November lalu, Northwest Arkansa meluncurkan inisiatif senilai 1,5 juta dolar (Rp 21,6 miliar) untuk menarik pekerja. Inisiatif itu menarik 26.000 pelamar dari 50 negara bagian dan 115 negara.</p>
<p>Northwest Arkansas menawarkan mereka yang lolos uang sebesar 10.000 dolar (Rp 144 juta) dan sepeda gratis kalau mereka bersedia pindah ke sana selama satu tahun.</p>
<p>Tucson menawarkan program serupa, “<a href="https://www.startuptucson.com/remotetucson">Remote Tuscon</a>”. Program itu menawarkan insentif sebesar $7.500 (Rp 108 juta) termasuk uang pindah, internet satu tahun, tempat kerja, dan staf khusus yang akan membantu mereka pindah.</p>
<p>Bahkan Finlandia - sebuah negara yang gelap, dingin, dan berangin, tapi <a href="https://worldhappiness.report/blog/its-a-three-peat-finland-keeps-top-spot-as-happiest-country-in-world/">negara paling bahagia di dunia</a> - memiliki <a href="https://www.bbc.com/worklife/article/20210121-finlands-radical-plan-to-lure-global-talent">rencana radikal</a> untuk menarik pekerja dari seluruh dunia.</p>
<p><strong>Kelima, incar generasi milenial di bidang sains, teknologi, teknik, seni, dan matematika.</strong></p>
<p>Satu lagi tren penting dalam ketenagakerjaan adalah revolusi talenta yang sedang terjadi.</p>
<p>Kompetisi untuk mendapatkan pekerja terampil akan meningkat. </p>
<p>Pekerja terampil muda, terutama di bidang <em>science, technology, engineering, arts and maths</em> (STEAM) akan menuntut fleksibilitas kerja yang lebih tinggi.</p>
<p>Sebuah survei pada <a href="https://www.ey.com/en_au/news/2021/05/more-than-half-of-employees-globally-would-quit-their-jobs-if-not-provided-post-pandemic-flexibility-ey-survey-finds">fleksibilitas dan kerja</a> menemukan bahwa setengah (54%) pekerja dari seluruh dunia memilih berhenti kerja kalau tidak mendapatkan fleksibilitas setelah pandemi usai. </p>
<p>Sembilan dari 10 responden menginginkan fleksibilitas tempat dan waktu bekerja; generasi milenial dua kali lebih besar kemungkinannya untuk berhenti kerja dibanding generasi <em>baby boomer</em>. Di dalam pasar pekerja terampil yang sempit, tidak akan ada perusahaan yang bersedia kehilangan talenta-talenta terbaik.</p>
<p>Sepuluh finalis pertama untuk program Remote Tucson - yang bekerja untuk perusahaan seperti Apple, Pfizer, Facebook dan LinkedIn - sudah mulai tiba; 25 finalis putaran kedua akan pindah ke sana pada beberapa bulan ke depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165334/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kevin Evans terafiliasi dengan Australia Indonesia Centre, the Partnership for Governance Reform in Indonesia</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Eugene Sebastian dan Helen Fletcher-Kennedy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan membuka work from Bali untuk pekerja dari seluruh dunia.Eugene Sebastian, Executive Director, Australia-Indonesia Centre, Monash UniversityHelen Fletcher-Kennedy, Chief Operating Officer, The Australia-Indonesia Centre, Monash UniversityKevin Evans, Indonesia Director, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1650102021-07-23T07:28:22Z2021-07-23T07:28:22ZPandemi hantam pasar kerja, bagaimana nasib lulusan baru dan pekerja muda?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/412847/original/file-20210723-21-1wrk4fv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/4anKkv0otgAN1pKjUfBtFK?theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Amukan pandemi COVID-19 di berbagai negara yang tidak terkendali, <a href="https://theconversation.com/covid-19-in-southeast-asia-all-eyes-on-indonesia-164244">termasuk Indonesia</a>, berpotensi membuat aktivitas ekonomi <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/kinerja-ekonomi-melambat-lampu-merah-bagi-beban-bunga-utang-indonesia">kembali melambat</a> dan mengurangi <a href="https://smeru.or.id/en/node/2349">rekrutmen tenaga kerja</a> di berbagai sektor.</p>
<p>Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah lulusan baru dan pekerja muda.</p>
<p><a href="https://smeru.or.id/id/content/urgensi-peningkatan-daya-saing-tenaga-kerja-muda-selama-pandemi-covid-19">Evaluasi dari <em>SMERU Research Institute</em></a> menunjukkan bahwa tingkat pengangguran muda di Indonesia (15-24 tahun) sebesar 20,5% pada tahun 2020, meningkat dibanding tahun 2019 yang sebesar 18,6%. Angka ini merupakan <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.UEM.1524.ZS?locations=ID-MY-SG-VN-MM-KH-TH-BN-TL-PH-LA">salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara</a>, dan juga lebih tinggi dari rata-rata dunia (13,7% pada tahun 2020).</p>
<p>Untuk mendalami hal ini, kami berbicara dengan dua peneliti dari SMERU, Sylvia Andriyani Kusumandari dan Akhmad Ramadhan Fatah.</p>
<p>Mereka menceritakan banyak hal termasuk temuan studi mereka terkait penyerapan pekerja di berbagai sektor, tantangan pencarian kerja (<em>job-seeking</em>) lulusan baru di tengah pandemi, hingga perlindungan sosial bagi pengangguran muda.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=F0xqHjLbTGGOG6ReKUyZ9A&dl_branch=1">podcast SuarAkademia</a> – <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165010/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Untuk mendalami tantangan lulusan baruu dan pekerja muda di tengah pandemi, kami berbicara dengan dua peneliti SMERU, Sylvia Sylvia Andriyani Kusumandari dan Akhmad Ramadhan Fatah.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1573532021-03-26T10:46:49Z2021-03-26T10:46:49ZEksploitasi pekerja magang di start-up bisa terjadi karena aturan hukum yang ketinggalan zaman<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/391372/original/file-20210324-23-m7b5d5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.antarafoto.com/peristiwa/v1566115515/gerakan-nasional-1000-startup-digital-satu-indonesia">(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)</a></span></figcaption></figure><figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Testimoni dari seorang pengguna Instagram terkait pemagangan di Ruangguru yang dikompilasi oleh akun @ecommurz.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/ecommurz/?hl=en">(Instagram/@ecommurz)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa saat lalu, publik <a href="https://twitter.com/imanusman/status/1370904678259552259?s=20">heboh di media sosial</a> akibat dugaan perlakuan buruk terhadap pekerja magang di <em>start-up</em> pendidikan Ruangguru. Berbagai testimoni di Instagram mengungkap pekerja magang di perusahaan tersebut sering dikenakan beban kerja berat, namun dengan bayaran yang sekadarnya.</p>
<p>Insiden terkait Ruangguru ini bisa jadi hanyalah puncak gunung es dari masalah perlindungan terhadap pekerja magang di Indonesia.</p>
<p>Beberapa tahun belakangan, pemagangan kian menjamur seiring dengan tumbuhnya industri <em>start-up</em> yang membutuhkan <a href="https://www.entrepreneur.com/article/345430">tenaga kerja yang terjangkau</a>.</p>
<p>Sayangnya, aturan ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mengatur dengan tegas tentang pelaksanaan magang di <em>start-up</em>. Akibatnya, perusahan mudah menyalahgunakan program magang mereka untuk mendapat tenaga kerja murah yang dalam beberapa kasus mengarah pada <a href="https://www.bbc.com/news/uk-politics-41765381">perbudakan modern</a>. </p>
<h2>Celah aturan pemagangan di dunia <em>start-up</em></h2>
<p>Jika diterapkan dengan baik, proses pemagangan sebenarnya bermanfaat bagi kedua pihak. Pemagang mendapat <a href="https://theconversation.com/internships-help-students-better-manage-their-careers-60196">pengalaman kerja berharga</a>, dan perusahaan mendapatkan sarana pencarian bakat untuk mencari calon karyawan terbaik. </p>
<p>Pemerintah mengatur program magang dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003</a> tentang Ketenagakerjaan dan mendefinisikannya sebagai: </p>
<blockquote>
<p>…bagian dari sistem pelatihan kerja […..] di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman […..] dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. </p>
</blockquote>
<p>Definisi ini tidak berubah dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020">UU Cipta Kerja</a>.</p>
<p>Pelaksanaannya sendiri mengacu pada <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/Permen_6_2020.pdf">Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020</a> yang di antaranya mengatur hak pekerja magang seperti memperoleh bimbingan dari instruktur, memperoleh uang saku yang layak, hingga diikutsertakan dalam jaminan sosial. </p>
<p>Berdasarkan kedua hukum di atas, untuk mendapatkan perlindungan tersebut, peserta magang dan perusahaan harus menandatangani surat Perjanjian Pemagangan yang disahkan Dinas Ketenagakerjaan di daerah setempat.</p>
<p>Berdasarkan Perjanjian Pemagangan tersebut, Dinas Ketenagakerjaan akan melakukan pengawasan terkait pelaksanaan hak dan kewajiban dalam program pemagangan.</p>
<p>Tapi, sayangnya pengawasan pemagangan pada <em>start-up</em> nyaris tidak ada. </p>
<p>Dinas Ketenagakerjaan setempat cenderung hanya bisa melakukan pengawasan pemagangan yang dilakukan resmi oleh unit pelatihan kerja perusahaan yang terdaftar seperti di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan besar lainnya, bukan yang dilakukan secara mandiri sebagaimana yang terjadi di banyak <em>start-up</em>.</p>
<h2>Rawan untuk dieksploitasi</h2>
<p>Di Indonesia terdapat <a href="https://www.suara.com/tekno/2019/09/12/090000/google-indonesia-negara-tercepat-dengan-pertumbuhan-startup-pada-2025">lebih dari 800</a> <em>start-up</em> yang terdaftar di akhir 2019. Industri ini <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/16/number-of-start-ups-projected-to-grow-20-30-percent-this-year-bekraf-says.html">tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan</a>, dan diperkirakan akan semakin pesat akibat pandemi yang memicu <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2021/02/24/explainer-venture-capital-firms-upbeat-about-investments-ipos.html">peningkatan penggunaan berbagai platform</a> belanja online, kesehatan, hingga pendidikan.</p>
<p>Hak dan kewajiban pekerja magang akan sangat bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan. Jika perusahaannya baik, bisa jadi mereka akan digaji layak, dengan beban kerja yang sesuai, disertai proses mentoring yang membangun. </p>
<p>Namun jika perusahaannya berniat mengeksploitasi, alih-alih dipekerjakan dengan layak, sangat mungkin mereka dipekerjakan selayaknya buruh murah – yang bisa saja digaji sangat rendah atau tidak digaji sama sekali – padahal beban kerjanya tidak kalah dengan pekerja penuh waktu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">Orang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Belum lagi, pekerja magang juga seringkali mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama menjalani program – mulai dari biaya transportasi, telekomunikasi, makan, hingga tempat tinggal. Perlu disadari, kebutuhan mereka untuk mendapat pengalaman dan keterampilan tidak serta-merta membuat kerja keras mereka bisa diabaikan begitu saja tanpa kepastian hak dan perlindungan yang memadai.</p>
<p>Pada <a href="https://career.ruangguru.com/internship">laman karier</a> Ruangguru, misalnya, manfaat program magang disebutkan beragam, mulai makan siang gratis, mentoring, gaji bulanan, dan peluang karier sebagai pekerja tetap. Namun, tanpa adanya pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan, pelaksanaannya bisa jadi menjadi pertanyaan.</p>
