tag:theconversation.com,2011:/global/topics/pendidikan-42105/articlesPendidikan – The Conversation2024-03-05T09:51:05Ztag:theconversation.com,2011:article/2243822024-03-05T09:51:05Z2024-03-05T09:51:05ZApa yang bisa dilakukan institusi pendidikan untuk menyambut era ‘green jobs’?<p>Asosiasi Industri Fotovoltaik Eropa (EPIA) bersama Greenpeace International memprediksi <em>green jobs</em> akan menjadi <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/documents/publication/wcms_098504.pdf">tren global mulai tahun 2025</a>. Namun, badan PBB untuk program pembangunan (UNDP) memperkirakan pada tahun 2030, <a href="https://www.undp.org/ghana/blog/green-skills-youth-towards-sustainable-development#:%7E:text=Green%20Skills%20and%20the%20Future%20of%20Jobs&text=These%20include%20skills%20in%20areas,sustainable%20agriculture%2C%20and%20environmental%20protection">60% generasi muda</a> di dunia belum memiliki <em>green skills</em> yang diperlukan untuk memasuki era <em>green jobs</em>.</p>
<p><em><a href="https://unevoc.unesco.org/home/TVETipedia+Glossary/show=term/term=Green+jobs#:%7E:text=We%20define%20green%20jobs%20as,preserving%20or%20restoring%20environmental%20quality.">Green jobs</a></em> adalah jenis pekerjaan yang berkontribusi melestarikan dan memulihkan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan dan sektor ekonomi. Pekerjaan ini <a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_149950.pdf">mencakup</a> misalnya, pekerjaan
yang dapat membantu melindungi ekosistem dan biodiversitas; mengurangi energi, materi, dan konsumsi air; dekarbonisasi perekonomian; serta mengurangi atau mencegah pembuatan segala bentuk limbah dan polusi. Salah satu bentuk <em>green jobs</em> saat ini misalnya pekerjaan teknisi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bertanggung jawab mentransformasikan energi terbarukan agar berkelanjutan.</p>
<p>Untuk mendukung penciptaan <em>green jobs</em>, <a href="https://sdgs.un.org/HESI"><em>Higher Education Sustainability Initiative</em></a>, kemitraan terbuka antara beberapa badan PBB dan komunitas pendidikan tinggi, mengkampanyekan “<a href="https://www.unep.org/explore-topics/education-environment/what-we-do/green-jobs-youth"><em>Education for Green Jobs</em></a>” sebagai upaya untuk memfasilitasi tuntutan <em>green jobs</em> melalui pendidikan. </p>
<p>Bagaimana langkah-langkahnya?</p>
<h2>Membangun <em>green awareness</em></h2>
<p><em><a href="https://www.igi-global.com/dictionary/green-selection-practices/91374#:%7E:text=Green%20awareness%20is%20pro%20environmental%20attitude%2Dbehaviour.&text=Presently%2C%20the%20global%20world%20is,and%20solution%20through%20innovative%20ideas.">Green awareness</a></em> atau kesadaran hijau merupakan sikap yang dianggap pro-lingkungan. Kesadaran ini memahamkan pentingnya mengurangi jejak ekologis untuk menjaga keberlanjutan Bumi, sebagai bentuk menghadapi tantangan kritis persoalan lingkungan.</p>
<p>Untuk mendukung <em>green jobs</em> di masa depan, institusi pendidikan perlu menyuburkan <em>green awareness</em> sehingga dapat mendorong siswa menerapkan praktik keberlanjutan, seperti pengurangan jejak karbon dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan transportasi umum.</p>
<p>Sekolah-sekolah di Indonesia juga dapat membangun <em>green awareness</em> dengan menguatkan literasi lingkungan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/1157/2/022025">organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan</a>_ (OECD), <em>green awareness</em> mencakup: </p>
<ol>
<li>Kesadaran terhadap isu-isu lingkungan: Diukur dari seberapa banyak siswa mendapat informasi tentang isu-isu lingkungan saat ini.</li>
<li>Persepsi terhadap permasalahan lingkungan hidup: Diukur dari seberapa besar kepedulian siswa terhadap permasalahan lingkungan hidup.</li>
<li>Optimisme lingkungan: Diukur dari keyakinan siswa bahwa tindakan mereka atau tindakan manusia dapat berkontribusi terhadap pelestarian dan perbaikan lingkungan.</li>
</ol>
<p>Dalam membangun <em>green awareness</em>, para guru berperan sebagai fasilitator utama dalam menyampaikan pengetahuan dan pemahaman mengenai isu-isu lingkungan. Guru membentuk karakter dan nilai-nilai berkelanjutan, semisal dengan memberikan landasan konseptual yang kuat kepada siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-cara-agar-pendidikan-bisa-jadi-solusi-perubahan-iklim-205567">3 cara agar pendidikan bisa jadi solusi perubahan iklim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kurikulum Merdeka yang saat ini digunakan oleh sekolah <a href="https://theconversation.com/3-cara-agar-pendidikan-bisa-jadi-solusi-perubahan-iklim-205567">belum berhasil</a> membuat kesadaran lingkungan menjadi sesuatu yang dekat dan relevan bagi siswa. Meskipun pembelajaran sudah terintegrasi, masih terdapat hambatan pengetahuan, keterampilan, dan infrastruktur yang perlu diatasi. Ini menunjukkan upaya membangun <em>green awareness</em> tidak hanya menjadi tanggung jawab guru, tapi juga sekolah dan pemerintah secara kolaboratif.</p>
<h2>Revitalisasi pendidikan</h2>
<p>Bentuk revitalisasi pendidikan untuk memenuhi tuntutan <em>green jobs</em> dapat dilakukan dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Dimulai dari pembuatan <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315144566-13/globalization-environmental-education-looking-beyond-sustainable-development-bob-jickling-arjen-wals">kebijakan pendidikan</a> untuk membentuk standar kompetensi yang mengarah pada keahlian dan kesiapan menghadapi tantangan lingkungan di masa depan. </p>
<p>Kebijakan ini juga perlu memperhatikan unsur kesinambungan dan keberlanjutan di semua tingkatan. Pemerhati pendidikan Ina Liem dalam wawancara di <a href="https://www.voaindonesia.com/a/siapkah-sdm-indonesia-mengisi-lapangan-kerja-hijau-/7421046.html">VOA Indonesia</a> menyebutkan bahwa, di sekolah dasar hingga menengah atas, sistem pendidikan seringkali memiliki proyek ramah lingkungan, tapi upaya ini tidak berlanjut ke perguruan tinggi.</p>
<h2>Integrasi kurikulum <em>green skills</em></h2>
<p>Kurikulum <em>green skills</em> menjadi kebutuhan mendesak seiring maraknya tuntutan pertumbuhan ekonomi yang menganut <a href="http://rep.up.krakow.pl/xmlui/handle/11716/11571">prinsip ekologis dan kesejahteraan sosial</a>. Integrasi kurikulum <em>green skills</em> ke dalam pendidikan berpeluang membuat siswa lebih siap untuk mengatasi persoalan lingkungan dan kesejahteraan sosial yang mendukung <a href="https://ir.upsi.edu.my/files/docs/2020/4370_4370.pdf">pembangunan ramah Bumi</a>.</p>
<p>Keterampilan <em>green skills</em> menurut OECD terdiri dari <em>cognitive competencies</em> (kemampuan kognitif untuk pemahaman ekologi dan solusi lingkungan), <em>interpersonal skills</em> (keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama dalam konteks lingkungan), dan <em>intrapersonal competencies</em> (kemampuan mengelola diri dan motivasi untuk tindakan pro-lingkungan).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/green-skills-untuk-hadapi-ancaman-perubahan-iklim-211368">'Green skills' untuk hadapi ancaman perubahan iklim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kompetensi dasar dan inti dalam <em>green skills</em> perlu membantu siswa memahami konsep keberlanjutan secara menyeluruh. Mereka tidak hanya diajarkan untuk memahami dampak lingkungan dari tindakan manusia, tetapi juga merancang solusi berkelanjutan melalui pekerjaan mereka di masa depan. Siswa perlu bertindak sebagai <a href="https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/0-306-48515-X.pdf#page=105">motor penggerak transformasi</a> yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik di tingkat pribadi maupun profesional. </p>
<p>Dalam praktiknya, kompetensi <em>green skills</em> tidak hanya mempelajari biologi, geografi, atau mata pelajaran ilmu lingkungan, melainkan juga perlu diperluas ke berbagai disiplin ilmu. <em>Green skills</em> perlu diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran yang bertujuan menciptakan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan <em>green jobs</em>. </p>
<p>Pada mata pelajaran <a href="https://www.proquest.com/openview/b15acb3042c52bc857983c90e4817e1d/1?pq-origsite=gscholar&cbl=18750&diss=y">matematika</a>, misalnya, integrasi <em>green skills</em> dapat dilakukan ketika mempelajari geometri — siswa tidak hanya diajak untuk memahami konsep dan rumus, tetapi juga diberi kesempatan untuk menggambarkan secara matematis desain taman berbasis ekologi atau merancang tata ruang kota yang ramah lingkungan.</p>
<p>Kemudian dalam mata pelajaran <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-6596/895/1/012051/meta">sosiologi</a>, integrasi <em>green skills</em> dapat melibatkan kearifan lokal sehingga siswa paham keterkaitan perubahan iklim dengan dinamika sosial-budaya sesuai konteks lokal daerah masing-masing.</p>
<p><em>Green skills</em> juga dapat diintegrasikan ke dalam mata pelajaran <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563214001526">teknologi informasi</a> dengan menciptakan aplikasi atau solusi teknologi untuk memonitor dan mengelola konsumsi energi. Mata pelajaran <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/csr.1763">ekonomi</a> dapat mengintegrasikan praktik <em>green skills</em> untuk menciptakan <em>eco entrepreneurship</em> atau kegiatan bisnis ramah lingkungan.</p>
<p>Pada akhirnya, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959652620318060">integrasi kurikulum <em>green skills</em></a> yang selaras sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi dapat mempersiapkan kebutuhan aktual pasar kerja di sektor <em>green jobs</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224382/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lingga Utami tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>‘Green jobs’ akan menjadi tren global mulai 2025, tapi masih banyak generasi muda yang belum memiliki ‘green skills’ yang diperlukan. Apa yang bisa dilakukan sekolah?Lingga Utami, PhD Student, Universitas Pendidikan IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2179532023-11-29T03:55:12Z2023-11-29T03:55:12ZDua cara menumbuhkan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar anak<p>Dalam hidupnya, anak mengalami tiga ruang pergaulan yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai <a href="https://scholar.google.co.id/scholar?q=tripusat+pendidikan+ki+hajar+dewantara&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart"><em>tripusat</em> pendidikan, yaitu: keluarga, perguruan (sekolah), dan pergerakan pemuda (masyarakat)</a>. <em>Tripusat</em> pendidikan ini menjadi dasar pengembangan <a href="https://bpmpntb.kemdikbud.go.id/artikel/27/meningkatkan-kolaborasi-sekolah-dan-orang-tua-dalam-peningkatan-mutu-pendidikan">pendidikan berkualitas dengan mendorong keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam dunia pendidikan</a>. Secara formal, hal ini telah diatur pada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/43920/uu-no-20-tahun-2003">Pasal 7-9 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)</a>, maupun <a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id">Pasal 13-16 RUU Sisdiknas</a>. </p>
<p>Topik keterlibatan orang tua dan masyarakat merupakan salah satu isu krusial yang diteliti oleh <a href="https://rise.smeru.or.id/en/about-us"><em>Research on Improving Systems of Education</em> (RISE)-Indonesia</a>, sebuah program penelitian berskala global di Indonesia yang dilaksanakan melalui kemitraan SMERU <em>Research Institute</em> dengan <em>Oxford Policy Management</em> dan <em>Blavatnik School of Government</em> Universitas Oxford, Inggris, pada 2017-2022. </p>
<p>Kami meneliti peran orang tua dan masyarakat di tiga daerah, yaitu <a href="https://riseprogramme.org/publications/does-higher-parental-involvement-lead-learning-gains-experimental-evidence-indonesia">Kebumen, Jawa Tengah;</a>, <a href="https://riseprogramme.org/publications/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Bukittinggi, Sumatera Barat; dan Yogyakarta</a>. Penelitian kami menemukan dua cara menumbuhkan keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar anak sebagai berikut:</p>
<p><strong>1. Meningkatkan komunikasi antara orang tua dan guru</strong></p>
<p>Dari Februari 2020 hingga April 2021, <a href="https://riseprogramme.org/publications/does-higher-parental-involvement-lead-learning-gains-experimental-evidence-indonesia">RISE-Indonesia bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kebumen,</a> melakukan intervensi, yaitu perlakuan terhadap subjek penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang timbul, untuk menumbuhkan partisipasi orang tua dan masyarakat agar aktif mendampingi belajar anak. </p>
<p>Intervensi dilaksanakan dengan cara setiap bulan guru mengirimkan surat kemajuan belajar masing-masing anak kepada orang tua Kelas 1-6. Untuk meningkatkan keterlibatan orang tua, mereka diminta merespons surat tersebut pada “bagian tanggapan,” kemudian dikembalikan kepada guru. Intervensi ini dilengkapi dengan pengiriman poster dorongan keterlibatan orang tua dalam pembelajaran anak.</p>
<p>Selesai intervensi, kami melakukan survei dampak melalui kepala sekolah, guru, orang tua di 65 sekolah dasar di mana kami melakukan intervensi dan 65 sekolah dasar lainnya yang tidak. Hasilnya menunjukkan, program berhasil meningkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar di rumah dan komunikasi orang tua dengan guru. Meningkatnya komunikasi orang tua dan guru telah memperbaiki pula motivasi serta dukungan guru dalam membimbing pembelajaran murid. </p>
<p>Manfaat komunikasi yang baik antara orang tua dan guru juga terlihat di Bukittinggi. <a href="https://theconversation.com/studi-tegaskan-masifnya-dampak-orang-tua-dalam-pembelajaran-anak-kita-harus-bangun-terus-peran-mereka-selepas-pandemi-169375">Selama sekolah tutup karena pandemi COVID-19</a>, RISE-Indonesia mencatat pertemuan murid dan guru menurun. Namun, mereka tetap belajar 6 hari per minggu bersama orang tua. Hasilnya, berdasarkan tes numerasi dan literasi, selama belajar dari rumah pada 2020, murid di Bukittinggi dapat mempertahankan hasil belajarnya.</p>
<p><strong>2. Merawat lingkungan belajar yang kondusif</strong></p>
<p>Sebelum melakukan intervensi dan penelitian di Kebumen, RISE-Indonesia meneliti inovasi daerah yang melibatkan orangtua dan masyarakat dalam merawat lingkungan belajar anak di <a href="https://riseprogramme.org/publications/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Bukittinggi dan Yogyakarta</a> pada bulan Juni-Desember 2019.</p>
<p><a href="https://riseprogramme.org/publications/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Hasil penelitian kami</a> menunjukkan bahwa kedua daerah tersebut menemukan cara merawat peran orang tua dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendorong anak belajar di rumah.</p>
<p><a href="https://riseprogramme.org/publications/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Bukittinggi, contohnya, memiliki Sekolah Keluarga (SK)</a>, sebuah program berbasis komunitas dengan 16 sesi pertemuan yang difasilitasi akademisi dan birokrat lokal. SK berfokus pada fungsi keluarga, khususnya dalam pendidikan anak. SK dikelola dan dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah kelurahan dengan peserta setiap angkatan sekitar 15 orang.</p>
<p>Kegiatan tersebut terlaksana berkat kuatnya jaringan kekerabatan. Dalam tradisi Minangkabau, <a href="https://www.bing.com/search?q=peran+mamak+dalam+tradisi+minangkabau&form=ANSPH1&refig=cb7edb5c7051404a816bc54ceb9a138d&pc=U531">terdapat konsep “mamak” yaitu paman atau saudara laki-laki dari ibu</a>. Mamak berperan dalam membimbing kemenakan (keponakan), memelihara dan mengembangkan harta pusaka serta mewakili keluarga dalam urusan keluar. Mamak juga berkewajiban membantu anak-keponakan agar sukses mengarungi kehidupan.</p>
<p>Dalam konteks yang lebih luas, hubungan mamak dan kemenakan bisa dipahami juga sebagai pemimpin dan yang dipimpin. Sehingga, pejabat dan tokoh masyarakat dapat juga berposisi sebagai “mamak” bagi rakyat.</p>
<p>Motto Bukittinggi <em>saayun salangkah</em> yang berarti ayunan tangan seirama dengan langkah kaki, memberi semangat kepada warga untuk menuju arah yang sama meski dengan cara atau dalam kelompok yang berbeda. Gerak ini cenderung <a href="http://repository.radenintan.ac.id/8314/1/SKRIPSI.pdf">egaliter</a>.</p>
<p>Sementara itu, <a href="https://riseprogramme.org/publications/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Yogyakarta menginisiasi program jam belajar masyarakat (JBM)</a> yang tujuannya menyediakan lingkungan nyaman bagi anak untuk belajar di rumah. Untuk itu, warga bersepakat mematikan radio, televisi, dan gawai antara pukul 18.00-20.00 setiap malam.</p>
<p>Inovasi tersebut lahir dalam struktur sosial yang mencerminkan nilai <a href="https://www.google.com/search?q=pengertian+guyub+rukun+dalam+tradisi+Jogja&rlz=1C1ONGR_enID1027ID1027&oq=pengertian+guyub+rukun+dalam+tradisi+Jogja&gs_lcrp=EgZjaHJvbWUyBggAEEUYOTIHCAEQIRigAdIBCjIyMTMxajBqMTWoAgCwAgA&sourceid=chrome&ie=UTF-8">guyub rukun yang menjunjung kebersamaan hidup berlandaskan kedamaian hubungan antarwarga</a> dan menghormati pemimpin.</p>
<p>Di kampung Jogoyudan yang terletak di bantaran kali Code, Yogyakarta, komunitas mahasiswa dari berbagai universitas rutin melakukan pengabdian dengan <a href="http://rahmiutami.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/15510/2017/10/RELAWAN-PENDIDIKAN-SEBAGAI-PENDAMPING-PENDIDIKAN-ANAK-KURANG-MAMPUU.pdf">membantu anak-anak belajar</a>. Oleh karena itu, keterbatasan kemampuan, waktu, dan finansial keluarga dapat <a href="https://users.monash.edu/%7Easaduli/pub/telementoring.pdf">dikompensasi oleh kehadiran bantuan pihak luar</a>.</p>
<p>Aksi kolektif masyarakat dan pemerintah di Kebumen, Bukittinggi, dan Yogyakarta di atas telah terbukti berhasil merawat mutu pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendampingi anak belajar perlu dilembagakan secara eksplisit dalam peraturan-perundangan pendidikan.</p>
<p>Pendampingan belajar anak tidak berarti orang tua menjadi “guru pengganti” di rumah karena mereka belum tentu memiliki kapasitas mengajar. Kewajiban orang tua dan masyarakat, sebagaimana ditunjukkan melalui intervensi di Kebumen, SK Bukittinggi dan JBM Yogyakarta, adalah berkomunikasi secara aktif dengan guru, serta menyediakan lingkungan pendukung yang kondusif dengan cara-cara yang sesuai konteks kearifan lokal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/217953/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Proses belajar anak bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga orang tua dan masyarakat. Bagaimana menumbuhkan keterlibatan mereka?Syaikhu Usman, Honorary Senior Research Fellow, SMERU Research InstituteAsep Kurniawan, Researcher, SMERU Research InstituteRisa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2182712023-11-23T02:05:32Z2023-11-23T02:05:32ZUntukmu yang peduli pendidikan: ikuti Call for Papers ‘Policy Forum on Education 2023’<p>Beragam praktik baik serta inovasi yang dilakukan oleh para penggerak pendidikan di Indonesia belum terekam dengan baik. Alhasil, permasalahan pendidikan pun belum sepenuhnya terpetakan, alih-alih direspons dalam bentuk kebijakan.</p>
<p>Menanggapi situasi tersebut, Tanoto Foundation bersama The Conversation Indonesia mengundangmu berpartisipasi dalam <em>Call for Papers</em> Policy Forum on Education 2023.</p>
<p>Policy Forum on Education merupakan sebuah forum yang didesain oleh Tanoto Foundation untuk mendorong dialog dan kolaborasi multipihak dalam berbagi ide, pengalaman dan praktik-praktik baik, untuk memecahkan tantangan, serta memformulasikan usulan kebijakan pendidikan di Indonesia. </p>
<p>Ada lima (5) tema besar yang diangkat oleh Policy Forum on Education tahun ini, yakni Pengembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar, Kepemimpinan/Pendidikan Tinggi, Transformasi Digital, dan Kebijakan Pendidikan.</p>
<p><em>Call for Papers</em> ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Policy Forum on Education yang puncaknya akan dilaksanakan pada 13 Desember 2023 di Jakarta. </p>
<p>Silakan mengirimkan <em>paper</em> dengan topik-topik sebagai berikut:</p>
<ol>
<li><p>Implementasi <em>Child-Centered Approaches</em> dalam pendidikan dan perkembangan anak usia dini</p></li>
<li><p>Dampak <em>stunting</em> pada pendidikan dan perkembangan anak usia dini</p></li>
<li><p>Peran guru dalam pembelajaran serta peningkatan literasi dan numerasi</p></li>
<li><p>Ekosistem pendidikan ramah anak</p></li>
<li><p>Kepemimpinan dan inovasi pembelajaran dalam pendidikan tinggi</p></li>
<li><p>Tantangan pendidikan di era <em>Artificial Intelligence</em> (AI)</p></li>
<li><p><em>Design Thinking</em> dalam dunia pendidikan</p></li>
<li><p>Kolaborasi untuk Mengawal Kebijakan Pendidikan yang Berkelanjutan dan Inklusif </p></li>
</ol>
<p><em>Paper</em> yang terpilih akan menjadi salah satu bahan komunike kebijakan yang akan diserahkan ke pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia. Selain itu, penulis akan mendapatkan uang tunai dan menjadi pembicara di acara puncak Policy Forum on Education 2023.</p>
<p><em>Call for Papers</em> ini terbuka untuk umum. Mahasiswa/i, peneliti, akademisi, pakar pendidikan, pengambil kebijakan, sektor swasta dan masyarakat sipil dipersilakan untuk berpartisipasi, baik secara individu dalam kelompok.</p>
<p>Jadi, jika kamu memiliki riset yang relevan dengan topik-topik di atas, kirimkan <em>paper</em>-mu melalui tautan <a href="https://bit.ly/CallforPaperPFoE">bit.ly/CallforPaperPFoE</a> selambat-lambatnya hari <strong>Kamis, 30 November 2023 pukul 23.59 WIB</strong>. </p>
<p>Baca ketentuan lengkap dan pertanyaan yang sering diajukan di <a href="https://bit.ly/SyaratCFP">bit.ly/SyaratCFP</a> dan <a href="https://bit.ly/FAQCallforPaper">bit.ly/FAQCallforPaper</a>. </p>
<p>Mari berpartisipasi menjadi bagian dari #KolaborasiPendidikanKita!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218271/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Beragam praktik baik serta inovasi yang dilakukan oleh para penggerak pendidikan di Indonesia belum terekam dengan baik. Alhasil, permasalahan pendidikan pun belum sepenuhnya terpetakan, alih-alih direspons…Dewi Mulyani Setiawan, Community Engagement SpecialistAstrid Wibisono, Program Manager, The ConversationHayu Rahmitasari, Education & Culture EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2165422023-11-06T08:49:48Z2023-11-06T08:49:48Z3 cara agar pendidikan di Papua mencerminkan nilai-nilai dan budaya lokal dengan lebih baik<p>Papua menghadapi tantangan serius dalam dunia pendidikan. Selain persoalan literasi dan prestasi akademik siswa, dampak dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/11356405.2022.2034287">degradasi budaya dan krisis identitas</a> siswa Papua juga semakin kuat. </p>
<p>Penggunaan bahasa asli Papua di kalangan siswa <a href="https://www.elararchive.org/dk0420/">semakin menurun</a>. Pemahaman terhadap adat istiadat, tradisi, dan kearifan lokal Papua juga <a href="https://indoprogress.com/2015/06/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/">semakin rendah</a>.</p>
<p>Salah satu akar permasalahannya adalah <a href="https://indoprogress.com/2015/06/pemekaran-dan-proses-pemusnahan-manusia-papua-melalui-pendidikan/">kesenjangan antara kurikulum yang digunakan</a> dengan nilai-nilai, tradisi dan warisan budaya orang Papua.</p>
<p>Di sekolah, anak-anak Papua lebih banyak terpapar informasi yang berkaitan dengan budaya lain seperti Jawa dan Sumatra, sedangkan perhatian terhadap budaya Papua <a href="https://doi.org/10.1080/11356405.2022.2034287">sangat terbatas</a>. </p>
<p>Buku-buku pelajaran juga cenderung didominasi karakter anak-anak non-Papua, sementara representasi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/07256868.2023.2247345">karakter anak Papua hampir tidak ada</a>. Kalaupun ada, informasinya <a href="https://forumtbm.or.id/mengenal-papua-melalui-bacaan-anak/">sering tidak sesuai dengan budaya asli Papua</a>.</p>
<p>Bagaimana caranya agar pendidikan di Papua mencerminkan nilai-nilai dan budaya lokal dengan lebih baik?</p>
<p>Jawabannya terletak pada konsep pendidikan inklusif, kolaboratif, dan integratif.</p>
<h2>Pendekatan inklusif</h2>
<p>Pendidikan inklusif adalah pendekatan yang memberikan akses dan kesempatan kepada semua anak, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8116690/">dengan berbagai kondisi</a> dan dari berbagai latar belakang budaya, suku dan identitas, sehingga mereka dapat belajar dan tumbuh bersama dengan menghormati perbedaan satu sama lain. <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/pendidikan-inklusif-solusi-mencegah-diskriminasi">Direktorat Pendidikan Dasar</a> menyebutkan bahwa pendidikan inklusif dapat mencegah diskriminasi.</p>
<p>Sayangnya, pendidikan di banyak sekolah di Papua masih belum inklusif. Selain absennya budaya Papua dan karakter anak-anak Papua dalam kurikulum dan buku pelajaran, tindakan diskriminatif yang terjadi di sekolah baik yang dilakukan oleh guru maupun siswa non-Papua, membuat anak-anak Papua merasa tidak nyaman berada di sekolah. </p>
<p>Dari 22 orang tua Papua yang saya wawancarai untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2023.101892">penelitian saya</a>, mayoritas menyebutkan bahwa anak-anak mereka sering dirundung di kelas. Anak-anak non-Papua melabeli mereka hitam, keriting dan bodoh. Dalam kasus seperti ini, banyak orang tua menilai bahwa sebagian besar guru non-Papua lebih memihak kepada anak non-Papua.</p>
<p>Menurut para orang tua tersebut, ketidakseriusan dan ketidakadilan guru dalam menangani tindakan diskriminatif sering menimbulkan ketegangan dan bahkan perkelahian antara siswa Papua dan non-Papua. Bahkan, 2 orang tua melaporkan, akibat tindakan diskriminatif yang berujung pada pertengkaran, anak mereka mengalami trauma dan memutuskan tidak bersekolah lagi.</p>
<h2>Kolaborasi pemangku kepentingan</h2>
<p>Sekolah, orangtua, komunitas adat Papua, dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung kebutuhan semua anak Papua. </p>
<p>Pentingnya kerja sama tersebut telah diatur dalam <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/detail_peraturan?main=1586">Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016</a> serta <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/06/Panduan-Pengembangan-Kurikulum-Operasional-di-Satuan-Pendidikan.pdf">Panduan Pengembangan Kurikulum Operasional di Satuan Pendidikan</a>. </p>
<p>Tetapi, realita pelaksanaannya masih problematik. Di satu sisi, sekolah sering mengeluhkan <a href="https://doi.org/10.1016/j.ijintrel.2023.101892">orang tua Papua acuh tak acuh dan kurang kompeten</a> dalam pendidikan anaknya. Di sisi lain, pelayanan sekolah yang kurang maksimal membuat orang tua dan <a href="https://baktinews.bakti.or.id/artikel/pemodelan-pembelajaran-lokal-sekolah-formal-dengan-pendekatan-sekolah-kampung">masyarakat apatis</a>. </p>
<p>Disinilah pentingnya membangun hubungan relasional yang kuat antara guru dengan orang tua dan komunitas adat Papua. Komunikasi yang terbuka dan saling menghormati menjadi dasar dalam menciptakan hubungan tersebut. <a href="https://doi.org/10.1080/14681366.2023.2272746">Bahasa informal, sapaan akrab seperti “Mama” dan “Bapa” serta kunjungan periodik ke rumah orang tua</a> dapat menciptakan atmosfer yang hangat.</p>
<p>Selain itu, menciptakan <a href="https://doi.org/10.1080/14681366.2023.2272746">rasa kepemilikan atas sekolah dan pendidikan kepada orang tua dan komunitas adat Papua</a> sangatlah penting. Terutama karena konsep pembelajaran kolaboratif dan berbasis komunitas adalah <a href="https://doi.org/10.1080/07256868.2023.2247345">salah satu filosofi pembelajaran orang Papua</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/solusi-bangun-pendidikan-di-wilayah-terpencil-menurut-riset-211464">Solusi bangun pendidikan di wilayah terpencil menurut riset</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Lebih dari sekedar pemangku kepentingan, orang tua dan komunitas lokal seharusnya menjadi <a href="https://doi.org/10.1080/14681366.2023.2272746"><em>co-leaders</em></a> (pemimpin bersama) dalam seluruh aktivitas pendidikan di sekolah. Mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembelajaran, karena merekalah penjaga pengetahuan dan penasihat budaya, yang dapat memberikan masukan dalam pengembangan kurikulum, serta membantu memelihara kebudayaan dan tradisi Papua di luar sekolah. </p>
