tag:theconversation.com,2011:/global/topics/ujian-nasional-72530/articlesujian nasional – The Conversation2023-03-20T02:18:34Ztag:theconversation.com,2011:article/2020822023-03-20T02:18:34Z2023-03-20T02:18:34ZTerjebak dalam kebiasaan lama: mengapa guru Indonesia masih kesulitan mengajarkan kemampuan berpikir kritis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/516175/original/file-20230319-7322-vqytnx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kudus-indonesia-october-30-2015-teaching-673443058">(E. S. Nugraha/Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terotomasi, <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/fostering-students-creativity-and-critical-thinking_62212c37-en">kemampuan berpikir kritis (<em>critical thinking</em>) menjadi hal yang berharga</a> pada abad ke-21. Kemampuan ini membekali pelajar dengan kapasitas untuk mengkritisi dan memilah begitu banyak informasi di ujung jari, serta menganalisis masalah-masalah kompleks untuk menciptakan solusi unik dan baru.</p>
<p>Di banyak negara, termasuk Indonesia, <em>critical thinking</em> masuk dalam kebijakan pendidikan. Kurikulum terbaru, misalnya, yakni “<a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/24964/">Kurikulum Merdeka</a>”, secara eksplisit menyatakan kemampuan berpikir kritis sebagai indikator penting bagi para lulusan.</p>
<p>Bahkan, salah satu kebijakan pendidikan paling awal yang secara khusus memandatkan guru untuk memasukkan kemampuan berpikir kritis ke dalam pengajaran <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5025/pp-no-17-tahun-2010">diterbitkan pada 2010</a> – lebih dari satu dekade lalu.</p>
<p>Namun, walaupun ada kebijakan-kebijakan tersebut, <a href="https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ijee/article/view/26673">penelitian kami</a> menemukan bahwa banyak guru di Indonesia masih kesulitan dalam mengajarkan dan membangun kemampuan ini di antara murid.</p>
<p>Meski kesadaran terkait <em>critical thinking</em> itu tinggi, ketika mengajarkannya, guru masih terjebak pada <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-%20guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">kebiasaan lama yang sudah mendarah daging</a> dalam pendidikan di Indonesia. Ini termasuk budaya pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”.</p>
<p>Dalam laporan <a href="https://www.oecd.org/pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf">Programme for International Student Assessment (PISA)</a> terbaru pada 2018, pelajar Indonesia mesuk ke dalam <a href="https://www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2018-results.htm">peringkat 10 terbawah dari hampir 80 negara peserta</a>. Mereka meraih nilai yang sangat rendah dalam beberapa indikator <em>critical thinking</em> – terutama literasi dan numerasi.</p>
<h2>Kebiasaan lama yang mendarah daging</h2>
<p>Salah satu penyebab masalah ini terletak pada pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh guru kepada murid di kelas.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">riset kami terhadap kelas-kelas mata pelajaran bahsa Inggris</a> di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), kami menemukan bahwa alih-alih mengajak murid <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781315169378/education-spite-policy-robin-alexander">berpikir dan berefleksi</a>, banyak guru terpaku pada pola mengajar “<em>initiate-respond-evaluate</em>” (inisiasi-respons-evaluasi). Artinya, guru seringkali hanya menguji atau memberikan ulangan lalu memberi tahu jawabannya.</p>
<p>Mentalitas semacam ini masih umum di Indonesia. Guru sejak lama dituntut untuk menyiapkan murid untuk menghadapi ujian-ujian penentu nasib, yang seringkali berbasis pilihan ganda, seperti Ujian Nasional.</p>
<p>Walaupun Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) sudah menghentikan Ujian Nasional – pertama dilakukan pada 1965 – pada tahun 2020, <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjF98Dw9I7vAhUCU30KHYaaDmUQFjAAegQIAhAD&url=https%3A%2F%2Fresearcharchive.vuw.ac.nz%2Fxmlui%2Fbitstream%2Fhandle%2F10063%2F3201%2Fthesis.pdf%3Fsequence%3D2&usg=AOvVaw00awPyyFdCG0iL248o9NJK">dampaknya setelah 55 tahun</a> masih sangat terasa di antara guru.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-desain-ideal-tes-pengganti-un-yang-diusung-menteri-nadiem-akademisi-berpendapat-130059">Bagaimana desain ideal tes pengganti UN yang diusung Menteri Nadiem? Akademisi berpendapat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Misalnya, selain memperkenalkan standar-standar baru terkait <em>critical thinking</em>, pemerintah juga <a href="https://theconversation.com/pisa-inspired-tests-will-replace-indonesias-national-exams-in-2021-how-should-they-be-implemented-129462">memberlakukan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> untuk menggantikan Ujian Nasional. Asesmen ini tidak menentukan kelulusan dan hanya dipakai untuk mengevaluasi capaian belajar murid secara nasional.</p>
<p>Meski demikian, guru <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-%20guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">masih fokus untuk memastikan murid bisa meraih skor tinggi</a> pada standar-standar dan ajang asesmen tersebut. Metode evaluasinya berubah, tapi mentalitas serba ujian tersebut masih bertahan.</p>
<p>Obsesi terhadap skor tinggi dan jawaban yang tepat ini tidak selaras dengan prinsip pengajaran <em>critical thinking</em> yang menuntut murid untuk menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan solusi bagi suatu masalah.</p>
<p><a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">Riset kami</a> juga menemukan bahwa guru kerap melewatkan peluang untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dalam aktivitas kelas. Karena mereka terjebak dalam pola inisiasi-respons-evaluasi, setelah selesai mengevaluasi jawaban murid, guru langsung beralih ke pertanyaan berikutnya ketimbang membiarkan munculnya diskusi lanjutan yang kaya.</p>
<p>Ini juga menjadi disinsentif bagi murid yang sebenarnya ingin bertanya, sehingga mereka malah <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9781315169378/education-spite-policy-robin-alexander">diposisikan sebagai penerima ilmu yang pasif</a>. Karena murid sadar bahwa jawaban-jawaban mereka akan dievaluasi, mereka bisa saja merasa kurang nyaman berpartisipasi dalam aktivitas kelas.</p>
<h2>Tak sepenuhnya salah guru</h2>
<p>Meski pemerintah sudah memasukkan <em>critical thinking</em> sebagai tujuan pembelajaran bagi murid, jejak-jejak budaya ujian masih kental dalam kebijakan pendidikan terkini.</p>
<p>Dalam kurikulum saat ini, guru diminta untuk mendesain berbagai pertanyaan untuk membangun kemampuan analitis murid – umumnya dikenal sebagai pertanyaan-pertanyaan “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0034654314551063">Higher Order Thinking Skills</a>” (Kemampuan Berpikir Tingkat Lanjur). Tapi, tujuannya masih berfokus pada menguji ketimbang mengajar.</p>
<p>Pembuat kebijakan di Indonesia tampaknya masih beranggapan bahwa membangun kemampuan berpikir kritis itu hanya berarti mengembangkan pertanyaan-pertanyaan khas ujian dari yang awalnya berbasis penghafalan dasar, menjadi pertanyaan ujian yang sedikit lebih kompleks.</p>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa pemikiran semacam ini umum di antara <a href="https://www.proquest.com/openview/e6b77ae81591916d308524d25d7a7e83/1.pdf?pq-origsite=gscholar&cbl=47978">sistem pendidikan yang berbasis luaran atau hasil</a> (<em>outcome-based education</em>), termasuk Indonesia.</p>
<h2>Membenahi pengajaran <em>critical thinking</em></h2>
<p>Perlu pemahaman yang lebih matang akan <em>critical thinking</em>. Pengajaran harus bisa mendorong murid untuk mempertimbangkan berbagai alternatif, menemukan solusi atas suatu masalah, hingga menjelaskan proses penalaran mereka.</p>
<p>Tapi, untuk mewujudkan ini, pemerintah dan guru perlu menciptakan suasana ruang kelas yang mendukung dan aman. Murid <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0034654314551063">butuh ruang</a> untuk mengekspresikan ide-ide mereka dan menyuarakan pendapat maupun kekhawatiran mereka. Para murid harus terlibat dalam dialog terbuka dan reflektif dengan sesama maupun dengan guru.</p>
<p>Dalam riset kami yang tengah berlangsung, kami berkolaborasi dengan beberapa guru terpilih di Jawa Barat untuk bereksperimen dengan pembelajaran berbasis proyek.</p>
<p>Di salah satu kelas, misalnya, murid mendiskusikan dan merefleksikan isu-isu sosial tertentu untuk mempersiapkan proyek siniar (<em>podcast</em>).</p>
<p>Lewat kerja kelompok dan kerja sesama murid secara aktif, guru membongkar pola tradisional inisiasi-respons-evaluasi, dan kini memposisikan murid – keitmbang mereka sendiri – menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08957347.2013.793190">pusat dari proses pembelajaran</a>.</p>
<p>Para murid secara independen meneliti suatu topik dan mengembangkan <em>podcast</em> mereka sendiri untuk melakukan refleksi kritis atas penyebab dan dampak dari isu sosial tertentu, serta menawarkan solusi mereka yang disertai penjelasan yang mendalam.</p>
<p>Pengajaran tradisional yang berpusat pada guru memang <a href="https://www.routledge.com/Thinking-Skills-and-Creativity-in-Second-Language-Education-Case-Studies/Li/p/book/9781138297944">punya beberapa manfaat</a>, misalnya terkait manajemen ruang kelas yang lebih mudah. Tapi, <em>critical thinking</em> membutuhkan lingkungan belajar yang lebih demokratis dan inklusif. Dengan begini, murid lebih bisa berinteraksi dengan konsep-konsep yang menguji pemikiran.</p>