<h2>Perlunya perlindungan hukum yang sesuai</h2>
<p>Perubahan ekosistem perusahaan di Indonesia dengan berkembangnya industri <em>start-up</em> menuntut adanya perubahan aturan ketenagakerjaan, termasuk pemagangan. </p>
<p>Peraturan pemagangan seharusnya disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan terkini, termasuk program magang yang sekarang banyak dilakukan secara bebas.</p>
<p>Ini bisa dimulai dengan melakukan revisi terhadap Permenaker Nomor 6 Tahun 2020.</p>
<p>Misalnya, definisi pemagangan bisa diubah untuk tidak hanya melihat apakah unit pelatihan kerja perusahaan tersebut terdaftar di Dinas Ketenagakerjaan, namun fokus pada beberapa kriteria pemagangan – tidak penuh waktu, berjangka pendek, dan bertujuan lebih pada mengembangkan kecakapan kerja – dengan lebih jelas.</p>
<p>Tanpa adanya aturan hukum yang jelas dan inklusif, masalah terkait besaran upah yang layak didapatkan, beban kerja yang seharusnya diberikan, serta hak dan kewajiban dalam program magang akan terus-menerus menjadi perdebatan.</p>
<p>Sudah saatnya negara hadir dan tidak membiarkan pekerja magang sekadar bertekuk lutut pada kebijakan setiap perusahaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157353/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aturan ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mengatur dengan tegas tentang pelaksanaan magang, terutama di perusahaan start-up.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1458352021-03-24T06:19:06Z2021-03-24T06:19:06ZJaminan Kehilangan Pekerjaan masih melupakan perlindungan bagi pekerja informal<p>Satu dari sedikit perubahan baik yang dibawa Undang-Undang Cipta Kerja adalah program jaminan sosial jenis baru, yakni <a href="https://nasional.tempo.co/read/1435189/jokowi-teken-pp-program-jaminan-kehilangan-pekerjaan-bagi-buruh-yang-kena-phk">Jaminan Kehilangan Pekerjaan</a>, yang diluncurkan bulan lalu. </p>
<p>Pemerintah mengatakan, jaminan ini upaya melindungi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) agar tetap berdaya selama mencari pekerjaan kembali dengan pemberian sejumlah uang tunai hingga enam bulan. </p>
<p>Sayangnya, manfaat ini hanya bisa dinikmati oleh pekerja yang berada di sektor formal, yaitu orang-orang dipekerjakan menggunakan perjanjian resmi – umumnya pekerja kantoran. </p>
<p>Pekerja informal – orang-orang yang bekerja tanpa kontrak kerja resmi, seperti buruh harian – tidak masuk dalam skema perlindungan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini. </p>
<h2>Manfaat JKP</h2>
<p>Kebijakan JKP bukanlah hal baru dalam dinamika ketenagakerjaan. Sudah cukup banyak negara yang menerapkan jaminan sosial yang lazim dikenal dengan istilah <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/sites/empl_outlook-2018-9-en/index.html?itemId=/content/component/empl_outlook-2018-9-en"><em>unemployment benefit</em></a> ini. </p>
<p>Secara konseptual, JKP merupakan tambahan dari jenis-jenis jaminan ketenagakerjaan yang telah ada sebelumnya, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. JKP diselenggarakan pula oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. </p>
<p>Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization atau ILO) sudah menyarankan sejak <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/projectdocumentation/wcms_182441.pdf">2003</a> bahwa Indonesia membutuhkan <em>unemployment insurance benefit</em>. </p>
<p>Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) akhirnya hadir dan saat ini diatur lebih lanjut dalam <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/PP372021.pdf">Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2021</a>. </p>
<p>Manfaat JKP akan diberikan kepada peserta yang mengalami PHK, baik untuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (perjanjian kerja tetap), maupun perjanjian kerja waktu tertentu (perjanjian kerja kontrak), dengan catatan PHK dilakukan sebelum masa kontrak seharusnya berakhir. </p>
<p>Berbeda dengan jenis jaminan sosial ketenagakerjaan yang lain, JKP tidak hanya memberikan manfaat uang tunai, namun juga akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja. </p>
<p>Menurut PP itu, manfaat uang tunai akan diberikan setiap bulan selama paling banyak enam bulan, yaitu sebesar 45% dari upah untuk tiga bulan pertama dan sebesar 25% dari upah untuk tiga bulan berikutnya. </p>
<p>Sebagai simulasi, jika upah pekerja sebelum di-PHK adalah Rp 3 juta, maka pekerja berhak mendapatkan Rp 1,35 juta per bulan selama tiga bulan pertama sejak PHK, lalu Rp 750 ribu per bulan selama tiga bulan selanjutnya. </p>
<p>Apabila dalam jangka waktu kurang dari enam bulan pekerja sudah mendapatkan pekerjaan lagi, maka pembayaran tersebut akan dihentikan. </p>
<p>Peraturan tersebut juga menetapkan batas atas upah untuk penghitungan manfaat, yakni Rp 5 juta. Artinya, jika upah pekerja sebelum PHK adalah Rp 7 juta, maka dalam penghitungan manfaat, upah pekerja hanya akan dianggap sebesar Rp 5 juta. </p>
<p>Berbagai penelitian menunjukkan bahwa <em>unemployment benefit</em> semacam ini memberikan <a href="https://wol.iza.org/uploads/articles/15/pdfs/designing-unemployment-benefits-in-developing-countries.pdf?v=1">stimulus yang baik</a> bagi perekonomian dan ketenagakerjaan di suatu negara. </p>
<p>JKP diharapkan dapat menjadi bantalan sosial agar pekerja mampu mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya pada saat kehilangan pekerjaan karena PHK, sembari memberikan motivasi kepada pekerja untuk mencari pekerjaan kembali. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-dampak-buruk-aturan-kontrak-kerja-sampai-lima-tahun-bagi-karyawan-157482">Tiga dampak buruk aturan kontrak kerja sampai lima tahun bagi karyawan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengecualikan pekerja informal</h2>
<p>PP No. 37 Tahun 2021 mengatur bahwa salah satu syarat untuk menjadi peserta JKP adalah “mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha.” </p>
<p>Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja dengan hubungan kerja formal. Menurut <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html">data Badan Pusat Statistik</a> (BPS) pada Februari 2020, ada 131,03 juta orang penduduk yang bekerja; dari jumlah itu 56,99 juta orang (43,5%) bekerja di sektor formal.</p>
<p>Dengan kata lain, pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan orang-perseorangan, sebagaimana layaknya terjadi pada sektor informal, tidak dapat menerima manfaat sebagai peserta JKP.</p>
<p>Padahal, mayoritas pekerja di Indonesia justru bekerja di sektor informal, yaitu sebanyak <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/05/05/1672/februari-2020--tingkat-pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-4-99-persen.html">74,04 juta orang</a> (56,5%). </p>
<p>Dampak pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini berpotensi <a href="https://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/qjchey380/bps-pekerja-informal-bertambah-akibat-covid19">menambah</a> jumlah pekerja di sektor informal secara drastis karena banyaknya perusahaan yang tumbang belakangan ini.</p>
<p>Skema jaminan ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya memungkinkan pekerja informal untuk bergabung sebagai peserta melalui kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). </p>
<p>Peserta BPU membayar iuran secara mandiri, dengan besaran disesuaikan dengan upah/penghasilan per bulan. </p>
<p>Manfaat yang bisa didapatkan oleh peserta BPU adalah Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua. Terdapat banyak jenis profesi yang bisa mendaftar sebagai peserta BPU, mulai dari pekerja rumah tangga, pengemudi ojek online, hingga pengacara dan selebritis. </p>
<p>Masalahnya, kebanyakan pekerja sektor informal memang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. </p>
<p>Penyebabnya beragam, mulai dari keengganan bergabung karena harus membayar secara mandiri, ketidaktahuan terhadap program ini, serta ketentuan bahwa program BPU memang bersifat pilihan bagi pekerja di sektor informal, bukan wajib layaknya program BPJS Ketenagakerjaan bagi Pekerja Penerima Upah di sektor formal. </p>
<p>Secara umum, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, peserta BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2020 berjumlah 51,75 juta orang, yaitu baru <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2021/02/14/pekerja-informal-berharap-dapat-jaminan-kehilangan-pekerjaan/">40%</a> dari total penduduk yang bekerja per Agustus 2020 yakni 128,47 juta orang. Dari jumlah ini, sebagian besar yang terdaftar adalah pekerja di sektor formal. </p>
<p>Menurut saya, jika pekerja sektor formal maupun informal bisa mendapatkan manfaat JKP, tentu animo masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal akan meningkat. </p>
<p>Sebelumnya, program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai upaya mitigasi dampak pandemi pada sektor ketenagakerjaan juga <a href="https://www.jawapos.com/ekonomi/22/08/2020/bpjamsostek-pekerja-informal-tak-dapat-subsidi-gaji-rp-24-juta/">hanya diberikan bagi pekerja di sektor formal</a>. </p>
<p>Pilihan kebijakan ini menafikan kenyataan bahwa dalam pandemi, pekerja sektor informal justru paling rentan dan mengalami <a href="https://mediaindonesia.com/ekonomi/344744/pekerja-informal-paling-tertekan-hadapi-dampak-covid-19">dampak paling besar</a> sehingga sangat perlu mendapatkan bantuan dan perhatian dari pemerintah. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dua-alasan-mengapa-pemerintah-perlu-menambah-bantuan-sosial-tahun-2021-bukan-malah-memotongnya-156313">Dua alasan mengapa pemerintah perlu menambah bantuan sosial tahun 2021 bukan malah memotongnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlindungan pekerja informal</h2>
<p>Luputnya pekerja informal dalam perlindungan JKP menambah panjang daftar pengabaian pekerja informal dalam diskursus perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia – yang dimulai dari definisi sempit bahwa hubungan kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja.” </p>
<p>Padahal, pemberi kerja tidak selalu pengusaha, tetapi bisa juga orang-perseorangan atau non-badan hukum yang mempekerjakan tenaga kerja. </p>
<p>Mengubah ketentuan JKP agar lebih inklusif dan mencakup pekerja informal bisa menjadi awalan yang baik untuk melindungi seluruh pekerja tanpa terkecuali. Ini bisa dilakukan dengan misalnya, memberikan JKP pada pekerja informal yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan program BPU dalam jangka waktu tertentu.</p>
<p>Pemerintah tidak bisa terus-menerus mengabaikan perlindungan pekerja informal.</p>
<p>Kenyataannya, mereka adalah kelompok mayoritas dalam demografi pekerja di Indonesia. Mereka juga membutuhkan kepastian dan jaminan perlindungan sama halnya dengan pekerja sektor formal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145835/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di balik potensi terhadap perbaikan jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, ada pekerja informal yang terpinggirkan.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1483682020-11-05T08:37:55Z2020-11-05T08:37:55ZLogika keliru aturan ketenagakerjaan UU Cipta Kerja<p>Salah satu bab yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/09090351/ini-pasal-pasal-kontroversial-dalam-bab-ketenagakerjaan-uu-cipta-kerja">Bab Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Perubahan terhadap beberapa pasal dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">UU tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> banyak menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja. </p>