<p><a href="https://doi.org/10.12973/iji.2018.11122a">Penelitian saya tahun 2018</a>, menunjukkan bahwa ketika salah satu orang tua siswa diundang untuk mengajarkan proses pembuatan Noken (tas tradisional Papua) di dalam kelas, siswa tampak antusias bertanya dan mencatat hasil diskusi mereka. Aktivitas ini menghadirkan pengalaman nyata budaya Papua ke dalam pembelajaran, sehingga meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan berkomunikasi dan literasi siswa. </p>
<h2>Integrasi budaya dan bahasa</h2>
<p>Banyak peneliti dan pemerhati pendidikan di Papua yang menyerukan implementasi pendekatan <a href="https://doi.org/10.5539/ass.v13n8p20">pembelajaran kontekstual</a> dan <a href="https://doi.org/10.5897/err2015.2620">berbasis budaya Papua</a> di sekolah. Artikel terbaru saya merangkum <a href="https://doi.org/10.1080/07256868.2023.2247345">5 poin penting terkait filosofi dan pendekatan pedagogi Papua</a> yaitu relevansi budaya, perspektif holistik, tradisi lisan dan penceritaan, pembelajaran kolaboratif dan berbasis komunitas, serta pembelajaran berbasis tempat atau lingkungan.</p>
<p>Budaya tidak hanya identitas, tetapi juga sumber pengetahuan yang tak ternilai. Dalam konteks Papua yang kaya akan budaya, mengabaikan budaya lokal dalam pendidikan berarti mengabaikan aspek penting dari identitas siswa Papua. Integrasi budaya lokal memberikan siswa ruang untuk menghargai identitas mereka sendiri dan memperoleh <a href="https://doi.org/10.12973/iji.2018.11122a">rasa percaya diri yang lebih besar</a>.</p>
<p>Lebih dari itu, integrasi budaya lokal juga membantu mengatasi hambatan dalam proses belajar-mengajar. Pemahaman mendalam tentang budaya lokal memungkinkan guru untuk merancang metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa Papua. Hal ini menciptakan <a href="https://doi.org/10.12973/iji.2018.11122a">koneksi emosional yang kuat antara siswa dan pembelajaran</a>, sehingga motivasi belajar mereka meningkat. Dengan terintegrasinya budaya lokal dalam kurikulum, siswa akan melihat <a href="https://doi.org/10.12973/iji.2018.11122a">relevansi materi</a> dengan kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan mudah dipahami.</p>
<p>Contohnya, buku pelajaran dan materi pembelajaran yang digunakan dapat direvisi untuk mencerminkan keberagaman budaya di Papua. Ini termasuk representasi karakter dan cerita yang sesuai dengan <a href="https://doi.org/10.1080/07256868.2023.2247345">kehidupan anak-anak Papua</a>. </p>
<p>Selain itu, sekolah dapat mempromosikan penggunaan bahasa lokal Papua dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran bilingual (bahasa Papua dan bahasa Indonesia) sebagai <a href="https://doi.org/10.12973/iji.2018.11122a">bahasa pengantar pembelajaran</a>, atau melalui <a href="https://jubi.id/tanah-papua/2022/seribu-buku-muatan-lokal-bahasa-daerah-siap-didistribusikan-ke-sekolah/">kurikulum muatan lokal bahasa daerah Papua</a>. Ini membantu anak-anak Papua untuk <a href="https://doi.org/10.1080/07256868.2023.2247345">lebih mudah memahami pelajaran</a>.</p>
<p>Sekolah-sekolah di Papua juga perlu lebih sering mengadakan festival budaya, pameran seni, <a href="https://papua.antaranews.com/berita/703494/disdikbud-terapkan-kurikulum-muatan-lokal-bahasa-daerah-biak-di-sekolah">lomba pidato bahasa daerah</a>, dan acara budaya lainnya supaya anak-anak dapat mengekspresikan identitas mereka. Misal melalui kegiatan baca puisi atau pantun daerah dalam <a href="https://doi.org/10.1080/14681366.2023.2272746">kegiatan ekstrakurikuler di hari Sabtu</a>.</p>
<p>Dengan menggunakan pendekatan inklusif, kolaboratif, dan integratif, sistem pendidikan di Papua dapat memberikan kesempatan yang sama pada semua anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai keunikan dan potensinya, sekaligus memperkuat budaya dan identitas Papua yang amat berharga.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216542/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Murni Sianturi menerima dana dari University of New South Wales, Australia</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tidak ada yang perlu diungkapkan.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Therese M. Cumming tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mama Papua (orang tua siswa) diundang untuk membagikan cara pembuatan noken, tas tradisional Papua, di depan kelas. Siswa antusias bertanya jawab dengan Mama dan mencatat informasi yang disampaikan.Murni Sianturi, PhD Candidate, UNSW SydneyJung-Sook Lee, UNSW SydneyTherese M. Cumming, Pofessor, UNSW SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2167632023-11-03T09:36:42Z2023-11-03T09:36:42ZApakah penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di universitas di Indonesia efektif?<p>Tahun 2021, <a href="https://www.britishcouncil.id/en/programmes/education/emi-higher-education-institutions">British Council Indonesia menerbitkan laporan hasil studi</a> untuk merespons kebijakan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar atau <em>English as a medium of instruction</em> (EMI) yang marak diterapkan oleh beberapa universitas di Indonesia sebagai bagian dari program internasionalisasi perguruan tinggi.</p>
<p>Kebijakan EMI ‘mengharuskan’ semua bentuk komunikasi, baik itu instruksi dari pengajar, materi, serta interaksi antara pengajar dan pelajar di kelas dilakukan hanya dalam bahasa Inggris.</p>
<p>Sayangnya, penerapan kebijakan EMI ini tidak selalu berjalan dengan efektif. Sebuah penelitian di Swedia bahkan menyimpulkan bahwa EMI, dalam keadaan tertentu, dapat mempunyai <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/applirev-2022-0093/html">konsekuensi negatif terhadap kinerja akademik siswa</a>.</p>
<p>Bagaimana dengan di Indonesia?</p>
<h2>Kompromi demi gengsi</h2>
<p><a href="https://www.britishcouncil.id/en/programmes/education/emi-higher-education-institutions">Laporan studi dari British Council Indonesia</a> menemukan bahwa kebijakan penerapan EMI di Indonesia menyebar secara lebih cepat di institusi yang lebih bergengsi sebagai upaya mempertahankan prestise mereka dan umumnya disambut oleh staf pengajar secara positif dan antusias. </p>
<p>Namun, secara garis besar, penerapan EMI ini tidak berjalan baik karena banyak mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih kurang memadai.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13488678.2014.884879">Sebuah penelitian di Indonesia tahun 2013</a>, contohnya, menemukan bahwa meskipun dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris, mereka mengalami kesulitan ketika bertransisi secara mendadak menggunakan bahasa Inggris saja di kelas.</p>
<p>Selain itu, mayoritas dosen belum memahami cara mengadaptasi metode pengajaran mereka dalam bahasa Inggris. <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315397627-5/case-study-fuad-abdul-hamied-nenden-sri-lengkanawati">Sebuah riset tahun 2018 di sekolah pendidikan guru di Indonesia</a> menemukan bahwa meskipun beberapa dosen merasa percaya diri menerapkan kebijakan EMI, kemampuan menulis mereka dalam bahasa Inggris masih kurang memadai. Silabus yang mereka tulis dalam bahasa Inggris mencerminkan kesalahan-kesalahan penggunaan gramatika dan pemilihan kata dalam bahasa Inggris. </p>
<p>Alhasil, penerapan kebijakan menjadi tidak maksimal. Baik pengajar atau murid mencampur bahasa Indonesia dan Inggris di kelas.</p>
<h2>Tidak otomatis fasih</h2>
<p>Ahli-ahli pendidikan bahasa Inggris juga mengkritik kebijakan EMI. Mereka membantah pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris saja di kelas akan membuat pelajar otomatis fasih berbahasa Inggris. Ernesto Macaro, Profesor Emeritus di <em>University of Oxford</em>, Inggris, misalnya, menyatakan bahwa <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/0-387-24565-0_5">keyakinan tersebut tidak dapat dibuktikan</a>. </p>
<p>Miles Turnbull dari <em>University of Prince Edward Island</em>, Kanada dan Jennifer Dailey-O’Cain dari <em>University of Alberta</em>, Kanada, juga menambahkan bahwa <a href="https://www.multilingual-matters.com/page/detail/First-Language-Use-in-Second-and-Foreign-Language-Learning/?k=9781847691958">kebijakan ini justru merugikan pelajar</a>. Mereka berpendapat bahwa bagi pelajar-pelajar bilingual atau multilingual (berbicara lebih dari satu bahasa, seperti di konteks Indonesia), <em>code-switching</em> (berganti dari satu bahasa ke bahasa lain) berlangsung secara alami dan tidak dapat dihindari.</p>
<p>Kebijakan menggunakan bahasa Inggris saja di kelas di tingkat universitas justru dapat menimbulkan diskriminasi terhadap <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.21832/9781847698162-014/html?lang=en">mahasiswa yang kemampuan bahasa Inggrisnya belum memadai serta menghambat mahasiswa memaksimalkan pengetahuan akademisnya</a>. </p>
<p>Sebuah penelitian di Israel menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Inggris saja di kelas <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.21832/9781847698162-014/html?lang=en">mengesampingkan fakta bahwa sebenarnya mahasiswa memproses pengetahuan yang mereka pelajari di kelas melalui lebih dari satu bahasa yang mereka miliki</a>. Kebijakan ini memaksa mahasiswa untuk berpikir dalam satu bahasa saja dan ‘mematikan’ fungsi bahasa-bahasa lain yang mereka miliki. Padahal, bahasa-bahasa tersebut mereka gunakan untuk mencoba memahami pembelajaran dan membuat proses pembelajaran mereka lebih bermakna.</p>
<h2>Ketidakpercayaan diri dalam berbahasa</h2>
<p>Kebijakan penggunaan bahasa Inggris saja di kelas juga dapat mengakibatkan ketidakpercayaan diri dalam berbahasa karena biasanya penggunaan bahasa-bahasa lain yang dimiliki mahasiswa (seperti bahasa ibu mereka, bahasa lokal, dan bahasa nasional) dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan, bahkan dilarang untuk digunakan. </p>
<p>Dalam konteks perguruan tinggi Indonesia, ini berarti kebijakan EMI ‘memaksa’ mahasiswa meninggalkan bahasa-bahasa lain mereka, atau dengan kata lain, meninggalkan identitas bilingual atau multilingual mereka.</p>
<p>Padahal, Lourdes Ortega, peneliti bahasa dari <em>Georgetown University</em>, Amerika Serikat (AS), menyatakan bahwa <a href="https://www.jstor.org/stable/45172039">semua orang berhak untuk merasa percaya diri dengan kemampuan linguistik mereka</a> dan dalam menggunakan bahasa-bahasa yang mereka miliki.</p>
<h2>Metode <em>translanguaging</em> sebagai alternatif</h2>
<p>Studi-studi yang dipaparkan di atas membuktikan bahwa kebijakan EMI di kelas-kelas di Indonesia tidak efektif.</p>
<p><a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315397627-5/case-study-fuad-abdul-hamied-nenden-sri-lengkanawati">Sebuah riset juga menunjukkan</a> berpendapat bahwa kebijakan pengajaran bahasa Inggris di perguruan tinggi di Indonesia harus memperhitungkan karakteristik Indonesia yang multibahasa dan multikultural.</p>
<p>Metode pengajaran <em>translanguaging</em> bisa menjadi alternatif yang lebih sesuai untuk karakteristik tersebut. <em>Translanguaging</em>, yang dipopulerkan oleh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15235882.2014.965361">Ofelia Garcia dari <em>City University of New York</em>, AS dan Li Wei dari <em>University of London</em>, Inggris</a>, dapat diartikan sebagai <a href="https://www.hmhco.com/blog/translanguaging-making-strategic-use-of-emergent-bilinguals-complete-linguistic-repertoires">“proses menggunakan semua sumber daya linguistik dan kognitif, termasuk bahasa asal seseorang, untuk memahami konten akademis yang disampaikan dalam bahasa lain”</a>. </p>
<p><a href="https://www.hmhco.com/blog/translanguaging-making-strategic-use-of-emergent-bilinguals-complete-linguistic-repertoires">Yvonne Freeman dan David Freeman dari <em>University of Texas</em>, AS memberikan contoh</a> bagaimana metode pengajaran <em>translanguaging</em> dapat diterapkan di kelas. </p>
<p>Dalam menerangkan suatu konsep, dosen dapat bertanya “<em>What is Concept X in your own language(s)</em>?” (“Apa konsep X di bahasamu sendiri?”)dan “<em>What are some examples of this concept in your real life?”</em> (“Apa contoh dari konsep ini di kehidupanmu?”).</p>
<p>Contoh lain, misalnya dalam kelas bahasa Inggris, dosen dapat bertanya, “<em>What is folktale in your own language?</em>” (“Apa cerita rakyat dalam bahasamu?), ”<em>What are some examples of folktales in your local language?</em>“ ("Apa contoh cerita rakyat dalam bahasa lokalmu?”). </p>
<p>Mahasiswa diperbolehkan untuk menulis catatan dalam bahasa mereka, serta membandingkan konsep dalam bahasa Inggris dengan konsep yang bisa mereka pahami di bahasa mereka sendiri.</p>
<p>Alih-alih memaksa mahasiswa untuk menggunakan bahasa Inggris saja di kelas, konsep <em>translanguaging</em> ini bisa memberi beberapa manfaat, yaitu: (1) Membantu mahasiswa mengasah kemampuan berbahasa Inggris mereka; (2) Membantu mahasiswa memahami konten yang mereka pelajari di kelas; dan (3) Mengapresiasi dan mempertahankan bahasa-bahasa lain yang mereka miliki, serta pengetahuan lokal yang kadang tidak bisa diterjemahkan atau diekspresikan dalam bahasa Inggris.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216763/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Billy Nathan Setiawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kebijakan EMI sedang marak diterapkan oleh banyak universitas di Indonesia. Salah satunya melalui penggunaan bahasa Inggris saja di kelas. Apakah kebijakan ini efektif untuk konteks Indonesia?Billy Nathan Setiawan, PhD Candidate in Applied Linguistics, University of South AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2165322023-10-30T05:12:25Z2023-10-30T05:12:25Z3 karakteristik Gen Z ketika belajar yang dosen perlu tahu<p>Kita sering berdiskusi tentang bagaimana <a href="https://www.researchgate.net/publication/374068950_SPICE_Systemic_Praxis-Immersive_Convergence_Education_A_Paradigm_Shift_in_Education_for_Excellence_in_the_21_st_Century">sistem pendidikan abad ke-21</a> harusnya bekerja, tetapi jarang membahas kualitas dan keahlian dosen yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan mengajar Gen Z, yaitu <a href="https://www.britannica.com/topic/Generation-Z">mereka yang lahir di antara tahun 1997 dan 2012</a> .</p>
<p>Sebagai mahasiswa, Gen Z memiliki karakteristik yang tak jarang <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/08/104223071/tantangan-dan-seni-mendidik-generasi-z?page=all">menantang cara-cara lama dosen dalam mengajar</a>. Terutama terkait dengan teknik atau keahlian yang perlu dimiliki dosen agar ilmu yang disampaikan terserap secara optimal.</p>
<p>Apa saja karakteristik tersebut?</p>
<h2>1. Pembelajar sosial dan aktif</h2>
<p>Generasi Z cenderung merasa nyaman dalam lingkungan pembelajaran yang fokus pada <a href="https://www.researchgate.net/publication/339087356_Generation_Z_and_Learning_Styles">interaksi sosial</a>. Mereka lebih menyukai situasi pembelajaran yang melibatkan kolaborasi dan komunikasi dengan temannya. Dengan kata lain, <a href="https://www.celotehpendidikan.com/2021/06/gen-z-pendidikan-harus-bertransformasi.html">Gen Z cocok dengan model <em>project based learning</em></a>, yaitu pendekatan pembelajaran yang fokus pada penggunaan proyek atau praktik sebagai cara utama untuk mengajar dan memahami materi pelajaran.</p>
<p>Dalam metode ini, mahasiswa diberi tugas untuk menyelesaikan proyek nyata yang memerlukan pemecahan masalah, eksplorasi dan kreativitas secara berkelompok. Proyek tersebut seringkali <a href="https://itali.uq.edu.au/teaching-guidance/teaching-practices/active-learning/project-based-learning">mencerminkan situasi dunia nyata dan memerlukan aplikasi praktis</a> dari pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dalam kelas.</p>
<p>Memang, <a href="https://www.researchgate.net/publication/343356700_Educational_experiences_with_Generation_Z">menurut Marcela Hernández de Menéndez, peneliti dari <em>Monterrey Institute of Technology and Higher Education</em>, Meksiko</a>, Gen Z adalah generasi yang cenderung lebih santai dan fleksibel dalam lingkungan pembelajaran. Namun, mereka sebenarnya sangat mengharapkan adanya validasi dari dosen yang mengajar bahwa apa yang mereka pelajari sungguh akan bermanfaat pada <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/08/104223071/tantangan-dan-seni-mendidik-generasi-z?page=all">karir mereka di masa depan</a>. </p>
<p>Oleh karena itu, dosen perlu memiliki kepekaan dan keahlian untuk membuat materi kuliah menjadi lebih bermakna di mata Gen Z. Misalkan saja, dengan menggunakan istilah yang dekat dengan mereka atau menggunakan contoh konkret yang sungguh mereka alami.</p>
<p>Ketika menjelaskan konsep etika terkait pentingnya menjaga privasi, misalnya, seorang dosen dapat memulainya dengan mengambil contoh kasus <a href="https://www.youtube.com/watch?v=bE4ZKGFDNz4">SSSniperWolf</a>, nama lain dari pembuat konten game dan reaksi di YouTube, Alia Shelesh, yang melakukan <a href="https://www.forbes.com/sites/antoniopequenoiv/2023/10/20/youtube-temporarily-demonetizes-sssniperwolf-after-doxxing-controversy/?sh=17d166367cdc"><em>doxing</em> atau perbuatan membuka data diri seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan</a> terhadap Youtuber <a href="https://www.youtube.com/user/jacksfilms">JacksFilms</a>.</p>
<p>Ciri lain dari Gen Z adalah mereka merupakan pembelajar yang senang menggunakan dan mengeksplorasi berbagai sumber daya. Hal itu mengacu pada <a href="https://www.pearson.com/content/dam/one-dot-com/one-dot-com/us/en/files/PSONA5646-8150_TIDL_GenZ_Infographic_Print_FINAL.pdf">sebuah penelitian</a> yang mengatakan bahwa mahasiswa Gen Z cenderung menolak menjadi pelajar pasif. Mereka tidak puas dengan hanya hadir di kelas, mendengarkan kuliah, dan mencatatnya untuk dihafal saat ujian.</p>
<p>Sebaliknya, mereka ingin benar-benar terlibat dalam pembelajaran dan merasa menjadi bagian dari proses tersebut dengan perangkat pembelajaran yang variatif dan berbasis teknologi.</p>
<h2>2. Melek teknologi</h2>
<p>Gen Z juga menyukai lingkungan belajar yang kolaboratif dan tidak terbatas pada interaksi tatap muka. Mereka merasa nyaman belajar bersama mahasiswa lain, bahkan jika bukan rekan sekelas, dengan menggunakan <a href="https://www.pearson.com/content/dam/one-dot-com/one-dot-com/us/en/files/PSONA5646-8150_TIDL_GenZ_Infographic_Print_FINAL.pdf">aplikasi digital seperti Zoom dan forum <em>online</em></a>.</p>
<p>Oleh karena itu, dosen perlu memanfaatkan presentasi visual, baik yang bersifat statis seperti gambar dan grafik, maupun yang dinamis seperti film dan video. Hal ini lebih efektif daripada ceramah panjang, karena mahasiswa Gen Z cenderung memiliki fokus yang singkat.</p>
<p>Selain itu, menurut riset yang dilakukan oleh <a href="https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/us/Documents/consumer-business/welcome-to-gen-z.pdf">Karianne Gomez, peneliti dari Deloitte, Amerika Serikat</a>, sebagai generasi digital, Gen Z mengharapkan alat-alat pembelajaran digital ini terintegrasi dengan baik dalam pendidikan mereka. </p>
<p>Bagi mereka, teknologi selalu menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, dan mereka merasa pendidikan tidak boleh berbeda. Mereka meyakini bahwa pengalaman akademik harus dapat terhubung dengan pengalaman pribadi melalui alat-alat teknologi yang sama.</p>
<p>Mereka juga berharap, alat-alat pembelajaran ini tersedia kapan saja dengan akses yang mudah. Mereka merasa bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, tapi bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.</p>
<p>Sehingga, dosen perlu memberi panduan bagaimana menggunakan teknologi secara efektif dalam pembelajaran, sambil membantu mahasiswa mengidentifikasi informasi mana yang dapat dipercaya dan membedakannya dari hoaks.</p>
<p>Selain itu, dosen juga perlu memahami bahwa kedekatan mahasiswa Gen Z dengan teknologi membuat mereka memiliki banyak distraksi, sehingga dosen harus fokus pada informasi yang terbaru dan relevan saja. Pembelajaran sebaiknya dilakukan secara singkat dan dilanjutkan dengan berbagai aktivitas kreatif yang memunculkan minat Gen Z.</p>
<h2>3. Mandiri dan berorientasi karir</h2>
<p>Akses tak terbatas pada informasi baru telah menciptakan generasi yang lebih mandiri dan fokus pada karier. Bahkan, sebagian besar dari Gen Z sudah memiliki bisnis mereka sendiri. Salah satunya adalah <a href="https://www.isabellarosetaylor.com/">Isabella Rose Taylor</a>, seorang desainer muda yang pada usia 13 tahun telah meluncurkan merek pakaian sendiri dan memamerkannya di <a href="https://apnews.com/article/9dd54c09530045a29fac417ea896fddf">New York Fashion Week</a> . </p>
<p><a href="https://wpengine.com/resources/gen-z-2020-full-report/">Perubahan paradigma</a> dari yang tadinya linier: sekolah, lulus, kerja, baru meniti karir, kini telah berevolusi menjadi sangat acak – tidak bisa ditebak arah dan prosesnya. Hal ini disebabkan, salah satunya, karena akses mereka yang lebih luas terhadap informasi daripada generasi sebelumnya. </p>
<p>Maka ketika seorang GenZ masuk ke jenjang perguruan tinggi, mereka sudah terbiasa bahkan menuntut dirinya untuk selalu relavan dengan <a href="https://digitalsociety.id/2023/03/20/indonesia-gen-z-report-2022-understanding-and-uncovering-the-behaviour-challenges-and-opportunities/">hal-hal yang sedang tren</a>. </p>
<p>Mereka juga memiliki pemahaman yang baik tentang dunia di sekitar mereka dan mulai merenungkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/366356186_Behavior_of_Generation_Z">peran mereka di dalamnya</a>, tentu saja dengan tujuan agar apa yang mereka usahakan tidak berakhir sia-sia <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0160791X21000403">dan bermanfaat bagi hidup mereka di kemudian hari</a>.</p>
<p>Penelitian yang dilakukan oleh <a href="https://www.researchgate.net/publication/311025822_The_Teacher_of_the_Generation_Z">Carmen Sonia Duse, profesor dari <em>“Lucian Blaga” University of Sibiu</em>, Rumania, pada tahun 2016</a>, menegaskan bahwa dosen perlu mempertimbangkan karakteristik ini agar pembelajaran dapat berjalan optimal.</p>
<p>Jika tidak, Hendi Pratama, pegiat media sosial sekaligus dosen dari Universitas Negeri Semarang, mengatakan bahwa <a href="https://www.adawarta.com/gaya-hidup/68310594873/mengungkap-cara-kerja-otak-generasi-z-melalui-sudut-pandang-hendy-pratama-seorang-dosen-dan-komika">tanpa kemampuan yang relevan</a>, dosen yang mengajar mahasiswa Gen Z dapat memperoleh respon negatif dari mahasiswa, seperti diabaikan atau bahkan dianggap tidak kompeten.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216532/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogie Pranowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mahasiswa Gen Z memiliki karakteristik yang mempengaruhi persepsi dan cara mereka dalam belajar. Apa saja karakteristik tersebut? Bagaimana seharusnya dosen menyikapinya?Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2158212023-10-24T02:09:05Z2023-10-24T02:09:05ZGonta-ganti kurikulum di Indonesia: apa sebabnya?<p>Pernyataan “ganti pemerintah, ganti kurikulum” sudah sering muncul di masyarakat. Perubahan kurikulum seolah-olah menjadi hal yang lumrah setiap kali pemerintahan berganti.</p>
<p>Perubahan kurikulum sendiri adalah siklus normal yang terjadi di banyak negara. <a href="https://www.oecd.org/education/curriculum-reform-efe8a48c-en.htm">Data tahun 2020 dari <em>Organisation for Economic Co-operation and Development</em> (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar,</a> menyebutkan bahwa negara-negara <em>top performers</em> yang terkenal dengan sistem pendidikannya, juga memiliki siklus rutin kurikulum.</p>
<p><a href="https://www.oecd-ilibrary.org/docserver/efe8a48c-en.pdf?expires=1697767739&id=id&accname=guest&checksum=F4BD7038AFA9C992CE383D36B5A51545">Sebut saja Jepang (siklus 10 tahunan), Singapura (siklus 6 tahunan), Finlandia (Siklus 10 tahunan) dan Ontario, Kanada (Siklus 7 tahunan)</a>. Siklus rutin ini diperlukan untuk mengkaji kembali kurikulum yang digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah kurikulum tersebut masih relevan.</p>
<p>Di Indonesia, sejak pertama diterapkan pada tahun 1947, perubahan kurikulum telah terjadi beberapa kali yaitu, masa kemerdekaan dan orde lama (1952 dan 1964) masa orde baru (1968, 1975, 1984, dan 1994), serta era reformasi dan setelahnya (2004, 2006, 2013, 2022). </p>
<p>Meskipun pernyataan “ganti pemerintah, ganti kurikulum” tidak sepenuhnya salah, kebijakan pemerintah pada periode tertentu bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan kurikulum. </p>
<h2>Apa saja faktor-faktor penyebabnya?</h2>
<p><strong>1. Pengaruh sosio politik global</strong></p>
<p>Perubahan kurikulum pertama yang terjadi karena faktor sosio politik global terjadi pada tahun 1947 untuk menghapus pengaruh pendidikan Belanda. </p>
<p>Kurikulum baru ketika itu bertujuan <a href="https://www.pedocs.de/frontdoor.php?source_opus=17442">mereformasi sistem pendidikan dari pengaruh pendidikan Belanda pascakemerdekaan Indonesia</a> dan <a href="https://journals.openedition.org/ries/3814">menitikberatkan pada pendidikan karakter, kesadaran bernegara, dan sistem kesadaran masyarakat</a>.</p>
<p>Indonesia mengubah kurikulum kedua pada tahun 1968 untuk mengenalkan bahasa Inggris sebagai <a href="https://journals.openedition.org/ries/3814">bahasa asing pertama dalam kurikulum Indonesia</a>. Menurut penelitian tahun <a href="https://www.neliti.com/publications/226468/sejarah-kurikulum-di-indonesia-studi-analisis-kebijakan-pengembangan-kurikulum">2014</a> dan <a href="http://ejournal.staidarussalamlampung.ac.id/index.php/assalam/article/view/132">2019</a>, kurikulum ini bertujuan memperkuat akhlak, mental, dan keimanan pelajar Indonesia, serta meningkatkan kecerdasan, dan keterampilan.</p>
<p>Kurikulum merdeka yang diterapkan pascapandemi COVID-19 pada tahun 2022 juga menjadi contoh dari pengaruh sosio politik global. Kurikulum ini fokus pada literasi, numerasi dan pendidikan karakter. Hal ini salah satunya didasari oleh rendahnya nilai skor <em>Programme for International Student Assessment</em> (PISA), studi untuk mengevaluasi sistem pendidikan yang diikuti oleh lebih dari 70 negara di seluruh dunia, dari siswa Indonesia menurut <a href="https://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=PI">data OECD tahun 2018</a>.</p>
<p>Dalam kurikulum ini, Ujian Akhir Nasional (UAN) ditiadakan dan diganti dengan asesmen nasional yang indikatornya dirancang untuk mengikuti standar asesmen PISA dari OECD.</p>
<p><strong>2. Penguatan ideologi negara</strong></p>
<p>Faktor penguatan ideologi negara dalam perubahan kurikulum, salah satunya terjadi pada penambahan mata pelajaran agama di kurikulum 1952. Sebuah artikel jurnal yang terbit tahun 2016 menyebutkan bahwa <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/CURRICULUM-DEVELOPMENT-IN-INDONESIAN-CONTEXT-THE-Wahyuni/9bc227cd9371a3fafaffb3dac645e5c6513bf358">kurikulum 1952, yang juga dikenal dengan sebutan Rencana Pembelajaran Terurai,</a> adalah revisi dari kurikulum 1947.</p>
<p>Dua penelitian yang dipubiklasikan pada <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s40839-017-0040-x">tahun 2017</a> dan <a href="https://www.learntechlib.org/p/218538/">tahun 2020,</a> menyebutkan bahwa penambahan pelajaran agama sebagai mata pelajaran wajib di kurikulum ini mencerminkan pentingnya pendidikan agama dalam membentuk perkembangan moral dan spiritual peserta didik sebagai bagian dari ideologi negara.</p>
<p>Kurikulum ini kembali diubah pada tahun 1964 untuk mengembangkan nilai-nilai <a href="https://www.pedocs.de/frontdoor.php?source_opus=17442">patriotisme dan nasionalisme</a>. </p>
<p>Penggunaan Pancasila sebagai landasan kurikulum 1968 juga merupakan bukti dari faktor penguatan ideologi negara. Selain itu, pengenalan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penetapan kembali bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib pada kurikulum 1984 juga mempertegas adanya faktor penguatan ideologi negara dalam perubahan kurikulum. </p>
<p><strong>3. Kebijakan dan arah pembangunan pemerintah</strong></p>
<p>Pengaruh faktor ini sudah terlihat sejak kurikulum pertama tahun 1947 dalam upaya pemerintah untuk menghapus pengaruh pendidikan Belanda. </p>
<p>Selain itu, kebijakan desentralisasi atau penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom di era reformasi juga mempengaruhi kurikulum 2004 dan 2006. Kedua kurikulum ini mulai memberikan otonomi lebih kepada sekolah dan universitas untuk menyusun kurikulum operasional sesuai semangat desentralisasi. </p>
<p>Kurikulum 2004, yang dikenal juga sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diterapkan sebagai <a href="https://www.cepsj.si/index.php/cepsj/article/view/543/">respons terhadap perubahan struktural sistem pemerintahan Indonesia pasca orde baru, dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi</a>.</p>
