tag:theconversation.com,2011:/id/topics/ketenagakerjaan-49086/articlesKetenagakerjaan – The Conversation2023-06-16T15:59:01Ztag:theconversation.com,2011:article/2069982023-06-16T15:59:01Z2023-06-16T15:59:01ZSurvei: beban kerja mahasiswa magang setara pekerja penuh waktu, tapi mayoritas tak diupah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/532352/original/file-20230616-27-dvoif8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C137%2C5732%2C3603&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/asian-women-stressed-out-work-she-613178555">Torwaistudio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Praktik magang, apalagi yang tak berbayar, menimbulkan polemik terkait hak dan kewajiban pemagang dalam relasi kerja di Indonesia.</p>
<p>Pemagangan, yang secara umum diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/145067/permenaker-no-6-tahun-2020">Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2020</a>, sering dianggap sebagai sarana praktik sebelum memasuki dunia kerja, memperoleh jejaring profesional, hingga pengembangan kapasitas individu.</p>
<p>Sayangnya, meski para pemagang dipekerjakan penuh waktu layaknya pekerja, Pemernaker tersebut tak mengamanatkan kompensasi berupa upah dan hanya berupa uang saku yang meliputi “biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan” yang layak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/eksploitasi-pekerja-magang-di-start-up-bisa-terjadi-karena-aturan-hukum-yang-ketinggalan-zaman-157353">Eksploitasi pekerja magang di start-up bisa terjadi karena aturan hukum yang ketinggalan zaman</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Yang lebih parah lagi justru adalah peserta magang akademik, utamanya yang melibatkan pelajar dan mahasiswa.</p>
<p>Relasi kerja yang diatur dalam Permenaker di atas, sebenarnya merujuk pada “percantrikan” (<a href="https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_711612.pdf"><em>apprenticeship</em></a>), yakni pelatihan sebelum pekerja ditempatkan ke posisi jabatan tertentu. Sedangkan, magang yang melibatkan pelajar dan mahasiswa bukan bertujuan untuk itu, melainkan untuk tujuan pembelajaran (<em>internship</em>) – dan kegiatan ini belum memiliki payung hukum yang formal di Indonesia.</p>
<p>Akibatnya, meski juga kerap dipekerjakan secara penuh waktu, pemagang akademik bahkan tak mendapat hak uang saku sama sekali.</p>
<p>Hasil sementara dalam penelitian saya (belum dipublikasikan) memberi gambaran bagaimana alih-alih mengasah kompetensi pemagang, praktik magang akademik justru menempatkan mereka dalam posisi yang rentan di tempat kerja. Banyak dari mereka bekerja penuh waktu tanpa upah dan hak kerja layak.</p>
<p>Studi ini melibatkan 215 responden pekerja magang selama menjadi pelajar atau mahasiswa.</p>
<p>Berdasarkan jenjang pendidikan mereka ketika magang, sebanyak 88% merupakan mahasiswa sedangkan 12% berjenjang sekolah menengah. Di antara mahasiswa, sebanyak 66% dari rumpun ilmu sosial dan humaniora sedangkan 34% dari rumpun ilmu sains dan teknologi.</p>
<p>Instansi magang mereka berada di sektor lembaga publik (44%), swasta (41%), dan sebanyak 15% lainnya tersebar di sektor lain seperti Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D), sektor pendidikan, dan nonprofit.</p>
<h2>Lemahnya pemagang akademik dalam hierarki kerja</h2>
<p>Akibat absennya regulasi, banyak pemberi kerja di Indonesia menyamakan beban kerja pemagang akademik setara dengan pekerja formal.</p>
<p>Misalnya, mayoritas pemberi kerja sering menerapkan durasi kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu sesuai <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan</a>. Padahal, regulasi ketenagakerjaan berlaku hanya jika ada hubungan pekerja dan pemberi kerja secara formal, bukan dalam konteks magang akademik.</p>
<p>Tak hanya itu, para pemagang dibebankan mekanisme target, kewajiban, kontrol, serta sanksi yang diberlakukan selayaknya pekerja penuh waktu.</p>
<p>Namun, berbeda dengan pekerja, pengelompokan pemagang akademik sebagai orang yang masih belajar atau mencari pengalaman juga membuat mereka rentan <a href="https://www.versobooks.com/en-gb/products/2191-intern-nation">ditekan dalam “kultur kepatuhan”</a> terhadap atasan dan instansi.</p>
<p>Seluruh dinamika tersebut membuat pekerja magang akademik justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja – tanpa timbal balik yang setara buat mereka.</p>
<p>Hasil survei, misalnya, menunjukkan bahwa 53% responden pemagang menyatakan mereka seringkali bekerja di luar jam kerja hingga terpaksa membawa pekerjaan ke rumah karena beban kerja yang tinggi. Target yang harus mereka selesaikan juga setara dengan pekerja.</p>
<p>Ini bisa berupa penanganan keluhan pelanggan, rapat, membuat laporan, menginput data, atau observasi yang menyebabkan pemagang bekerja lembur.</p>
<p>Bahkan, beberapa menyatakan pernah bekerja lembur sampai dini hari, dan 3% responden bekerja lebih dari 8 jam per hari untuk menyelesaikan target.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=256&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530581/original/file-20230607-23-4bo9xq.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=321&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tak hanya itu, para responden kami juga melaporkan berbagai tekanan kerja akibat beberapa hal lainnya, termasuk:</p>
<ul>
<li>hambatan teknis yang meliputi miskomunikasi, alat dan instrumen kerja yang tidak berfungsi, dan pendelegasian tugas yang buruk,</li>
<li>fasilitas pembelajaran yang tidak sesuai ekspektasi mulai dari minimnya ruang untuk berpendapat hingga mentor yang kurang handal dan responsif, serta</li>
<li>diskriminasi karena status mereka sebagai pemagang yang posisinya dianggap rendah.</li>
</ul>
<p>Selain itu, sebanyak 72,6% responden menyatakan tidak memiliki kesempatan untuk memilih minat pekerjaan dan kompetensi yang mereka inginkan saat magang. </p>
<p>Pemagang justru hanya bisa menerima beban kerja yang diberikan oleh tempat magang, bahkan oleh oknum pekerja yang melimpahkan beban kerja penuh waktu mereka pada pemagang.</p>
<h2>Mayoritas tak diupah dan tanggung ongkos sendiri</h2>
<p>Meski sering menanggung beban dan target kerja yang sama dengan pekerja penuh waktu, kekosongan hukum dan kerangka kerja pemagang akademik sebagai “pembelajar” membuat mereka <a href="https://www.versobooks.com/en-gb/products/2191-intern-nation">tidak punya jaminan hak-hak kerja yang layak dan adil</a>.</p>
<p>Banyak dari mereka harus mengandalkan “kebaikan hati” pemberi kerja untuk memberikan upah. Misalnya, hanya 23,72% responden pemagang akademik menyatakan menerima upah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530582/original/file-20230607-21-8xsepz.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Di antara mereka, mayoritas yang dibayar oleh perusahaan hanya berkisar Rp 1-2 juta.</p>
<p>Sedangkan, bagi mereka yang melaksanakan program magang pemerintah, seperti lewat <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB)</a> dalam kerangka Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mayoritas dibayar sebesar Rp 2-2,9 juta.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=377&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530584/original/file-20230607-19-mll35h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ongkos produksi yang harus ditanggung oleh pemagang akademik pun menjadi salah satu persoalan besar. Sebanyak 65,58% responden menyatakan tidak diberikan kompensasi ongkos transportasi dan uang makan.</p>
<p>Bagi mereka yang menerima, besarannya per bulan mayoritas hanya berkisar Rp 200-400 ribu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=444&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530585/original/file-20230607-17-emwbgg.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=558&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/530586/original/file-20230607-21-bbcsrb.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Survei Magang Layak, Wulansari (2023)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Padahal, banyak pemagang harus menanggung ongkos transportasi dan uang makan sebesar Rp 400-720 ribu per bulan. Banyak dari mereka membayar bahan bakar kendaraan dan banyak pula yang menggunakan moda transportasi umum untuk pulang dan pergi magang. </p>
<h2>Pemangkasan biaya produksi</h2>
<p>Relasi kerja magang akademik juga menunjukkan adanya fenomena penggeseran risiko kerja dan ongkos produksi dari perusahaan ke pemagang.</p>
<p>Pada sektor swasta atau profit, ada banyak kasus juga ketika kompensasi justru diberikan oleh negara, misalnya program <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM)</a> yang disebutkan sebelumnya. </p>
<p>Sebagai gambaran, lewat skema magang akademik seperti pada program <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/08/terus-meningkat-msib-angkatan-3-tahun-2022-diikuti-sebanyak-27952-mahasiswa">MBKM</a>, ada kisaran <a href="https://pusatinformasi.mitrakm.kemdikbud.go.id/hc/en-us/articles/5724207738393-Ketentuan-Pendanaan-Program-Magang-Angkatan-2">Rp 55,9-78,3 miliar anggaran yang seharusnya menjadi ongkos pengupahan dari 216 perusahaan “mitra”</a> yang justru ditanggung oleh pemerintah.</p>
<p>Padahal, skema ini mempermudah perusahaan melihat dan menguji talenta, kecocokan, dan kualifikasi profesional spesifik dari pegawai – dengan <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/38122753.pdf">biaya rendah</a> atau bahkan <a href="https://assets.publishing.service.gov.uk/media/5b3b5de3ed915d33c7d58e52/Internships.pdf">tanpa ongkos rekrutmen</a>.</p>
<p>Di satu sisi, program ini pada kenyataannya memang memfasilitasi program magang yang lebih layak pada pekerja magang.</p>
<p>Di sisi lain, mekanisme ini menunjukkan adanya penyimpangan amanat regulasi kewajiban hak atas upah layak dalam relasi kerja yang <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/43013">idealnya dibebankan pada pemberi kerja</a>.</p>
<p>Selain itu, karena adanya batasan kuota, tidak semua pendaftar program magang yang diupah pemerintah, dapat diterima. </p>
<h2>Mendorong program magang layak</h2>
<p>Dalam praktiknya, alih-alih ditempatkan sebagai pembelajar, mayoritas pemagang akademik justru terjebak dalam sistem sukarelawan (<em>volunteer</em>) yang hanya mengandalkan kebaikan hati pemberi kerja untuk sekadar mendapatkan kompensasi atas ongkos produksi.</p>
<p>Dengan skema ini, posisi tawar pemagang – apalagi pemagang akademik – yang secara politik lebih lemah menyebabkan mereka sering kali harus pasrah dengan mekanisme kerja yang rentan. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/eksploitasi-pekerja-magang-di-start-up-bisa-terjadi-karena-aturan-hukum-yang-ketinggalan-zaman-157353">Pemerintah perlu melakukan intervensi</a> untuk menutup celah regulasi yang ada terkait pemagangan, baik akademik dan nonakademik. Harus ada kerangka hak dan kewajiban yang adil, beserta mekanisme pendisiplinan untuk pemberi kerja, agar tidak ada lagi praktik magang yang tidak layak.</p>
<p>Menegaskan kelayakan upah atau uang saku juga dapat mencegah praktik ketidakadilan karena timpangnya ongkos produksi yang dibebankan pada pemagang. Batasan minimum ini perlu dikaji – misalnya menggunakan survei kelayakan upah dan survei pengeluaran ongkos kerja oleh pemagang di setiap daerah.</p>
<p>Jika merefleksikan magang dalam kultur akademik, penting untuk menjamin regulasi yang menempatkan pemagang sebagai pihak otonom agar dapat memilih kompetensi yang mereka ingin dalami selama magang. Target dan beban kerja ditentukan berdasarkan kesepakatan yang demokratis antara pemagang, pemerintah yang menaungi relasi kerja, dan pemberi kerja dengan memperhatikan hak-hak kerja layak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206998/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anindya Dessi Wulansari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dinamika relasi kerja di Indonesia membuat pekerja magang justru menanggung beban kerja besar yang menghasilkan nilai bagi pemberi kerja – tanpa timbal balik yang setara buat mereka.Anindya Dessi Wulansari, Research Fellow at Institute of Governance and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM) and Lecturer, Universitas Tidar MagelangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2042092023-05-01T02:32:25Z2023-05-01T02:32:25ZDosen adalah buruh: pengakuan ini adalah langkah pertama dalam memperjuangkan kesejahteraan akademisi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/523518/original/file-20230430-22-xd7nia.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/graduationstudent-hold-hats-hand-during-commencement-753769402">(Shutterstock/Fongbeerredhot)</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini kami terbitkan untuk memperingati Hari Buruh (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei).</em></p>
<hr>
<p>Pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (PAN-RB) <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/240815/permen-pan-rb-no-1-tahun-2023">Nomor 1 Tahun 2023</a> untuk memusatkan dan menyederhanakan <a href="https://www.menpan.go.id/site/publikasi/unduh-dokumen/buku/file/6694-faq-peraturan-menteri-panrb-nomor-1-tahun-2023-tentang-jabatan-fungsional">pengelolaan jabatan fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN)</a>, menuai sorotan publik–terutama <a href="https://dasaptaerwin.notion.site/FAQ-Implikasi-Permenpanrb-No-1-2023-944e43549a9d4910b2e33337c22311fa">kalangan dosen</a>.</p>
<p>Di antara berbagai <a href="https://www.menpan.go.id/site/download/file/6695-materi-menteri-panrb">pro</a> dan <a href="https://jogja.antaranews.com/berita/610824/bksptis-meminta-permen-pan-rb-soal-peran-fungsional-dosen-dikaji-ulang">kontra</a> yang terjadi akibat aturan ini, muncul satu perdebatan menarik terkait status ketenagakerjaan dosen di Indonesia.</p>
<p>Sebagian pihak mengkhawatirkan dosen yang kini berfokus menjalankan tugas administratif. Bahkan, belum lama ini dosen <a href="https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683?notice=Article+has+been+updated.">sempat dibuat kalang kabut</a> menyelesaikan penyesuaian angka kredit untuk memenuhi aturan baru ini–di tengah <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">segudang beban administratif lain</a> yang sebelumnya sudah menjadi kewajiban mereka.</p>
<p>Dengan kata lain, usaha meneguhkan dosen sebagai “manusia birokrasi” dianggap langkah yang salah karena seolah <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/buruh-dosen">menempatkan mereka sebagai buruh</a>.</p>
<p>Melalui artikel ini, kami ingin mengajak komunitas akademik untuk berefleksi: Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/buruh-dosen">disamakan</a> dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?</p>
<h2>Dosen: buruh atau bukan?</h2>
<p><a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. </p>
<p>Aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjamin perlindungan pekerja/buruh. Dalam istilah hukum ketenagakerjaan, hal ini kerap kita sebut “<a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jmh/article/download/16124/10670"><em>socialisering process</em></a>” (<em>vermaatschappelijking</em>). Istilah ini adalah serapan dari bahasa Belanda yang merujuk pada campur tangan pemerintah dalam relasi kerja demi melindungi pekerja/buruh.</p>
<p>Di sini, pekerja/buruh adalah pihak yang dianggap lemah dalam hubungan kerja–pola relasinya terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja memberikan kewenangan (kuasa) pada pemberi kerja dalam bentuk perintah, sehingga membuat kedudukan kedua pihak menjadi <a href="http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i3.307">tidak seimbang</a>.</p>
<p>Apakah dosen memenuhi gambaran di atas?</p>
<p>Berdasarkan relasi kerja mereka dengan institusi pendidikan tempat mereka bernaung (pemberi kerja), jawabannya jelas: iya.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, dosen bekerja pada sebuah perguruan tinggi dan memiliki kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh institusi. Dosen juga memperoleh hak menerima upah atas pekerjaan yang telah ditunaikan. Hak dan kewajiban ini dituangkan dalam perjanjian kerja yang mendasari hubungan antara institusi pendidikan sebagai pemberi kerja dan dosen sebagai pekerja/buruh.</p>
<p>Dosen wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Tiga hal ini merupakan indikator kinerja atau prestasi dalam sebuah perjanjian kerja yang wajib mereka tunaikan.</p>
<p>Hal ini sama halnya dengan pekerja/buruh lainnya di sektor formal yang berkewajiban bekerja di bidang masing-masing sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja. </p>
<p>Keduanya berada di posisi yang sama: melaksanakan prestasi, mendapatkan kontraprestasi, dan <a href="https://doi.org/10.28932/di.v8i2.721">berhak atas perlindungan</a> yang sama dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, status dosen sebagai buruh/pekerja juga terlihat dari mekanisme penyelesaian apabila dosen mengalami perselisihan ketenagakerjaan. </p>
<p>Perjanjian kerja memuat tiga unsur: pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam praktiknya, masalah upah–termasuk yang dialami dosen–paling banyak muncul dan diselesaikan dengan mekanisme <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40452/uu-no-2-tahun-2004">Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004</a> tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).</p>
<p>Masalah upah yang bisa saja terjadi, misalnya, ketika institusi pendidikan <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/327265943.pdf">tidak membayarkan upah</a> kepada dosen.</p>
<p>Hal itu menunjukkan pengakuan secara hukum bahwa perikatan antara institusi pendidikan dan dosen adalah suatu hubungan kerja, antara pemberi kerja dan buruh/pekerja. Perikatan ini berhak dilindungi oleh regulasi ketenagakerjaan Indonesia.</p>
<h2>Minim kesadaran kolektif</h2>
<p>Sayangnya, kesadaran kolektif mengenai definisi buruh di Indonesia masih terbatas dan diwarnai stereotip. Buruh sering dikaitkan dengan <a href="https://www.kompas.tv/article/170044/may-day-perayaan-hari-buruh-internasional-termasuk-bagi-karyawan-dan-pegawai">pekerja kerah biru</a> yang pekerjaannya <a href="https://www.kompas.tv/article/170044/may-day-perayaan-hari-buruh-internasional-termasuk-bagi-karyawan-dan-pegawai">terkait “tenaga jasmani”, seputar “pertukangan”, maupun “buruh pabrik”</a>.</p>
<p>Padahal, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat hubungan relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansi pekerja tersebut adalah buruh.</p>
<p>Kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa literasi masyarakat mengenai buruh di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam peringatan Hari Buruh, kebanyakan demonstrasi yang muncul sepi dari suara pekerja kerah putih dan jauh dari perhatian kebanyakan akademisi Indonesia.</p>
<p>Penempatan dosen sebagai bagian dari kelompok buruh penting untuk mengadvokasi dan meluruskan berbagai norma dalam regulasi pemerintah yang masih <a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-seperti-apa-potret-gaji-dan-realitas-kesejahteraan-dosen-di-indonesia-193044">belum secara tegas melindungi dan berpihak pada kesejahteraan dosen</a>.</p>
<h2>Dosen, kampus, dan transformasi struktural</h2>
<p>Pendekatan pemerintah Indonesia dalam pengembangan mutu dan sumber daya pendidikan tinggi sudah sewajarnya mendapatkan umpan balik dari seluruh pemangku kepentingan. Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, misalnya, dianggap berpotensi <a href="https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683">menambah kompleksitas birokrasi</a> dan memperkeruh kepastian karier dosen, sehingga patut dikritik.</p>
<p>Namun, kritik tersebut tak semestinya melenceng sampai menganggap bahwa penyamaan dosen sebagai buruh sama dengan <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2023/04/12/buruh-dosen">merendahkan martabat mereka</a>.</p>
<p>Misalnya, apakah betul dosen memiliki karakteristik profesi yang lebih mulia dibanding pekerja pada umumnya?</p>
<p>Pembedaan status kampus sebagai lembaga khusus yang berbeda dibanding korporasi, jika tidak cermat dalam memahaminya, justru dapat menjebak kampus dalam menara gading yang abai dengan perubahan sosial.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683">Ribetnya karier dosen di Indonesia: monopoli pemerintah dan logika birokrasi perguruan tinggi yang mengakar sejak era penjajahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Birokratisasi kampus yang terjadi saat ini, selain merupakan warisan <a href="https://theconversation.com/ribetnya-karier-dosen-di-indonesia-monopoli-pemerintah-dan-logika-birokrasi-perguruan-tinggi-yang-mengakar-sejak-era-penjajahan-203683">era penjajahan</a>, sebenarnya lebih tepat kita lihat sebagai dampak atas transformasi struktural di tingkat global yang membuat kampus bergerak dengan logika kompetisi ala korporasi dan mengejar predikat kelas dunia. </p>
<p>Transformasi itu dimulai sejak munculnya perubahan paradigma dalam memahami peran perguruan tinggi seiring globalisasi ekonomi yang terjadi pada dekade 1960-an. </p>
<p>Sebelumnya, kampus dianggap sebagai aktor utama yang berperan <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-94-007-1116-7_12">mengembangkan pengetahuan</a>. Riset cenderung berbasis pengabdian sosial dan lebih banyak didorong oleh semangat kebaruan ilmu pengetahuan. </p>
<p>Kini, dunia terjerat dalam sistem kapitalisme neoliberal–yang menekankan kompetisi pasar bebas dan transfer wewenang dari sektor publik ke sektor swasta dalam mengendalikan perekonomian. Akibatnya, eksistensi kampus ikut terseret ke <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2021.2010120">dalam perangkap mekanisme pasar</a>.</p>