<p>Upaya pengurangan atau pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja adalah langkah keliru, berdasarkan logika yang keliru pula.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-ancaman-uu-ciptaker-bagi-para-pembela-lingkungan-dan-ham-148988">3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Deregulasi ketenagakerjaan</h2>
<p>Pemerintah meyakini aturan hukum ketenagakerjaan yang <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1217752/menteri-hanif-uu-ketenagakerjaan-kita-kaku-seperti-kanebo-kering/full&view=ok">terlalu kaku</a> merupakan salah satu penghalang investasi untuk masuk ke Indonesia dan, karena itu, merasa perlu melakukan deregulasi. </p>
<p>Beberapa revisi pasal dalam Bab Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja jelas mencerminkan upaya ini. </p>
<p>Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diubah sehingga tidak lagi berbatas waktu maksimal 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 1 tahun. </p>
<p>Artinya, akan semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dengan jenis perjanjian kontrak dalam jangka waktu yang panjang. Perusahaan juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengubah status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, ketika jangka waktu tiga tahun sudah terlewati. </p>
<p>Begitu juga perubahan ketentuan istirahat panjang di Pasal 79 yang tadinya diwajibkan oleh UU menjadi hanya dapat diberikan jika diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Istirahat panjang yang tadinya merupakan hak yang wajib diberikan, menjadi sesuatu yang sifatnya hanya pilihan. </p>
<p>Kedua pasal itu menunjukkan berkurangnya kontrol negara terhadap aturan hukum ketenagakerjaan. </p>
<p>Hal-hal terkait hubungan kerja, seperti jangka waktu perjanjian kontrak dan istirahat panjang, dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak - yakni pekerja dan pengusaha - melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Ini jelas mengurangi perlindungan bagi pekerja, karena dalam hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha, sangat besar kemungkinan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merugikan pihak pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Logika keliru</h2>
<p>Dengan banyaknya pasal yang kontroversial di Bab Ketenagakerjaan, wajar jika bab ini seperti menjadi arena perdebatan utama dalam narasi kontra UU Cipta Kerja. </p>
<p>Belakangan, pihak pendukung UU Cipta Kerja <a href="https://www.merdeka.com/uang/baleg-dpr-uu-cipta-kerja-tak-hanya-soal-ketenagakerjaan.html">mengkritik</a> mengapa protes terhadap UU Cipta Kerja seperti terfokus di Bab Ketenagakerjaan. </p>
<p>Padahal, menurut mereka, banyak bab lain di UU omnibus itu yang bernilai positif, serta berprospek baik bagi perbaikan perekonomian, seperti kemudahan membuka usaha, dan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). </p>
<p>Di sinilah menurut saya masalah utamanya. </p>
<p>Sedari awal, memasukkan Bab Ketenagakerjaan di UU yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha adalah hal yang tidak tepat. </p>
<p>Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap beberapa pasal UU Ketenagakerjaan, bukan malah memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja, tapi justru menguranginya. </p>
<p>Ini karena perspektif yang diusung oleh UU Cipta Kerja memang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. </p>
<p>Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/24/16183991/jokowi-tunda-pembahasan-klaster-ketenagakerjaan-ruu-cipta-kerja">menunda</a> pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Sayangnya, keputusan ini berubah dengan sangat cepat dan drastis. </p>
<p>Kluster ketenagakerjaan <a href="https://tirto.id/rapat-rapat-penentu-ruu-cipta-kerja-f5VY">tiba-tiba</a> dimasukkan kembali dalam draf RUU Cipta Kerja per tanggal 25 September 2020, dan pembahasannya dikebut.</p>
<p>Akibatnya sudah jelas terlihat. Banyak pasal di Bab Ketenagakerjaan yang disusun dengan tidak memperhatikan kondisi sosiologis hubungan kerja, yakni ketimpangan posisi pekerja dengan pengusaha. </p>
<p>Pasal-pasal ini jugalah yang kemudian semakin memancing reaksi keras masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. </p>
<p>Salah satu pasal yang dengan terang mencerminkan kekeliruan logika ini adalah perubahan ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan)</p>
</blockquote>
<p>Ketentuan tersebut kemudian diubah menjadi:</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan setelah diubah lewat UU Cipta Kerja)</p>
</blockquote>
<p>Perubahan Pasal 151 ini memunculkan narasi bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan adanya PHK sepihak. </p>
<p>Pemerintah membantah keras dan mengatakan bahwa ketentuan dalam ayat 3 dan 4 pasal tersebut tetap membuka kesempatan bagi pekerja untuk melakukan upaya perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (bipartit) dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lain jika mereka menolak di-PHK. </p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” </p>
<p>“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (Pasal 151, ayat 3 dan 4, UU Ketenagakerjaan) </p>
</blockquote>
<p>Dilihat sekilas, memang seperti tidak ada yang salah. </p>
<p>Masalahnya, logika ini terbangun dari pandangan bahwa hubungan kerja itu bersifat ideal, bahwa posisi pekerja dan pengusaha setara sehingga mudah saja bagi pekerja untuk menolak “pemberitahuan PHK” yang dilakukan oleh pengusaha, dan bahwa mereka juga akan dengan mudah dapat melakukan upaya bipartit dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk mempertahankan haknya. </p>
<p>Pada kenyataan di lapangan, menolak PHK bukanlah hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Ketimpangan posisi tawar, ketakutan terhadap atasan, serta ketidaktahuan atas hak-haknya sebagai pekerja acapkali membuat mereka <a href="http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/2209/1556">tak berkutik</a> jika terjadi PHK.</p>
<p>UU Ketenagakerjaan mencegah kemungkinan terjadinya PHK secara sepihak dan sewenang-wenang lewat dua hal: kewajiban untuk berunding dulu sebelum melakukan PHK; dan jika perundingan tidak berhasil, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. </p>
<p>Di UU Cipta Kerja, perlindungan ini menguap sebab terbuka kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha ke pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-desentralisasi-yang-dibangun-setelah-reformasi-148091">Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlindungan pekerja menghambat investasi?</h2>
<p>Aturan ketenagakerjaan Indonesia yang <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesias-labour-laws-discourage-investment-and-leave-workers-worse-off-experts">keras</a> - PHK sepihak tidak mudah dilakukan, pemecatan berbiaya tinggi bagi pengusaha - kerap dijadikan <a href="https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2020-10-14/indonesia-protests-labor-reforms-are-difficult-but-overdue">kambing hitam</a> hambatan investasi. Namun kajian dari World Economic Forum menunjukkan hasil yang berbeda. </p>
<p><a href="https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia">World Economic Forum Competitiveness Report</a> secara konsisten menempatkan korupsi sebagai masalah utama penghambat investasi di Indonesia. </p>
<p>Aturan ketenagakerjaan hanya menempati peringkat ke-12 dari penghambat terbesar investasi. Etos kerja pekerja justru menjadi hal yang lebih berpengaruh; etos kerja menempati peringkat ke-7 dalam kajian tersebut. </p>
<p>Padahal, bagaimana mungkin meningkatkan etos kerja pekerja jika perlindungan yang diberikan terhadapnya justru melemah? </p>
<p>Pada 2018, Singapura - negara dengan ranking <em>ease doing business</em> <a href="https://tradingeconomics.com/singapore/ease-of-doing-business#:%7E:text=Singapore%20is%20ranked%202%20among,2019%20from%202%20in%202018.">tertinggi</a> di ASEAN -justru mengamandemen hukum ketenagakerjaannya menjadi <a href="https://www.straitstimes.com/politics/parliament-laws-to-protect-workers-rights-expanded-to-cover-all-employees">lebih protektif</a> terhadap pekerja. </p>
<p>Ini merupakan salah satu bukti bahwa kemudahan bisnis sebenarnya bisa berjalan beriringan dengan perlindungan pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukan jalan pintas</h2>
<p>Kebutuhan terhadap lapangan kerja baru adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan hubungan kerja tetap berjalan. </p>
<p>Upaya untuk menarik investor masuk, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha tetap bertahan di kondisi yang serba sulit seperti sekarang tentu juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. </p>
<p>Namun, melonggarkan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.</p>
<p>Masih banyak instrumen hukum lain yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis dan melindungi kepentingan pengusaha, misalnya dengan memberikan insentif pajak, memastikan tidak ada korupsi dan pungli dalam proses pendirian perusahaan, dan menjamin birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit. </p>
<p>Dengan penolakan masyarakat yang begitu keras terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait bab ketenagakerjaan, pemerintah perlu menyadari bahwa deregulasi aturan ketenagakerjaan bukanlah jalan pintas yang tepat diambil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya untuk menarik investor, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha dengan mengorbankan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1374072020-05-01T01:58:57Z2020-05-01T01:58:57ZEfektifkah kenaikan upah minimum dalam melindungi pekerja?<p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Buruh pada 1 Mei.</em></p>
<p>Salah satu isu yang yang diperdebatkan dalam <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">penolakan</a> terhadap rancangan undang-undang (UU) <em>omnibus law</em> Cipta Kerja adalah <a href="https://koran.tempo.co/read/nasional/451898/buruh-berencana-turun-ke-jalan?">upah minimum</a>.</p>
<p>Di Indonesia, kebijakan upah minimum telah ada sejak tahun 1970-an, namun baru benar-benar digalakkan di awal tahun 1990-an akibat adanya tekanan dari negara-negara asing untuk menghentikan praktek “<em>sweatshop</em>” - yaitu memeras pekerja dengan upah murah, jam kerja panjang, dan tempat kerja tidak layak.</p>
<p>Hal ini sesuai dengan tujuan dari penetapan upah minimum menurut <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">Organisasi Buruh Internasional</a> (ILO), yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja untuk mendapatkan pengupahan yang layak. </p>
<p>Sejak itu, pemerintah kerap menaikkan upah minimum hingga mencapai 76% dari upah rata-rata buruh di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini yang cukup tinggi jika <a href="https://stats.oecd.org/viewhtml.aspx?datasetcode=MIN2AVE&lang=en#">dibandingkan</a> <a href="http://aseantuc.org/2017/11/minimum-wage-in-asean-countries/">negara-negara</a> lain seperti Australia (47%), Jepang (36%), Malaysia (30%, tahun 2017), dan Thailand (34%, tahun 2017). </p>
<p>Akan tetapi, apakah kebijakan upah minimum yang tinggi benar-benar efektif dalam melindungi pekerja? </p>