<p>Hanya berselang dua tahun kemudian, kurikulum 2006 diterapkan pada tingkat operasional di setiap satuan pendidikan, yang berarti sekolah memiliki <a href="https://www.iiste.org/Journals/index.php/JLPG/article/view/40846">otonomi lebih dalam merancang kurikulumnya sendiri</a>.</p>
<p><strong>4. Dinamika di masyarakat</strong></p>
<p>Perubahan kurikulum juga merespons ketidakpuasan masyarakat atas sistem pendidikan dan hasil pendidikan. Kurikulum 2013, misalnya, merupakan <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/A-Case-Study-of-Curriculum-Implementation-and-K-13-Nuraeni-Ms./b95a139d98473250ab7ad1e541e61a84ed17aca8">reaksi atas kritikan masyarakat karena rendahnya hasil belajar siswa</a>.</p>
<p>Selain kurikulum 2013, kurikulum merdeka juga lahir karena alasan serupa yaitu siswa dianggap terlalu dibebani dengan aspek kognitif dan kemampuan siswa Indonesia yang tidak menggembirakan, terutama kaitannya dengan skor PISA. </p>
<p>Kurikulum merdeka memberikan kebebasan kepada sekolah untuk membuat kurikulum operasional dengan melihat konteks, sumber daya, dan kebutuhan sekolah masing-masing dengan tetap mengikuti capaian pembelajaran yang ditetapkan pemerintah.</p>
<p>Meski telah berulang kali ganti kurikulum, sulit untuk mengatakan bahwa perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia didasarkan pada perencanaan jangka panjang atau mengikuti siklus tertentu layaknya negara-negara <em>top performers</em> di atas.</p>
<p>Seringnya, proses reformasi kurikulum dilakukan tanpa perencanaan jangka panjang atau penyusunan strategi (<em>blue print</em>) yang <a href="https://www.oecd.org/education/curriculum-reform-efe8a48c-en.htm">menurut OECD</a> memang membutuhkan waktu untuk merumuskannya. Tak heran jika masyarakat terlanjur percaya bahwa pergantian pemerintah akan otomatis diikuti dengan pergantian kurikulum.</p>
<p>Kalau sudah begitu, melihat tren dan sejarah perubahan kurikulum di Indonesia, apakah kurikulum akan kembali berganti setelah pemilu 2024 nanti?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215821/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sejak awal kemerdekaan, kurikulum di Indonesia telah mengamali perubahan berkali-kali. Apa sebabnya? Benarkah setiap ganti pemerintah otomatis ganti kurikulum?Wendi Wijarwadi, Phd Student at School of Education, UNSW SydneySamsu Alam, Doctoral Student in Curtin University, Perth, Australia., Curtin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2114642023-10-17T05:57:58Z2023-10-17T05:57:58ZSolusi bangun pendidikan di wilayah terpencil menurut riset<p>Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/43920/uu-no-20-tahun-2003">menjamin</a> kesempatan pendidikan dan peningkatan mutu kualitas pendidikan yang merata. </p>
<p>Faktanya, banyak wilayah terpencil Indonesia belum merasakan kualitas pendidikan yang sama.</p>
<p>Kemiskinan ekstrem, tidak adanya dukungan keluarga yang memadai, keragaman suku yang bermukim dalam satuan administratif, serta metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan konteks lokal menjadi alasan mengapa sulit mewujudkan kualitas pendidikan yang merata. </p>
<p>Tantangan-tantangan ini berakar pada permasalahan-permasalahan mendasar, yaitu: faktor geografis, keterbatasan akses dan infrastruktur pendidikan, keterbatasan guru atau tenaga pendidik, serta hambatan sosial budaya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ternyata-pembelajaran-daring-di-daerah-terpencil-semasa-pandemi-tidak-efektif-ini-akar-masalahnya-213264">Ternyata, pembelajaran daring di daerah terpencil semasa pandemi tidak efektif: ini akar masalahnya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jadi, apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun pendidikan di wilayah terpencil?</p>
<p><strong>1. Asesmen berbasis lokasi</strong></p>
<p>Setiap wilayah memiliki kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial demografi, ekonomi, politik, budaya dan geografis masing-masing. Hal ini berlaku juga untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), istilah untuk menyebut wilayah Indonesia yang terpencil dan kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. </p>
<p>Kondisi yang berbeda tersebut membutuhkan asesmen untuk memastikan kebijakan pendidikan yang tepat sasaran sesuai dengan kondisi wilayah tujuan. </p>
<p>Asesmen yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, adalah salah satu contoh praktik baik yang bisa diadaptasi. </p>
<p>Hasil <a href="https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/potensia/article/view/24109/9308">riset</a> yang penulis lakukan pada tahun 2016 menunjukkan bagaimana Sekretaris Daerah (Sekda) Lanny Jaya bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk merumuskan solusi yang merespons asesmen terkait masalah pendidikan yang ada di wilayah tersebut. </p>
<p>Hasil asesmen menunjukkan bahwa topografi wilayah Lanny Jaya yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung membuat siswa harus menempuh medan yang sulit untuk dapat menjangkau sekolah. Dari asesmen tersebut, pemerintah daerah Lanny Jaya kemudian membangun tiga sekolah asrama sebagai solusi atas kendala geografis tersebut. </p>
<p>Selain kendala geografis, hasil asesmen di Lanny Jaya juga menunjukkan adanya kendala sosial berupa konflik antar suku dan gangguan keamanan, yang menghambat pembangunan pendidikan.</p>
<p>Pemerintah daerah (pemda) mengambil peran dalam membantu penyelesaian konflik sosial yang terjadi, seperti kasus pelarangan guru mengajar murid yang berasal dari suku berbeda oleh orang tua, serta penyelesaian konflik lahan untuk sekolah yang dipalang oleh masyarakat adat pemilik tanah. Salah satunya melalui pelaksanaan <a href="https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/tradisi-bakar-batu-bentuk-toleransi-masyarakat-papua#:%7E:text=Bakar%20batu%20merupakan%20ritual%20memasak,berperang%20dan%20pesta%20setelah%20perang.">upacara bakar batu sebagai tradisi menjalin silaturahmi</a> dan media perekat kohesi sosial (kemampuan masyarakat untuk mempertahankan kesatuan dan kebersamaan dalam rangka mencapai tujuan bersama).</p>
<p><strong>2. Akses transportasi dan jaringan internet</strong></p>
<p>Penyediaan alat dan jaringan transportasi menjadi salah satu kunci kehadiran guru dan siswa di sekolah. </p>
<p>Hasil wawancara penulis dengan kepala sekolah SD dan SMP di Distrik Sawa Erma, Kabupaten Asmat, Papua, pada tahun 2016, menyebutkan bahwa, sekolah menyediakan perahu untuk mengantar anak dan guru pulang pada hari Jumat dan menjemput kembali pada hari Minggu. Jika hal ini tidak dilakukan, mereka akan kesulitan untuk datang ke sekolah, karena wilayah sungai yang sangat luas dan lokasi pemukiman guru dan siswa yang berada di pulau lain. </p>
<p>Komitmen pendanaan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menyediakan infrastruktur dasar menjadi kunci terbukanya akses pendidikan bagi setiap anak. </p>
<p>Selain itu, penyediaan jaringan internet juga merupakan kunci pembangunan pendidikan di wilayah 3T. Dalam hal ini, pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, tengah berupaya <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/5429/percepat-penyediaan-akses-internet-di-sekolah-wilayah-3t/0/sorotan_media">mempercepat penyediaan jaringan internet</a> untuk meningkatkan proses dan kualitas belajar di sekolah-sekolah di wilayah 3T.</p>
<p><strong>3. Keberpihakan pada guru</strong></p>
<p>Kualitas guru di wilayah 3T perlu mendapat perhatian serius demi meningkatnya pemerataan kualitas pendidikan. Saat ini, terdapat kekurangan sekitar 21.676 guru untuk sekolah negeri di wilayah 3T. Akibatnya, para guru lulusan SMA tetap harus mengajar meskipun tidak memenuhi kualifikasi kelayakan mengajar yaitu minimal telah menamatkan pendidikan jenjang S1/D4.</p>
<p>Selain itu, pemerintah perlu mengapresiasi daya juang dan komitmen para guru yang bersedia ditempatkan di wilayah 3T dalam bentuk jaminan keamanan, remunerasi yang layak dan kesempatan peningkatan kapasitas guru.</p>
<p>Pemerintah Kabupaten Kabupaten Lanny Jaya, misalnya, memberikan fasilitas rumah, bahan pangan, dan transportasi dari Lanny Jaya ke Wamena, Papua, kepada guru kontrak agar mereka merasa nyaman mengajar. Selain itu, pemerintah pusat juga berupaya mengapresiasi guru yang sudah mengabdi di Papua dengan merencanakan <a href="https://news.detik.com/berita/d-6975700/maruf-amin-guru-tamatan-sma-di-4-dob-papua-bakal-diangkat-jadi-asn">pengangkatan guru tamatan SMA di 4 daerah otonom baru Papua menjadi ASN</a>.</p>
<p><strong>4. Kolaborasi: 3 tungku 2 peran</strong></p>
<p>John Rahail, seorang dosen di Universitas Cendrawasih, Papua, memperkenalkan konsep kolaborasi “3 tungku 2 peran” untuk membangun infrastruktur <a href="https://baktinews.bakti.or.id/artikel/pemodelan-pembelajaran-lokal-sekolah-formal-dengan-pendekatan-sekolah-kampung">sekolah kampung</a> di daerah terpencil.</p>
<p>Kolaborasi yang baik ini melibatkan tokoh-tokoh yang secara simbolis disebut sebagai “3 tungku” yang meliputi pemerintah, tokoh adat dan tokoh agama dan “2 peran” yang meliputi tokoh perempuan dan tokoh pemuda. John Rahail menyebut kolaborasi 3 tungku dan 2 peran ini sebagai <a href="https://baktinews.bakti.or.id/artikel/pemodelan-pembelajaran-lokal-sekolah-formal-dengan-pendekatan-sekolah-kampung">‘pintu sosial’</a> untuk dapat diterima oleh masyarakat kampung serta untuk membangun jejaring komunikasi dan kemitraan.</p>
<p>Melalui kolaborasi tersebut, setiap tokoh berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Papua. Di Kabupaten Lanny Jaya, contohnya, pengawasan pelaksanaan pembelajaran diperketat melalui kerja sama dengan warga, pendeta, dan kepala kampung untuk menghentikan ketidakhadiran yang terus-menerus dan putus sekolah akibat acara adat, keagamaan, atau berkebun yang memakan waktu lama. </p>
<p>Jika ada anak putus sekolah atau absen karena berkebun, maka bantuan tunai dari kabupaten yang didapat keluarga tersebut akan dicabut.</p>
<p>Dengan menjawab keempat kebutuhan di atas, pembangunan pendidikan di wilayah terpencil dapat dijalankan secara maksimal. Sehingga, pemerataan pendidikan dapat terjamin, tidak hanya untuk sekolah-sekolah di kota besar, tapi juga sekolah-sekolah di wilayah terpencil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211464/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fikri Muslim pernah menerima dana dari skema grant riset dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI terkait dengan pelaksanaan riset Model Pengembangan Sekolah Alam di Tanah Papua dan Model Pengembangan Kecakapan Literasi Kelas Awal di Tanah Papua. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dina Ika Kusumaningsih bekerja di KEMITRAAN</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dini Dwi Kusumaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembangunan pendidikan perlu disesuaikan dengan kondisi dari setiap wilayah yang berbeda-beda. Bagaimana dengan wilayah 3T? Apa yang dibutuhkan untuk membangun pendidikan di sana?Fikri Muslim, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Dina Ika Kusumaningsih, Monitoring, Evaluation, and Learning Officer KEMITRAANDini Dwi Kusumaningrum, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2137532023-10-04T06:38:28Z2023-10-04T06:38:28Z4 potensi yang dimiliki AI untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia<p>Kehadiran teknologi kecerdasan buatan atau <em>artificial intelligence</em> (AI) membuat ekosistem pendidikan global sibuk memanfaatkan AI. Artikel <a href="https://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-12251763/amp/Harvard-announces-teach-students-using-artificial-intelligence-instructor-semester.html">“<em>Harvard Announces it Will Teach Students Using an Artificial Intelligence Instructor Next Semester</em>”</a> memberitakan bahwa tim pengajar dari kursus pemrograman dasar di Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS) tengah melakukan eksperimen pengajaran oleh asisten berbasis <em>Chat Generative Pre-training Transformer</em> (chatGPT), yaitu sistem kecerdasan buatan yang cara kerjanya menggunakan format percakapan. </p>
<p>Walau terlihat begitu menjanjikan, kita masih dapat menemukan penyalahgunaan AI untuk hal-hal yang tak diinginkan di dunia pendidikan. Misalnya saja dalam kasus seorang mahasiswa yang mengerjakan tugas akademik dalam bentuk esai dengan <a href="https://megashift.fisipol.ugm.ac.id/2023/01/27/polemik-chatgpt-bagaimana-perguruan-tinggi-harus-bersikap/">bantuan Open AI</a>.</p>
<p>Namun, kita tidak bisa serta merta menolak kehadiran AI. Sebab saat ini, AI menawarkan potensi yang tak dapat diberikan oleh teknologi sebelumnya. Bahkan, di tahun 2019, dalam program bertajuk <a href="https://en.unesco.org/sites/default/files/mlw2019-programme.pdf"><em>Mobile Learning Week</em></a>, UNESCO menyatakan bahwa AI memiliki potensi untuk mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, yakni <a href="https://data.unicef.org/sdgs/goal-4-quality-education/">pendidikan berkualitas</a>.</p>
<h2>Bagaimana dengan Indonesia?</h2>
<p>Di Indonesia sendiri, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, dirumuskan dengan maksud untuk <a href="https://indonesia.un.org/id/sdgs/4/key-activities">menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua</a>.</p>
<p>Terkait hal ini, AI memiliki potensi yang dapat mempercepat tercapainya tujuan tersebut, yaitu:</p>
<p><strong>1. Potensi adaptasi</strong></p>
<p>AI memiliki potensi besar untuk menciptakan <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/05/01/gunakan-teknologi-pendidikan-sesuai-kebutuhan-pembelajaran">pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan</a> setiap siswa di Indonesia. Sistem <a href="https://www.researchgate.net/publication/358199658_WHICH_IS_BETTER_CONVENTIONAL_EDUCATION_OR_DISTANCE_EDUCATION">pendidikan konvensional</a> sering melihat kecerdasan anak-anak dengan sudut pandang yang seragam. Contohnya, semua siswa diharapkan untuk menguasai mata pelajaran yang sama dengan tuntutan nilai minimum tertentu.</p>
<p>Pendekatan ini sering diterapkan karena lembaga pendidikan menghadapi kendala dalam memberikan evaluasi yang personal dan inklusif kepada setiap siswa. Dengan kehadiran AI, kita dapat melihat munculnya pendidikan yang lebih modern dan berfokus pada inklusivitas.</p>
<p>AI memungkinkan kita untuk mengembangkan metode pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan individu siswa. Menurut penelitian yang dilakukan oleh <a href="https://www.researchgate.net/publication/337552114_Klasifikasi_Kecerdasan_Majemuk_pada_Anak_Berdasarkan_Posting_Aktivitas_di_Media_Sosial_Menggunakan_SentiStrength_dan_Spearman's_Rank_Correlation_Coefficient">(Baihaqi Siregar, dosen Universitas Sumatra Utara, Indonesia, dan rekan-rekannya tahun 2019)</a>, AI dapat membantu kita dalam mengidentifikasi kecerdasan majemuk pada anak-anak berdasarkan aktivitas mereka di media sosial.</p>
<p><strong>2. Potensi ruang dan akses</strong></p>
<p>Salah satu masalah yang masih umum terjadi di Indonesia adalah mengenai <a href="https://bappenas.go.id/index.php/berita/tingkatkan-pemerataan-pendidikan-berkualitas-di-indonesia-3Sabe">pemerataan kualitas pendidikan</a>. Hal itu terjadi lantaran, pemerintah kesulitan dalam menjangkau siswa yang berada di daerah terpencil. </p>
<p>AI memungkinkan pengembangan <em>platform e-learning</em> yang dapat diakses oleh siapa saja, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil. Melalui <em>platform e-learning</em> ini, siswa di <a href="https://www.researchgate.net/publication/342798594_PERKEMBANGAN_E-LEARNING_SEBAGAI_INOVASI_PEMBELAJARAN_DI_ERA_DIGITAL">berbagai daerah di Indonesia dapat mengakses beragam materi pembelajaran berkualitas tanpa terbatas oleh lokasi geografis</a>.</p>
<p>Hal ini tidak hanya membantu dalam memeratakan akses pendidikan di seluruh negeri, sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4, tetapi juga membuka peluang baru bagi pendidikan jarak jauh, pelatihan <em>online</em>, dan berbagai sumber pembelajaran yang dapat diakses secara global. Namun, tentu saja, hal ini membutuhkan komitmen dari pemerintah untuk menggalakkan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/26/ini-provinsi-dengan-infrastruktur-dan-ekosistem-digital-terbaik-2022">pembangunan infrastruktur digital yang merata</a>di seluruh wilayah Indonesia.</p>
<p><strong>3. Potensi ketersediaan guru</strong></p>
<p>Banyak daerah di Indonesia yang masih kesulitan mendapatkan <a href="https://mediaindonesia.com/opini/200182/mengkritisi-kualitas-guru">guru yang berkualitas</a>. Dalam konteks ini, kehadiran AI dapat memainkan peran sebagai <a href="http://conference.ut.ac.id/index.php/prosidingsenmaster/article/view/726">guru virtual</a>.</p>
<p>Dengan AI, siswa dapat memperoleh pengajaran yang berkualitas di manapun ia berada. Hal ini tentu saja dapat membantu siswa yang memiliki keterbatasan akses secara geografis untuk tetap mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus menghadiri sekolah secara fisik.</p>
<p><strong>4. Potensi mengurangi beban kerja guru</strong></p>
<p>Ekosistem pendidikan di Indonesia kerap menggunakan rasio perbandingan antara guru dan siswa. Rasio 1:40, misalnya, berarti 1 guru akan mendampingi 40 siswa di kelas. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa guru tersebut mendampingi tidak hanya 40 anak. Terutama di daerah-daerah yang jumlah gurunya sedikit. Sehingga, beban kerja guru menjadi berlipat ganda semisal dalam hal evaluasi hasil pembelajaran.</p>
<p>Dalam konteks ini, AI dapat digunakan untuk <a href="https://blog.classpoint.io/id/bagaimana-ai-digunakan-dalam-pendidikan-10-cara-anda-juga-bisa/">menilai pekerjaan dan tugas siswa secara otomatis </a>. Dengan kehadiran AI, <a href="https://smodin.io/id/blog/how-to-grade-assignments-with-ai/">guru dapat menghemat waktu dalam proses penilaian dan memberikan umpan balik dengan cepat dan tidak memihak kepada siswa</a>. Sehingga, guru memiliki lebih banyak waktu untuk memberikan bimbingan individual kepada siswa yang membutuhkan pendampingan ekstra.</p>
<p>Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa AI memang memiliki berbagai potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun kemajuan AI begitu mengagumkan, AI pada akhirnya hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Artinya, penggunaan AI tetap harus berada di dalam koridor yang benar dan di bawah kendali penuh penggunanya untuk mencegah kesalahan dan peluang kejahatan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213753/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogie Pranowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggunaan AI dalam dunia pendidikan masih menimbulkan pro dan kontra. Tapi sebenarnya, AI memiliki potensi untuk mempercepat tercapainya pendidikan berkualitas. Mengapa?Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2138222023-09-19T07:29:09Z2023-09-19T07:29:09ZApa itu jurusan ‘Liberal Arts’? Berikut penjelasan ahli<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/548823/original/file-20230914-29-irzrgz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1599%2C1200&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Cicero mendefinisikan 'liberal arts' dalam buku yang ditulisnya tentang retorika (seni berpidato) di republik.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/cicero-royalty-free-image/157165581?adppopup=true">ra-photos/E+ via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Istilah “liberal arts” merupakan salah satu istilah dalam wacana publik tentang pendidikan tinggi yang paling banyak disalahpahami saat ini.</p>
<p>Seorang pakar pendidikan tinggi <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/01/25/liberal-education-advocates-discuss-ways-reclaim-conversations-about-academe">pernah berkata</a>, mencantumkan kata “liberal” dan “seni” bersama-sama merupakan “<a href="https://www.gallup.com/education/231746/higher-education-drop-term-liberal-arts.aspx">bencana pencitraan merek</a>” – salah kaprah ini melemahkan dukungan publik terhadap jurusan <em>liberal arts</em>. Tak heran jika di Indonesia, jurusan ini tidak populer dan hanya ditawarkan oleh sedikit perguruan tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/belajar-dari-amerika-kurikulum-lintas-disiplin-bisa-dongkrak-kualitas-universitas-dan-sarjana-indonesia-120346">Belajar dari Amerika, kurikulum lintas disiplin bisa dongkrak kualitas universitas dan sarjana Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Untuk menguraikan arti dan asal usul istilah tersebut, <em>The Conversation</em> menghubungi <a href="https://scholar.google.com/citations?user=PAm7pfgAAAAJ&hl=en&oi=ao">Blaine Greteman</a>, seorang profesor bahasa Inggris dari <em>University of Iowa</em> di Amerika Serikat (AS), yang mempelajari bagaimana istilah itu muncul.</p>
<h2>Apa sebenarnya <em>liberal arts</em>?</h2>
<p>Berbeda dengan arti harfiahnya, “liberal” dalam frasa “liberal arts” tidak ada hubungannya dengan liberalisme politik. Dan yang dimaksud dengan “arts” atau “seni” sebenarnya bukanlah tentang seni sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang, seperti seni lukis, tari dan sejenisnya.</p>
<p>Kata “liberal” dalam “liberal arts” berasal dari bahasa Latin “<a href="http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.04.0059%3Aentry%3Dliberalis1">liberalis,</a>” artinya “gratis”. Sementara “seni” berasal dari bahasa Latin “ars”, yang berarti “pengetahuan” atau “keterampilan”. Kata “artefak” memiliki akar kata yang sama: sesuatu yang dibuat oleh keterampilan atau pengetahuan manusia. Sehingga, “liberal arts”, dalam pengertian ini, adalah pendidikan yang membekali seseorang untuk hidup sebagai warga negara yang bebas.</p>
<p>Itulah yang dimaksud oleh Cicero, negarawan dan filsuf Romawi, ketika ia menjadi orang pertama yang merujuk pada pendidikan “liberal arts” 2.000 tahun yang lalu. Cicero melakukan ini dalam “<a href="https://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A2008.01.0683%3Abook%3D1%3Asection%3D35"><em>De Inventione</em></a>,” sebuah buku pedoman tentang retorika atau seni berpidato yang ditulis sekitar tahun 90 SM. Cicero menyusun buku tersebut saat masih muda dengan mempertimbangkan peran berbicara di depan umum dalam kehidupan sebuah republik.</p>
<p>Dalam karyanya yang lebih baru dan lebih komprehensif, “<a href="http://www.perseus.tufts.edu/hopper/text?doc=Perseus%3Atext%3A1999.02.0120%3Abook%3D1%3Asection%3D17"><em>De Oratore</em></a>,” Cicero menjelaskan bahwa pendidikan <em>liberal arts</em> akan membekali siswa dengan pemahaman mendalam tentang emosi manusia, keterampilan dalam ekspresi sastra dan “pengetahuan komprehensif tentang berbagai hal,” atau <em>scientia memahamienda rerum plurimarum</em> Ini adalah “pendidikan yang cocok untuk orang bebas,” atau <em>eruditio libero digna</em>.</p>
<p>Kita sangat mudah untuk terjebak pada apa yang sebenarnya dimaksud dengan pendidikan komprehensif atau universal bagi Cicero atau para pengikutnya di zaman Renaisans. Namun “liberal arts” bagi Cicero tidak berarti suatu mata pelajaran, seperti “seni” atau “Bahasa Inggris”, melainkan berarti pendidikan umum yang luas.</p>
<p>Secara klasik, pemahaman ini berasal dari sistem pendidikan Romawi kuno hingga tahun 1800-an, ketika bangsa Victoria mulai mereformasi pendidikan sebagai pelatihan praktis bagi banyak orang. Siswa akan mempelajari <em>trivium</em> – tata bahasa, logika, dan retorika – sebelum melanjutkan ke <em>quadrivium</em> – aritmatika, geometri, astronomi, dan musik. Namun jika terpaku pada lukisan, balet, atau sejarah yang sesuai dengan skema ini, maka hal ini tidak tepat sasaran.</p>
<p><em>Liberal arts</em> sebenarnya berarti pendidikan yang luas dan tidak hanya bersifat kejuruan, yang memberikan Anda kemampuan untuk menggunakan kebebasan memilih sebagai warga negara dan pemikir. Kursus filsafat atau sejarah akan meningkatkan keterampilan komunikasi siswa dengan cara yang pada akhirnya akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan. Namun, tujuan inti dari kelas ini adalah untuk mempelajari pelajaran yang lebih dalam tentang diri atau masa lalu. Hal ini sangat berbeda dengan cara mata kuliah teknik elektro mengembangkan keterampilan yang akan digunakan siswa dalam karir merancang sirkuit.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Author, sociologist, historian and civil rights activist W.E.B. Du Bois poses for a portrait in a study room." src="https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=621&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542666/original/file-20230814-25671-qtkqsa.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=780&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sejarawan W.E.B. Du Bois menganjurkan seni liberal dalam bukunya tahun 1903 ‘The Souls of Black Folk.’</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/author-sociologist-historian-and-civil-rights-activist-w-e-news-photo/538843974?adppopup=true">David Attie/Michael Ochs Archives via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengapa penting belajar ‘liberal arts’?</h2>
<p>Kebebasan sejati, menurut saya, adalah kemampuan untuk memilih dengan bijak antara argumen dan teori tentang bagaimana dunia bekerja dan memahami bagaimana bahasa dapat memanipulasi atau mengangkat derajat kita. Inilah sebabnya penyair dan revolusioner Inggris abad ke-17 John Milton memfokuskan <a href="https://milton.host.dartmouth.edu/reading_room/areopagitica/text.html">teks dasar anti-sensor, <em>Areopagitica</em>,</a> pada nilai masyarakat sipil dari <em>liberal arts</em>. “Beri saya kebebasan untuk mengetahui, mengucapkan dan berpendapat dengan bebas sesuai hati nurani, di atas semua kebebasan,” tulis Milton.</p>
<p>Salah satu pembelaan terbesar terhadap <em>liberal arts</em> di Amerika ditulis hanya 37 tahun setelah perang saudara AS oleh W.E.B. Du Bois. <a href="https://www.gutenberg.org/files/408/408-h/408-h.htm"><em>The Souls of Black Folk</em></a> mungkin paling dikenal saat ini sebagai karya sosiologi yang inovatif.</p>
<p>Du Bois juga menegaskan bahwa tanpa akses terhadap pendidikan <em>liberal arts</em> yang lengkap dan komprehensif, orang kulit hitam Amerika tidak akan pernah benar-benar bebas. Saat ditanya, “Haruskah kita mengajari mereka perdagangan atau melatih mereka dalam <em>liberal arts</em>?” Du Bois menjawab, “<a href="https://www.gutenberg.org/files/408/408-h/408-h.htm">Keduanya</a>.” Namun, ia menegaskan bahwa <em>liberal arts</em> harus selalu menjadi landasan, karena “untuk menjadi manusia, kita harus memiliki cita-cita, tujuan hidup yang luas, murni dan menginspirasi, bukan mencari uang kotor, bukan apel emas.”</p>
<p>Dia khawatir bahwa penekanan Booker T. Washington yang “terlalu sempit” pada pendidikan kejuruan mungkin akan mengorbankan pendidikan yang lebih luas dalam seni kebebasan. Sementara itu, Washington <a href="https://www.theatlantic.com/magazine/archive/1903/10/the-fruits-of-industrial-training/531030/">merasa</a> bahwa inspirasi, cita-cita, dan “bahasa mati” adalah kurang penting dibandingkan mempelajari “bagaimana menerapkan pengetahuan kimia untuk memperkaya tanah, atau memasak, atau peternakan sapi perah.”</p>
<h2>Apakah ‘liberal arts’ adalah suatu kemewahan?</h2>
<p>Perdebatan serupa juga terjadi saat ini di tempat-tempat seperti <em>West Virginia University</em>. Pimpinan pemerintah dan universitas di negara bagian tersebut <a href="https://abcnews.go.com/US/wireStory/west-virginia-university-crisis-looms-gop-leaders-focus-102910130">mengumumkan pada Agustus 2023</a> bahwa mereka berencana untuk menghentikan 32 program, termasuk seluruh departemen bahasa, sastra, dan linguistik dunia.</p>
<p>Banyak dosen dan mahasiswa yang protes karena merasa bahwa langkah ini mengorbankan pendidikan kewarganegaraan yang luas dan menyamakan pendidikan perguruan tinggi dengan pelatihan kerja.</p>
<p>Sementara gubernur, rektor universitas, dan badan legislatif berpendapat bahwa penawaran universitas <a href="https://wvrecord.com/stories/649159606-tarr-west-virginia-doesn-t-need-any-guidance-from-the-aft">“harus menyelaraskan jurusan dengan karier masa depan.</a>. Pendapat ini kini juga makin jamak ditemukan di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/link-and-match-program-kampus-merdeka-tidak-tepat-untuk-perguruan-tinggi-211935">'Link and match' program Kampus Merdeka tidak tepat untuk perguruan tinggi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Eric Tarr dari Partai Republik, ketua keuangan Senat negara bagian di Virginia barat, AS, bahkan menjelaskan dalam sebuah opini yang ditulis untuk <em>West Virginia Record</em> bahwa tujuan dari keputusan anggaran adalah untuk "memberikan gelar yang mengarah pada lapangan kerja.” Dengan kata lain, melatih para pekerja untuk bekerja, dibandingkan mendidik masyarakat mengenai apa yang Du Bois dan Cicero sebut sebagai “pengetahuan tentang kebebasan.”</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213822/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Blaine Greteman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Istilah ‘liberal arts’, mungkin terdengar seperti ungkapan yang bernuansa politis. Seorang ahli literatur menjelaskan mengapa hal itu salah dan melihat lebih dekat asal usul dan maknanya.Blaine Greteman, Professor and Chair of English, University of IowaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2123652023-09-15T06:27:11Z2023-09-15T06:27:11ZBerniat jadi guru atau dosen? Ini 2 masalah hubungan kerja guru dan dosen yang perlu diketahui<p>Hubungan kerja guru dan dosen dibangun oleh dua pihak, yaitu guru dan dosen sebagai pendidik dengan pihak manajemen sekolah atau universitas sebagai satuan pendidikan yang mempekerjakan mereka. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan seperti misalnya sekolah, madrasah, sekolah tinggi, atau universitas.</p>