<p>Pemberhentian Ujian Nasional secara permanen sejak 2020 adalah tonggak penting yang harapannya bisa mulai mengakhiri budaya pengujian dalam sistem pendidikan Indonesia. Sekarang, guru harus mengembangkan strategi-strategi baru untuk membangun kemampuan berpikir kritis para murid.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202082/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketika mengajarkan kemampuan berpikir kritis, guru masih terjebak pada kebiasaan lama yang sudah mendarah daging. Ini termasuk pembelajaran berbasis hafalan dan mentalitas “mengajar untuk ujian”.Maya Defianty, Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Tarbiyah (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaKate Wilson, Adjunct Associate Professor, University of CanberraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1857152022-09-24T07:33:27Z2022-09-24T07:33:27ZDari ‘Parasite’ sampai ‘Anna’: memahami obsesi pendidikan dan stres akademik di Korea Selatan lewat film dan drakor<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/486244/original/file-20220923-2092-o6mivj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bernahai drakor seperti 'Sky Castle' menyinggung betapa kompetitifnya sisrtem pendidikan di Korea Selatan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=QeB7ZfyxbsE">(JTBC-iFlix/Youtube - Fair Use)</a></span></figcaption></figure><p>Setelah kepergok berhubungan asmara dengan guru seni di SMA-nya, Lee Yumi, seorang pelajar yang berprestasi terpaksa pindah sekolah meski ujian masuk universitas tinggal empat bulan lagi. Dalam keputusasaan, nilainya memburuk hingga gagal di ujian tersebut.</p>
<p>Karena tidak ingin mengecewakan orang tuanya, Yumi berbohong.</p>
<p>Tak hanya mengaku diterima di universitas impiannya, ia pun menghilang selama beberapa tahun untuk kembali dengan identitas baru – Lee Anna, lulusan Yale University di Amerika Serikat (AS).</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/jJKJVn2RR_U?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Berbekal resume dan rekomendasi palsu, Yumi menaiki tangga sosial, mendapatkan pekerjaan sebagai dosen seni di universitas terkemuka, hingga dipersunting pengusaha kaya.</p>
<p>Semua berawal dari tipu-tipu latar belakang pendidikan.</p>
<p>Kisah ini adalah sebuah cuplikan drama Korea berjudul
<a href="https://asianwiki.com/Anna_(Korean_Drama)">‘<em>Anna</em>’ (2022)</a> yang diperankan aktris Korea Selatan ternama, <a href="https://asianwiki.com/Bae_Suzy">Bae Suzy</a>.</p>
<p>Kisah Yumi pun mengingatkan kita pada Kim Ki Jung dalam film Korea pemenang Oscar, yakni <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Parasite">‘<em>Parasite</em>’ (2019)</a>. Berbekal ijazah palsu dari <a href="https://www.yonsei.ac.kr/en_sc/index.jsp">Yonsei Unversity</a> dan rekomendasi saudaranya, <a href="https://pmb.brin.go.id/dari-drama-korea-kita-belajar-mengapa-sistem-pendidikan-di-korea-selatan-sangat-kompetitif/">Ki Jung</a> mendapatkan pekerjaan sebagai guru privat seni di keluarga elit.</p>
<p>Senada dengan banyak drakor lain yang mengangkat sistem pendidikan, cerita Yumi maupun Ki Jung menggambarkan upaya pencarian celah di tengah obsesi Korea Selatan terhadap pendidikan tinggi – beserta stres akademik yang senantiasa menghantui banyak murid di negara tersebut. </p>
<h2>Drama Korea dan sistem pendidikan</h2>
<p>Selain Anna (2022), ada banyak drakor yang mengangkat sengitnya pendidikan di Korea Selatan. Sebut saja <a href="https://asianwiki.com/Master_of_Study">‘<em>Master of Study</em>’ (2018)</a>, <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Sky_Castle">‘<em>Sky Castle</em>’ (2018)</a>, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/The_Penthouse:_War_in_Life">‘<em>Penthouse</em>’ (2020)</a>, dan <a href="https://asianwiki.com/Green_Mothers%27_Club">‘<em>Green Mother’s Club</em>’ (2022) </a>.</p>
<p>Dalam drama tersebut, penonton bisa melihat upaya kolektif dari orangtua, anak, dan sekolah demi memastikan sang anak masuk ke universitas ternama. Ini termasuk mendaftar ke bimbingan belajar (<em>bimbel</em>), merekrut tutor privat, membocorkan soal ujian, hingga mencari jatah kursi melalui orang dalam. </p>
<p>Bahkan, pada hari ujian, biasanya <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-46181240">kesunyian menyelimuti Korea</a> layaknya perayaan Nyepi di Bali. Pemerintah seringkali sampai <a href="https://www.theguardian.com/world/2016/nov/17/south-korea-grounds-all-planes-so-students-can-focus-on-college-exam?CMP=twt_gu">menghentikan penerbangan</a>.</p>
<p>Karena semua orang mengejar yang terbaik, tidak ada ruang untuk kegagalan – bahkan hingga mempengaruhi mental anak apalagi jika gagal mencapai ekspektasi orang tua. </p>
<p>Dalam drakor <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/The_Penthouse:_War_in_Life">‘<em>Penthouse</em>’ (2020)</a> misalnya, Yoo Je Ni mengancam akan bunuh diri jika gagal masuk ke SMA Seni prestisius Cheong-Ah. </p>
<p>Meskipun drama Korea cenderung mendramatisir, namun serial-serial bertema edukasi menjadi sangat populer karena dianggap mencerminkan realitas sosial.</p>
<h2>Obsesi pendidikan tinggi di Korea Selatan</h2>
<p>Korea Selatan adalah salah satu negara dengan pendaftaran pendidikan tertinggi (<em>tertiary enrollment</em>), sebesar <a href="https://www.statista.com/statistics/629032/south-korea-university-enrollment-rate/">71,5%</a> pada 2021.</p>
<p>Beberapa kampus yang menjadi rebutan di Korea termasuk <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/SKY_(universities)">kelompok ‘SKY’</a> – Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University – di ibukota Seoul. Ada pula <a href="https://ceic.ws/wp-content/uploads/2020/11/WP-01-CEIC.pdf">universitas sains</a> papan atas seperti KAIST dan POSTECH.</p>
<p>Berdasarkan buku ‘<a href="https://core.ac.uk/download/pdf/51179647.pdf"><em>Korean Education</em></a>’ terbitan <a href="https://sigur.elliott.gwu.edu/about-us/">Sigur Center for Asian Studies</a> di George Washington University, AS, “sindrom pendidikan” masyarakat Korea salah satunya bersumber dari rasa hormat pada pengetahuan dan kepercayaan bahwa kesempurnaan manusia didapat melalui pendidikan. </p>
<p>Pentingnya pendidikan tinggi juga tak lepas dari pengaruh tradisi Konfusianisme dan sejarah Korea yang menjunjung tinggi proses pembangunan karakter.</p>
<p>Saat Korea berbentuk dinasti, misalnya, posisi kekuasaan hanya terbuka bagi orang-orang yang <a href="https://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2015/08/628_154487.html">lulus ujian negara</a>. Keberhasilan dalam ujian ini kemudian menjadi penentu kesejahteraan keluarga. </p>
<p>Meski semangat ini sempat terhenti akibat masa kolonial Jepang dan perang Korea yang membuat mayoritas orang warga buta huruf, Korea Selatan kembali pada <a href="https://ceic.ws/wp-content/uploads/2020/11/WP-01-CEIC.pdf">“demam pendidikan”</a> pada tahun 1950-an dengan meningkatnya permintaan akses pendidikan.</p>
<p>Minimnya sumber daya alam juga membuat Korea harus <a href="https://theconversation.com/how-south-korea-and-taiwan-grew-their-economies-while-malaysia-and-indonesia-trailed-behind-114615">fokus pada investasi riset dan sumber daya manusia</a>. Hal ini membuat banyak keluarga berupaya keras menyekolahkan anak-anaknya, meskipun tidak memiliki banyak uang.</p>
<h2>Stres akademik dan bunuh diri</h2>
<p>Menurut <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0038040711411278">riset</a> di Korea, melalui pendidikan dari institusi bergengsi, seseorang jauh lebih mudah menaiki tangga sosio-ekonomi dan memperbaiki taraf hidup.</p>
<p>Pendidikan tinggi bergengsi seakan menjadi penentu ’<em>win-lose</em>‘ (menang-kalah) yang seolah hanya memberi dua opsi bagi warga Korea Selatan, yaitu berhasil atau gagal.</p>
<p>Bagi siswa yang gagal, pilihannya bisa jadi adalah mati.</p>
<p><a href="https://data.oecd.org/healthstat/suicide-rates.htm">Berdasarkan data</a> tahun 2020, misalnya, Korea memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara negara-negara Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).</p>
<p>Menurut studi tahun 2021 dari Yeungnam University, tingkat bunuh diri di kalangan mahasiswa Korea bahkan telah meningkat sebesar <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/02673843.2021.1974901">60%</a> sejak 2018 – salah satu faktor besarnya adalah stres akademik.</p>
<iframe src="https://data.oecd.org/chart/6P0S" width="100%" height="445" style="border: 0" mozallowfullscreen="true" webkitallowfullscreen="true" allowfullscreen="true"><a href="https://data.oecd.org/chart/6P0S" target="_blank">OECD Chart: Suicide rates, Total, Per 100 000 persons, Annual, 2020</a></iframe>
<h2>Potensi pendidikan alternatif</h2>
<p>Di tengah kompetitifnya sistem pendidikan Korea, saat ini mulai muncul sekolah berbasis ’<a href="https://www.youtube.com/watch?v=TXswlCa7dug">pendidikan alternatif</a>’.</p>
<p>Sekolah alternatif ini tetap mempersiapkan siswa untuk masuk perguruan tinggi, namun menitikberatkan pembentukan karakter mereka melalui diskusi, berpikir kreatif, mencari solusi, hingga kegiatan di luar ruangan.</p>
<p>Alih-alih banting tulang demi masuk universitas top, siswa lebih diarahkan untuk melanjutkan pendidikan sesuai minat jurusan. Meskipun tak belajar hingga 15 jam sehari, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=TXswlCa7dug">80%</a> siswa di pendidikan alternatif justru berhasil masuk universitas yang mereka tuju.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/TXswlCa7dug?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Film dokumenter ‘Gangnam Style Education’ yang mengangkap kompetitifnya sistem pendidikan di Korea, produksi Australian Broadcasting Corporation (ABC)</span></figcaption>
</figure>
<p>Sayangnya, masih banyak stigma terhadap siswa yang memilih pendidikan alternatif.</p>
<p>Masyarakat Korea melihat mereka sebagai kelompok siswa gagal yang <em>drop out</em> (keluar) dari sistem pendidikan reguler. Apalagi, sekolah alternatif ini umumnya tak memiliki <a href="https://koreaexpose.com/alternative-education-korea-beyond-99-percent/">akreditasi</a> dari Kementerian Pendidikan di Korea.</p>
