Menu Close

Hasil rapid tes COVID-19 yang tidak akurat bisa timbulkan beban psikososial yang dites

Petugas medis mengambil sampel darah warga yang akan bepergian saat tes diagnostik cepat (rapid test) di Puskesmas Tembong, Serang, Banten, 14 Juli 2020. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/foc

Di tengah terbatasnya fasilitas tes PCR untuk diagnosa COVID-19, rapid test makin banyak digunakan untuk mengetahui status COVID-19 seseorang di Indonesia meski tidak direkomendasikan WHO.

Pemerintah mewajibkan penumpang pesawat atau kereta jarak jauh lolos tes cepat sebagai syarat bepergian.

Hingga saat ini, pemerintah belum tegas mengenai penetapan status orang dengan hasil rapid test reaktif. Pemerintah tidak mewajibkan orang dengan hasil rapid test reaktif untuk melakukan tes PCR ataupun memfasilitasi mereka untuk test PCR.

Pemerintah memilih mewajibkan seseorang dengan hasil rapid test reaktif (diduga orang yang dites terpapar virus corona) untuk isolasi mandiri 14 hari. Sementara untuk orang dengan hasil non-reaktif, pemerintah memperpanjang masa berlaku rapid test dari 7 hari hingga 14 hari

Namun, karena tingkat akurasi tes cepat masih rendah, banyak anggota masyarakat yang menjadi tidak percaya pada tes cepat sebagai alat skrining. Khawatir akan beban psikososial dan finansial dari hasil tes cepat yang tidak bisa 100% dipercaya, banyak orang, termasuk tenaga kesehatan, memilih untuk menghindari skrining COVID-19 sama sekali.

Karena tingkat akurasi yang tidak 100%, rapid test seharusnya hanya digunakan untuk skrining awal dan harus diikuti dengan test PCR.

Kejadian positif palsu pada rapid test

Saya termasuk tim uji coba alat tes cepat buatan Universitas Gadjah Mada. Kami menguji coba alat tes cepat di 25 Puskesmas di Sleman Yogyakarta pada Juni melibatkan sekitar 1.500 petugas medis.

Dalam riset di Sleman tersebut, saya temukan bahkan di kalangan petugas medis yang memiliki pemahaman lebih baik tentang kesehatan dibanding masyarakat umum, sebagian menolak mengikuti rapid test karena takut mendapatkan hasil reaktif.

Beberapa peserta tenaga medis dengan hasil reaktif, meminta tesnya diulang dengan alat lain dan cenderung lebih mempercayai hasil non-reaktif, walau hasil tersebut bisa jadi negatif palsu.

Ragam reaksi dari peserta rapid test massal tidak mengejutkan mengingat betapa beratnya stigma yang melekat pada pasien COVID-19. Salah satu peserta dengan hasil reaktif harus rela berpindah dari tempat tinggalnya karena tidak lagi diterima walau hasil swab PCR nya terbukti negatif. Pada beberapa peserta, kewajiban isolasi mandiri juga berdampak pada penghasilan harian mereka.

Jika tes massal dilakukan pada tenaga kesehatan, hasil positif palsu berpotensi mengganggu jalannya pelayanan kesehatan karena petugas yang reaktif diharuskan melakukan isolasi mandiri. Hal tersebut membuat banyak orang menolak pelaksanaan rapid test massal.

Yang kami temukan dari reaksi tenaga kesehatan terhadap alat rapid test sejalan dengan beberapa riset mengenai skrining kanker payudara yang positif palsu.

Menurut riset ini, terdapat beberapa konsekuensi psikologis dan material yang dipicu oleh hasil positif palsu dari sebuah alat skrining. Misalnya, pasien yang mendapatkan hasil positif palsu dari alat skrining mamografi akan bisa mengalami kecemasan, perasaan kecewa, serta gangguan tidur dalam jangka panjang.

Selain itu, hasil positif palsu juga dapat menyebabkan kerugian material karena harus membayar kunjungan ke rumah sakit serta pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak diperlukan.

Lalu bagaimana?

Saat ini, kebijakan Kementerian Kesehatan mewajibkan orang dengan hasil rapid test reaktif atau diduga pernah terpapar virus corona untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Mereka juga dianjurkan untuk melakukan tes swab PCR dalam rangka mengkonfirmasi diagnosis.

Pada hasil rapid test positif atau reaktif, sebaiknya pasien tidak perlu mengisolasi diri selama 14 hari, tapi diwajibkan untuk memperketat protokol kesehatan sembari dimonitor ketaatan serta gejalanya.

Pasien juga harus difasilitasi untuk melakukan tes PCR untuk mengkonfirmasi hasil secepatnya. Saat ini, pemerintah menganjurkan pasien reaktif tes cepat untuk melakukan tes swab PCR dalam rangka mengkonfirmasi diagnosis. Kalau tenaga kesehatan, rata-rata difasilitasi Dinas Kesehatan. Tapi untuk masyarakat, mayoritas masih harus bayar sendiri.

Sebaliknya, pasien dengan hasil rapid test non-reaktif juga sebaiknya tetap tidak dianjurkan untuk melakukan perjalanan sebelum ada konfirmasi PCR. Berarti sebenarnya pemerintah harus menyediakan tes PCR untuk reaktif maupun nonreaktif.

Dengan adanya penyesuaian kebijakan tersebut, diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap COVID-19 tetap terjaga tanpa memperburuk stigma baik pada rapid test maupun pada populasi rentan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now