<p>Untuk menjawab ini tidak mudah, karena pengaruh dari kenaikan upah minimum tergantung banyak faktor, diantaranya cakupan dari kebijakan upah minimum tersebut. </p>
<p>Selain itu, kenaikan upah minimum juga memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok pekerja yang berbeda: pekerja dengan keterampilan tinggi versus rendah; pekerja perempuan versus laki-laki.</p>
<p>Pada 2019, saya melakukan sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13547860.2019.1625585">studi</a> terhadap dampak upah minimum. </p>
<p>Dengan menggunakan data level provinsi yang diperoleh dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2001-2015, saya menganalisa pengaruh kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal, informal, dan juga pengangguran di Indonesia. </p>
<p>Penelitian saya menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kartu-prakerja-ketika-kelompok-kepentingan-terlibat-dalam-solusi-krisis-covid-19-137021">Kartu Prakerja: ketika kelompok kepentingan terlibat dalam 'solusi' krisis COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak berbeda</h2>
<p>Di Indonesia, kenaikan upah minimum memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pekerja di sektor formal dan di sektor informal, serta terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. </p>
<p>Mengikuti klasifikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sedikit penyederhanaan, pekerja di sektor formal diartikan sebagai pekerja yang memiliki status pekerjaan “buruh/karyawan”, dan menerima upah dan tunjangan sesuai aturan ketenagakerjaan. </p>
<p>Sedangkan pekerja informal adalah sebagai pekerja dalam usaha seperti usaha rumahan (pekerja keluarga), pekerja mandiri (seperti <em>freelancer</em>), dan pekerja lepas (buruh tani atau buruh konstruksi).</p>
<p>Penelitian ini menemukan bahwa upah minimum berkaitan dengan berkurangnya jumlah pekerja di sektor formal. Lebih khusus lagi, penurunan jumlah pekerja perempuan di sektor formal lebih banyak dibandingkan jumlah pekerja laki-laki. </p>
<p>Kenaikan upah minimum meningkatkan jumlah biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, terutama apabila tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas para pekerja. </p>
<p>Jumlah penurunan pekerja perempuan yang lebih banyak dibandingkan laki-laki juga mencerminkan kurangnya kesetaraan gender di pasar tenaga kerja Indonesia.</p>
<p>Hasil ini sesuai dengan hasil <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/minimumwageexumind.pdf">studi</a>-<a href="https://www.adb.org/publications/minimum-wages-and-changing-wage-inequality-indonesia">studi</a> terdahulu yang menemukan dampak negatif kenaikan upah minimum terhadap jumlah pekerja di sektor formal.</p>
<p>Penelitian juga menunjukkan kemungkinan adanya perpindahan tenaga kerja, terutama laki-laki, dari sektor formal ke sektor informal ketika terjadi kenaikan upah minimum, seperti yang juga ditemukan oleh <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1475-4991.2011.00451.x">studi sebelumnya</a>. </p>
<p>Perpindahan ini salah satunya adalah karena ketiadaan tunjangan atau perlindungan bagi orang yang tidak bekerja (<em>unemployment benefits</em>) sehingga memaksa sebagian pekerja yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal untuk berpindah ke sektor informal karena kebutuhan untuk memiliki penghasilan.</p>
<p>Pada 2018, sektor formal hanya mempekerjakan <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2018/05/16/1311/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-provinsi-2015---2018.html">43% dari total</a> orang yang bekerja di Indonesia.</p>
<p>Terlebih lagi, walau studi tidak menemukan kaitan antara kenaikan upah minimum dan kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia, tapi kenaikan upah minimum diketahui berkaitan dengan menurunnya partisipasi angkatan kerja. Angkatan kerja adalah jumlah penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja atau mencari kerja. </p>
<p>Hal ini menggambarkan ada juga pekerja yang menyerah dan berhenti mencari pekerjaan karena berkurangnya kesempatan kerja.</p>
<p>Perlu diingat bahwa sektor informal identik dengan kondisi pekerjaan yang lebih buruk dibandingkan sektor formal. </p>
<p>Ekonomi informal kerap diisi oleh pekerjaan-pekerjaan yang tidak teregulasi dan tidak terdaftar - seperti buruh harian dan pedagang kaki lima - sehingga mengakibatkan minimnya perlindungan bagi pekerja di sektor tersebut. </p>
<p>Selain itu, rata-rata upah pekerja di sektor informal pun lebih rendah dibandingkan upah di sektor formal. </p>
<p>Di Indonesia, perlindungan untuk mendapatkan upah minimum berlaku hanya untuk buruh/karyawan, seperti diatur <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Akan tetapi, pasar tenaga kerja Indonesia diisi oleh pekerja-pekerja dengan status lain selain “buruh”, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123203.pdf">studi pada 2006</a> memperlihatkan bahwa sebagian besar usaha informal tidak mengetahui tentang peraturan upah minimum, dan tingkat upah dari pekerja di usaha informal beragam tergantung jenis pekerjaan, keterampilan dan jenis kegiatan.</p>
<p>Oleh karena itu, kita harus kembali meninjau apakah kenaikan upah minimum berhasil mencapai tujuannya untuk melindungi pekerja. </p>
<p>Jelas bahwa kenaikan upah minimum berhasil meningkatkan pendapatan sebagian pekerja dengan mengorbankan sebagian pekerja yang lain. Terlebih, pekerja-pekerja yang rentan, seperti pekerja perempuan, lebih banyak menganggung efek negatif dari kenaikan upah minimum.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-pembahasan-ruu-omnibus-law-seharusnya-ditunda-di-tengah-pandemi-covid-19-136495">Tiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Lantas harus bagaimana?</h2>
<p>Penting bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan dampak kenaikan upah minimum tidak hanya bagi pekerja di sektor formal, tetapi juga pada mereka yang berada di sektor informal atau akan terpaksa pindah ke sektor informal.</p>
<p>Ada banyak celah hukum, yang dapat dimanfaatkan beberapa kelompok pengusaha untuk tidak memberi upah minimum. Dalam <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">undang-undang (UU) ketenagakerjaan</a>, misalnya, pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum untuk dimungkinkan untuk menggaji karyawannya dengan upah lebih rendah.</p>
<p>Ini jelas bertentangan dengan pengertian upah minimum yang merupakan upah yang <em>wajib</em> dibayarkan kepada buruh. </p>
<p>Tingginya ketidakpatuhan terhadap kewajiban membayar upah lebih tinggi dari upah minimum juga merupakan masalah yang harus dituntaskan. Pada tahun 2016, <a href="https://www.adb.org/publication/indonesia-enhancing-productivity-quality-jobs">47% dari karyawan</a> di sektor formal mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah minimum. </p>
<p>Meskipun masalah tingkat kepatuhan yang rendah dengan upah minimum telah terdengar begitu lama, hukuman pidana terhadap pelanggaran upah minimum baru terjadi pertama kali pada <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2013/04/25/08215445/Bayar.Karyawan.di.Bawah.UMR.Pengusaha.Dijatuhi.Hukuman?page=all">2013</a>. Ketika itu, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 100 juta kepada seorang pengusaha asal Jawa Timur yang membayar karyawannya di bawah upah minimum regional.</p>
<p>Putusan itu dapat dilihat sebagai dasar untuk memperkuat penegakan hukum mengenai kebijakan upah minimum.</p>
<p>Salah satu alasan tingginya tingkat upah minimum dibandingkan upah rata-rata di Indonesia adalah karena negosiasi upah minimum merupakan satu-satunya sarana bagi serikat pekerja melakukan peran dalam melindungi anggotanya. Sehingga, serikat pekerja cenderung menuntut upah yang sangat tinggi. </p>
<p>Dengan demikian, perlu dibuka ranah perundingan bersama untuk melindungi hak-hak lain pekerja di luar upah, seperti tunjangan atau keamanan dan kelayakan tempat kerja. Perbaikan yang diminta - dan kemudian harus dilakukan - tidak melulu hanya soal upah.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137407/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tifani Husna Siregar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kenaikan upah minimum tidak serta-merta membawa perubahan positif secara merata pada pekerja.Tifani Husna Siregar, Ph.D. candidate at the Graduate School of Economics., Waseda UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1354712020-04-13T10:14:05Z2020-04-13T10:14:05Z4 langkah antisipasi PHK akibat pandemi COVID-19 dari segi hukum<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/326323/original/file-20200408-108538-xixbdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pekerja di industri garmen</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://flickr.com/photos/iloasiapacific/23622503316/in/photolist-BZrveW-BzBGbd-Gfx4F6-BUsKfe-B5kmEZ-UqhYFf-BS9Jwj-BS9J7m-WPm9yV-UAXzwL-B5eBmW-GdeWfG-BtemRF-w3jMd1-w3thiD-wZT5Tp-wYArZo-UqhWQw-egLPTa-wZkZ7F-FkgS3c-294jQLB-wGJjSy-Fk6oLQ-jdBaYr-fJZKyV-fKh6LA-vLvHuT-wkujTe-KqoLkh-UqhX4h-KqoHz7-cEwNrd-dyTiJg-dyTiQx-ngg3Hq-KqoKrJ-wHoXNt-wHTuRa-dyYM1b-r3LVVR-K38bny-vLvH54-JwH1Bs-vLwfc4-wF4QH7-K38uXj-KmjSSx-WKFdj7-dyYLTu">iloasiapacific/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Dampak pandemi global COVID-19 ini sangat signifikan bagi perekonomian Indonesia. </p>
<p><a href="https://bisnis.tempo.co/read/1321618/dampak-corona-pelemahan-ekonomi-diperkirakan-bisa-4-6-bulan">Pelemahan perekonomian diproyeksikan akan terjadi selama 4-6 bulan ke depan.</a> Bahkan bisa jadi lebih lama, karena kita belum bisa memprediksikan kapan wabah ini bisa teratasi dengan tuntas. </p>
<p>Pada fase awal wabah ini di Indonesia, sektor pariwisata, penerbangan, perhotelan, ritel dan restoran langsung terpukul. Dampak terhadap sektor lain, perlahan akan semakin terasakan. </p>
<p>Hal ini tentu akan berimbas pada nasib pekerja. </p>
<p>Meski pun Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah meminta pengusaha <a href="https://investor.id/national/jokowi-jangan-ada-phk">tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)</a>, namun opsi ini dikhawatirkan masih akan ditempuh dalam menghadapi krisis saat ini. </p>
<p>Di Jakarta saja telah ada sebanyak <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/06/06231941/phk-massal-di-tengah-pandemi-covid-19-dan-upaya-pemerintah-berikan">162,416 pekerja</a> telah di-PHK dan dirumahkan tanpa upah sebagai imbas COVID-19. </p>
<p>Situasi krisis saat ini bisa jadi membuat pengusaha tidak punya pilihan lain selain melakukan PHK karena mereka harus menekan biaya operasional besar-besaran.</p>
<p>Namun <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003">Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> sudah menegaskan bahwa PHK seharusnya menjadi langkah terakhir yang ditempuh. Sebelum melakukan PHK, UU Ketenagakerjaan mengatur bagaimana pengusaha, buruh, serikat buruh, dan pemerintah harus bekerja sama agar tidak terjadi PHK.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/326327/original/file-20200408-108521-g33nja.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://flickr.com/photos/iloasiapacific/23540017642/in/photolist-BS9K89-dkFbx3-dkFawY-dkFaWs-dkF5Hc-dkF9xd-cExM8j-dkF7b8-dkF7Cr-dyYMjJ-dkF73F-dkF9WE-dkFboj-dkF8SW-qLjkNV-dyYMo9-dkF6pc-dkF7VU-dyYLsw-dkF8FW-q6YYht-dkF7gP-dkF7qB-qnzAv8-dkF6UK-dkF9EC-dkF8WF-cExRUq-dkFaBQ-dkFbBC-dkFbXS-dkF87f-dkF9sb-fKgtK3-dkFcvo-dkF92u-dkF98P-dkF8S4-dkFbjj-dkFbto-qDRx9n-dyYMgL-dkFbNo-dvi32Y-294jPSx-dkF6tP-dkF67g-dyTjgH-UqhUXd-dkFaRS">iloasiapacific/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Menghindari PHK</h2>