<p>Kampus berubah menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17405904.2013.813777">korporasi pengetahuan</a> dan membuat mutu riset lebih banyak diukur dari keberhasilan komersialisasi dan publikasi berbasis angka.</p>
<p>Kriteria mutu staf akademik juga berubah: dari kinerja yang berfokus pada pengajaran atau riset, ke <a href="https://academic.oup.com/book/25361">kriteria profesionalisme akademik yang lebih universal dan komersial</a>. </p>
<p>Universalisasi, misalnya, terlihat dari bagaimana indeksasi jurnal – seperti Scopus – <a href="https://theconversation.com/efek-kobra-dosen-indonesia-terobsesi-pada-indeks-scopus-dan-praktik-tercela-menuju-universitas-kelas-dunia-105808">mendikte persepsi mengenai mutu artikel ilmiah</a>. Sementara, komersialisasi membuat akademisi dipacu untuk berkontribusi terhadap inovasi negara melalui paten. Semakin banyak jumlah paten, peringkat universitas di tataran global pun semakin terdongkrak.</p>
<p>Dampaknya, kampus menjadi kian <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0038026118754780">hierarkis</a>–layaknya tangga korporasi–sehingga menghilangkan semangat kolegialitas (menekankan solidaritas sesama pengajar). Dosen juga menghadapi <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">beban</a> <a href="https://theconversation.com/dosen-susah-dapat-promosi-mengurai-lika-liku-proses-kenaikan-jabatan-akademisi-di-indonesia-188005">birokrasi</a> yang masif.</p>
<p>Ini <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/hequ.12229">tidak hanya</a> terjadi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa birokratisasi kampus sebenarnya adalah <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/hequ.12229">tren global</a> yang tengah terjadi di <a href="https://academic.oup.com/book/40915">berbagai negara</a>, termasuk di kawasan Eropa dan Australia. Kampus menjadi lembaga yang semakin birokratis, tidak lagi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1057/9781137284297_11">kolegial</a> dalam proses pembuatan kebijakan.</p>
<p>Transformasi struktural ini juga berhasil mengubah model sistem penghargaan akademik dari kedalaman kepakaran dosen menjadi prestasi dosen berbasis metrik. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/pemeringkatan-kampus-praktik-imperialisme-budaya-yang-menjebak-perguruan-tinggi-dalam-perlombaan-kosong-178536">Pemeringkatan kampus dunia</a> menjadi puncak komersialisasi kampus. Mutu dan peringkat pendidikan tinggi akhirnya sekadar berkiblat pada model-model perguruan tinggi di negara maju.</p>
<p>Saat kampus terjerat mekanisme pasar, peran dosen menjadi semakin kering. Fungsi dosen sebagai pembentuk karakter generasi tidak lagi diukur. Demi peringkat, dosen dipaksa produktif menghasilkan publikasi “bereputasi"–bahkan terkadang membuat mereka melakukan <a href="https://theconversation.com/mengurai-sistem-indeks-kinerja-peneliti-sinta-lebih-banyak-mudarat-atau-manfaatnya-bagi-produksi-riset-indonesia-201573">praktik buruk dan mengambil jalan pintas</a>.</p>
<p>Desain ketenagakerjaan dosen semakin dibatasi dengan aturan karier dan performa kinerja yang <a href="https://theconversation.com/jalan-evolusi-bibliometrik-indonesia-104781">semakin berbasis metrik</a>, administratif, dan menjauhi substansi akademik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengurai-sistem-indeks-kinerja-peneliti-sinta-lebih-banyak-mudarat-atau-manfaatnya-bagi-produksi-riset-indonesia-201573">Mengurai sistem indeks kinerja peneliti 'SINTA': lebih banyak mudarat atau manfaatnya bagi produksi riset Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebagai buruh, dosen perlu lebih awas terhadap isu ketenagakerjaan yang timbul akibat dinamika di atas. </p>
<p>Birokrasi memang punya <a href="https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/QRAM-10-2019-0111/full/pdf?title=from-professional-bureaucracy-to-competitive-bureaucracy-redefining-universities-organization-principles-performance-measurement-criteria-and-reason-for-being">sejumlah manfaat</a>, tapi dosen juga tetap harus kritis mengawalnya agar efisien. Pasalnya, banyak perguruan tinggi yang menerapkan berbagai kewajiban <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/hequ.12229">administrasi sehingga mengganggu tanggung jawab utama dosen</a>, yakni aktivitas akademik dan riset.</p>
<p>Untuk mengawal hal-hal ini, sekaligus melindungi nasib dosen secara kolektif, serikat pekerja kampus di Indonesia perlu kita tumbuhkan. Di dalamnya bisa termasuk serikat dosen dan tenaga kependidikan. Semakin banyak serikat pekerja kampus, semakin bagus.</p>
<p>Selama ini organisasi dosen lebih didorong oleh kesamaan rumpun ilmu dan minat pengembangan akademik. Kini, tiba waktunya warga kampus membangun kanal negosiasi kolektif dengan berserikat guna melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/204209/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus dianggap disamakan dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?Hangga Fathana, Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaAyunita Nur Rohanawati, Dosen Jurusan Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744702022-02-23T14:12:09Z2022-02-23T14:12:09ZBetapa peliknya penetapan upah minimum pada era UU Cipta Kerja<p>Penetapan upah minimum merupakan salah satu aspek ketenagakerjaan yang menjadi isu hangat setiap tahunnya.</p>
<p>Memasuki tahun 2022 ini, misalnya, <a href="https://fokus.tempo.co/read/1529671/banjir-kritik-minimnya-kenaikan-upah-minimum">terjadi tarik ulur</a> antara berbagai organisasi pekerja dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai seberapa kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang dianggap layak dan tepat.</p>
<p>Ini bisa dipahami – upah minimum mempengaruhi hajat hidup orang banyak. </p>
<p>Sebenarnya, <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan</a> dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/161909/pp-no-36-tahun-2021">Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan</a> juga telah mengatur cara lain, yakni melalui kewajiban penyusunan struktur skala upah, untuk meningkatkan gaji pegawai yang telah bekerja lebih dari setahun di suatu perusahaan.</p>
<p>Namun, tak banyak perusahaan yang <a href="https://tirto.id/menaker-ungkap-hanya-23-persen-perusahaan-terapkan-skala-upah-gmaD">menerapkan</a> ini untuk menyejahterakan pegawai akibat <a href="http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-12-II-P3DI-Juni-2019-209.pdf">minimnya pengawasan</a> dari pemerintah.</p>
<p>Itulah mengapa upah minimum seolah menjadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan bisa mudah diawasi oleh publik. Hal ini kemudian selalu memicu tarik ulur antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha.</p>
<p>Sayangnya, mekanisme penentuan tali hidup kaum pekerja ini juga menjadi semakin rumit dan pelik pada era UU Cipta Kerja.</p>
<p>UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya yang tak lagi memakai standar kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai acuan penetapan upah minimum, ditambah ketidakpastian hukum pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU tersebut “cacat” secara hukum, menimbulkan makin banyak perdebatan atas angka mana yang pas digunakan untuk menetapkan upah minimum.</p>
<p>Bagaimana kerumitannya?</p>
<h2>Lika-liku penetapan upah minimum</h2>
<p>Pasca berlakunya UU Cipta Kerja, mekanisme penentuan upah minimum berubah menjadi semakin tidak berpihak pada kepentingan pekerja.</p>
<p>Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan – salah satu turunan UU Cipta Kerja – <a href="https://tirto.id/giW2">formula penentuan upah minimum</a> hanya mengacu pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Ini meliputi variabel-variabel seperti kemampuan daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.</p>
<p>Salah satu kritik terhadap kebijakan ini adalah hilangnya pertimbangan atas kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan upah minimum. Acap kali, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tidak berbanding lurus dengan kenaikan kebutuhan hidup pekerja. </p>
<p>Hal ini terbukti dari kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.</p>
<p>Sejak November 2021, <a href="https://fokus.tempo.co/read/1529671/banjir-kritik-minimnya-kenaikan-upah-minimum/full&view=ok">gelombang penolakan</a> upah minimum Jakarta semakin membesar setelah pemerintah mengumumkan bahwa proyeksi kenaikan upah minimum provinsi hanya sekitar 1,09 persen.</p>
<p>Padahal, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), misalnya, <a href="https://www.idxchannel.com/economics/kspi-minta-kenaikan-upah-minimum-2022-sebesar-7-10-persen-ini-alasannya">menghitung</a> bahwa harusnya kenaikan upah minimum ada di kisaran 7-10 persen. Mereka mengacu pada <a href="https://voi.id/ekonomi/102501/lakukan-survei-kebutuhan-hidup-layak-asosiasi-buruh-desak-pemerintah-menaikkan-upah-minimum-2022-sebesar-7-hingga-10-persen">survei kebutuhan hidup layak</a> yang dilakukan oleh KSPI di 10 provinsi.</p>
<h2>Bedah kasus: kisruh upah minimum Jakarta</h2>
<p>Minimnya kenaikan upah minimum tahun 2022 akibat formula baru ini berdampak cukup signifikan.</p>
<p>Jika mengambil contoh upah minimum di Provinsi DKI Jakarta, <a href="https://statistik.jakarta.go.id/tabel/upah-minimum-provinsi-dki-jakarta/">selama 2017-2020</a>, kenaikan UMP Jakarta selalu stabil di atas angka 8%.</p>
<p>Pada 2021, akibat pandemi COVID-19, UMP Jakarta <a href="https://www.gadjian.com/blog/2021/11/25/ump-jakarta-2022-lima-tahun-terakhir/">naik secara terbatas</a> (hanya berlaku untuk sektor usaha yang tidak terdampak pandemi) sebesar 3,27%. Sedangkan pada 2022, berdasarkan formula di PP Pengupahan, upah minimum Jakarta hanya naik <a href="https://kumparan.com/kumparannews/anies-naikkan-ump-dki-2022-0-85-persen-jadi-rp-4-45-juta-1wxnWYVEHYP/full">0,85%</a>. </p>
<p>Persentase kenaikan upah minimum yang tidak signifikan ini tentu saja menyulut protes dari kalangan pekerja. Setelah didesak, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya merevisi kenaikan upah minimum di provinsinya menjadi sebesar <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20211220/12/1479453/ump-dki-jakarta-2022-direvisi-ini-perbedaannya-dengan-aturan-sebelumnya.">5,1%</a>. </p>
<p>Apakah permasalahannya selesai? Tidak. </p>
<p>Karena perhitungan kenaikan tersebut tak lagi mengacu pada variabel yang diamanatkan PP Pengupahan, kini giliran <a href="https://money.kompas.com/read/2021/12/27/171500626/ump-dki-jakarta-2022-naik-jadi-rp-4-64-juta-ini-kata-pengusaha?page=all">kelompok pengusaha</a> yang mengkritik Anies Baswedan karena dianggap melanggar aturan. Bahkan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mencabut revisi upah minimum tersebut karena dianggap <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2021/12/27/13295431/kemenaker-minta-anies-tak-membelot-soal-penetapan-ump-jakarta-2022?page=all">membelot</a> dari peraturan perundang-undangan. </p>
<p>Jadi, pihak mana yang benar? </p>
<h2>Ketidakpastian hukum</h2>
<p>Sebelum bisa menjawab pertanyaan di atas, kita harus lebih dulu membahas <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637822490.pdf">Putusan MK pada 2020</a> yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja “<a href="https://theconversation.com/inkonstitusional-bersyarat-putusan-mk-atas-uu-cipta-kerja-memunculkan-tafsir-ambigu-172695">inkonstitusional bersyarat</a>”.</p>
<p>Artinya, putusan tersebut menyatakan bahwa UU Cipta Kerja secara formal pembentukannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, di sisi lain, ia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku selama 2 tahun ke depan sembari menanti revisi dan penyesuaian. </p>
<p>Banyak ahli mengatakan bahwa amar putusan ini <a href="https://www.voaindonesia.com/a/ketidakjelasan-bayangi-putusan-mk-soal-uu-cipta-kerja-/6338052.html">rawan menimbulkan kebingungan</a> dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi banyak pihak.</p>
<p>Hal ini langsung terbukti dalam kisruh penetapan upah minimum tahun 2022.</p>
<p>Dengan adanya ketidakpastian hukum terhadap peraturan-peraturan pelaksana UU Cipta Kerja setelah Putusan MK tersebut, para gubernur seperti di Jakarta boleh saja mempertanyakan kembali: atas dasar apa kami wajib menetapkan UMP dengan menggunakan PP 36/2021 tentang Pengupahan?</p>
<h2>Kondisi rawan bagi pekerja muda</h2>
<p>Hingga kini, revisi upah minimum Jakarta <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20220103133737-4-304136/anies-ditekan-ump-2022-dki-jakarta-masih-belum-jelas">masih disengketakan</a> oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).</p>
<p>Tapi, pada akhirnya, entah siapa yang akan dianggap benar atau salah secara hukum, yang paling merugi dari kekisruhan penetapan upah minimum ini tetap saja para pekerja. Dampak terbesar akan dirasakan pekerja muda yang gajinya banyak bergantung pada besaran upah minimum.</p>
<p>Alih-alih memberi titik terang, Putusan MK tentang UU Cipta Kerja justru menimbulkan ketidakpastian hukum, yang kemungkinan besar akan memperparah peliknya penetapan upah minimum di Indonesia. </p>
<p>Tanpa adanya perubahan kebijakan pengupahan yang lebih berpihak pada kebutuhan hidup layak, maka gelombang protes terhadap penetapan upah minimum akan terus bergulir setiap tahunnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174470/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upah minimum masih jadi satu-satunya kebijakan pengupahan yang terlihat, dapat dirasakan, dan mudah diawasi oleh publik. Sayangnya, politik penentuannya menjadi makin pelik pada era UU Cipta Kerja.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1715162021-11-10T09:28:51Z2021-11-10T09:28:51ZTebang pilih kebijakan ketenagakerjaan Indonesia: lindungi hak TKI, tapi abaikan hak kerja WNA<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/431229/original/file-20211110-13-12g5sf9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C7%2C5184%2C3437&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dua orang tenaga kerja asing (TKA) beraktivitas di salah satu perusahaan pertambangan di Konawe, Sulawesi Tenggara</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Jojon/aww.</span></span></figcaption></figure><p>Hak kerja para pekerja asing adalah isu kontroversial bagi banyak negara, dan Indonesia bukan pengecualian. </p>
<p>Seperti negara-negara lain dengan jumlah tenaga kerja yang besar di luar negeri dan populasi warga negara asing (WNA) yang kecil, Indonesia tampaknya memiliki standar ganda. </p>
<p><a href="https://isaconf.confex.com/isaconf/forum2020/meetingapp.cgi/Paper/130261">Penelitian saya tentang migran asing di Indonesia</a> menunjukkan bahwa pemerintah tidak banyak membantu <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/imig.12376">pekerja asing di Indonesia dalam isu eksploitasi tenaga kerja</a>. Tapi bagaimana dengan kelompok migran yang lain?</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah tanpa henti membela hak-hak <a href="https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/28937">9 juta atau lebih Tenaga Kerja Indonesia (TKI)</a> yang bekerja di luar negeri. TKI telah dieksploitasi dan dianiaya di negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi. Di sisi lain, pemerintah mengabaikan hak WNA untuk mencari nafkah di Indonesia.</p>
<p>Pada tahun 2020, pemerintah mengizinkan <a href="https://ppid.kemnaker.go.id/">98.761 tenaga kerja asing</a> untuk bekerja di Indonesia. Jumlah mereka hanya <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.TOTL.IN?end=2020&locations=ID&start=1990&view=chart">0,07%</a> dari total jumlah tenaga kerja di Indonesia. Dibandingkan dengan negara lain, angka ini kecil. Di Singapura, misalnya, <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.TOTL.IN?end=2020&locations=SG&start=1990&view=chart">35%</a> dari tenaga kerjanya adalah WNA. </p>
<p>Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia mengeluarkan <a href="https://ppid.kemenkumham.go.id/">25.435</a> visa bagi WNA untuk berkumpul dengan keluarga mereka di sini. Visa ini memungkinkan mereka untuk bergabung dengan pasangan dan orang tua mereka yang merupakan warga negara Indonesia atau WNA. Namun, <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003">tidak satu pun dari pemegang visa ini diizinkan untuk bekerja</a>.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/7782018/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/7782018/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/7782018" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Jika berbicara tentang hak para tenaga kerja asing, fokus pembicaraan biasanya seputar membatasi kompetisi dengan pekerja lokal terlepas apapun alasan mereka ada di negara ini.</p>
<h2>Bagaimana Indonesia membatasi hak kerja untuk WNA</h2>
<p>Di bawah hukum Indonesia, tenaga kerja asing diizinkan untuk bekerja untuk profesi tertentu. WNA dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang baik biasanya dipekerjakan sebagai insinyur, guru, dan spesialis lainnya.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/7782045/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/7782045/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/7782045" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Persyaratan hukum untuk hak kerja WNA telah berubah dari waktu ke waktu. <a href="https://www.monash.edu/__data/assets/pdf_file/0007/2458582/LEAH-Working-Paper-no.-23-Mahy-Omnibus-Law-Indonesia-Jan-2021-1.pdf">Undang-Undang (UU) Cipta Kerja 2021</a> telah menyederhanakan proses pemberian izin pemerintah dengan memotong birokrasi. </p>
<p>Namun, serikat pekerja dan kelompok mahasiswa telah mengkritik UU tersebut terkait perubahan terhadap prosedur penghentian pekerja dan perlindungan terhadap lingkungan.</p>
<p>Meskipun mempekerjakan tenaga asing menjadi lebih mudah, undang-undang baru ini tidak menjamin perlindungan hak mereka.</p>
<p>Misalnya, untuk izin tinggal sementara atau tetap, secara teoretis, izin tersebut memberikan akses kepada WNA dan membantu mereka menyelesaikan perselisihan antara pengusaha dan pekerja.</p>
<p>Namun, jika izin mereka berakhir, tidak ada prosedur rutin untuk memperpanjang izin tinggal di Indonesia sehingga mereka dapat mengikuti proses mediasi dengan pemberi kerja di Dinas Tenaga Kerja atau di Pengadilan Hubungan Industrial.</p>
<p>Penanganan ini sangat kontras dengan yang terjadi di Hong Kong, misalnya. Di sana pekerja rumah tangga Indonesia dapat mengajukan permohonan visa yang memungkinkan mereka untuk menghadiri berbagai janji pertemuan, termasuk di rumah sakit atau untuk penyelidikan polisi, jauh setelah masa izin tinggal habis, untuk melindungi hak bekerja mereka.</p>
<p>Salah satu isu sensitif terkait pekerja asing di Indonesia adalah <a href="https://www.eastasiaforum.org/2018/07/31/two-steps-forward-in-indonesias-foreign-worker-policy/">kedatangan pekerja Cina yang hadir satu paket dengan penanaman investasi Cina di Indonesia</a>. Ada beberapa yang tidak punya visa kerja, namun <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2020/10/21/empat-bulan-2-603-tka-china-masuk-lewat-manado">ada</a> juga yang memiliki visa kerja dan hukum harus melindungi mereka.</p>
<p>Namun, selama pandemi, beberapa pejabat publik dan masyarakat umum masih mempertanyakan hak mereka untuk bekerja di Indonesia, di saat krisis ekonomi yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan.</p>
<h2>Masalah dengan status kerja pasangan</h2>
<p>Tenaga asing asing bukan satu-satunya kelompok WNA yang hak kerjanya tidak dilindungi secara memadai. Seperti disebutkan di atas, mereka juga termasuk WNA yang menikah dengan orang Indonesia.</p>
<p>Ketika mereka pertama kali masuk ke Indonesia dengan izin tinggal sementara, mereka tidak diperbolehkan bekerja pada perusahaan yang berbasis di Indonesia. Aturan ini sebenarnya lazim di berbagai negara.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/7782058/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/7782058/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/7782058" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Namun, di Indonesia, pemegang visa jenis ini diizinkan untuk “berbisnis” bila tujuannya adalah menghidupi keluarga mereka. Pekerjaan yang dibolehkan biasanya adalah pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah seperti penerjemah dan editor.</p>
<p>Setelah dua tahun menikah, pasangan asing dapat mengubah izin sementara mereka menjadi izin tinggal tetap. Izin ini berlaku selama lima tahun tetapi dapat diperpanjang dalam jumlah yang tidak terbatas.</p>
<p>Namun tetap, bagi WNA dengan izin tinggal tetap, untuk mendapatkan pekerjaan konvensional, pemberi pekerjaan harus terlebih dahulu mendapatkan izin kerja untuk mempekerjakan WNA. Salah satu persyaratan adalah pemberi kerjanya harus membayar kompensasi bulanan kepada pemerintah sebesar US$100 atau sekitar Rp 1,4 juta. Mereka juga harus menunjuk seorang pekerja Indonesia untuk mendapatkan kualifikasi dan pengalaman kerja yang diperlukan demi menghilangkan kebutuhan untuk mempekerjakan WNA.</p>
<p>Dalam praktiknya, persyaratan ini berarti pasangan asing yang memiliki izin tinggal tetap diperlakukan sama dengan tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia untuk tujuan pekerjaan yang jelas.</p>
<h2>Organisasi pendukung migran</h2>
<p>Indonesia memiliki beberapa lembaga non-pemerintahan terkemuka dalam mengadvokasi perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia di negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi.</p>