<p>Pun demikian, geliat untuk lepas dari kompetisi pendidikan yang intens memberikan secercah harapan bagi anak muda Korea di masa depan untuk menemukan suatu tempat bagi mereka di masyarakat yang penuh dengan tekanan.</p>
<h2>Refleksi untuk Indonesia</h2>
<p>Selama <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">beberapa dekade ke belakang</a>, mental kompetisi dalam pendidikan Indonesia juga hadir dalam bentuk ujian nasional (UN). Serupa dengan Korea, ujian yang menentukan peluang murid untuk masuk ke sekolah menengah dan perguruan tinggi yang bagus ini memicu <a href="https://theconversation.com/mengapa-adanya-jasa-bimbel-bisa-sulitkan-pemerintah-ketahui-kualitas-pembelajaran-yang-sebenarnya-di-sekolah-115012">budaya bimbel yang tidak sehat</a>.</p>
<p>Tapi, selain itu, UN pun menimbulkan budaya kompetisi di tingkat institusi karena adanya pemeringkatan sekolah berdasarkan hasil nilai para murid. </p>
<p>Bahkan, pada tahun 2020, sempat heboh <a href="https://www.tribunnews.com/regional/2020/06/26/viral-pengalaman-nyontek-massal-saat-un-untuk-jaga-nama-baik-sekolah-pengamat-ini-pembangkangan">kasus ‘contek massal’</a> yang dikoordinasi sekolah pada ajang <em>try-out</em> UN di Jawa Timur. Para guru menginstruksikan murid-murid berprestasi untuk menjadi sumber contekan agar teman-temannya meraih nilai bagus dan meningkatkan nama baik sekolah.</p>
<p>Walau tak meraih kesuksesan komersil layaknya drama Korea, fenomena contek massal ini bahkan sempat menjadi topik bahasan film dokumenter Indonesia berjudul <a href="https://www.liputan6.com/news/read/560417/video-temani-aku-bunda-film-dokumenter-perjuangan-un-anak-sd">‘<em>Temani Aku Bunda</em>’ (2012)</a>.</p>
<p>Selain itu, meski tak setinggi Korea, <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1515/ijamh-2019-0035/html">studi tahun 2019 dari Universitas Udayana</a> menemukan bahwa 4,75% dari sampel hampir 9.000 remaja usia 13-18 tahun di seluruh Indonesia pernah berpikiran bunuh diri setidaknya sekali dalam setahun terakhir. Angka ini bahkan bisa jadi <a href="https://psyarxiv.com/amnhw/">lebih rendah dari yang sebenarnya</a> (<em>underreported</em>).</p>
<p>Meski sumber keinginan bunuh diri tersebut <a href="https://www.researchgate.net/publication/333553080_Suicidal_ideation_and_suicide_attempt_among_Indonesian_adolescent_students">bervariasi</a>, dari keresahan sosial hingga perundungan, tekanan pendidikan juga bisa menjadi faktor.</p>
<p>Pada tahun 2020 saat belajar <em>online</em> akibat COVID-19, misalnya, <a href="https://newsmaker.tribunnews.com/2020/10/30/terjadi-lagi-siswa-bunuh-diri-gara-gara-sekolah-daring-kpai-dia-tidak-kuat-menanggungnya-sendirian">seorang siswa SD di Sumatra Utara</a> bunuh diri – diduga akibat tekanan tugas sekolah di tengah akses internet yang minim dan kesulitan memahami materi.</p>
<p>Penghapusan UN di Indonesia dan hadirnya berbagai kebijakan seperti ‘Merdeka Belajar’, yang harapannya lebih memanusiakan siswa, bisa menjadi momentum untuk menghapus budaya-budaya buruk ini. Tapi, hal ini masih <a href="https://theconversation.com/asesmen-pengganti-un-akan-tetap-jadi-momok-jika-guru-dan-sekolah-masih-pegang-budaya-tes-155135">menyisakan banyak PR</a> untuk pemerintah dan juga dunia pendidikan.</p>
<p>Lewat film dan drakor, kita bisa mengintip sistem pendidikan Korea dan sisi gelap di baliknya. Tak hanya sebagai hiburan, judul-judul tersebut menjadi pelajaran bagi kita semua tentang konsekuensi yang bisa timbul akibat obsesi pendidikan di atas kesejahteraan anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185715/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ranny Rastati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Korea Selatan adalah salah satu negara dengan sistem pendidikan paling kompetitif di dunia. Siswa berlomba-lomba untuk diterima di universitas favorit. Pun demikian, banyak problem yang membuntuti.Ranny Rastati, Researcher at the Center for Society and Culture, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1712332021-11-25T09:38:20Z2021-11-25T09:38:20ZBagaimana memperbaiki pengajaran literasi, numerasi, dan sains di era pasca Ujian Nasional<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/433901/original/file-20211125-21-1cgv44n.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/person-holding-orange-round-ball-4778676/">(Pexels/Cottonbro)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pemerintah Indonesia tahun lalu meniadakan Ujian Nasional (UN) dan menggantinya dengan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/tanya-jawab/tanya-jawab-ujian-nasional">Asesmen Kompetensi</a> yang menguji literasi, numerasi, dan sains.</p>
<p>Ketiga aspek ini merupakan <a href="https://www.ncver.edu.au/research-and-statistics/publications/all-publications/adult-literacy-and-numeracy-research-and-future-strategy">pilar-pilar penting</a> dalam kompetensi pembelajaran murid, dan banyak dipakai sebagai indikator capaian dalam tes global seperti <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310"><em>Program for International Students Assessment</em> (PISA)</a>.</p>
<p>Di sisi lain, berakhirnya UN juga berarti arah pembelajaran murid <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/tanya-jawab/tanya-jawab-ujian-nasional">kembali ke tangan guru</a> – termasuk mengembangkan kemampuan siswa dalam ketiga aspek tersebut. </p>
<p>Guru, sekolah, dan pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan cara lama yang fokus meraih skor tinggi dalam ujian. Misalnya, budaya <a href="https://doi.org/10.24246/j.scholaria.2017.v7.i3.p283-291"><em>drill and practice</em></a>, di mana murid harus menggarap latihan ujian berkali-kali sampai mampu menjawab soal dengan baik, sudah tidak relevan lagi di era pasca UN.</p>
<p>Kebijakan pendidikan dan metode mengajar seperti apa yang tepat bagi guru di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains?</p>
<h2>Menanamkan literasi: stimulasi sejak dini dan penggunaan bahasa ibu</h2>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.obsesi.or.id/index.php/obsesi/article/view/480">riset tahun 2020</a>, dua kunci menumbuhkan literasi pada anak adalah pengalaman dan waktu.</p>
<p>Artinya, pendidik punya peran penting untuk mulai menanamkan kemampuan ini sejak level sekolah dasar (SD), terutama kelas 1, 2, dan 3.</p>
<p>Mereka bisa menstimulasi kemampuan bahasa anak dengan merancang <a href="https://www.obsesi.or.id/index.php/obsesi/article/view/480/pdf">beragam kegiatan</a> – rutin membaca buku cerita, membedah pesan dan isinya, atau mengembangkan kosakata melalui permainan dan kartu – dan bereksperimen dengan berbagai teknik seiring mereka lebih berpengalaman.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/model-literasi-yang-bermanfaat-untuk-indonesia-bukan-sekadar-melek-huruf-82508">Model literasi yang bermanfaat untuk Indonesia: bukan sekadar melek huruf</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sayangnya, mayoritas guru dalam studi tersebut baru melakukannya 5-10 menit setiap hari. Idealnya, guru bisa melibatkan murid lebih dari 20 menit dalam kegiatan khusus literasi.</p>
<p>Selain itu, literasi tidak terikat hanya pada satu mata pelajaran tertentu, tapi mencerminkan kemampuan murid memahami dan mengkritisi informasi di berbagai materi pembelajaran.</p>
<p>Di sini, <a href="https://psycnet.apa.org/record/2001-10039-002">beberapa ahli</a> mengatakan bahwa jenis bahasa yang digunakan dalam berbagai materi sangat penting.</p>
<p>Masyarakat kerap ingin mengajarkan bahasa Inggris kepada anak, dan bahasa Inggris juga merupakan <a href="https://doi.org/10.1080/03057260008560156">bahasa utama komunikasi sains</a>, tapi menggunakannya di fase awal sekolah dapat berimbas pada capaian pembelajaran. Belajar dengan bahasa pertama, dalam hal ini bahasa Indonesia, memudahkan mereka memahami materi dan mengembangkan kemampuan numerasi dan sains.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09500690601072964">Dalam studinya</a>, peneliti pendidikan Mei-Hung Chiu, misalnya, mengatakan sebaiknya siswa diperkenalkan dengan terminologi sains (dalam fisika, kimia, dan biologi), hanya setelah memperoleh pemahaman tersebut dalam bahasa ibunya. </p>
<p>Sebaliknya, sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar sejak jenjang awal juga bukan hal yang ideal.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1002/sce.3730480411">Studi kasus di Filipina</a> yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar utama, menunjukkan bahwa murid kerap kebingungan memahami konsep matematika dan sains jika belum diperkenalkan dalam bahasa ibu.</p>
<p>Filipina bahkan berada pada urutan terakhir untuk skor literasi, numerasi, dan sains dalam peringkat <a href="https://www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2018-results.htm">PISA tahun 2018</a>, serta kerap <a href="https://doi.org/10.1007/BF03026717">menoreh capaian sains yang buruk</a> berdasarkan berbagai riset.</p>
<h2>Mengembangkan numerasi: mata uang dan kebijakan seleksi guru matematika</h2>
<p>Dalam teknik mengajar, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1034912X.2018.1535109">studi tahun 2019</a> dari peneliti Amerika Serikat (AS) menyarankan hitungan berbasis mata uang sebagai cara yang baik dalam meningkatkan kemampuan numerasi.</p>
<p>Selain mudah menggunakan bilangan tersebut dalam soal matematika, ini juga bisa jadi lebih menarik bagi murid karena tidak memakai angka-angka abstrak melainkan sesuatu yang dekat dengan kehidupan mereka.</p>
<p>AS memiliki mata uang 1 USD, Taiwan memiliki 1 TWD, Jepang memiliki 1 Yen, Malaysia memiliki 1 Ringgit, dan Singapura memiliki 1 SGD. Di negara-negara tersebut, siswa bisa belajar soal seperti 15 + 34 dengan latar transaksi mata uang.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433897/original/file-20211125-25-1ax9mv4.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Penulis menggunakan koin dari mata uang TWD saat mengajar murid di Taiwan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Dadan Sumardani)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meski demikian, satuan terendah mata uang Indonesia yang paling umum digunakan dimulai dari Rp 1.000 – siswa hanya bisa belajar 15.000 + 34.000 yang merupakan pelajaran numerasi lanjutan – sehingga metode ini mungkin lebih cocok untuk jenjang sekolah menengah (SMP dan SMA).</p>