<p>Pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah harus mampu menjalin kerja sama yang mengantisipasi terjadinya PHK. </p>
<p>Berikut ini empat hal yang bisa dilakukan:</p>
<h2>1. Lakukan dialog dua arah atau bipartit.</h2>
<p>Pengusaha dan pekerja bersama dengan serikat pekerja perlu melakukan dialog secara transparan sejak dini dalam mengantisipasi kondisi ketenagakerjaan akibat pandemi COVID-19 ini. </p>
<p>Perusahaan yang karena sifat industrinya mengharuskan kehadiran pekerja maka harus mengatur sistem kerja dengan mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja. </p>
<p>Selain itu, dialog bipartit juga perlu membahas antisipasi terhadap kondisi terburuk hubungan kerja di antara mereka seperti efisiensi, pengaturan jam kerja, dan pembagian kerja. </p>
<p>Dialog ini menjadi pintu utama membangun pemahaman bersama menghadapi dampak pandemi COVID-19 baik bagi perusahaan maupun pekerja. </p>
<h2>2. Susun kebijakan ketenagakerjaan dalam situasi pandemi COVID-19.</h2>
<p>Kebijakan ini harus merespons setiap perubahan yang terjadi akibat pandemi COVID-19 terhadap sistem kerja karyawan. Perubahan tersebut meliputi penerapan sistem bekerja dari rumah, <em>social distancing</em>, pembatasan sarana transportasi umum, dan <em>lockdown</em> terbatas yang saat ini sudah dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah. Saat ini ada <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/13/080408865/9-daerah-di-indonesia-yang-terapkan-psbb-karena-virus-corona?page=1">9 wilayah</a> yang telah mendapat persetujuan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti Jakarta lalu Bogor di Jawa Barat dan Tangerang Selatan di Banten. </p>
<p>Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja harus aktif dalam memberikan informasi kebijakan untuk bekerja dan melakukan tinjauan kebijakan secara berkala. Kebijakan yang bisa diterapkan misalnya kebijakan pengurangan hari dan jam kerja, meliburkan/merumahkan pekerja, dan sebagainya. </p>
<p>Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan rencana mitigasi ketenagakerjaan dalam menghadapi situasi kerja yang memburuk karena krisis ekonomi sebagai dampak pandemi COVID-19. </p>
<p>Hal ini bisa dilakukan dengan pelaksanaan program pemerintah yang dapat menyerap angkatan kerja besar dan program dukungan pengembangan keterampilan seperti contohnya <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4973838/kartu-pra-kerja-resmi-dibuka-buruan-daftar">pemberian Kartu Pra Kerja</a> bagi orang yang baru lulus sekolah dan sedang mencari pekerjaan.</p>
<h2>3. Realisasikan dan pantau implementasi paket insentif bagi pengusaha dan pekerja untuk bertahan.</h2>
<p>Pemerintah sudah menerbitkan paket <a href="https://investor.id/opinion/menata-insentif-dampak-pandemi-covid19">insentif</a> bagi pengusaha seperti pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak dan hibah anggaran untuk sektor usaha kecil. </p>
<p>Pemerintah sendiri berencana akan memberikan stimulus sebesar <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/301109-halau-dampak-covid-19-ke-umkm-pemerintah-terbitkan-8-kebijakan">Rp 2 triliun</a> untuk meningkatkan daya beli pelaku koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).</p>
<p>Selain itu, insentif sosial juga disiapkan oleh pemerintah bagi pekerja yang terkena PHK atau tidak dapat bekerja seperti pekerja sektor non formal. </p>
<p>Insentif ini berbentuk bantuan langsung dan potongan biaya untuk kebutuhan fasilitas yang disediakan pemerintah <a href="https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/token-listrik-gratis-bagi-masyarakat">(listrik dan air)</a>. Kebijakan ini perlu dipastikan realisasi dan dipantau agar tepat sasaran.</p>
<h2>4. Lakukan dialog tiga arah (tripartit) antara pengusaha, pekerja/serikat pekerja dan pemerintah.</h2>
<p>Paralel dengan pemberian paket insentif bagi pengusaha dan pekerja, dalam situasi yang sulit ini pemerintah juga harus menjadi pihak yang mampu menengahi dialog antara pengusaha dengan pekerja dan serikat pekerja baik untuk mencegah terjadinya PHK. </p>
<p>Peran pemerintah dapat diupayakan sebagai penengah mencari solusi yang disepakati kedua pihak terutama terkait pemenuhan hak-hak pekerja, apabila PHK tidak terhindarkan. </p>
<p>Dalam hal ini pemerintah dapat membentuk Satuan Tugas Penanganan PHK agar lebih respons terhadap permasalahan pengusaha dan pekerja selama pandemi ini dapat diantisipasi dan diselesaikan sejak dini. </p>
<h2>Risiko PHK Besar-besaran</h2>
<p>Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengatakan pandemi COVID-19 akan berdampak pada kelompok tertentu yang rentan terhadap pasar tenaga kerja dan menurunnya jumlah lapangan kerja, serta kualitas kerja antara lain upah dan perlindungan sosial, serta </p>
<p>Bahkan ILO memprediksikan dalam kondisi terburuk <a href="https://www.ilo.org/global/about-the-ilo/newsroom/news/WCMS_738742/lang--en/index.htm">akan ada hampir 25 juta pengangguran</a> di seluruh dunia akibat pandemi ini. </p>
<p>Opsi PHK bisa jadi langkah terakhir yang akan ditempuh. Langkah ini menjadi situasi buruk terutama bagi pekerja. PHK akan berdampak sangat serius pada perekonomian keluarga pekerja. Di sisi lain, pengusaha juga dalam posisi yang sulit karena harus memenuhi kewajiban bagi karyawan yang mengalami PHK. </p>
<p>Tugas pemerintah dan kita dalam menyelesaikan pandemi COVID-19 ini masih panjang. Penyelamatan warga dan menekan penyebaran virus menjadi fokus utama saat ini. Kita berharap pandemi COVID-19 ini bisa segera teratasi dengan tuntas sehingga pemerintah dengan dukungan semua pihak bisa segera memulihkan ekonomi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/135471/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>M Nur Sholikin terafiliasi dengan Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia yang merupakan lembaga riset dan advokasi independen. </span></em></p>Kondisi perekonomian yang turun drastis karena pandemi COVID-19 berpotensi menimbulkan PHK besar-besaranM Nur Sholikin, Peneliti PSHK dan Pengajar STHI Jentera, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1265002019-11-07T04:18:46Z2019-11-07T04:18:46ZEtika dalam 4 hari kerja per seminggu. Bukan hanya tentang waktu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/300430/original/file-20191106-12487-7l4ti.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mengurangi jam kerja tidak selalu menambah jumlah waktu untuk melakukan apa yang Anda inginkan.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>“Kita mestinya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja,” ucap Menteri Keuangan Bayangan di parlemen Inggris John McDonnell bulan lalu, ketika ia mengumumkan bahwa Partai Buruh akan mengurangi jam kerja standar dalam seminggu menjadi 32 jam, tanpa potongan gaji, dalam 10 tahun kepemimpinannya.</p>
<p>Janji itu menyusul sebuah laporan (ditugaskan oleh McDonnell) dari sejarawan ekonomi Robert Skidelsky tentang <a href="https://progressiveeconomyforum.com/wp-content/uploads/2019/08/PEF_Skidelsky_How_to_achieve_shorter_working_hours.pdf">bagaimana mencapai jam kerja yang lebih pendek</a>.</p>
<p>Skidelsky adalah anggota Majelis Tinggi Parlemen Inggris dan penulis biografi John Maynard Keynes, yang pada 1930 memperkirakan bahwa adanya kemungkinan untuk kerja selama 15 jam per minggu dalam beberapa generasi mendatang.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/its-time-to-put-the-15-hour-work-week-back-on-the-agenda-106754">It's time to put the 15-hour work week back on the agenda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Laporan ini secara khusus disesuaikan dengan kondisi di Inggris, tapi juga menyajikan agenda dengan daya tarik universal.</p>
<p>Jam kerja yang lebih pendek digambarkan sebagai “<em>win-win</em>” - meningkatkan produktivitas bagi pengusaha dengan memberi karyawan apa yang mereka inginkan.</p>
<p>Ia mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>Orang mestinya bekerja lebih sedikit untuk mencari nafkah. Harus bekerja lebih sedikit untuk apa yang butuh dilakukan, dan lebih banyak untuk apa yang diinginkan, untuk kesejahteraan materi dan spiritual. Dengan demikian, mengurangi waktu kerja - waktu yang harus digunakan untuk menjaga ‘jiwa dan raga’ - merupakan tujuan etis yang berharga.</p>
</blockquote>
<p>Argumen untuk waktu kerja yang lebih pendek biasanya berfokus pada manfaat “ekonomi”, dalam arti alokasi sumber daya yang memaksimalkan keuntungan.</p>
<p>Namun, laporan Skidelsky mengatakan bahwa ada alasan yang lebih penting: alasan etis.</p>
<p>Keinginan etis bukan hanya masalah biaya dan manfaat. Ini juga masalah keadilan dan mewujudkan <a href="https://www.britannica.com/topic/common-good">kebaikan bersama</a> (kebaikan bersama yang membutuhkan pertimbangan dan tindakan kolektif).</p>
<h2>Argumen yang tidak memadai</h2>
<p>Mengurangi jam kerja hanya bisa memajukan tujuan etis jika disertai dengan perubahan sosial dan budaya yang lebih dalam.</p>
<p>Pada dasarnya, argumen Skidelsky tentang keinginan etis untuk mengurangi jam kerja adalah:</p>
<ul>
<li><p>Umumnya, orang lebih bahagia ketika menghabiskan waktu untuk apa yang diinginkan, bukan pada apa yang harus mereka lakukan demi mendapatkan penghasilan</p></li>
<li><p>Lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja, dan lebih banyak waktu luang, dengan demikian akan menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan)</p></li>
<li><p>Menciptakan kebahagiaan (atau kesejahteraan) adalah sesuatu yang diinginkan secara etis, sehingga diinginkan pula secara etis pengurangan jumlah jam kerja seseorang.</p></li>
</ul>
<p>Variasi dari argumen ini - digunakan, misalnya, oleh lembaga riset <a href="https://autonomy.work">Outonomy</a> dalam <a href="https://autonomy.work/portfolio/the-shorter-working-week-a-report-from-autonomy-in-collaboration-with-members-of-the-4-day-week-campaign/">proposal</a> jam kerja mingguan kerja yang lebih pendek - menggantikan kebebasan untuk kebahagiaan.</p>
<p>Pada pandangan ini, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk bekerja (yang diharuskan oleh alasan eksternal - penghasilan) berarti lebih banyak waktu untuk melakukan apa yang diinginkan seseorang.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/298789/original/file-20191027-114011-q05lq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Argumen Robert Skidelsky didasarkan pada orang-orang yang lebih bahagia ketika mereka menghabiskan waktu untuk apa yang ingin mereka lakukan, bukan apa yang harus mereka lakukan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dari sudut pandang filosofis, tidak ada argumen yang memadai.</p>
<p>Masalahnya, mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja tidak serta-merta meningkatkan jumlah waktu yang tersedia untuk melakukan apa yang Anda inginkan.</p>
<p>Pekerjaan bukan satu-satunya konteks saat tindakan tunduk pada kendala eksternal.</p>
<p>Kehidupan berkeluarga, misalnya, melibatkan banyak kegiatan yang perlu dilakukan alih-alih ingin dilakukan.</p>
<p>Masalah lain adalah keinginan etis bukan hanya masalah meningkatkan jumlah total kebutuhan (seperti kebahagiaan atau kebebasan).</p>
<p>Ini juga menyangkut distribusi kebutuhan. Suatu hasil tidak hanya harus optimal tapi juga adil.</p>