<p>Hubungan ini berdasar pada tiga unsur: (1) Pekerjaan sebagai pendidik yang dapat dilaksanakan guru dan dosen di satuan pendidikan; (2) Imbalan atas pelaksanaan tugas sebagai pendidik; dan (3) Perintah serta syarat-syarat pelaksanaan tugas sebagai pendidik.</p>
<p><a href="https://jdih.kemnaker.go.id/asset/data_puu/peraturan_file_13.pdf">Ketiga unsur tersebut dikenal juga sebagai pekerjaan, upah, dan perintah sebagaimana tertuang dalam ketentuan umum Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003</a>.</p>
<p>Layaknya relasi buruh-majikan, hubungan antara guru dan dosen sebagai pekerja dengan satuan pendidikan sebagai pemberi kerja juga menuai berbagai persoalan yang kompleks. Kompleksitas persoalan dalam hubungan antara pendidik dengan satuan pendidikan berakar dari status hubungan kerja dan kelayakan upah, seperti yang terjadi pada kasus <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56094473">Hervina, guru honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang dipecat setelah mengunggah rincian gajinya ke sosial media awal Februari lalu</a></p>
<p>Apa saja yang menyebabkan kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen tersebut?</p>
<p><strong>1. Perbedaan landasan hukum</strong></p>
<p>Kompleksitas hubungan kerja guru dan dosen dimulai dari perbedaan status pemberi kerja, yaitu pemerintah dan swasta serta landasan hukum yang menaunginya.</p>
<p>Satuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah, seperti sekolah negeri dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), mendasarkan hubungan kerja pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepegawaian aparatur sipil negara (ASN).</p>
<p>Sementara hubungan kerja di sekolah swasta dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.</p>
<p>Dalam berbagai kasus, persoalan hubungan kerja di sekolah swasta dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak dapat dinilai secara serta merta dengan norma ketenagakerjaan. </p>
<p>Sebagai contoh, jika mengacu pada Pasal 57 Undang-undang Ketenagakerjaan (lihat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/246523/uu-no-6-tahun-2023">halaman 543 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja</a>), hubungan kerja bagi pendidik kontrak atau honorer yang bersifat temporer harus dapat dibuktikan dengan adanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) secara tertulis.</p>
<p>Padahal, Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan (lihat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Download/302681/UU%20Nomor%206%20Tahun%202023.pdf">halaman 544 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja</a>) mengatur secara tegas bahwa PKWT hanya dapat diadakan untuk pekerjaan yang sifatnya sementara atau tidak tetap, pekerjaan musiman, dan pekerjaan yang terkait produk baru. Artinya, tidak dimungkinkan adanya status hubungan kerja guru dan dosen yang bersifat “tidak tetap” karena selama sekolah swasta atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) beroperasi, pekerjaan guru dan dosen akan terus ada.</p>
<p>Hadirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2015 tentang guru dan dosen semakin memperparah kompleksitas hubungan kerja ini. <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/56.pdf">Undang-undang Guru dan Dosen</a> masih memungkinkan adanya status hubungan kerja yang bersifat tidak tetap, seperti guru kontrak, guru honorer, dan dosen tidak tetap. Kondisi tersebut justru memunculkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan jaminan keberlangsungan pekerjaan <em>(job security)</em> dan ketimpangan hak antar pendidik karena perbedaan status hubungan kerja.</p>
<p>Akibatnya, berbagai upaya para pendidik untuk mendapatkan status guru dan dosen tetap berdasarkan norma ketenagakerjaan sering kali gagal karena ketentuan administratif yang dipersyaratkan oleh aturan pelaksana Undang-undang Guru dan Dosen.</p>
<p>Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/2c2d7106809956d0ad5fa91564cfba41.html">945 K/Pdt.Sus-PHI/2019</a>, contohnya, seorang guru telah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial di Medan agar menyatakan hubungan kerja antara dirinya sebagai guru dengan sekolah swasta tempatnya bekerja sebagai “hubungan kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu” atau hubungan kerja yang bersifat tetap.</p>
<p>Namun, baik Pengadilan Hubungan Industrial Medan maupun Mahkamah Agung cenderung menguatkan status hubungan kerja ‘guru kontrak’ atau berdasarkan PKWT dan menyatakan putus hubungan kerja karena habisnya jangka waktu kontrak. Padahal, jika merujuk pada [Pasal 59 Undang-undang Ketenagakerjaan] hubungan kerja guru tidak dapat diadakan dengan PKWT karena bukan pekerjaan yang sifatnya sementara. </p>
<p>Kasus serupa terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/18bca35c100f7e5e3962535a0658cb7a.html">358 K/Pdt.Sus-PHI/2016</a> yang mendokumentasikan upaya seorang dosen untuk mendapatkan status dosen tetap di PTS tempatnya bekerja dan membatalkan pemutusan hubungan kerja yang dialaminya. Namun, baik Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat maupun Mahkamah Agung tidak membenarkan status sebagai “dosen tetap” karena dosen tersebut tidak memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN). </p>
<p><strong>2. Persoalan kelayakan upah</strong></p>
<p>Guru dan dosen yang tidak memiliki status hubungan kerja ‘tetap’ cenderung menerima penghasilan yang lebih rendah, bahkan tidak jarang di bawah ketentuan upah minimum. </p>
<p>Sebenarnya, <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/56.pdf">Pasal 14 dan Pasal 51 Undang-undang Guru dan Dosen</a> telah mengatur hak agar guru dan dosen “memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.</p>
<p>Namun, pemaknaan terkait dengan “penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum” cenderung bersifat subjektif, yaitu “pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru atau dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua”.</p>
<p>Alih-alih mengatur batas tegas kelayakan upah, <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/56.pdf">Pasal 15 dan Pasal 52 Undang-undang Guru dan Dosen</a> justru menyerahkan sepenuhnya ketentuan pemberian gaji berdasarkan ketentuan aturan kepegawaian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan perjanjian kerja antara satuan pendidikan dengan pendidik. Padahal, sejak era orde baru, Indonesia telah mengadopsi kebijakan Upah Minimum Regional (UMR) yang didasarkan pada survei dan pertumbuhan nilai komponen kebutuhan hidup layak (KHL), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.</p>
<p>Ketentuan Undang-undang Guru dan Dosen tersebut berdampak pada praktik pembayaran gaji di bawah upah minimum yang dilakukan oleh satuan pendidikan. Sebagai contoh, <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/01cf0c71614de56eacbe6d394764de7f.html">Putusan Mahkamah Agung nomor 146 PK/PDT.SUS-PHI/2013</a> mendokumentasikan persoalan PHK sepihak tiga orang guru sekolah swasta yang digaji di bawah upah minimum. Dalam putusan lainnya, yaitu <a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/21d5b628c5bbd94c017a39fc76b66cd1.html">putusan nomor 172 PK/PDT.SUS/2010</a>, seorang guru yang mengalami PHK mengungkapkan upah selama bekerja tidak pernah sesuai dengan ketentuan upah minimum. </p>
<p>Menariknya, untuk menyanggah kewajiban membayar upah minimum dan memenuhi hak lainnya, pihak penyelenggara satuan pendidikan sebagai pemohon peninjauan kembali berargumen “<a href="https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/4a573bb32cad0f1dc6c30aefbb7f75bc/pdf/21d5b628c5bbd94c017a39fc76b66cd1">guru tidak sama dengan buruh, sehingga dengan demikian guru tidak tunduk kepada Undang-undang Tenaga Kerja</a>.” </p>
<p>Hal ini menegaskan bahwa masalah landasan hukum yang berbeda-beda digunakan juga sebagai pembenaran atas pemberian upah yang tidak layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212365/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizma Afian Azhiim terafiliasi dengan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, lembaga riset Prakerti Collective Intelligence, dan Serikat Pekerja Kampus (SPK).</span></em></p>Hubungan antara guru dan dosen sebagai pekerja dengan satuan pendidikan sebagai pemberi kerja menuai berbagai persoalan yang kompleks. Apa saja penyebabnya?Rizma Afian Azhiim, Dosen, Universitas Bhayangkara Jakarta RayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2123862023-09-14T07:27:50Z2023-09-14T07:27:50ZMengenal sejarah dan praktik perpeloncoan di dunia<p>Perpeloncoan adalah masalah laten pendidikan. Kerap dianggap sebagai tradisi, <a href="https://theconversation.com/4-fakta-bagaimana-perpeloncoan-menyabotase-pendidikan-kita-211505">ia justru terbukti menghambat proses belajar-mengajar</a>. Artikel ini membahas apa sebenarnya perpeloncoan itu dan bagaimana praktiknya di berbagai negara.</p>
<h2>Apa itu perpeloncoan?</h2>
<p>Pada 2017, UNESCO, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan dunia melalui kerja sama internasional di bidang pendidikan, seni, ilmu pengetahuan dan budaya, melalui rilis bertajuk <em>School Violence and Bullying: Global Status Report</em>, melaporkan bahwa sekitar 246 juta siswa di seluruh dunia mengalami kekerasan setiap tahunnya. Dari semua jenis kekerasan yang dialami dalam lingkup pendidikan, <a href="https://unesdoc.unesco.org/in/documentViewer.xhtml?v=2.1.196&id=p::usmarcdef_0000246970&file=/in/rest/annotationSVC/DownloadWatermarkedAttachment/attach_import_29ddb4b4-bdeb-4ec1-93bd-0cee5b1fde12%3F_%3D246970eng.pdf&locale=en&multi=true&ark=/ark:/48223/pf0000246970/PDF/246970eng.pdf#%5B%7B%22num%22%3A46%2C%22gen%22%3A0%7D%2C%7B%22name%22%3A%22XYZ%22%7D%2C0%2C842%2C0%5D">perundungan adalah yang paling sering terjadi</a>.</p>
<p>Perpeloncoan, atau <em>hazing</em> dalam bahasa Inggris, <a href="http://sites.tamuc.edu/bullyingjournal/article/high-school-athletes-attitudes-bullying-hazing/">dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk perundungan</a>. Namun, berbeda dari perundungan pada umumnya, perpeloncoan berlangsung dalam jangka yang lebih singkat dan identik dengan masa orientasi peserta didik baru. </p>
<p>Secara definisi, perpeloncoan dapat dipahami sebagai upacara inisiasi atau kegiatan yang harus dilalui untuk memperoleh keanggotaan dalam suatu komunitas. Namun, yang menjadi masalah adalah perpeloncoan umumnya melibatkan aktivitas yang bersifat mempermalukan, mengintimidasi, bahkan tak jarang membahayakan pesertanya.</p>
<p>Perpeloncoan juga kerap dianggap sebagai sebuah <a href="https://stophazing.ucdavis.edu/defined">“harga” yang harus dibayar seseorang untuk dapat bergabung di komunitas barunya</a>. Ia bertujuan menguji komitmen anggota baru melalui aktivitas-aktivitas yang tak jarang abusif. Anggota yang telah menjalani perpeloncoan dianggap sah menjadi bagian dari komunitas.</p>
<h2>Sudah ada sejak lama</h2>
<p>Dalam sejarahnya, perpeloncoan di Indonesia sudah <a href="https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/04/120000679/awal-mula-perploncoan-di-indonesia?page=all">ada sejak era kolonial Belanda</a>, dan difungsikan untuk menyambut peserta didik baru di tingkat perguruan tinggi. Di masa itu, perpeloncoan masih disebut sebagai <em>ontgroening</em>. Secara harfiah, <em>ontgroening</em> dalam Bahasa Belanda berarti “menghilangkan warna hijau” karena mahasiswa baru dilambangkan berwarna hijau, layaknya bibit tanaman.</p>
<p>Salah satu lembaga pertama yang tercatat melakukan perpeloncoan adalah <em>School tot Opleiding van Inlandsche Artsen</em> (STOVIA) yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berdasarkan kisah Mohammad Roem, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia yang juga alumnus STOVIA, <a href="https://historia.id/kultur/articles/kisah-plonco-sejak-zaman-londo-P9j8l/page/1">perpeloncoan terjadi selama tiga bulan karena STOVIA merupakan sekolah asrama.</a></p>
<p>Pada masa tersebut, mahasiswa junior dikondisikan untuk menjadi pelayan bagi seniornya. <a href="https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6133842/benarkah-ospek-mahasiswa-sudah-ada-sejak-zaman-belanda-ini-sejarahnya">Misalnya, mahasiswa baru harus memanggil seniornya dengan panggilan “Tuan”, menjadi kurir untuknya, atau mengelap sepatunya.</a></p>
<p>Istilah perpeloncoan sendiri baru muncul pada masa pendudukan Jepang. Istilah ini awalnya berasal dari kata bahasa Jawa <a href="https://id.wiktionary.org/wiki/pelonco">“pelonco”</a> yang berarti kepala gundul. Ini merujuk pada tradisi ketika mahasiswa baru wajib digunduli rambutnya untuk melambangkan <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/08/12/perpeloncoan-tradisi-senioritas-warisan-zaman-kolonial-yang-masih-lestari">anak kecil yang belum tahu apa-apa.</a>.</p>
<p>Memasuki periode Indonesia modern, tradisi perpeloncoan tak serta-merta hilang. Namun, resistensi juga muncul, misalnya dari sejumlah kalangan mahasiswa seperti <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/08/12/perpeloncoan-tradisi-senioritas-warisan-zaman-kolonial-yang-masih-lestari"><em>Consentrasi</em> [konsentrasi] Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI)</a> yang menyebut perpeloncoan sebagai warisan kolonial. Namun, CGMI yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian turut bubar seiring naiknya Orde Baru. </p>
<p>Sejak saat itu pula, <a href="https://tirto.id/plonco-adalah-budaya-penjajah-dan-pki-pernah-memeranginya-efMc">masa orientasi mahasiswa hadir dalam sejumlah nama berbeda</a>, misalnya Masa Prabakti Mahasiswa (Mapram), Pekan Orientasi Studi (POS), hingga Orientasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK) yang kini nyaris menjadi sinonim bagi kegiatan orientasi mahasiswa baru.</p>
<h2>Bukan hanya di Indonesia</h2>
<p>Perpeloncoan bukan hanya masalah negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian Toshio Ohasko, peneliti senior UNESCO dari Jepang, di tahun 1997, menunjukkan bahwa kekerasan di lingkup pendidikan <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000110657">berpotensi sama besarnya baik di negara maju atau negara berkembang.</a> Hal ini diperkuat dengan temuan Motoko Akiba, pakar kebijakan pendidikan dari <em>Mid-continent Research for Education and Learning</em>, Amerika Serikat (AS), yang penelitiannya di 37 negara pada tahun 2002 juga menyimpulkan bahwa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.3102/00028312039004829">kekerasan di lingkup pendidikan rawan muncul di semua negara</a>. </p>
<p>Di negara maju seperti AS pun, perpeloncoan bukan hal asing. Aktivitas yang sayangnya sering memakan korban ini, lazim ditemui dalam proses inisiasi masuk asrama ataupun komunitas-komunitas persaudaraan (<em>fraternity</em>).</p>
<p><em>University of Maryland</em> di AS mencatat bahwa sejak 1970 hingga 2017, paling tidak ada <a href="https://hazing.umd.edu/hazing-statistics">satu kasus kematian per tahun</a> akibat perpeloncoan di setiap universitas. Wujud perpeloncoan yang kerap muncul di sana adalah pemaksaan minum alkohol, pelecehan seksual, maupun aktivitas fisik di luar batas kewajaran.</p>
<p>Penelitian dari Sonja Pecjak dan Tina Pirc, dosen Psikologi asal <em>University of Ljubljana</em>, Slovenia, juga menunjukkan bahwa 79% siswa sekolah menengah atas di Slovenia <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1002/pits.22211">mengalami perpeloncoan di luar masa orientasi resmi sekolah</a>. Namun, perpeloncoan tersebut kerap diabaikan pihak sekolah karena dianggap ada di luar otoritas mereka.</p>
<p>Bahkan, di Korea Selatan, perpeloncoan ditengarai menjadi salah satu penyebab bunuh diri. Menggunakan studi kasus sekolah militer, Kim Jae-Yop, dosen dari <em>School of Social Welfare Yonsei University</em>, Korea Selatan dan rekan-rekannya, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165032718329860">menemukan bahwa sekitar 17,6% taruna pernah diperlakukan di luar batas wajar pendidikan</a>. Perlakuan ini, rupanya, konsisten dengan munculnya gejala seperti depresi dan tendensi bunuh diri.</p>
<p>Karena praktik-praktik seperti di atas, kekerasan dalam dunia pendidikan seperti perpeloncoan telah lama dikategorikan sebagai <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000110657">salah satu isu global kontemporer</a>. Kategorisasi ini merupakan bagian dari usaha untuk memutus rantai perpeloncoan dan memastikan terciptanya lingkungan pendidikan yang lebih aman.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perpeloncoan-masih-saja-terjadi-apa-solusinya-211343">Perpeloncoan masih saja terjadi: apa solusinya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212386/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ario Bimo Utomo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perpeloncoan adalah bentuk perundungan yang sudah ada sejak lama dan terjadi tidak hanya di Indonesia.Ario Bimo Utomo, Assistant Professor in International Relations, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa TimurLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2128712023-09-13T03:47:02Z2023-09-13T03:47:02ZBagaimana menjadikan belajar sebagai kebiasaan sehari-hari?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/546297/original/file-20230515-35525-9hwk75.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5235%2C3330&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tempat terbaik untuk belajar adalah di ruang tanpa gangguan dan banyak cahaya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/young-boy-making-notes-while-using-laptop-royalty-free-image/652717373?phrase=child+studying+at+home+in+room&adppopup=true">Hans Neleman/Stone via Getty Images</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p><strong>Bagaimana saya bisa menjadikan belajar sebagai kebiasaan sehari-hari? - Jesni P., usia 15 tahun, Mumbai, Maharashtra, India</strong></p>
</blockquote>
<hr>
<p>Belajar - kamu tahu kamu harus melakukannya, tapi kamu tidak bisa membuatnya jadi kebiasaan. Mungkin karena kamu lupa, teralihkan perhatiannya, atau tidak ingin melakukannya. </p>
<p>Memahami apa itu kebiasaan, dan bagaimana kebiasaan itu terbentuk, dapat membantumu menemukan cara untuk belajar setiap hari. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="kebiasaan belajar" src="https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/527115/original/file-20230518-15-9hkp7d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mengembangkan kebiasaan belajar yang baik membutuhkan waktu mulai dari tiga minggu hingga beberapa bulan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/teenage-boy-doing-schoolwork-at-home-royalty-free-image/1339045968?phrase=teenager+studying+in+room&adppopup=true">MoMo Productions/DigitalVision via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Lingkaran kebiasaan</h2>
<p>Kebiasaan adalah perilaku yang kita lakukan secara teratur atau rutin. Sebagai seorang profesor yang mempelajari cara <a href="https://faculty.utk.edu/Deborah.Reed">membantu siswa menjadi pembaca dan penulis yang lebih baik</a>, saya dapat memberi tahu bahwa, penelitian menunjukkan, <a href="https://doi.org/10.1186/s41039-020-00127-7">kebiasaan memiliki sebuah lingkaran</a>: isyarat, rutinitas, penghargaan. </p>
<p>Katakanlah kamu memiliki kebiasaan makan camilan sepulang sekolah. Ketika sekolah akan berakhir, kamu mulai merasa lapar. Pulang sekolah adalah isyarat untuk mengambil camilan. </p>
<p>Makan camilan adalah rutinitas. Imbalannya adalah rasa enak dan hilangnya rasa lapar, yang memperkuat kebiasaan tersebut - dan membuat kamu ingin mengulanginya lagi keesokan harinya.</p>
<p>Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk membuat lingkaran belajar: </p>
<ol>
<li> Waktu yang ditetapkan untuk belajar setiap hari.</li>
<li> Isyarat untuk mulai belajar.</li>
<li> Lingkungan yang membantumu untuk tetap berpegang pada rutinitas belajar.</li>
<li> Hadiah untuk belajar.</li>
</ol>
<h2>Menetapkan waktu</h2>
<p>Ketika kamu melakukan suatu hal di waktu yang sama setiap hari, akan lebih mudah untukmu mengingat hal tersebut. </p>
<p>Untuk menentukan berapa banyak waktu yang harus disisihkan setiap hari untuk belajar, <a href="https://www.wgu.edu/heyteach/article/should-students-have-homework1808.html#:%7E">kalikan tingkat kelas dengan 10 menit</a>. </p>
<p>Itu berarti jika kamu berada di kelas tiga, kamu perlu menghabiskan sekitar 30 menit per hari untuk belajar. Ini termasuk waktu yang dihabiskan untuk berlatih membaca. Jika kamu duduk di kelas delapan, kamu akan menghabiskan 80 menit per hari - yaitu satu jam 20 menit - untuk belajar. </p>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa dua jam adalah <a href="https://ed.stanford.edu/news/more-two-hours-homework-may-be-counterproductive-research-suggests">jumlah maksimum waktu belajar harian yang bermanfaat</a>. Menghabiskan waktu lebih dari itu secara teratur dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan mungkin mengganggu kebiasaan tidur yang sehat.</p>
<p>Jadi, pilihlah satu blok waktu pada sore atau malam hari ketika kamu memiliki waktu yang tepat untuk belajar setiap hari. </p>
<p>Mungkin ada hari-hari ketika tugas tidak memenuhi seluruh blok waktu yang telah ditetapkan. Pada hari-hari tersebut, kamu bisa meluangkan waktu untuk mengulas materi yang telah kamu pelajari; secara teratur mengulang kembali informasi <a href="https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02517">membantu kamu mengingatnya</a> dan memikirkan bagaimana mengintegrasikannya dengan hal-hal baru yang kamu pelajari. </p>
<p>Kamu juga bisa meluangkan waktu beberapa menit untuk membaca buku. Studi menunjukkan kebiasaan membaca setiap hari selama 20 menit akan meningkatkan <a href="https://basmo.app/reading-20-minutes-a-day/">kosakata, kemampuan bahasa dan pengetahuan secara keseluruhan</a>. </p>
<h2>Isyarat untuk memulai</h2>
<p>Belajar pada waktu yang sama setiap hari adalah salah satu isyarat, tetapi kamu mungkin membutuhkan sesuatu yang lebih konkret saat pertama kali membentuk kebiasaanmu.</p>
<p>Hal ini dapat berupa pengingat kalender yang dipasang di ponsel atau laptop, atau sesuatu yang sederhana seperti kartu dengan kata “belajar” yang tercetak di bagian depan. Kamu bisa meletakkan kartu tersebut di tempat kamu menggantungkan mantel atau meletakkan tasmu saat pulang sekolah - atau di televisi atau layar komputer.</p>
<p>Di bagian belakang kartu, tulis kata “belajar”. Kemudian jaga agar sisi ini tetap menghadap ke atas dan tempelkan di bagian belakang komputer, di pintu, atau di atas meja saat bekerja. </p>
<p>Ini akan memberi tanda kepada orang lain bahwa mereka tidak boleh mengganggu kamu selama waktu ini. Setelah selesai belajar, kembalikan kartu tersebut ke tempat semula agar siap mengingatkanmu untuk belajar keesokan harinya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Seorang gadis remaja, santai, mengenakan celana jins, dan dengan kaki di atas mejanya, sedang membaca buku." src="https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/527117/original/file-20230518-19-t5c79l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Bersamaan dengan tugas-tugas sekolah, ada baiknya kamu membaca setidaknya 20 menit setiap hari.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/pretty-blonde-teenage-girl-in-home-clothes-reading-royalty-free-image/1333902073?phrase=teenage%2Bgirl%2Breading%2Ba%2Bbook%2Bin%2Broom%2Bat%2Bdesk">Tatiana Buzmakova/iStock via Getty Images Plus</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Lingkungan belajar Anda</h2>
<p>Untuk membantu diri kita belajar, kita membutuhkan tempat yang disiapkan untuk bekerja dan bukan untuk melakukan hal-hal lain. Jangan belajar di tempat tidur - itu untuk tidur - atau di depan televisi, atau di mana pun yang sulit untuk memegang dan menggunakan materi yang dibutuhkan. Pilihan terbaik: meja atau meja dengan pencahayaan yang baik.</p>
<p>Tempat belajar kamu harus membatasi gangguan. Hal ini termasuk percakapan orang lain dan semua media: <a href="https://doi.org/10.1080/03634523.2013.767917">TV, <em>video game</em>, media sosial, teks atau musik</a>. Penelitian berulang kali menunjukkan bahwa otak manusia tidak dapat melakukan banyak tugas dengan baik; orang membuat lebih banyak kesalahan <a href="https://health.clevelandclinic.org/science-clear-multitasking-doesnt-work/">jika mereka mencoba melakukan dua hal pada saat yang sama</a>, terutama jika salah satu dari hal-hal tersebut membutuhkan konsentrasi. Bolak-balik antara dua hal juga berarti membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas. </p>
<p>Meskipun sebaiknya menyingkirkan perangkat elektronik saat belajar, hal tersebut mungkin bukan pilihan jika kamu membutuhkannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Jika demikian, atur notifikasi “jangan ganggu” pada ponselmu, heningkan notifikasi yang masuk dan tutup semua aplikasi media sosial dan game. </p>
<p>Aplikasi <em>game</em>, media sosial dan video diprogram untuk <a href="https://doi.org/10.1002/jaoc.12116">membuatmu ingin terus mengecek atau memainkannya</a>. Itu berarti kamu harus mengganti kebiasaan buruk tersebut dengan kebiasaan baik untuk belajar dalam waktu tertentu.</p>
<h2>Hadiah</h2>
<p>Setelah selesai belajar, kamu bisa memberikan sedikit waktu untuk bermain <em>game</em> atau media sosial sebagai hadiah. </p>
<p>Seiring berjalannya waktu, belajar itu sendiri akan menjadi hadiah. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan akan memberikan <a href="https://www.forbes.com/sites/tracybrower/2021/10/17/learning-is-a-sure-path-to-happiness-science-proves-it/?sh=173eccd0768e">rasa pencapaian</a> dan membuat kamu lebih percaya diri dan lebih bahagia di sekolah. Namun, ketika membentuk kebiasaan belajar, hadiah yang benar-benar menyenangkan akan membantumu untuk terus melakukannya. </p>
<p>Hal ini terutama berlaku jika mata pelajaran yang sedang dipelajari sulit bagi kita. Tidak ada orang yang suka melakukan sesuatu yang tidak mereka kuasai. Namun, mustahil untuk menjadi lebih baik jika tidak berlatih, dan belajar sama halnya seperti berlatih olahraga, alat musik, atau hobi.</p>
<h2>Berapa lama waktu yang dibutuhkan</h2>
<p>Waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan belajar sebagai kebiasaan sehari-hari dapat berkisar antara <a href="https://doi.org/10.3399%2Fbjgp12X659466">21 hari hingga beberapa bulan</a>, tergantung orangnya. </p>
<p>Untuk membantumu bertahan, carilah teman belajar untuk membentuk kebiasaan tersebut bersama-sama. Mintalah keluarga untuk tidak mengganggu selama waktu belajar. Dan <a href="https://my-little-studyblr.tumblr.com/post/133682820957/studyhabit-apps">pertimbangkan untuk menggunakan aplikasi</a> untuk menetapkan tujuan dan melacak waktu belajar sehingga kamu dapat melihat kebiasaanmu terbentuk dan merayakan kemajuanmu. Kabar baiknya: semakin sering dilakukan, belajar setiap hari semakin terasa mudah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212871/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Deborah Reed menerima dana dari Departemen Pendidikan Tennessee (Kontrak #33101-21217331051AF3) dan Institut Ilmu Pendidikan, Departemen Pendidikan A.S., melalui Hibah #R324A220269 untuk Universitas Tennessee. Pendapat yang dikemukakan adalah milik penulis dan tidak mewakili pandangan Departemen Pendidikan Tennessee, Institut Ilmu Pendidikan, atau Departemen Pendidikan A.S.</span></em></p>Seorang peneliti menjelaskan cara menciptakan kebiasaan belajar dengan menggunakan lingkaran: isyarat, rutinitas, hadiah.Deborah Reed, Professor of Education, University of TennesseeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2113432023-09-01T04:13:45Z2023-09-01T04:13:45ZPerpeloncoan masih saja terjadi: apa solusinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542287/original/file-20230811-15-ltbvjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Praktik perpeloncoan masih mewarnai masa orientasi mahasiswa baru di Indonesia.
