Menu Close
Para peneliti terus mencari obat antivirus yang ampuh, harganya murah dan mudah diakses oleh masyakarat. Anna Shvets/Pexel

Hampir tiga tahun pandemi: perkembangan mutakhir pencarian obat mujarab COVID-19

Hampir tiga tahun pandemi COVID-19 menorehkan sejarah penting perjuangan manusia melawan penyakit yang diakibatkan virus. Virus penyebab COVID, SARS-CoV-2, menjadi anggota keluarga virus corona terkini yang menginfeksi manusia.

Dunia telah memulai hidup berdampingan dengan COVID-19 walau lonjakan kasus masih bermunculan akibat varian virus baru. Keberhasilan spektakuler dalam pengembangan vaksin telah menjadi bukti suksesnya penerapan ilmu biomedis dalam pencegahan penyakit.

Namun, di sisi pengobatan, hingga saat ini belum ada obat antivirus spesifik COVID-19 yang tersedia walau beberapa obat telah mendapat izin penggunaan darurat (emergency use authorization, EUA) dan menunjukkan hasil menjanjikan.

Sejak awal pertempuran melawan COVID-19, upaya penemuan obat bergantung pada alih guna berbagai obat dan pengembangan antibodi klon tunggal (monoklonal). Keduanya dipilih untuk secara cepat mendapatkan obat yang kala itu begitu dibutuhkan.

Alih guna obat berarti pada mulanya kandidat obat telah diteliti dan digunakan untuk penyakit infeksi lain. Pengembangan obat COVID-19 terus berlangsung untuk memperoleh obat ampuh yang aman.

Obat yang dicari adalah obat yang dapat diberikan pada awal gejala penyakit, dalam bentuk sediaan yang mudah diberikan, relatif murah, dan dapat diakses semua kalangan. Suatu kondisi ideal jika obat tersebut dapat memiliki spektrum luas untuk melawan beberapa jenis virus sekaligus. Hal ini penting untuk kesiapan terhadap pandemi masa depan.

Bagaimana sejauh ini pengembangan obat untuk orang-orang yang terkena COVID?

Tiga jenis obat yang dikembangkan

Sampai saat ini setidaknya ada tiga strategi pengembangan obat antivirus untuk COVID-19: (1) pengembangan obat jenis aksi langsung terhadap virus (directly acting antiviral), (2) obat menarget pejamu manusia (host-targeting antiviral), dan (3) obat jenis pengatur respons imun (immunomodulator).

Fokus pertama pengembangan obat jenis aksi langsung adalah obat yang menghambat enzim protease (enzim pemecah protein) dan polymerase (enzim pemicu perbanyakan materi genetik virus RNA, RNA-dependent RNA polymerase/RdRp) virus.

Sementara fokus kedua ada pada penggunaan antibodi klon tunggal yang bekerja menetralisasi dan menarget protein Spike (S) (atau domain RBD) dari SARS-CoV-2, sehingga virus tidak bisa memasuki sel manusia. Antibodi klon tunggal secara spesifik berikatan dengan protein S sehingga virus kehilangan kemampuan menginfeksi sel manusia.

Beberapa obat jenis aksi langsung telah memperoleh izin penggunaan darurat. Dari jenis obat penghambat protease, nirmatrelvir yang dikombinasikan dengan ritonavir (nama dagang Paxlovid dari Pfizer) merupakan obat penghambat enzim main protease (Mpro) yang vital bagi virus untuk bisa memperbanyak diri dalam sel manusia.

Obat penghambat enzim RdRp di antaranya remdesivir (Veklury, Gilead Biosciences) dan molnupiravir (Lagevrio, Merck).

Mekanisme unik dari molnupiravir adalah dengan memasukkan mutasi basa nukleotida pada proses perbanyakan RNA, sehingga menimbulkan kesalahan proses fatal pada duplikasi RNA dan menghambat perbanyakan virus.