<p>Selain itu, kebijakan terkait guru juga <a href="https://hulondalo.id/cuma-butuh-3-semester-penyetaraan-guru-sd-paud-sarjana-tidak-linier/">sangat memengaruhi kualitas pengajaran numerasi</a>. Misalnya, pemerintah saat ini melarang lulusan jurusan pendidikan Matematika untuk mengajar di jenjang SD.</p>
<p>Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2016, guru Pendidikan Dasar harus merupakan <a href="https://fin.co.id/2020/03/19/guru-sd-wajib-lulusan-pgsd/">lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)</a> – kecuali mereka memenuhi persyaratan yang lebih sulit yakni penyetaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama sekitar 2 tahun.</p>
<p>Padahal, saat ini jurusan PGSD termasuk rumpun sosial atau sosial-humaniora dalam seleksi perguruan tinggi, di mana hanya lulusan ilmu sosial (IPS) yang boleh mengikuti atau harus melalui ujian sosiologi, geografi, dan ekonomi.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.33086/ehdj.v5i1.1456">Tim peneliti dari Surabaya</a> menemukan bahwa skor numerasi guru SD sangat buruk, karena input dari jurusan PGSD yang memang tidak relevan untuk mendukung pengajaran numerasi.</p>
<p>Pemerintah <a href="https://hulondalo.id/cuma-butuh-3-semester-penyetaraan-guru-sd-paud-sarjana-tidak-linier/">harus segera membenahi sistem seleksi guru</a> dan membuka pintu bagi lulusan pendidikan matematika supaya guru di jenjang SD memiliki kemampuan pengajaran numerasi yang kuat.</p>
<h2>Mengajarkan sains: pembelajaran interaktif di taman ilmiah</h2>
<p>Untuk pengajaran sains, Indonesia bisa berkaca dari Jepang yang merupakan <a href="https://www.oecd.org/pisa/publications/pisa-2018-results.htm">salah satu negara yang baik</a> dalam capaian sains.</p>
<p>Selain sangat memperhatikan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-662-44986-8_2">kualitas pendidikan sejak dini</a>, sekolah di Jepang juga banyak mengajarkan sains di <a href="https://www.learntechlib.org/p/209558">berbagai fasilitas sains</a>.</p>
<p>Contohnya dapat berupa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/1098-237X(200009)84:5%3C658::AID-SCE6%3E3.0.CO;2-A">kunjungan ke museum sains</a>, <a href="https://goo.gl/maps/MbBFnD2UeSmcu12s8">planetarium</a>, <a href="https://ppiptek.brin.go.id/">Pusat Peragaan IPTEK (PP-IPTEK)</a>, atau festival sains di sekolah.</p>
<p>Fasilitas yang baik mungkin tidak mengubah praktik pendidikan secara drastis, tapi membantu mendorong pengajaran sains yang interaktif dan <a href="https://doi.org/10.1080/0140528810030203">merangsang kognisi</a>.</p>
<p>Berdasarkan studi di Prancis, pendidikan sains harus mencakup berbagai kegiatan di mana siswa berpartisipasi dalam pengamatan fenomena ilmiah secara langsung – <a href="https://doi.org/10.1080/0140528810030203">fasilitas sains</a> adalah salah satu cara terbaik melakukan ini.</p>
<p>Di Indonesia ada beberapa fasilitas sains yang bisa dikunjungi, meski jumlahnya tidak terlalu banyak.</p>
<p>Misalnya, di Jakarta ada empat museum sains: Planetarium Jakarta, PP-IPTEK, Museum Listrik dan Energi Baru, dan Sky World. Di Bandung ada Puspa Iptek Sundial, di Surabaya ada The Bagong Adventure Human Body Museum, dan di Yogyakarta ada Taman Pintar Science Park.</p>
<p>Alternatif lain yang dapat dilakukan dengan lebih mudah adalah belajar di laboratorium sains sekolah dengan memanfaatkan momentum kejadian alam – seperti gerhana, banjir, bulan purnama, dan fenomena lainnya.</p>
<h2>Melangkah ke depan</h2>
<p>Beberapa hal di atas – dari penggunaan mata uang, reformasi sistem seleksi guru, sampai kolaborasi dengan taman ilmiah – adalah cara-cara yang bisa dipraktikkan dan diamati oleh guru, sekolah, maupun pemerintah dalam mendorong pengajaran literasi, numerasi, dan sains yang lebih kuat di Indonesia.</p>
<p>Tapi, kita tentu membutuhkan analisis dan riset yang lebih mendalam mengenai metode mengajar dan kebijakan inovatif lainnya.</p>
<p>Peneliti pendidikan di Indonesia, misalnya, dapat belajar dari <a href="http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/deltapi/article/view/115">kurikulum di berbagai negara</a> dan membedah kelebihan dan kekurangannya dalam memfasilitasi pembelajaran siswa dalam ketiga aspek tersebut.</p>
<p>Yang jelas, kita tidak bisa lagi mengandalkan paradigma pendidikan di era UN. Sistem pendidikan di Indonesia harus beralih pada kebijakan dan metode pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa dan menanamkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains secara optimal.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/171233/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dadan Sumardani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Setelah ditiadakannya UN, kebijakan pendidikan dan metode mengajar seperti apa yang tepat bagi guru di Indonesia untuk mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains?Dadan Sumardani, Researcher in Science Education, National Chiayi UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1551352021-03-05T08:19:35Z2021-03-05T08:19:35ZAsesmen pengganti UN akan tetap jadi momok jika guru dan sekolah masih pegang budaya tes<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/387963/original/file-20210305-21-1v2i3yd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1399261801">(ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)</a></span></figcaption></figure><p>Pada <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/01/20/203728071/mendikbud-nadiem-asesmen-nasional-diundur-ke-september-2021">September 2021</a>, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akan melaksanakan <a href="https://tirto.id/apa-itu-asesmen-nasional-an-arti-waktu-pelaksanaan-macam-tes-f9sn">Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a>.</p>
<p>Kemendikbud di bawah Nadiem melaksanakan AKM sebagai upaya untuk menghapus Ujian Nasional (UN) yang sudah menjadi momok menakutkan bagi siswa dan orang tua. </p>
<p>Berbeda dengan UN yang menjadi satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan anak, AKM akan dilakukan <a href="https://www.cmu.edu/teaching/assessment/basics/formative-summative.html">secara berkala untuk mengevaluasi kemampuan literasi dan berhitung anak-anak</a>, serta dilaksanakan pada anak-anak kelas 5,8, dan 11 yang satu tahun lagi akan lulus. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/menteri-nadiem-akhiri-sejarah-un-dan-kembalikan-kuasa-penilaian-pada-guru-apakah-mereka-mampu-129977">Menteri Nadiem "akhiri sejarah" UN dan kembalikan kuasa penilaian pada guru. Apakah mereka mampu?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2020/11/18/165014971/asesmen-nasional-2021-dinilai-masih-butuh-banyak-pengembangan?page=all">banyak orang ragu</a> akan kesuksesan pelaksanaan AKM, di antaranya karena <a href="https://www.brown.edu/academics/education-alliance/teaching-diverse-learners/assessment/high-stakes-testing-0">masih mendarah dagingnya budaya UN</a> di Indonesia.</p>
<p>Ini menyebabkan banyak guru Indonesia masih menganggap AKM hanyalah UN dengan nama baru. Di lapangan, misalnya, praktik persiapan tes yang umum saat zaman UN kembali dilakukan seperti munculnya berbagai buku, webinar, dan <em>try out</em> untuk meraih skor tinggi.</p>
<p><a href="https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/nN9r729b-sosialisasi-asesmen-nasional-minim-guru-terpaksa-cari-tahu-lewat-medsos">Kurangnya sosialisasi</a> dan persiapan pemerintah terkait pelaksanaan AKM juga semakin memperparah kondisi di lapangan.</p>
<h2>Transisi ke budaya asesmen masih terhalang “mental UN” guru</h2>
<p>Guru dan pihak sekolah seharusnya memaknai kehadiran AKM harusnya berakhirnya era tes berstandar nasional yang mempertaruhkan nasib kelulusan anak hanya sekali ujian saja.</p>
<p>Artinya, AKM bisa menjadi peluang berubahnya semangat evaluasi pendidikan di Indonesia dari <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-39211-0_16">budaya tes</a> menjadi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-011-0657-3_1">budaya asesmen</a>.</p>
<p>Budaya yang pertama bertujuan sekadar mempersiapkan siswa menghadapi tes atau ujian, sedangkan yang kedua memandang evaluasi berkala sebagai bagian penting untuk senantiasa meningkatkan proses belajar mengajar.</p>
<p>Sayangnya, transisi dari budaya pengujian ke budaya asesmen masih terhambat di Indonesia.</p>
<p>Masih banyak guru menganggap asesmen baru ini sama saja dengan Ujian Nasional (UN), sehingga guru masih harus mempersiapkan murid untuk menjawab soal dengan sangat baik demi skor yang tinggi.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=809&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=809&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=809&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1017&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1017&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/387846/original/file-20210304-17-1csbzou.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1017&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akhir tahun lalu terbit <a href="http://www.penerbitduta.com/read_resensi/2020/8/sikat-akm-2020-sma#.YEEOpC0RpN0">buku seperti “<em>Sikat AKM</em>”</a> dan muncul <a href="https://www.jawapos.com/nasional/pendidikan/26/10/2020/disdik-dki-beberkan-munculnya-buku-sukses-akm">undangan <em>try out</em> ke berbagai sekolah</a> di Jakarta yang menjanjikan kiat-kiat mendapat skor yang tinggi.</p>
<p>Mereka juga menganggap perbedaannya dengan UN hanya terletak pada tipe soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang akan lebih banyak mengukur kemampuan nalar siswa.</p>
