Menu Close

Harta, jabatan, dan kekuasaan: bagaimana sistem presidensial dorong perpecahan partai politik di Indonesia

M Risyal Hidayat/Antara Foto

Bulan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam sebuah Kongres luar biasa yang kontroversial di Medan, Sumatera Utara.

Terpilihnya Moeldoko “mendepak” Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.

Awal bulan ini, pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat yang diajukan kubu Moeldoko. Dengan demikian Agus tetap menjadi ketua umum.

Perpecahan di Partai Demokrat - walau tidak berlangsung lama - bukanlah perpecahan partai politik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar juga sempat terbelah.

Saya meneliti bagaimana partai-partai dan sistem partai di Indonesia mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto yang disusul perubahan pada sistem pemilihan umum (pemilu) demokratis dan langsung.

Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas. Sistem ini mendorong terbentuknya faksi-faksi dalam partai politik berupa perpecahan yang terdorong bukan karena perbedaan ide-ide kebijakan, namun demi harta, jabatan, dan kekuasaan.

Dampak sistem presidensial

Secara umum, ciri sistem presidensial adalah dua sumber kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang berbeda: presiden dan parlemen sama-sama dipilih secara langsung, dan presiden hanya bisa diturunkan lewat proses pemakzulan.

Selama Orde Baru, Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak diawasi; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya lembaga tertinggi negara di atas kertas.

Soeharto mengendalikan Golkar - partai rezim - dan berhasil menekan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan PPP yang ketika itu dianggap partai semi-oposisi.

Setelah Orde Baru jatuh, kekuasaan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menguat sangat pesat.

Meski demikian, masa-masa awal Reformasi diwarnai ketidakpastian.

Penurunan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2001 adalah akibat kemelut antara DPR, MPR, dan sang presiden yang memiliki perbedaan pandang jauh dengan parlemen tentang apa yang menjadi otoritasnya.

Karena kekisruhan pasca kejatuhan Gus Dur, pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pada 2004.

Sistem presidensial cenderung mendorong pembentukan faksi-faksi (faksionalisme) tersendiri, terutama berkaitan pada adanya dualisme antara presiden dan partainya. Karena presiden dipilih langsung, ia tidak bergantung pada parlemen (dan partai politik) layaknya seorang perdana menteri.

Faksionalisme dalam sistem presidensial tentu saja bukan sekadar soal peraturan-peraturan yang mendorong organisasi atau institusi partai yang baik.

Partai politik dapat terpecah jika demokrasi dalam partai tinggi, jika ekonomi politik partai tidak menguntungkan satu pihak saja, jika partai tidak terlalu terpusat, jika peraturan internal (misalnya soal keanggotaan atau pemilihan ketua) tidak terlalu jelas, dan seterusnya.

Perpecahan internal juga tidak akan mudah menyebabkan munculnya partai-partai baru karena banyak tantangan dari luar.

Di Indonesia, partai baru tidak memiliki peluang sukses yang realistis karena, misalnya, tingginya ambang batas elektoral, peraturan yang menuntut jumlah cabang yang banyak, dan tingginya biaya kampanye.

Di sini, sistem presidensial telah membawa setidaknya tiga dampak.

Pertama, terbentuknya partai-partai politik dengan tujuan untuk mendukung calon presiden (atau calon pemegang jabatan penting lainnya).

Partai Demokrat, Partai Hanura, Gerindra, dan Partai NasDem adalah contoh-contoh utama.

Hal ini hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang memungkinkan orang-orang kaya untuk membangun kendaraan-kendaraan politik dari nol.

Sistem presidensial mendorong munculnya pemimpin-pemimpin karismatik yang memiliki kendaraan politik sendiri.

Faksionalisme dalam partai-partai semacam ini tidak banyak terjadi jika kepemimpinan partai sangat kuat (misalnya Prabowo Subianto di Gerindra).

Tapi faksionalisme meningkat jika pemimpin partai - dalam kasus ini SBY di Partai Demokrat - mengizinkan adanya persaingan atau tidak mampu mencegah persaingan.

Kedua, munculnya orang-orang luar seperti Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sukses tanpa memiliki partai sendiri - atau paling tidak tanpa akar kuat di salah satu partai besar.

Dalam situasi ini, sistem presidensial akan menciptakan dualisme antara si orang luar dan mesin partai. Ini tampak dalam ketegangan antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Ketiga, selama beberapa tahun terakhir Jokowi telah menjadi presiden yang sangat kuat dan tampaknya mampu secara tidak langsung mencampuri konflik internal partai-partai lain untuk menciptakan faksi yang mendukung dia. Contohnya yang terjadi di PPP, Golkar, dan mungkin juga di Partai Demokrat.

Perpecahan dalam Partai Demokrat kemarin bisa dilihat memiliki karakter campuran ketiga dampak di atas.

Jokowi (kiri) dan Megawati Soekarnoputri. Setpres/Antara Foto

Jalan keluar

Partai-partai politik di Indonesia berkolusi dan membangun koalisi-koalisi besar; platform mereka tidak jauh berbeda satu sama lain.

Nyaris tidak ada perbedaan antara partai sayap kiri dan sayap kanan. Partai-partai itu telah menjadi bagian suatu kartel dan telah terlibat dalam banyak kasus korupsi di tingkat nasional dan daerah.

Perpecahan dalam partai terjadi sebagai bentuk faksionalisme berciri klientelisme - dengan kata lain rebutan soal uang, jabatan, dan kekuasaan.

Sebaliknya, faksionalisme berbasis kebijakan - sesuatu yang jarang bahkan tidak ada di Indonesia - terjadi karena ideologi politik. Perpecahan antara kelompok-kelompok dalam partai terjadi karena perbedaan ide dan strategi politik.

Indonesia membutuhkan partai-partai dengan platfrom yang jelas, yang mewakili spektrum politik sepenuhnya, dari sayap kiri hingga kanan.

Untuk mendorong ini, DPR dan pemerintah perlu memulai adanya aturan ketat soal partai dan pendanaan kandidat serta pemilihan calon berdasarkan aturan mengikat dalam prosedur internal partai.

Mungkin dengan itu, nantinya kelompok-kelompok internal partai tidak lagi memandang organisasi mereka sebagai alat-alat kekuasaan dan keuntungan diri. Namun, kelompok-kelompok itu bisa mulai berdebat soal isu-isu politik yang kompleks tentang keuangan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan demi kepentingan para pemilih Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now