<p><a href="https://migrantcare.net">MigrantCare</a> dan <a href="https://sbmi.or.id">Serikat Buruh Migran Indonesia</a> telah berperan penting dalam melobi pemerintah Indonesia untuk berbuat lebih banyak dalam melindungi warganya di luar negeri. Kita sering melihat komentar mereka di media-media Indonesia.</p>
<p>Namun, organisasi yang mengadvokasi hak-hak bekerja WNA di Indonesia kurang banyak terdengar gaungnya.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.expat.or.id/orgs/aliansipelangiantarbangsa.html">Aliansi Pelangi Antar Bangsa</a> yang sangat aktif dalam mengadvokasi akses kewarganegaraan ganda bagi orang tua Indonesia-WNA dan anak-anaknya.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/25702/undangundang-nomor-12-tahun-2006/document">undang-undang yang berlaku saat ini</a>, anak-anak boleh memiliki kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun. Setelahnya, mereka harus memilih. Kewarganegaraan ganda tidak bisa dimiliki oleh orang tuanya.</p>
<p>Jarang terlihat, dan seringkali terjadi di belakang layar, organisasi-organisasi ini mengadvokasi inovasi kebijakan yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas hak bagi WNA yang tinggal dan bekerja di Indonesia.</p>
<p>Dalam beberapa kasus, organisasi internasional dengan sumber daya yang lebih baik seperti <a href="https://indonesia.iom.int/">Organisasi Internasional untuk Migrasi</a> melakukan koordinasi dan kerja keras lain untuk memastikan berbagai kementerian, lembaga, dan kantor terkait dari pemerintah Indonesia melindungi WNA dari eksploitasi dan penyalahgunaan di Indonesia.</p>
<h2>Jalan ke depan</h2>
<p>Pada tingkat pelaksanaan, Indonesia membutuhkan gugus tugas lintas sektor sehingga berbagai lembaga pemerintah dapat secara internal berkoordinasi dan menerapkan hukum Indonesia untuk melindungi hak para tenaga kerja asing di Indonesia semaksimal mungkin.</p>
<p>Indonesia pernah membentuk gugus tugas yang memberi perlindungan pekerja migran Indonesia lalu mengubahnya menjadi <a href="https://brill.com/view/title/33687">lembaga yang didanai penuh pada tahun 2006</a>. </p>
<p>Paling tidak, gugus tugas ini bisa menjadi perwakilan pemerintah yang bertanggung jawab atas kebijakan ketenagakerjaan dan imigrasi yang berdampak pada WNA yang bekerja di Indonesia.</p>
<p>Tanpa adanya perubahan ini, berbagai kelompok WNA yang tinggal dan bekerja di Indonesia akan terus berjuang demi mendapatkan hak-haknya.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/171516/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wayne Palmer tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesiai menerapkan standar yang berbeda dalam menegakkan hak-hak bagi pekerja migran dari Indonesia dan negara lain.Wayne Palmer, Wissenschaftlicher Mitarbeiter, Bielefeld UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1573532021-03-26T10:46:49Z2021-03-26T10:46:49ZEksploitasi pekerja magang di start-up bisa terjadi karena aturan hukum yang ketinggalan zaman<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/391372/original/file-20210324-23-m7b5d5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.antarafoto.com/peristiwa/v1566115515/gerakan-nasional-1000-startup-digital-satu-indonesia">(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)</a></span></figcaption></figure><figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1097&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/391374/original/file-20210324-15-1d883gn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1378&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Testimoni dari seorang pengguna Instagram terkait pemagangan di Ruangguru yang dikompilasi oleh akun @ecommurz.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/ecommurz/?hl=en">(Instagram/@ecommurz)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa saat lalu, publik <a href="https://twitter.com/imanusman/status/1370904678259552259?s=20">heboh di media sosial</a> akibat dugaan perlakuan buruk terhadap pekerja magang di <em>start-up</em> pendidikan Ruangguru. Berbagai testimoni di Instagram mengungkap pekerja magang di perusahaan tersebut sering dikenakan beban kerja berat, namun dengan bayaran yang sekadarnya.</p>
<p>Insiden terkait Ruangguru ini bisa jadi hanyalah puncak gunung es dari masalah perlindungan terhadap pekerja magang di Indonesia.</p>
<p>Beberapa tahun belakangan, pemagangan kian menjamur seiring dengan tumbuhnya industri <em>start-up</em> yang membutuhkan <a href="https://www.entrepreneur.com/article/345430">tenaga kerja yang terjangkau</a>.</p>
<p>Sayangnya, aturan ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mengatur dengan tegas tentang pelaksanaan magang di <em>start-up</em>. Akibatnya, perusahan mudah menyalahgunakan program magang mereka untuk mendapat tenaga kerja murah yang dalam beberapa kasus mengarah pada <a href="https://www.bbc.com/news/uk-politics-41765381">perbudakan modern</a>. </p>
<h2>Celah aturan pemagangan di dunia <em>start-up</em></h2>
<p>Jika diterapkan dengan baik, proses pemagangan sebenarnya bermanfaat bagi kedua pihak. Pemagang mendapat <a href="https://theconversation.com/internships-help-students-better-manage-their-careers-60196">pengalaman kerja berharga</a>, dan perusahaan mendapatkan sarana pencarian bakat untuk mencari calon karyawan terbaik. </p>
<p>Pemerintah mengatur program magang dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003</a> tentang Ketenagakerjaan dan mendefinisikannya sebagai: </p>
<blockquote>
<p>…bagian dari sistem pelatihan kerja […..] di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang lebih berpengalaman […..] dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. </p>
</blockquote>
<p>Definisi ini tidak berubah dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/149750/uu-no-11-tahun-2020">UU Cipta Kerja</a>.</p>
<p>Pelaksanaannya sendiri mengacu pada <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/data_puu/Permen_6_2020.pdf">Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020</a> yang di antaranya mengatur hak pekerja magang seperti memperoleh bimbingan dari instruktur, memperoleh uang saku yang layak, hingga diikutsertakan dalam jaminan sosial. </p>
<p>Berdasarkan kedua hukum di atas, untuk mendapatkan perlindungan tersebut, peserta magang dan perusahaan harus menandatangani surat Perjanjian Pemagangan yang disahkan Dinas Ketenagakerjaan di daerah setempat.</p>
<p>Berdasarkan Perjanjian Pemagangan tersebut, Dinas Ketenagakerjaan akan melakukan pengawasan terkait pelaksanaan hak dan kewajiban dalam program pemagangan.</p>
<p>Tapi, sayangnya pengawasan pemagangan pada <em>start-up</em> nyaris tidak ada. </p>
<p>Dinas Ketenagakerjaan setempat cenderung hanya bisa melakukan pengawasan pemagangan yang dilakukan resmi oleh unit pelatihan kerja perusahaan yang terdaftar seperti di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan besar lainnya, bukan yang dilakukan secara mandiri sebagaimana yang terjadi di banyak <em>start-up</em>.</p>
<h2>Rawan untuk dieksploitasi</h2>
<p>Di Indonesia terdapat <a href="https://www.suara.com/tekno/2019/09/12/090000/google-indonesia-negara-tercepat-dengan-pertumbuhan-startup-pada-2025">lebih dari 800</a> <em>start-up</em> yang terdaftar di akhir 2019. Industri ini <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/04/16/number-of-start-ups-projected-to-grow-20-30-percent-this-year-bekraf-says.html">tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan</a>, dan diperkirakan akan semakin pesat akibat pandemi yang memicu <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2021/02/24/explainer-venture-capital-firms-upbeat-about-investments-ipos.html">peningkatan penggunaan berbagai platform</a> belanja online, kesehatan, hingga pendidikan.</p>
<p>Hak dan kewajiban pekerja magang akan sangat bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan. Jika perusahaannya baik, bisa jadi mereka akan digaji layak, dengan beban kerja yang sesuai, disertai proses mentoring yang membangun. </p>
<p>Namun jika perusahaannya berniat mengeksploitasi, alih-alih dipekerjakan dengan layak, sangat mungkin mereka dipekerjakan selayaknya buruh murah – yang bisa saja digaji sangat rendah atau tidak digaji sama sekali – padahal beban kerjanya tidak kalah dengan pekerja penuh waktu. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">Orang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Belum lagi, pekerja magang juga seringkali mengeluarkan biaya yang tidak sedikit selama menjalani program – mulai dari biaya transportasi, telekomunikasi, makan, hingga tempat tinggal. Perlu disadari, kebutuhan mereka untuk mendapat pengalaman dan keterampilan tidak serta-merta membuat kerja keras mereka bisa diabaikan begitu saja tanpa kepastian hak dan perlindungan yang memadai.</p>
<p>Pada <a href="https://career.ruangguru.com/internship">laman karier</a> Ruangguru, misalnya, manfaat program magang disebutkan beragam, mulai makan siang gratis, mentoring, gaji bulanan, dan peluang karier sebagai pekerja tetap. Namun, tanpa adanya pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan, pelaksanaannya bisa jadi menjadi pertanyaan.</p>
<h2>Perlunya perlindungan hukum yang sesuai</h2>
<p>Perubahan ekosistem perusahaan di Indonesia dengan berkembangnya industri <em>start-up</em> menuntut adanya perubahan aturan ketenagakerjaan, termasuk pemagangan. </p>
<p>Peraturan pemagangan seharusnya disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan terkini, termasuk program magang yang sekarang banyak dilakukan secara bebas.</p>
<p>Ini bisa dimulai dengan melakukan revisi terhadap Permenaker Nomor 6 Tahun 2020.</p>
<p>Misalnya, definisi pemagangan bisa diubah untuk tidak hanya melihat apakah unit pelatihan kerja perusahaan tersebut terdaftar di Dinas Ketenagakerjaan, namun fokus pada beberapa kriteria pemagangan – tidak penuh waktu, berjangka pendek, dan bertujuan lebih pada mengembangkan kecakapan kerja – dengan lebih jelas.</p>
<p>Tanpa adanya aturan hukum yang jelas dan inklusif, masalah terkait besaran upah yang layak didapatkan, beban kerja yang seharusnya diberikan, serta hak dan kewajiban dalam program magang akan terus-menerus menjadi perdebatan.</p>
<p>Sudah saatnya negara hadir dan tidak membiarkan pekerja magang sekadar bertekuk lutut pada kebijakan setiap perusahaan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157353/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aturan ketenagakerjaan yang ada saat ini belum mengatur dengan tegas tentang pelaksanaan magang, terutama di perusahaan start-up.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1483682020-11-05T08:37:55Z2020-11-05T08:37:55ZLogika keliru aturan ketenagakerjaan UU Cipta Kerja<p>Salah satu bab yang paling banyak menimbulkan kontroversi dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang baru disahkan adalah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/09090351/ini-pasal-pasal-kontroversial-dalam-bab-ketenagakerjaan-uu-cipta-kerja">Bab Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Perubahan terhadap beberapa pasal dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">UU tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a> banyak menjadi sorotan karena dianggap akan membawa kerugian bagi pekerja. </p>
<p>Upaya pengurangan atau pelonggaran aturan hukum ketenagakerjaan dengan mengorbankan perlindungan bagi pekerja adalah langkah keliru, berdasarkan logika yang keliru pula.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/3-ancaman-uu-ciptaker-bagi-para-pembela-lingkungan-dan-ham-148988">3 ancaman UU Ciptaker bagi para pembela lingkungan dan HAM</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Deregulasi ketenagakerjaan</h2>
<p>Pemerintah meyakini aturan hukum ketenagakerjaan yang <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1217752/menteri-hanif-uu-ketenagakerjaan-kita-kaku-seperti-kanebo-kering/full&view=ok">terlalu kaku</a> merupakan salah satu penghalang investasi untuk masuk ke Indonesia dan, karena itu, merasa perlu melakukan deregulasi. </p>
<p>Beberapa revisi pasal dalam Bab Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja jelas mencerminkan upaya ini. </p>
<p>Sebagai contoh, ketentuan dalam Pasal 56 UU Ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diubah sehingga tidak lagi berbatas waktu maksimal 2 tahun dengan kemungkinan perpanjangan maksimal 1 tahun. </p>
<p>Artinya, akan semakin banyak pekerja yang dipekerjakan dengan jenis perjanjian kontrak dalam jangka waktu yang panjang. Perusahaan juga tidak lagi memiliki kewajiban untuk mengubah status pekerja kontrak menjadi pekerja tetap, ketika jangka waktu tiga tahun sudah terlewati. </p>
<p>Begitu juga perubahan ketentuan istirahat panjang di Pasal 79 yang tadinya diwajibkan oleh UU menjadi hanya dapat diberikan jika diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Istirahat panjang yang tadinya merupakan hak yang wajib diberikan, menjadi sesuatu yang sifatnya hanya pilihan. </p>
<p>Kedua pasal itu menunjukkan berkurangnya kontrol negara terhadap aturan hukum ketenagakerjaan. </p>
<p>Hal-hal terkait hubungan kerja, seperti jangka waktu perjanjian kontrak dan istirahat panjang, dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak - yakni pekerja dan pengusaha - melalui perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perusahaan. </p>
<p>Ini jelas mengurangi perlindungan bagi pekerja, karena dalam hubungan yang timpang antara pekerja dan pengusaha, sangat besar kemungkinan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha merugikan pihak pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Logika keliru</h2>
<p>Dengan banyaknya pasal yang kontroversial di Bab Ketenagakerjaan, wajar jika bab ini seperti menjadi arena perdebatan utama dalam narasi kontra UU Cipta Kerja. </p>
<p>Belakangan, pihak pendukung UU Cipta Kerja <a href="https://www.merdeka.com/uang/baleg-dpr-uu-cipta-kerja-tak-hanya-soal-ketenagakerjaan.html">mengkritik</a> mengapa protes terhadap UU Cipta Kerja seperti terfokus di Bab Ketenagakerjaan. </p>
<p>Padahal, menurut mereka, banyak bab lain di UU omnibus itu yang bernilai positif, serta berprospek baik bagi perbaikan perekonomian, seperti kemudahan membuka usaha, dan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). </p>
<p>Di sinilah menurut saya masalah utamanya. </p>
<p>Sedari awal, memasukkan Bab Ketenagakerjaan di UU yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha adalah hal yang tidak tepat. </p>
<p>Perubahan yang dilakukan UU Cipta Kerja terhadap beberapa pasal UU Ketenagakerjaan, bukan malah memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja, tapi justru menguranginya. </p>
<p>Ini karena perspektif yang diusung oleh UU Cipta Kerja memang untuk kepentingan bisnis, bukan untuk kepentingan pekerja. </p>
<p>Pada tanggal 24 April 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo sempat <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/04/24/16183991/jokowi-tunda-pembahasan-klaster-ketenagakerjaan-ruu-cipta-kerja">menunda</a> pembahasan kluster ketenagakerjaan dalam rancangan UU (RUU) Cipta Kerja. </p>
<p>Sayangnya, keputusan ini berubah dengan sangat cepat dan drastis. </p>
<p>Kluster ketenagakerjaan <a href="https://tirto.id/rapat-rapat-penentu-ruu-cipta-kerja-f5VY">tiba-tiba</a> dimasukkan kembali dalam draf RUU Cipta Kerja per tanggal 25 September 2020, dan pembahasannya dikebut.</p>
<p>Akibatnya sudah jelas terlihat. Banyak pasal di Bab Ketenagakerjaan yang disusun dengan tidak memperhatikan kondisi sosiologis hubungan kerja, yakni ketimpangan posisi pekerja dengan pengusaha. </p>
<p>Pasal-pasal ini jugalah yang kemudian semakin memancing reaksi keras masyarakat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. </p>
<p>Salah satu pasal yang dengan terang mencerminkan kekeliruan logika ini adalah perubahan ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan)</p>
</blockquote>
<p>Ketentuan tersebut kemudian diubah menjadi:</p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” (Pasal 151, ayat 2, UU Ketenagakerjaan setelah diubah lewat UU Cipta Kerja)</p>
</blockquote>
<p>Perubahan Pasal 151 ini memunculkan narasi bahwa UU Cipta Kerja memungkinkan adanya PHK sepihak. </p>
<p>Pemerintah membantah keras dan mengatakan bahwa ketentuan dalam ayat 3 dan 4 pasal tersebut tetap membuka kesempatan bagi pekerja untuk melakukan upaya perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (bipartit) dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial lain jika mereka menolak di-PHK. </p>
<blockquote>
<p>“Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.” </p>
<p>“Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (Pasal 151, ayat 3 dan 4, UU Ketenagakerjaan) </p>
</blockquote>
<p>Dilihat sekilas, memang seperti tidak ada yang salah. </p>
<p>Masalahnya, logika ini terbangun dari pandangan bahwa hubungan kerja itu bersifat ideal, bahwa posisi pekerja dan pengusaha setara sehingga mudah saja bagi pekerja untuk menolak “pemberitahuan PHK” yang dilakukan oleh pengusaha, dan bahwa mereka juga akan dengan mudah dapat melakukan upaya bipartit dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial untuk mempertahankan haknya. </p>
<p>Pada kenyataan di lapangan, menolak PHK bukanlah hal yang mudah dilakukan. </p>
<p>Ketimpangan posisi tawar, ketakutan terhadap atasan, serta ketidaktahuan atas hak-haknya sebagai pekerja acapkali membuat mereka <a href="http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/2209/1556">tak berkutik</a> jika terjadi PHK.</p>
<p>UU Ketenagakerjaan mencegah kemungkinan terjadinya PHK secara sepihak dan sewenang-wenang lewat dua hal: kewajiban untuk berunding dulu sebelum melakukan PHK; dan jika perundingan tidak berhasil, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. </p>
<p>Di UU Cipta Kerja, perlindungan ini menguap sebab terbuka kemungkinan PHK dilakukan hanya melalui pemberitahuan sepihak dari pengusaha ke pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-desentralisasi-yang-dibangun-setelah-reformasi-148091">Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlindungan pekerja menghambat investasi?</h2>
<p>Aturan ketenagakerjaan Indonesia yang <a href="https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesias-labour-laws-discourage-investment-and-leave-workers-worse-off-experts">keras</a> - PHK sepihak tidak mudah dilakukan, pemecatan berbiaya tinggi bagi pengusaha - kerap dijadikan <a href="https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2020-10-14/indonesia-protests-labor-reforms-are-difficult-but-overdue">kambing hitam</a> hambatan investasi. Namun kajian dari World Economic Forum menunjukkan hasil yang berbeda. </p>
<p><a href="https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/5e9a4e6183df7/korupsi-penghambat-utama-investasi-di-indonesia">World Economic Forum Competitiveness Report</a> secara konsisten menempatkan korupsi sebagai masalah utama penghambat investasi di Indonesia. </p>
<p>Aturan ketenagakerjaan hanya menempati peringkat ke-12 dari penghambat terbesar investasi. Etos kerja pekerja justru menjadi hal yang lebih berpengaruh; etos kerja menempati peringkat ke-7 dalam kajian tersebut. </p>
<p>Padahal, bagaimana mungkin meningkatkan etos kerja pekerja jika perlindungan yang diberikan terhadapnya justru melemah? </p>
<p>Pada 2018, Singapura - negara dengan ranking <em>ease doing business</em> <a href="https://tradingeconomics.com/singapore/ease-of-doing-business#:%7E:text=Singapore%20is%20ranked%202%20among,2019%20from%202%20in%202018.">tertinggi</a> di ASEAN -justru mengamandemen hukum ketenagakerjaannya menjadi <a href="https://www.straitstimes.com/politics/parliament-laws-to-protect-workers-rights-expanded-to-cover-all-employees">lebih protektif</a> terhadap pekerja. </p>
<p>Ini merupakan salah satu bukti bahwa kemudahan bisnis sebenarnya bisa berjalan beriringan dengan perlindungan pekerja. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/selain-cipta-kerja-ada-tiga-omnibus-law-lain-yang-menunggu-disahkan-apa-layak-diteruskan-148009">Selain Cipta Kerja, ada tiga omnibus law lain yang menunggu disahkan. Apa layak diteruskan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukan jalan pintas</h2>
<p>Kebutuhan terhadap lapangan kerja baru adalah sebuah keniscayaan untuk memastikan hubungan kerja tetap berjalan. </p>
<p>Upaya untuk menarik investor masuk, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha tetap bertahan di kondisi yang serba sulit seperti sekarang tentu juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. </p>
<p>Namun, melonggarkan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.</p>
<p>Masih banyak instrumen hukum lain yang bisa dimanfaatkan untuk memudahkan bisnis dan melindungi kepentingan pengusaha, misalnya dengan memberikan insentif pajak, memastikan tidak ada korupsi dan pungli dalam proses pendirian perusahaan, dan menjamin birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit. </p>
<p>Dengan penolakan masyarakat yang begitu keras terhadap UU Cipta Kerja, khususnya terkait bab ketenagakerjaan, pemerintah perlu menyadari bahwa deregulasi aturan ketenagakerjaan bukanlah jalan pintas yang tepat diambil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nabiyla Risfa Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya untuk menarik investor, mengembangkan UMKM, dan memastikan pengusaha dengan mengorbankan perlindungan terhadap pekerja bukanlah cara yang tepat.Nabiyla Risfa Izzati, Lecturer of Labour Law, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1456242020-09-29T07:51:35Z2020-09-29T07:51:35ZRiset: kantor yang maskulin menambah beban pekerja perempuan kantoran di masa pandemi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/360409/original/file-20200928-14-1srnisw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=11%2C11%2C3982%2C2646&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang pegawai perempuan mengenakan masker saat bekerja di Dinas Informasi Komunikasi dan Statistik Riau di Kota Pekanbaru.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/FB Anggoro/foc</span></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 yang mendera dunia saat ini telah berdampak pada seluruh sendi kehidupan, termasuk kehidupan para pekerja perempuan. </p>