MDV Edwards/Shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Praktik perpeloncoan masih ditemukan setiap tahun ajaran baru di Indonesia. Pada 2011 silam, seorang mahasiswa <a href="https://news.detik.com/berita/d-1740766/mahasiswa-baru-mipa-unhas-meninggal-usai-ikut-ospek">Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hassanudin</a>, Sulawesi Selatan, meninggal setelah mengikuti ospek. Di tahun 2017, kasus lain menimpa siswa tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pembangunan <a href="https://metro.tempo.co/read/834962/taruna-stip-tewas-dihajar-senior-ini-kronologinya">yang tewas setelah dihajar seniornya di dalam asrama.</a>.</p>
<p>Adanya kondisi pandemi dan perubahan moda pembelajaran tak lantas mengakhiri fenomena ini. Tiga tahun lalu, misalnya, <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/15/151500765/viral-video-maba-unesa-dibentak-senior-ini-sejarah-ospek-di-indonesia?page=all">perpeloncoan daring</a> terjadi di Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur.</p>
<p>Setelah perkuliahan kembali ke sistem luring pun, tetap muncul laporan terjadinya perpeloncoan. Seperti misalnya yang terjadi pada 2022 di <a href="https://surabaya.kompas.com/read/2022/09/20/124442278/mahasiswa-unej-diduga-jadi-korban-perploncoan-saat-ospek-pihak-kampus?page=all">Universitas Jember</a>, Jawa Timur. Universitas tersebut menyelenggarakan kegiatan orientasi hingga dini hari dan menyebabkan 51 mahasiswa baru jatuh sakit. </p>
<p>Di tahun yang sama, ada pula kasus perpeloncoan di <a href="https://regional.kompas.com/read/2022/08/11/111402378/pengakuan-mahasiswa-baru-untirta-dijemur-hingga-pingsan-oleh-seniornya?page=all">Universitas Sultan Ageng Tirtayasa</a>, Banten, yang mengakibatkan sejumlah mahasiswa muntah-muntah dan dehidrasi setelah dijemur oleh seniornya dalam satu sesi kegiatan.</p>
<p>Terbaru, bulan Juni 2023 kemarin, terdapat kasus tenggelamnya <a href="https://www.victorynews.id/nasional/3319074498/mahasiswa-politeknik-caltex-riau-tewas-saat-ospek-disuruh-senior-mandi-dengan-mata-tertutup">mahasiswa Politeknik Caltex Riau</a> setelah diminta senior mandi di sungai dengan mata tertutup.</p>
<p>Meskipun sudah sering terjadi, perpeloncoan adalah hal yang tak boleh terus dinormalisasi. Lingkungan pendidikan perlu dikembalikan pada tujuannya sebagai sebuah ruang yang aman bagi para peserta didik. Bagaimana caranya?</p>
<p><strong>1. Mengganti kegiatan orientasi</strong></p>
<p>Menurut Therese I. Poirier, profesor sekaligus Wakil Dekan Akademik Sekolah Farmasi <em>Southern Illinois University</em>, Amerika Serikat (AS), salah satu cara mengakhiri praktik perpeloncoan adalah menggantinya dengan kegiatan orientasi yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1847557/">mempromosikan rasa saling menghormati, saling percaya, dan saling dukung dalam lingkungan pendidikan</a>.</p>
<p>Contoh positif bisa diambil dari negara tetangga, Singapura, melalui <a href="https://edukasi.okezone.com/read/2015/12/02/65/1259507/ospek-dan-berbagi-kebaikan-ala-ntu-singapura"><em>Kindness Campaign</em></a> yang diselenggarakan oleh <em>Nanyang Technological University</em> (NTU). Dalam program ini, mahasiswa baru diberikan tugas untuk membuat proyek sosial dalam rangka membahagiakan orang di sekitarnya. Proyek dilakukan secara sederhana namun berdampak, seperti membersihkan fasilitas umum atau membantu pekerja senior.</p>
<p>Di Indonesia pun, sejumlah kampus telah membiasakan aktivitas serupa. Misalnya kegiatan orientasi yang dilakukan oleh Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, melalui <a href="https://kupang.tribunnews.com/2019/10/20/hmj-akuntansi-undana-ubah-ospek-dengan-donor-darah-begini-hasilnya">aksi donor darah</a>. Kegiatan <a href="https://sumsel.kemenag.go.id/berita/view/291608/bem-alazhaar-adakan-bakti-sosial-ke-panti-asuhan">bakti sosial</a> seperti yang dilakukan Institut Agama Islam Lubuklinggau, Sumatera Selatan, juga patut dicontoh. Program seperti ini tak hanya mempererat angkatan dan melatih kepekaan mahasiswa, namun juga membantu mereka mengenal lingkungan baru.</p>
<p>Menapak jenjang pendidikan baru harusnya diawali dengan semangat kolaborasi, bukan dengan intimidasi. Hal ini akan sangat membantu mahasiswa baru, karena menurut salah satu artikel di Forbes, kemampuan untuk berkolaborasi adalah salah satu <a href="https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2022/08/22/the-top-10-most-in-demand-skills-for-the-next-10-years/">kemampuan yang paling dicari</a> di masa depan.</p>
<p><strong>2. Memaksimalkan peran mentor sebaya</strong></p>
<p>Perpeloncoan umumnya terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dari senior kepada juniornya. Untuk mencegahnya, orientasi bisa diarahkan untuk membangun relasi sehat antara senior dan junior, misalnya melalui program mentor sebaya (<em>peer-mentorship</em>). </p>
<p>Melalui program ini, senior berperan sebagai relawan untuk membantu transisi juniornya. Sebelum menjadi mentor, senior dapat diseleksi dan diikutkan pelatihan singkat untuk dapat menjalankan tugas sebaik mungkin.</p>
<p>Program ini telah terbukti sukses di beberapa negara, misalnya di Australia melalui <em>O-Week</em>, di mana senior <a href="https://www.griffith.edu.au/student-mentoring/mentoring-programs/orientation-week-leaders">dilatih sebagai relawan</a> untuk menjawab berbagai pertanyaan dari mahasiswa baru. Pertanyaan tersebut tak hanya seputar kehidupan akademik, namun juga terkait adaptasi di lingkungan baru.</p>
<p>Kampus-kampus di Indonesia pun dapat mengadopsi pola ini. Misalnya dengan menerapkan <em>buddy system</em> di mana seorang senior diberi tanggung jawab untuk membimbing sekelompok juniornya selama satu semester. Selama masa pembimbingan itu, senior dapat ditarget untuk memberi program-program penunjang kehidupan akademik seperti tutorial menulis esai atau membuat <em>Curriculum Vitae</em> (CV) yaitu informasi riwayat hidup seseorang yang ditulis secara lengkap dan kronologis.</p>
<p>Sebagai mentor sebaya, senior wajib memiliki pola pikir bahwa mereka adalah fasilitator bagi proses adaptasi juniornya, bukan sebagai pihak yang harus ditakuti secara tak wajar. Dengan cara inilah, keakraban dan <a href="https://brilliantio.com/why-respect-is-earned-not-given/">rasa hormat akan muncul secara natural.</a></p>
<p><strong>3. Memahami dampak negatif perpeloncoan</strong></p>
<p>Meskipun terbukti membawa dampak negatif, tidak sedikit yang masih percaya bahwa perpeloncoan merupakan momen pembentukan mental dan solidaritas. Untuk membongkar pandangan keliru ini, kita perlu memahami fakta-fakta tentang dampak negatif perpeloncoan dari hasil penelitian para ahli.</p>
<p>Kemudian, penting untuk menyebarluaskan kesadaran terkait hal ini. Dengan meningkatnya pemahaman tentang dampak negatif perpeloncoan, kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya dan menciptakan lingkungan di mana setiap individu dapat tumbuh dan berkontribusi tanpa takut akan perlakuan yang mengikis kepercayaan diri.</p>
<p>Mengedukasi siswa, pendidik, orang tua, dan masyarakat secara luas mengenai implikasi psikologis dan sosial dari perpeloncoan adalah langkah awal yang penting. Tak kalah pentingnya, pengampu kebijakan juga harus menerapkan aturan yang melarang segala bentuk perpeloncoan dan memberikan mekanisme pengaduan yang aman serta menyediakan konsekuensi bagi pelaku.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/4-fakta-bagaimana-perpeloncoan-menyabotase-pendidikan-kita-211505">4 fakta bagaimana perpeloncoan menyabotase pendidikan kita</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/211343/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ario Bimo Utomo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bagaimana cara mengakhiri praktik perpeloncoan yang sudah turun menurun di Indonesia? Ahli jabarkan solusinya.Ario Bimo Utomo, Assistant Professor in International Relations, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa TimurLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2126172023-09-01T02:51:59Z2023-09-01T02:51:59ZRiset tunjukkan hambatan yang persulit akses pendidikan anak-anak pengungsi di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/545725/original/file-20230831-17-2kwhpt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi anak-anak pengungsi.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/concept-refugee-silhouette-hungry-children-refugees-369286484">Prazis Images/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Indonesia adalah salah satu negara persinggahan pengungsi terbesar di Asia Tenggara. Pada Mei 2023, Indonesia <a href="https://www.unhcr.org/id/wp-content/uploads/sites/42/2023/08/Indonesia-Fact-Sheet-May-2023.pdf">menampung setidaknya 12.704 pengungsi</a>, sebagian besar dari Afghanistan, Somalia, Myanmar, Irak, dan Sudan. Hampir 30% di antaranya adalah anak-anak. </p>
<p>Sebagian besar dari mereka tinggal selama <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1245&context=ilrev">lebih dari empat tahun</a> di Indonesia tanpa mengetahui kapan ‘masa transit’ ini akan berakhir. Mempertimbangkan lamanya periode waktu yang dihabiskan, terutama bagi anak-anak pengungsi, kami meyakini bahwa <a href="https://aseas.univie.ac.at/index.php/aseas/article/view/7561">anak-anak pengungsi perlu mendapat akses atas pendidikan</a> selama mereka menunggu. </p>
<p>Terlepas dari status tinggal mereka, mereka memiliki <a href="https://doi.org/10.1177/1477878515622703">hak dasar untuk mendapatkan pendidikan</a>, untuk mempersiapkan masa depan mereka dan untuk membantu menjaga kestabilan proses tumbuh kembang mereka.</p>
<p>Sebelum pandemi COVID-19, Indonesia <a href="https://indonesia.iom.int/news/indonesian-city-admits-migrant-children-public-schools">telah membuat kemajuan</a> dalam menyediakan akses pendidikan bagi ratusan anak pengungsi. Ini termasuk menyediakan akses bagi anak-anak pengungsi untuk bersekolah di sekolah-sekolah di Indonesia, selama mereka memiliki <a href="https://lpmpdki.kemdikbud.go.id/pendidikan-bagi-anak-pengungsi-di-indonesia/">dokumentasi</a> dari UNHCR, Rumah Detensi Imigrasi dan surat jaminan keuangan dari lembaga sponsor, seperti dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).</p>
<p>Namun, <a href="https://aseas.univie.ac.at/index.php/aseas/article/view/7561">penelitian kami</a> yang dilakukan di kota Batam, Kepulauan Riau, dan Makassar, Sulawesi Selatan, pada bulan Juni 2022 menunjukkan bahwa pandemi telah menghambat kemajuan ini.</p>
<h2>Hasil riset</h2>
<p>Kami mengumpulkan data melalui observasi dan wawancara mendalam dengan 6 orang tua pengungsi dari berbagai kewarganegaraan (Afghanistan, Sudan, Sri Lanka, dan Somalia) dan lima anak pengungsi yang terdaftar di sekolah dasar dan menengah.</p>
<p>Kami juga mewawancarai kepala sekolah dan guru-guru di sekolah-sekolah lokal di kedua kota tersebut, pejabat pemerintah, baik di tingkat lokal dan nasional, serta staf lokal maupun pimpinan dari organisasi internasional yang bekerja dalam penanganan pengungsi di Indonesia, termasuk IOM dan UNHCR.</p>
<p>Kami menemukan empat masalah yang menghambat akses anak-anak pengungsi terhadap pendidikan di Indonesia.</p>
<h2>1.Distribusi informasi</h2>
<p>“Sebelum adanya Surat Edaran, kami merasa bahwa sekolah negeri yang menyediakan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hanya bisa diakses oleh WNI, sehingga kami mencari sekolah swasta untuk anak-anak pengungsi. Setelah adanya Surat Edaran tersebut, ada kesempatan bagi anak-anak pengungsi untuk mendaftar di sekolah negeri, dan prosesnya cukup cepat,” - Staf IOM di Batam, 18 Juni 2022.</p>
<p>Surat Edaran yang dimaksud adalah Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 752553/A.A4/HK/2019 tertanggal 10 Juli 2019 yang memungkinkan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi di Indonesia.</p>
<p>Sayangnya, upaya tersebut menghadapi tantangan komunikasi selama pandemi sebagai akibat dari metode pengiriman pesan berantai yang diselingi dengan komunikasi yang harus dilakukan secara <em>daring</em>. Pemerintah pusat mengandalkan pemerintah daerah untuk membagikan informasi dan strategi tentang Surat Edaran tersebut kepada penyedia layanan pendidikan setempat. </p>
<p>Namun, otoritas daerah setempat lebih cenderung mengandalkan organisasi internasional, terutama IOM, untuk menjembatani komunikasi dan memberikan informasi kepada komunitas pengungsi, ketimbang secara proaktif menyampaikan informasi tersebut sendiri.</p>
<p>Padahal, situs-situs organisasi ini sebagian besar hanya menyediakan informasi yang berpusat di wilayah Jakarta. Akibatnya, sebagian besar informasi yang ada di situs-situs ini kurang bermanfaat bagi anak-anak pengungsi yang tinggal di provinsi lain di Indonesia. </p>
<p>IOM dan UNHCR juga memiliki kapasitas keuangan dan kemampuan terbatas untuk memberikan bantuan dan berkomunikasi langsung dengan populasi pengungsi secara teratur karena adanya pembatasan mobilitas. </p>
<p>Situasi ini akhirnya menyebabkan kesenjangan komunikasi yang menghambat implementasi Surat Edaran: sekolah-sekolah lokal menjadi ragu untuk menerima anak-anak pengungsi, orang tua pengungsi tidak dapat memperoleh informasi tentang sekolah, dan pada akhirnya anak-anak pengungsi tidak dapat mendaftar di sekolah-sekolah ini. </p>
<h2>2. Kurangnya akses teknologi</h2>
<p>Untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, sekolah-sekolah umumnya menggunakan sistem penugasan dan kelas <em>online</em> selama pandemi. Sistem ini membutuhkan kontak melalui aplikasi pesan instan (seperti WhatsApp), sementara kelas virtual menggunakan Zoom atau Google Meet. Hal ini berarti siswa membutuhkan akses ke internet dan perangkat digital seperti komputer.</p>
<p>Hal ini menjadi masalah bagi anak-anak pengungsi. </p>
<p>“Semuanya menjadi lebih mahal, tapi tunjangannya sama, sementara kami tidak bisa bekerja di sini.” (AJ, orang tua pengungsi, diwawancarai pada 22 Juni 2022 di Makassar).</p>
<p>Meskipun pemerintah Indonesia menyediakan akses internet gratis untuk setiap siswa Indonesia, hal ini tidak berlaku untuk anak-anak pengungsi.</p>
<p>Selain itu, terdapat juga kendala bahasa antara guru dan murid saat mengkomunikasikan tugas melalui aplikasi pesan yang ada.</p>
<h2>3. Keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan</h2>
<p>Jika anak-anak pengungsi akan dimasukkan ke dalam sistem sekolah di Indonesia, banyak pihak yang perlu dilibatkan. Mereka termasuk otoritas pemerintah (terutama Kementerian Pendidikan), otoritas pemerintah daerah (provinsi maupun kota), sekolah dan guru, dinas pendidikan setempat, dan organisasi internasional.</p>
<p>Namun, Indonesia masih belum memiliki kerangka kerja peraturan yang komprehensif dan berjangka panjang yang dapat menjadi dasar bagi kemitraan berbagai pemangku kepentingan ini. Termasuk di dalamnya adalah kerjasama dalam mengatasi kendala bahasa, kemampuan finansial yang rendah, dan kurangnya perangkat teknologi yang selama ini menjadi kendala utama bagi orang tua pengungsi sebelum mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah di Indonesia.</p>
<h2>4. Motivasi untuk bersekolah</h2>
<p>Penelitian kami juga menemukan bahwa motivasi anak-anak untuk bersekolah merupakan faktor kunci kesuksesan mereka untuk tetap bersekolah hingga selesai. </p>
<p>Ada dua faktor penting yang memengaruhi motivasi anak-anak pengungsi: penerimaan siswa lokal dan kemampuan bahasa guru sekolah. Kedua faktor ini harus ada dalam pembelajaran anak untuk memastikan kestabilan motivasi anak-anak pengungsi. </p>
<p>Di Batam dan Makassar, banyak anak pengungsi yang tidak bersekolah karena orang tua mereka takut anak mereka tidak diterima–karena perbedaan ras, hambatan bahasa, dan ketertinggalan dalam belajar. </p>
<p>Mereka juga meragukan manfaat jangka panjang dari pendidikan dengan kurikulum wajib yang sangat spesifik Indonesia seperti Pendidikan Pancasila dan kesenian daerah yang tidak akan digunakan setelah penempatan di negara ketiga. </p>
<h2>Apa yang diharapkan untuk selanjutnya</h2>
<p>Ke depannya, kita perlu membantu sekolah-sekolah untuk menyambut para siswa pengungsi dengan lebih baik–dan membuat keluarga pengungsi sadar akan dukungan yang tersedia di sekolah-sekolah ini. </p>
<p>Pemerintah pusat dan daerah juga perlu menyediakan kerangka kerja regulasi yang memungkinkan akses anak-anak pengungsi terhadap layanan pendidikan agar selaras dengan kepentingan nasional dan komitmen global Indonesia terhadap pengungsi.</p>
<p>Kita juga harus tetap mempertahankan kemitraan organisasi-organisasi internasional dengan pemerintah Indonesia untuk menjembatani kesenjangan komunikasi tentang cara mengakses pendidikan selama masa persinggahan mereka di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212617/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizka Fiani Prabaningtyas menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Athiqah Nur Alami menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Faudzan Farhana menerima dana dari dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2022.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tri Nuke Pudjiastuti menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) -BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2022</span></em></p>Penelitian menunjukkan bahwa meskipun Indonesia mengalami kemajuan dalam menyediakan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi, pandemi telah membuat beberapa hambatan dalam pelaksanaannya.Rizka Fiani Prabaningtyas, Peneliti dalam bidang Hubungan Internasional dan Isu Migrasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Athiqah Nur Alami, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Faudzan Farhana, Peneliti (researcher), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Tri Nuke Pudjiastuti, Researcher of international migration at Research Canter for Politics (PRP-BRIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2111412023-08-28T04:47:45Z2023-08-28T04:47:45Z2 bentuk pelatihan yang cocok bagi guru di era Kurikulum Merdeka<p>Desentralisasi pendidikan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola layanan pendidikan secara mandiri. Dalam hal ini, desentralisasi diterjemahkan sebagai pengambilan keputusan di tingkat sekolah atau dikenal dengan istilah otonomi sekolah. Selaras dengan konsep otonomi sekolah ini, <a href="https://websis.co.id/apa-itu-merdeka-belajar/">Menteri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar</a>, sebuah program yang mendukung sekolah, guru dan peserta didik untuk melakukan inovasi serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri.</p>
<p>Profesor Universitas Stanford, Amerika Serikat, <a href="https://www.nber.org/system/files/working_papers/w17591/w17591.pdf">Erik A Hanushek</a> mengemukakan bahwa pelaksanaan otonomi yang dilakukan tiap sekolah mempengaruhi perbedaan prestasi antarsekolah. Temuan tersebut berasal dari analisis atas <em>Programme for International Student Assessment</em> (PISA) dari 42 negara pada tahun 2011.</p>
<p>PISA adalah penilaian internasional tiga tahunan yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan literasi sains siswa berusia 15.</p>
<p>Ada dua catatan penting dari studi tersebut. <em>Pertama</em>, pemberian otonomi sekolah berpengaruh positif terhadap prestasi murid ketika dilakukan di negara maju, tetapi berpengaruh negatif di negara berkembang. <em>Kedua</em>, dampak negatif yang muncul di negara-negara berkembang umumnya terjadi apabila otonomi sekolah berorientasi akademik sedangkan kemampuan pelaksana pendidikan di tingkat sekolah tidak mumpuni.</p>
<p>Berpijak pada temuan riset tersebut, penerapan <a href="https://www.detik.com/edu/sekolah/d-6818335/apa-itu-kurikulum-merdeka-ini-pengertian--prinsip-pembelajarannya">Kurikulum Merdeka</a> yang memberi otonomi kepada guru di sekolah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan murid, memiliki risiko apabila kompetensi guru yang ada belum sesuai.</p>
<p>Untuk meningkatkan kompetensi guru tersebut, diperlukan dukungan seperti penyediaan pelatihan dan sumber pembelajaran bagi guru.</p>
<p>Pertanyaannya kemudian, pelatihan dan sumber pembelajaran seperti apakah yang dapat membantu guru menerapkan pembelajaran yang inovatif dan interaktif sesuai dengan visi Kurikulum Merdeka? </p>
<p><strong>1. Pelatihan berbasis kemampuan, pengalaman dan kebutuhan</strong></p>
<p>Menurut <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/RISE_WP-054_Revinaetal.pdf">Shintia Revina</a>, peneliti dari <em>Research on Improving Systems of Education</em> (RISE), program penelitian sistem pendidikan berskala besar yang dikelola dan dilaksanakan melalui kemitraan antara <em>Oxford Policy Management</em> dan <em>Blavatnik School of Government</em> di Universitas Oxford, program pengembangan atau pelatihan untuk guru di Indonesia selama empat dekade terakhir belum efektif. Keterbatasan anggaran menyebabkan pelatihan guru dirancang untuk peserta sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin. </p>
<p>Akibatnya, alih-alih mempertimbangkan karakteristik guru, materi pelatihan cenderung bersifat <em>top-down</em> atau ditentukan oleh pusat. Padahal, menurut laporan dari <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/349051535637296801/pdf/WPS8572.pdf">Bank Dunia</a>, pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman mengajar guru terbukti mengarah pada hasil pembelajaran yang lebih baik.</p>
<p>Pada 2020, misalnya, SMERU, lembaga independen yang melakukan penelitian dan kajian kebijakan <a href="https://smeru.or.id/id/article-id/bagaimana-inovasi-pendidikan-daerah-dua-dekade-setelah-desentralisasi">memberikan</a> bantuan konsultasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memprakarsai reformasi program pengembangan keprofesian untuk guru mereka. </p>
<p>Kemudian pada tahun 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Nurturing%20Learning%20Culture%20among%20Teachers%20Indonesia.pdf">mereformasi </a> kegiatan pelatihan guru yang memberi kesempatan kepada guru untuk memilih materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.</p>
<p><a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Nurturing%20Learning%20Culture%20among%20Teachers%20Indonesia.pdf">Asesmen terhadap pelaksanaan pelatihan</a> tersebut menemukan data bahwa guru memperoleh nilai tambah lebih ketika mereka dapat memilih pelatihan yang sesuai kebutuhannya. Pelatihan yang disesuaikan dengan kemampuan guru dan mendapat umpan balik dari kepala sekolah juga terbukti lebih memberikan dampak terhadap kompetensi guru.</p>
<p><strong>2. Pendidikan calon guru yang fokus pada cara bertanya</strong></p>
<p>Dalam dunia pendidikan, para pemikir sudah membahas pengajaran interaktif sejak berabad silam. Filsuf Yunani <a href="http://jespnet.com/journals/Vol_5_No_1_March_2018/9.pdf">Socrates</a>, misalnya, menyatakan bahwa mengajar itu merupakan seni mengajukan pertanyaan. Penelitian dari <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042810000558?ref=pdf_download&fr=RR-2&rr=7f4736b40b024ab5">Patrícia Albergaria-Almeida</a>, peneliti dari Universitas Aveiro, Portugal, terhadap calon guru, juga menunjukkan bahwa kemampuan guru mengajukan pertanyaan akan memengaruhi bagaimana murid bertanya dan berpikir. </p>
<p><a href="https://journal.iainlangsa.ac.id/index.php/jl3t/article/view/1355">Dosen Universitas Pendidikan Indonesia, Ahmadi dan Eri Kurniawa,</a>), melakukan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis pertanyaan yang cenderung diajukan oleh guru di salah satu lembaga pendidikan guru di Ponorogo, Jawa Timur. Penelitian mereka menunjukkan bahwa guru menghabiskan 73,8% pertanyaan pengingat, 17,8% pemahaman, 5,9% analisis, dan 2,9% evaluasi. Artinya, pertanyaan yang diajukan guru didominasi kemampuan berpikir tingkat rendah, yaitu mengingat. </p>
<p>Karakteristik guru juga memengaruhi teknik bertanya mereka. <a href="http://jespnet.com/journals/Vol_5_No_1_March_2018/9.pdf">Stephen Joseph</a>, profesor kurikulum & instruksi dari Universitas Trinidad dan Tobago pada tahun 2018, menemukan bahwa memperkenalkan teknik bertanya dalam kurikulum pendidikan calon guru akan lebih efektif dibandingkan memberikan pelatihan kepada guru yang sudah menjabat. Hal ini karena teknik bertanya yang efektif tidak dapat dicapai dalam waktu yang singkat. </p>
<p>Berkaca dari pentingnya seni bertanya untuk menciptakan pembelajaran yang interaktif sesuai konsep Kurikulum Merdeka, maka lembaga pendidikan guru perlu mengajarkan teknik bertanya secara terprogram dalam proses pendidikan para calon guru.</p>
<h2>Pentingnya dukungan koheren sejak awal</h2>
<p>Apabila kapasitas sumber daya manusia, terutama tenaga pendidik, tidak mendukung otonomi yang berorientasi akademik seperti gagasan Kurikulum Merdeka, maka hal tersebut dapat menciptakan dampak negatif terhadap nilai murid seperti yang ditemukan dalam studi <a href="https://www.nber.org/system/files/working_papers/w17591/w17591.pdf">Hanushek</a> yang disebutkan di awal.</p>
<p>Karena itu, <a href="https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/peran-guru-dalam-menghadapi-inovasi-merdeka-belajar">kebijakan Merdeka Belajar yang membebaskan guru berinovasi</a> perlu memastikan kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang inovatif dan interaktif. </p>
<p>Pemangku kepentingan pendidikan seperti pemerintah, dinas pendidikan dan kepala sekolah, perlu mendukung guru. Rangkaian dukungan terhadap guru dapat dimulai dari inisiatif dinas pendidikan untuk <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Nurturing%20Learning%20Culture%20among%20Teachers%20Indonesia.pdf">menciptakan kebijakan pelatihan yang sesuai kebutuhan guru mereka</a>. Kemudian, selama dan setelah pelatihan, kepemimpinan kepala sekolah menjadi faktor kunci dalam menciptakan lingkungan yang kondusif agar guru dapat mengikuti pelatihan dengan baik dan mengimplementasikannya di kelas.</p>
<p>Untuk menciptakan dukungan yang lebih koheren terhadap peningkatan kemampuan guru dan <a href="https://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/RISE_WP-054_Revinaetal.pdf">adanya keterbatasan pelatihan untuk guru yang menjabat</a>, pemerintah perlu melakukan perubahan sejak sistem pendidikan calon guru. Dalam hal ini, konsep Kurikulum Merdeka harus menjadi landasan sistem pendidikan calon guru, sehingga tenaga pendidik akan memiliki kompetensi yang dibutuhkan ketika mengimplementasikan kurikulumnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211141/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Desentralisasi pendidikan sudah ada sejak 2001 dan semakin menguat sejak lahirnya Kurikulum Merdeka. Bagaimana guru bisa mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan situasi pendidikan saat ini?Syaikhu Usman, Peneliti Utama, SMERU Research InstituteAsri Yusrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2116772023-08-25T03:10:04Z2023-08-25T03:10:04ZPascapandemi: sudah pulihkah pendidikan kita dari ‘learning loss’?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542937/original/file-20230816-29-evtmsp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Akibat pandemi COVID-19, siswa di Indonesia mengalami _learning loss_. Vovan/Shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Awal 2020, <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">riset terbatas</a> kami menunjukkan hanya 28% siswa yang melaksanakan pembelajaran daring, sementara sisanya belajar tatap muka di luar sekolah atau terpaksa tidak belajar sama sekali. </p>
<p><a href="https://pskp.kemdikbud.go.id/clients/detail_buku/333030/pembelajaran-di-masa-pandemi-dari-krisis-menuju-pemulihan">Riset</a> lain kami juga menemukan terjadinya penurunan partisipasi sekolah dari tahun ajaran 2019/2020 ke 2020/2021.</p>
<p>Penurunan partisipasi sekolah selama pandemi telah membawa dampak signifikan terhadap pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya <a href="https://www.cambridgeassessment.org.uk/Images/research-matters-34-learning-loss-in-the-covid-19-pandemic.pdf"><em>learning loss</em></a>, yaitu hilangnya kemampuan yang telah dikuasai siswa sebelumnya atau kesenjangan (<em>learning gap</em>) antara kemampuan belajar siswa dengan standar tertentu baik nasional maupun internasional.</p>
<p>Seperti apa <em>learning loss</em> yang terjadi di Indonesia dan sudah pulihkah kita dari kondisi tersebut?</p>
<h2><em>Learning loss</em>: siswa belum mencapai standar</h2>
<p>Hasil <a href="https://pskp.kemdikbud.go.id/assets_front/images/produk/1-gtk/buku/1686663304_Learning-Gap-Reforming-Indonesias-curriculum-Paper-2-Final.pdf">studi kami</a> menemukan bahwa siswa kelas awal di Indonesia mengalami indikasi kehilangan hasil belajar setara dengan 0,47 standar deviasi/sd (atau 6 bulan pembelajaran) untuk literasi dan 0,44 sd (atau 5 bulan pembelajaran) untuk numerasi setelah satu tahun belajar di masa pandemi. Standar deviasi atau simpangan baku adalah persebaran data pada suatu sampel untuk melihat seberapa jauh atau seberapa dekat nilai data dengan rata-ratanya. </p>
<p>Indikasi tersebut menunjukkan, capaian pembelajaran yang seharusnya sudah dikuasai siswa setelah satu tahun belajar di tahun ajaran normal, berkurang menjadi setengahnya saja. </p>
<p>Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan di <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/099720405042223104/pdf/IDU00f3f0ca808cde0497e0b88c01fa07f15bef0.pdf">Amerika Serikat (0,14 sd) atau Cina (0,22 sd)</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=229&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=229&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=229&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=287&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=287&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541905/original/file-20230809-24-hzqr1n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=287&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Terdapat indikasi penurunan hasil belajar siswa satu tahun setelah pandemi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">INOVASI (2022)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Learning loss</em> yang terjadi juga berkontribusi terhadap semakin melebarnya kesenjangan hasil belajar, dengan sejumlah besar siswa belum mencapai standar kompetensi yang diharapkan. </p>
<p><a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2023/04/Infographic_Learning-Gap_V15.pdf">Studi</a> kami menemukan pada tahun ajaran 2020/2021, di bidang numerasi, hanya satu dari lima anak kelas 1 (atau sekitar 22% siswa) yang telah mencapai standar kurikulum darurat, yaitu kurikulum nasional yang sudah disederhanakan dan digunakan di masa pandemi. Sebagai contoh, mayoritas siswa belum mampu melakukan operasi hitungan sederhana dengan jumlah hitungan lebih dari 20.</p>
<p>Sementara untuk literasi, hanya 1 dari 3 siswa kelas dua yang telah memenuhi standar kemampuan minimum berdasarkan indikator <em>Sustainable Development Goals</em> (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Artinya, sebagian besar siswa <a href="https://gaml.uis.unesco.org/wp-content/uploads/sites/2/2019/05/GAML6-REF-2-MLP-recommendations-ACER.pdf">belum mampu</a> membaca teks sederhana dengan lancar dan mandiri serta mengerti makna dari teks yang mereka baca.</p>