Beberapa antibodi klon tunggal yang telah disetujui untuk penggunaan darurat di antaranya bebtelovimab. Obat ini terdiri dari kombinasi tixagevimab dan cilgavimab (Evusheld, AstraZeneca), sotrovimab (Xevudy, GlaxoSmithKline dan Vir Biotechnology), dan kombinasi casirivimab dan imdevimab (REGEN-COV, Regeneron dan Roche).

Dari jenis pengatur respons imun, jenis ketiga, hasil menjanjikan telah ditunjukkan beberapa obat, di antaranya penghambat enzim janus kinase baricitinib (Olumiant, Eli Lilly) dan penghambat interleukin-6 tocilizumab (Actemra, Genentech-Roche).

Keterbatasan dan tantangan

Tantangan yang dihadapi oleh obat jenis aksi langsung adalah kondisi virus yang selalu bermutasi dan dapat memicu resistensi obat. Obat dapat kehilangan efektivitasnya terhadap varian baru SARS-CoV-2, seperti telah ditunjukkan dengan adanya laporan awal resistensi obat remdesivir.

Penggunaan antibodi dibatasi kendala harga yang masih relatif mahal (sekitar US$ 2.100 (Rp 33 juta) per dosis), ketersediaan yang terbatas, dan pemberian yang melalui suntikan sehingga harus diberikan di fasilitas kesehatan.

Sementara itu, strategi obat yang menarget pejamu manusia masih belum mendapat banyak perhatian walau menawarkan berbagai keunggulan. Obat jenis ini mengubah mekanisme interaksi antara virus dengan sel manusia ketika infeksi terjadi.

Mekanisme aksinya, antara lain, menghambat masuknya virus ke dalam sel manusia. Mekanisme lain adalah mengganggu proses pelipat-gandaan protein virus saat memperbanyak diri. Oleh karena obat ini menarget sel manusia, khasiat obat tidak dipengaruhi oleh terjadinya mutasi pada genetik virus yang dapat menyebabkan resistensi obat.

Dengan demikian, obat jenis ini dapat digunakan untuk berbagai varian virus yang timbul akibat mutasi. Selain itu, obat jenis ini dapat memiliki spektrum luas sehingga potensial digunakan untuk melawan berbagai virus corona maupun virus lainnya.

Obat yang manjur dan terjangkau

Salah satu obat menarget pejamu manusia adalah UV-4 (dikenal juga dengan nama MON-DNJ). Obat ini telah dikembangkan oleh Unit Antiviral Drug Discovery di Universitas Oxford, Inggris. Saya terlibat sebagai salah satu peneliti di unit ini.

MON-DNJ beraksi menghambat enzim glucosidase sehingga menghambat proses pelipatan glikoprotein (komponen pembentuk struktur utama dari virus) di retikulum endoplasma sel manusia. Hambatan ini pada akhirnya mengakibatkan gagalnya pembentukan virus baru.

Obat ini telah diteliti aman dan lolos uji klinis fase 1 dan sedang memasuki uji klinis lanjutan. Obat ini telah diteliti memiliki aktivitas antivirus terhadap berbagai virus seperti virus dengue, Zika, influenza, hepatitis, Marburg, dan Ebola.

Hasil uji awal di laboratorium membuktikan bahwa obat ini efektif menghambat kematian sel akibat infeksi virus SARS-CoV-2 dan mengurangi tingkat perbanyakan virus.

Kolaborasi peneliti dunia, termasuk tim di Universitas Oxford, berupaya mengembangkan obat antivirus oral, berbasis penghambat Mpro untuk melawan COVID-19.

Kolaborasi dengan nama “Moonshot project” ini berbasis urun daya (crowdsourcing) dan berikhtiar menemukan obat COVID-19 spesifik bebas paten sehingga dapat menjamin produksi dalam jumlah besar dan distribusi obat ke seluruh dunia dengan harga terjangkau.

Proses penemuan obat baru untuk COVID-19 masih terus berlangsung.

Kolaborasi dan kerja sama antar institusi dalam format ABG (academic-business-government) akan sangat menunjang pengembangan dan penemuan obat antivirus baru. Kita nantikan obat mujarab untuk COVID-19.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 191,400 academics and researchers from 5,063 institutions.

Register now