<p>Beberapa laporan dan juga <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15487733.2020.1776561">studi</a> menyoroti bagaimana <a href="https://www.bbc.com/news/business-53363253">pekerja perempuan di seluruh dunia semakin terbebani selama pandemi</a> karena mereka kini harus menyelesaikan pekerjaannya sambil melakoni peran-perannya sebagai ibu rumah tangga. </p>
<p>Riset yang sedang penulis pertama (Kanti Pertiwi) lakukan menunjukkan kondisi yang serupa juga dialami oleh pekerja perempuan di Indonesia. </p>
<p>Pengumpulan data berlangsung sejak Juni hingga Agustus 2020 dengan melibatkan total 96 perempuan pekerja kantoran yang berusia antara 20 dan 50 tahun. </p>
<p>Hasil wawancara dan penelusuran dalam riset tersebut menunjukkan bahwa perempuan pekerja menghadapi beban mental yang cukup berat selama pandemi. Kondisi tersebut bertambah buruk pada perempuan yang bekerja di kantor yang mengedepankan perspektif laki-laki dan sering mengabaikan kebutuhan perempuan. Kami menyebutnya sebagai <a href="https://spssi.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/josi.12289">organisasi maskulin</a>.</p>
<h2>Beban mental bertambah</h2>
<p>Hampir setengah populasi Indonesia adalah perempuan, namun tingkat partipasi angkatan kerja perempuan Indonesia masih rendah yaitu 53% pada <a href="https://data.worldbank.org/indicator/SL.TLF.CACT.FE.ZS?locations=ID">2019</a>. Artinya dari seluruh perempuan usia produktif, hanya setengahnya yang bekerja. <a href="https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/d9495-buku-ppi-2018.pdf">Hampir 40% pekerja perempuan bekerja di sektor formal</a> termasuk di dalamnya pekerja kantoran.</p>
<p>Riset yang penulis pertama lakukan terhadap pekerja perempuan kantoran menunjukkan mayoritas responden riset mengakui bahwa beban mental mereka bertambah selama pandemi. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan kantor sambil <a href="https://www.suara.com/news/2020/06/25/145205/curhat-emak-emak-temani-anak-belajar-di-rumah-pr-lempar-bola-adanya-panci?page=all">mendampingi anak belajar</a> dari rumah pada siang hari. </p>
<p>Belum lagi berurusan dengan tugas-tugas rumah tangga yang biasa mereka pikul. Situasi konflik dan emosi-emosi negatif dan menjadi hal yang jamak dirasakan perempuan.</p>
<p>Pada malam hari, beberapa perempuan mengaku harus begadang hingga larut untuk memenuhi permintaan atasan yang sejak munculnya pandemi semakin tidak mengenal batas waktu. </p>
<p>Bekerja dari rumah kini artinya bekerja kapan saja di mana saja nyaris tanpa henti. Hal ini diperparah dengan asumsi bahwa <a href="https://theconversation.com/asn-serba-salah-bagaimana-birokrat-indonesia-kian-jadi-bulan-bulanan-kala-pandemi-141779">pekerja banyak yang tidak produktif</a> dan bermalas-malasan ketika bekerja dari rumah selama pandemi. </p>
<p>Ketiadaan ruang kerja khusus di rumah serta keterbatasan gawai dan akses internet turut membuat kondisi semakin rumit. Kebijakan memberikan opsi kepada ibu yang punya anak di bawah lima tahun untuk bekerja dari rumah tapi tidak untuk para bapak, malah semakin menambah beban para perempuan. </p>
<p>Namun, meski dengan beban mental yang bertambah, tingkat kebahagiaan perempuan cukup baik. </p>
<p>Mayoritas perempuan mengakui bahwa mereka cukup bahagia bisa bekerja dari rumah selama pandemi karena adanya kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu bersama anak-anak di rumah. </p>
<p>Kebersamaan bersama anak berkontribusi besar dalam membangun pengalaman positif bagi perempuan terutama bagi mereka yang bekerja di kota besar seperti Jakarta. Kebanyakan pekerja perempuan kantoran di Jakarta <a href="https://theconversation.com/can-women-have-it-all-working-and-mothering-in-indonesias-capital-jakarta-116284">harus menghabiskan banyak waktu untuk melaju</a>. </p>
<p>Temuan yang terkesan kontradiktif tersebut menggarisbawahi pentingnya memahami <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/job.295">pengalaman subjektif perempuan</a> misalnya terkait bagaimana mereka menilai karir dan peranan mereka di keluarga. </p>
<p>Sebagian perempuan memandang bahwa beban tambahan tersebut bukan sesuatu yang menjadi masalah karena hal tersebut sejalan dengan ideologi gender tradisional yang mengajarkan bahwa laki-laki seharusnya berperan sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengelola rumah tangga. </p>
<p>Sementara sebagian perempuan lainnya melihat pentingnya menegosiasikan pembagian tugas dan mempertanyakan ideologi tersebut.</p>
<h2>Tekanan dari kantor yang maskulin</h2>
<p>Beban perempuan semakin berat ketika mereka harus bekerja untuk organisasi atau perusahaan yang maskulin. </p>
<p>Di sana, alat ukur produktivitas dan beban kerja tidak mengalami penyesuaian meski dalam kondisi wabah. </p>
<p>Perempuan tak jarang berada dalam situasi terjepit, antara harus melakukan pekerjaan yang datang pada waktu ia juga harus berperan sebagai istri dan ibu di keluarga. Mereka juga dituntut selalu tampil prima di layar daring dan mempertahankan identitas profesional tertentu, dan harus mampu melakoni berbagai tugas sekaligus pada saat yang bersamaan. </p>
<p>Para perempuan juga mengeluhkan adanya mekanisme <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/e/9781843926818">pengawasan</a> yang berlebihan dan melanggar batas-batas privasi dan kemanusiaan selama bekerja dari rumah. Para pekerja, baik perempuan maupun laki-laki, harus mengisi kehadiran secara daring dan mengaktifkan kamera untuk menunjukkan lokasi <em>real-time</em> mereka. Sedikit saja kendala teknis dapat berakibat pada dipotongnya penghasilan.</p>
<p><a href="https://www.sunypress.edu/p-919-women-men-and-the-international.aspx">Studi terdahulu</a> mengungkap bagaimana keberadaan organisasi maskulin dan praktik-praktik represifnya pada pekerja perempuan tidak dapat dilepaskan dari warisan kolonialisme yang berdampak pada lingkungan kerja yang tidak ramah perempuan. </p>
<p>Proses kolonialisme turut menyebarkan paham patriarki yang mengistimewakan laki-laki dibanding perempuan. Kolonialisme yang berkelindan dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1468-0432.2011.00577.x">kapitalisme berkontribusi pada praktik kerja yang meminggirkan perempuan</a>.</p>
<p>Kolonialisme juga menciptakan kelas-kelas di antara pekerja perempuan itu sendiri. Hal ini membuat ada sebagian perempuan yang menikmati penghasilan dan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Sementara perempuan-perempuan yang dikategorikan sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0018726718760150">pekerja berketerampilan rendah seperti para pekerja pabrik cenderung bernasib sebaliknya.</a>.</p>
<h2>Perlunya regulasi</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/360410/original/file-20200928-24-1dwqgsh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seorang aparatur sipil negara (ASN) mengikuti tes usap (swab test) di kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Gorontalo di Kota Gorontalo, Gorontalo.</span>
<span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/wsj.</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Indonesia adalah salah satu negara yang paling ketat mengatur ketenagakerjaan melalui ratifikasi <a href="https://www.ilo.org/jakarta/info/WCMS_124603/lang--en/index.htm">19 konvensi <em>International Labour Organisation</em> (ILO)</a>. </p>
<p>Perlindungan terhadap pekerja perempuan diatur dalam <a href="https://kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.pdf">Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003</a>. Dalam UU tersebut, hak-hak perempuan untuk hamil, mendapatkan cuti melahirkan, cuti keguguran, dan menyusui diatur. </p>
<p>Namun sayangnya selama pandemi pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan peraturan yang mengikat mengenai kondisi kerja, baik di sektor swasta maupun di sektor pemerintah sendiri. Apalagi khusus mengatur tentang pekerja perempuan. </p>
<p>Peraturan yang dikeluarkan selama ini hanya terkait tentang gaji dan jaminan sosial buruh saat <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/jdih.php?hal=headline">pandemi</a></p>
<p>Sementara, kebijakan terkait kesehatan dan kondisi kerja pekerja selama COVID-19 tidak diatur dengan tegas, hanya berbentuk <a href="https://jdih.kemnaker.go.id/jdih.php?hal=headline">surat edaran</a> dan sangat terbatas pelaksanaannya karena bergantung pada perusahaan atau pengusahanya. </p>
<p>Akibatnya banyak hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi, terlebih para pekerja perempuan. </p>
<p>Untuk mengatasinya, peran serikat pekerja perlu dioptimalkan untuk melindungi hak-hak pekerja pada masa krisis. </p>
<p>Namun, struktur serikat pekerja yang saat ini masih didominasi laki-laki. Karena itu, perempuan harus lebih aktif dalam kegiatan dan kepengurusan serikat pekerja untuk menyampaikan aspirasinya. Jika organisasi tempat perempuan bekerja belum memiliki serikat pekerja, maka mereka harus memulainya. </p>
<p>Pada tataran pembuat kebijakan, pemerintah harus membuat aturan yang bisa mengubah praktik-praktik ketenagakerjaan yang maskulin menjadi lebih peka terhadap berbagai isu yang dihadapi oleh pekerja perempuan. </p>
<p>Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong lebih banyak studi yang lebih fokus pada isu gender di tempat kerja. Dengan adanya studi yang komprehensif, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang berbasis bukti untuk melindungi pekerja perempuan.</p>
<p><em>Sofia Mahardianingtyas turut membantu mengumpulkan data dalam riset di atas</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145624/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perempuan pekerja kantoran menghadapi beban mental yang cukup berat selama pandemi. Kondisi kerja yang ramah perempuan masih menjadi hal yang mahal buat kebanyakan pekerja.Kanti Pertiwi, Lecturer in Organisation Studies, Universitas IndonesiaRiani Rachmawati, Lecturer in Industrial Relations and Human Resources Management, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1434592020-08-05T07:04:31Z2020-08-05T07:04:31ZBuruh sawit perempuan dan laki-laki sama-sama bekerja dalam kondisi sulit, tapi berbeda nasib<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/350347/original/file-20200730-27-1wcs86k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/36642500092/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun sawit, komoditas ekspor andalan Indonesia. Sayangnya, perlindungan pemerintah terhadap buruh sawit, khususnya buruh perempuan, masih minim hingga detik ini.</p>
<p>Koalisi Buruh Sawit mencatat dari 18 juta buruh perkebunan sawit, lebih dari setengahnya adalah buruh harian lepas dan <a href="https://www.infosawit.com/news/9740/koalisi-buruh-sawit--hilangkan-diskriminasi-buruh-perempuan-di-perkebunan-kelapa-sawit">sebagian besar</a> merupakan perempuan. </p>
<p>Berbagai lembaga <a href="http://sawitwatch.or.id/2020/04/01/siaran-pers-koalisi-buruh-sawit-untuk-hari-perempuan-internasional-hentikan-diskriminasi-terhadap-buruh-perempuan-di-perkebunan-sawit/">non-pemerintah</a> dan <a href="http://www.turc.or.id/wp-content/uploads/2018/07/Lembar-Fakta-Koalisi-Buruh-Sawit-Indonesia-2018.pdf">serikat buruh</a> telah lama mendengungkan isu ketidakadilan dan belum terpenuhinya hak-hak buruh perempuan, namun hingga kini belum terselesaikan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/di-tengah-pesatnya-industri-kelapa-sawit-di-indonesia-eksploitasi-buruh-anak-masih-terjadi-141611">Di tengah pesatnya industri kelapa sawit di Indonesia, eksploitasi buruh anak masih terjadi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Produsen sawit terbesar dunia</h2>
<p>Indonesia saat ini adalah produsen sawit <a href="https://apps.fas.usda.gov/newgainapi/api/report/downloadreportbyfilename?filename=Oilseeds%20and%20Products%20Annual_Jakarta_Indonesia_3-15-2019.pdf">terbesar dunia</a>.</p>
<p>Industri perkebunan di Indonesia telah berkembang pesat sejak 1990-an. Pada 2018, <a href="http://ditjenbun.pertanian.go.id/?publikasi=buku-publikasi-statistik-2018-2020">Kementerian Pertanian</a> mencatat bahwa dalam satu dekade luas perkebunan sawit berlipat dua menjadi sekitar 14 juta hektar.</p>
<p>Permintaan global akan minyak sawit pun terus meningkat dan berdampak pada peningkatan jumlah pekerja di perkebunan.</p>
<p>Pemerintah meyakini industri ini menjadi sektor yang menjanjikan dalam pembangunan karena mampu menyerap banyak tenaga kerja. </p>
<iframe style="height:1400px; width:100%; border: none;" src="https://databoks.katadata.co.id/datapublishembed/113955/perkebunan-sawit-mampu-menyerap-442-juta-tenaga-kerja" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Walaupun pekerja laki-laki mendominasi industri ini, namun andil pekerja perempuan juga sangat penting. </p>
<p>Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun, di antaranya menebas gulma, menyemprot pestisida, memupuk dan memanen, mengangkut tandan buah segar, dan menyusun pelepah sawit yang jatuh dari pohon.</p>
<h2>Masalah yang dihadapi buruh perempuan</h2>
<p>Bekerja di perkebunan sawit bukan hal mudah karena membutuhkan tenaga fisik yang besar jika dibandingkan dengan bekerja di perkebunan lain. Selain itu, risiko terpapar bahan kimia berbahaya juga cenderung lebih tinggi. </p>
<p>Untuk mendapatkan kualitas minyak sawit yang optimal, tandan buah segar yang siap panen harus diolah dalam waktu 24 jam. </p>
<p>Buruh sawit perempuan ikut andil dalam proses memanen ini. Mereka harus mengangkat tandan buah sawit segar yang berat per buahnya mencapai 20 hingga 35 kilogram. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tumpukan buah sawit dalam gerobak dorong." src="https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/350810/original/file-20200803-14-1ffvsn3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tumpukan buah sawit dalam gerobak dorong.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/36416997680/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Risiko kesehatan dan keselamatan kerja buruh sawit juga tinggi mengingat adanya kontak langsung dengan bahan kimia aktif dalam pupuk dan pestisida, serta keberadaan ular kobra di kebun sebagai predator hama tikus. </p>
<p>Kondisi kerja buruh laki-laki dan buruh perempuan di perkebunan sawit nyaris serupa. Mereka harus menghadapi kondisi topografi yang sulit serta tidak dilengkapi dengan peralatan kerja yang layak. </p>
<p>Meski kondisi dan kesempatan kerja sama, tapi nasib mereka jauh berbeda. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.turc.or.id/menjawab-minimnya-partisipasi-perempuan-dalam-serikat-buruh-perkebunan-kelapa-sawit/">Trade Union Rights Centre</a>, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada studi dan advokasi perburuhan, pekerja perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak adil; seperti diskriminasi dalam hal upah dan mengalami kekerasan seksual ketika bekerja.</p>
<p>Upah dan target pekerjaan yang mereka terima tidaklah sesuai. Bagi pekerja dengan status buruh harian lepas, upah hanya diberikan berdasarkan hari kerja. Jika mereka tidak masuk kerja, maka upah tidak diberikan. </p>
<p>Perempuan lebih banyak menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah tingginya tuntutan hasil panen dari perusahaan yang menyebabkan mereka di hari-hari tertentu harus membantu suami mereka dalam proses memanen sawit.</p>
<p>Perusahaan lebih suka mempekerjakan mereka sebagai buruh harian lepas karena buruh perempuan dianggap lebih murah dan perusahaan tidak perlu bertanggung jawab atas jaminan sosial mereka.</p>
<p>Padahal di sisi lain, perempuan memiliki tanggung jawab ganda: mencari nafkah dan mengurus keluarga. Hal ini menjadi dilema yang turut berkontribusi pada peran mereka di rumah tangga maupun sebagai buruh sawit. </p>
<p>Hak-hak normatif perempuan seperti cuti haid dan melahirkan juga belum dapat diakomodir sepenuhnya oleh perusahaan, terutama dengan status sebagai buruh harian lepas.</p>
<p>Para perempuan ini juga menghadapi beban lebih karena sistem bekerja yang tidak fleksibel, yang terkadang memaksa mereka harus memilih antara memenuhi kebutuhan keluarga atau mengurus rumah tangga. </p>
<p>Selain itu, tidak tersedianya fasilitas penitipan anak di tempat mereka bekerja serta tidak adanya fasilitas antar-jemput dari dan ke tempat kerja yang memadai, menjadi tantangan besar bagi perempuan ini. </p>
<p>Mereka harus menempuh jarak <a href="http://hari.or.id/news/2015/01/buruh-perkebunan-sawit-dan-kontroversi-sertifikasi-rspo/">puluhan kilometer</a> untuk mencapai perkebunan sawit. </p>
<p>Kondisi ini sangat diskriminatif dan bisa berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-baru-temukan-semua-produksi-minyak-nabati-mengancam-spesies-termasuk-minyak-kelapa-142680">Riset baru temukan semua produksi minyak nabati mengancam spesies termasuk minyak kelapa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dorongan masyarakat sipil</h2>
<p>Di dunia, inisiatif yang mengusung prinsip keberlanjutan (sustainability) di sektor sawit, seperti <em>Roundtable on Sustainable Palm Oil</em> (RSPO), telah memberikan perhatian terhadap aspek gender. </p>
<p><a href="https://www.rspo.org/files/resource_centre/keydoc/8%20id_RSPO%20Fact%20sheet.pdf">RSPO</a> adalah sebuah asosiasi nirlaba beranggotakan berbagai pemangku kepentingan di sektor industri sawit yang bertujuan untuk mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan (<em>sustainable</em>). </p>
<p>Status “<em>sustainable</em>” diberikan melalui sertifikasi pabrik kelapa sawit (<em>palm oil mill</em>) yang telah mematuhi prinsip dan kriteria RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, termasuk aspek gender. </p>
<p>Terkait aspek ini, perusahaan antara lain <a href="https://scroll.in/magazine/885136/no-country-for-women-the-dark-side-of-palm-oil-production-in-mizoram">wajib</a> memberikan upah yang setara; membentuk komite gender; dan menciptakan keamanan dan kelayakan tempat kerja agar tidak terjadi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. </p>
<p>Perusahaan juga harus membuat pelatihan yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik gender; dan memberikan kesempatan yang sama bagi pekerja untuk mengikuti pelatihan dan berpartisipasi dalam memberikan suara dan mengambil keputusan. </p>
<p>Walau sebuah perusahaan bisa memiliki lebih dari satu pabrik, sertifikasi hanya berlaku pada satu pabrik; seiring waktu perusahaan harus mensertifikasi semua pabrik mereka.</p>
<p>Belum semua pabrik kelapa sawit di Indonesia memiliki sertifikat RSPO. Pada 2019, RSPO mencatat ada <a href="https://investor.id/business/78-juta-ton-cpo-indonesia-bersertifikasi-rspo">195</a> pabrik kelapa sawit bersertifikat di Indonesia. Pada 2015, ada total <a href="https://www.researchgate.net/publication/323505874_Processing_of_palm_oil_mill_wastes_based_on_zero_waste_technology#pf3">742</a> pabrik kelapa sawit di Indonesia.</p>
<h2>Kekosongan regulasi</h2>
<p>Namun, inisiatif seperti RSPO tidak akan efektif jika Indonesia sendiri tidak memiliki regulasi yang memadai untuk melindungi buruh perempuan.</p>
<p>Saat ini, RSPO sedang merencanakan untuk membuat panduan <em>“gender inclusivity”</em> (kebijakan yang tidak mendiskriminasi berbasis gender) bagi produsen sawit. </p>
<p>Rencana RSPO untuk mencapai <em>gender inclusivity</em> di ranah sawit tentu harus mengacu pada terhadap regulasi yang terlebih dahulu ada. </p>
<p>Indonesia telah memiliki inisiatif untuk membuat regulasi terkait pekerja perempuan di perkebunan sawit melalui <a href="https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf">UU No. 39 tahun 1999</a> tentang hak asasi manusia dan UU No. 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja.</p>
<p>Sayangnya, kedua UU ini <a href="https://www.infosawit.com/news/10087/regulasi-perlindungan-buruh-perkebunan-kelapa-sawit-masih-minim">belum maksimal</a> dalam melindungi buruh sawit perempuan.</p>
<p>Sehingga, suatu pabrik yang bersertifikasi RSPO belum tentu telah memenuhi hak-hak pekerja perempuan, karena adanya kekosongan regulasi dan belum adanya sistem pengawasan yang baik di Indonesia</p>
<p>Saat ini, perusahaan tidak dapat mengatasi permasalahan yang dialami buruh karena <a href="http://sawitwatch.or.id/2018/04/17/undang-undang-ketenagakerjaan-belum-melindungi-buruh-perkebunan-sawit/">belum adanya peraturan khusus</a> menyangkut buruh perkebunan sawit. </p>
<p>Undang-undang (UU) tenaga kerja yang ada saat ini, yaitu <a href="https://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/64764/71554/F1102622842/IDN64764.pdf">UU No. 13 tahun 2003</a>, lebih cocok diterapkan untuk buruh di sektor manufaktur. </p>
<p>Padahal karakter dan kondisi kerja buruh perkebunan khususnya sawit sangat berbeda. </p>
<p>Contohnya dalam <a href="https://www.merdeka.com/uang/upah-murah-dan-tanpa-uang-lembur-potret-kelam-buruh-sawit-tanah-air.html">penetapan upah</a>. </p>
<p>Berdasarkan undang-undang, upah minimum mengacu pada <a href="http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/tk/Permennakertrans13-2012KebutuhanHidupLayak.pdf">kebutuhan hidup layak (KHL)</a> yang ditetapkan lewat standar kebutuhan pekerja lajang untuk hidup layak dalam satu bulan dengan 3.000 kilo kalori per hari. </p>