<h2>Masalah distribusi</h2>
<p>Ada argumen yang menarik tentang jam kerja yang lebih pendek secara etis: mereka memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh distribusi waktu luang yang tidak merata.</p>
<p>Beberapa penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa <a href="https://theconversation.com/men-do-see-the-mess-they-just-arent-judged-for-it-the-way-women-are-118728">waktu luang tidak terdistribusi secara merata</a> di antara dua jenis kelamin. Laki-laki menikmati bagian lebih besar dari waktu luang yang tersedia secara sosial, sementara perempuan menghabiskan lebih banyak waktu di luar pekerjaannya untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan membesarkan dan merawat anak.</p>
<p>Jam kerja yang lebih pendek mungkin memberi para perempuan lebih banyak waktu luang. Tapi tidak dengan sendirinya terdistribusi dengan adil. Untuk mengatasi ketidakadilan dalam pembagian waktu luang, diperlukan beberapa redistribusi.</p>
<p>Ini bisa saja berarti laki-laki yang diberikan lebih banyak waktu luang, akan melakukan lebih banyak kegiatan rumah tangga. Tapi itu sebuah dugaan. Jika seorang laki-laki mendapat libur pada Sabtu dan Minggu, mengapa mengharapkan sesuatu yang berbeda terjadi jika ia juga mendapat libur pada Jumat?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/we-can-we-reduce-gender-inequality-in-housework-heres-how-58130">We can we reduce gender inequality in housework – here's how</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sesuatu yang lebih mendasar daripada perubahan jumlah waktu.</p>
<p>Mengurangi jam kerja memiliki manfaat, tapi tidak mengatasi masalah ketimpangan yang lebih dalam dari aktivitas kerja itu sendiri. Pengurangan jam kerja tidak berpengaruh dalam menghentikan produksi hal-hal berbahaya, atau hal-hal yang bertentangan dengan kebaikan bersama.</p>
<p>Tujuan kesetaraan yang diinginkan secara etis dan realisasi kebaikan umum membutuhkan perubahan sosial yang lebih dalam dari bagaimana dan untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Kemajuan nyata terletak dalam terwujudnya kesetaraan dan kebaikan umum melalui pekerjaan serta memperoleh lebih banyak waktu untuk tidak bekerja.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126500/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nicholas Smith has received funding from the Australian Research Council.</span></em></p>Ada argumen yang menarik tentang jam kerja yang lebih pendek secara etis: mereka memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh distribusi waktu luang yang tidak merata.Nicholas Smith, Professor of Philosophy, Macquarie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1211352019-08-01T00:20:24Z2019-08-01T00:20:24ZIsu “lulusan UI tolak gaji Rp8 juta” tunjukkan ketidakjelasan standar gaji di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/286378/original/file-20190731-186846-148yozj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://creditscoregeek.com/">Photo by Credit Score Blog</a></span></figcaption></figure><p>Jagat maya Indonesia baru-baru ini dihebohkan <a href="https://money.kompas.com/read/2019/07/25/131600026/viral-tolak-gaji-rp-8-juta-ini-gaji-fresh-graduate-versi-bps?page=all">kisah</a> seseorang yang mengaku lulusan universitas ternama yang tidak puas ditawari gaji Rp 8 juta saat wawancara kerja.</p>
<p>Walaupun tak jelas kebenaran sumbernya, kisah itu viral dan mencatat <a href="https://trends.google.com/trends/trendingsearches/daily?geo=ID&tt=Gaji+8+juta&hl=in&sni=3#Gaji%208%20juta">angka lebih dari 5.000 penelusuran</a> di Google per 26 Juli 2019, sekaligus menenggelamkan berita tentang turunnya ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). </p>
<p><a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190725/259/1128604/waduh-benarkah-penghasilan-rp3-jutaan-bakal-kena-pajak">Rencana pemerintah</a> untuk memajaki pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan seharusnya lebih menyedot perhatian karena berdampak pada kelompok pekerja dengan bayaran minimalis (sesuai Upah Minimum Regional).</p>
<p>Menurut kami, tanggapan masyarakat yang begitu besar ini hanyalah puncak dari gunung es permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. </p>
<p>Masalah ini utamanya terkait ketiadaan otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dan iklim ketenagakerjaan yang sangat berorientasi pada pasar.</p>
<h2>Standar gaji</h2>
<p>Menyimak komentar-komentar di media sosial, tampak bahwa gaji merupakan wacana yang sensitif, tabu, dan patut dirahasiakan di Indonesia. </p>
<p>Pemahaman soal gaji tidak dapat dilepaskan dari konteks <a href="https://money.kompas.com/read/2019/07/22/171600026/cukupkah-hanya-mengurangi-angka-pengangguran-">tingginya pengangguran</a> dan elemen budaya yang kental, seperti soal arogansi dan konsep bersyukur. Budaya orang Indonesia (baca: Jawa) yang kental dengan sikap <a href="http://jurnalvivid.fib.unand.ac.id/index.php/lingkul/article/view/109/117"><em>nrimo</em></a> nampaknya berperan signifikan dalam hal ini.</p>
<p>Di saat yang sama, sedikit sekali informasi publik yang bisa diakses terkait gaji pekerja. Data yang tersedia hanya dari <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2019/03/06/2049/rata-rata-upah-gaji-bersih-sebulan-buruh-karyawan-pegawai-menurut-provinsi-dan-lapangan-pekerjaan-utama-di-17-sektor-rupiah-2018.html">Badan Pusat Statistik</a> atau <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/26/ini-rerata-gaji-alumni-ui-versi-tracer-study">data riset universitas</a> yang menampilkan rerata gaji pekerja. Data-data ini sayangnya tidak memisahkan antara jenis pekerjaan yang beragam berikut tingkat keahlian maupun pengalaman.</p>
<p>Sebetulnya, ada sumber data lain dari perusahaan swasta penyedia jasa pengelolaan pekerja seperti <a href="https://www.kellyservices.co.id/salary-guide-2019">Kelly Services</a> yang berbasis di Singapura atau <a href="https://www.robertwalters.co.id/content/dam/robert-walters/global/files/salary-survey/salary-survey-2019-greater-china-south-east-asia.pdf">Robert Walters</a> yang berbasis di Inggris yang memiliki acuan gaji pekerja Indonesia untuk berbagai jenis pekerjaan di beberapa sektor.</p>
<p>Namun demikian, data-data di atas tidaklah ideal untuk dijadikan panduan untuk menentukan gaji pekerja karena ia merupakan data survei yang tidak mengenal konsep kelayakan dari sisi pekerja dan tidak memiliki kekuatan dari segi hukum.</p>
<p>Di negara maju seperti Australia, standar gaji pekerja berlaku lintas pekerjaan dan lintas industri serta ditetapkan lewat standar nasional yaitu <a href="https://www.fairwork.gov.au/how-we-will-help/templates-and-guides/fact-sheets/minimum-workplace-entitlements/introduction-to-the-national-employment-standards">National Employment Standards</a> (Standar Pekerjaan Nasional). Standar ini berisi sepuluh poin yang memuat di antaranya jumlah jam kerja maksimal per minggu, dan ketentuan tentang cuti dan pemecatan. </p>
<p>Di sana, gaji seorang teknisi komputer di rumah sakit, misalnya, akan berada di rentang yang sama dengan gaji posisi serupa di perusahaan otomotif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perawat-migran-indonesia-di-jepang-gajinya-tinggi-apakah-mereka-bahagia-90841">Perawat migran Indonesia di Jepang gajinya tinggi, apakah mereka bahagia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, Australia juga memiliki sistem <em>enterprise agreement</em> atau perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme Perjanjian Kerja Bersama di Indonesia. Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh <a href="https://www.fwc.gov.au/disputes-at-work/how-the-commission-works/video-tour-of-the-commission/what-is-the-fair-work-commission"><em>Fair Work Commission</em></a> (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.</p>
<p>Ketiadaan standar yang spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal. </p>
<p>Selain itu, pandangan masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur, <a href="http://jurnalvivid.fib.unand.ac.id/index.php/lingkul/article/view/109"><em>nrimo</em></a>, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja. </p>
<p>Tidak heran, banyak praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal <a href="https://www.kompasiana.com/nugroho/55001ad9a333111e7350fa0a/akal-akalan-untuk-melanggengkan-status-kontrak-pada-karyawan">status kepegawaian yang rentan manipulasi</a>, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1179546/jalan-panjang-nasib-karyawan-kertas-nusantara">gaji tidak dibayar</a>, hingga fakta bahwa <a href="https://majalah.tempo.co/read/156806/dua-kekeliruan-pendidikan-etika?fbclid=IwAR343Crm8Xb2njxuhT9njgESeG99yZnjCnFzt5KH2582l7g9U3Womu0crHY">pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali</a> dalam setahun sementara di negara maju sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">Orang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Orientasi pasar</h2>
<p>Ketiadaan standar ini menurut kami diperparah dengan kuatnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002764212466236">roh neoliberalisme</a> dalam iklim ketenagakerjaan kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk “bersaing” lewat mekanisme pasar yang minim intervensi pemerintah. Keberadaan standar yang berkekuatan hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya. </p>
<p>Tak sedikit pengguna media sosial dan juga pakar yang <a href="https://pekanbaru.tribunnews.com/2019/07/25/viral-lulusan-ui-tolak-gaji-8-juta-begini-tanggapan-pakar-dan-klarifikasi-kampus?page=4">berkomentar</a> bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan keahlian yang dimiliki pekerja. </p>
<p>Dari penelusuran kami, kata kunci yang banyak disebut adalah “skill” (kemampuan), “kompetensi”, <a href="https://metro.tempo.co/read/1229685/viral-gaji-8-juta-ditolak-pengusaha-ini-tantang-gaji-30-juta">“kapasitas”,</a> dan “kontribusi untuk perusahaan”. </p>
<p>Hal ini <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/127583467.pdf">seirama dengan konsep pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot</a> yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan bisnis, tetapi <a href="https://www.plutobooks.com/blog/why-shut-down-business-schools/">tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka</a> terhadap isu ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat. </p>
<p>Pendidikan neoliberal sangat menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1464700112442644?journalCode=ftya">meminggirkan solidaritas sosial dan empati</a>–karakter sosial yang justru masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga. </p>
<p>Ini diperburuk pula oleh logika <em>human capital</em> (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1478210317736208">pekerja unggul dan tidak unggul</a> hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan <a href="https://www.irishtimes.com/opinion/gig-economy-is-the-mass-exploitation-of-millennials-1.3379569">kesejahteraan pekerja.</a></p>
<p>Konsep ini menegaskan bahwa besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa menunjukkan “kualitas” dirinya. </p>