<p>Berdasarkan teori tingkatan logika berpikir dari psikolog pendidikan Amerika Serikat, <a href="https://cetl.uconn.edu/resources/design-your-course/teaching-and-learning-techniques/critical-thinking-and-other-higher-order-thinking-skills/#">Benjamin Bloom</a>, soal yang mengukur nalar tidak sekadar menguji hafalan atau pemahaman, namun juga menerapkan logika tingkat lanjut seperti membedah diagram, menyimpulkan ulang suatu teks yang rumit, atau mendiskusikan solusi terbaik untuk suatu masalah.</p>
<p>Sebagai konsekuensi, kini banyak guru berlomba mengadakan <a href="https://kuburaya.fityan.org/pelatihan-pembuatan-perangkat-test-berbasis-hots-dalam-rangka-menyongsong-akm-sdit-afisku/">berbagai</a> <a href="https://smkmita.sch.id/dari-sistem-asesmen-kompetensi-minimum-hingga-perubahan-model-soal-yang-lebih-menarik-dari-sebelumnya/">pelatihan</a> untuk membuat soal berbasis nalar hanya demi mempersiapkan siswanya meraih skor tinggi pada asesmen esok September.</p>
<p>Sebenarnya, penting bagi guru memiliki kemampuan membuat soal yang mengukur kemampuan nalar siswa. Namun, harusnya tujuannya bukan untuk ‘melatih’ siswa untuk sekadar bisa menjawab soal-soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), melainkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/335318732_Fostering_critical_thinking_through_questioning_in_EFL_An_Indonesian_study_In_Li_L_ed_Thinking_Skills_and_Creativity_in_Second_Language_Education_Case_Studies_from_International_Perspectives_Abingdon_">mengembangkan nalar kritis siswa</a> secara jangka panjang.</p>
<h2>Budaya ujian nasional mendarah daging, pemerintah belum berhasil mengantisipasi</h2>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15434303.2011.642041">Berbagai</a> <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjF98Dw9I7vAhUCU30KHYaaDmUQFjAAegQIAhAD&url=https%3A%2F%2Fresearcharchive.vuw.ac.nz%2Fxmlui%2Fbitstream%2Fhandle%2F10063%2F3201%2Fthesis.pdf%3Fsequence%3D2&usg=AOvVaw00awPyyFdCG0iL248o9NJK">studi</a> menunjukkan kentalnya pelaksanaan ujian nasional selama ini menyulitkan guru untuk mengadopsi budaya asesmen jangka panjang.</p>
<p>Indonesia sudah melaksanakan berbagai tes berstandar nasional sejak tahun 1965. Namanya berbeda-beda, namun dengan sifat yang sama.</p>
<p>Kehadirannya yang mengakar selama berpuluh tahun menyebabkan model belajar “<a href="http://www.ascd.org/publications/educational-leadership/mar01/vol58/num06/Teaching-to-the-Test%C2%A2.aspx">mengajar untuk ujian</a>” begitu mendarah daging di Indonesia, bahkan diterapkan banyak guru yang saat ini aktif mengajar.</p>
<p>Di tengah budaya ujian nasional yang akut ini, pemerintah sebenarnya bertanggung jawab mempersiapkan guru di Indonesia untuk menghadapi AKM dengan komunikasi yang jelas.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/386404/original/file-20210225-13-1qvj21u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sejak tahun 1965, di Indonesia muncul silih berganti ujian nasional dengan namanya yang berbeda-beda, namun dengan sifat <em>high-stakes</em> yang sama.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1366601732">(ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/zNA3j2Ak-pgri-kritisi-sosialisasi-asesmen-nasional-kurang-lantang">Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)</a> mengatakan berbagai upaya sosialisasi dari pemerintah terkait Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) masih belum maksimal.</p>
<p>Sejauh ini, misalnya, Mendikbud Nadiem baru sebatas <a href="https://www.merdeka.com/peristiwa/nadiem-makarim-tak-ada-gunanya-bimbel-buat-hadapi-akm-2021.html">mengingatkan dalam pidatonya</a> bahwa guru tidak perlu panik atau melakukan persiapan berlebihan dalam menghadapi asesmen tersebut.</p>
<p>Pemerintah juga belum melakukan sosialisasi yang lantang, rutin, dan juga jelas - terutama untuk menekankan bahwa asesmen baru ini dilakukan demi evaluasi jangka panjang dan bukan penentu kelulusan maupun pemeringkatan sekolah.</p>
<h2>Perlu pemberdayaan kemampuan asesmen guru</h2>
<p><a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ved=2ahUKEwjF98Dw9I7vAhUCU30KHYaaDmUQFjAAegQIAhAD&url=https%3A%2F%2Fresearcharchive.vuw.ac.nz%2Fxmlui%2Fbitstream%2Fhandle%2F10063%2F3201%2Fthesis.pdf%3Fsequence%3D2&usg=AOvVaw00awPyyFdCG0iL248o9NJK">Studi tahun 2014</a> dari Victoria University of Wellington, Selandia Baru menunjukkan kehadiran UN telah melemahkan kompetensi asesmen guru di Indonesia.</p>
<p>Penelitian yang melibatkan 107 guru di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini menemukan bahwa dari tahun ke tahun guru dikondisikan untuk hanya menggunakan tes tradisional sebagai satu-satunya instrumen untuk mengukur capaian siswa.</p>
<p>Artinya, saat ini terdapat ketimpangan kompetensi guru yang bisa menjalankan asesemen baru ini dengan baik.</p>
<p>Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan kompetensi asesmen guru terlebih dahulu untuk memastikan pelaksanaan AKM yang optimal.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15434303.2011.642041">Glenn Fulcher</a>, peneliti pengujian bahasa di University of Leicester, Inggris mengatakan tingkat kompetensi asesmen yang tinggi berperan besar membantu guru memilih, membuat, dan menerapkan alat asesmen yang sesuai, dan juga membantu mereka memahami hasil asesmen untuk meningkatkan performa pembelajaran siswa.</p>
<p>Sementara itu, berbagai pelatihan yang ada di Indonesia selama ini masih bersifat <a href="https://ro.uow.edu.au/theses/4721/">jangka pendek, tidak berkelanjutan</a>, dan masih fokus pada pedagogi (teknik mengajar) untuk mencapai skor tes yang tinggi ketimbang asesmen berkala.</p>
<p>Apabila ini tidak diatasi, asesmen baru ala Nadiem kemungkinan akan gagal memetakan kondisi pendidikan di Indonesia secara akurat dan sekadar menggantikan UN tanpa banyak perbedaan - wajahnya baru, mentalnya sama.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/155135/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Maya Defianty tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tanpa sosialisasi yang jelas dan pembekalan guru yang cukup, asesmen baru ala Nadiem akan sekadar menggantikan UN tanpa banyak perbedaan - wajahnya baru, mentalnya sama.Maya Defianty, Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Tarbiyah (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1299772020-02-18T02:09:45Z2020-02-18T02:09:45ZMenteri Nadiem “akhiri sejarah” UN dan kembalikan kuasa penilaian pada guru. Apakah mereka mampu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/315436/original/file-20200214-10976-l0wbdz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Makassar mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer, Maret 2019.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/162870316@N03/46639419245/in/photolist-2e3BWPV-RvGMDM-2gW7HBE-2e4nds2-2fks8Cq-2dXyyRw-2gW7HC1-2fozs9k-2dM3nf2-2duvi62-2eoV2UQ-TaRRBo-2fqdeUm-2hZ8u4E-2eoV2Xq-2eoV2Ys-2fqdeT9-2hXX1Zv-2hSFky2-2f49yEm-QA9xDz-2fqdeWf-2dEJtVc-RFR9iX-RQC8Cv">Gosulpict 1/Flickr</a></span></figcaption></figure><p>Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/24/153700065/ramai-soal-kebijakan-nadiem-dari-hapus-un-hingga-konsep-pilihan-ganda?page=all">mengakhiri Ujian Nasional (UN)</a> untuk siswa sekolah menengah tahun ini dan <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/11/14433351/ini-konsep-baru-un-dan-usbn-versi-merdeka-belajar-mendikbud-makarim?page=all#page2">mulai tahun depan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM)</a> dan Survei Karakter di <a href="https://tirto.id/ujian-nasional-dihapus-mendikbud-dan-sejarahnya-di-indonesia-enkH">pertengahan setiap jenjang sekolah (kelas 4, 8 dan 11)</a>. </p>
<p>Perubahan dari UN ke AKM ini <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/003172171009200119">berpotensi besar meningkatkan standar pendidikan</a> yang kini masih <a href="https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180607113429-284-304214/bank-dunia-kualitas-pendidikan-indonesia-masih-rendah">rendah di negeri ini</a> jika para guru Indonesia memahami cara mengaplikasikan penilaian formatif. </p>
<p>Dalam teori evaluasi pembelajaran, AKM masuk kategori <a href="https://cole2.uconline.edu/courses/333119/pages/what-is-formative-assessment">penilaian formatif</a>, sebuah penilaian di tengah masa pembelajaran sebagai umpan balik dari siswa ke guru (dan sebaliknya) untuk meningkatkan kualitas belajar masa selanjutnya. Sedangkan UN dikategorikan <a href="http://sk.sagepub.com/reference/sage-encyclopedia-of-educational-research-measurement-evaluation/i20284.xml">penilaian sumatif</a> karena dilaksanakan pada akhir masa belajar dari satu jenjang sekolah. </p>
<p>Berbagai <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0969595980050102?journalCode=caie20">riset di bidang penilaian formatif</a> menunjukkan bahwa implementasi penilaian formatif memberikan berbagai manfaat seperti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08957340802347845">meningkatkan motivasi belajar siswa</a>, memberikan informasi yang berharga bagi guru <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/0969594042000208994">untuk menentukan arah pembelajaran</a> dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1023/A%3A1022999406564">meningkatkan kualitas cara mengajar guru</a>. </p>
<p>Menghapus UN dan menyerahkan otoritas penilaian kompetensi siswa kepada guru sesuai dengan konsep penilaian formatif adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan standar pendidikan di Indonesia. </p>
<p>Pertanyaannya, apakah guru sudah siap menerima peran dan tanggung jawab ini? Dengan kata lain, apakah guru sudah memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan penilaian formatif?</p>
<h2>Penilaian formatif dan sumatif</h2>