<p>Penetapan ini <a href="https://www.medcom.id/nasional/metro/5b2Vjl6b-di-balik-upah-murah-buruh-sawit-indonesia">tidak sebanding</a> dengan jumlah kalori yang diperlukan oleh buruh untuk bekerja di perkebunan sawit. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Buruh perempuan menabur pupuk di kebun sawit." src="https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/350353/original/file-20200730-23-1voqttc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Buruh perempuan menabur pupuk di kebun sawit.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/cifor/35978787324/">Icaro Cooke Vieira/CIFOR</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/upaya-kerja-sama-internasional-untuk-tuntaskan-kasus-pelanggaran-ham-akibat-kebakaran-hutan-136687">Upaya kerja sama internasional untuk tuntaskan kasus pelanggaran HAM akibat kebakaran hutan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang harus dilakukan?</h2>
<p>Kekosongan regulasi bagi buruh sawit menandakan perhatian pemerintah di sektor ini masih sedikit, terutama yang terkait pada buruh perempuan. </p>
<p>Lebih lanjut, pemangku kepentingan di perusahaan belum sepenuhnya sadar akan pentingnya komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan gender.</p>
<p>Kebijakan dan operasional perusahaan perkebunan sawit belum mempertimbangkan hak-hak pekerja perempuan ini, misalnya dengan menyediakan alat pelindung diri yang sesuai dengan anatomi dan fisiologis tubuh perempuan, memberikan ruang menyusui di tempat kerja, dan fasilitas kesehatan pendukung lainnya. </p>
<p>Apa yang harus berubah?</p>
<p><strong>Pertama</strong>, regulasi dalam sawit harus mengakomodasi masalah-masalah lintas sektor yang bisa menghubungkan semua faktor penting. </p>
<p>Regulasi tidak hanya mempertimbangkan kondisi lingkungan, tapi juga hak-hak pekerja perempuan. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, perlu ada aturan yang mengakui keberadaan dan peran buruh perempuan sehingga tercipta keadilan dalam hal upah dan juga perlindungan keamanan. </p>
<p>Dengan membayar upah buruh perempuan secara adil, maka artinya perusahaan dan juga pemerintah sebagai pembuat kebijakan menghormati hak-hak mereka.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, perlu ada aturan yang memastikan bahwa buruh sawit perempuan terlibat dan ikut berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, baik di ranah domestik (mengurus rumah tangga) maupun ranah non-domestik (yang berkaitan langsung dengan sumber penghidupan mereka sebagai buruh sawit).</p>
<hr>
<p><em>Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.</em> </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143459/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perlindungan pemerintah terhadap buruh sawit perempuan masih minim hingga detik ini.Andini Desita Ekaputri (Sita), Kandidat PhD, University of HawaiiLengga Pradipta, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1384252020-05-15T03:20:04Z2020-05-15T03:20:04ZTiga alasan mengapa Kartu Prakerja hanya memihak pada masyarakat perkotaan dan solusinya<p>Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah pengangguran, pemerintah Indonesia <a href="https://theconversation.com/ini-daftar-5-hal-baru-dalam-apbn-2020-yang-berdampak-pada-masyarakat-124438">memasukkan</a> Program Kartu Prakerja dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 yang disahkan tahun lalu. </p>
<p>Kartu Prakerja adalah kartu yang diberikan kepada pencari kerja atau pekerja untuk memperoleh pendidikan kejuruan atau sertifikasi kompetensi kerja yang memudahkan mereka mencari kerja. Jumlah anggaran yang ditetapkan waktu itu mencapai <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/08/16/anggaran-kartu-pra-kerja-rp-10-triliun-untuk-gaji-2-juta-pengangguran">Rp10 triliun untuk sekitar 2 juta peserta</a>.</p>
<p>Namun, ketika pandemi COVID-19 menyerang Indonesia dan melumpuhkan beberapa industri, pemerintah memutuskan untuk menambah jumlah kartu menjadi <a href="https://insight.kontan.co.id/news/kartu-pra-kerja-menyasar-56-juta-penerima-di-2020">5,6 juta</a> dan mengemasnya menjadi “bantuan sosial” untuk <a href="https://katadata.co.id/berita/2020/04/01/anggaran-kartu-prakerja-naik-jadi-rp-20-triliun-per-orang-rp-35-juta">pengangguran dan karyawan yang mengalami putus hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan akibat pandemi</a>. </p>
<p>Terlepas dari niat baik pemerintah, kami melihat program ini sangat memihak pada kelompok masyarakat ekonomi menengah yang tinggal di perkotaan. </p>
<p>Berikut tiga alasannya:</p>
<p><strong>1. Distribusi kuota penerima terpusat di Pulau Jawa</strong></p>
<p>Selama wabah COVID-19, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pegawai yang di-PHK dan dirumahkan mendekati angka <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5009421/data-kemnaker-pekerja-terdampak-covid-19-capai-sekitar-3-juta-orang">3 juta orang</a> di seluruh Indonesia. Angka tersebut belum termasuk jumlah orang yang setengah menganggur (8,1 juta) dan pekerja paruh waktu (28,1 juta).</p>
<p>Namun, data <a href="https://www.ekon.go.id/">Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian</a> menunjukkan jumlah kuota penerima <a href="https://www.prakerja.go.id/tentang-kami">Kartu Prakerja</a> lebih banyak di Pulau Jawa, yaitu mencapai 70%. Artinya dari 5,6 juta kartu yang dibagi, hampir 4 juta akan didistribusikan di Pulau Jawa. </p>
<p>Dari jumlah itu, Provinsi DKI Jakarta mendapatkan kuota paling besar, sekitar <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-01365774/kuota-penerima-kartu-prakerja-di-jawa-barat-sebanyak-937511-orang">1,6 juta penerima</a> disusul oleh Jawa Barat sekitar 930 ribu penerima.</p>
<p>Besarnya kuota yang diberikan kepada para peserta di kota-kota di Pulau Jawa mungkin mengingat statusnya sebagai pusat perekonomian Indonesia dan kondisi beberapa kota di Pulau Jawa yang menjadi zona merah COVID-19. </p>
<p>Namun, perlu juga diingat bahwa persoalan pengangguran baik sebelum maupun saat pandemi COVID-19 ini juga terjadi di luar Pulau Jawa. Bahkan kota-kota di luar Jawa mungkin lebih membutuhkan karena kondisi mereka yang lebih buruk dengan <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2017/08/03/1263/indeks-keparahan-kemiskinan-p2-menurut-kabupaten-kota-2015---2019.html">indeks kemiskinan yang tinggi</a> dan minimnya infrastruktur dan lapangan pekerjaan. </p>
<p><strong>2. Materi yang hanya bisa diakses oleh kelas menengah</strong></p>
<p>Berdasarkan observasi yang kami lakukan, sebanyak 99% dari sekitar 1.900 materi yang disajikan oleh delapan penyedia jasa pelatihan lebih
berorientasi pada masyarakat perkotaan dibandingkan pedesaan. </p>
<p>Bentuk pelatihan seperti pelatihan pembuatan konten <em>game</em>, <em>digital marketing</em>, pelatihan konten YouTube, fotografi, desain grafis, dan lainnya hanya cocok untuk masyarakat perkotaan dibanding pedesaan. Bukan masalah akses terhadap industrinya saja, tapi alat dan infrastruktur yang memadai untuk jenis pelatihan tersebut hanya tersedia di perkotaan. </p>
<p>Kemudian ada juga latihan pelayanan ojek online yang saat ini operasinya hanya menjangkau 31% kota di seluruh Indonesia. Jenis pelatihan ini juga hanya melayani orang-orang yang tinggal di kota-kota tersebut. </p>
<p>Berdasarkan pantauan kami, hanya tiga paket materi yang berbicara tentang <a href="https://pintaria.com/">pertanian </a> dan satu paket materi tentang <a href="https://www.tokopedia.com/discovery/kartu-prakerja">perikanan </a> dari ribuan materi yang disediakan oleh Kartu Prakerja. </p>
<p>Hal ini berarti hampir seluruh materi-materi dalam program Kartu Prakerja tidak memiliki orientasi terhadap aktivitas pemberdayaan pemanfaatan potensi desa atau pun terintegrasi dengan pengembangan ekonomi pedesaan. </p>
<p>Tidak hanya itu, metode penyampaian materi secara online juga sangat memihak masyarakat perkotaan. </p>
<p>Data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan dari 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia, baru terdapat <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2019/12/31/1715/banyaknya-desa-kelurahan-yang-memiliki-menara-bts-menurut-provinsi-klasifikasi-daerah-dan-penerimaan-sinyal-telepon-selular-2011-2014-dan-2018.html">66% yang memiliki sinyal telepon seluler kuat, sedangkan sisanya berkategori sinyal lemah, bahkan tidak ada sinyal sama sekali</a>. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/335017/original/file-20200514-77230-19fytkp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Peta sebaran persentase penduduk usia 5 tahun ke atas di wilayah perkotaan dan perdesaan yang pernah mengakses internet tahun 2018.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Diolah oleh penulis</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sudah barang tentu, kondisi ini akan semakin mempersulit para angkatan kerja di wilayah pedesaan.</p>
<p><strong>3. Akses yang terbatas hanya untuk masyarakat perkotaan</strong></p>
<p>Sistem transaksi Kartu Prakerja melalui perbankan dan layanan pembayaran digital seperti <a href="https://www.prakerja.go.id/"><em>LinkAja</em>, OVO dan Gopay </a> juga kurang adaptif dengan kultur keuangan masyarakat pedesaan. </p>
<p>Terbatasnya jumlah kantor cabang pembantu (KCP) bank dan anjungan tunai mandiri (ATM) di desa, lalu jarak tempuh antara rumah dan jaringan KCP dan ATM yang jauh serta akses jaringan internet yang tidak memadai akan menyulitkan masyarakat pedesaan untuk mengakses program pelatihan Kartu Prakerja. </p>
<p>Ketersediaan akses perbankan dan layanan jasa keuangan wilayah Indonesia tengah dan timur masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai <a href="https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/DetailMateri/494">76,19%</a>. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada kesenjangan dalam akses keuangan yang tidak diperhatikan pemerintah dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja. </p>
<h2>Alternatif solusi</h2>
<p>Berangkat dari masalah di atas, pemerintah perlu mengevaluasi program Kartu Prakerja yang masih bias kota. </p>
<p>Solusi alternatif yang bisa dilakukan adalah menggunakan <a href="https://money.kompas.com/read/2020/04/25/103234626/pendiri-ruangguru-beberkan-aliran-dana-rp-56-triliun-kartu-prakerja?page=all">segala dana pelatihan yang bersifat online </a> yang jumlah totalnya menjadi Rp6,44 triliun untuk menambah 2,6 juta kuota penerima Kartu Prakerja baru. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=337&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/334991/original/file-20200514-77255-51mmmf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pemandangan sawah di daerah Temanggung, Jawa Tengah.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kartu Prakerja juga harus mempertimbangkan asas pemerataan desa-kota. Pemberian insentif juga harus menyesuaikan prinsip inklusi keuangan dengan mempertimbangkan beberapa kondisi geografis dan aspek sosial-ekonomi di tingkat lokal. </p>
<p>Skema dan pembiayaan pelatihan kerja di desa bisa didapat dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) dan Dana Desa sehingga tujuan pelatihan dapat terintegrasi dengan peningkatan potensi sumber daya alam dan infrastruktur setempat. </p>
<p>Ini sesuai dengan <a href="http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=14984">Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 11 tahun 2019</a> bahwa pemberian pelatihan kerja merupakan salah satu prioritas penggunaan Dana Desa. Tujuannya untuk memastikan agar pelatihan kerja yang diberikan bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang relevan dengan daerah setempat, seperti yang telah lama <a href="https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181119203209-532-347790/pemda-diminta-sisihkan-anggaran-untuk-pelatihan-tenaga-kerja">didengungkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan RI</a>. </p>
<p>Dengan begitu, maka wabah COVID-19 yang tengah melanda Indonesia seakan menjadi berkah yang tersamar dan menjadi sebuah momentum baru untuk melihat masa depan angkatan kerja baik di desa-desa maupun di kota yang lebih baik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138425/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Terlepas dari niat baik pemerintah, ada tiga alasan mengapa Kartu Prakerja sangat memihak pada kelompok masyarakat ekonomi menengah yang tinggal di perkotaan.Dwiyanti Kusumaningrum, Researcher, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Fachri Aidulsyah, Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Ruth Meilianna, Peneliti, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1370212020-04-30T03:36:03Z2020-04-30T03:36:03ZKartu Prakerja: ketika kelompok kepentingan terlibat dalam ‘solusi’ krisis COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/329882/original/file-20200422-47820-19almye.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.publicdomainpictures.net/en/view-image.php?image=302215&picture=online-meeting">PublicDomainPictures</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Buruh pada 1 Mei.</em></p>
<p>Peluncuran program Kartu Prakerja sebagai solusi untuk mengatasi dampak ekonomi COVID-19 adalah contoh bagaimana pemerintah mengakomodasi keinginan kelompok kepentingan – dalam hal ini kelompok perusahaan teknologi – di masa krisis. </p>
<p>Program Kartu Pekerja adalah salah satu janji kampanye Presiden Joko"Jokowi" Widodo pada pemilihan presiden tahun lalu untuk mengurangi angka pengangguran dengan meningkatkan kompetensi tenaga lewat pelatihan gratis. </p>
<p>Program ini kemudian dirancang kembali oleh pemerintah dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020">dokumen perencanaan tahun 2020-2024</a> untuk meningkatkan kompetensi kerja, bukan untuk membantu masyarakat mengatasi dampak guncangan ekonomi <a href="https://www.unicef.org/socialpolicy/files/How_economic_shocks_affect_final.pdf">(<em>economic shock</em>)</a> akibat pandemi. </p>
<p>Sekilas program ini mirip bantuan sosial bersyarat.</p>
<p>Namun, jika <a href="https://tirto.id/cara-mendapatkan-bansos-sembako-pkh-padat-karya-tunai-prakerja-eNrV">bantuan sosial lain</a> diberikan berdasarkan indikator kesejahteraan (misalnya konsumsi listrik tiga bulan terakhir atau jumlah penghasilan), Kartu Prakerja menjadikan pelatihan <em>online</em> yang disediakan oleh perusahaan teknologi seperti Sekolahmu, Ruang Guru, dan Pintaria sebagai <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/ini-penjelasan-pemerintah-soal-keikutsertaan-8-platform-digital-di-kartu-prakerja?page=all">prasyarat bantuan</a>. </p>
<p>Berdasarkan situs resmi <a href="https://www.prakerja.go.id/">Kartu Prakerja</a>, penerima berhak atas paket pelatihan <em>online</em> (daring) dari mitra resmi senilai Rp 1 juta. </p>
<p>Namun untuk mendapatkannya, peserta harus mengikuti pelatihan selama empat bulan serta mengisi kuesioner evaluasi untuk mendapatkan ‘uang bantuan’ sebesar Rp 600,000 per bulan selama pelatihan, yang disalurkan melalui platform digital privat yang ditunjuk.</p>
<p>Jika dalam bantuan sosial lain ada pilihan PT Pos yang bisa menjangkau seluruh Indonesia sebagai media pembayaran bantuan, dalam Kartu Prakerja ditunjuk beberapa perusahaan pembayaran digital antara lain GoPay, LinkAja dan OVO. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jokowi-tunjuk-nadiem-makarim-jadi-mendikbud-pentingnya-libatkan-pendiri-gojek-untuk-urai-birokrasi-pendidikan-125729">Jokowi tunjuk Nadiem Makarim jadi Mendikbud: pentingnya libatkan pendiri Gojek untuk urai birokrasi pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kartu Prakerja dalam kerangka kebijakan</h2>
<p>Mengapa kelompok kepentingan bisa mempengaruhi arah kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi? </p>
<p>Konsep proses pembuatan kebijakan oleh profesor ilmu politik John Kingdon bisa menjelaskan mengapa Kartu Prakerja didorong sebagai kebijakan menghadapi pandemi. </p>
<p>Ia <a href="https://books.google.com/books/about/Agendas_Alternatives_and_Public_Policies.html?id=OXsdSgAACAAJ">menggambarkan</a> proses pembentukan kebijakan sebagai <em>pertemuan</em> antara masalah, solusi, <em>dan</em> keinginan politik. </p>
<p>Di atas kertas, <a href="http://jdih.bappenas.go.id/artikel/detailartikel/647">siklus kebijakan</a> di Indonesia dimulai dengan proses evaluasi, kemudian legitimasi, dan diakhiri dengan implementasi. </p>
<p>Namun, di dunia nyata proses pembuatan kebijakan tidak sesederhana dan serasional itu. </p>
<p>Menurut Kingdon, dalam menentukan suatu kebijakan, kesediaan dan kemampuan para pembuat kebijakan dipengaruhi keyakinan mereka, persepsi tentang keadaan nasional, dan masukan yang mereka terima dari <a href="https://www.taylorfrancis.com/books/9781315663937">kelompok kepentingan</a>. Kelompok kepentingan adalah individu-individu yang terorganisir untuk mempengaruhi pemerintah-misalnya asosiasi pengusaha, asosiasi buruh, dan partai politik. </p>
<p>Dalam kasus Kartu Prakerja, pemerintah berpacu dengan waktu untuk mengintervensi dampak pandemi terhadap kesejahteraan masyarakat. </p>
<p>Dalam proses pembuatan kebijakan, pejabat pembuat kebijakan di tingkat atas mendelegasikan proses pencarian solusi kepada beberapa birokrat yang kemudian berkonsultasi dengan kelompok-kelompok kepentingan. </p>
<p>Konsultasi biasanya dilakukan pemerintah untuk mempertimbangkan gagasan dan menghasilkan solusi. Di Indonesia, pelaksanaan forum konsultasi ini diatur dalam <a href="https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/produk-hukum-peraturan-perundangan/undang-undang/uu-no25-tahun-2004-tentang-sistem-perencanaan-pembangunan-nasional-sppn/">UU</a> tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU ini menyatakan bahwa sebuah kebijakan harus melewati proses forum musyawarah yang melibatkan perwakilan masyarakat. </p>
<p>Dalam kebijakan Kartu Prakerja tidak ada informasi kepada publik apakah proses konsultasi dengan masyarakat dilakukan, bagaimana prosesnya, dan siapa yang diundang.</p>
<p>Menurut Kingdon, dalam masa krisis, kelompok-kelompok kepentingan bisa sangat efektif mengangkat kepentingan mereka dalam agenda pemerintah. </p>
<p>Kelompok-kelompok ini mungkin telah lama memperjuangkan ‘solusi’ mereka untuk mendapatkan perhatian atau dukungan dari pemerintah. Pada kesempatan ini mereka akan berupaya mendapatkan dukungan dari para pejabat pembuat kebijakan.</p>
<p>Kelompok kepentingan mendorong kepentingan mereka melalui lobi dengan <a href="https://theconversation.com/lobbying-101-how-interest-groups-influence-politicians-and-the-public-to-get-what-they-want-60569">berbagai cara</a>. Mulai dari memberikan donasi, mengatur imbalan tidak langsung <a href="https://www.integrity-indonesia.com/id/blog/2019/12/04/kapan-quid-pro-quo-menjadi-fraud/">(<em>quid pro quo</em>)</a> misalnya memberikan jabatan bagi pejabat yang ‘ramah’, hingga <a href="https://www.adamsmith.org/blog/thinkpieces/the-impact-of-interest-groups-on-public-policy-2">membantu penyusunan regulasi </a> untuk kebijakan terkait.</p>
<p>Karena sifatnya yang cenderung bertentangan dengan prinsip <a href="https://www.oecd.org/corruption/ethics/Lobbying-Brochure.pdf">tata kelola pemerintahan</a> yang baik, lobi tidak dilakukan secara terang-terangan. </p>
<p>Lobi selalu dilakukan dibalik kegiatan investasi yang taktis. Misalnya beberapa perusahaan pembayaran berbasis teknologi seperti GoPay, Link Aja, dan OVO, gencar memberikan <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/09/24/transaksinya-murah-gopay-hingga-linkaja-berpeluang-tingkatkan-bansos">pernyataan melalui media</a> bahwa bisnis mereka akan dapat meningkatkan efektifitas bantuan sosial, jauh sebelum Kartu Prakerja muncul. </p>
<p>Atau ketika Ruang Guru ‘membeli’ kredibilitas dengan menggelar konferensi pendidikan <a href="https://blog.ruangguru.com/hadir-di-learning-innovation-summit-2018-menteri-keuangan-sri-mulyani-dukung-siswa-memperoleh-alternatif-belajar-di-luar-sekolah">Learning Innovation Summit</a> pada Maret 2018 dengan mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani dan para pejabat kementerian dan dinas pendidikan dari seluruh Indonesia.</p>
<p>Kartu Prakerja menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan dibuat di tengah krisis di Indonesia.</p>
<p>Program Kartu Prakerja adalah kebijakan yang muncul dari pertemuan antara masalah, solusi, dan keinginan politik - dan masing-masing datang dari waktu dan tempat yang berbeda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-bisa-dipelajari-dari-kasus-belva-ruangguru-dan-andi-taufan-amartha-136393">Yang bisa dipelajari dari kasus Belva Ruangguru dan Andi Taufan Amartha</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Modifikasi Kartu Prakerja di tengah pandemi</h2>
<p>Sebagai sebuah kebijakan, Kartu Prakerja bukanlah solusi yang mengakar pada masalah publik. Kartu Prakerja adalah solusi yang dimodifikasi untuk mengakomodir kepentingan kelompok.</p>
<p>Dari sisi manajemen hingga pelaksanaan, Kartu Prakerja tidak memperlihatkan kesesuaian dengan rencana pemerintah. </p>
<p>Dalam dokumen <a href="https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/rencana-kerja-pemerintah-rkp-tahun-2020/">Rencana Kerja Pemerintah 2020</a>, pemerintah menargetkan pembentukan sebuah lembaga pengelola Kartu Prakerja yang profesional. Lembaga ini perlu dijalankan oleh orang-orang yang punya keahlian di bidang pelatihan dan ketenagakerjaan. </p>
<p>Saat ini, manajemen pelaksana program Kartu Prakerja diisi oleh pejabat dari di Kantor Staf Presiden (KSP), sebuah <a href="http://ksp.go.id/">pusat kendali pemerintahan dan pengendalian prioritas nasional</a>, yang tidak memiliki latar belakang yang selaras dengan kebutuhan lembaga. Misalnya, posisi <a href="https://feb.ugm.ac.id/en/profile/lecturers/2317-denni-puspa-purbasari">direktur eksekutif</a> diisi seorang ekonom; sedangkan posisi <a href="https://lkyspp.nus.edu.sg/news-events/news/details/from-private-sector-to-public-service">direktur komunikasi</a> diisi orang yang sebelumnya memegang jabatan Government Relation di Gojek dan Treasury Director di Visa.</p>