<h2>Efek jangka panjang <em>learning loss</em></h2>
<p>Tidak hanya mendisrupsi perkembangan anak di masa sekarang, <em>learning loss</em> juga berpotensi mengganggu masa depan anak. </p>
<p>Keterampilan dasar yang diperoleh sejak dini, seperti literasi dan numerasi, sangat dibutuhkan siswa untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang lebih kompleks. Ketidakmampuan untuk memenuhi keterampilan dasar akan membatasi potensi siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah dan menciptakan inovasi.</p>
<p><a href="https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2021/12/06/learning-losses-from-covid-19-could-cost-this-generation-of-students-close-to-17-trillion-in-lifetime-earnings">Studi Bank Dunia</a> menunjukkan hilangnya hasil belajar siswa selama pandemi berpotensi mengurangi pendapatan generasi saat ini sebesar US$17 triliun atau setara Rp. 259,3 kuadriliun ketika dewasa.</p>
<p>Temuan ini serupa dengan hasil analisis yang dilakukan oleh <a href="https://www.oecd.org/education/The-economic-impacts-of-coronavirus-covid-19-learning-losses.pdf"><em>Organisation for Economic Co-operation and Development</em> (OECD)</a>, organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar, yang menunjukkan bahwa kehilangan hasil pembelajaran juga berpotensi menurunkan pendapatan negara-negara G20. </p>
<p>Untuk konteks Indonesia, kehilangan hasil belajar anak bahkan berpotensi <a href="http://elibrary.worldbank.org/doi/book/10.1596/36327">mengurangi pendapatan negara</a> hingga 24-34%.</p>
<p>Selain itu, hilangnya akses ke sekolah yang kerap diikuti dengan perkembangan kemampuan belajar yang lebih lambat berpotensi menjerat anak terjebak pada masalah-masalah sosial. Misalnya, studi kami di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa anak-anak yang kehilangan akses belajar berpotensi terjebak pada <a href="https://www.inovasi.or.id/id/publikasi/studi-kualitatif-perkawinan-anak-selama-pandemi-covid-19-di-jawa-timur-nusa-tenggara-barat-dan-nusa-tenggara-timur/">perkawinan anak</a>. </p>
<h2>Apakah kita sudah pulih dari <em>learning loss</em>?</h2>
<p>Untuk menjawab pertanyaan ini dan mengisi celah pengetahuan di mana studi-studi sebelumnya hanya fokus pada penurunan hasil pembelajaran yang terjadi tanpa melihat potensi siswa untuk terus berkembang, <a href="https://www.inovasi.or.id/wp-content/uploads/2023/04/Infographic_Learning-Gap_V15.pdf">studi terbaru INOVASI</a>, program kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia, mencoba mengidentifikasi potensi pemulihan pembelajaran siswa pascapandemi di Indonesia. </p>
<p>Kami melakukan tes pada 4.100 siswa kelas awal di sekolah mitra INOVASI di 7 kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Kalimantan Utara. Tes tersebut diambil secara berkelanjutan: sebelum pandemi (2020), satu tahun setelah pandemi (2021), dan dua tahun setelah pandemi (2022). </p>
<p>Seperti yang terlihat pada grafik di bawah, meskipun performa siswa masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi, temuan baru kami menunjukkan adanya indikasi pemulihan pembelajaran yang setara dengan 0,16 sd untuk literasi dan 0,12 sd untuk numerasi (atau setara dengan 2 bulan pembelajaran).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=233&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=233&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=233&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=293&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=293&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541912/original/file-20230809-27-o4ry1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=293&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dua tahun setelah pandemi, terdapat indikasi positif pemulihan pembelajaran (‘learning recovery’) meskipun hasil belajar belum bisa pulih seperti sebelum pandemi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">INOVASI (2022)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebagai ilustrasi, di akhir semester satu (bulan Desember), siswa kelas 1 diharapkan sudah memahami konsep dasar numerasi yaitu menyebutkan bilangan hingga 99. Namun, studi awal kami menggambarkan bahwa banyak siswa kelas 1 baru memahami konsep bilangan hingga 99 pada akhir semester dua (bulan Mei). </p>
<p>Dengan adanya indikasi pemulihan setara 2 bulan pembelajaran, siswa mampu menguasai konsep tersebut pada akhir Maret. Artinya, meskipun ada keterlambatan dalam capaian pembelajaran, upaya pemulihan telah membantu mengurangi jarak keterlambatan tersebut.</p>
<p>Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun hasil belajar belum bisa pulih sepenuhnya, ada indikasi proses pemulihan pembelajaran. Temuan ini juga sejalan dengan <a href="https://doi.org/10.35489/BSG-RISEWP_2022/112">studi serupa</a> yang dilakukan di India yang menunjukkan bahwa ada indikasi pemulihan pembelajaran setelah sekolah dibuka kembali. Dengan kata lain, perkembangan akademis siswa saat ini lebih cepat jika dibandingkan dengan kondisi di awal pandemi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211677/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>George Adam Sukoco adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International. Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pandemi COVID-19 membawa tantangan nyata bagi dunia pendidikan. Salah satu yang paling sering disebut adalah ‘learning loss’. Sudah pulihkah kita dari kondisi tersebut?George Adam Sukoco, Monitoring and Evaluation Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2107422023-08-16T09:12:31Z2023-08-16T09:12:31ZAbad ke-2 peran Muhammadiyah dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia, apa saja tantangan ke depannya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542076/original/file-20230810-15-fuep2l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C13%2C3000%2C2232&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bendera organisasi Muhammadiyah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/majenang-indonesia-july-1-2023-realistic-2328535505">Iljanaresvara Studio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, telah lebih dari 110 tahun menjadi gerakan sosial Islam yang banyak berkontribusi dalam pembangunan nasional.</p>
<p>Hingga tahun 2022, jumlah anggota atau kader yang terdaftar resmi dalam organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/11/23/parpol-berebut-simpati-warga-muhammadiyah">mencapai 65 juta</a> di dalam negeri dan 1,5 juta di negara-negara lain di seluruh dunia. Angka ini belum termasuk simpatisannya. Muhammadiyah kini telah memiliki lebih dari <a href="http://lpcr.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html">3200 cabang</a> yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan 25 cabang istimewa di luar negeri.</p>
<p>Keberhasilan Muhammadiyah dalam mempertahankan eksistensinya melalui berkali-kali pergantian rezim pemerintahan bukan serta merta karena sikap politiknya, tetapi lebih didominasi oleh aktivitasnya dalam gerakan sosial dan berbagai sektor pembangunan. Amal usaha Muhammadiyah banyak dimulai dari <a href="https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=0CAIQw7AJahcKEwjQute0xuCAAxUAAAAAHQAAAAAQAg&url=http%3A%2F%2Frepository.umy.ac.id%2Fbitstream%2Fhandle%2F123456789%2F7077%2FStrategi%2520Muhammadiyah%2520Membangun%2520Jamaah.pdf%3Fsequence%3D1&psig=AOvVaw3duncP5ua1BQ1FSCAdf79d&ust=1692253203629130&opi=89978449">gerakan akar rumput</a> di level ranting-cabang.</p>
<p>Perlu diakui bahwa Muhammadiyah telah menjadi salah satu organisasi yang menyokong pembangunan berkelanjutan (<em>Sustainable Deveopment Goals/SDGs</em>) di Indonesia.</p>
<p>Sampai dengan pertengahan tahun 2023, <a href="https://dashboards.sdgindex.org/profiles/indonesia">indeks pembangunan berkelanjutan di Indonesia</a> berhasil mencapai angka 70,2 dan menduduki peringkat 75 dari 166 negara di dunia. Pencapaian termasuk disokong oleh <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/02/06/1997/ekonomi-indonesia-tahun-2022-tumbuh-5-31-persen.html">pertumbuhan ekonomi</a> yang mencapai 5,31% pascapandemi, <a href="https://dashboards.sdgindex.org/profiles/indonesia/indicators">penurunan</a> angka <em>stunting</em> dan kematian ibu dan bayi, serta <a href="https://dashboards.sdgindex.org/profiles/indonesia/indicators">peningkatan</a> angka literasi dan kesetaraan gender.</p>
<p>Apa saja kiprah Muhammadiyah dalam mendukung pencapaian SDGs Indonesia selama ini? Dan apa saja tantangan yang dihadapi organisasi ini di usianya yang sudah masuk abad ke-2?</p>
<h2>Pengentasan kemiskinan</h2>
<p>Upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan Muhammadiyah di antaranya adalah melalui <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjJ_uLQ0bqAAxWJ7DgGHQuQDi0QFnoECAwQAQ&url=https%3A%2F%2Fjurnal.umj.ac.id%2Findex.php%2Ficoss%2Farticle%2Fdownload%2F2358%2F1968&usg=AOvVaw1-Gksug_5IsENeyZ6s7Kut&opi=89978449">318 panti asuhan</a> yang berfungsi sebagai rumah bagi anak-anak yang kehilangan orang tua atau tidak mampu hidup bersama keluarganya.</p>
<p>Panti asuhan ini memberikan perlindungan, pengasuhan, pendidikan dan dukungan kepada anak yatim guna memastikan mereka tetap dapat hidup dengan layak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542989/original/file-20230816-15-srcyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, menunjukkan cara kerja purwarupa robot penyelamat atau Search and Rescue (SAR) rakitannya sendiri yang diberi nama Dome.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1688544904&getcod=dom">Ari Bowo Sucipto/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Muhammadiyah juga mengoperasikan <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjJ_uLQ0bqAAxWJ7DgGHQuQDi0QFnoECAwQAQ&url=https%3A%2F%2Fjurnal.umj.ac.id%2Findex.php%2Ficoss%2Farticle%2Fdownload%2F2358%2F1968&usg=AOvVaw1-Gksug_5IsENeyZ6s7Kut&opi=89978449">54 panti jompo bagi lanjut usia (lansia) dan 82 pusat rehabilitasi</a> bagi penyandang disabilitas yang tersebar di seluruh Indonesia.</p>
<p>Layanan panti jompo diberikan kepada lansia yang memerlukan perawatan dan dukungan khusus di usia senja, termasuk memastikan martabat, kenyamanan, dan akses ke layanan media yang diperlukan.</p>
<p>Adapun pusat rehabilitasi bertujuan untuk memberdayakan penyandang disabilitas sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang mandiri sambil berkontribusi kepada masyarakat.</p>
<p>Upaya lainnya adalah melalui <a href="https://lazismu.org/zakatmaal?ref=QGnvm&gclid=EAIaIQobChMI2fPJ_tK6gAMVzXQrCh250AytEAAYASAAEgL3TPD_BwE">LAZIZMU</a> (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah). Lembaga ini berperan dalam mengelola dan menyalurkan sumber daya yang dikumpulkan dari individu dan bisnis yang berkontribusi pada organisasi.</p>
<p>Dana tersebut kemudian digunakan untuk mendukung berbagai program dan inisiatif kesejahteraan sosial yang mencakup inisiatif pengentasan kemiskinan, layanan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya pengobatan, beasiswa pendidikan untuk siswa kurang mampu, program pelatihan kejuruan dan kewirausahaan, dan bantuan kemanusiaan selama keadaan darurat dan bencana alam. </p>
<h2>Peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan tanggap bencana</h2>
<p>Di bidang pendidikan, layanan yang pertama yang didirikan Muhammadiyah adalah sekolah yang beroperasi di rumah KH. Ahmad Dahlan.</p>
<p>Dalam kurun waktu 100 tahun, terdapat <a href="https://aik.umm.ac.id/id/berita/best-practice-amal-usaha-muhammadiyah.html">22.000 PAUD dan TK yang dikelola oleh Aisyiyah, 2.766 SD, 1.826 SMP, 1.407 SMA dan SMK, serta 164 perguruan tinggi</a> yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Angka tersebut belum termasuk 440 asrama Muhammadiyah dan 50 Sekolah Luar Biasa (SLB) Muhammadiyah.</p>
<p>Selain itu, Muhammadiyah juga mendirikan institusi pendidikan di luar negeri, yaitu <a href="https://www.itb-ad.ac.id/2021/08/11/universitas-muhammadiyah-malaysia-resmi-berdiri/">satu perguruan tinggi di Selangor-Malaysia</a>; <a href="https://muhammadiyah.or.id/sejak-2010-aisyiyah-bangun-tk-aba-kairo-di-mesir/">satu TK di Mesir</a>; dan <a href="https://macollege.com.au/">satu SMP Muhammadiyah di Melbourne-Australia</a>. Ini menunjukkan keseriusan Muhammadiyah dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang inklusif baik di dalam maupun luar negeri.</p>
<p>Muhammadiyah hingga kini mengoperasikan 121 fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit, klinik, rumah sakit ibu dan anak, serta <a href="https://muhammadiyah.or.id/klinik-apung-said-tuhuleley-pelayaran-kemanusiaan-untuk-masyarakat-indonesia-timur/">Klinik Apung Said Tuhuleley</a>.</p>
<p>Organisasi ini juga aktif mempromosikan hidup sehat melalui <a href="_Muhammadiyah%20Tobacco%20Control%20Centre_"></a><a href="https://mtcc.unimma.ac.id/">MTCC</a>, sebuah lembaga yang mempromosikan lingkungan bebas rokok dan pengurangan dampak merokok pada individu dan masyarakat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542991/original/file-20230816-15-wlkqbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pelajar di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta melakukan simulasi bencana gempa bumi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1689917106&getcod=dom">Andreas Fitri Atmoko/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di bidang manajemen bencana, Muhammadiyah memiliki lembaga penanganan bencana bernama <a href="https://mdmc.or.id/">Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC)</a> yang didirikan untuk tujuan darurat bencana. Beberapa contoh aktivitasnya adalah pendirian rumah sakit darurat di Turki dan pengiriman relawan dan bantuan kemanusiaan ke Sudan, Nepal dan Bangladesh.</p>
<h2>Mewujudkan kesetaraan gender</h2>
<p>Muhammadiyah memiliki sayap organisasi perempuan bernama <a href="https://www.aisyiyah.or.id/">Aisyiyah</a> sejak tahun 1917. Aisyiyah mengelola beberapa layanan milik Muhammadiyah seperti PAUD dan TK, juga rumah sakit ibu dan anak. Selain itu, Aisyiyah dan <a href="https://www.nasyiah.or.id/">Nasyiatul Aisyiyah</a> (gerakan pemudi Muhammadiyah) aktif memfasilitasi kepentingan perempuan dalam berbagai bidang, seperti pelatihan kewirausahaan, perlindungan tenaga kerja perempuan, pelatihan kepemimpinan dan kelas reproduksi dan pengasuhan anak.</p>
<p>Organisasi otonom yang dimiliki Muhammadiyah ini menghadirkan pendekatan responsif gender yang berupaya menciptakan ruang yang inklusif dalam mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan laki-laki maupun perempuan.</p>
<h2>Muhammadiyah dan SDGs</h2>
<p>Dedikasi Muhammadiyah melalui komitmen jangka panjang dan pendekatan yang holistik telah berkontribusi nyata dan menjadi <em>role model</em> bagi pencapaian tujuan SDGs di Indonesia.</p>
<p>Meski demikian, seperti halnya organisasi lainnya, Muhammadiyah juga menghadapi berbagai tantangan dalam misinya melayani masyarakat. Salah satunya adalah perihal revitalisasi menyeluruh, mulai dari kelembagaan hingga sumber daya manusia.</p>
<p>Muhammadiyah perlu memastikan bahwa aktivitasnya tetap relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, termasuk dengan memastikan bahwa organisasi ini memiliki kader-kader muda yang berkualitas, memiliki kemampuan adaptasi dan inovasi, serta berdaya juang tinggi agar dapat mengatasi berbagai tantangan di masa mendatang.</p>
<p>Selain itu, Muhammadiyah juga perlu menyesuaikan diri dengan perubahan budaya, sosial, sains dan teknologi. Dengan mengembangkan amal usaha yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) diharapkan dapat menawarkan solusi yang tepat guna kepada masyarakat.</p>
<p>Dua tantangan besar ini diharapkan mampu diwujudkan oleh Muhammadiyah untuk mensinergikan semangat untuk membangun bangsa menyesuaikan perkembangan zaman.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/210742/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penulis memiliki riwayat afiliasi dengan organisasi yang terkait dalam artikel, terutama latar belakang pendidikan penulis. Namun penulis menyatakan tidak memiliki kepentingan apapun terkait dengan organisasi yang tercantum dalam artikel.</span></em></p>Cacatan sejarah mengungkapkan bagaimana Muhammadiyah bergerak membentuk masyarakat sosial ekonomi modern yang berdasarkan kepada ajaran Islam.Januari Pratama Nurratri Trisnaningtyas, Dosen, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa TimurLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2115052023-08-15T02:38:46Z2023-08-15T02:38:46Z4 fakta bagaimana perpeloncoan menyabotase pendidikan kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542530/original/file-20230814-17-xuo96b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">MDV Edwards. Shutterstock.</span> </figcaption></figure><p>Sejumlah kalangan menganggap bahwa perpeloncoan adalah hal wajar. Selain atas dalih tradisi, para pembenarnya menganggap bahwa perpeloncoan merupakan momen <a href="https://news.detik.com/kolom/d-5181296/tradisi-pelonco-yang-dikira-bermanfaat">pembentukan mental dan solidaritas</a>.</p>
<p>Faktanya, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif.</p>
<p>Sebagai praktisi pendidikan sekaligus pegiat Ilmu Sosial, saya tertarik untuk mengulas bagaimana komunitas ilmiah sejauh ini memandang perpeloncoan. Berikut empat fakta terkait perpeloncoan dan bahayanya terhadap proses pendidikan kita.</p>
<p><strong>1. Perpeloncoan menghilangkan rasa aman</strong></p>
<p>Perpeloncoan adalah hal yang bertentangan dengan keamanan manusia. Secara definisi, keamanan manusia merupakan pendekatan untuk <a href="https://www.un.org/humansecurity/what-is-human-security/">mengidentifikasi permasalahan-permasalahan terkait keberlangsungan hidup pada tingkat individual</a>. Isu keamanan manusia adalah konsep yang melampaui kerangka keamanan tradisional yang umumnya berkutat pada isu perang-damai.</p>
<p>Dengan demikian, keamanan manusia berfokus pada martabat, kesejahteraan, serta hak asasi individual dan mencegah apa pun yang dapat mengancamnya. Dalam hal ini, mendapatkan pendidikan yang layak juga termasuk di antaranya.</p>
<p>Dalam sebuah pidato, Vernor Munoz Villalobos, Pelapor Khusus Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk bidang pendidikan, mengatakan bahwa <a href="https://www.google.com/url?q=https://www.ohchr.org/en/statements/2009/10/children-have-right-safe-education-un-expert-says-condemning-beslan-hostage&sa=D&source=docs&ust=1691655640940491&usg=AOvVaw0g5xcTmLUarXp8wK9JquSH">lingkungan pendidikan yang aman</a> adalah sebuah hak asasi.</p>
<p>Namun sayangnya, perpeloncoan justru menghambat pemenuhan hak tersebut. Praktik ini mengakibatkan <a href="https://stophazing.org/issue/">peserta didik kesulitan mendapatkan lingkungan yang aman</a> dan justru diliputi rasa takut dalam proses belajar. Rasa takut ini bisa muncul dari <a href="https://commons.und.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1010&context=ndlr">pengalaman menjadi korban, atau dari menyaksikan teman menjadi korban.</a></p>
<p>Riset Maria Lima dkk, tim peneliti Kesehatan Mental dari Sao Paulo University, Brazil, turut mendukung argumen ini. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan <a href="https://pdfs.semanticscholar.org/8d35/e11cc650ffaab8d53873aacc623dd54f5567.pdf">hubungan antara pengalaman dipelonco dengan kecenderungan untuk mundur dari perkuliahan.</a> Kecenderungan tersebut muncul dari perasaan tak nyaman setelah mengalami perpeloncoan.</p>
<p><strong>2. Perpeloncoan membuat mental runtuh, bukan tangguh</strong></p>
<p>Salah satu dalih yang biasa dipakai untuk membenarkan perpeloncoan adalah untuk melatih ketangguhan mental. Pendukung dalih ini beranggapan bahwa semakin peserta terbiasa ditekan dalam proses perpeloncoan, semakin kuat pula mentalnya.</p>
<p>Faktanya, studi dari Anne Mercuro, peneliti Sosiologi dari Ramapo College Amerika Serikat, justru menyimpulkan bahwa <a href="https://www.ramapo.edu/law-journal/thesis/effects-hazing-student-self-esteem-study-hazing-practices-greek-organizations-state-college/">perpeloncoan berdampak negatif pada kepercayaan diri remaja</a>. Penelitian ini mensurvei sekelompok siswa di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa siswa yang mengalami perpeloncoan cenderung memiliki kepercayaan diri lebih rendah dibanding yang tak mengalaminya.</p>
<p>Selain itu, penelitian milik Caroline Keating, profesor Psikologi asal Colgate University Amerika Serikat juga membantah bahwa perpeloncoan melatih ketangguhan mental. Penelitian ini menemukan bahwa <a href="https://psycnet.apa.org/record/2005-07159-004">perpeloncoan cenderung menghasilkan mentalitas dependen</a>. Mahasiswa yang mengalami perpeloncoan akan cenderung bergantung pada validasi senior mereka dan kurang berani mengambil keputusan.</p>
<p>Keating juga menggarisbawahi bahwa sikap kooperatif korban dalam perpeloncoan bukanlah ketangguhan mental, namun kerapuhan terselubung. Ini karena korban, dalam upaya untuk dapat diakui seniornya, akan berusaha mencari justifikasi terhadap perpeloncoan sehingga lama-kelamaan kebal terhadap segala penyimpangan yang dialami. Hal ini justru berbahaya dalam proses perkembangan karakter karena akan berujung kepada normalisasi kekerasan.</p>
<p><strong>3. Perpeloncoan menghalangi solidaritas tim</strong></p>
<p>Dalih lain yang sering dipakai adalah bahwa perpeloncoan dapat meningkatkan solidaritas. Para pendukung dalih ini berasumsi bahwa perpeloncoan diperlukan untuk mengakrabkan hubungan antarmahasiswa.</p>
<p>Namun, klaim tersebut juga tak didukung oleh bukti kuat. Di antara riset-riset yang menyanggah klaim tersebut, salah satunya adalah milik Liesbeth Mann dkk dari University of Amsterdam, Belanda. Penelitian ini menunjukkan bahwa perpeloncoan justru menurunkan <a href="https://psycnet.apa.org/record/2015-50144-007">rasa kepemilikan korban terhadap komunitas barunya.</a></p>
<p>Penelitian Hein Lodewijkx dan Joseph Syroit, pakar Ilmu Pendidikan asal Utrech University, Belanda, juga <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/(SICI)1099-0992(199705)27:3%3C275::AID-EJSP822%3E3.0.CO;2-S">menyimpulkan hal serupa</a>. Menggunakan studi kasus dari dua kelompok mahasiswa: satu mengalami masa orientasi dengan perpeloncoan dan satu lagi tidak, didapatkan data bahwa tak ada perbedaan solidaritas yang signifikan dari keduanya. Alih-alih, ditemukan bahwa kelompok yang mengalami perpeloncoan justru menunjukkan gejala frustrasi dan depresi selama masa orientasi.</p>
<p>Selain itu, penelitian dari University of Southern Alabama, Amerika Serikat menemukan bahwa <a href="https://www.hanknuwer.com/new-study-by-judy-l-van-raalte-finds-bonding-by-hazing-is-of-questionable-value-to-a-sports-team/">perpeloncoan justru berdampak negatif pada kekompakan tim</a>. Penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan inklusif seperti bakti sosial dan karyawisata justru berdampak positif bagi kohesi junior-senior.</p>
<p><strong>4. Perpeloncoan menurunkan performa akademik</strong></p>
<p>Tak hanya berdampak jangka panjang pada perkembangan karakter, perpeloncoan juga memiliki dampak langsung pada performa akademik.</p>
<p>Dalam proses akademik yang idealnya memupuk kreativitas dan inovasi berpikir, perpeloncoan justru memiliki dampak destruktif. Ia menciptakan mentalitas <em>“yes-man”</em> dan kepatuhan mutlak terhadap hal-hal irasional sekalipun. Trauma yang ditimbulkan perpeloncoan juga berpotensi membuat murid takut berpartisipasi aktif di kelas.</p>
<p>Sebuah survei dari Joseph Groah, peneliti Naval Postgraduate School California dari Amerika Serikat, melaporkan bahwa dari 100 respoden kalangan siswa setingkat SMA di Amerika Serikat yang pernah mengalami perpeloncoan, <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/36695877.pdf">21 orang melaporkan adanya penurunan nilai di sekolah</a>. </p>
<p>UNESCO (2019) melalui laporannya yang berjudul <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366483"><em>Behind the numbers: Ending school violence and bullying</em></a> pun menyampaikan hal sama. Disebutkan bahwa murid yang mengalami perundungan, seperti perpeloncoan, cenderung memiliki hasil belajar lebih buruk.</p>
<p>Turunnya performa akademik pada kasus perpeloncoan tentu saja bukan tanpa alasan. Sekitar <a href="https://hazingprevention.usc.edu/what-is-hazing/consequences-of-hazing/">71% dari korban perpeloncoan mengaku mengalami gejala-gejala negatif</a>. Di antaranya adalah kurang tidur, depresi, memburuknya relasi dengan keluarga, maupun trauma terhadap kelompok pelaku.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211505/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ario Bimo Utomo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Praktik perpeloncoan yang masih ditemukan setiap tahun ajaran baru di Indonesia bisa diatasi dengan edukasi tentang hak atas rasa aman serta merombak pandangan lama yang tidak lagi relevan.Ario Bimo Utomo, Assistant Professor in International Relations, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa TimurLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2095272023-07-24T02:41:58Z2023-07-24T02:41:58Z‘Single parents’ sering jadi kambing hitam dalam pendidikan anak: perlunya dukungan bagi mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538852/original/file-20230723-40270-leb9kd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/one-single-line-drawing-young-happy-2201066787">Simple Line/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam percakapan sehari-hari ataupun di media sosial, kita sering dibanjiri berbagai informasi seputar <em>parenting</em> (pengasuhan anak). Dalam hal ini, <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5099372/6-artis-ini-pernah-dikritik-netizen-soal-pola-asuh-anak-jadi-sorotan">gaya pengasuhan orang tua</a>, terutama oleh ibu, sering jadi sorotan warganet – seolah hanya ada standar tunggal dalam pengasuhan anak yang harus diikuti untuk menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00309230.2016.1240209">orang tua yang baik, ideal, atau teladan</a>. </p>
<p>Namun, narasi terkait pengasuhan anak lebih menekankan pada <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3713/kemenpppa-dorong-inisiasi-penyusunan-rencana-aksi-daerah-dalam-pengasuhan-berbasis-hak-anak/zlsis/l1240554.html/fiqez/q441637.html">peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak</a> dan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3305/pembagian-peran-pengasuhan-ciptakan-keluarga-berkualitas/rftvn/a1368840.html">keluarga tradisional yang “utuh”</a>.</p>
<p>Saat ini, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal (<em>single parent</em>). </p>
<h2>Mengkambinghitamkan orang tua yang bercerai</h2>
<p>Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/8/2/64">faktor risiko utama</a> atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.</p>
<p>Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap dikaitkan sebagai <a href="https://bestrongintl.org/programs/how-does-single-parenting-affect-education/">dampak dari perceraian orang tua</a>. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami <a href="https://www.educationnext.org/one-parent-students-leave-school-earlier/">kendala akademis dan putus sekolah lebih awal</a>.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1813049116">studi</a> menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru, mayoritas <a href="https://ifstudies.org/blog/for-getting-kids-through-college-single-parent-families-are-not-all-the-same">anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan</a> higga perguruan tinggi. Selain itu, <a href="https://phys.org/news/2019-03-divorce-effect-children-constant.html">perbedaan performa akademik siswa tidak begitu terlihat</a> antara siswa dari keluarga yang berpisah ataupun tidak. </p>
<h2>Tantangan partisipasi orang tua tunggal</h2>
<p>Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi pada pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal, mereka banyak <a href="https://repository.unib.ac.id/8758/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-den.FK.pdf">mengalami kendala</a> untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah. </p>
<p>Orang tua tunggal biasanya tergolong <a href="https://www.heritage.org/marriage-and-family/report/how-broken-families-rob-children-their-chances-future-prosperity">kelompok ekonomi lemah</a> dan rentan masuk dalam <a href="https://www.povertycenter.columbia.edu/nyc-poverty-tracker/2017/single-parent-households">kemiskinan</a>. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial maupun pengasuhan dari mantan pasangan – membuat mereka mengemban <a href="http://anale.steconomiceuoradea.ro/volume/2021/n2/018.pdf">kerentanan yang berlipat</a>. </p>
<p>Selain itu, mereka juga biasanya terkendala kurangnya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953697100831?via%3Dihub">dukungan sosial</a>.</p>
<p>Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, Asisten Rumah Tangga (ART), suster, atau <em>daycare</em> bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.</p>
<p>Sedangkan, masyarakat <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/157891">ekonomi lemah</a> biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.</p>
<p>Wajar jika <a href="https://thekeep.eiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5464&context=theses">orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah</a>, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.</p>
<h2>Stigma terhadap kelompok rentan dalam dunia pendidikan</h2>
<p>Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral – bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua maupun anaknya sebab mereka termasuk kelompok rentan. <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/sites/dc16ec77-en/index.html?itemId=/content/component/dc16ec77-en#chapter-d1e13123">Kerentanan</a> ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; sulitnya orangtua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.</p>
<p>Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal. </p>
<p>Misalnya, pada <a href="https://smeru.or.id/en/node/2181">studi diagnostik</a> bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016, sebagian informan termasuk guru acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan, motivasi belajar siswa yang rendah dianggap dampak ketidakharmonisan keluarga.</p>
<p>Pada studi kualitatif lain bersama <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">program RISE di Kota Yogyakarta</a> pada 2021, sebagian guru mengganggap berbagai permasalahan siswa seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran maupun kurang sopan selama pembelajaran dikarenakan kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.</p>
<p>Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">pandangan negatif yang melekat terhadap kelompok rentan</a>. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan <a href="https://www.educationnext.org/wp-content/uploads/2022/03/ednext_XV_2_duncan.pdf">meningkatkan kesenjangan</a> tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.</p>