<p>Penilaian formatif sampai saat ini masih dipahami berdasarkan konsep yang dipopulerkan oleh sekelompok ahli evaluasi pembelajaran <a href="https://books.google.co.id/books?id=-_clAQAAIAAJ&dq=%22evaluation%20to%20improve%20learning%22&hl=id&source=gbs_book_other_versions">Benjamin Samuel Bloom, George F. Madaus, dan John Thomas Hastings pada 1981</a>. </p>
<p>Mereka mendefinisikan penilaian formatif sebagai “testing for learning” - tes yang diselenggarakan di tengah proses pembelajaran yang hasilnya digunakan untuk perbaikan belajar siswa. Adapun penilaian sumatif adalah “testing for final performance” - tes di akhir periode pembelajaran yang hasilnya menggambarkan kemampuan siswa selama periode belajar tersebut. </p>
<p>Yang perlu digarisbawahi adalah, dari kedua definisi tersebut, asesmen formatif dan sumatif selalu berkaitan dengan tes, yang membedakan hanya waktu penyelenggaraannya. Formatif dilaksanakan saat periode pembelajaran, sedangkan sumatif di akhir proses pembelajaran. </p>
<p>Namun, dalam perkembangannya, asesmen formatif dan sumatif dibedakan berdasarkan data dari hasil penilaian (<em>learning evidence</em>) yang digunakan oleh guru. Data hasil penilaian ini tidak terbatas sumbernya hanya dari tes, bisa juga diambil dari portofolio siswa, observasi, atau jurnal harian siswa. </p>
<p>Dalam penilaian formatif, guru bisa menggunakan data hasil asesmen untuk memperbaiki proses pembelajaran. Sedangkan dalam penilaian sumatif, data hasil asesmen digunakan hanya untuk pelaporan kepada orang tua dan kepala sekolah.</p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books?id=9xiTAgAAQBAJ&pg=PA58&dq=Pavlovic,+Awwal,+Mountain,+%26+Hutchinson&hl=ban&sa=X&ved=0ahUKEwiQr6jk1dPnAhXYxDgGHUzLAnQQ6AEIJTAA#v=onepage&q=Pavlovic%2C%20Awwal%2C%20Mountain%2C%20&f=false">Sekelompok ahli evaluasi pembelajaran Masa Pavlovic, Nafisa Awwal, Roz Mountain, dan Danielle Hutchinson dalam artikelnya pada 2014</a> mengilustrasikan penilaian formatif seperti koki yang sedang memasak. Koki akan mencicipi masakannya dan menambahkan berbagai bumbu untuk membuat rasa masakannya menjadi lebih enak. Sementara, penilaian sumatif digambarkan seperti koki yang sudah menghidangkan masakannya pada tamu. Dia tidak bisa lagi memperbaiki rasa makanan tersebut setelah hidangan disiapkan di atas meja. </p>
<p>Konsep penilaian formatif kembali populer manakala dua ahli evaluasi pendidikan sains dari King’s College London,<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0969595980050102?journalCode=caie20">Paul Black dan Dylan Wiliam, menerbitkan artikel terkenal “Assessment and Classroom Learning” pada 1998 </a>. </p>
<p>Kedua peneliti ini mereview 250 artikel riset yang terbit antara 1987 dan 1997 mengenai topik yang relevan dengan penilaian formatif. Mereka menyimpulkan bahwa penilaian formatif dapat meningkatkan standar pendidikan.</p>
<h2>Masalahnya: mayoritas guru kurang kompeten</h2>
<p>Sebenarnya, penilaian formatif sudah diaplikasikan dalam sistem penilaian di Indonesia. Hal ini terdokumentasikan dalam berbagai kebijakan yang sudah, sedang, dan pernah berlaku di Indonesia. </p>
<p>Misalnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan <a href="http://vervalsp.data.kemdikbud.go.id/prosespembelajaran/file/Permendiknas%20No%2016%20Tahun%202007.pdf">Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru</a>; <a href="https://palembang.bpk.go.id/?p=1564">Permendikbud No. 20 Tahun 2007</a> dan <a href="https://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2009/09/Permendikbud_Tahun2016_Nomor023.pdf">No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan</a> menyatakan salah satu konsep penilaian yang diadopsi adalah <em>assessment for learning</em> - nama lain dari formatif asesmen. </p>
<p>Model penilaian serupa juga dimuat dalam <a href="https://drive.google.com/file/d/0B052-8ov5-OIQkNIczlIbExNcUk/view">panduan penilaian jenjang SD-SMA terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016/2017</a>. </p>
<p>Namun, <a href="https://journal.binus.ac.id/index.php/Lingua/article/view/2113.">riset kuantitatif Mohammad Arsyad Arrafii dan Baiq Sumarni dari IKIP Mataram pada 2018</a> dengan kuesioner yang melibatkan responden 243 guru bahasa Inggris SMA swasta dan negeri di Lombok menunjukkan mayoritas guru belum memahami konsep penilaian formatif secara holistik. Penelitian yang mengukur kompetensi guru dalam memahami penilaian formatif ini menghasilkan skor rata-rata 47,3 dari nilai teratas 100. </p>
<p>Temuan riset ini tidak jauh berbeda dengan <a href="http://journal2.um.ac.id/index.php/jbs/article/view/677/419">riset kualitatif dari Ida Ayu Made Sri Widiastuti dan Ali Saukah pada 2017</a> yang menunjukkan bahwa tiga guru bahasa Inggris yang terlibat dalam riset ini masih kesulitan mengimplementasikan penilaian formatif.</p>
<p>Sedikit kabar baiknya, <a href="https://library.canberra.edu.au/discovery/sourceRecord?vid=61ARL_CNB:61ARL_CNB&docId=alma991004767969203996&recordOwner=61ARL_CNB">riset kualitatif saya dengan responden delapan guru terpilih pada 2018 ihwal implementasi penilaian formatif di delapan SMA di Jawa Barat</a> menunjukkan enam dari delapan responden terampil mengaplikasikan penilaian formatif di kelas melampaui pengetahuan mereka tentang konsep penilaian ini. </p>
<p>Dalam konteks riset ini, berarti sebagian besar guru mampu mempraktikkan penilaian formatif sebagai bagian dari pengajaran mereka. Tentu saja itu hanya bagian sangat kecil dari total guru di Indonesia <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3174757/guru-di-indonesia-dalam-angka">sekitar 3 juta guru</a>. </p>
<p>Kebijakan mengembalikan otoritas penilaian siswa kepada guru, karena guru dan sekolah yang menentukan kelulusan siswa, dengan mengadopsi penilaian formatif akan memberikan kesempatan yang besar bagi para guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan lulusan sekolah. Karena mereka mendapat umpan balik dalam setiap pembelajaran sehari-hari. </p>
<p>Dan inilah yang paling penting karena guru dapat menyesuaikan pengajaran sesuai dengan kemajuan siswa sehingga siswa dapat meningkatkan kompetensi mereka. </p>
<p>Kebijakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang akan diperkenalkan Menteri Nadiem harus dibarengi dengan strategi yang mendukung guru dapat memainkan peran sebagai assessor/penilai yang kompeten. </p>
<p>Untuk itu, pemerintah sebaiknya fokus pada <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">peningkatan kompetensi guru terlebih dulu</a> sebelum mencanangkan berbagai kebijakan lainnya terkait penilaian kompetensi siswa.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129977/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Maya Defianty tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pertanyaanya, apakah guru sudah siap menerima peran dan tanggung jawab ini? Dengan kata lain, apakah guru sudah memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan penilaian formatif?Maya Defianty, Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Tarbiyah (FITK), UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1210462019-08-06T07:08:40Z2019-08-06T07:08:40ZKebijakan “tiruan semu-ilusi kemajuan” hambat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/286374/original/file-20190731-186805-1mdvz49.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Guru berperan sangat penting meningkatkan kualitas pendidikan dasar. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/jakarta-indonesia-june-24-2019-teacher-1435640924?src=xi5MWEuL5nN1uYYDXCg9-w-1-56&studio=1">Arief Akbar/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Sistem pendidikan Indonesia menghadapi ragam persoalan yang akut. </p>
<p>Lebih dari 55 persen murid Indonesia yang menyelesaikan sekolah, bahkan sampai tingkat sekolah menengah pertama (SMP), misalnya, <a href="http://documents.worldbank.org/curated/en/305361528210283009/pdf/126891-WP-PUBLIC-on-6-5-18.pdf">buta huruf secara fungsional (<em>functionally illiterate</em>)</a>. Artinya mereka mampu membaca tetapi tidak menguasai materi yang mereka baca. Bandingkan dengan masalah serupa di Vietnam yang hanya 14 persen. </p>
<p>Dampak dari rendahnya pemahaman konten pelajaran ini menyebabkan orang Indonesia yang buta huruf secara fungsional cenderung mendapat pekerjaan di <a href="http://documents.worldbank.org/curated/en/305361528210283009/pdf/126891-WP-PUBLIC-on-6-5-18.pdf">sektor dengan produktivitas rendah</a>.</p>
<p>Sementara itu, jurang <a href="http://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/di-indonesia-mengatasi-ketidaksetaraan-pendidikan-melalui-tata-kelola-yang-lebih-baik">kualitas antarsekolah di negeri ini</a> juga begitu besar dan belum teratasi hingga sekarang. </p>
<p>Salah satu penyebabnya adalah <a href="https://www.cgdev.org/publication/9781933286778-rebirth-education-schooling-aint-learning">pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di Indonesia begitu lama terbelenggu oleh ilusi kemajuan yang mewujud dalam maraknya “tiruan semu”</a>. Maksudnya, reformasi kebijakan cenderung di permukaan dan sering dilakukan untuk pencitraan belaka untuk mendapatkan nilai bagus dari lembaga donor padahal tidak berdampak pada meningkatkan kualitas layanan pendidikan.</p>
<p>Tiruan semu bisa dianggap kesalahan bersama <a href="https://www.odi.org/publications/7402-development-policy-isomorphism-isomorphic-mimicry-institutions">lembaga donor yang juga ikut berperan menciptakan kebijakan ini</a> karena mereka mendorong negara berkembang untuk mengejar standar internasional yang sebenarnya sulit mereka capai. </p>
<p>Beragam kebijakan untuk mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini telah dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah pada era desentralisasi dalam dua puluh tahun terakhir. Yang cukup fundamental untuk perubahan sistem adalah mengurangi kecurangan dengan menerapkan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan menjadikan <a href="https://news.okezone.com/read/2015/02/09/65/1103152/alasan-ujian-nasional-tak-lagi-tentukan-kelulusan">UN tak lagi sebagai penentu kelulusan dan penerimaan siswa baru sejak 2015</a>. </p>