<p>Kartu Prakerja tidak mendorong pelatihan yang terkait industri 4.0 seperti yang dicanangkan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020">(RPJMN) 2020-2024</a> maupun oleh Kementerian Perindustrian. Berdasarkan peta jalan <a href="https://www.kemenperin.go.id/download/18384">“Making Indonesia 4.0”</a>, Kementerian Perindustrian menetapkan lima sektor manufaktur prioritas: industri makanan dan minuman; tekstil dan pakaian; otomotif; elektronik; dan kimia.</p>
<p>Dalam laman resmi Kartu Prakerja, tidak ada pelatihan terkait kelima industri diatas. Beberapa contoh pelatihan yang ditawarkan lewat program ini adalah tentang <a href="https://skillacademy.com/bundle-course/BUNDLE-YEYOKRBE">berjualan <em>online</em></a>, <a href="https://www.luarsekolah.com/kelas/online/belajar-menjadi-perias-profesional2">tata rias</a>, dan <a href="https://www.tokopedia.com/kartu-prakerja/partner/sekolah-desain/1969/">fotografi</a>. </p>
<p>Pelatihan yang diberikan juga bertentangan dengan prinsip-prinsip vokasi. Berdasarkan <a href="http://simkeu.kemdikbud.go.id/index.php/peraturan1/8-uu-undang-undang/12-uu-no-20-tahun-2003-tentang-sistem-pendidikan-nasional">UU tentang Sistem Pendidikan Nasional</a>, pendidikan vokasi bertujuan meningkatkan penguasaan keahlian terapan tertentu. Maka, pendidikan vokasi perlu mendorong lebih banyak praktek daripada teori. </p>
<p>Pelatihan yang ditawarkan Kartu Prakerja seluruhnya adalah teori; praktek diserahkan sepenuhnya pada peserta. </p>
<p>Jelas bahwa Kartu Prakerja yang saat ini ditawarkan bukanlah solusi untuk masalah publik, seperti kemiskinan dan pengangguran. Kartu Prakerja merupakan solusi untuk kelompok kepentingan yang dibungkus sebagai solusi untuk masalah publik. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137021/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Resya Kania tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kartu Prakerja yang saat ini ditawarkan bukanlah solusi untuk masalah publik, seperti kemiskinan dan pengangguran. Kartu Prakerja adalah kepentingan yang dibungkus sebagai solusi publik.Resya Kania, PhD Candidate in Social Policy, University of BirminghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1364952020-04-21T07:19:33Z2020-04-21T07:19:33ZTiga alasan mengapa pembahasan RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi COVID-19<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/328259/original/file-20200416-140735-1k8zr2a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pekerja industri garmen</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://flickr.com/photos/iloasiapacific/8248418519/in/photolist-fNXvfv-2hKyaSU-BS9J7m-KqnASm-WPm9yV-UAXzwL-p4siHd-B5eBmW-pyyTFP-GdeWfG-fKhmjw-Kmk1Rt-21C9BRp-wGEZu5-fK1vfn-BtemRF-fPf6yN-uSHQTW-KiQEid-dyYLvJ-w3jMd1-K38zR7-w3thiD-JwLA8Z-dyTisp-wYArZo-fJZnnx-8dds65-wZT5Tp-UqhWQw-NowD4-fJZN9r-JwGSRY-vt7Hmy-FkgS3c-G9G5Xt-wZkZ7F-fPf9V9-294jQLB-21xdSLm-vtXD9g-qv9WoZ-wGJjSy-GdjSxS-qdUHPF-p53goT-Fk6oLQ-qdLVeo-2hKyaRM-fNXBox">iloasiapacific/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 belum menunjukkan perlambatan.</p>
<p>Sampai artikel ini ditulis sudah ada hampir <a href="https://www.kompas.tv/article/76296/update-penambahan-kasus-positif-corona-indonesia-terbanyak-di-jakarta">7,000 orang</a> terindikasi positif virus tersebut, bertambah hampir 200 orang dalam satu hari. </p>
<p>Dampak ekonominya pun telah terasa. Sejauh ini ada sekitar <a href="https://nasional.tempo.co/read/1331187/dampak-covid-19-doni-monardo-sebut-16-juta-orang-kena-phk">1,6 juta orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan</a>. Kelesuan ekonomi ini pun terancam akan menghasilkan krisis keuangan di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-covid-19-memicu-krisis-keuangan-di-indonesia-133931">Bagaimana COVID-19 memicu krisis keuangan di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun disayangkan di tengah situasi seperti ini pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikukuh untuk mendorong terbitnya <a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Cipta Kerja</a>. Lebih jauh lagi bahkan DPR <a href="https://news.detik.com/berita/d-4962721/tok-anggota-dpr-sepakat-ruu-omnibus-law-ciptaker-dibawa-ke-baleg">menyepakati RUU tersebut untuk dilanjutkan</a> bahasannya ke Badan Legislasi DPR.</p>
<p>Kepala Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Eko Nugroho, menjelaskan kegigihan penguasa menggolkan Omnibus Law lantaran pemerintah ingin mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mempermudah investasi dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan.</p>
<p>Ekonomi Indonesia pada tahun lalu hanya tumbuh <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/02/05/1755/ekonomi-indonesia-2019-tumbuh-5-02-persen.html">5,02%</a>, lebih rendah dibanding capaian tahun 2018 sebesar 5,17%. Target investasi luar negeri Indonesia juga<a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200129121817-4-133615/realisasi-pma-tak-capai-target-lagi-omnibus-law-solusinya">tidak pernah tercapai sejak 2018</a>. Pada 2018, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) hanya 82,3% dari target <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2019/01/30/125603026/realisasi-investasi-2018-naik-tetapi-tetap-tak-capai-target">Rp 392.7 triliun</a> dan setelahnya target tidak pernah tercapai.</p>
<p>Pemerintah mengganggap Omnibus Law diperlukan untuk menstimulus perekonomian nasional yang terhempas krisis apalagi di tengah pandemi COVID-19. </p>
<p>Namun menurut Agus, perlambatan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya regulasi karena permasalahan ekonomi Indonesia terletak kepada hal yang lebih mendasar yaitu produktivitas teknologi dan tenaga kerja masih rendah, dominasi sektor keuangan terhadap sektor riil, serta ditambah maraknya praktik korupsi di Indonesia yang merusak iklim usaha di Indonesia.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/328260/original/file-20200416-140735-1r9bt28.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=500&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pekerja sedang membuat peralatan medis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://flickr.com/photos/iloasiapacific/7656151572/in/photolist-cExM8j-cExRUq-dkFvy7-fPf35w-fMG55K-fKhagb-fkhhtN-wGDxKG-vLkQQW-fKh6tA-fkj4ZC-nzwrTa-fNXyhv-jdDdnj-jdCz8i-dkF9Ga-dkFamd-wGDtYd-dkF6XF-wHRv6T-fJZTqT-fPf1mh-wGDuFq-fJZvYk-dkF7ka-wqJYnE-fKi5wd-wHRF3g-wHRygF-dkF6xZ-fJZMM4-294jNUk-fPf5jL-fkjuAA-AKRZSU-dkF8aR-wqSkde-wF3pR5-dkFbey-wHRyZK-fKhgWh-fKh5QC-dkF8jt-nxuGMo-BS9K89-dkFbx3-dkFawY-dkF5Hc-dkFaWs-dkF9xd">ILOasiapacific/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Tiga penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia</h2>
<p>Masalah yang pertama adalah produktivitas, teknologi dan tenaga kerja Indonesia yang masih rendah. </p>
<p>Menurut laporan <a href="http://www3.weforum.org/docs/WEF_TheGlobalCompetitivenessReport2019.pdf">Indeks Kompetisi Global</a> yang dirilis di World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu, kemampuan pekerja Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 141 negara dengan skor 64. Peringkat ini kalah dari negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke 30 dengan skor 72.5, walaupun kita masih unggul dari Thailand dan Vietnam yang berada di peringkat 73 dan 93. </p>
<p>Sementara RUU Cipta Kerja <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/603155-airlangga-omnibus-law-bertujuan-ciptakan-lapangan-kerja">hanya fokus untuk menghasilkan lapangan kerja baru</a> bukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja.</p>
<p>Masalah kedua tentang keberadaan sektor keuangan yang mendominasi sektor riil Indonesia. </p>
<p>Ini terbukti dengan <a href="https://lifepal.co.id/media/perusahaan-terbesar-di-indonesia/">delapan dari 10 perusahaan terbesar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia adalah bank</a>. Tiga besarnya adalah Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Central Asia yang masing-masing memiliki nilai aset Rp 1,288 triliun, Rp 1,235 triliun dan Rp 870 triliun pada tahun lalu. </p>
<p>Dominasi lembaga keuangan ini salah satunya disebabkan suku bunga di Indonesia yang masih cukup tinggi dibanding negara-negara lainnya. Saat ini, suku bunga acuan dari Bank Indonesia yang saat ini berada di <a href="https://www.liputan6.com/bisnis/read/4183671/bi-turunkan-suku-bunga-acuan-jadi-475-persen">4.5%</a>, lebih tinggi dibanding Malaysia yang mematok bunga acuan <a href="https://www.nst.com.my/business/2020/03/571324/bank-negara-cuts-key-interest-rate-250pct">2.5%</a> dan Thailand dengan <a href="https://www.bangkokpost.com/business/1883125/bank-of-thailand-cuts-key-rate-by-25-bps-in-special-meeting">0.75%</a>. </p>
<p>Bagi pelaku usaha, suku bunga tinggi akan membebani usaha mereka karena akan menambah beban bunga dan bisa menghambat rencana bisnis mereka. </p>
<p>Bagi konsumen, suka bunga yang tinggi akan mendorong mereka untuk menabung ketimbang berbelanja. Hal ini tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.</p>
<p>Masalah ketiga terkait korupsi. </p>
<p><a href="http://www3.weforum.org/docs/GCR2017-2018/03CountryProfiles/Standalone2-pagerprofiles/WEF_GCI_2017_2018_Profile_Indonesia.pdf">Riset WEF </a>menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dan korupsi menjadi kendala utama. Indonesia saat ini berada di <a href="https://www.transparency.org/country/IDN">urutan ke-85 dari 180 negara </a>di Indeks Persepsi Korupsi Perception Index 2019 yang di rilis oleh Transparency International.</p>
<p>“Prioritas pada isu ketenagakerjaan adalah diagnosis yang keliru, karena menurut <em>World Economic Forum</em>, permasalahan utama yang menghambat investasi adalah korupsi dan ketidakpastian hukum yang melingkupinya,” ujar Herlambang P. Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-indonesia-tidak-membutuhkan-omnibus-law-cipta-kerja-130550">Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Korupsi pula pada akhirnya berujung pada persaingan tidak sehat yang bisa merugikan ekonomi. </p>
<p>“Hal ini menjadi semakin kompleks ketika terjadi krisis kesehatan global yang memperkeruh permasalahan ekonomi,” ujar Agus.</p>
<p>Jadi, menurut Agus, mustahil mengharapkan Omnibus Law untuk menjadi solusi terhadap permasalahan ekonomi Indonesia di tengah pandemi COVID-19.</p>
<h2>Menyelesaikan pandemi lebih penting</h2>
<p>Ketiga alasan di atas menjadi dasar kuat mengapa pembahasan Omnibus Law harus ditunda.</p>
<p>Saat ini, seluruh perangkat negara termasuk pemerintah dan DPR harus fokus pada penanganan COVID 19. Insentif ekonomi tidak akan banyak berguna. </p>
<p>Dampak ekonomi pandemi ini akan sangat besar dan pemerintah pun sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20200419204120-4-152970/bersiap-jokowi-sebut-ekonomi-ri-akan-terkoreksi-dalam">turun ke 2.3% atau bahkan bisa menjadi negatif</a>, sehingga sebaiknya energi bangsa berfokus pada mitigasi pandemi ini.</p>
<p>Bivitri Susanti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyatakan pemerintah tidak bisa lagi berargumen bahwa Omnibus Law ini dibutuhkan agar Indonesia bisa bangkit dari krisis ekonomi COVID-19. </p>
<p>Menurutnya, pandemi ini telah menghancurkan tiang-tiang ekonomi dunia yang dijadikan asumsi Omnibus. Kelambatan pemerintah menangani COVID 19 akan berakibat juga pada lambatnya kemajuan perekonomian Indonesia.</p>
<p>Pilihan pemerintah untuk mengutamakan penyusunan Omnibus Law juga aneh, ujar Bivitri. </p>
<p>Ketika respons parlemen di seluruh dunia atas COVID-19 fokus pada bagaimana cara mengatasi dampak sosial virus tersebut, parlemen Indonesia justru bicara soal Omnibus Law. </p>
<p>“Aspirasi rakyat adalah supaya pandemi bisa diatasi dan bisa kembali mendapatkan pendapatan. Parlemen tidak seharusnya bicara hal yang lain-lain,” kata Bivitri.</p>
<p>Agus juga menilai pembahasan ini tidak etis ketika negara sedang terlanda wabah, namun membahas pertumbuhan ekonomi. </p>
<p>Agus juga mengatakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya menyentuh problem ekonomi struktural negara dengan fokus utama untuk mempermudah investasi dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan dan bukan ke arah ekonomi fundamental.</p>
<p>Saat ini, problem ekonomi di Indonesia masih bersifat fundamental seperti peningkatan kapasitas di aspek teknologi, inovasi, serta kapasitas tenaga kerja.</p>
<p>Jika pemerintah gagal mengatasi permasalahan fundamental ini maka ekonomi Indonesia tidak akan bangkit dari stagnasi.</p>
<p>Menurut Agus, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini rata-rata hanya 0.5% per tahun dan jika pemerintah gagal mengatasi krisis maka dampaknya akan sangat signifikan.</p>
<p>“Jika pertumbuhan ekonomi hanya 2% tahun ini maka untuk kembali ke 5% seperti tahun lalu akan membutuhkan jalan yang panjang sekali,” ujar Agus.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136495/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
RUU Omnibus Law seharusnya ditunda di tengah pandemi karena tidak etis dan pemerintah seharusnya menyelesaikan masalah yang lebih fundamental.Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1211352019-08-01T00:20:24Z2019-08-01T00:20:24ZIsu “lulusan UI tolak gaji Rp8 juta” tunjukkan ketidakjelasan standar gaji di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/286378/original/file-20190731-186846-148yozj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://creditscoregeek.com/">Photo by Credit Score Blog</a></span></figcaption></figure><p>Jagat maya Indonesia baru-baru ini dihebohkan <a href="https://money.kompas.com/read/2019/07/25/131600026/viral-tolak-gaji-rp-8-juta-ini-gaji-fresh-graduate-versi-bps?page=all">kisah</a> seseorang yang mengaku lulusan universitas ternama yang tidak puas ditawari gaji Rp 8 juta saat wawancara kerja.</p>
<p>Walaupun tak jelas kebenaran sumbernya, kisah itu viral dan mencatat <a href="https://trends.google.com/trends/trendingsearches/daily?geo=ID&tt=Gaji+8+juta&hl=in&sni=3#Gaji%208%20juta">angka lebih dari 5.000 penelusuran</a> di Google per 26 Juli 2019, sekaligus menenggelamkan berita tentang turunnya ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). </p>
<p><a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20190725/259/1128604/waduh-benarkah-penghasilan-rp3-jutaan-bakal-kena-pajak">Rencana pemerintah</a> untuk memajaki pekerja berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan seharusnya lebih menyedot perhatian karena berdampak pada kelompok pekerja dengan bayaran minimalis (sesuai Upah Minimum Regional).</p>
<p>Menurut kami, tanggapan masyarakat yang begitu besar ini hanyalah puncak dari gunung es permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia. </p>
<p>Masalah ini utamanya terkait ketiadaan otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dan iklim ketenagakerjaan yang sangat berorientasi pada pasar.</p>
<h2>Standar gaji</h2>
<p>Menyimak komentar-komentar di media sosial, tampak bahwa gaji merupakan wacana yang sensitif, tabu, dan patut dirahasiakan di Indonesia. </p>
<p>Pemahaman soal gaji tidak dapat dilepaskan dari konteks <a href="https://money.kompas.com/read/2019/07/22/171600026/cukupkah-hanya-mengurangi-angka-pengangguran-">tingginya pengangguran</a> dan elemen budaya yang kental, seperti soal arogansi dan konsep bersyukur. Budaya orang Indonesia (baca: Jawa) yang kental dengan sikap <a href="http://jurnalvivid.fib.unand.ac.id/index.php/lingkul/article/view/109/117"><em>nrimo</em></a> nampaknya berperan signifikan dalam hal ini.</p>
<p>Di saat yang sama, sedikit sekali informasi publik yang bisa diakses terkait gaji pekerja. Data yang tersedia hanya dari <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2019/03/06/2049/rata-rata-upah-gaji-bersih-sebulan-buruh-karyawan-pegawai-menurut-provinsi-dan-lapangan-pekerjaan-utama-di-17-sektor-rupiah-2018.html">Badan Pusat Statistik</a> atau <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/07/26/ini-rerata-gaji-alumni-ui-versi-tracer-study">data riset universitas</a> yang menampilkan rerata gaji pekerja. Data-data ini sayangnya tidak memisahkan antara jenis pekerjaan yang beragam berikut tingkat keahlian maupun pengalaman.</p>
<p>Sebetulnya, ada sumber data lain dari perusahaan swasta penyedia jasa pengelolaan pekerja seperti <a href="https://www.kellyservices.co.id/salary-guide-2019">Kelly Services</a> yang berbasis di Singapura atau <a href="https://www.robertwalters.co.id/content/dam/robert-walters/global/files/salary-survey/salary-survey-2019-greater-china-south-east-asia.pdf">Robert Walters</a> yang berbasis di Inggris yang memiliki acuan gaji pekerja Indonesia untuk berbagai jenis pekerjaan di beberapa sektor.</p>
<p>Namun demikian, data-data di atas tidaklah ideal untuk dijadikan panduan untuk menentukan gaji pekerja karena ia merupakan data survei yang tidak mengenal konsep kelayakan dari sisi pekerja dan tidak memiliki kekuatan dari segi hukum.</p>
<p>Di negara maju seperti Australia, standar gaji pekerja berlaku lintas pekerjaan dan lintas industri serta ditetapkan lewat standar nasional yaitu <a href="https://www.fairwork.gov.au/how-we-will-help/templates-and-guides/fact-sheets/minimum-workplace-entitlements/introduction-to-the-national-employment-standards">National Employment Standards</a> (Standar Pekerjaan Nasional). Standar ini berisi sepuluh poin yang memuat di antaranya jumlah jam kerja maksimal per minggu, dan ketentuan tentang cuti dan pemecatan. </p>
<p>Di sana, gaji seorang teknisi komputer di rumah sakit, misalnya, akan berada di rentang yang sama dengan gaji posisi serupa di perusahaan otomotif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perawat-migran-indonesia-di-jepang-gajinya-tinggi-apakah-mereka-bahagia-90841">Perawat migran Indonesia di Jepang gajinya tinggi, apakah mereka bahagia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, Australia juga memiliki sistem <em>enterprise agreement</em> atau perjanjian perusahaan yang mirip dengan mekanisme Perjanjian Kerja Bersama di Indonesia. Ini semua diatur lewat panduan yang dikeluarkan oleh <a href="https://www.fwc.gov.au/disputes-at-work/how-the-commission-works/video-tour-of-the-commission/what-is-the-fair-work-commission"><em>Fair Work Commission</em></a> (Komisi Kesetaraan Kerja), sebuah lembaga independen yang menjembatani kepentingan pekerja dan pemberi kerja, dan memiliki peranan sentral dalam melindungi hak-hak pekerja.</p>
<p>Ketiadaan standar yang spesifik dan otoritas yang dapat diandalkan inilah yang membuat praktik ketenagakerjaan di Indonesia masih jauh dari ideal. </p>
<p>Selain itu, pandangan masyarakat bahwa mempersoalkan gaji bertentangan dengan nilai-nilai bersyukur, <a href="http://jurnalvivid.fib.unand.ac.id/index.php/lingkul/article/view/109"><em>nrimo</em></a>, dan empati terhadap sekitar, menurut kami, juga menjadi tantangan tercapainya keadilan dan kesetaraan antara pekerja dan pemberi kerja. </p>
<p>Tidak heran, banyak praktik ketenagakerjaan yang masih jauh dari ideal, misalnya saja soal <a href="https://www.kompasiana.com/nugroho/55001ad9a333111e7350fa0a/akal-akalan-untuk-melanggengkan-status-kontrak-pada-karyawan">status kepegawaian yang rentan manipulasi</a>, <a href="https://nasional.tempo.co/read/1179546/jalan-panjang-nasib-karyawan-kertas-nusantara">gaji tidak dibayar</a>, hingga fakta bahwa <a href="https://majalah.tempo.co/read/156806/dua-kekeliruan-pendidikan-etika?fbclid=IwAR343Crm8Xb2njxuhT9njgESeG99yZnjCnFzt5KH2582l7g9U3Womu0crHY">pekerja Indonesia hanya digaji 12 kali</a> dalam setahun sementara di negara maju sekurangnya 13 hingga 26 kali (mekanisme gaji dua mingguan).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/orang-magang-di-perusahaan-perlu-dibayar-atau-tidak-telaah-hukum-dan-etika-111354">Orang magang di perusahaan: perlu dibayar atau tidak? Telaah hukum dan etika</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Orientasi pasar</h2>
<p>Ketiadaan standar ini menurut kami diperparah dengan kuatnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002764212466236">roh neoliberalisme</a> dalam iklim ketenagakerjaan kita yang menekankan pada kemampuan individu untuk “bersaing” lewat mekanisme pasar yang minim intervensi pemerintah. Keberadaan standar yang berkekuatan hukum tentu tidak diperlukan jika mekanisme pasarlah yang menentukan segalanya. </p>
<p>Tak sedikit pengguna media sosial dan juga pakar yang <a href="https://pekanbaru.tribunnews.com/2019/07/25/viral-lulusan-ui-tolak-gaji-8-juta-begini-tanggapan-pakar-dan-klarifikasi-kampus?page=4">berkomentar</a> bahwa gaji lebih erat kaitannya dengan keahlian yang dimiliki pekerja. </p>
<p>Dari penelusuran kami, kata kunci yang banyak disebut adalah “skill” (kemampuan), “kompetensi”, <a href="https://metro.tempo.co/read/1229685/viral-gaji-8-juta-ditolak-pengusaha-ini-tantang-gaji-30-juta">“kapasitas”,</a> dan “kontribusi untuk perusahaan”. </p>
<p>Hal ini <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/127583467.pdf">seirama dengan konsep pendidikan yang memperlakukan perguruan tinggi layaknya mesin pencetak robot</a> yang memiliki kemahiran dan daya saing yang tinggi untuk melayani kepentingan bisnis, tetapi <a href="https://www.plutobooks.com/blog/why-shut-down-business-schools/">tidak punya sifat-sifat humanis dan tidak peka</a> terhadap isu ketidakadilan di tempat kerja dan kesenjangan sosial di masyarakat. </p>