<p>Sementara, di antara <a href="https://sains.kompas.com/read/2019/07/25/190100523/viral-tolak-gaji-8-juta-pakar-pendidikan-sebut-logikanya-tidak-jalan?page=2">para pakar yang bersuara di media arus utama</a> belum ada yang mengungkit persoalan ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Provinsi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kepingan-pengalaman-hidup-pekerja-perempuan-rumahan-92214">Kepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Menurut kami, <strong>yang pertama</strong> perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan pemberi kerja di Indonesia. </p>
<p>Penentuan gaji pekerja perlu diatur dengan mempertimbangkan apa saja hak-hak pekerja, termasuk besaran minimum yang menjamin kelayakan hidupnya, berdasarkan standar sosial yang terus berubah–yang sering disebut sebagai <em><a href="https://fbe.unimelb.edu.au/newsroom/explainer-what-exactly-is-a-living-wage">living wage</a></em> atau upah hidup layak.</p>
<p>Dengan adanya standar gaji nasional yang mencakup beragam jenis pekerjaan, para pekerja memiliki landasan ketika menuntut jumlah gaji di tertentu. </p>
<p>Nantinya, persoalan gaji tak lagi hal tabu. Di belahan dunia lain, pekerja justru <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/2017/jun/19/rise-up-and-demand-pay-increases-reserve-bank-chief-urges-workers">didorong untuk meminta kenaikan gaji</a>. Ini sejalan dengan pendapat ahli bahwa <a href="https://theconversation.com/explainer-how-wage-growth-contributes-to-the-economy-75625">pertumbuhan gaji berdampak positif untuk perekonomian</a>.</p>
<p>Barangkali, sifat-sifat pekerja milenial yang <a href="https://www.forbes.com/sites/kaytiezimmerman/2018/02/11/this-is-why-millennial-job-seekers-are-so-confident/">penuh percaya diri</a> akan berkontribusi positif pada upaya ini.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, para pakar dan praktisi lintas bidang perlu memberikan saran produktif untuk perbaikan kelas pekerja di Indonesia dan tidak larut dalam <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/57/1/163/4102665">pembentukan opini oleh media</a> yang cenderung <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/07393180600933196">melindungi kepentingan bisnis</a> demi pemasukan. </p>
<p>Ada satu hikmah dari kisah 8-juta-rupiah ini, yaitu desakan pada pemerintah untuk membuat standarisasi gaji para pekerja yang komprehensif dan menyediakan mekanisme yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak pekerja. </p>
<p>Agar persoalan yang kini nampak tabu dan gaib dapat samar-samar tersingkap, kemudian nyata di masa depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121135/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di Indonesia, tidak ada otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dalam iklim ketenagakerjaan sangat berorientasi pada pasar.Kanti Pertiwi, Lecturer, Universitas IndonesiaQusthan Firdaus, Dosen di Binus Business School, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1113542019-02-15T06:37:32Z2019-02-15T06:37:32ZOrang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/258684/original/file-20190213-90476-bviy8w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Unjuk rasa mahasiswa CEGEP memprotes magang tidak dibayar di Montreal Kanada, 21 November 2018.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="http://www.cpimages.com/fotoweb/cpimages_error.fwx?SessionTimeout=1">THE CANADIAN PRESS/Ryan Remiorz</a></span></figcaption></figure><p>Sejumlah mahasiswa di Quebec Kanada <a href="https://montrealgazette.com/news/local-news/cegep-students-strike-over-unpaid-internships">pada akhir November tahun lalu </a> menuntut bahwa magang harus dibayar. Apakah mereka ada benarnya?</p>
<p>Beberapa orang menganggap magang tanpa bayaran adalah hal yang baik, khususnya mereka yang telah mendapatkan manfaat dari kontrak magang tersebut. Sedangkan beberapa orang lain menegaskan bahwa ada melupakan isu ketidakadilan jika kita menganggap pelajar bekerja dengan cuma-cuma adalah hal lumrah. </p>
<p>Sebagai contoh, artikel di <em>Globe and Mail</em> dari 2014 mendeskripsikan pengalaman seorang lulusan sarjana. Dia menerima tawaran <a href="https://www.theglobeandmail.com/report-on-business/small-business/startups/in-defence-of-the-unpaid-internship/article19545250/">magang tanpa bayaran</a> di perusahaan rintisan yang kekurangan dana untuk mendapatkan pengalaman kerja yang dia butuhkan. Dia menyebutnya sebagai langkah awal yang membuatnya terus berada di jalur karirnya.</p>
<p>Pemilik perusahaan tersebut mengatakan perusahaan juga mendapatkan manfaat dari magang tanpa bayaran. Manfaat itu tidak akan mencapai sebanyak bila perusahaan “<a href="https://www.theglobeandmail.com/report-on-business/small-business/startups/in-defence-of-the-unpaid-internship/article19545250/">mempekerjakan beberapa orang secara acak…yang mereka temukan secara online</a>.”</p>
<p>Perusahaan tersebut menilai magang sebagai alat atau jembatan perekrutan. Orang-orang yang mendapatkan manfaat dari magang tanpa bayaran tersebut tidak melihatnya sebagai suatu masalah. </p>
<p>Yang lain beranggapan bahwa magang harus dibayar. Darren Walker, kini Presiden Ford Foundation, pada 2016 menulis bahwa <a href="https://www.nytimes.com/2016/07/05/opinion/breaking-a-cycle-that-allows-privilege-to-go-to-privileged.html?action=click&pgtype=Homepage&clickSource=story-heading&module=opinion-c-col-left-region&region=opinion-c-col-left-region&WT.nav=opinion-c-col-left-region&_r=0">magang dengan bayaran</a> memastikan adanya kesetaraan peluang.</p>
<p>Dia menekankan bahwa anak-anak muda yang berasal dari kelurga mampu, mampu magang magang selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan karena orang tua mereka mampu membiayai biaya hidup mereka. Gaji orang tua masih bisa membantu anaknya. Sedangkan orang tua mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu tidak dapat membiayai mereka.</p>
<p>Para mahasiswa yang berunjuk rasa di <a href="https://montreal.ctvnews.ca/cegep-university-students-walk-out-in-protest-over-unpaid-internships-1.4187345">Québec</a> menyatakan mereka harus meninggalkan pekerjaan yang berbayar atau bekerja lembur selama magang tanpa dibayar.</p>
<h2>Apapun untuk peluang kerja?</h2>
<p>Perdebatan secara emosional ini tidak akan menjawab pertanyaan apakah mahasiswa memiliki hak untuk dibayar saat mereka magang. Kita perlu menelaahnya dari segi definisi, hukum, dan ekonomi.</p>
<p>Isu pertama yang mendasar: Apakah tujuan dari magang, dan bagaimana magang berbeda dengan pembelajaran di sekolah? Dalam sebuah analisis definisi, mahasiswa PhD dari Concordia University Ingy Bakir dan saya menemukan beberapa kesepakatan tentang tanggung jawab ketika magang.</p>
<p>Beberapa hal termasuk: Siapa yang magang (masih mahasiswa, sudah lulus kuliah)? Berapa lama magangnya (beberapa minggu, beberapa bulan)? Apa ruang lingkup kerja: Apakah cukup jelas apa saja tugasnya, atau dapatkah karyawan magang diharapkan untuk melakukan apa pun yang dibutuhkan?</p>
<p>Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut definisi magang mengerucut pada satu hal: Magang memberikan pengalaman kerja yang klinis atau praktis yang dapat membantu pelajar untuk <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00131720802361936?casa_token=pEzZuh8V020AAAAA:7RMQ2eDSZC_K-4F-EiPfbp9rtdAFCGG_i0c4nIZiI593zZ-W4FjNADzC-VdwI4A27VJ7p2AGzQQ">mengaplikasikan</a> pembelajaran akademik ke dalam lingkungan kerja nyata. Magang adalah pengalaman <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10734-012-9509-4">kerja</a> sekaligus belajar.</p>
<p>Meski ada berbagai macam aturan hukum di wilayah jurisdiksi yang berbeda, penjelasan hukum memberikan definisi yang lebih jelas dan lebih sederhana. Menurut konsultan hukum <a href="https://gowlingwlg.com/en/insights-resources/articles/2014/are-unpaid-internships-legal-in-canada/">Gowling WLG</a>, sebagian besar kode etik perburuhan mempertimbangkan karyawan magang sebagai pekerja jika mereka melakukan pekerjaan untuk perusahaan tersebut, mereka menerima perintah dari perusahaan; dan perusahaan mendapat keuntungan dari hasil pekerjaan tersebut.</p>
<p>Hanya satu pengecualian, (mereka tidak disebut pekerja) jika mahasiswa melakukan tugas magang mereka sebagai bagian dari program akademik. Sebagian besar kode etik perburuhan, termasuk di Québec, memasukkan <a href="https://mcmillan.ca/Managing-Unpaid-Internships-in-Quebec">perkecualian ini</a>.</p>
<p>Orang kemudian dapat berargumen bahwa hukum memperbolehkan magang tanpa bayaran.</p>
<h2>Persetujuan untuk kompensasi</h2>
<p>Isu kedua adalah apakah semua pengalaman kerja mahasiswa tanpa bayaran. Jawabannya adalah tidak. Kompensasi finansial adalah <a href="https://www.cewilcanada.ca/coop-defined.html">bagian dari pendidikan yang koperatif</a> yang merupakan suatu bentuk pengaturan belajar-kerja lainnya. </p>
<p>Dalam pengaturan ini, ketika siswa bekerja mereka ditempatkan pada posisi yang digaji.</p>
<p>Banyak mahasiswa magang yang juga digaji. Komponen yang paling populer di program yang saya ajar adalah <a href="https://www.concordia.ca/artsci/education/about/internship-program.html">magang</a>. Karena permintaan untuk mahasiswa magang kami melampaui yang tersedia, hampir semua perusahaan membayar gaji. Dan seperti yang terjadi pada pasar tenaga kerja yang paling kompetitif, perusahaan yang tidak mau menggaji menerima sedikit atau menerima pelamar berkualitas rendah dan akhirnya menyetujui untuk memberikan kompensasi.</p>
<h2>Siapa yang diuntungkan?</h2>
<p>Isu ketiga adalah apakah perusahaan diuntungkan dari hasil kerja magang. Jika dilihat dari tingkat individu, hal itu tergantung dari efektivitas anak magang dalam menjalankan pekerjaannya. Secara umum, bagaimana pun, jawabannya pasti ya, karena jika tidak perusahaan tidak akan mengambil anak magang. </p>
<p>Alasan utama menentang upah magang adalah perusahaan menanggung biaya pekerja magang tersebut. Beberapa perusahaan mengatakan bahwa magang adalah pelatihan. Karena itu mereka tidak dapat menanggung biaya pelatihan dan kompensasi sekaligus. Tapi masalah ini hanya relevan jika perusahaan harus berinvestasi secara signifikan untuk <a href="https://www.theglobeandmail.com/report-on-business/careers/career-advice/the-ins-and-outs-of-internships/article1319780/">supervisi yang memakan waktu.</a></p>
<p>Ketidakmampuan untuk membayar pekerja magang mungkin adalah suatu pilihan. Hasil riset lembaga Conference Board of Canada menunjukkan bahwa pengusaha Kanada meningkat tingkat kepelitannya untuk <a href="https://www.conferenceboard.ca/press/newsrelease/2018/01/31/canadian-employers-investment-in-employee-learning-and-development-continues-to-rise?AspxAutoDetectCookieSupport=1">investasi pelatihan</a>, mengurangi investasi tahunan per pekerja dari $1,116 pada 1993 menjadi $889 pada 2017.</p>
<p>Pengusaha lainnya memandang magang sebagai biaya perekrutan. Setelah wawancara, mereka menguji pekerja mereka dengan tidak menggaji selama beberapa minggu dan bulan untuk melihat kinerja para pekerja. Tapi, apakah adil mengharapkan calon pekerja selama berminggu-minggu hidup tanpa digaji sehingga pengusaha dapat mengurangi biaya rekrutmen dan pelatihan? Dapatkah calon karyawan yang sudah pekerja tetap melakukan hal yang sama?</p>
<p>Dengan kata lain, ada benarnya yang dikatakan para mahasiswa.</p>
<p>Tentu saja perguruan tinggi dan universitas dapat mencegah perusahaan memasang pengumuman magang tanpa dibayar di kampus. Tapi beberapa profesi membutuhkan pendidikan klinis untuk mendapatkan surat izin. Perjanjian antara universitas-universitas dan pihak ketiga lainnya mengizinkan peluang-peluang magang tanpa digaji. Mengubah praktik itu akan lebih menantang.</p>