<p>Upaya mengatasi kecurangan dan menghapus syarat kelulusan dan penerimaan siswa baru berdasarkan hasil UN patut diapresiasi. Namun belum cukup untuk membuat sistem pendidikan berfungsi semestinya, karena tiruan semu masih marak dalam banyak kebijakan pendidikan, <a href="https://theconversation.com/darurat-mutu-pembelajaran-mengapa-wali-murid-jarang-protes-ke-sekolah-dan-pemerintah-110030">termasuk di berbagai daerah</a>. </p>
<p>Hasil UNBK perlu dianalisis lebih lanjut untuk memperbaiki mutu pembelajaran dengan mengurangi disparitas mutu antarsekolah. Dengan demikian, setiap sekolah mempunyai kesempatan yang relatif sama untuk berkompetisi.</p>
<h2>Bahaya kebijakan tiruan semu</h2>
<p>Memasuki era 2000-an, secara global muncul upaya untuk membangun pendidikan bagi semua yang berfokus pada akses bersekolah sebagaimana tercermin, misalnya, pada Tujuan Kedua <em>Millennium Development Goals</em> (MDGs) dari tahun 2000 hingga 2015. Langkah itu kemudian diteruskan untuk lebih mempedulikan mutu pendidikan melalui Tujuan Keempat Sustainable Development Goals (SDGs) dari tahun 2015 hingga 2030). </p>
<p>Namun, krisis pembelajaran tetap saja berlangsung di berbagai penjuru dunia. Studi Lant Pritchett pada 2013 <a href="https://www.cgdev.org/publication/9781933286778-rebirth-education-schooling-aint-learning">melaporkan banyak anak pergi sekolah tanpa memperoleh layanan pembelajaran yang layak</a>. Banyak negara yang mereformasi pendidikan gagal mencapai tujuannya, salah satunya Indonesia. </p>
<p>Sejak berakhirnya era Orde Baru pada 1998, Indonesia banyak mereformasi sektor pendidikan dengan dukungan dua regulasi penting. Pertama, kebijakan desentralisasi pada 1999 yang menyerahkan urusan pendidikan dasar dan menengah ke kabupaten/kota. Kedua, amandemen UUD 1945 pada 2002 yang mewajibkan alokasi 20% dari APBN untuk bidang pendidikan. </p>
<p>Hasilnya, menurut perkumpulan negara-negara maju yang bergabung dalam <em>Organisation for Economic Co-operation and Development</em> (OECD) Indonesia <a href="http://www.oecd.org/indonesia/Measuring-Innovation-in-Education-Indonesia.pdf">menjadi negara yang inovatif dalam bidang pendidikan</a>, bahkan menempati peringkat kedua setelah Denmark. Sayangnya, capaian yang mengesankan itu tidak berarti alokasi dana besar untuk pembangunan pendidikan di Indonesia sudah terbayar. </p>
<p>Temuan <a href="https://riseprogramme.org/publications/rise-working-paper-18026-indonesia-got-schooled-15-years-rising-enrolment-and-flat">RISE di Indonesia memperlihatkan bahwa antara 2000-2014 kualitas pembelajaran Matematika di Indonesia mandek</a> di tingkat yang rendah. <a href="https://puspendik.kemdikbud.go.id/inap-sd/">Penilaian kompetensi siswa Indonesia yang disebut AKSI pada tahun 2016 </a> yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan gambaran senada.</p>
<p>Pritchett menjelaskan fenomena semacam ini sebagai <a href="https://www.cgdev.org/publication/9781933286778-rebirth-education-schooling-aint-learning">tiruan semu (<em>isomorphic mimicry</em>)</a>. Pemerintah meniru kebijakan inovatif yang dipraktikkan di negara lain, tapi belum tentu cocok dilaksanakan di Indonesia karena konteks yang berbeda. </p>
<p>Padahal, tidak semua praktik yang berhasil di negara lain cocok diterapkan di berbagai daerah dengan karakteristik sistem pendidikan yang kompleks dan luas seperti Indonesia.</p>
<p>Misalnya, <a href="http://documents.worldbank.org/curated/en/349051535637296801/Teacher-Professional-Development-around-the-World-The-Gap-between-Evidence-and-Practice">program Peningkatan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) guru</a> seperti telah dipraktikkan oleh 14 negara di Afrika, Eropa Tengah dan Timur, Amerika Latin dan Karibia, Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Asia Selatan dan Timur. </p>
<p>Program ini ditujukan untuk meningkatkan fungsi guru, artinya <a href="https://theconversation.com/rapor-kompetensi-guru-sd-indonesia-merah-dan-upaya-pemerintah-untuk-meningkatkannya-belum-tepat-120287">guru seharusnya dapat menerapkan hasil PKB</a> untuk meningkatkan proses pembelajaran. </p>
<p>Walau secara permukaan inovatif, <a href="http://rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/%28PRINT%29%20RISE%20-%20Infografis%20PKB_Rev.pdf">studi teranyar RISE menemukan beberapa kelemahan</a> kebijakan PKB di Indonesia. Seperti rancangan dan tujuan PKB tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan guru karena ketidaktepatan pemetaan kompetensi guru, kemampuan pedagogis instruktur kurang memenuhi harapan dan kebutuhan peserta. </p>
<p>Hasilnya, peserta program ini sekadar mendapat penyegaran materi yang sebenarnya sudah mereka pelajari di Program Studi Pendidikan Guru S1. </p>
<h2>Apa yang terjadi?</h2>
<p>Pada tahun 2000, sesungguhnya <a href="https://images.search.yahoo.com/yhs/search;_ylt=AwrVkY57QuZcJV4ANgMPxQt.;_ylu=X3oDMTByNWU4cGh1BGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDBHNlYwNzYw--?p=APM+SD+dan+SMP+1998&fr=yhs-adk-adk_sbyhp&hspart=adk&hsimp=yhs-adk_sbyhp#id=3&iurl=https%3A%2F%2Fimage.slidesharecdn.com%2Fanalisisstrategispembangunanpendidikandalamperencanaanpendidikan-130107134135-phpapp01%2F95%2Fanalisis-strategis-pembangunan-pendidikan-dalam-perencanaan-pendidikan-20-638.jpg%3Fcb%3D1357566276&action=clic">akses pendidikan dasar di Indonesia</a> sudah cukup tinggi, 96% untuk SD dan 80% untuk SMP.</p>
<p>Namun, keasyikan pemerintah yang didukung berbagai program internasional melalui kampanye MDGs untuk memperluas akses bersekolah, membuat Indonesia lengah terhadap mutu pembelajaran. Padahal, sebenarnya paling tidak sejak tahun 2000 itu perbaikan mutu pendidikan dasar sudah menjadi keperluan mendesak. </p>
<p>Dalam upaya mengikuti kecenderungan pembangunan internasional, <a href="https://www.cgdev.org/publication/capability-traps-mechanisms-persistent-implementation-failure-working-paper-234">menurut riset Pritchett dan koleganya pada tahun 2010</a>, negara berkembang seringkali menerapkan strategi tiruan semu dengan seolah-olah bekerja sesuai standar untuk mencapai target yang dipersyaratkan lembaga donor. </p>
<p><a href="https://www.odi.org/publications/7402-development-policy-isomorphism-isomorphic-mimicry-institutions">Philipp Krause dari Bill and Melinda Gates Foundation menilai bahwa lembaga donor berperan mendorong tiruan semu </a> karena menetapkan standar dan target yang pada dasarnya berada di luar jangkauan negara berkembang untuk memenuhinya. </p>
<h2>Replikasi inovasi yang fungsional</h2>
<p><a href="https://www.odi.org/publications/7402-development-policy-isomorphism-isomorphic-mimicry-institutions">Replikasi praktik pendidikan yang berhasil di negara lain sebenarnya tidak selalu buruk</a>, bahkan bisa lebih efisien karena peniru tidak perlu melangkah dari awal. </p>
<p>Akan tetapi, semua bentuk kebijakan publik wajib didasari riset yang dirancang secara baik dan dilaksanakan dengan ketat agar kebijakan berfungsi optimal. Karena konteks satu negara dengan negara lain belum tentu sama. Selain itu, terdapat tata cara yang harus dipahami dan ditaati. </p>
<p>Ada banyak cara yang ditawarkan <a href="https://www.slideshare.net/Suripto3x/pedoman-replikasi">oleh praktisi dan akademisi</a> untuk mewujudkan peniruan praktik yang berhasil tersebut agar berdampak fungsional. </p>
<p>Jangan sampai <a href="https://www.cgdev.org/publication/capability-traps-mechanisms-persistent-implementation-failure-working-paper-234">tiruan semu sekadar menghasilkan citra inovatif di permukaan</a> untuk menarik dukungan finansial atau semacamnya. Bila itu terjadi pemangku kebijakan terbuai atau berilusi sedang membuat kemajuan. </p>
<p>Padahal, sebenarnya reformasi yang dilakukan tidak memperbaiki fungsi mendasarnya, bahkan mungkin melemahkan fungsi-fungsi yang sebenarnya tengah dalam proses terbangun. Kebijakan yang hanya didasarkan pada tiruan semu sulit mencapai sasarannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121046/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Syaikhu Usman terlibat dalam riset Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris (DFID UK), pemerintah Australia (DFAT), dan Bill and Melinda Gates Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Heni Kurniasih terlibat dalam riset Program RISE (Research on Improving Systems of Education) di Indonesia yang didanai oleh pemerintah Inggris (DFID UK), pemerintah Australia (DFAT), dan Bill and Melinda Gates Foundation.</span></em></p>Hasil UNBK perlu dianalisis lebih lanjut untuk memperbaiki mutu pembelajaran dengan mengurangi disparitas mutu antarsekolah.Syaikhu Usman, Senior Researcher, SMERU Research InstituteHeni Kurniasih, Senior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1150122019-06-26T01:59:40Z2019-06-26T01:59:40ZMengapa adanya jasa bimbel bisa sulitkan pemerintah ketahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/280186/original/file-20190619-171200-1k7gqm8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Teori trigonometri dan persamaan matematika yang diajarkan di sekolah, juga didril-kan di bimbingan belajar.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MDk2NTk2NSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfNzA4MDQwMjI1IiwiayI6InBob3RvLzcwODA0MDIyNS9odWdlLmpwZyIsIm0iOjEsImQiOiJzaHV0dGVyc3RvY2stbWVkaWEifSwiKzk3dkVRcmVrMnFiZVZTNTkzMGlqZmdwTC9NIl0%2Fshutterstock_708040225.jpg&pi=41133566&m=708040225&src=QWZixA001gmjYRYq-Kg_SQ-1-28">Dr Project/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Maraknya layanan jasa bimbingan belajar, <a href="https://tirto.id/bisnis-industri-pendidikan-yang-makin-diminati-cnRh">jumlahnya mencapai hampir 2000 lembaga</a>, berpotensi menyulitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengetahui kualitas pembelajaran yang sebenarnya di sekolah.</p>