<p>Pendidikan neoliberal sangat menjunjung tinggi kompetisi antarindividu dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1464700112442644?journalCode=ftya">meminggirkan solidaritas sosial dan empati</a>–karakter sosial yang justru masih tinggi di masyarakat negara-negara dunia ketiga. </p>
<p>Ini diperburuk pula oleh logika <em>human capital</em> (modal manusia) perusahaan yang membedakan antara <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1478210317736208">pekerja unggul dan tidak unggul</a> hanya dalam meraih laba dan cenderung mengabaikan <a href="https://www.irishtimes.com/opinion/gig-economy-is-the-mass-exploitation-of-millennials-1.3379569">kesejahteraan pekerja.</a></p>
<p>Konsep ini menegaskan bahwa besaran gaji pekerja merupakan tanggung jawab individu, agar mereka bisa menunjukkan “kualitas” dirinya. </p>
<p>Sementara, di antara <a href="https://sains.kompas.com/read/2019/07/25/190100523/viral-tolak-gaji-8-juta-pakar-pendidikan-sebut-logikanya-tidak-jalan?page=2">para pakar yang bersuara di media arus utama</a> belum ada yang mengungkit persoalan ketiadaan standar penggajian nasional selain lewat Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Provinsi. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kepingan-pengalaman-hidup-pekerja-perempuan-rumahan-92214">Kepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Menurut kami, <strong>yang pertama</strong> perlu dilakukan adalah membentuk otoritas independen yang menyusun standar gaji nasional yang spesifik, sekaligus menjadi mediator antara pihak pekerja dan pemberi kerja di Indonesia. </p>
<p>Penentuan gaji pekerja perlu diatur dengan mempertimbangkan apa saja hak-hak pekerja, termasuk besaran minimum yang menjamin kelayakan hidupnya, berdasarkan standar sosial yang terus berubah–yang sering disebut sebagai <em><a href="https://fbe.unimelb.edu.au/newsroom/explainer-what-exactly-is-a-living-wage">living wage</a></em> atau upah hidup layak.</p>
<p>Dengan adanya standar gaji nasional yang mencakup beragam jenis pekerjaan, para pekerja memiliki landasan ketika menuntut jumlah gaji di tertentu. </p>
<p>Nantinya, persoalan gaji tak lagi hal tabu. Di belahan dunia lain, pekerja justru <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/2017/jun/19/rise-up-and-demand-pay-increases-reserve-bank-chief-urges-workers">didorong untuk meminta kenaikan gaji</a>. Ini sejalan dengan pendapat ahli bahwa <a href="https://theconversation.com/explainer-how-wage-growth-contributes-to-the-economy-75625">pertumbuhan gaji berdampak positif untuk perekonomian</a>.</p>
<p>Barangkali, sifat-sifat pekerja milenial yang <a href="https://www.forbes.com/sites/kaytiezimmerman/2018/02/11/this-is-why-millennial-job-seekers-are-so-confident/">penuh percaya diri</a> akan berkontribusi positif pada upaya ini.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, para pakar dan praktisi lintas bidang perlu memberikan saran produktif untuk perbaikan kelas pekerja di Indonesia dan tidak larut dalam <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/57/1/163/4102665">pembentukan opini oleh media</a> yang cenderung <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/07393180600933196">melindungi kepentingan bisnis</a> demi pemasukan. </p>
<p>Ada satu hikmah dari kisah 8-juta-rupiah ini, yaitu desakan pada pemerintah untuk membuat standarisasi gaji para pekerja yang komprehensif dan menyediakan mekanisme yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak pekerja. </p>
<p>Agar persoalan yang kini nampak tabu dan gaib dapat samar-samar tersingkap, kemudian nyata di masa depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121135/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di Indonesia, tidak ada otoritas independen yang mengatur mekanisme standar gaji dalam iklim ketenagakerjaan sangat berorientasi pada pasar.Kanti Pertiwi, Lecturer, Universitas IndonesiaQusthan Firdaus, Dosen di Binus Business School, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1125292019-03-21T05:32:32Z2019-03-21T05:32:32ZMengapa perusahaan global pindahkan kantor pusatnya ke seluruh dunia – pajak, talenta pekerja, dan kecemasan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/263115/original/file-20190311-86686-hm0vi7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1000%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/double-exposure-global-world-map-on-577182709?src=wz476NqmzlJkbKNH_Y0NNg-1-75">shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Sejak <a href="https://theconversation.com/uk/brexit">referendum Inggris soal Uni Eropa pada 2016</a>, perusahaan-perusahaan terkenal telah mengumumkan keputusan untuk memindahkan domisili perusahannya ke luar Inggris. Raksasa elektronik Panasonic telah <a href="https://www.bbc.co.uk/news/business-45351288">pindah ke Amsterdam</a>, <a href="https://edition.cnn.com/2019/01/23/business/sony-europe-hq-brexit-netherlands/index.html">Sony</a> juga akan segera menyusul. Perusahaan perkapalan P&O akan <a href="https://uk.reuters.com/article/uk-britain-eu-p-o/po-to-change-flag-of-uk-ships-to-cyprus-ahead-of-brexit-idUKKCN1PG1KA">mengalihkan pendaftaran kapalnya</a> ke Siprus, sementara perusahaan teknik Dyson <a href="https://www.theguardian.com/technology/2019/jan/22/dyson-to-move-company-hq-to-singapore">memindahkan kantor pusat perusahaannya</a> ke Singapura.</p>
<p>Tidak ada yang baru tentang bisnis besar yang memindahkan kantor pusat perusahaan mereka. Pada 2003, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan <a href="https://unctad.org/en/pages/PressReleaseArchive.aspx?ReferenceDocId=3768">menyambut hadirnya pasar dunia</a> untuk kemungkinan seperti itu. Dan bahkan banyak perusahaan yang merupakan ikon dari Amerika telah memutuskan untuk memindahkan kantor pusatnya, termasuk Burger King (ke Kanada), Budweiser (ke Belgia), dan Lucky Strike (ke Inggris). Jadi mengapa mereka melakukannya? Dan apa manfaat dari perpindahan ini?</p>
<p>Salah satu alasan paling jelas dan meyakinkan untuk pindah adalah keinginan untuk meningkatkan laba. Ada keringanan pajak besar terkait dengan menjadi badan hukum yang terdaftar di negara yang digadai-gadai sebagai ‘suaka pajak’. Irlandia, Swiss, dan Panama telah menarik semua investasi semacam ini.</p>
<p>Namun langkah seperti ini tidak luput dari potensi timbulnya biaya tambahan. Perusahaan berisiko merusak reputasi mereka - termasuk tuduhan penghindaran pajak dan perilaku tidak etis, sementara negara-negara tempat mereka berpindah menghadapi <a href="https://www.independent.co.uk/news/business/news/eu-tax-haven-offshore-avoidance-countries-blacklist-latest-a8092826.html">peningkatan pengawasan</a>.</p>
<p>Alasan lain untuk pindah adalah untuk menempatkan bisnis di pusat keuangan utama seperti London, New York, Frankfurt atau Hong Kong. Perusahaan yang melakukan ini dapat dimotivasi oleh peluang yang lebih baik untuk meningkatkan modal dan memiliki akses ke talenta pekerja yang sangat terspesialisasi. Langkah semacam ini sangat populer di kalangan bisnis dari negara berkembang karena menunjukkan komitmen terhadap standar hukum dan praktik bisnis yang kuat. Ini dapat meningkatkan reputasi mereka (dan selanjutnya, kinerja).</p>
<p>Selain itu, bisnis kadang-kadang berpindah sebagai akibat dari proses akuisisi. Ketika sebuah perusahaan dibeli oleh perusahaan lain, lokasi perusahaannya dapat beralih ke lokasi perusahaan pembeli - inilah yang terjadi ketika Budweiser pindah ke Belgia, setelah <a href="https://www.washingtonpost.com/news/business/wp/2014/09/23/nations-most-iconic-beer-brands-are-being-bought-by-foreign-investors-so-what/">diakuisisi oleh InBev</a>.</p>
<p>Namun terlepas dari semua motif ini untuk pindah, bagi banyak perusahaan multinasional tidak ada tempat yang lebih nyaman seperti ‘rumah’. Ini bisa jadi karena dari sanalah pendiri berasal, dan di mana mereka berhasil memberikan solusi untuk masalah bisnis yang ada di negara itu - di mana seluruh ekosistem penting untuk mendirikan bisnis ada, dan di mana para pemangku kepentingan utama berada.</p>
<p>Jadi ketika relokasi kantor pusat perusahaan terjadi, seperti dalam kasus Dyson dan P&O, faktor-faktor pendorong mungkin juga ikut berperan. Beberapa perusahaan memutuskan untuk pindah ketika ekosistem negara asal yang membuat mereka kompetitif pada awalnya rusak, dan keuntungan yang dirasakan dari pasar rumah baru lebih tinggi daripada keuntungan yang dirasakan dari negara asal mereka.</p>
<p>Di sinilah Brexit jelas mempunyai efek yang penting bagi banyak bisnis yang memiliki kantor pusat perusahaan di Inggris. Ketika ketidakpastian melanda, ketika ada kekhawatiran tentang menarik talenta pekerja, ketika rezim legislatif tidak jelas dan kualitas layanan yang tersedia berada di bawah ancaman, masalah lokasi kantor pusat suatu perusahaan menjadi menonjol.</p>
<h2>Mengapa hal ini menjadi sebuah masalah?</h2>
<p>Dampak ekonomi dari relokasi bervariasi. Beberapa kantor pusat perusahaan memiliki fungsi yang sangat terbatas dan hanya sedikit staf, sementara yang lain adalah perusahaan yang lebih besar, sehingga potensi kehilangan pekerjaan akan berbeda dari kasus ke kasus. Namun demikian, pekerja yang direlokasi biasanya hanya mereka yang sangat trampil, mereka melakukan pekerjaan khusus yang dibayar dengan sangat baik dan sering kali dikenakan pajak tinggi. Kerugian pendapatan pajak perusahaan juga mungkin signifikan.</p>
<p>Juga, dampak ekonomi yang dihasilkan jauh melampaui perusahaan itu sendiri. Relokasi dapat mengurangi permintaan akan layanan yang sangat khusus seperti nasihat hukum, perbankan, dan logistik - yang semuanya memiliki efek negatif pada ekosistem ekonomi negara asal dan kemampuannya untuk menarik investor di masa depan.</p>
<p>Terakhir, relokasi sangat simbolis. Sementara beberapa bisnis memilih untuk pindah untuk menunjukkan komitmen ke wilayah baru (di mana pelanggan dan pesaing mereka yang paling penting berada), langkah ini pasti mengirimkan pesan yang berlawanan dengan negara asal mereka - negara yang tidak lagi sepenuhnya memenuhi kebutuhan akan investor dengan ambisi global.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=376&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=376&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=376&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/259283/original/file-20190215-56246-udx16p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=473&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Amsterdam menjadi alternatif yang menarik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bike-over-canal-amsterdam-city-picturesque-797232592?src=Ej4LeXNDXa-kde6gEzVcWg-1-5">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kepercayaan investor sangat penting untuk membuat atau menghancurkan tujuan investasi, dan investor sering membuat keputusan mengikuti keputusan orang lain. Dengan ketidakpastian Brexit yang berkelanjutan, ada kemungkinan lebih banyak perusahaan akan memutuskan untuk pindah. Mereka yang mendirikan markas regional mereka di Inggris sebagai batu loncatan untuk ekspansi lebih lanjut di UE tidak diragukan lagi akan memikirkan perubahan, sementara banyak pemerintah UE melakukan yang terbaik untuk memikat mereka.</p>
<p>Amsterdam telah mengambil alih Sony dan Panasonic dengan iming-iming lokasi, daya saing dan kualitas hidup yang sangat baik. Dublin berharap untuk menarik investor AS melalui kesamaan bahasa, hubungan historis antara kedua negara, iklim investasi yang ramah dan keringanan pajak. Berlin, <a href="https://www.uktech.news/news/berlin-becoming-europes-number-one-tech-hub-20180905">‘ibu kota’ bagi perusahaan <em>start up</em> di Eropa</a>, berusaha menarik wirausahawan Inggris dengan pengaturan modal awal yang rendah, lembaga pendidikan tinggi dan infrastruktur yang baik, serta kumpulan talenta muda dan beragam. Paris bertujuan untuk memancing bank-bank internasional menjauh dari Kota London dengan <a href="https://www.theguardian.com/business/2017/jul/07/france-london-banks-brexit-paris-taxes">melonggarkan peraturan</a>).</p>
<p>Segera setelah referendum Uni Eropa, <a href="https://home.kpmg/xx/en/home/campaigns/2016/06/ceo-outlook.html">survei KPMG</a> menunjukkan bahwa 76% dari 1.300 CEO yang disurvei di seluruh dunia ingin memindahkan kantor pusat perusahaan mereka. Meski beberapa pendapat CEO mungkin telah berubah sejak saat itu, sudah pasti ada kecenderungan baru-baru ini untuk memindahkan kantor pusat dari Inggris. Jika terlalu banyak perusahaan memutuskan untuk bergabung dengan mereka, mereka yang tertinggal akan menghadapi masa-masa yang mengkhawatirkan.</p>
<p><em>Artikel dari bahasa Inggris ini diterjemahkan oleh Ariza Muthia.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112529/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carmen Raluca Stoian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Setelah keputusan Brexit, dampak ekonomi dari relokasi kantor pusat dari sebuah perusahan dapat bervariasi. Panasonic telah pindahkan kantor ke Amsterdam, Sony juga akan segera menyusul.Carmen Raluca Stoian, Lecturer in International Business, University of KentLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1104342019-01-25T05:05:12Z2019-01-25T05:05:12ZAkan terlihat seperti apakah bekerja pada tahun 2030?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/255300/original/file-20190124-135157-17ts2ln.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=21%2C10%2C3573%2C2382&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seperti apa bentuk pekerjaan di masa depan?</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Dunia kerja sedang berubah, begitu pula dengan masyarakat. Perbincangan mengenai dunia kerja masa depan semakin ramai selama tiga tahun terakhir, terutama dengan munculnya diskusi-diskusi mengenai teknologi digital, dunia wirausaha, orang-orang yang memiliki beberapa pekerjaan, pendapatan universal, atau bentuk-bentuk baru dari manajemen dan pemerintahan.</p>
<p>Perdebatan-perdebatan di atas yang fokus pada ketenagakerjaan, jenis-jenis pekerjaan, dan penerapan manajemen, memiliki satu manfaat: memperjelas kemungkinan-kemungkinan pekerjaan di masa depan.</p>
<h2>Kondisi pekerjaan masa depan</h2>
<p>Dalam penelitian berjudul <a href="https://www.researchgate.net/publication/329254461_Le_futur_du_travail_en_2030_quatre_atmospheres/stats">“The future of work in 2030: four atmospheres?”</a> atau “Masa depan dunia kerja di 2030: empat kondisi?”, lembaga riset internasional <a href="https://collaborativespacesstudy.wordpress.com/">RGCS</a> menawarkan beberapa pandangan mengenai pekerjaan di masa depan.</p>
<p>Kami mulai dengan menyajikan beberapa hal yang bertolak belakang yang terjadi dalam dunia kerja. Paradoks-paradoks ini menyoroti ketegangan dan dilema yang menyebabkan perubahan dalam dunia kerja, seperti: mobilitas versus kehidupan yang mapan; kewirausahaan versus ketergantungan; kebebasan versus keamanan; otonomi versus kontrol; digitalisasi versus dunia nyata, dan lain-lain.</p>
<p>Atas dasar ini, kami memperbarui gagasan mengenai <a href="https://www.researchgate.net/publication/327369385_Experiencing_a_New_Place_as_an_Atmosphere_A_Focus_on_Tours_of_Collaborative_Spaces">kondisi dunia kerja</a>, baik dalam konteks yang sederhana maupun yang bertolak belakang, untuk mendeskripsikan pekerjaan di hari ini dan masa depan. </p>
<p>Kondisi dunia kerja mengacu pada tempat, konteks, suasana hati, juga segala hal yang sulit untuk dijelaskan dalam sebuah lingkup kehidupan atau pekerjaan. Pada waktu yang bersamaan, komponen-komponen yang terlibat sangat konkret, yaitu; gestur, alat, tempat, praktik, sensasi, emosi, dan lain-lain. Namun mereka juga berbentuk “kuasi-materi” dan dapat dirasakan melalui cahaya, kata-kata, suara, dan tekstur yang menjadi perantara hubungan kita dengan pekerjaan. Kondisi di mana kita bekerja sangat menentukan ruang dan waktu saat kita hendak melakukan pekerjaan.</p>
<p>Oleh sebab itu, kami kemudian mengembangkan empat skenario, terkait dengan empat kondisi kerja, untuk membayangkan bagaimanakah dunia kerja pada tahun 2030;</p>
<ul>
<li><p><strong><em>Freelancing</em> atau bekerja lepas.</strong> Bayangkan sebuah masyarakat yang sebagian besar terdiri dari pekerja lepas yang terhubung oleh platform global. Hal lain berupa transaksi. Suasana kerja menjadi lebih cair seperti yang dijelaskan oleh Z. Bauman;</p></li>
<li><p><strong><em>Salaried</em> atau bekerja di kantor dengan gaji tetap.</strong> Mereka menggambarkan sebuah dunia di mana pekerjaan bergaji tetap menjadi pusat operasi sebuah perusahaan. Kontrak kerja permanen dan dalam jangka waktu tertentu mengalami pengembangan dari sisi hukum, akan tetapi kontrak kerja tetap menjadi kunci dunia kerja dan ketenagakerjaan. Hal lain yang penting adalah kontrak. Kondisi menjadi bersifat teritorial dan mengakar;</p></li>
<li><p><strong><em>Hybridisation</em> atau hibridisasi</strong>. Hal ini mewakili terobosan yang lebih lanjut dari bentuk pekerjaan saat ini. Berbagai bentuk aktivitas pekerjaan kemudian diakomodasi. Setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda di satu waktu atau sesudahnya menjadi pekerja tetap atau wiraswastawan. Kondisi pekerjaan semacam itu memiliki sensasi yang berbeda-beda. Kebalikannya, hal yang lain yang penting adalah munculnya pribadi yang baru yang memunculkan manajemen pribadi yang bermacam-macam. Untuk beberapa hal, kondisi kerja tipe ini bersifat skizofrenik;</p></li>
<li><p><strong>Pendapatan universal</strong>. Kondisi ini menggambarkan sebuah situasi yang mengutamakan aktivitas dibandingkan kinerja dan status. Bentuk-bentuk dari pekerjaan dengan gaji tetap dan kewirausahaan akan tetap ada, di samping juga ada solidaritas antar pekerja yang menyeluruh. Kondisi pekerjaan semacam ini ditandai dengan tindakan untuk memberi dan menciptakan kembali diri sendiri.</p></li>
</ul>
<p>Tentu saja, skenario-skenario dan kondisi kerja yang terkait dapat dikombinasikan. Kita dapat membayangkan penggabungan antara bekerja lepas dan bekerja dengan gaji tetap bersamaan dengan kontrak jangka panjang. Kondisi kerja yang didominasi pekerja lepas dan pendapatan universal pun tampaknya cocok untuk kita. Empat kemungkinan ini memberikan kemungkinan praktis dan emosional yang dapat kita coba terapkan di masa depan. </p>
<p>Untuk menegaskan keyakinan ini, kami percaya bahwa masa depan dari dunia kerja akan penuh dengan kejutan. Dunia kerja di masa depan akan terus berkembang secara kreatif lebih dari telah dibicarakan di atas. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/248580/original/file-20181203-194922-1uk8ecx.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Rochelongue Montpellier.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dengan masa depan–atau tidak dengan masa depan?</h2>
<p>Suatu malam di musim panas pada 2025 di Montpellier’s Place de la Comédie, bayangkan ada empat orang yang mewakili empat kondisi pekerjaan di masa depan–Freelancia, Salaria, Hybridia, dan Solidaria, yang mewakili pendapatan universal. Empat karakter tersebut semuanya perempuan. Mereka masing-masing membawa masa depan pekerjaan. Kemiripan dengan orang lain, hidup atau mati, atau peristiwa nyata, bukan kebetulan. Dialog di bawah ini (yang dirinci dalam catatan riset kami) antara keempat individu iyetseniy menggambarkan pilihan-pilihan hidup yang spesifik, terkadang eksklusif, juga proyek sosial yang berkaitan dengan setiap skenario yang ada. Begini contohnya:</p>
<blockquote>
<p>Hybridia: “Tiga tahun yang lalu, saya masih menjalani menjadi pekerja lepas. Dan apakah kamu ingat setelah SMA, saya memulai bisnis kecil kolaborasi seni itu? Tapi, saya pikir kamu terlalu resistan terhadap banyak hal, Freelancia! Mengapa tidak menikmati semua yang bisa kamu dapatkkan: waktu yang lebih bebas tapi juga ada jaminan rasa aman? </p>
<p>Freelancia: "Hanya ada 24 jam dalam sehari […]. Dengan adanya aktivitas lain yang saya lakukan, saya merasa berkhianat pada aktivitas saya yang pertama.”</p>
<p>[…]</p>
<p>Solidaria: “Anda tidak mau menghabiskan hidup anda dengan menjual omong kosong! Satu waktu Anda adalah "konsultan”, seorang “katalisator dalam inovasi” dan kini Anda “kepala dari unit bisnis wirausaha”. Apa langkah selanjutnya setelah itu? […] Apakah Anda tidak ingin melakukan sesuatu yang lebih bermakna? Untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain?“</p>
<p>Salaria: "Aku tidak dapat hidup hanya makan cinta dan udara segar seperti Anda. Saya mengurus dua anak saya sendirian. Saya tahu berapa besar biaya yang akan saya keluarkan untuk pendidikan mereka. Saya ingin mereka mendapatkan pendidikan terbaik (…) yang akan memberikan mereka pendapatan yang cukup.”</p>
</blockquote>
<p>Dialog ini terus berlanjut dengan hal yang lebih spesifik terkait aspek-aspek teknologi di balik skenario ini. Aspek tersebut mendiskusikan hubungan antara kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>) dan bentuk-bentuk pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan biasa. Menggunakan sebuah metafora yang berhubungan dengan Mesir Kuno dan meminjam dari Michel Serres, kami menyarankan untuk mempertimbangkan telepon pintar dan kecerdasan buatan dari pekerja masa depan sebagai <a href="https://www.decitre.fr/livres/petite-poucette-9782746506053.html">“<em>ka</em>”</a>, seorang yang mirip kita tapi bersifat otonom. Kami pun mengangkat berbagai masalah masalah etika.</p>