<p>Apalagi, angka perceraian di Indonesia <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/kasus-perceraian-di-indonesia-melonjak-lagi-pada-2022-tertinggi-dalam-enam-tahun-terakhir#:%7E:text=Menurut%20laporan%20Statistik%20Indonesia%2C%20jumlah,tertinggi%20dalam%20enam%20tahun%20terakhir.">semakin meningkat</a> selama satu dekade terakhir, dan <a href="https://padang.viva.co.id/ragam-perkara/176-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-afrika">diklaim</a> sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk ke dalam kelompok rentan berpotensi semakin bertambah. </p>
<h2>Dukungan bagi orang tua tunggal</h2>
<p>Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah. </p>
<p>Sebuah <a href="http://www.skicharities.org/schools-support-single-parents/">lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Zimbabwe</a>, misalnya, mendorong pihak sekolah untuk memberikan fleksibilitas waktu terkait pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran terkait struktur keluarga nontradisional sehingga siswa bisa berempati dengan kondisi temannya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, kelompok dukungan seperti <a href="https://validnews.id/kultura/perempuan-perangkul-ibu-ibu-tunggal-indonesia">komunitas orang tua tunggal</a> juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.</p>
<p>Di Kanada, suatu eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (<em><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2458-10-4">support group</a></em>) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.</p>
<h2>Kebijakan berbasis komunitas</h2>
<p>Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah juga dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya adalah program <a href="https://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">Sekolah Keluarga</a> (SK) di Bukittinggi dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/32923">Jam Belajar Masyarakat</a> (JBM) di Yogyakarta.</p>
<p>Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi12NmQvtL_AhUR-DgGHbW5Bi4QFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjptam.org%2Findex.php%2Fjptam%2Farticle%2Fdownload%2F1153%2F1033%2F2310&usg=AOvVaw0ZUI3lGFmQE8qbZr5XPO4f&opi=89978449">peningkatan kualitas pengasuhan orang tua</a> serta <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj6hre7wdL_AhUp8DgGHZ_oCEgQFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjournal.student.uny.ac.id%2Fojs%2Findex.php%2Fpgsd%2Farticle%2Fdownload%2F10365%2F9922&usg=AOvVaw20QO-4Pni_FNwj545CXy4i&opi=89978449">motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua</a> dalam pendidikan anaknya. </p>
<p>Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaat.</p>
<p>Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan bahwa anaknya mengalami kendala akademis pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.</p>
<p>Sementara pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memonitor anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Akibatnya, hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan oleh tetangganya ketika ia harus bekerja.</p>
<p>Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak – terutama dari kelompok rentan – seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi “<em>it takes a village to raise a child</em>” (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).</p>
<p><a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Kolaborasi dan dukungan</a> dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya. </p>
<p>Namun, perlu dicatat bahwa meski dampak dari kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak</a>. Arah kebijakan ke depan perlu lebih <a href="https://plan-international.or.id/id/pentingnya-peran-ayah-dalam-pengasuhan/">mendorong pelibatan ayah</a> baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209527/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Risa Nihayah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Alih-alih menyalahkan orang tua tunggal dan melanggengkan stigma, masyarakat dan pemerintah perlu memberi dukungan khusus bagi mereka untuk memastikan semua anak mendapat pendidikan berkualitas.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2092262023-07-14T06:00:09Z2023-07-14T06:00:09ZMengapa diplomasi pendidikan untuk anak pekerja migran Indonesia di Malaysia penting?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/537457/original/file-20230714-29-ymm8xc.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C1%2C1024%2C573&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung Community Learning Center (CLC) di Tawau, Sabah.</span> <span class="attribution"><span class="source">Dokumentasi tim Riset Migrasi Pusat Riset Politik BRIN, 2023</span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Dinamika hubungan Indonesia dan Malaysia dari waktu ke waktu tidak dapat dilepaskan dari isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah pemberian akses dan layanan pendidikan bagi anak pekerja migran. </p>
<p>Meski muncul dalam <a href="https://setkab.go.id/en/statement-of-president-of-the-republic-of-indonesia-during-joint-press-statement-with-prime-minister-of-malaysia-at-the-seri-perdana-complex-putrajaya-malaysia-june-8-2023/">pernyataan pers Presiden Joko “Jokowi” Widodo</a> saat lawatan ke Malaysia Juni lalu, isu pendidikan ini tidak secara khusus masuk dalam <a href="https://www.antaranews.com/berita/3578016/kunjungan-jokowi-ke-seri-perdana-hasilkan-enam-mou-indonesia-malaysia">nota kesepahaman</a> yang dihasilkan dalam kunjungan tersebut.</p>
<p>Padahal, keseriusan diplomasi pendidikan antara kedua negara diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan optimalisasi upaya pemenuhan akses pendidikan anak PMI.</p>
<p>Mengapa diplomasi pendidikan perlu dan apa saja prioritas isu dalam diplomasi tersebut?</p>
<h2>Pemenuhan komitmen atas hak pendidikan anak pekerja migran</h2>
<p>Diplomasi sering kali berangkat dan didasari oleh upaya negara dalam memenuhi komitmen mereka terhadap perjanjian internasional yang diratifikasinya.</p>
<p>Dalam konteks hak anak, Indonesia dan Malaysia telah meratifikasi <a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child"><em>the United Nations Convention on the Rights of Childs</em> (CRC) tahun 1989</a>. Konvensi ini menyepakati perlindungan hak-hak dasar anak tanpa memandang status dan asal kelompok sosial mereka. CRC mewajibkan seluruh negara memberikan akses terhadap pendidikan sebagai salah satu hak dasar anak.</p>
<p>Di samping itu, kedua negara juga telah berkomitmen untuk memenuhi hak anak melalui <em><a href="https://asean.org/wp-content/uploads/2019/11/4-ASEAN-Declaration-on-the-Rights-of-Children-in-the-Context-of-Migration.pdf">ASEAN Declaration on the Rights of Children in the Context of Migration</a></em> yang Rencana Aksi Regionalnya telah disepakat sejak awal tahun 2022. </p>
<h2>Sekolah bagi anak pekerja migran</h2>
<p>Kesepakatan Indonesia-Malaysia untuk memasukkan aspek pendidikan anak PMI dalam <a href="https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9DQVJBS0ElMjBGRUJSVUFSSS0yMDE4LnBkZg=="><em>Annual Consultation</em> 2006</a> juga patut diapresiasi. Berangkat dari kesepakatan ini, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Kota Kinabalu dan Konsulat RI (KRI) Tawau sebagai perwakilan RI di Negara Bagian Sabah berinisiatif mendirikan <em>Community Learning Center (CLC)</em>. CLC <a href="https://gurudikdas.kemdikbud.go.id/news/potret-layanan-pendidikan-clc-sabah-dan-sarawak-2018-2020">diresmikan pada 2010 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta memiliki legalitas formal dari Pemerintah Malaysia sejak 2011</a>. </p>
<p>CLC yang menginduk pada Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) hadir sebagai upaya memperluas jangkauan pendidikan bagi anak-anak PMI di Sabah yang berada di lokasi dengan akses sulit seperti wilayah perkebunan/ladang sawit sehingga tidak bisa bersekolah di SIKK. Upaya tersebut semakin diperkuat dengan mendatangkan guru-guru dari Indonesia yang dibiayai oleh pemerintah Indonesia.</p>
<p>Meski upaya pemberian layanan pendidikan untuk anak-anak PMI memang masih menghadapi banyak <a href="https://theconversation.com/sulitnya-akses-pendidikan-anak-pekerja-migran-di-malaysia-apa-kendalanya-207496">kendala</a>, kesamaan kepentingan dalam pemenuhan komitmen global Indonesia dan Malaysia membuat kedua negara harusnya dapat seirama dalam mengatasi kendala tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sulitnya-akses-pendidikan-anak-pekerja-migran-di-malaysia-apa-kendalanya-207496">Sulitnya akses pendidikan anak pekerja migran di Malaysia, apa kendalanya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>.</p>
<h2>Manfaat pemenuhan pendidikan anak pekerja migran</h2>
<p>Diplomasi pendidikan bagi anak PMI antara Indonesia dan Malaysia ternyata membawa dampak yang baik bagi pemenuhan kepentingan domestik masing-masing negara. </p>
<p>Bagi Indonesia, penyediaan akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran di Sabah membantu regularisasi (keteraturan) pendataan anak-anak Indonesia yang sebelumnya tidak terdata dan <a href="https://theconversation.com/ruu-kuhp-akan-mengakibatkan-anak-anak-pekerja-migran-indonesia-di-sabah-hidup-tanpa-kewarganegaraan-94077">berisiko menjadi <em>stateless</em></a>. </p>
<p>Dalam jangka panjang, proses regularisasi anak ini juga mendorong orang tua mereka untuk lebih sadar akan pentingnya kelengkapan dokumen administrasi kewarganegaraan. Hal ini akan membantu pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia, mengurangi jumlah pekerja migran tak berdokumen, khususnya di wilayah Sabah dan Serawak. </p>
<p>Bagi Malaysia, penyediaan akses pendidikan bagi anak PMI menghindarkan perusahaan-perusahaan kelapa sawitnya dari <a href="https://sustainable-business.guide/2022/07/26/the-palm-oil-consumer-dilemma-boycott-or-buy/">boikot penjualan hasil perkebunannya</a> di pasar dunia.</p>
<p>Dengan menyediakan akses dan sarana pendidikan, perusahaan dapat memenuhi salah satu prasyarat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (<a href="https://rspo.org/">RSPO</a>) dan Malaysian Palm Oil Certification Council (<a href="https://www.mpocc.org.my/about-mspo">MSPO</a>) yang memastikan industri kelapa sawit dapat berdampak baik bagi lingkungan dan masyarakat secara berkelanjutan. Karenanya, produk dari perusahaan bersertifikasi ini boleh dipasarkan secara meluas. </p>
<p>Selain itu, wawancara kami dengan manajer dari tiga perusahaan perkebunan sawit yang berbeda mengonfirmasi bahwa dengan adanya CLC di ladang, perusahaan memiliki daya tarik yang lebih tinggi dalam merekrut tenaga kerja Indonesia yang dikenal ulet dalam bekerja. Pekerja yang telah bekerja di ladang pun menjadi lebih fokus dan loyal dalam bekerja karena tidak perlu mengkhawatirkan akses dan keberlanjutan pendidikan anak-anak mereka.</p>
<p>Berbagai manfaat dalam penyediaan akses pendidikan ini patut ditindaklanjuti dengan upaya diplomasi untuk mengoptimalkan pemenuhan pendidikan anak PMI di Malaysia. </p>
<h2>Agenda diplomasi pendidikan</h2>
<p>Ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam diplomasi pendidikan anak PMI antara Indonesia dan Malaysia. </p>
<p>Pertama, kedua negara perlu menyepakati landasan yang menjamin legalitas pendirian CLC di luar wilayah ladang. Selama ini, telah ada beberapa CLC nonladang yang beroperasi dan secara berkala dikunjungi oleh <a href="https://kemlu.go.id/tawau/id/news/203/kri-tawau-fasilitasi-tim-dari-pejabat-pendidikan-malaysia-melakukan-kegiatan-monitoring-dan-evaluasi-terhadap-sejumlah-clc-di-wilayah-kerja">Jabatan Pendidikan Malaysia (JPM)</a>. </p>
<p>Menurut hasil wawancara kami dengan beberapa pengelola CLC nonladang, sejauh ini JPM menganggap fasilitas dan proses pembelajaran di CLC nonladang cukup baik dalam penyelenggaraan pendidikan, namun mereka tetap tidak bisa memberikan izin operasional akibat belum adanya kesepakatan di level negara. </p>
<p>Tidak hanya itu, pemberian landasan hukum bagi CLC nonladang juga penting untuk mengikis kebutuhan akan adanya alternatif pendidikan nonformal lain yang pembelajarannya tidak berstandar kurikulum Indonesia sehingga menyulitkan untuk kelanjutan studi siswa.</p>
<p>Kedua, diplomasi di antara kedua negara perlu menekankan pada pentingnya bantuan dan kemudahan pengiriman guru bina dari pemerintah Indonesia ke Malaysia. Hasil wawancara kami dengan sejumlah responden memperlihatkan bahwa proses perizinan atau visa kerja bagi guru bina yang akan dikirim ke Malaysia cenderung birokratis. </p>
<p>Padahal keberadaan guru bina ini sangat krusial, tidak hanya untuk penataan manajemen dan operasional CLC tapi juga membina dan mendampingi guru pamong (guru yang direkrut lokal) dalam proses pembelajaran. </p>
<p>Ketiga, upaya diplomasi perwakilan Indonesia di Malaysia perlu diperkuat dengan mempromosikan keberadaan CLC secara lebih luas kepada pekerja Indonesia. Penguatan peran perwakilan RI di wilayah-wilayah dengan sebaran CLC yang cukup banyak, seperti di Tawau, diperlukan untuk menjangkau secara lebih luas ke ladang-ladang yang terpencil. Untuk itu, dukungan jumlah personel yang memadai di KJRI dan KRI menjadi syarat penting.</p>
<p>Penguatan diplomasi yang didasarkan prinsip berbagi tanggung jawab di antara kedua negara dalam pemberian akses pendidikan merupakan langkah utama dan paling mendasar. Langkah ini penting sebagai pembuka jalan bagi seluruh pihak untuk bekerja sama menyediakan akses pendidikan bagi seluruh anak-anak PMI di Malaysia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209226/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rizka Fiani Prabaningtyas menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Athiqah Nur Alami menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Faudzan Farhana menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tri Nuke Pudjiastuti menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) dalam skema dana Rumah Program Tahun 2023</span></em></p>Keseriusan diplomasi pendidikan antara Indonesia dan Malaysia diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan optimalisasi upaya pemenuhan akses pendidikan anak pekerja migran Indonesia.Rizka Fiani Prabaningtyas, Peneliti dalam bidang Hubungan Internasional dan Isu Migrasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Athiqah Nur Alami, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Faudzan Farhana, Peneliti (researcher), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Tri Nuke Pudjiastuti, Researcher of international migration at Research Canter for Politics (PRP-BRIN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2074962023-06-22T07:09:12Z2023-06-22T07:09:12ZSulitnya akses pendidikan anak pekerja migran di Malaysia, apa kendalanya?<p>Isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya ternyata tidak muncul satu pun dalam <a href="https://www.antaranews.com/berita/3578016/kunjungan-jokowi-ke-seri-perdana-hasilkan-enam-mou-indonesia-malaysia">enam nota kesepahaman</a> yang dihasilkan dalam lawatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke Malaysia awal Juni ini. </p>
<p>Padahal, dalam <a href="https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_dan_pm_malaysia_bahas_upaya_peningkatan_kerja_sama_indonesia_malaysia">pertemuannya</a> dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Januari lalu, Jokowi telah menekankan pentingnya akses pendidikan bagi anak-anak PMI di negara itu. </p>
<p>Meskipun telah terdapat beberapa layanan pendidikan yang tersedia bagi anak-anak PMI di Malaysia, <a href="https://ipsh.brin.go.id/wp-content/uploads/2022/12/CfRC-OR-IPSH-2023_221205_090341.pdf">temuan sementara riset lapangan</a> kami di Kota Tawau, Sabah, yang kami lakukan pada 25-30 Mei 2023 mengungkap masih terdapat sejumlah kendala dalam akses dan layanan pendidikan yang perlu menjadi perhatian kita bersama.</p>
<h2>Akses pendidikan bagi anak pekerja migran</h2>
<p>Anak-anak PMI di Malaysia secara umum, terlepas dari <a href="https://digitallibrary.un.org/record/651615?ln=en#record-files-collapse-header">status legalitasnya</a>, masih mengalami keterbatasan akses pendidikan karena <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0286793">kebijakan pendidikan yang restriktif terhadap anak non-warga negara Malaysia</a>. Hal ini terutama dalam mengakses pendidikan umum di sekolah negeri/kerajaan. </p>
<p>Menyikapi hal tersebut, kedua negara menyepakati komitmen dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak-anak warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia melalui <a href="https://kemlu.go.id/download/L1NoYXJlZCUyMERvY3VtZW50cy9DQVJBS0ElMjBGRUJSVUFSSS0yMDE4LnBkZg==">Joint Statement</a> Annual Consultations. Perjanjian ini disepakati langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Haji Ahmad Badawi pada Januari 2006. </p>
<p>Pernyataan bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan sejumlah pertemuan bilateral. Pemerintah Malaysia akhirnya secara resmi melegalkan pendirian <a href="https://kemlu.go.id/kotakinabalu/id/pages/sikk/715/information-sheet">Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK)</a> pada 2008, sementara Pemerintah Indonesia mendirikan <a href="https://kemlu.go.id/kotakinabalu/en/news/4435">Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (<em>Community Learning Center/CLC</em>)</a> pada 2011. Sekolah dan pusat kegiatan belajar ini disediakan khusus untuk anak-anak berkewarganegaraan Indonesia yang orang tuanya bekerja di sektor perkebunan atau ladang sawit di Sabah dan Serawak.</p>
<p>Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan layanan pendidikan bagi anak-anak PMI, pertumbuhan CLC semakin pesat. <a href="https://silnkotakinabalu.sch.id/community-learning-center-clc/">Berdasarkan data dari SIKK</a>, sampai dengan Desember 2022 telah terdapat 409 CLC, yang terdiri dari 211 CLC jenjang SD dan 198 CLC tingkat SMP, dengan total siswa sebanyak 18.787 orang. </p>
<p>Dalam perkembangannya, CLC tidak hanya berlokasi di ladang dan kebun, tapi juga di luar ladang, seperti di wilayah Bandar (kota) maupun kompleks pemukiman penduduk, yang dikenal dengan istilah CLC non-ladang. Perusahaan memfasilitasi pendirian dan operasional CLC di ladang, sementara yang non-ladang biasanya diinisiasi oleh masyarakat atau organisasi sosial/keagamaan.</p>
<h2>Kendala dalam akses pendidikan</h2>
<p>Walaupun sudah dibangun sejumlah CLC bagi anak-anak PMI, hasil wawancara dengan narasumber kami – 12 PMI dan 20 anak dari PMI, 2 perusahaan perkebunan sawit, pengelola di 8 CLC ladang dan non-ladang, serta Konsulat Republik Indonesia di Tawau – menemukan bahwa masih terdapat beberapa kendala dalam penyediaan akses pendidikan.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, terkait dengan kelengkapan dokumen kependudukan anak. Kebanyakan anak-anak PMI di Malaysia tidak memiliki atau tidak membawa dokumen kependudukan, seperti Akte Kelahiran dan Paspor. Ini karena status orang tua mereka yang sebagian besar merupakan PMI tidak berdokumen ketika bekerja di Malaysia. Ketiadaan dokumen ini kemudian menjadi salah satu hambatan dalam proses pendaftaran anak-anak di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), sehingga pengelolaan CLC tidak bisa optimal. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, belum meratanya layanan CLC diberikan di seluruh ladang. Artinya, tidak semua perusahaan memiliki komitmen yang sama untuk memfasilitasi layanan pendidikan bagi anak-anak pekerjanya, mengingat perlu investasi modal yang tidak sedikit. </p>
<p>Padahal, penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan di ladang sebenarnya merupakan <a href="https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/Palm%20Oil%20Certification%20Standards_lowres_spreads.pdf">salah satu kriteria penilaian berbagai sertifikasi</a> yang diperlukan perusahaan untuk menjual hasil ladangnya ke pasar Uni Eropa.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, belum adanya standar minimum penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendukung dalam penyelenggaraan pendidikan di CLC ladang.</p>
<p>Ada perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas gedung dan sarana dan prasarana yang memadai, layaknya sekolah-sekolah di Indonesia. Namun, masih banyak pula yang sekadar memberikan ruangan beratap sebagai ruang kelas. Dengan kata lain, kualitas sarana prasarana masih bergantung pada kemampuan, kemauan, dan komitmen perusahaan dalam menyediakannya. </p>
<p><strong>Keempat</strong> CLC non-ladang masih mengalami kendala dalam memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dari pemerintah Malaysia, berbeda dengan penyelenggaran CLC di ladang yang umumnya memiliki izin operasional resmi. Ketiadaan izin untuk beroperasi ini membuat eksistensi dan keberlanjutan CLC non-ladang menjadi tidak pasti.</p>
<p><strong>Kelima</strong>, belum memadainya kuantitas dan kualitas tenaga pengajar baik guru bina maupun guru pamong. Guru bina yaitu guru yang dikirim oleh pemerintah Indonesia dan guru pamong yaitu guru yang berasal dari tenaga lokal baik warga negara Indonesia maupun warga negara Malaysia.</p>
<p><a href="https://ditsmp.kemdikbud.go.id/realisasi-pendidikan-bagi-anak-pekerja-migran-melalui-clc-di-malaysia/">Sampai dengan Januari 2021</a>, guru bina aktif yang berada di CLC dan Tempat Kegiatan Belajar (TKB) di Sabah dan Serawak berjumlah 226 orang, sementara jumlah guru pamong mencapai 544 orang. </p>
<p>Secara kuantitas, jumlah tersebut belum memadai untuk memberikan layanan pendidikan bagi sekitar 13.000 anak didik yang tersebar di lebih dari 400 CLC SD dan SMP. Idealnya, terdapat satu hingga dua orang guru bina di setiap CLC dengan komposisi guru dan murid minimal 1:3. </p>
<p>Berdasarkan hasil temuan kami, saat ini seorang guru bina harus mengampu lebih dari satu CLC dan turut mengajar berbagai mata pelajaran di jenjang pendidikan yang berbeda. Rekrutmen guru bina dari Indonesia yang belum berkelanjutan juga menambah keterbatasan jumlah tenaga pengajar di CLC. </p>
<p>Selain itu, kebanyakan guru pamong adalah warga lokal yang rawan mengalami kendala perbedaan bahasa dalam menyampaikan pelajaran dengan kurikulum Indonesia serta tidak memiliki standar kualifikasi yang sama dengan guru bina.</p>
<p><strong>Keenam</strong>, masih banyaknya alternatif pusat pembelajaran swasta beroperasi di wilayah non-ladang yang menyediakan pembelajaran non-formal dan belum disesuaikan dengan standar pembelajaran yang dapat disetarakan. </p>
<p>Akibatnya, siswa di pusat pembelajaran ini biasanya tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tetap harus mengikuti sistem Kejar Paket untuk bisa memperoleh ijazah. </p>
<p>Dengan adanya CLC yang memberikan pembelajaran sesuai dengan standar dan kurikulum Indonesia, seharusnya keberadaan pusat pembelajaran swasta ini tidak lagi menjadi pilihan bagi anak-anak PMI jika keberlanjutan studi di Indonesia menjadi pertimbangan utama. </p>
<p>Pada akhirnya, penyediaan layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia memang menjadi tanggung jawab banyak pihak, tidak hanya pemerintah kedua negara tapi juga dari pihak perusahaan yang mempekerjakan PMI, organisasi kemasyarakatan, masyarakat lokal (tempatan), dan orangtua.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207496/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Athiqah Nur Alami menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Faudzan Farhana menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rizka Fiani Prabaningtyas menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Tri Nuke Pudjiastuti menerima dana dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) - BRIN dalam skema Rumah Program tahun 2023.</span></em></p>Akses pendidikan bagi anak-anak pekerja migran Indonesia di Malaysia tampaknya belum menjadi salah satu fokus utama dalam nota kesepahaman Indonesia-Malaysia.Athiqah Nur Alami, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Faudzan Farhana, Peneliti (researcher), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Rizka Fiani Prabaningtyas, Peneliti dalam bidang Hubungan Internasional dan Isu Migrasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Tri Nuke Pudjiastuti, Researcher, Research Centre for Politics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2055892023-06-05T09:39:51Z2023-06-05T09:39:51ZMempertanyakan ‘student-centered learning’: mengapa memusatkan pembelajaran pada siswa tidak selalu efektif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/530039/original/file-20230605-23-ptwj4h.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teachers-1435670357">(Arief Akbar/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Pada 2022, Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadiem Makarim merilis <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/luncurkan-kurikulum-merdeka-mendikbudristek-ini-lebih-fleksibel">Kurikulum Merdeka Belajar</a> yang salah satu ciri utamanya adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, atau “<em>student-centered learning</em>”. Pendekatannya, misalnya, adalah dengan <a href="https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/kurikulum-prototipe-utamakan-pembelajaran-berbasis-proyek">pembelajaran berbasis projek</a> yang dilakukan para murid.</p>
<p>Model pembelajaran ini digadang memiliki segudang manfaat yang mampu membuat peserta didik menjawab tantangan nyata di tengah kompetisi <a href="https://bbppmpvboe.kemdikbud.go.id/bbppmpvboe/berita/detail/kurikulum-merdeka-dan-pbl-relevan-dengan-tantangan-riil">pasar kerja dan industri</a>.</p>
<p>Benarkah demikian?</p>
<p>Meskipun riset menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis projek terbilang ampuh ketika diterapkan pada tingkat <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1075291">pendidikan tinggi</a>, hal yang sama belum tentu berlaku ketika diterapkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah, terutama <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">sekolah dasar (SD)</a>.</p>
<p>Kanada, negara yang langganan peringkat 10 besar pada tes global <em>Program of International Student Assessment</em> (PISA), misalnya, adalah salah satu <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">bukti empiris</a> bagaimana peralihan dari metode klasik ke <em>student-centered learning</em> yang kurang tepat dapat berdampak buruk.</p>
<p>Kajian dari lembaga riset C. D. Howe Institute di Kanada menemukan bahwa seiring penerapan kebijakan pembelajaran yang berpusat pada siswa – pendekatan yang kian populer di Amerika Utara – capaian murid-murid Kanada pada mata pelajaran matematika <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">turun signifikan antara tahun 2003-2012</a>.</p>
<p>Pelajaran apa yang bisa diambil oleh Indonesia?</p>
<h2>Kurang ideal untuk pembelajar pemula</h2>
<p>Pada dasarnya, pembelajaran berbasis projek – yang mendorong murid untuk memperdalam dan menyintesis informasi yang mereka dapatkan melalui projek individu atau kelompok – belum tentu efektif membantu murid menguasai konsep baru, ketimbang jika melalui pengarahan guru.</p>
<p>Alasan utamanaya adalah karena pembelajar pemula – umumnya belum memiliki pengetahuan spesifik atas suatu topik, seperti murid SD dan SMP – punya keterampilan pengaturan diri (<em>self-regulation skills</em>), pengetahuan awal (<em>prior knowledge</em>), dan keterampilan bekerja dalam kelompok (<em>group working skills</em>) yang <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0249627">masih terbatas</a>.</p>
<p>Padahal, mereka sangat butuh berbagai keterampilan ini untuk melancarkan proses pembelajaran berbasis projek. Model pembelajaran ini, misalnya, penuh dengan aktivitas mendiskusikan ide, mempertimbangkan alternatif berbeda atau berbagai sudut pandang yang sulit dilakukan pembelajar tingkat awal.</p>
<p>Belum lagi, <a href="https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty">tingginya kesenjangan ekonomi</a> yang terjadi di Indonesia semakin memperparah hal ini.</p>
<p>Berbagai riset menunjukkan bahwa status sosioekonomi orang tua memainkan peranan besar dalam proses pendidikan anak. Anak-anak dari kelompok <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042812040414">privilese ekonomi tinggi</a> akan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis yang lebih baik dibanding teman sebayanya dari kelompok ekonomi berbeda. Sebab, mereka lebih memiliki <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781351018142-3/cultural-reproduction-social-reproduction-pierre-bourdieu">akses</a> ke modal struktural seperti sekolah unggulan, hingga modal kultural dan intelektual seperti akses ke bahan bacaan dan museum.</p>
<p>Kondisi guru pun juga sangat menentukan kesuksesan penerapan model pembelajaran berbasis projek di kelas.</p>
<p>Dengan <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/11/23/nasib-guru-honerer-mereka-bertahan-meski-diupah-murah">himpitan ekonomi</a> yang menjerat para guru di Indonesia, bukan hal yang mengejutkan jika kita mendapati <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/03/04/kualitas-sebagian-guru-masih-rendah-hasil-pendidikan-belum-merata">kompetensi guru</a> di Indonesia terbilang rendah. Riset menunjukkan bahwa ketika guru dibayar rendah, maka <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0165176597000700">kualitas pendidikan yang mereka hasilkan cenderung lebih buruk</a>.</p>
<p>Sebagai gambaran, berdasarkan obrolan informal saya dengan guru swasta tingkat SMP di Kota Medan, sekolah bahkan hanya memberikan upah sebesar Rp 22.000 per jam pelajaran, atau dengan beban 24 jam pelajaran, maka upah bulanan yang diperoleh hanya Rp 528.000. Mereka kerap mencari pemasukan alternatif seperti menjadi <a href="https://suar.grid.id/read/201809275/kisah-guru-honorer-yang-nyambi-jadi-ojek-online-untuk-menyambung-hidup-sempat-digaji-rp-50-ribu-per-bulan-di-sekolah?page=all">pengemudi ojol</a>, hingga <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/08/09/06000011/cerita-elivina-guru-bergaji-rp-200.000-berjualan-dan-memikul-kemiri-jalan?page=all">berjualan</a>, sehingga memecah konsentrasi.</p>
<p>Mengingat faktor-faktor di atas, termasuk tingkat usia murid yang belum siap menerapkan pembelajaran berbasis proyek, kesenjangan ekonomi para siswa, dan buruknya ekonomi guru yang berimbas pada kualitas mereka, penerapan pembelajaran berbasis projek harus kita pertanyakan kembali.</p>
<p>Laporan dari C. D. Howe Institute di atas menunjukkan bahwa para murid usia 15 tahun (mulai tingkat SMP) yang menjalani pembelajaran berorientasi murid di berbagai daerah di Kanada justru mengalami penurunan skor matematika – bahkan <a href="https://www.cdhowe.org/sites/default/files/attachments/research_papers/mixed/commentary_427.pdf">hingga 26 poin</a> – selama sekitar 2003-2012 pada tes-tes global.</p>
<p>Asosiasi negatif ini secara statistik cukup signifikan, dan konsisten pada <a href="https://data.oecd.org/pisa/mathematics-performance-pisa.htm">banyak negara yang berpartisipasi</a>, bahkan negara-negara yang menjadi langganan top 15 tes PISA, termasuk Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru. Atas dasar tersebut, banyak negara <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/how-teachers-teach-and-students-learn_5jm29kpt0xxx-en">menguatkan pembelajaran yang berpusat pada guru</a> – setidaknya untuk usia SD dan SMP.</p>
<h2>Pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan</h2>