<p>Hingga kini belum ada data definitif jumlah siswa yang ikut bimbel, tapi sebuah publikasi dari <a href="https://www.bi.go.id/id/umkm/kelayakan/pola-pembiayaan/perdagangan/Pages/bimbel_19042011.aspx">Bank Indonesia pada 2010 menyebutkan total peserta bimbel sekitar 950 ribu anak</a>. </p>
<p>Walau banyak dikritik, <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/544415/perluas-fungsi-un-siswa-diwajibkan-isi-angket">Ujian Sekolah Berstandar Nasional atau Ujian Nasional (UN)</a> tetap digunakan oleh pemerintah untuk memetakan dan mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah secara nasional. </p>
<p>Setiap tahun, menjelang ujian nasional sekolah menengah dan masuk perguruan tinggi, <a href="https://manado.tribunnews.com/2012/04/09/jumlah-siswa-yang-ikut-bimbel-stanford-meroket">pendaftar bimbel melonjak</a> karena sistem dril soal-soal dianggap membantu siswa mampu menjawab ujian nasional dan lolos seleksi pendaftaran universitas. </p>
<p>Persoalannya, apakah para siswa yang mampu menyelesaikan soal-soal ujian nasional itu karena proses pembelajaran di sekolah yang diajarkan oleh guru atau berkat sistem dril selama beberapa minggu/bulan yang dilatih oleh para tutor di lembaga bimbingan belajar? Atau bisa juga berkat kedua-duanya. Sampai detik ini belum ada riset skala nasional yang untuk menjawab pertanyaan itu. </p>
<p>Barangkali karena bimbel dianggap sebagai hal yang umum di masyarakat dan dinilai cukup membantu kemampuan siswa menyelesaikan soal, maka sedikit yang melihat bahwa bimbel perlu diteliti lebih lanjut. Padahal UN dijadikan pertimbangan upaya perbaikan kualitas pendidikan di sekolah, sementara UN sendiri bias.</p>
<h2>Sejarah bimbel</h2>
<p>Secara hukum, bimbel merupakan kursus yang dipayungi oleh <a href="https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf">Pasal 26 ayat 5</a> Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan <a href="https://setkab.go.id/bos-mendukung-pelaksanaan-sekolah-gratis/">biaya sekolah sampai SMA yang sebagiannya ditanggung oleh pemerintah</a>, biaya bimbel sepenuhnya dibayar oleh orang tua siswa dengan harga paket <a href="https://tirto.id/bisnis-bimbel-dari-paket-rp150-ribu-sampai-rp56-juta-dg5K">layanannya bervariasi</a>.</p>
<p>Lembaga bimbingan belajar (bimbel) menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan di Indonesia <a href="https://tirto.id/bimbel-seolah-wajib-bagi-calon-mahasiswa-tak-cukupkah-sekolah-dgbX">sejak 1970-an</a>. Pada awalnya, bimbel memberikan layanan persiapan siswa jenjang SMA dengan metode dril soal ujian untuk mengikuti seleksi masuk universitas perguruan tinggi negeri. </p>
<p>Belakangan, bisnis layanan dril soal itu lebih luas lagi dengan menyasar siswa sekolah dasar dan menengah pertama di berbagai kota di negeri ini. Namun, peran bimbel yang besar itu juga menjadi penanda <a href="https://www.vice.com/id_id/article/gy3k87/bisnis-bimbel-terus-subur-tanda-ada-yang-salah-dari-sistem-pendidikan-kita">ada yang salah dengan kebijakan pendidikan nasional</a>.</p>
<h2>Layanan yang tak ada di sekolah</h2>
<p>Bisnis bimbel menjamur karena kebutuhan siswa, yakni persiapan ikut ujian masuk universitas negeri dan ujian nasional, tidak disediakan sepenuhnya oleh sekolah. Walau SMA mampu menghasilkan lulusan yang memenuhi <a href="https://bsnp-indonesia.org/wp-content/uploads/2009/04/Permendikbud_Tahun2016_Nomor020_Lampiran.pdf">standar kelulusan nasional</a>, tapi tidak dibahas secara khusus mengenai penyiapan siswa untuk lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri/swasta.</p>
<p>Kini bimbel juga menyediakan layanan jasa pembelajaran materi pelajaran–bukan hanya menyelesaikan soal-soal–yang telah diberikan di sekolah. Bahkan dalam beberapa kasus guru juga mendorong siswa mengikuti bimbel karena bimbel melatih keterampilan menjawab soal secara praktis, benar, dan cepat. </p>
<p>Komisi Pemberantasan Korupsi sampai memperingatkan kepada guru agar tidak memberikan les/pelajaran tambahan berbayar kepada siswa yang juga dia ajar di sekolah untuk <a href="https://kbr.id/nasional/12-2018/kpk_larang_guru_berikan_les_ke_murid_di_sekolahnya__mengapa_/98406.html">menghindari konflik kepentingan</a>. </p>
<p>Sebuah <a href="https://www.brilio.net/news/ini-5-alasan-kenapa-kamu-perlu-belajar-di-lembaga-bimbingan-belajar-150507v.html#">laporan menunjukkan alasan anak-anak pakai jasa bimbel</a> yakni:</p>
<ol>
<li>Sekolah diibaratkan sebagai makanan pokok, bimbel adalah suplemennya. Jadi saling melengkapi. </li>
<li>Bimbel membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang kurang dikuasainya di sekolah karena jam belajar habis atau tidak berani bertanya kepada guru. </li>
<li>Bimbel menyediakan pembelajaran lebih fleksibel dan lebih ramah.</li>
<li>Bimbel memberi tips praktis menyelesaikan soal ujian nasional dan seleksi masuk universitas negeri. </li>
<li>Bimbel memberi informasi tambahan mengenai peluang studi lanjut di universitas.</li>
</ol>
<p>Di luar hal tersebut, “sakralisasi” ujian nasional oleh pemerintah dan masyarakat membuat ujian ini jadi menakutkan, seolah-olah menjadi penentu “hidup mati” masa depan siswa. Iklim belajar di sekolah yang dikejar target menuntaskan materi dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) tertentu juga membuat sebagian besar sekolah fokus mengajarkan trik menyelesaikan soal-soal dengan baik, benar, dan cepat. </p>
<p>Jam pelajaran yang terbatas (karena banyak materi/mata pelajaran) dan kemampuan siswa yang beragam juga berkontribusi pada variasi kedalaman pemahaman siswa, termasuk kemampuan mengerjakan soal-soal ujian. Celah-celah itu yang dibidik oleh pelaku bisnis bimbel untuk membuka jasa cara menyelesaikan soal.</p>
<h1>Apakah materi di sekolah tidak cukup?</h1>
<p>Apakah materi pelajaran yang diberikan oleh guru-guru di ruang kelas tidak cukup sehingga jasa bimbel dibutuhkan oleh siswa dan orang tua siswa? </p>
<p>Ada beberapa riset dengan skala kecil. Sebuah <a href="http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=19743">riset di Aceh menunjukkan tak ada perbedaan kemandirian belajar</a> antara siswa SMP yang ikut bimbel dan tidak ikut bimbel. Kemandirian belajar merupakan sikap siswa yang punya motivasi sendiri untuk menguasai materi belajar tanpa bergantung pada orang lain. Sementara di level sekolah dasar, <a href="http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=4068">ada riset yang menunjukkan perbedaan hasil belajar</a> antara siswa yang ikut bimbel dan tidak. </p>
<p>Informasi yang saya dapat dari sekolah-sekolah menunjukkan bahwa beban guru berlebihan–materi pembelajaran terlalu banyak dan berat untuk diselesaikan dalam satu semester. Akibatnya, guru dan siswa menguras energi dan psikis dari pagi hingga sore untuk memenuhi <a href="https://pklk.gtk.kemdikbud.go.id/webpage/show_pdf_article/artikel/2e01e17467891f7c933dbaa00e1459d23db3fe4f">Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 70</a> dengan aktivitas belajar bisa jatuh hanya pada latihan soal-soal di lembar kerja siswa (LKS).</p>
<h2>Lalu bagaimana?</h2>
<p>Jika alasan siswa ikut bimbel karena tidak paham materi pelajaran siswa di sekolah yang jam belajarnya habis, maka substansi dan struktur kurikulum, termasuk teknis penjadwalan belajar di sekolah harus dikaji ulang. Struktur <a href="https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/10/nbolfb-kurikulum-2013-terlalu-berat-untuk-siswa">Kurikulum 2013 relatif gemuk</a> dengan target capaian yang tinggi. Perlu dipilah ulang mana materi yang relevan dengan kebutuhan kehidupan siswa untuk jenjang pendidikan tertentu dan mana yang kurang relevan. </p>
<p>Walau ada banyak mata pelajaran, ujian nasional hanya <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3872214/jadwal-lengkap-usbn-dan-un-2019-tingkat-smk-sma-dan-smp">mengujikan empat mata pelajaran</a>: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan satuan mata pelajaran pilihan IPA/IPS/Bahasa (tingkat SMA) atau teori kejuruan (SMK) atau IPA (SMP). </p>
<p>Jika siswa tidak berani bertanya kepada guru dan pembelajaran di kelas yang kaku dan formal, maka yang perlu diubah adalah praktik pembelajarannya. Guru dan sekolah perlu memfasilitasi upaya pembelajaran yang menyenangkan, memahamkan, bermakna dan berdaya guna bagi siswa.</p>
<p>Sekolah juga perlu menyediakan informasi yang mutakhir mengenai peluang studi lanjut di tingkat pendidikan lebih tinggi, terutama universitas. Pada era internet, semua universitas negeri dan swasta menyediakan informasi dasar soal pendaftaran universitas lewat situs web. Media massa juga rutin memberitakan ihwal pendaftaran universitas. Sekolah perlu memberdayakan guru-gurunya untuk memberikan informasi tentang sekolah lanjut dengan cara yang menarik dan memotivasi. </p>
<h2>Jangan lempar handuk</h2>
<p>Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah dalam sistem pendidikan formal. Ada kesalahan fatal bila diartikan bahwa sekolah dan bimbel adalah satu paket yang saling melengkapi untuk mendorong siswa mendapat nilai tinggi dalam ujian nasional.</p>
<p>Faktanya banyak kasus siswa sukses ujian nasional tanpa ikut bimbel. Misalnya, <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4548751/tanpa-les-hafidh-buka-rahasianya-raih-nilai-sempurna-di-un-sma">Hafidh yang nilainya sempurna pada UN tahun 2019 ini</a>. Seharusnya fokus sekolah bukan mempersiapkan ujian nasional tapi menyelenggarakan pembelajaran menyeluruh dengan mengukur segenap dimensi: kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa. Pemahaman ini yang harus terus menerus disampaikan, agar siswa, orang tua, dan bahkan sekolah tidak menggantungkan diri pada bimbel.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/115012/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edi Subkhan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Melemparkan masalah internal sekolah untuk diselesaikan oleh bimbel bukan hanya ibarat lembar “handuk” sembunyi tangan, tapi ini kegagalan dalam mendiagnosis sumber masalah di pendidikan formal.Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.