<p>Sebagai kesimpulan, dengan tidak menggunakan bola kristal atau ramalan, penelitian kami bertujuan untuk menggarisbawahi pilihan-pilihan yang berhubungan dengan kehidupan kita, penggunaan teknologi, bentuk-bentuk pekerjaan (baik lama maupun baru), suara politik dan keterlibatan sipil yang, hingga saat ini, akan membuat skenario-skenario tertentu soal masa depan dunia kerja menjadi mungkin atau malah menghalanginya. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ini berdasarkan pada penelitian <a href="https://www.researchgate.net/publication/329254461_Le_futur_du_travail_en_2030_quatre_atmospheres">“Masa depan pekerjaan di 2030: empat kondisi?”_</a>, yang ditulis oleh Francois-Xavier de Vaunjany (PSL, Paris-Dauphine University), Amelie Bohas (Aix-Marseille), Sabine Carton (Grenoble-Alpes University), Julie Fabbri (sekolah bisnis emlyon), dan Aurelie Leclercq-Vandelannoitte (CNRS, IESEG). Studi ini dilakukan dalam kerangka kerja jaringan penelitian internasional RGCS (Research Group on Collaborative Spaces), yang berfokus pada praktik-praktik kerja di masa depan.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110434/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>François-Xavier de Vaujany adalah pemimpin dari lembaga penelitian RGCS</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Amélie Bohas adalah anggota dari RGCS</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Aurélie Leclercq-Vandelannoitte adalah anggota dari RGCS.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Julie Fabbri adalah wakil pimpinan RGCS</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sabine Carton adalah sekretaris dari RGCS</span></em></p>Sebuah penelitian dari RGCS mengidentifikasi empat skenario tentang bagaimana dunia kerja dan sistem manajemen bisa digabung di masa depan.François-Xavier de Vaujany, Professeur en management & théories des organisations, Université Paris Dauphine – PSLAmélie Bohas, Maître de Conférences en Sciences de Gestion, Aix-Marseille Université (AMU)Aurélie Leclercq-Vandelannoitte, Chercheuse, CNRS, LEM (Lille Economie Management), IÉSEG School of ManagementJulie Fabbri, Professeur en stratégie et management de l'innovation, EM Lyon Business SchoolSabine Carton, Professeur en Management des Systèmes d'Information Grenoble IAE - CERAG, Grenoble IAE Graduate School of ManagementLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922142018-03-13T09:09:06Z2018-03-13T09:09:06ZKepingan pengalaman hidup pekerja perempuan rumahan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209696/original/file-20180309-30986-1k8sn42.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C1%2C719%2C463&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan penganyam alat panggang bekerja di rumah sambil melakukan tugas rumah tangganya, menjaga anak</span> <span class="attribution"><span class="source">Dari mampu.or.id</span></span></figcaption></figure><p>Pekerja rumahan berada di sekitar kita dan lekat dengan keseharian kita. Mereka menjahit baju atau tas yang kita pakai, memproduksi peralatan dapur yang kita gunakan untuk memasak makanan favorit, hingga merangkai komponen elektronik gawai kesukaan kita. Mereka bekerja tidak hanya untuk industri skala rumahan tapi juga perusahaan multinasional.</p>
<p>Namun, informasi mengenai jumlah mereka masih berupa estimasi. Pemerintah Indonesia belum memasukkan pekerja rumahan dalam data statistik resmi negara, baik dalam sensus penduduk, maupun survey angkatan kerja nasional (Sakernas). </p>
<p>Dalam <a href="https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/16/971/penduduk-15-tahun-ke-atas-menurut-status-pekerjaan-utama-1986---2017.html">data ketenagakerjaan BPS</a>, posisi pekerja rumahan berada di antara kategori “pekerja bebas di nonpertanian” dan “pekerja keluarga/tak dibayar”. Pada tahun 2017 jumlah pekerja di dua kategori ini mencapai lebih dari 22 juta jiwa atau 18% dari total 121 juta penduduk Indonesia yang bekerja.</p>
<iframe id="datawrapper-chart-WZ3Xi" src="https://datawrapper.dwcdn.net/WZ3Xi/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" style="width: 0; min-width: 100% !important;" height="527" width="100%"></iframe>
<p>Di antara jumlah ini, diperkirakan ada sekitar <a href="http://buruh-online.com/2017/12/turc-pekerja-rumahan-akibat-lambannya-penciptaan-lapangan-kerja.html">12 juta perempuan</a> yang menggeluti pekerjaan rumahan. <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">Hasil studi di enam provinsi di Indonesia</a> juga menunjukkan bahwa pekerja rumahan didominasi oleh perempuan. </p>
<p>Luputnya pekerjaan rumahan dalam data statistik membuat profesi ini menjadi lebih berisiko. Karena tidak masuk dalam hitungan, posisi mereka tidak diakui dan tidak dilindungi pemerintah. Keterbatasan akses di ruang publik untuk bersuara dan berserikat membuat mereka semakin rentan dieksploitasi. </p>
<p>Saya bersama rekan satu tim melakukan <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/penghidupan-perempuan-miskin-dan-akses-mereka-terhadap-pelayanan-umum">penelitian untuk program MAMPU</a>, sebuah kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia untuk mendorong pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pemberdayaan perempuan dan pengembangan kepemimpinan perempuan. Dari <a href="http://www.smeru.or.id/id/content/dinamika-penghidupan-perempuan-miskin-studi-kasus-ketika-terjadi-perubahan-harga-bbm">penelitian tersebut</a>, saya akan menceritakan pengalaman tiga perempuan pekerja rumahan untuk membantu kita memahami kondisi kerja yang mereka hadapi sehari-hari. Nama mereka saya samarkan untuk menjaga privasi. </p>
<p>Setidaknya ada tiga permasalahan yang diemban oleh perempuan pekerja rumahan: upah yang rendah, waktu kerja yang tidak terbatas, dan ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.</p>
<h2>Upah yang rendah</h2>
<p>Indonesia belum memiliki regulasi tentang standar minimal upah bagi pekerja rumahan. Negosiasi upah minimum dalam forum kerjasama tripartit tidak berjalan karena pekerjaan rumahan belum diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Konsekuensinya, pekerja perempuan rumahan harus menerima upah yang rendah tanpa adanya ruang negosiasi dengan pemberi kerja.</p>
<p>Mawar (35) di Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, menerima Rp2.500 untuk setiap kilogram biji mente yang ia kupas. Upah ini turun dari sebelumnya Rp3.500 per kilogram di tahun 2014. Mawar tidak mengetahui dengan jelas apa alasannya. Ia dan rekan-rekan sesama pekerja tidak memprotes penurunan upah tersebut karena takut tidak dapat lagi mengupas biji mente, pekerjaan yang menjadi tumpuan pendapatan keluarganya selama lima tahun terakhir. </p>
<p>Sementara itu, Melati (54), seorang janda di Deli Serdang, Sumatra Utara, menerima Rp2.300 untuk setiap 1 bal (1000 lembar) kertas sembahyang umat Konghucu (Kertas Kimcua) yang ia rapihkan, lipat, dan kemas satu persatu. Dalam satu hari, ia bisa menyelesaikan sekitar 5 bal kertas, sehingga dalam sebulan upah yang didapat mencapai Rp300.000. Upah yang minim ini tidak berubah sejak awal ia terlibat dalam pekerjaan ini di tahun 2012. </p>
<p>Bagi Dahlia (37), di Cilacap, Jawa Tengah, upah menjahit gendongan bayi bagi sangat berharga untuk menambah pemasukan keluarga, selain kiriman suaminya yang menjadi buruh bangunan di Jakarta. Ia menerima Rp2.000 untuk setiap potong gendongan bayi yang ia selesaikan. Setiap minggu, ia bisa memproduksi sekitar 50 gendongan bayi dengan total upah berkisar Rp100.000 - Rp150.000. Dari jumlah ini, ia masih harus membeli benang dan membayar listrik mesin jahit yang ia tanggung sendiri. </p>
<p>Selama ini, upah pekerja rumahan ditentukan <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">satu arah oleh pemberi kerja</a> (atau makelar). Persepsi patriarki bahwa pekerjaan perempuan adalah sumber penghasilan sekunder bagi rumah tangga juga turut berkontribusi atas rendahnya upah yang diberikan. <a href="http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/365/573">Sebuah studi</a> menemukan bahwa sebagian pemilik industri batik beranggapan bahwa pekerjaan membatik (oleh perempuan di rumah) hanya pekerjaan sampingan dan tidak membutuhkan keahlian khusus, sehingga wajar jika upahnya sedikit.</p>
<h2>Waktu kerja yang tidak terbatas</h2>
<p>Sementara para pekerja di sektor formal memiliki waktu kerja yang jelas dan berbatas, alokasi waktu kerja pekerja rumahan sepenuhnya <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.610.2434&rep=rep1&type=pdf">menjadi kuasa para pekerja sendiri</a>. Meskipun terdengar menguntungkan tapi pada kenyataannya sistem jam kerja seperti ini justru menambah beban buat pekerja perempuan rumahan karena mereka juga mengurusi pekerjaan rumah.</p>
<p>Empat tahun lalu, pekerjaan mengacip biji mente masih terpusat di rumah koordinator dari pukul 08.00 hingga 17.00 WITA. Namun, para pekerja, termasuk Mawar, meminta pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing agar mereka tetap bisa mengerjakan tugas rumah tangga. Saat ini, Mawar biasa mengupas biji mente dari pukul 09.00 hingga 16.00 WITA. Durasi bisa lebih panjang, jika biji mente yang diterima ukurannya terlalu kecil. Pekerjaan mengacip biji mente selalu diselingi kegiatan mencuci, membersihkan rumah, dan menyiapkan makan bagi suami dan anak-anaknya.</p>
<p>Bagi Melati menjadi pelipat Kertas Kimcua adalah pilihan terbaik di usianya yang tidak lagi muda seperti saat dirinya masih menjadi buruh tani. Pekerjaan ini menurutnya juga ringan karena dirinya masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sejak pagi hingga sore hari, Melati harus mengurus pekerjaan rumah tangga, termasuk menyiapkan bekal bagi tiga anaknya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Ia baru mulai melipat kertas pada malam hari ketika perempuan lain seusianya beristirahat. </p>
<p>Begitu juga Dahlia yang awalnya menjahit gendongan bayi di rumah pengepul. Namun, karena ia harus merawat anaknya yang berkebutuhan khusus, semua pekerjaannya dibawa ke rumah. Menurutnya itu lebih baik, karena ia bisa tetap mengawasi anaknya yang sekarang berusia 12 tahun dan mengalami gangguan pertumbuhan. Semua kegiatan rumah sehari-hari, harus ditangani olehnya sendiri karena suaminya berada di Jakarta dan hanya pulang dua bulan sekali.</p>
<p>Perempuan pekerja rumahan seringkali berasumsi bahwa waktu kerja yang fleksibel adalah keuntungan, padahal dalam banyak kasus pekerjaan mereka berujung pada: eksploitasi diri yang memberikan mereka beban ganda. Dalam upaya mencapai target produksi, mereka tetap harus menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga.</p>
<h2>Ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja</h2>
<p>Perempuan miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi cenderung memiliki status <a href="http://www.ilo.org/employment/Whatwedo/Publications/WCMS_117993/lang--en/index.htm">kesehatan yang lebih rendah</a>. Selain minimnya waktu untuk para pekerja perempuan itu sendiri, tidak adanya standar kesehatan dan keselamatan dalam pekerjaan rumahan membuat para pekerja dan anggota keluarganya memiliki <a href="http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_438251/lang--en/index.htm">risiko kesehatan yang tinggi</a>. </p>
<p>Risiko bekerja mengupas biji mente bagi Mawar adalah gatal-gatal akibat getah biji mente dan luka karena terkena alat pengupas mente. Oleh karena itu, ia harus menggunakan kapur dan sarung tangan yang ia sediakan sendiri. Apabila gatal, Mawar tidak mendapat bantuan dari pemberi kerja maupun koordinatornya. Membeli minyak gosok sendiri menjadi satu-satunya jalan untuk berobat. </p>
<p>Sementara itu, melipat Kertas Kimcua relatif tidak memiliki risiko kerja yang besar. Namun demikian, kelelahan akibat padatnya kegiatan sehari-hari, membuat Melati seringkali mengalami rematik dan anemia. Karena tidak memiliki jaminan kesehatan, ia harus mengeluarkan Rp100.000 untuk mendapatkan sebotol obat rematik <em>Propolis</em> yang telah dikonsumsinya selama satu tahun belakangan.</p>
<p>Sedangkan Dahlia mengaku tidak pernah mengalami sakit atau kecelakaan selama bekerja sebagai penjahit rumahan. Dirinya juga mengaku tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan dari pemberi kerjanya. Bahkan, Dahlia mengaku tidak begitu paham tentang jaminan ketenagakerjaan dan semacamnya.</p>
<p>Tidak adanya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja merupakan konsekuensi bagi mereka yang bekerja di ranah informal, termasuk para pekerja perempuan rumahan. Di tengah risiko kerja dan kemiskinan yang tinggi, mereka yang tidak mendapat perlindungan cenderung tidak mengakses fasilitas kesehatan untuk berobat.</p>
<h2>Apa solusinya?</h2>
<p>Pekerja perempuan rumahan rentan terhadap risiko kerja yang mereka geluti. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya bagi mereka untuk berserikat dan menyuarakan kepentingannya melalui kelompok advokasi dan organisasi pekerja. </p>
<p>Sementara itu, mempromosikan kesetaraan gender dalam rumah tangga juga penting untuk dilakukan, terutama terkait pembagian peran gender. Selain itu, program-program yang dapat membantu perempuan untuk meningkatkan kualifikasi serta akses mereka terhadap pekerjaan di luar rumah juga diperlukan untuk memperkuat posisi perempuan di dunia kerja.</p>
<p>Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah perlu melakukan langkah tegas untuk memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi perempuan pekerja rumahan bagi pembangunan. Status mereka selayaknya disejajarkan dengan para pekerja di sektor formal yang lain dengan konsekuensi memenuhi hak-hak mereka, yang diantaranya adalah hak akan penghasilan yang layak, hak mengambil cuti, dan hak mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Memasukkan para pekerja perempuan rumahan ke dalam kerangka legal formal seperti UU Ketenagakerjaan dapat menjadi tindakan awal yang harus diikuti dengan penyediaan data yang akurat untuk memahami prevalensi dan kondisi pekerjaan pekerja rumahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92214/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dinar Dwi Prasetyo terafiliasi dengan The SMERU Research Institute. Riset yang disebutkan dalam artikel adalah bagian dari program MAMPU (2012-2020), kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia yang diimplementasikan oleh Cowater Sogema International Inc. atas nama Pemerintah Australia.</span></em></p>Pekerja rumahan menerima banyak beban risiko kerja disebabkan keterasingan mereka dari data statistik, pengakuan, dan regulasi pemerintah.Dinar Dwi Prasetyo, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/908262018-01-31T10:40:48Z2018-01-31T10:40:48ZCo-working space mendorong inovasi—dan kesenjangan digital<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/203795/original/file-20180129-41450-vg52c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C923%2C614&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tren pendirian startup, kolaborasi, dan "bekerja lepas" menyumbang pada pertumbuhan kantor virtual dan ruang kerja bersama atau co-working space. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Di Indonesia, pusat-pusat kreatif yang dikenal sebagai <em>creative hubs</em> seperti ruang kerja bersama (<em>co-working space</em>) dan ruang berkarya (<em>makerspace</em>) menjadi tempat pekerja kreatif mewujudkan ide-ide orisinal mereka. Namun, meski pertumbuhan tempat-tempat tersebut dapat mendorong inovasi, mereka berpotensi pula memperparah ketimpangan digital antara kota-kota besar dan daerah.</p>
<h2>Ruang untuk kreativitas</h2>
<p><em>Creative hubs</em> adalah istilah yang dipopulerkan Pusat Kebudayaan Inggris (Bristish Council) untuk mengidentifikasi “ruang, baik virtual maupun fisik, yang menjadi tempat bertemu orang-orang kreatif”. </p>
<p>Di Indonesia, kebanyakan tempat semacam ini berbentuk ruang kerja bersama (<em>co-working spaces</em>), yaitu tempat kerja berbasis keanggotaan, ruang tempat kerja dengan alat produksi bersama yang dikenal <em>makerspace</em>, atau ruang kreatif seperti galeri seni independen. </p>
<p>Ruang-ruang ini menyediakan lingkungan tempat ide-ide dapat bermunculan dan berbagai rencana diwujudkan. Contohnya, Code Margonda di Depok, Jawa Barat adalah markas beberapa <em>startup</em>. Sementara Makedonia di Jakarta menyediakan printer 3D untuk murid sekolah menengah atas untuk bereksperimen secara gratis. </p>
<p>Ruang-ruang ini memungkinkan ide-ide dan pendekatan yang baru dalam mengembangkan komunitas. Perkembangan ruang-ruang semacam ini tumbuh dengan stabil antara 2002 dan 2010 di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Di Jakarta sejumlah ruang kerja bersama bermunculan antara 2010 dan 2012. Grafik di bawah menunjukkan pertumbuhan yang cepat pusat-pusat kreatif. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/54HcU/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Namun, seperti ditunjukkan di atas, kenaikan yang drastis terjadi antara 2012 dan 2014, saat jumlah pusat-pusat kreatif meningkat tiga kali lipat dalam waktu dua tahun. Pergeseran ke teknologi digital dalam lima tahun belakangan telah membuat jaringan orang-orang dan ide-ide kreatif menjadi lebih penting ketimbang ruang fisik permanen. </p>
<p>Tren pendirian <em>startup</em>, kolaborasi dan “bekerja lepas” menyumbang pada pertumbuhan pasar ruang kerja bersama dan kantor virtual. Ruang kerja bersama menjawab kebutuhan pekerja lepas yang tidak dapat dipenuhi berjamurnya warung kopi dengan koneksi internet yang gratis tapi terbatas. </p>
<p>Bermunculannya ruang-ruang kerja bersama datang di saat yang tepat. Tren bertumbuhnya pusat-pusat kreatif juga mengisyaratkan tumbuhnya sektor teknologi dan kreatif di negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/203798/original/file-20180129-41413-88jzri.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ruang kerja bersama Ngalup di Malang.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pusat-pusat kreatif unik dan ekosistemnya dinamis</h2>
<p>Bertumbuhnya ruang-ruang kerja bersama adalah fenomena sosial dan ekonomi, terutama berkaitan dengan meningkatnya <em>startup</em> digital dan ekonomi berbasis internet. Di kalangan generasi muda, menghabiskan waktu produktif di ruang kerja bersama telah menjadi kebutuhan—dan norma baru. </p>
<p>Lanskap pusat-pusat kreatif menjadi beragam karena tren tersebut. Beberapa pusat kreatif dibangun atas asas kemandirian dan prinsip lakukan sendiri (<em>Do It Yourself</em>). Makedonia dan Code Margonda adalah penganut asas tersebut. Mereka fokus pada pentingnya komunitas dan kolaborasi. </p>
<p>Di sisi lain, ada juga pusat kreatif yang beroperasi dengan dukungan dana investor besar. Contohnya Cre8 yang didukung oleh Kejora Venture dan EV Hive yang didukung oleh East Venture. Dana investor ini memungkinkan mereka yang mendapatkannya menyewa atau membeli properti dengan lebih mudah serta membantu mereka menciptakan ruang kerja yang ciamik. </p>
<p>Ruang-ruang kreatif yang didukung oleh dana <em>venture capital</em> biasanya lebih maju dalam perencanaan bisnis mereka. Hal ini mengkompensasi ketidakmampuan mereka untuk menjangkau pekerja dan komunitas kreatif yang ada. Perbedaan antara co-working space yang didukung investor dan yang tumbuh dari komunitas kadang menciptakan jarak antara para coworking space ini. Ada perbedaan persepsi dan prinsip di dalamnya, meski kolaborasi menjadi tumpuan mereka dalam mengelola sektor yang masih sangat muda ini.</p>
<p>Ruang-ruang ini juga berpotensi menjadi sumber ketimpangan digital. Seperti telah dibahas oleh <a href="https://theconversation.com/the-digital-economy-is-no-leveller-its-a-source-of-inequality-36714">beberapa penulis</a>, ruang-ruang kerja bersama ini bisa menjadi ruang-ruang “wirausahawan digital yang terisolasi” tanpa hubungan yang nyata dengan sektor-sektor lain. Dalam konteks ini, coworking space bisa jadi justru memperparah ketimpangan yang sudah lama terlihat dalam hal infrastruktur, akses, dan peluang. </p>
<p>Di sinilah pemerintah dapat berperan untuk memperkecil kesenjangan. Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif sebaiknya mengintervensi dengan mendirikan lebih banyak pusat-pusat kreatif di luar kota-kota besar di Indonesia. </p>
<h2>Tantangan dan peluang</h2>
<p>Pemilik pusat-pusat kreatif “akar rumput” secara umum sangat tangguh. Mereka belajar beradaptasi dengan situasi dari sejak awal, seringkali melalui kesulitan yang berat. Karena pasarnya masih labil, manajer pusat-pusat kreatif memiliki kerja berat membangun produk mereka dari nol, memperkenalkan konsep pusat kreatif kepada pelanggan mereka sembari setia pada nilai-nilai yang mereka pegang. </p>
<p>Keberlangsungan pendanaan menjadi masalah yang paling utama untuk dipecahkan karena pasar masih harus diperkenalkan pada jasa yang ditawarkan <em>co-working space</em>. Ini memaksa mereka untuk berlaku kreatif dalam menjalankan operasi mereka. Menurut survei yang kami lakukan pada 2017, pendapatan utama pusat-pusat kreatif didapatkan dari pemasaran program (contohnya pelatihan, seminar, dsb) karena kesulitan menarik pendapatan tetap dari iuran pelanggan <em>co-working space</em>. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/X8ZLj/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="284"></iframe>
<p>Di tengah tantangan-tantangan ini, manajer ruang kreatif menunjukkan optimisme yang tinggi mengenai masa depan mereka. </p>
<p>Dari survei kami, rata-rata tingkat optimisme pengelola creative hub ada pada skor 8,275 dari skala 0-10. Optimisme yang layak disebarluaskan, seandainya sektor ini dapat pula mendorong praktik yang lebih inklusif bagi para pelakunya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90826/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fajri Siregar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pertumbuhan pusat kreatif bagus untuk inovasi tapi bisa memperluas ketimpangan digital dan ekonomi di Indonesia.Fajri Siregar, PhD Candidate, University of AmsterdamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.