<p>Selain itu, inti masalahnya terletak pada celah dalam aturan ketenagakerjaan yang memungkinkan magang tanpa bayaran untuk mahasiswa. </p>
<p>Dan sah atau tidak, magang tanpa bayaran sepertinya akan berlanjut selama orang-orang mengalami hambatan untuk menerobos ketenagakerjaan dan beberapa pengusaha melihat peluang mendapat tenaga kerja gratis.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111354/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Saul Carliner is a fellow with the Institute for Performance and Learning. He has received funding from SSHRC, Entente Canada Québec, and Canadian Council on Learning.</span></em></p>Alasan utama yang menentang upah magang adalah perusahaan menanggung biaya pekerja magang tersebut. Tapi perusahaan mendapat banyak manfaat juga.Saul Carliner, Professor of Education, Concordia UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1102962019-01-23T10:50:01Z2019-01-23T10:50:01ZTeknologi dan robot akan guncang kebijakan ketenagakerjaan di Asia dan dunia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/255106/original/file-20190123-135139-jxtjft.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Negara-negara berkembang harus dengan serius mulai mempertimbangkan bagaimana perubahan teknologi akan berdampak ke tren tenaga kerja.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Di abad ke-21, pemerintah tidak bisa mengabaikan peran teknologi dalam mempengaruhi ketenagakerjaan dan stabilitas politik.</p>
<p>Otomatisasi pekerjaan–terutama lewat teknologi robot, kecerdasan buatan (AI), dan <em>Internet of things</em> (IoT), yang secara kolektif dikenal sebagai Revolusi Industri Keempat–akan meningkatkan produktivitas dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, hal ini juga akan mengancam pekerjaan para pekerja yang memiliki keterampilan rendah dan menengah di banyak negara berkembang. </p>
<h2>Dari tenaga kerja ke otomatisasi</h2>
<p>Negara-negara berkembang harus dengan serius mulai mempertimbangkan bagaimana perubahan teknologi akan berdampak kepada tren ketenagakerjaan. Teknologi kini muncul sebagai sebuah kekuatan besar yang mengacaukan tatanan yang sudah ada, bahkan mungkin lebih besar dari kekuatan kapital global.</p>
<p>Cina yang selama puluhan tahun telah berkontribusi besar pada ekonomi dunia dengan <a href="https://www.brookings.edu/blog/future-development/2017/11/17/future-development-reads-the-manufacturing-dreams-and-nightmares-of-china/">memproduksi produk manufaktur</a>, kini menjadi produsen yang menjadi kompetitor <a href="https://www.juliusbaer.com/insights/arising-asia/made-in-china-2025-moving-up-the-value-chain/">produk Apple, peralatan rumah tangga, dan teknologi</a>. Dalam prosesnya, Cina telah membuat <a href="https://www.telegraph.co.uk/news/world/peoples-daily-online/opinion/poverty-reduction/">kemajuan bersejarah</a> dengan mengeluarkan banyak rakyatnya dari kemiskinan.</p>
<p>Cina mencapai kemajuan tersebut dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja lewat teknologi dan peningkatan keterampilan tenagat kerja (<em>upskilling</em>), hingga peningkatan upah.</p>
<p>Namun, <a href="https://www.cnbc.com/2017/02/27/chinese-wages-rise-made-in-china-isnt-so-cheap-anymore.html">tren ini</a> juga membuat perusahaan <a href="https://asia.nikkei.com/Economy/Southeast-Asia-s-production-gains-speed-as-China-slows">memindahkan</a> pabrik yang membutuhkan keterampilan rendah ke Asia Tenggara. <a href="https://www.ft.com/content/da53939c-8bdb-11e8-bf9e-8771d5404543">Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina</a> dapat memperburuk tren ini. </p>
<p>Perpindahan lokasi pabrik ini menguntungkan bagi pekerja di negara seperti Vietnam dan Indonesia. Namun, perlombaan antara perusahaan dalam pencarian tenaga kerja yang paling murah memberikan ketidakpastian dalam pertumbuhan jangka panjang di negara mana pun.</p>
<p>Pemerintah di negara-negara berkembang harus mulai mengarahkan keuntungan dari biaya tenaga kerja yang rendah kepada investasi infrastruktur, peningkatan kualitas industri, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja. Cina telah melakukan ini lebih baik dari banyak negara lain.</p>
<p>Berkembangnya kecanggihan dan nilai komersial peralatan robot, IoT, dan teknologi otomatisasi lain akan berdampak pada semua pekerjaan. Lebih luasnya, dampak dari kemajuan teknologi ini dapat mendorong perusahaan untuk memindahkan pabriknya karena biaya tenaga kerja yang tinggi.</p>
<h2>Mengukur dampak politik</h2>
<p>Setelah globalisasi selama puluhan tahun, ekonomi tanpa batas telah muncul di mana modal dan produksi bergerak bebas ke negara-negara dengan keuntungan investasi paling besar dan biaya produksi terendah. Ini telah mendorong pola restrukturisasi ekonomi global yang memberikan kesempatan pertumbuhan untuk negara-negara berkembang.</p>
<p>Para pekerja meraih manfaat dari perubahan ini dengan peningkatan pendidikan dan keterampilan, sementara jutaan orang telah diangkat dari kemiskinan.</p>
<p>Dengan adanya kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap kehidupan, sekarang waktunya untuk memikirkan bagaimana perkembangan global berdampak secara politis. Otomatisasi akan menjadi kekuatan yang begitu mengacaukan pertimbangan ekonomi, sosial, dan politik. Hanya sedikit negara–maju maupun berkembang–yang akan lolos dari tantangan ini.</p>
<p>Beberapa negara Barat, termasuk Amerika Serikat, sudah mengalami gerakan politik populis akibat hilangnya mata pencaharian para tenaga kerja dengan kemampuan menengah yang sebelumnya tidak terjadi. Konflik serupa dapat muncul di negara-negara yang sudah lama terlibat dalam politik nasionalis, termasuk India.</p>
<p>Bertumbuhnya populasi dan otomatisasi pekerjaan akan bersinggungan hingga menghasilkan krisis pengangguran yang dapat berdampak buruk bagi stabilitas politik domestik.</p>
<p>Dengan sistem pendidikan membanjiri pasar tenaga kerja dengan lulusan-lulusasn ambisius, salah satu tantangan terbesar pemerintah ialah bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang layak.</p>
<p>Selanjutnya, tenaga kerja yang rentan kehilangan pekerjaannya tidak hanya para pekerja yang baru bekerja tetapi juga pekerja yang berpengalaman, beberapa akan terus meningkatkan keahliannya untuk mengantisipasi kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.</p>
<p>Di <a href="https://www.firstpost.com/india/indias-unemployment-crisis-1-3-million-youth-need-jobs-every-month-eight-million-a-year-says-world-bank-report-4453457.html">India</a>, lebih dari 1 juta orang memasuki usia produktif tiap bulannya. Lebih dari 8 juta pekerjaan baru dibutuhkan tiap tahunnya untuk memastikan tingkat pengangguran tidak bertambah.</p>
<p>Populasi muda India <a href="https://www.livemint.com/Industry/gw0jCKRG6dWpa4WkmYOQBN/Young-India-not-so-hopeful-about-job-prospects.html">semakin pesimis</a> terhadap prospek kerja mereka. Meskipun hasil statistik resmi tidak dapat diandalkan, namun saat ini sebagian besar pekerjaan di India terjadi di sektor informal seperti pembantu, kuli, pedagang kaki lima, dan pekerjaan serabutan tanpa kontrak. Hal ini dapat mengindikasikan India mungkin akan menghadapi <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-09-12/u-s-is-said-to-propose-new-round-of-trade-talks-with-china">pertumbuhan angka pengangguran di masa depan</a>.</p>
<p>Tingkat keterampilan yang rendah di banyak angkatan kerja memperlambat usaha India untuk mempercepat pertumbuhan di lapangan pekerjaan yang memiliki produktivitas tinggi. Dengan demikian, perusahaan manufaktur skala besar India–baik milik India atau negara lain–berpaling ke tenaga robot untuk memastikan sistem produksi yang konsisten, dapat diandalkan, dan efisien.</p>
<p>Urbanisasi juga menambah masalah ketenagakerjaan India. Prospek pekerjaan bergaji tinggi telah memikat banyak tenaga kerja dari desa ke kota, tapi kebanyakan pekerja ini buta huruf dan tidak memiliki keahlian yang cukup. Hal seperti ini tidak terlalu menjadi masalah sebelumnya, tenaga kerja ini bisa mendapat pekerjaan kasar di pabrik. Namun, keberadaan robot telah menggantikan pekerja migran ini.</p>
<h2>Menuju masa depan dengan penghidupan stabil</h2>
<p>Yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi-sosial ialah menggantikan pekerjaan yang hilang. Menurut <a href="https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/"><em>The World Economic Forum</em> (WEF)</a>, “ketimpangan merupakan keprihatinan masyarakat terbesar yang terkaitan dengan Revolusi Industri Keempat.”</p>
<p>Bagaimanapun, WEF dan lainnya telah memberikan sedikit petunjuk bagaimana menghadapi tantangan ini. Bagaimana seharusnya ekonomi menyerap pekerja yang digantikan oleh teknologi?</p>
<p>Banyak orang menginginkan pergerakan ekonomi dan sosial lebih banyak dari sebelumnya, apalagi ketika mereka melihat kekayaan yang meningkat gila-gilaan di sekitar mereka–di jalan, di berita, dan di antara teman-teman dan rekan kerja yang beruntung. Sayangnya, keinginan ini kebanyakan tidak akan terpenuhi.</p>
<p>Satu cara untuk maju ialah lewat peningkatan <a href="https://www.forbes.com/sites/danielnewman/2018/03/11/the-digitally-transformed-workforce-how-to-upskill-and-retrain-to-retain-talent/#572729bd1d6f">keterampilan</a> dengan melatih pekerja kembali untuk mengoperasikan dan menjaga sistem teknologi. Namun, hal ini seperti paradoks, pekerja ini akan melatih robot untuk menggantikan pekerjaan manusia. Jika pendorong utama dari otomatisasi ialah pengurangan atau penghapusan biaya tenaga kerja, kita tidak bisa berharap semua pekerja yang digantikan robot akan terus mendapatkan kesempatan kerja yang stabil.</p>
<p>Meski ada janji-janji politik tentang pertumbuhan ketenagakerjaan dari industri berteknologi tinggi dan transformasi teknologi di sektor primer, masalah yang disebabkan oleh efisiensi teknologi dan hilangnya kesempatan kerja tak dapat dipungkiri, bahkan mungkin tidak dapat ditemukan cara penyelesaian pastinya.</p>
<p>Masyarakat telah bereaksi negatif terhadap restrukturisasi ekonomi global dengan menggunakan unsur nasionalisme, rasisme, militerisme, dan perlindungan ekonomi yang sewenang-wenang. Para politisi yang oportunis telah memanfaatkan retorika reaksioner ini untuk mendapatkan kekuasaan, melawan apa yang disebut mantan kepala strategis Gedung Putih Steve Bannon sebut dengan “<a href="https://iview.abc.net.au/show/four-corners/series/2018/video/NC1803H030S00">tatanan internasional liberal pascaperang</a>.” Di saat yang sama, solusi “kekirian” seperti upah minimum universal menghadapi tantangan fiskal dan politik yang signifikan.</p>
<p>Abad ke-21 akan terus menghadapi gangguan terhadap dunia kerja yang stabil berkat kemajuan teknologi dan liberalisasi yang terus dilakukan oleh pemilik modal dan proses produksi global. Indikasi awal tentang bagaimana negara-negara akan menghadapinya–serampangan dan tanpa strategi jangka panjang–menunjukkan hasilnya tidak begitu menggembirakan.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Reza Pahlevi.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110296/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan semakin berkembangnya robotika, IoT, dan teknologi otomasi lainnya, pekerjaan di semua tingkat keterampilan akan terdampak.Asit K. Biswas, Visiting professor, University of GlasgowKris Hartley, Assistant professor, The Education University of Hong KongLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.