<p>Pembelajaran yang berpusat pada siswa, termasuk yang berbasis projek, memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, kita juga perlu memahami bahwa pembelajaran yang berpusat pada guru sesungguhnya juga masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu justru lebih baik.</p>
<p>Menurut profesor kepemimpinan pendidikan dari Amerika Serikat (AS), Richard Arends, dalam bukunya “<a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/7117965"><em>Learning to Teach</em></a>” – teks yang kerap jadi bacaan wajib mahasiswa S1 di jurusan pendidikan – tidak ada model pembelajaran yang mutlak lebih baik dibandingkan yang lainnya.</p>
<p>Pembelajaran berbasis projek, yang tergolong sebagai model pembelajaran berpusat pada siswa, tentu saja punya <a href="https://www.opencolleges.edu.au/informed/features/project-based-learning-a-real-world-solution/">kelebihan</a>.</p>
<p>Kelebihan utamanya adalah penerapan masalah yang bersifat dunia nyata, terciptanya kolaborasi dan kerja sama, dan melatih kemampuan pemecahan masalah. Akan tetapi, model ini pun memiliki <a href="https://atutor.ca/pros-and-cons-of-project-based-learning/">kekurangan</a>, seperti pengelolaan waktu dan sumber daya yang kompleks sehingga menjadi tantangan bagi siswa dan guru hingga sulitnya proses evaluasi.</p>
<p>Sebaliknya, model pembelajaran yang berpusat pada guru memang memiliki beberapa kekurangan, seperti keterlibatan siswa yang terkadang terbatas dan kurangnya otonomi siswa.</p>
<p>Namun, di sisi lain, ia punya <a href="https://www.goodreads.com/book/show/7117965-learning-to-teach">kelebihan</a>, utamanya pengendalian guru terhadap seluruh proses pengajaran yang ideal untuk konteks pembelajar di jenjang-jenjang awal. Guru pemula pun dapat menerapkan model ini dengan cukup mudah dan efisien waktu.</p>
<p>Oleh karena itu, pemilihannya tergantung pada jenjang dan kondisi peserta didik, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, hingga kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran. </p>
<h2>Solusi pendidikan Indonesia bukanlah perombakan total model pembelajaran</h2>
<p>Alih-alih sibuk mengotak-atik model pembelajaran di kelas secara total, menurut saya pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menunda dulu penerapan pembelajaran berbasis projek hingga setidaknya jenjang SMA.</p>
<p>Namun, selain itu, ada juga beberapa rekomendasi agar peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dapat tercapai.</p>
<p>Yang utama, Indonesia wajib memperbaiki kesejahteraan para gurunya terlebih dahulu.</p>
<p>Negara-negara yang memiliki performa baik pada tes PISA memiliki satu kesamaan – guru di sana merupakan <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/29550728">profesi yang bergengsi dan dibayar mahal</a>. Hal ini berguna untuk menarik talenta-talenta terbaik bangsa untuk mau berkuliah di jurusan pendidikan, dan bersaing secara sehat untuk menjadi guru.</p>
<p>Jika upah guru bahkan <a href="https://www.merdeka.com/jatim/usul-gaji-guru-swasta-2023-naik-jadi-rp500-ribu-bupati-malang-ungkap-ini.html">tidak sampai Rp 600.000,-</a> per bulan, talenta mana yang mau berkecimpung di profesi ini?</p>
<p>Selain itu, pemerataan kesempatan pendidikan dan program pengentasan kemiskinan juga krusial. </p>
<p>Solusi negara tidak bisa hanya selesai pada membuat sekolah menjadi <a href="https://projectmultatuli.org/tumbal-sekolah-gratis-di-jawa-barat-memiskinkan-guru-menyusahkan-orangtua-merugikan-peserta-didik/">berbiaya rendah atau gratis</a>, tetapi juga perlu <a href="https://theconversation.com/berebut-bangku-pendidikan-kenapa-sekolah-swasta-tak-seharusnya-menjadi-jawaban-dari-masalah-sekolah-negeri-206324">memeratakan kualitas sekolah publik</a> hingga memerhatikan keadaan murid ketika mereka berada di luar sekolah.</p>
<p>Faktanya, kemampuan belajar anak Indonesia yang rendah juga disebabkan keseharian mereka yang menghambat pembelajaran di sekolah, misalnya harus turut <a href="https://projectmultatuli.org/underprivileged-gen-z-kampung-kota-jakarta-putus-sekolah-jadi-pekerja-anak-dan-penanggung-hidup-keluarga/">membanting tulang membantu keluarga</a>. </p>
<p>Tentu, visi <em>student-centered learning</em> yang dibawa Kemdikbudristek berangkat dari niat baik untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Namun, niat yang tulus dan kebijakan yang efektif adalah dua hal yang berbeda.</p>
<p>Jangan sampai Indonesia bersikap latah – hanya karena melihat sesuatu yang tampak lebih canggih seperti <em>student-centered learning</em>, maka berbondong-bondong untuk meninggalkan apa saja yang dianggap usang, tanpa mempertimbangkan konteks lokal.</p>
<p>Mungkin, kita harus merenungkan ungkapan teoretikus pendidikan Brazil, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/104946">Paulo Freire</a>:</p>
<blockquote>
<p>Kita memiliki metode untuk mendekatkan konten, metode yang mampu membuat kita lebih dekat dengan siswa. Namun, beberapa metode tersebut justru dapat mendorong kita menjadi lebih jauh dari siswa.</p>
</blockquote><img src="https://counter.theconversation.com/content/205589/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Reza Aditia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pembelajaran berbasis projek memang terdengar lebih keren dan progresif. Namun, pembelajaran yang berpusat pada guru masih relevan pada abad ke-21, bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi lebih baik.Reza Aditia, Pengajar dan peneliti bidang pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sumatera UtaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2063242023-06-02T13:34:58Z2023-06-02T13:34:58ZBerebut bangku pendidikan: kenapa sekolah swasta tak seharusnya menjadi jawaban dari masalah sekolah negeri<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/529756/original/file-20230602-27-rvxpbm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bogor-indonesia-november-24th-2022-children-2231583851">(Benno Putro/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p><em>“Sekolah bukan saja soal ilmu. Orang tua harus cari sekolah yang bisa mendukung jejaring sosial anak-anak!”</em></p>
<p><em>“Untuk SD-SMP, masuk swasta aja supaya anak bisa dapat fondasi yang kuat!”</em></p>
<p><em>“Orang tua jangan lupa nabung, biaya sekolah anak semakin mahal!”</em></p>
<p>Seruan di atas serta <em>tips</em> tentang <a href="https://id.theasianparent.com/tips-merencanakan-biaya-pendidikan-anak">perencanaan keuangan</a> untuk sekolah anak marak muncul di masyarakat, apalagi menjelang tahun ajaran baru sekolah. </p>
<p>Fenomena seperti ini bisa dipahami karena sekolah memang bukan saja tempat belajar, tapi juga tempat di mana <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/reproduction-in-education-society-and-culture/book203162">kelas sosial direproduksi</a>. Sekolah bergengsi menjadi tempat bagi kelompok menengah ke atas untuk <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691156231/privilege">mengamankan posisi kelas sosialnya</a>, sekaligus membedakan posisi mereka dengan keluarga lain yang kondisi ekonominya lebih terbatas. </p>
<p>Akibatnya, pilihan orang tua untuk mengirimkan anaknya ke sekolah swasta bergengsi seakan mengandung unsur moral.</p>
<p>Orang tua, misalnya, mengambil pilihan tersebut untuk memberikan kesempatan yang terbaik untuk anaknya.</p>
<p>Meskipun tidak selalu memiliki kualitas luaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah publik, <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2022/10/11/115136771/serba-serbi-perbedaan-sekolah-swasta-dan-negeri?page=all">umumnya sekolah swasta bergengsi</a> punya fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung potensi anak, serta perbandingan jumlah siswa dan guru yang lebih sedikit sehingga pembelajaran bisa lebih efektif.</p>
<p>Selain itu, pilihan orang tua untuk mengirimkan anak ke sekolah swasta bisa jadi juga dilakukan dengan dalih memberikan kesempatan bagi keluarga lain, khususnya dari kelas <a href="https://republika.co.id/berita/qdcnj4291/pengamat-sekolah-negeri-seharusnya-untuk-orang-miskin">menengah ke bawah untuk mengakses pendidikan di sekolah publik</a> yang lebih terjangkau dibandingkan sekolah swasta bergengsi. Alasan ini bisa dimengerti karena jumlah sekolah negeri memang relatif terbatas, <a href="https://metro.tempo.co/read/1359431/kpai-jumlah-sekolah-negeri-di-dki-jomplang-harus-ditambah">bahkan di kota besar</a>. </p>
<p>Artinya, fenomena mengirimkan anak ke sekolah swasta cenderung menggambarkan <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674063860">pendidikan sebagai barang privat</a>.</p>
<p>Dalam perspektif ini, pendidikan semata-mata adalah investasi keluarga untuk masa depan anaknya. Di sini, mekanisme pasar bekerja – makin sejahtera keluarga, makin besar kemungkinan anak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Terbatasnya dan kurang meratanya sekolah yang berkualitas mengharuskan orang tua, bahkan dari sesama kelas menengah ke atas, untuk berkompetisi agar bisa berinvestasi di tempat yang tepat.</p>
<p>Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan bagaimana fenomena ini bertentangan dengan filosofi <a href="https://theconversation.com/education-is-a-public-good-not-a-private-commodity-31408">pendidikan sebagai barang publik</a>, serta komitmen negara untuk mendorong masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Pendidikan berkualitas perlu kita posisikan sebagai hak yang perlu didorong dan dibiayai sama-sama oleh publik melalui pajak, bukan sekadar tanggung jawab keluarga yang memiliki anak.</p>
<h2>Mengapa pemilihan sekolah itu bias</h2>
<p>Pemilihan sekolah (<em>school choice</em>), kerap dianggap seolah sebagai fenomena yang netral. Meskipun <em>school choice</em> terlihat “membebaskan” di mana keluarga bisa menyekolahkan anaknya, perlu diingat bahwa <a href="https://doi.org/10.1080/0965975940020102">kebebasan ini tidak terdistribusi secara merata</a> ke seluruh keluarga dari kelas ekonomi berbeda. </p>
<p>Untuk bisa benar-benar bebas dalam memilih sekolah anak, orang tua tidak hanya butuh sumber daya finansial, melainkan juga sumber daya kultural.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/529757/original/file-20230602-27-f0yyed.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat <em>school choice</em> cenderung tidak adil.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/yogyakartaindonesia-march-13-2023-during-school-2274138329">(Dheni P Hadi/Shutterstock)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sumber daya finansial membuat orang tua mampu mencukupi kebutuhan anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang baik, misalnya mengirimkan anak ke les tambahan dan bersekolah di institusi bergengsi. Sementara, sumber daya kultural seperti pengetahuan tentang sekolah bergengsi dan sistem seleksi masuk sekolah yang kompleks, meningkatkan kemampuan orang tua untuk ikut berkompetisi mendapatkan sekolah bergengsi untuk anaknya. </p>
<p>Timpangnya sumber daya antara orang tua di kelompok ekonomi yang berbeda membuat <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0305498970230108"><em>school choice</em> cenderung tidak adil</a>.</p>
<p>Di Inggris, misalnya, <a href="https://repec-cepeo.ucl.ac.uk/cepeob/cepeobn3.pdf">studi</a> menunjukkan bahwa anak-anak miskin yang mampu secara akademik pun tetap tidak memilih untuk belajar di sekolah yang lebih bergengsi. Ini bisa karena keterbatasan sumber daya, tapi bisa juga karena <a href="https://doi.org/10.1080/0954896042000267161">perasaan kurang berhak</a> untuk bergabung dengan institusi bergengsi yang didominasi anak-anak dari ekonomi mampu – <a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674976894">bahkan jika mereka mendapat bantuan</a>, termasuk bantuan dana.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/pentingnya-menghapus-bias-kelas-dalam-penerimaan-murid-baru-dengan-sistem-zonasi-142151">Kebijakan masuk sekolah tanpa seleksi akademik</a> – seperti dalam sistem zonasi – bisa menekan faktor keluarga dalam pemilihan sekolah anak. Ini kemudian bisa mengurangi peran sekolah sebagai tempat reproduksi kelas sosial.</p>
<p>Sayangnya, di Indonesia, hingga enam tahun implementasinya, kebijakan tersebut lebih fokus meratakan sisi permintaan (murid yang masuk), ketimbang sisi suplai pendidikan (pemerataan kualitas sekolah). Tak heran jika masih banyak pihak yang <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/12/30/masalah-penerimaan-peserta-didik-baru-tak-kunjung-selesai">menanyakan efektivitas kebijakan zonasi</a>.</p>
<h2>Juga merugikan kelompok menengah</h2>
<p>Meskipun terlihat menguntungkan kelas menengah, memposisikan pendidikan sebagai barang privat bisa juga merugikan mereka.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, mengirimkan anak ke sekolah bergengsi <a href="https://id.theasianparent.com/biaya-sd-swasta-di-jakarta">membutuhkan sumber daya finansial</a> yang tidak sedikit.</p>
<p>Keluarga kelas menengah tidak lagi bisa berharap pada <em>single income</em> (satu sumber pendapatan saja) untuk memastikan anak-anak mereka bisa belajar di sekolah berkualitas. Kedua orang tua bekerja bukan lagi jadi pilihan, namun menjadi keharusan di tengah tuntutan kebutuhan sekolah anak.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, tidak seimbangnya jumlah sekolah berkualitas dengan kebutuhan yang ada membuat kompetisi untuk mendapatkan sekolah, yang sebenarnya adalah hak, menjadi semakin sengit dan kompleks.</p>
<p>Tidak jarang, misalnya, orang tua harus mendaftarkan anaknya jauh hari sebelum tahun ajaran baru dimulai. Tentu kondisi ini menguras waktu dan emosi orang tua, <a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">khususnya ibu</a>, yang biasanya mengemban tuntutan yang berat sebelah untuk menjalankan tugas-tugas pendampingan sekolah anak.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, anak-anak kelas menengah juga berpotensi kehilangan manfaat dari pertemanan lintas kelas ekonomi.</p>
<p>Di Indonesia, <a href="https://www.researchgate.net/publication/330092055_Ketimpangan_Mutu_dan_Akses_Pendidikan_di_Indonesia_Potret_Berdasarkan_Survei_PISA_2015">studi</a> menunjukkan bahwa sekolah cenderung memunculkan segregasi siswa dari kelas ekonomi berbeda. Artinya, anak-anak dari ekonomi mampu belajar di tempat berbeda dengan anak-anak dari ekonomi kurang mampu.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.economist.com/graphic-detail/2022/08/11/friendship-across-class-lines-may-boost-social-mobility-and-decrease-poverty">riset</a> di AS menunjukkan bahwa anak-anak dari ekonomi menengah ke bawah mendapatkan manfaat sosial dari pertemanan dengan anak-anak yang secara ekonomi lebih baik dari mereka. Lingkungan sosial yang seperti itu memberikan kesempatan kepada anak-anak miskin untuk memperoleh pengetahuan kultural serta keterampilan demi mendorong mobilitas sosial. </p>
<p>Sebaliknya, belajar di sekolah bergengsi bisa menumbuhkan <a href="https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2021/04/private-schools-are-indefensible/618078/">perasaan lebih berhak</a> dibandingkan kelompok lain. Homogenitas, terutama secara kelas ekonomi, rentan membuat anak menjadi kurang empatik dengan kondisi sekitar, sekaligus percaya dengan <a href="https://theconversation.com/inequality-is-getting-worse-but-fewer-people-than-ever-are-aware-of-it-76642">mitos-mitos meritokrasi</a> – bahwa kesuksesan seolah buah dari bakat dan kerja keras semata.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1664188527851233280"}"></div></p>
<p>Baru-baru ini, misalnya, <a href="https://www.theguardian.com/education/2023/apr/08/going-to-private-school-makes-you-twice-as-likely-to-vote-tory-study-finds">riset</a> di Inggris menunjukkan bahwa alumni sekolah swasta merupakan penyumbang suara untuk partai konservatif yang cenderung menentang kebijakan pemerataan untuk kelompok rentan.</p>
<h2>Menghidupkan kembali sekolah publik</h2>
<p>Pada akhirnya, memposisikan pendidikan sebagai barang privat mengancam keberlangsungan sekolah publik. Terbatasnya kualitas sekolah publik, apalagi jika dibandingkan dengan swasta bergengsi, membuat orang tua kelas menengah tidak lagi tertarik dengan sekolah publik.</p>
<p>Jika kelas menengah angkat kaki dari sekolah publik, ini tak hanya membuat fasilitas publik kehilangan aset kultural yang dimiliki kelas menengah, melainkan juga dukungan masyarakat untuk perbaikan dan perluasan fasilitas publik.</p>
<p>Padahal, ada banyak model bagaimana keluarga lintas kelompok ekonomi bisa bahu membahu mewujudkan inklusivitas jika berada di sekolah yang sama.</p>
<p>Studi di AS menunjukkan kehadiran orang tua kelas menengah di sekolah publik berpotensi <a href="http://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">mendorong keadilan</a> untuk semua siswa. Posisi ekonomi dan sosial mereka yang kuat bisa mendorong advokasi kebijakan sekolah, termasuk untuk anak-anak lain yang orang tuanya punya keterbatasan pengalaman pendidikan. Hal yang sama juga terjadi di Yogyakarta melalui <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">paguyuban orang tua</a> murid di berbagai sekolah.</p>
<p>Tapi, ini juga merupakan tuntutan mendesak bagi negara untuk segera memperluas akses dan kualitas sekolah publik di Indonesia. Tanpanya, pendidikan akan selamanya menjadi “<em>zero-sum game</em>” – di tengah bangku sekolah publik berkualitas yang terbatas, orang tua kaya dan miskin akan dipaksa berebut akses.</p>
<p>Semua orang tua pasti ingin pendidikan terbaik untuk anaknya. Ketika pendidikan masih terbatas dan tidak merata, pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak ke sekolah bergengsi bisa dipahami. Apalagi jika <a href="https://www.theatlantic.com/education/archive/2016/08/a-public-school-paradox/495227/">pemangku kepentingan</a> pun belum tentu percaya pada kualitas pendidikan sekolah publik yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.</p>
<p>Jika yang punya sumber daya bisa lari dari sekolah publik, ke mana anak-anak kurang mampu bisa melarikan diri?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206324/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Fenomena mengirimkan anak ke sekolah swasta cenderung menggambarkan pendidikan seolah sebagai barang privat. Mengapa ini keliru?Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035282023-05-25T09:34:55Z2023-05-25T09:34:55ZBagaimana aksi kolektif orang tua bisa dorong sekolah menghasilkan kebijakan berkualitas untuk semua siswa: belajar dari Yogyakarta<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/528209/original/file-20230525-23-dtwlb9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Di tengah capaian pendidikan Indonesia yang stagnan – <a href="https://theconversation.com/naik-kelas-tapi-tak-belajar-penelitian-ungkap-3-capaian-buruk-terkait-pendidikan-di-indonesia-sejak-tahun-2000-164408">bahkan menurun</a> – selama setidaknya dua dekade terakhir, orang tua pun kini dituntut untuk turut membantu sekolah dan pemerintah mendongkrak pembelajaran siswa. Sayangnya, mereka belum dilibatkan secara bermakna dan diberikan ruang untuk menyuarakan aspirasi terkait kebijakan pendidikan, baik di level nasional, lokal, maupun sekolah.</p>
<p>Salah satu contoh belum lama ini, misalnya, adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230301180755-20-919509/protes-orang-tua-murid-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt">pengabaian protes orangtua</a> dalam perumusan dan pelaksanaan <a href="https://theconversation.com/masuk-kelas-jam-5-pagi-kebijakan-yang-mengabaikan-riset-tentang-jam-tidur-layak-remaja-dan-jadwal-sekolah-yang-ideal-200847">kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi</a> di Nusa Tenggara Timur (NTT). </p>
<p>Sebelumnya, <a href="https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/537441468042883853/implementation-of-school-based-management-in-indonesia">survei Bank Dunia</a> pada 2012 menunjukkan orang tua – melalui komite sekolah – cenderung belum berpengaruh pada berbagai pengambilan keputusan di sekolah. Kami juga menemukan bahwa sekolah dan Dinas Pendidikan merasa lebih berkewajiban <a href="https://riseprogramme.org/publications/power-and-learning-district-heads-bureaucracy-and-education-policies-indonesias">menjalankan tuntutan kepala daerah</a> dibandingkan masukan orang tua.</p>
<p>Hal ini menggambarkan keterlibatan orang tua di Indonesia masih bersifat <em>tokenistic</em> (sekadar formalitas) dan parsial (belum dilibatkan sepenuhnya). </p>
<p>Menariknya, di tengah kondisi tersebut, <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">studi etnografi yang pernah kami lakukan</a> lewat program <em>Research on Improving Systems of Education (RISE)</em> menunjukkan secercah harapan dari Kota Yogyakarta. Pada tiga sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang kami amati – baik yang didominasi murid ekonomi rendah atau yang berperforma akademik tinggi – banyak orang tua terlibat secara kolektif dalam kebijakan sekolah melalui wadah yang disebut Paguyuban Orang Tua (PO).</p>
<p>Lewat forum ini, orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.</p>
<h2>Potret partisipasi orang tua di Yogyakarta</h2>
<p>Dibandingkan daerah lain di Indonesia, Yogyakarta merupakan daerah yang unggul dalam pendidikan. Hasil asesmen pembelajaran dalam aspek seperti <a href="https://www.liputan6.com/regional/read/5225924/warga-yogyakarta-paling-rajin-membaca-apa-rahasianya">literasi</a>, maupun laporan internasional seperti <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/07/13524501/skor-pisa-melorot-disparitas-dan-mutu-guru-penyebab-utama?page=all">Programme for International Student Assessment (PISA)</a>, menunjukkan Yogyakarta memiliki hasil tertinggi di Indonesia.</p>
<p>Di sini, riset terbatas kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta cenderung terlibat secara kolektif untuk mendorong kebijakan sekolah. </p>
<p>Berbeda dengan keterlibatan individualistik yang cenderung memposisikan orang tua sebagai pengganti guru di rumah, keterlibatan orang tua secara kolektif <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ534901">berorientasi pada kepentingan semua anak</a> pada suatu sekolah, bukan hanya untuk anak-anak yang orang tuanya bisa dan bersedia terlibat. </p>
<p>Keterlibatan kolektif ini terwadahi melalui <a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Paguyuban Orang Tua (PO) yang tumbuh secara organik</a> sejak tahun 2000-an. Berbeda dengan komite sekolah yang dibentuk secara formal pada tingkat sekolah dan <a href="https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S073805931730367X">pengambilan keputusannya cenderung dipengaruhi kepala sekolah</a>, PO merupakan perkumpulan orangtua atau wali siswa di tiap rombongan belajar (rombel/kelas). Akibatnya, mereka bisa lebih dekat bekerja sama dengan guru dan sekolah. </p>
<p>Melalui PO, orang tua mengorganisasi diri untuk memastikan semua siswa – bukan hanya anaknya – mendapatkan pembelajaran dan layanan pendidikan yang berkualitas. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/528210/original/file-20230525-25-t37kb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pertemuan orang tua di salah satu sekolah dasar (SD) di Yogyakarta.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Misalnya, di beberapa SD negeri, kami menemukan PO dari anak-anak kelas atas (kelas 4-6) mendorong sekolah untuk memberikan jam pelajaran tambahan bagi siswa yang membutuhkan atau kesulitan. Tanpa wadah atau aksi kolektif semacam ini, alih-alih mendorong sekolah, orang tua biasanya dipaksa mengeluarkan sumber daya tambahan untuk <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">mengirimkan anaknya les privat</a> di tempat lain.</p>
<p>Selanjutnya, kami juga menemukan beberapa praktik orang tua yang terlibat secara aktif meninjau kualitas guru. Selain ikut berkontribusi memberikan masukan terkait performa guru, misalnya, kami mendapati perwakilan PO yang mengkritisi proses rekrutmen guru baru agar tidak dilakukan secara asal-asalan serta bisa menjaring guru yang kompeten dan kreatif.</p>
<p>Eksperimen yang dilakukan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2016-2018 melalui program <a href="https://www.worldbank.org/in/results/2023/01/10/improving-learning-outcomes-through-social-accountability-and-performance-based-teacher-allowance-payment-in-indonesia">KIAT Guru</a> menunjukkan ketika masyarakat terlibat memonitor kinerja guru, hasil belajar siswa bisa cenderung meningkat secara signifikan.</p>
<p>Di luar kegiatan intrakurikuler, orang tua yang kami temui juga aktif terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler.</p>
<p>Misalnya, bersama dengan guru dan sekolah, PO terlibat untuk merancang kegiatan karyawisata yang mendukung proses pembelajaran. Untuk memastikan semua anak bisa terlibat, PO mengusulkan pembiayaan karyawisata dilakukan melalui mekanisme subsidi silang dengan para orang tua lainnya.</p>
<h2>Memupuk peran kolektif</h2>
<p>Mengapa keterlibatan kolektif muncul di Yogyakarta?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, riset kami menemukan adanya hubungan sosial yang erat dan bersumber dari filsafat Jawa bernama “<em><a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/6501/23-Susatyo%20Yuwono.pdf?sequence=1">handarbeni</a></em>” (rasa memiliki di antara masyarakat).</p>
<p>Budaya kolektivis seperti ini akhirnya menghasilkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1219794.pdf">membuat anak orang lain berhasil seperti anak sendiri</a> – termasuk pada kelompok sosial dan ekonomi rendah. </p>
<p>Untuk meningkatkan minat baca, misalnya, PO memfasilitasi pojok baca di masing-masing kelas. Pada kegiatan ini, anak secara bergantian membawa buku dari rumah agar bisa dibaca bersama teman-temannya.</p>
<p>Orang tua juga tidak enggan berbagi informasi terkait penyediaan buku bacaan tambahan. Menjelang ujian, orangtua biasanya mendaftarkan anak-anak pada lomba atau <em>try-out</em> bersama, dan menggandakan soal-soal latihan untuk dibagikan dengan orang tua lainnya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, keterlibatan kolektif orang tua terjadi karena adanya dukungan pemerintah daerah, berlandaskan moto “<em>Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta</em>” (Segoro Amarto).</p>
<p>Misalnya, <a href="https://jogja.antaranews.com/berita/353472/anggaran-jbm-langsung-masuk-ke-stimulan-rw">Pemda mengalokasikan sejumlah dana</a> untuk melaksanakan program <a href="https://wirobrajankel.jogjakota.go.id/detail/index/21711">Jam Belajar Masyarakat</a>, kerja sama dengan organisasi masyarakat lain, serta kolaborasi pendidikan antarorganisasi – termasuk dengan perpustakaan daerah dan universitas.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, studi kami juga menemukan orang tua di Yogyakarta cenderung memiliki relasi kuasa yang setara dengan pihak sekolah.</p>
<p>Di Kota Yogakarta, adanya jumlah <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/519991580138621024/pdf/Aspiring-Indonesia-Expanding-the-Middle-Class.pdf">kelompok kelas menengah yang cukup besar</a> – meski diiringi kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi pula – membuat para orang tua di sana relatif punya <a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520271425/unequal-childhoods">sumber daya dan kemampuan komunikasi</a> ke sekolah yang lebih baik ketimbang orang tua ekonomi bawah. Kekuatan dan kepentingan bersama ini kemudian membuat mereka bisa mendorong <a href="https://www.jstor.org/stable/43590714">kebijakan pendidikan yang fokus pada kualitas</a>, demi semakin bisa mendukung mobilitas sosial semua anak.</p>
<p>Akibat ketiga faktor di atas pula, temuan kami menunjukkan bahwa jaringan sosial masyarakat di Kota Yogyakarta menjadi tidak terlalu hierarkis. Masyarakat biasa dapat menyuarakan aspirasi dan terlibat secara aktif dalam implementasi kebijakan pendidikan. </p>
<h2>Perlunya partisipasi yang setara dan bermakna</h2>
<p>Meski Yogyakarta menawarkan kisah baik, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi.</p>
<p>Seperti yang sudah pernah kami <a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">tulis sebelumnya</a>, partisipasi orang tua masih didominasi oleh ibu. Di antara seluruh kegiatan pertemuan orangtua yang kami amati di Yogyakarta, keterlibatan laki-laki cenderung sangat terbatas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-tuntutan-bagi-orang-tua-untuk-mendampingi-anak-belajar-justru-berpotensi-mendiskriminasi-rumah-tangga-miskin-199602">Mengapa tuntutan bagi orang tua untuk mendampingi anak belajar justru berpotensi mendiskriminasi rumah tangga miskin</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, tugas-tugas advokasi yang kami temukan di Yogyakarta juga masih didominasi orang tua kelas menengah. Dalam banyak kasus, misalnya, bukan tidak mungkin <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0002831209345791">kepentingan kelas menengah berbeda dengan kelas ekonomi bawah</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, pemerintah maupun sekolah perlu memastikan bahwa hal-hal yang diadvokasikan oleh orang tua kelas menengah masih sejalan dengan tujuan pemerintah meningkatkan kualitas dan kesetaraan. </p>
<p>Lepas dari keterbatasan yang ada, keterlibatan orang tua secara kolektif di Yogyakarta berpotensi menjaga kualitas pendidikan.</p>
<p>Sayangnya, apa yang kami temukan di Yogyakarta belum ditemukan di daerah lain. Penelitian lain kami dengan program <a href="https://rise.smeru.or.id/">RISE</a> di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan Kab. Bogor, Jawa Barat menunjukkan model partisipasi orang tua yang berbeda.</p>
<p>Faktor-faktor khas yang mendorong aksi kolektif di Yogyakarta cenderung absen di daerah-daerah tersebut. Apalagi, sekolah di sana juga sering kali hanya melibatkan orang tua demi kepentingan sekolah – misalnya untuk mendukung fasilitas belajar di rumah atau membantu perayaan di sekolah.</p>
<p>Padahal <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1747938X15000032?via%3Dihub">metaanalisis dari berbagai hasil riset</a> menunjukkan keterlibatan semacam itu tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap prestasi akademik siswa. Selain itu, pelibatan orang tua biasanya juga hanya berorientasi pada pergesaran tanggung jawab dari sekolah ke rumah tangga.</p>
<p><a href="https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/">UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)</a> tahun 2003 sebenarnya mengatur hak orang tua dalam pendidikan di manapun mereka berada: masyarakat berhak berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan secara perorangan atau kelompok.</p>
<p>Sayangnya, UU ini belum mengatur dorongan bagi pemerintah daerah untuk menjaring aspirasi, dan membagi ruang kepada publik untuk terlibat secara setara dalam proses pembuatan kebijakan pendidikan baik di tingkat sekolah maupun daerah. Semoga, hal ini dapat diakomodasi dalam Rancangan UU Sisdiknas yang baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203528/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Temuan kami menunjukkan bahwa orang tua di Yogyakarta memainkan peran penting dan aktif dalam advokasi kebijakan pendidikan – bukan hanya sekadar menggantikan tugas sekolah di rumah.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteSenza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.